BAB II PRAKTIKUM VIRTUAL, DISPOSISI DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS, SIKAP ILMIAH, DAN PENGUASAAN KONSEP MEKANISME EVOLUSI PADA MAHASISWA CALON GURU
A. Praktikum Virtual Kegiatan laboratorium (praktikum) merupakan bagian integral dari kegiatan
belajar
mengajar
Biologi,
berperan
sebagai
wahana
untuk
membangkitkan motivasi belajar, mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen, wahana belajar pendekatan ilmiah, dan dapat menunjang materi pelajaran (Woolnough & Allsop dalam Rustaman, 2005: 136). Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan laboratorium adalah ketersediaan komponen pendukung kegiatan laboratorium yaitu bahan dan peralatan, ruang dan perabot, tenaga laboran, serta teknisi. Ketersediaan komponen kegiatan laboratorium yang memadai jelas akan menunjang
pelaksanaan
kegiatan
laboratorium,
sebaliknya
keterbatasan
komponen pendukung kegiatan laboratorium seperti alat, bahan, teknisi laboratorium sering menjadi alasan bagi pendidik untuk tidak melakukan kegiatan laboratorium. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rustaman (2005:147) bahwa seorang guru biologi sering pula mendapat tanggung jawab untuk mengelola kegiatan laboratorium karena di sekolah-sekolah jarang ada teknisi laboratorium. Selain keterbatasan tersebut, tidak semua percobaan dapat dilakukan secara nyata di laboratorium karena karakteristik percobaan itu sendiri yang melibatkan
10
11
konsep-konsep bersifat proses dan berlangsung dalam rentang waktu cukup lama, sehingga sulit diamati secara langsung. Oleh karena itu, diperlukan sebuah alternatif agar kegiatan eksperimen untuk konsep-konsep bersifat proses yang sulit diamati secara langsung dapat dilakukan. Perkembangan teknologi informasi menyediakan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan praktikum pada konsep-konsep yang bersifat proses dan berlangsung dalam rentang waktu cukup lama tersebut, melalui bantuan animasi komputer yang dapat mensimulasikan secara offline ataupun online. Konsep virtual laboratory menurut Harms (2000) dapat dibedakan menjadi dua konsep utama yaitu: 1) konstelasi percobaan diganti dengan model komputer, berupa simulasi yang mewakili percobaan laboratorium nyata dalam bentuk semirip mungkin disebut virtual lab. 2) eksperimen laboratorium dapat disebut virtual ketika percobaan dikendalikan melalui komputer, yang dihubungkan ke peralatan laboratorium yang sebenarnya melalui jaringan disebut remote lab. Berdasarkan pengembangannya, virtual labs dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) laboratorium virtual berbasis teori (theory-based virtual laboratory), jika teori yang ada untuk fenomena tersebut digunakan untuk mengembangkan sebuah laboratorium virtual. 2) laboratorium virtual berbasis eksperimental (experimentally-based virtual laboratory), salah satu alat ukur eksperimen dinyatakan dalam bentuk digital dan mengkombinasikannya dengan pengguna, dan 3) laboratorium virtual hibrida (hybrid virtual laboratory) merupakan jenis virtual laboratory yang memadukan keduanya (Harms, 2000).
12
Praktikum virtual pada pembelajaran mekanisme evolusi dalam penelitian ini adalah jenis laboratorium virtual hibrida (hybrid virtual laboratory), sehingga dapat menggabungkan teori dan eksperimen. Selain itu juga, mahasiswa dapat menerapkan metode ilmiah dengan ketelitian yang lengkap untuk setiap fenomena yang mereka hadapi. Pembelajaran berbasis praktikum virtual ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan kegiatan praktikum secara offline, menjadikan pembelajaran lebih efektif karena mahasiswa dapat belajar sendiri maupun berkelompok secara aktif dan bermakna. Pembelajaran berupa simulasi kegiatan praktikum ini tidak hanya memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar secara visual, namun secara auditorial dan kinestetik sederhana. Hal ini didukung oleh pernyataan Mickell (2007) The virtual laboratory experience combines visual and auditory modalities and requires students to be actively involved, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dengan demikian, pembelajaran melalui simulasi kegiatan praktikum dapat membantu mahasiswa yang belajar dengan memproses informasi secara visual, auditorial, kinestetik sederhana ataupun kombinasi dari ketiganya. Namun, penggunaan praktikum virtual ini memiliki beberapa kelemahan yaitu biaya pembuatan yang cukup mahal (Finkelstein, dkk., 2005), kadang menampilkan simulasi agar kelihatan bagus dan hanya membingungkan siswa, tidak bermanfaat bagi assesmen dalam melihat kemampuan siswa, simulasi kadang-kadang membimbing siswa ke jawaban benar tetapi kadang-kadang tidak (Dancy dan Beichner, 2004), hanya dapat mengukur keterampilan penggunaan
13
komputer saja dan tidak dapat mengukur kemampuan mekanik, simulasi komputer juga tidak meningkatkan kreativitas siswa (Michael, 2001).
B. Disposisi dan Kemampuan Berpikir Kritis Disposisi dan kemampuan berpikir kritis sebagai salah satu aspek karakter bangsa yang perlu dikembangkan dalam diri mahasiswa calon guru. Menurut Musfiroh, T (Suciptoardi, 2010) karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviour), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill). Karakter merupakan suatu kualitas pribadi yang bersifat unik yang menjadikan sikap atau perilaku seseorang yang satu berbeda dengan yang lain, bersifat dinamis (Sekum BKKKS Jatim, 2009) sehingga walaupun tidak mudah, karakter dapat berubah dari suatu periode waktu tertentu ke periode lainnya mengikuti perkembangan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di era globalisasi saat ini, menuntut pengembangan dan peningkatan kualitas diri agar tidak tertinggal atau menjadi pribadi yang terbelakang. Setiap anggota masyarakat Indonesia haruslah berkualitas, memiliki kemampuan berpikir dan berkomunikasi, cara hidup, dan sikap yang baik agar tidak terseret bahkan tenggelam dalam arus globalisasi yang cenderung memberikan dampak terhadap pergeseran budaya. Pergeseran budaya ini dapat kita hindari dengan mempertahankan dan mengembangkan karakter bangsa, diantaranya mampu berpikir tingkat tinggi sehingga dapat menyikapi secara kritis dan bijak berbagai informasi baru. Menurut Liliasari (2010: 457) cara umum berpikir dianggap sebagai suatu proses
14
kognitif, suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Proses berpikir dihubungkan dengan suatu pola perilaku yang lain dan memerlukan keterlibatan aktif pemikir melalui hubungan kompleks yang dikembangkan melalui kegiatan berpikir. Hubungan ini dapat saling terkait dengan struktur yang mapan dan dapat diekspresikan oleh pemikir melalui bermacam-macam cara. Jadi berpikir merupakan upaya yang kompleks dan reflektif, bahkan juga pengalaman yang kreatif (Presseisen dalam Costa, 1985). Banyak ragam pola berpikir yang dapat dikembangkan, mulai dari berpikir dasar hingga berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Menurut Costa (1985) terdapat empat pola berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, pemecahan masalah, dan pengambilan kesimpulan. Diantara empat pola berpikir tingkat tinggi tersebut, berpikir kritis mendasari tiga pola pikir yang lain. Dengan demikian, berpikir kritis perlu dikuasai terlebih dahulu sebelum mencapai ketiga pola berpikir tingkat tinggi yang lain. Berpikir kritis merupakan suatu proses sehingga seseorang mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat dengan mudah dijawab dan tidak tersedia informasi yang relevan (Inch, et al. 2006: 5). Kemampuan berpikir kritis memerlukan pertimbangan, seseorang yang berpikir kritis tentang keadaan tidak akan puas dengan solusi yang nyata atau jelas tapi akan menangguhkan penilaian sementara mencari argumen yang relevan, fakta, dan alasan yang mendukung pengambilan keputusan yang baik. Menurut Quitadamo (2008:328) berpikir kritis dibedakan menjadi kemampuan dan kecenderungan perilaku berpikir kritis seperti keingintahuan,
15
berpikiran terbuka. Kemampuan berpikir kritis merupakan aspek-aspek intelektual dalam berpikir kritis, sedangkan watak/disposisi berpikir kritis merupakan kecenderungan untuk berpikir kritis. Kedua komponen tersebut saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Kecenderungan perilaku kritis menurut Norris dan Ennis, 1989 (Stiggins, 1994:241) dikenal juga sebagai “critical spirit”, atau kecenderungan untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis ketika diperlukan. Disposisi/watak berpikir kritis kemudian dikembangkan oleh Facione, et al (1995), mengelompokkan watak/disposisi kemampuan berpikir kritis menjadi tujuh indikator yaitu mencari kebenaran (truth-seeking), berpikir terbuka (openmindeness), kemampuan menganalisis (Analyticity), kemampuan sistematis (Systematicity), kepercayaan diri (Self confident), rasa ingin tahu (Inquisitiveness), dan kedewasaan kognitif (Cognitive maturity). Berikut ini tabel yang menunjukkan uraian dan indikator untuk ketujuh watak/disposisi berpikir kritis menurut Facione, et al (1995). Tabel 2.1. Watak (Disposition) Berpikir Kritis Menurut Facione, et al (1995) No Disposisi Berpikir Kritis 1 Mencari kebenaran (truth-seeking) Rasa ingin tahu mencakup kecenderungan untuk tertarik, menyelidiki, menemukan masalah, dan kemampuan merumuskan pertanyaan
a. b. c.
d.
2
Berpikir terbuka (open-mindeness) Berpikiran terbuka dan toleran
a.
Indikator Keinginan mencari kebenaran Berani mengajukan pertanyaan Jujur dan objektif menekuni penelitian meskipun hasil penelitian tidak didukung oleh pendapat yang sudah disepakati sebelumnya Secara terus menerus mengevaluasi informasi baru dan fakta Mengeksplorasi pandangan alternatif
16
No
3
4
5
Disposisi Berpikir Kritis terhadap perbedaan pandangan dengan memiliki kepekaan terhadap kemungkinan terjadinya bias Kemampuan menganalisis (Analycity) Waspada terhadap situasi yang memiliki potensi bermasalah, mengantisipasi kemungkinan hasil dan konsekuensi, menghargai penerapan pemikiran dan penggunaan bukti Kemampuan sistemmatis (Systematicity) Mengorganisasikan, mengatur, focus dan rajin melakukan penyelidikan Kepercayaan diri (Self confident) Tingkat kepercayaan pada proses penalaran diri sendiri
6
Rasa ingin tahu (Inquisitiveness) Rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar
7
Kedewasaan (Maturity) Bijaksana dalam membuat keputusan
Indikator b. Menghargai dan memahami berbagai pendapat
a. Menerapkan pemikiran dan penggunaan bukti untuk menyelesaikan masalah b. Mengantisipasi potensi konsepsi atau kesulitan dalam pelaksanaan c. Menghubungkan hasil pengamatan dengan pengetahuan dasar secara teoritis d. Mengorganisasikan pendekatan untuk menyelesaikan masalah e. Memiliki kepekaan, focus, dan teliti a. Mencari dan mengevaluasi penalaran b. Kecenderungan mempertimbangkan perlu tidaknya mengajukan pertanyaan a. Terbuka menilai informasi b. Keinginan untuk belajar meskipun aplikasi pengetahuan tersebut belum terlihat a. Menggunakan pendekatan masalah, penyelidikan, dan membuat kesimpulan dengan sense bahwa pada masalah terdapat suatu hal yang keliru, suatu kondisi terdapat lebih dari satu pilihan masuk akal b. Memutuskan dengan menggunakan standar dasar, konteks dan bukti Sumber: Facione. et al,. (1995).
17
Adapun untuk kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan dalam penelitian ini, mengacu pada kurikulum berpikir kritis yang dikemukakan Ennis (1985), terdapat lima tahap kemampuan berpikir kritis yaitu memberikan penjelasan sederhana terhadap masalah (elementary clarification), mengumpulkan informasi
dasar (basic information),
membuat
kesimpulan
(inferences),
memberikan penjelasan lebih lanjut (advanced clarrification), serta mengatur strategi dan taktik (strategy and tactics). Berikut ini tabel yang menunjukkan uraian untuk kelima tahap kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (1985). Tabel 2.2. Kemampuan Berpikir Kritis No 1
2
3 4
5
Sub Kemampuan Berpikir Kritis yang Dikembangkan dalam Penelitian Memberikan penjelasan a. Fokus pada pertanyaan sederhana terhadap masalah b. Menganalisis argumen (elementary clarification) c. Menanyakan dan menjawab pertanyaan yang menuntut penjelasan dan tantangan Mengumpulkan informasi a. Menilai kredibilitas kriteria sumber dasar (basic information) b. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi Membuat kesimpulan a. Membuat dan menilai kesimpulan (inference) b. Melakukan dan menilai induksi Memberikan penjelasan lebih a. Mendefinisikan istilah, lanjut (advanced clarification) mempertimbangkan definisi b. Mengidentifikasi asumsi Mengatur strategi dan taktik a. Memutuskan suatu tindakan (strategy and tactics) b. Mengkomunikasikan keputusan kepada orang lain Sumber: Ennis (1985) Kemampuan Berpikir Kritis
C. Sikap Imiah Belajar
tidak hanya sekedar aspek kognitif, sebab aspek afektif pun
merupakan bagian yang sangat penting. Lang & Evans (2006) menyatakan bahwa ranah afektif lebih penting daripada aspek kognitif, meskipun saat ini sekolah
18
cenderung lebih menghargai peningkatan akademik (aspek kognitif) dibandingkan dengan aspek afektif. Menurut Anderson (2001) salah satu hasil afektif (affective outcome) adalah sikap (attitude), sikap merupakan suatu kemampuan internal yang sangat berperan dalam mengambil tindakan (action), terutama bila dihadapkan pada beberapa alternatif (Winkel, 1996). Berdasarkan hal tersebut, meskipun sikap dapat dipelajari namun bersifat personal, karena seseorang perlu menginternalisasi dan menerima suatu nilai dengan mengalami sendiri pengalaman tersebut (Lang &Evan, 2006). Pendidikan sains harus melahirkan sikap dan nilai-nilai ilmiah, karena sangat penting dimiliki dan diperlihatkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, sikap ilmiah yang dikembangkan oleh Depdiknas (2002) dalam pembelajaran antara lain: berani dan santun dalam mengajukan pertanyaan dan berargumentasi, ingin tahu, peduli lingkungan, mau bekerja sama, terbuka, tekun, cermat, kreatif dan inovatif, kritis, disiplin, jujur, objektif, dan beretos kerja tinggi. Carin (1997) menyatakan bahwa terdapat enam indikator sikap ilmiah yang diadaptasi dari Science for all Americans: Project 2061: 1. Memiliki rasa ingin tahu (being curious), para saintis dan siswa dikendalikan oleh rasa ingin tahu, yaitu suatu keingintahuan yang sangat kuat untuk mengetahui dan memahami alam sekitar. 2. Mengutamakan bukti (insisting on evidence), sainstis mengutamakan bukti untuk mendukung kesimpulan dan klaimnya 3. Bersikap skeptis (being skeptical) di dalam bersains, saintis maupun siswa adakalanya perlu merasa ragu atas kesimpulan yang dibuatnya, yaitu pada
19
saat menemukan bukti-bukti baru yang dapat mengubah kesimpulannya tersebut. 4. Menerima perbedaan (Accepting ambiguity), saintis dan siswa harus bisa menerima perbedaan, perbedaan sudut pandang harus dihormati sampai menemukan kecocokan dengan data. 5. Dapat bekerja sama (being cooperative), selain dapat bekerja sama memecahkan masalah pun merupakan sikap ilmiah lain yang penting dimiliki oleh saintis maupun siswa. 6. Bersikap positif terhadap kegagalan (taking a positive approach to failure), kesalahan dan kegagalan adalah konsekuensi alamiah yang lazim dalam berinkuiri. Saintis dan siswa harus bisa bersikap positif terhadap kegagalan dan dijadikan umpan balik untuk perbaikan. Sikap-sikap tersebut akan muncul pada diri mahasiswa apabila secara kontinu dikuatkan (Lang & Evans, 2006). Hal tersebut juga didukung oleh Ornstein (Duran & Ozdemir, 2010) menyatakan bahwa pada saat guru secara teratur menggunakan kegiatan metode ilmiah, meskipun dengan alat dan bahan yang murah/seadanya, hal tersebut dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap sains. Misalkan dalam mengembangkan sikap memiliki rasa ingin tahu (being corious), maka pembelajaran harus menampilkan materi atau informasi yang berhubungan dengan keseharian siswa dan materi tersebut tidak bersifat umum (masih perlu penafsiran) serta sedikit kontradiktif (Lumsden, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah interaksi sosial yang terjadi di dalam dan di luar kelompok dapat mempengaruhi atau
20
membentuk sikap baru, yaitu: 1) pengalaman pribadi bagi seseorang akan memberikan kesan terhadap sesuatu; 2) kebudayaan tempat kita tinggal akan berpengaruh terhadap sikap; 3) orang lain yang dianggap penting akan memberikan pengaruh terhadap sikap; 4) media massa baik cetak maupun elektronik baik dari pemberitahuan maupun tulisan narasi memberikan persepsi dan sikap terhadap sesuatu; 5) institusi/lembaga pendidikan dan agama meletakan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu; 6) faktor emosional suatu sikap yang dilandasi oleh emosi, fungsinya sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Gerungan, 1988: 166).
D. Penguasaan Konsep Penguasaan diartikan sebagai pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan, kepandaian dan sebagainya (Badudu dan Zain, 1994: 726). Pemahaman adalah tingkatan kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini, siswa tidak hanya hapal secara verbal tetapi memahami konsep dari masalah atau fakta (Purwanto, 2008: 44). Berdasarkan pengertian tersebut dinyatakan bahwa penguasaan merupakan pemahamanan yang bukan saja berarti mengetahui atau mengingat suatu hal yang dipelajari akan tetapi mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain atau dengan kata-kata sendiri mengenai materi yang telah dipelajari sehingga mudah dimengerti namun tidak merubah arti yang dikandungnya.
21
Konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri, karakter atau atribut yang sama dari sekelompok objek atau fakta baik suatu proses, peristiwa, benda atau fenomena di alam yang membedakannya dari kelompok lainnya (Rustaman et al, 2005: 51). Konsep diperoleh melalui dua cara yaitu melalui formasi dan asimilasi konsep. Formasi konsep erat kaitannya dengan perolehan ilmu melalui proses induktif, sedangkan perolehan konsep melalui asimilasi erat kaitannya dengan proses deduktif (Ausubel dalam Dahar, 1996). Penguasaan konsep dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengungkapkan kembali suatu objek tertentu berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki oleh objek tersebut. Penguasaan konsep dapat diperoleh dari pengalaman dan proses belajar, merupakan bagian dari hasil dalam komponen pembelajaran. Konsep, prinsip dan struktur pengetahuan dan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang penting pada ranah kognitif. Dengan demikian penguasaan konsep merupakan bagian dari hasil belajar pada ranah kognitif. Keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan dan kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Menurut West dan Pines (Rustaman et al, 2005: 171) belajar melibatkan pembentukan makna oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengar. Belajar kognitif bertujuan mengubah pemahaman siswa tentang konsep yang dipelajari. Penguasaan konsep sebagai hasil belajar dapat diketahui dengan melakukan tes yang dapat menunjukkan pencapaian keberhasilan seseorang dari proses belajar, yang berupa pemahaman atau daya serap terhadap materi yang
22
diberikan selama proses belajar. Menurut Purwanto (1990: 102) hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri siswa dan dari luar diri siswa (lingkungan). Faktor dari dalam (intrinsik) terdiri dari faktor kondisi fisik dan psikologi, sedangkan faktor dari luar (ekstrinsik) berupa lingkungan yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat.
E. Pembelajaran Mekanisme Evolusi Evolusi merupakan kajian biologi tentang perubahan pada makhluk hidup sebagai interaksi dengan lingkungannya, menurut Krukonis dan Barr (2008: 3-4); Campbell, et al (2008:452) evolusi merupakan perubahan khusus pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya, terjadi dalam rentang waktu cukup panjang. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk hidup, dan kemudian menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Menurut Campbell, et al (2008: 469) setiap makhluk hidup memiliki variasi genotip yang unik dan tercermin pada variasi fenotipnya. Fenotip merupakan hasil interaksi antara genotip yang diwariskan dengan berbagai pengaruh lingkungan, sehingga tidak semua variasi fenotip dapat diwariskan, melainkan hanya variasi genetiknya saja. Variasi genetik pada suatu individu memberikan kontribusi terhadap variasi dalam suatu populasi, sehingga suatu populasi dapat terdiri atas dua atau lebih bentuk sifat yang sangat berbeda dan memiliki frekuensi tertentu.
23
Variasi genetik dapat disebabkan oleh mutasi dan rekombinasi seksual, kedua proses tersebut merupakan proses acak sehingga dapat menguntungkan ataupun merugikan. Mutasi dan rekombinasi seksual dapat menciptakan variasi dalam komposisi genetik suatu populasi, menurut Krukonis dan Barr (2008:64) tanpa mutasi tidak akan ada variasi yang terjadi melalui seleksi alam. Variasi hasil mutasi yang tidak secara selektif tidak menguntungkan akan disingkirkan dari populasi, sedangkan variasi hasil mutasi yang menguntungkan menyebabkan suatu organisme dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan dan meningkatkan keberhasilan reproduksinya. Menurut Campbell, et al (2008: 472) hampir semua variasi genetik dalam suatu populasi merupakan hasil dari rekombinasi unik alel melalui reproduksi seksualnya. Reproduksi seksual akan mengacak alel dan membaginya secara acak untuk menentukan genotip suatu individu, selain itu pada reproduksi seksual terdapat pindah silang yang terjadi secara acak terhadap lokus gen-gen tertentu. Variasi dapat pula disebabkan karena suatu populasi organisme menempati daerah geografi berbeda. Suatu populasi organisme akan melakukan interaksi terhadap perbedaan lingkungannya, sehingga terdapat perbedaan variasi dalam ataupun antar populasi. Lingkungan sebagai tempat tinggal makhluk hidup senantiasa berubah, sehingga diikuti pula oleh perubahan pada makhluk hidup yang
menempati
lingkungan
tersebut
sebagai
proses
adaptasi
untuk
mempertahankan diri (Krukonis & Barr, 2008: 60). Perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu organisme disebabkan pula oleh seleksi alam. Namun, dampak evolusioner seleksi alam hanya tampak dalam
24
melacak bagaimana suatu populasi organisme berubah seiring dengan berjalannya waktu (Campbell, et al., 2008: 468). Dengan demikian populasi yang mengalami evolusi (evolusi populasi), sehingga beberapa sifat akan lebih banyak ditemukan dalam keseluruhan suatu populasi sementara sifat lainnya akan berkurang. Populasi merupakan kelompok individu sejenis yang dapat mengadakan perkawinan dan menempati suatu daerah yang sama pada waktu tertentu, memiliki fungsi yang bersama secara ekologis maupun evolutif (Johnson & Raven, 2002: 496; Campbell, et al., 2008: 472). Pengertian populasi secara genetik berbeda dengan tolak ukur populasi dalam ekologi, dalam genetika populasi semua individu yang sama diartikan sebagai suatu populasi. Suatu populasi dapat dibedakan dengan populasi lainnya secara genetika dari adanya suatu alel (pasangan gen), individu-individu yang membentuk suatu populasi pun pada umumnya tidak pernah identik, sehingga suatu populasi mempunyai variasi yang cukup besar. Dengan demikian, genetika populasi diartikan sebagai genotip atau gen dari seluruh populasi (gene pool) bukan individu (Johnson, & Raven, 2002: 424). Populasi dikatakan mengalami evolusi jika terjadi perubahan struktur genetik dari suatu populasi atau perubahan alel dan genotip dalam gen pool suatu populasi pada generasi ke generasi berikutnya (Campbell, et al., 2008: 472). Genetika populasi menggambarkan hubungan matematis dari frekuensi gen dalam populasi yang menunjukkan perbandingan alel suatu gen. Menurut hukum kesetimbangan Hardy-Weinberg dalam suatu kondisi tertentu yang stabil, frekuensi alel dan genotip suatu populasi yang berkembang biak secara seksual
25
akan tetap konstan dari generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, berikut ini syarat-syarat yang diperlukan hukum kesetimbangan Hardy-Weinberg untuk tetap dipertahankan dalam populasi (Johnson, & Raven, 2002: 424; Campbell, et al., 2008: 474): 1. Ukuran populasi harus sangat besar, sehingga hanyutan genetik yang merupakan fluktuasi acak dalam kumpulan gen tidak dapat mengubah, atau hanya sedikit mengubah frekuensi alel pada populasi besar tersebut. 2. Terisolasi dari populasi lain, sehingga kumpulan gen tidak berubah akibat aliran gen berupa pemindahan alel antar populasi melalui perpindahan individu atau gamet. 3. Tidak terjadi mutasi, karena mutasi akan mengubah kumpulan gen dengan cara mengubah satu alel menjadi alel yang lain. 4. Perkawinan terjadi secara acak/random. 5. Tidak terjadi seleksi alam. Menurut Campbell, et al., (2008: 472) pada spesies diploid, masingmasing lokus diwakili dua kali dalam genom suatu individu, bisa bersifat homozigot (memiliki dua alel yang sama untuk suatu sifat tertentu) atau heterozigot (memiliki dua alel yang berbeda untuk suatu sifat tertentu) untuk lokus homolog tersebut. Umumnya, terdapat dua atau lebih alel untuk suatu gen dengan frekuensi relatif dalam kumpulan gen sehingga persamaan kesetimbangan Hardy-Weinberg secara matematis (Johnson, & Raven, 2002: 424; Campbell, et al., 2008: 473; Krukonis dan Barr, 2008: 71) dinyatakan sebagai berikut: + +
=1 =1
+ + =1 + + =1
26
p + 2pq + q = 1 Keterangan: p = frekuensi satu alel q = frekuensi alel lainnya r = frekuensi alel lainnya
p + 2pr + q + 2qr + 2pq + r = 1 p2, q2, r2 = individu homozigot 2pq, 2pr, 2qr = individu heterozigot
Nilai keseimbangan frekuensi alel dan genotip dari persamaan HardyWeinberg tersebut memberikan dasar untuk melacak struktur genetik suatu populasi selama beberapa generasi. Jika frekuensi alel atau genotip menyimpang dari nilai yang diharapkan dari kesetimbangan Hardy-Weinberg, maka populasi itu dikatakan sedang berevolusi (Johnson & Raven, 2002: 424). Perubahan frekuensi alel atau genotip dalam suatu populasi dari satu generasi ke generasi berikutnya dikenal sebagai evolusi pada tingkat populasi, sementara itu perubahan dalam suatu kumpulan gen tersebut menyebabkan evolusi dalam skala kecil, lebih spesifik dikenal sebagai mikroevolusi (Campbell, et al., 2008: 468). Mikroevolusi merupakan evolusi dalam skala yang paling kecil, berupa perubahan dalam susunan genetik suatu populasi. Meskipun frekuensi alel yang berubah hanya terjadi pada sebuah lokus gen tunggal (mutasi gen), mikroevolusi dapat terjadi (Johnson & Raven, 2002: 425). Mutasi merupakan perubahan pada urutan DNA sel genom dan diakibatkan oleh mutagen seperti radiasi, virus, bahan kimia mutagen, serta kesalahan selama proses meiosis ataupun replikasi DNA (Campbell, et al., 2008:470). Mutagen-mutagen tersebut menghasilkan beberapa jenis perubahan pada urutan DNA, sehingga mengakibatkan perubahan produk gen, mencegah gen berfungsi, ataupun tidak berfungsi sama sekali. Suatu mutasi baru yang diturunkan dalam gamet dapat mengubah kumpulan gen suatu populasi dengan
27
cara menggantikan satu alel dengan alel lain, sehingga terjadi perubahan frekuensi alel. Peristiwa mutasi relatif umum dan dapat terjadi secara alami maupun buatan, 70% mutasi yang terjadi memiliki efek yang merugikan dan sisanya netral ataupun sedikit menguntungkan. Perubahan frekuensi alel dan genotip suatu populasi dapat pula disebabkan oleh seleksi alam. Seleksi alam merupakan mekanisme evolusi adaptif yang menggabungkan peluang pembentukan variasi genetik baru (secara alaminya melalui mutasi) dan pemisahan beberapa alel melalui seleksi alam. Akibat pemisahan beberapa alel tersebut, menyebabkan seleksi alam secara konsisten meningkatkan frekuensi alel yang memberikan keuntungan reproduksi dan memudahkan evolusi adaptif (Campbell, et al., 2008:479). Proses seleksi alam dapat mengakibatkan perubahan frekuensi alel yang terdapat pada suatu generasi, disebabkan oleh perbedaan ketahanan hidup dari suatu alel tertentu sebagai hasil seleksi alam yang mempertahankan genotip adaptif dengan lingkungannya. Pengaruh seleksi alam pada berbagai sifat dapat menstabilkan, mengarahkan, atau menganekaragamkan. Berdasarkan hal tersebut, pada Gambar 2.1 terdapat tiga cara seleksi alam yaitu seleksi penstabilan, seleksi direksional, dan seleksi penganekaragaman (Krukonis & Barr, 2008: 75; Campbell, et al, 2008: 480-481). 1. Seleksi penstabilan bekerja pada fenotip ekstrim dan menyukai varian antara yang jauh lebih umum, sehingga cara seleksi ini mengurangi variasi dan mempertahankan keadaan yang tetap.
28
2. Seleksi direksional sering ditemukan jika terjadi perubahan lingkungan atau terjadi migrasi ke suatu daerah yang keadaan lingkungannya berbeda. Seleksi direksional akan menggeser kurva ke satu arah dengan memilih sifat yang disukai pada mulanya relative jarang. 3. Seleksi penganekaragaman biasanya terjadi pada keadaan lingkungan yang bervariasi, sehingga individu yang berada diantara kedua sifat ekstrem lebih disukai. Seleksi penganekaragaman dapat menghasilkan polimorfisme seimbang, memisahkan dua atau lebih fenotip yang adaptif terhadap perbedaan lingkungan.
Frekuensi individu
Populasi yang telah Populasi berevolusi awal
4.
(1) Seleksi Penstabilan
Populasi awal
Fenotip (Warna tikus)
(2) Seleksi direksional
Gambar 2.1. Tiga cara seleksi alam (Sumber: Campbell, et al., 2008: 480)
(3) Seleksi penganekaragaman
29
Menurut Krukonis dan Barr, (2008: 75) lingkungan fisik (abiotik), lingkungan biologis (biotik), dan lingkungan sosial akan selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga makhluk hidup termasuk manusia perlu melakukan penyesuaian yang dikenal dengan adaptasi. Lingkungan akan menstimulus makhluk hidup yang menempatinya untuk melakukan perubahan struktural, fungsional, dan tingkah laku sebagai bentuk adaptasi. Jika perubahan yang terjadi pada struktur tubuh tertentu bersifat permanen dan diwariskan, maka adaptasi demikian dikenal sebagai adaptasi genetik. Namun, jika perubahan yang terjadi pada struktur atau fungsi tersebut bersifat sementara dan tidak diwariskan maka perubahan tersebut dikenal sebagai adaptasi somatis. Adaptasi merupakan hasil akhir seleksi alam dari keanekaragaman yang dimiliki oleh suatu organisme, semakin besar keanekaragamannya maka kemampuan untuk bertahan hidup menjadi semakin besar pula.
6. Hasil Penelitian yang Relevan Hasil penelitian yang relevan dari Ismayani (2009) penggunaan software simulasi laboratorium virtual HPLC dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis
untuk
semua
indikator
yang
dikembangkan,
terutama
indikator
mengidentifikasi atau merumuskan sebuah pertanyaan dan hubungan sebab akibat. Penelitian Susanti (2009) penggunaan laboratorium virtual optik dalam kegiatan praktikum inkuiriih lebih meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan proses sains mahasiswa calon guru dibandingkan kegiatan praktikum optik menggunakan laboratorium.
30
Cunningham, et al (2006) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis dan pemahaman siswa SMP, SMA, dan mahasiswa dapat meningkat terhadap prinsip
dasar
dan
praktis
elektroforesis
DNA
dengan
pengalaman
mengoptimalisasikan teknik elektroforesis melalui virtual lab berbasis inquiri. Menurut White, et al (2007) mahasiswa mampu menggunakan VGL (virtual Genetic laboratory) untuk menguji hipotesis dengan cara logis dan sistematis. Menurut Maldarelli (2009) terdapat peningkatan pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman teknik laboratorium Biologi umum yang signifikan pada mahasiswa setelah melihat demonstrasi virtual lab. Dengan demikian, kegiatan praktikum virtual tidak dianggap sebagai pengganti atau pesaing untuk laboratorium nyata, tetapi lebih sebagai peluang baru bagi pembelajaran dengan materi yang tidak terealisasi dalam laboratorium nyata.