BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI PENELANTARAN DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL INDONESIA A.
Penelantaran Anak Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bila dikaitkan dengan hukum nasional Indonesia, sebenarnya masalah
penelantaran anak sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaturan di dalam KUHP yang berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut: a) Pasal 304 KUHP “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Yang dihukum menurut pasal ini ialah orang yang sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku atau karena perjanjian, misalnya orang tua membiarkan anaknya dalam keadaan sengsara, demikian pun wali terhadap anak peliharaannya. 39 b) Pasal 305 KUHP “Barang siapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan
39
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 223.
Universitas Sumatera Utara
diri daripadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.” “Menaruhkan anak” = membuang anak kecil artinya meninggalkan anak kecil yang belum berumur 7 tahun di suatu tempat, sehingga dapat ditemukan oleh orang lain dengan tidak mengetahui siapa orang tuanya, maksudnya ialah untuk melepaskan tanggung jawab atas anak itu, dan boleh dilakukan oleh siapa saja. 40 c) Pasal 306 KUHP (1) Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan. (2) Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun. Luka berat atau luka parah ialah antara lain 41: 1.
Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut.
2.
Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan.
3.
Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indera.
4.
Kudung (romping) dalam teks bahasa Belandanya ‘verminking’, cacat sehingga jelek rupanya karena ada sesuatu anggota badan yang putus.
5.
Lumpuh (verlamming).
6.
Berubah pikiran lebih dari empat minggu.
7.
Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.
40 41
R. Soesilo, op.cit., hlm. 224. R. Soesilo, op.cit., hlm. 98.
Universitas Sumatera Utara
Selain dari 7 macam tersebut di atas menurut yurisprudensi termasuk pula segala luka yang dengan kata sehari-hari disebut ‘luka berat’. d) Pasal 307 KUHP “Jika yang melakukan kejahatan berdasarkan pasal 305 adalah bapak atau ibu dari anak itu, maka pidana yang ditentukan dalam pasal 305 dan 306 dapat ditambah dengan sepertiga.” Perbedaan Pasal 305 dengan Pasal 307 adalah Pasal 305 mengancam hukuman kepada siapa saja yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedangkan Pasal 307 menghukum bapak atau ibu yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan anak dalam kesengsaraan, sedang mereka wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada anak tersebut. e) Pasal 308 KUHP “Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri dari padanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh.” Yang dihukum di sini ialah seorang ibu, baik kawin maupun tidak, yang dengan sengaja membuat anaknya pada waktu melahirkan atau tidak beberapa lama sesudah melahirkan karena takut ketahuan, bahwa ia sudah melahirkan anak. 42
42
R. Soesilo, op.cit., hlm. 242.
Universitas Sumatera Utara
Aturan-aturan dalam KUHP memiliki keterbatasan dalam memberantas penelantaran anak. Apabila dicermati lebih lanjut, di dalam pasal-pasal KUHP tersebut tidak terdapat satu pasal pun yang memberikan perlindungan kepada korban, khususnya anak yang diterlantarkan. Akibat negatif adanya sistem hukum yang demikian adalah anak yang menjadi korban penelantaran tidak terlindungi hak-haknya. Keterbatasan dalam ketentuan yang terdapat dalam KUHP maka dilakukan pembaharuan pasal-pasal yang terkandung di dalamnya. Dibentuklah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan diharapkan dapat menjadi acuan dalam memberantas tindak pidana penelantaran anak. Pengaturan mengenai kejahatan penelantaran anak secara khusus diatur di dalam bab mengenai Tindak Pidana Menelantarkan Orang, terdiri atas 5 pasal. a) Pasal 532 RUU KUHP Tahun 2012 (1) Setiap orang yang mengakibatkan atau membiarkan orang dalam keadaan terlantar, sedangkan menurut hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian yang diadakannya wajib memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang yang dalam keadaan terlantar tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh seorang pejabat yang mempunyai kewajiban untuk merawat atau memelihara orang terlantar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori III dan banyak Kategori IV. (3) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan: a. pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada orang yang diterlantarkan; atau
Universitas Sumatera Utara
b. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diterlantarkan. (4) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan: a. pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada orang yang diterlantarkan; atau b. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diterlantarkan. Berdasarkan ketentuan ini, hakim perlu meneliti tiap-tiap kejadian, apakah hubungan antara tertuduh dan orang yang berada dalam keadaan terlantar memang dikuasai oleh hukum atau perjanjian yang mewajibkan tertuduh memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang yang terlantar tersebut. 43 b) Pasal 533 RUU KUHP Tahun 2012 (1) Setiap orang yang meninggalkan anak yang belum berumur 7 (tujuh) tahun dengan maksud supaya ditemukan orang lain, sehingga dapat melepaskan tanggung jawab atas anak tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan: a. pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada anak yang ditinggalkan; atau b. pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya anak yang ditinggalkan. Bila rumusan Pasal 533 ayat (1) dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari: 1. setiap orang. 2. yang meninggalkan anak yang belum berumur 7 (tujuh) tahun. 3. dengan maksud supaya ditemukan orang lain. 4. dapat melepaskan tanggung jawab atas anak tersebut. 43
Lihat Bagian Penjelasan Pasal 532 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2012.
Universitas Sumatera Utara
c) Pasal 534 RUU KUHP Tahun 2012 “Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain, dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, maksimum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 533 dikurangi ½ (satu per dua).” Ketentuan ini memuat peringanan ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa rasa takut seseorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah dianggap suatu penderitaan. 44 B.
Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat (1), fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan adanya jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas berarti anak belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial menjadi kewajiban baik dari orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak terutama aspek kesejahteraannya. Dengan dipenuhi aspek kesejahteraannya, maka anak tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus yang 44
Lihat Bagian Penjelasan Pasal 534 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2012.
Universitas Sumatera Utara
dapat diharapkan sebagai tiang dan fondasi orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. 45 Pengaturan
di
dalam
Undang-Undang
Kesejahteraan
Anak
yang
berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut: a) Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 “Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar.” Menurut Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1984, terdapat beberapa karakteristik atau ciri-ciri anak terlantar yaitu: a. Tidak memiliki ayah, karena meninggal (yatim), atau ibu karena meninggal tanpa dibekali secara ekonomis untuk belajar, atau melanjutkan pelajaran pada pendidikan dasar. b. Orang tua sakit-sakitan dan tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Penghasilan tidak tetap dan sangat kecil serta tidak mampu membiayai sekolah anaknya. c. Orang tua yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap baik itu rumah sendiri maupun rumah sewaan. d. Tidak memiliki ibu dan bapak (yatim piatu), dan saudara, serta belum ada orang lain yang menjamin kelangsungan pendidikan pada tingkatan dasar dalam kehidupan anak.
45
Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: PTIK, 2014), hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak anak merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan peranan negara, maka tiap negara mengemban kewajiban yaitu melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghormati (to respect) hakhak anak. Berdasarkan kewajiban negara dimaksud maka sistem kesejahteraan anak dan keluarga diimplementasikan dalam kerangka kebijakan yang sifatnya berkesinambungan dari tingkat makro sampai mikro. 46 Hak-hak anak yang berkaitan dengan perlindungan penelantaran anak dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah sebagai berikut: b) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.” Asuhan ditujukan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar dan anak terlantar, dan bentuknya dapat berupa: (1) Penyuluhan, bimbingan dan bentuk lainnya yang diperlukan, (2) Penyantunan dan pengentasan anak, (3) Pemberian/peningkatan derajat kesehatan, (4) Pemberian/peningkatan kesempatan belajar, dan (5) Pemberian/peningkatan keterampilan. 47 c) Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.”
46
Mohammad Taufik Makarao, Weny Bukamo, dan Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 30. 47 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
Menurut W.J.S. Poerwadarminta, bahwa kata perlindungan mengandung arti: perbuatan, pertolongan, penjagaan kepada orang lain, misalnya memberi pertolongan kepada orang yang lemah. 48 d) Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 “Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.” Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup fisik dan sosial. 49 e) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 “Dalam keadaaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan.” Yang dimaksud dengan keadaan yang membahayakan adalah keadaan yang sudah mengancam jiwa manusia baik karena alam maupun perbuatan manusia. 50 C.
Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
48
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976),
hlm. 600. 49
Penjelasan Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 50 Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Universitas Sumatera Utara
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 51 Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata harus mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anak yang baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Hak asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan hukum positif mendukung pranata sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan seutuhnya tersebut. 52 Eksistensi sebuah hak asasi adalah mutlak dan tidak dapat ditanggalkan, memberikan sebuah benteng pertahanan terakhir melawan pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia. Pengaturan di dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut: a) Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. (2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan bentuk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia. 53
51
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 52 Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, op.cit., hlm. 11. 53 Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Universitas Sumatera Utara
Sesungguhnya keseluruhan pasal yang ada di dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia merupakan bentuk perlindungan terhadap anak, oleh karena anak adalah manusia. Undang-Undang ini juga menyebutkan pasal-pasal yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak. Hak-hak anak yang berkaitan dengan perlindungan penelantaran anak dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: b) Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.” Orangtua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan. c) Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 “Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya.” Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati.
Universitas Sumatera Utara
d) Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 “Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Frasa “wali” artinya orang atau badan hukum yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orangtua. 54 D.
Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat 54
Apong Herlina, dkk, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Jakarta: UNICEF, 2003), hlm. 52.
Universitas Sumatera Utara
sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dilahirkan sebagai bentuk pembaharuan hukum yang melindungi kelompok rentan atau tersubordinasi di wilayah domestik. Filosofi Undang-Undang ini semestinya menjadi pegangan dalam menggunakan dan mengimplementasikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memang mencakup suami, istri, anak, dan setiap orang yang ada dalam rumah tangga, namun ruh implementasinya mengacu pada ketimpangan relasi antara pelaku dengan korban. Penelantaran rumah tangga menjadi potensi tinggi kriminalisasi korban kekerasan dalam rumah tangga. Penting untuk memahami cara membaca dan mengimplementasikan undang-undang ini untuk menciptakan keadilan. Pengaturan di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut: a) Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.”
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 55 Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 56 Kekerasan seksual meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 57 b) Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Frasa penelantaran bermakna melalaikan kewajiban dalam lingkup rumah tangga, artinya melalaikan kewajiban suami, istri, anak dan terhadap orang yang ada di dalam rumah tangga. Menurut hukum yang berlaku ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang itu, maka kewajiban 55
Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 56 Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 57 Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Universitas Sumatera Utara
tersebut harus melihat pada hak dan kewajiban suami, istri, anak dan orang yang ada di dalamnya. Inti dari Pasal 9 Ayat (1) adalah jika seorang ayah dan ibu (orangtua) membiarkan seorang anak dalam keadaan tidak dirawat khususnya ketika mengalami sakit dan seorang suami atau sebaliknya membiarkan suatu keadaan yang sedemikian rupa di mana salah satunya sangat memerlukan pertolongan, perawatan dan pemeliharaan. Tentang Pasal 9 Ayat (2) menyangkut Hak Asasi Manusia karena setiap orang berhak untuk mengaktualisasikan diri dalam pergaulan hidup masyarakat dan bebas untuk mencari pekerjaan dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sepanjang tidak melanggar norma hukum dan norma agama. 58 c) Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal ini merupakan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berisi tentang sanksi pidana dan sanksi denda terhadap pelaku penelantaran dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi 59: a. suami, istri, dan anak;
58
Bangun Siregar, Unsur Pidana Penelantaran Rumah Tangga, 2011, http://apakabarsidimpuan.com/2011/01/ibu-syamsimar-dalimunthe-unsur-pidana-penelantaranrumah-tangga/, diakses tanggal 25 Februari 2015, pukul 16.14 WIB. 59 Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Universitas Sumatera Utara
b. orang-orang
yang
mempunyai
hubungan
keluarga
dengan
orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. E.
Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Potret situasi dan ragam permasalahan anak-anak di Indonesia makin
memprihatinkan. Berbagai penderitaan yang dialami anak-anak Indonesia telah menunjukkan bahwa hak hidup anak sebagai bagian integral dari hak asasi manusia telah terbiarkan, terancam tanpa penanganan dan solusi. Derita dan berbagai persoalan anak-anak tereliminasi dari lingkungan sosial yang agamais yang senantiasa menempatkan anak dalam posisi sakral yakni sebagai titipan dan anugerah Tuhan. Dan seharusnya pula negara dalam tanggung jawabnya secara politis dan yuridis yang diamanatkan konstitusi, tidak membiarkan dan menyerahkan begitu saja tanggung jawab perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak anak terhadap masyarakat dan keluarga. Sementara negara masih enggan menempatkan posisi anak-anak dalam kebijakan pembangunan sejajar dengan isu politik juga ekonomi. Akibatnya, posisi anak-anak berada di persimpangan lost generation. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menjawab
Universitas Sumatera Utara
derita anak-anak, khususnya anak yang membutuhkan perlindungan khusus, seringkali menempatkan anak sebagai persoalan domestik. 60 Pengaturan tentang penelantaran anak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut: a) Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 “Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.” Anak terlantar yaitu anak yang berusia 5-17 tahun yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial. b) Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman. Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. 61 c) Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 “Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga 60
Arist Merdeka Sirait dalam Mohammad Taufik Makarao, op.cit., hlm. 157. Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 61
Universitas Sumatera Utara
kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.” Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. 62 d) Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 “Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.” Yang dimaksud dengan frasa dalam lembaga adalah melalui sistem panti pemerintah dan panti swasta, sedangkan frasa di luar lembaga adalah sistem asuhan keluarga/perseorangan. 63 e) Pasal 57 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 “Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orangtuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.” Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 64 f) Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau 62
Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 63 Penjelasan Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 64 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Universitas Sumatera Utara
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.” Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. g) Pasal 71 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Perlakuan salah terhadap anak bisa dipicu oleh beberapa tekanan dalam keluarga, diantaranya berasal dari anak, orangtua, dan situasi. Pelaku dari tindak perlakuan salah terhadap anak biasanya adalah orang-orang yang terdekat seperti orang tua atau anggota keluarga lainnya juga orang di luar anggota keluarga. 65 h) Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 “Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Pasal ini merupakan ketentuan pidana dari Undang-Undang Perlindungan Anak yang berisi tentang sanksi pidana dan sanksi denda terhadap pelaku penelantaran anak. 65
Makalah Chid Abuse (Perlakuan Kasar Kepada Anak), 2010, http://kesmasunsoed.com/2010/06/makalah-child-abuse-perlakuan-kasar-kepada-anak.html, diakses tanggal 25 Februari 2015, pukul 11.52 WIB.
Universitas Sumatera Utara