31
BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1.
Pengertian dan Hukum Perjanjian
a.
Pengertian Perjanjian Untuk memahami tentang perjanjian perkawinan maka terlebih dahulu
haruslah dipahami pengertian dan hukum perjanjian pada umumnya.dari perjanjian dan dari perkawinan itu sendiri. Jika diuraikan satu persatu maka sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian didefenisikan sebagai: “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Abdul Kadir Mohammad merumuskan definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sebagai “suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 57 R. Subekti menyatakan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang berjanji untuk melaksanakan sesuatu yang dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan”.58
57 58
Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1992), hal. 78. R. Subekti, Op. Cit., hal. 1.
31
Universitas Sumatera Utara
32
Dari pengertian perjanjian inilah maka timbul suatu hubungan antara dua pihak yang dikenal dengan istilah perikatan. Perjanjian menimbulkan perikatan di antara dua pihak yang membuatnya. Perikatan dan perjanjian merupakan suatu hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, di mana suatu perikatan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, hanya dapat dibayangkan dalam alam fikiran kita, sedangkan perjanjian dapat dilihat dengan kasat mata dan dapat didengar juga. Sehingga dapat dikatakan bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret.59 Hubungan hukum antara dua pihak yang terikat di dalam suatu perjanjian inilah yang juga terlihat dari perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan, di mana adanya perjanjian yang dibuat oleh suami istri setelah perkawinan mereka menjadi dasar hukum bagi suami istri tersebut untuk mematuhi isi perjanjian perkawinan yang mereka buat untuk dipatuhi dan dilaksanakan sebagai undangundang bagi keduanya dan juga bagi pihak ketiga yang terkait di dalam perjanjian perkawinan setelah perkawinan tersebut. b. Unsur-Unsur Perjanjian Dalam perkembangan ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata60, di mana rumusan Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa : “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk 59
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 129. 60 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
33
hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”. Ketiga unsur-unsur
pokok perjanjian
tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut :61 1). Unsur Esensialia Unsur esensialia ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel). 62 Oleh karena itu unsur ini dapat dianggap penting keberadaannya karena bertujuan agar para pihak dapat membuat dan menyelenggarakan sesuai dan sejalan dengan kehendak semula. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur ini adalah conditio sine quanon dari suatu perjanjian, yaitu di mana tanpa adanya keberadaan unsur ini perjanjian itu menjadi tidak ada atau dapat batal demi demi hukum. Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.63 Jadi jelaslah bahwa unsur esensialia ini adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian karena tanpa unsur ini maka perjanjian yang dibuat oleh para
61
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1994), hal. 65. Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 24. 63 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 85. 62
Universitas Sumatera Utara
34
pihak menjadi berbeda dan tidak sejalan dengan kehendak para pihak, sehingga unsur ini dapat dianggap sebagai pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya.64 2). Unsur Naturalia Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.65 Unsur naturalia ini berbeda dengan unsur esensialia, di mana bila suatu perjanjian tidak mengandung unsur naturalia, maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi tidak mengikat. Hal ini dikarenakan unsur naturalia berbentuk ketentuan hukum umum yang merupakan syarat yang biasanya dicantumkan kemudian, ternyata tidak dimuat atau tidak diatur dalam perjanjian, sehingga undang-undang akan berperan untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan sifat hukum perjanjian sebagai optional law (hak opsi atau pilihan hukum). 3). Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. 66 Unsur ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. 64
Ibid., hal. 86. Ibid., hal. 88. 66 Ibid., hal. 89. 65
Universitas Sumatera Utara
35
c.
Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang
dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUHPerdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.67 Asas-asas hukum perjanjian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :68 1). Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) dinyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, yang dalam hal ini dapat diartikan bahwa setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak ini tidak mempunyai arti tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggung jawab para pihak, sehingga kebebasan berkontrak sebagai asas diberi sifat sebagai asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas ini mendukung kedudukan yang seimbang di antara para pihak,
67 68
Ibid., hal. 14. Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
hal. 4-5.
Universitas Sumatera Utara
36
sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak.69 2). Asas Personalia Asas personalia ini diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa: “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada dirinya sendiri”, dan dalam Pasal 1340 KUHPerdata disebutkan bahwa : “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihakpihak yang membuatnya”. Dari rumusan itu dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.
70
Sehingga pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan
perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. 3). Asas Konsensualisme (consensualism) Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut. Perjanjian itu telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus.
69 70
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 45. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
37
4). Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sehingga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang dan mengikat kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan pihak yang terkait di dalamnya. Di samping 4(empat) asas-asas umum hukum perjanjian yang disebut di atas, juga masih terdapat asas-asas lain dalam hukum perjanjian, yaitu :71 1). Asas Itikad Baik (good faith) Asas itikad baik ini terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yaitu : “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Itikad baik ini ada bukan pada saat pelaksanaan perjanjian saja tetapi juga pada saat dibuat atau ditandatanganinya suatu perjanjian. 2). Asas Kepercayaan Asas ini mengandung arti bahwa seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat adanya kepercayaan yang melandasi perjanjian yang dibuat tersebut. 3). Asas Kekuatan Mengikat
71
Suharnoko, Op. Cit., hal. 4-5.
Universitas Sumatera Utara
38
Kekuatan mengikat dalam perjanjian maksudnya bahwa dengan adanya asas ini maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral. 4). Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling menghormati. 5). Asas Keseimbangan Asas keseimbangan ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hak. Pada asas ini dijelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara seimbang dan tidak ada unsur paksaan. Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, di mana hal ini berarti janji yang dibuat para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi
keseimbangan
hubungan
antara
kepentingan
perorangan
dan
kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya. 6). Asas Kepatutan Asas kepatutan ini terkandung dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
Universitas Sumatera Utara
39
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Dari rumusan pasal ini jelaslah bahwa perjanjian itu haruslah dilaksanakan berdasarkan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, yaitu tidak melanggar batas-batas kesusilaan atau moral. 7). Asas Kepastian Hukum Kepastian hukum disini maksudnya bahwa perjanjian itu tidak hanya mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal-hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian hukum ini terlihat dari adanya kekuatan mengikat dari perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya guna menjamin adanya kepastian hukum dari perjanjian tersebut. d. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Suatu perjanjian baru dapat berlaku dan mengikat bagi para pihak apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : 1). sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2). kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3). suatu hal tertentu; 4). suatu sebab yang halal.
Universitas Sumatera Utara
40
Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, yang dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :72 1). Syarat Subyektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek perjanjian, terdiri dari : a). Kesepakatan. Kesepakatan merupakan penyesuaian kehendak antara para pihak di mana kesesuaian tersebut adalah pernyataan yang dapat diketahui, dilihat oleh pihak lainnya.73 b). Kecakapan. Dalam hal ini undang-undang beranggapan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan (perjanjian) apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata.74 2). Syarat Obyektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan obyek perjanjian, terdiri dari : a). Hal tertentu.
72
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 93-94. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak : Perancang Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 14. 74 Lihat Pasal 1329 – 1331 KUHPerdata. 73
Universitas Sumatera Utara
41
Mengenai syarat suatu hal tertentu telah ditegaskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata75, yang pada intinya menyatakan bahwa syarat itu tidak hanya mengenai objek yang jenisnya tertentu saja, tetapi juga meliputi benda-benda yang jumlahnya pada saat dibuatnya belum ditentukan, asalkan jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.76 b). Sebab yang halal. Syarat perjanjian ‘sebab yang halal’ dalam KUHPerdata dijelaskan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337.77 Sebab yang halal maksudnya isi dari perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini karena undang-undang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum.78 e.
Jenis-Jenis Perjanjian Dalam masyarakat kita dikenal berbagai macam bentuk atau jenis perjanjian.
Jenis-jenis perjanjian itu dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu: 79 1) Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya: perjanjian jual beli. 2). Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban 75
Lihat Pasal 1333 KUHPerdata. R.M. Suryodiningrat, Asas-Asas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito, 1982), hal. 18. 77 Lihat Pasal 1335-1337 KUHPerdata. 78 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 74. 79 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal.19-22. 76
Universitas Sumatera Utara
42
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah. 3). Perjanjian bernama (benoemd, specified) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd, unspecified) Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi seharihari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUHPerdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian. Misalnya: Perjanjian sewa beli. 4). Perjanjian campuran (Contractus sui generis) Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya: pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. 5). Perjanjian obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Disebut perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan (levering).
Universitas Sumatera Utara
43
6). Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan/diserahkan (transfer of title) kepada pihak lain. 7). Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. a). Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding), Pasal 1438 KUHPerdata. b). Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c). Perjanjian untung-untungan. Misalnya: perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata. d). Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu bertindak sebagai penguasa (pemerintahan). Misalnya: perjanjian ikatan dinas. 2.
Pengertian dan Hukum Perkawinan
a.
Pengertian Perkawinan Terdapat bermacam-macam rumusan pengertian yang terkait dengan istilah
perkawinan yang dikemukakan oleh ahli-ahli di bidang hukum, di antaranya :
Universitas Sumatera Utara
44
1). Kawin (nikah) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.80 2). Wirjono Prodjodikoro berpendapat, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan.81 3). K. Wantjik Saleh mengungkapkan : perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam Pancasila.82 4). Ahmad Azhar Basyir dalam sebuah bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam berpendapat bahwa : perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.83 5). Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau “miitsaaqon goliidhan” untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.84
80
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 1966), hal. 1. 81 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3. 82 Ibid., hal. 6. 83 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hal. 14. 84 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1992/1993).
Universitas Sumatera Utara
45
6). Ditinjau dari sudut pandang UU Perkawinan dalam Pasal 1 dirumuskan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 7). Sementara itu dalam KUHPerdata, tidak ada memberikan pengertian perkawinan secara rinci. Menurut Pasal 26 KUHPerdata dikatakan, “undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”, dan dalam Pasal 81 KUHPerdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. Dari beberapa pengertian perkawinan di atas, terdapat beberapa perbedaan tentang rumusan pengertian perkawinan terutama terlihat jelas perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUHPerdata dan menurut UU Perkawinan. Perkawinan menurut KUHPerdata hanya sebagai ‘Perikatan Perdata’, sedangkan perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan ‘Perikatan Keagamaan’.85 Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi terdapat satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Perjanjian di sini bukan sekedar perjanjian seperti jual beli 85
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
46
atau sewa menyewa tetapi perjanjian dalam perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.86 Adanya perbedaan di antara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu. Perkawinan tersebut haruslah diatur sesuai hukum perkawinan yang menetapkan tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, cara/prosedur melangsungkan perkawinan dan akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. b. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan sebagaimana tercantum dalam pengertian perkawinan pada Pasal 1 UU Perkawinan yaitu : ”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka sebuah perkawinan haruslah dilengkapi dengan syarat-syarat sahnya perkawinan untuk menjamin kepastian hukum dari perkawinan itu sendiri. Sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, 86
M. Idris Ramulyo, Op. Cit., hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
47
Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya. Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 itu, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan, yang menyatakan : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Dari penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa sah atau tidaknya perkawinan itu tergantung daripada ketentuan agama dan kepercayaan dari masingmasing individu atau orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut. Syarat-syarat perkawinan ini merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut terbagi dua yaitu syarat materil dan syarat formil87, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UU Perkawinan, syarat-syarat materil sahnya perkawinan adalah sebagai berikut :
87 Menurut H.R. Sardjono, UU Perkawinan mengenal dua macam syarat perkawinan yaitu: Syarat Materiil : yaitu syarat-syarat yang menyangkut pribadi calon suami dan calon istri. Syarat materiil ini dibagi pula atas dua buah yaitu (a) syarat materiil umum yaitu syarat materiil yang berlaku untuk perkawinan pada umumnya, sedangkan (b) syarat materiil khusus hanya berlaku untuk suatu perkawinan tertentu, yaitu perkawinan yang dilarang. Syarat Formil : yaitu syarat yang menyangkut
Universitas Sumatera Utara
48
1). Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2).Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3).Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4).Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5).Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orangorang tersebut yang memberikan izin. 6).Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, yang secara formil diuraikan menurut Pasal 12 UU Perkawinan direalisasikan dalam Pasal 3 sampai Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara singkat syarat formil ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1).Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan; 2). Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3).Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masingmasing; 4). Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Ketentuan
mengenai
pemberitahuan
kehendak
akan
melangsungkan
perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan formalitas yang harus dipenuhi sebelum berlangsungnya perkawinan dan pada saat dilangsungkan perkawinan. Lihat, Rusdi Malik, Op. Cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
49
dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin.88 Dalam Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 PP No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan. Sementara itu untuk orang Tionghoa dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang beragama Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dari kantor catatan sipil setempat, sedangkan orang-orang yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk dari Kantor Urusan Agama.89 Dalam Pasal 7 UU Perkawinan juga disebutkan : 1).Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 88
Lihat Pasal 3, 4 dan 5 PP. No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 89 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
50
2).Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 3).Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Sementara itu syarat-syarat sahnya perkawinan menurut KUHPerdata secara ringkas adalah sebagai berikut :90 1).berasas monogami (Pasal 27 KUHPerdata); 2).harus ada kata sepakat dan ada kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 29 KUHPerdata); 3).seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPerdata); 4).ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUHPerdata); 5).anak-anak yang belum dewasa harus mendapat izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35 KUHPerdata); 6). tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUHPerdata); Dalam hal ini asas monogami yang dimaksud dalam KUHPerdata adalah asas yang berlaku dalam perkawinan dalam KUHPerdata. Perkawinan monogami berarti setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri saja, begitu pula sebaliknya sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 KUHPerdata. Berbeda dengan UU Perkawinan, maka menurut KUH Perdata perkawinan semata-mata dilihat dari hubungan keperdataan, tidak berhubungan dengan masalah religious/keagamaan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 26 KUHPerdata yang
90
Libertus Jehani, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Istri, (Jakarta: Rana Pustaka, 2012), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
51
menyatakan undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.91 Ke semua syarat-syarat sahnya perkawinan ini adalah demi terwujudnya tujuan dari perkawinan itu sendiri yang pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan, bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari rumusan tersebut dapat dimengerti bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material. c.
Akibat Hukum Perkawinan Sahnya suatu perkawinan sudah pasti akan menimbulkan akibat hukum dari
perkawinan tersebut yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang seimbang atau sama dalam kehidupan berumah tangga bagi kedua belah pihak. Di mana hak yang dimaksud adalah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil perkawinan. Hak ini juga dapat dihapus apabila yang berhak
91
Ibid., hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
52
rela haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain.92 Sedangkan kewajiban yang dimaksud adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.93 Menurut KUHPerdata, hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 103 sampai dengan Pasal 118, yang secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut :94 1). suami dan istri harus setia dan tolong menolong (Pasal 103 KUHPerdata); 2). suami dan istri wajib memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104 KUHPerdata); 3). setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri (Pasal 105 ayat 1 KUHPerdata); 4). suami wajib memberi bantuan kepada istrinya (Pasal 105 ayat 2 KUHPerdata); 5). setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal 105 ayat 3 KUHPerdata); 6). setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4 KUHPerdata); 7). suami tidak diperbolehkan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan istrinya (Pasal 105 ayat 5 KUHPerdata); 8). setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1 KUHPerdata); 9). setiap istri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2 KUHPerdata) 10). setiap suami wajib membantu istrinya di muka hakim (Pasal 110 KUHPerdata); 11). setiap istri berhak membuat suart wasiat tanpa izin suaminya (Pasal 118 KUHPerdata); Dalam Pasal 111 KUHPerdata, kewajiban seorang suami dalam memberi bantuan kepada istrinya tidak diperlukan apabila :95 1). istrinya dituntut di muka hakim karena sesuatu perkara pidana; 92 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, Cetakan Kelima, 2004), hal. 87. 93 Ibid. 94 Libertus Jehani, Op. Cit., hal. 16-17. 95 Ibid., hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
53
2). istrinya mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian, pemisahan meja, dan ranjang, atau pemisahan harta kekayaan. Apabila dalam KUHPerdata masih terlihat ketidak seimbangan kedudukan antara suami istri dan hanya bertitik tolak dari hubungan perdata suami istri semata, maka lain halnya dengan UU Perkawinan yang sudah menempatkan keseimbangan kedudukan suami istri dalam rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan, yang intinya adalah sebagai berikut :96 1). Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat; 2). hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; 3). masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; 4). suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga; 5). suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah/tempat kediaman ini ditentukan secara bersama-sama; 6). suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain; 7). suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; 8). istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; 9). jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Di samping hak dan kewajiban tersebut di atas, masih terdapat hak dan kewajiban lainnya yang juga merupakan akibat hukum dari perkawinan, yaitu
96
Ibid., hal. 38-39.
Universitas Sumatera Utara
54
terhadap harta benda yang ada dalam perkawinan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan, sebagai berikut :97 1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat 1); 2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat 2); 3). Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat 1); 4). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. (Pasal 36 ayat 2); 5). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. (Pasal 37). Akibat hukum yang lainnya juga diatur dalam UU Perkawinan adalah terhadap mereka berdua sebagai orang tua (ayah dan ibu) nantinya dengan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka yang berupa hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Pasal 45 sampai dengan Pasal 49), tentang kedudukan anak (Pasal 42 sampai dengan Pasal 44), dan tentang perwalian atas anak (Pasal 50 sampai dengan 54).98 3.
Pengertian dan Hukum Perjanjian Perkawinan
a.
Pengertian Perjanjian Perkawinan Bila dilihat dari istilah katanya, maka “perjanjian perkawinan jika diuraikan
secara
etimologi,
97 98
maka
dapat
merujuk
pada
dua
kata,
perjanjian
dan
Mulyadi, Op. Cit., hal. 52. Rusdi Malik, Op. Cit., hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
55
perkawinan”. 99 Perjanjian perkawinan menurut asal katanya merupakan terjemahan dari kata “huwelijksvoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW). 100 “Huwelijk” sendiri menurut bahasanya berarti perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, 101 sedangkan “voorwaard” berarti syarat. 102 Istilah perjanjian perkawinan ini juga terdapat di dalam KUHPerdata 103 , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974104, dan dalam Kompilasi Hukum Islam.105 Dalam UU Perkawinan tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian perkawinan termasuk tentang isi dari perjanjian perkawinan. Hanya pada Pasal 29 ayat (2) diterangkan tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian perkawinan yaitu yang berbunyi : “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”. Demikian juga dengan KUHPerdata yang tidak ada memberikan definisi tentang perjanjian perkawinan. Menurut Pasal 139 KUHPerdata, calon suami isteri sebelum melakukan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Dari pengertian Pasal 139 KUH Perdata tersebut dapat diuraikan, bahwa perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden) sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.
99
M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 138. R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1995), hal. 37. 101 Martias Gelar Imam Radjo Mulano, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 107. 102 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990), hal. 771. 103 Bab VII dan Bab VIII, Pasal 139-185, KUHPerdata. 104 Bab V Pasal 29 UU Perkawinan. 105 Bab VII Pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam. 100
Universitas Sumatera Utara
56
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak ditemukan defenisi perjanjian perkawinan dalam pasal-pasalnya. Namun dalam Pasal 45 KHI ditentukan bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”. Dalam Pasal 1 huruf e taklik talak diartikan sebagai perjanjian yang diucapkan mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Dengan tidak adanya pengertian yang jelas tentang pengertian perjanjian perkawinan dalam ketentuan perundang-undangan, maka para ahli memberikan pengertian tentang perjanjian perkawinan yang pada umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Berikut beberapa pengertian perjanjian perkawinan menurut beberapa ahli : 1). Menurut Gatot Supramono : Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.106 2). Menurut R. Subekti, “Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang”.107
106 107
Gatot Supramono, Op. Cit., hal. 39. R. Subekti, Op. Cit., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
57
3). Komar Andasasmita mengatakan apa yang dinamakan ‘perjanjian atau syarat kawin’ itu adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami-istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka.108 4). Soetojo
Prawirohamidjojo
dan
Asis
Safioedin
mengatakan
”perjanjian
perkawinan” adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.109 Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan hanyalah mengatur mengenai harta kekayaan suami istri dalam perkawinan saja, di mana dalam perjanjian perkawinan tersebut calon suami atau calon istri dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan, apakah mereka akan bersepakat untuk menyatukan harta mereka atau mereka melakukan penyatuan harta hanya secara terbatas atau mereka memutuskan untuk tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan yang mereka jalani. Sebagaimana yang dinyatakan Martiman Prodjohamidjojo : “Sungguh pun tidak ada definisi yang jelas tentang perjanjian perkawinan ini namun dapat diberikan batasan bahwa hubungan hukum tentang harta kekayaan antara kedua belah pihak, yang mana dalam satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut”.110 108 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Cetakan Kedua, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, 1990), hal 53. 109 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan V (Bandung: Alumni, 1987), hal. 57. 110 Martiman Prodjohamidjodjo, Op. Cit., hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
58
Adanya akta perjanjian perkawinan ini, akan menjamin calon suami isteri tersebut dari sifat-sifat negatif pasangannya. Misalnya calon suami bersifat boros, maka harta calon isteri akan terlindungi oleh sifat boros tersebut karena harta masingmasing calon suami isteri tersebut terpisah. Atau calon isteri mempunyai hutang dengan pihak ketiga, maka dalam hal pelunasan tersebut harta suami tidak dapat diikutsertakan, hanya dengan harta calon isteri saja pembayaran hutang dapat dilakukan dengan adanya perjanjian perkawinan tersebut. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya mengenai kepentingan para pihak dalam kepengurusan harta masing-masing pihak calon suami atau isteri. Bilamana salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, maka pihak lain dapat melakukan penuntutan ke Pengadilan atas pelanggaran isi perjanjian perkawinan yang telah dibuat. b. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan Untuk dapat membuat perjanjian perkawinan, maka dalam KUHPerdata, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Syarat-syarat yang mengenai diri pribadi. Perjanjian perkawinan
merupakan suatu perjanjian karenanya harus
memenuhi persyaratan umum suatu perjanjian, kecuali dalam peraturan khusus
Universitas Sumatera Utara
59
ditentukan lain. Adapun persyaratan umum tersebut adalah tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.111 Selain hal yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian perkawinan juga harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan Pasal 1338, karena perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun khususnya dalam pembuatan perjanjian perkawinan, undang-undang memberikan kemungkinan bagi mereka yang belum mencapai usia dewasa untuk membuat perjanjian, dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 151 KUHPerdata : a). Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan. b).Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan pernikahan. c). Jika perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan pengadilan. 2). Syarat-syarat mengenai cara pembuatan dan mulai berlakunya perjanjian perkawinan. Pasal 147 KUHPerdata dengan tegas menetapkan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam bentuk akta autentik, karena mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali. Pasal 147 KUHPerdata juga menyebutkan, perjanjian perkawinan harus 111
Lihat Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. suatu hal tertentu d. suatu sebab yang halal
Universitas Sumatera Utara
60
dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan, dengan cara bagaimanapun, tidak dapat diubah. Syarat pembuatan perjanjian perkawinan dengan akta Notaris adalah untuk memperoleh kepastian tanggal pembuatan perjanjian perkawinan, karena kalau perjanjian perkawinan dibuat dengan akta di bawah tangan, maka ada kemungkinan bisa back date (tanggal mundur) diubah isi perjanjian perkawinan dan syaratnya sehingga dapat merugikan pihak ketiga. Syarat tersebut juga dimaksudkan, agar perjanjian perkawinan mempunyai kekuatan pembuktian dan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban calon pasangan suami isteri atas harta benda mereka”.112 Selain syarat-syarat sahnya perjanjian perkawinan, KUHPerdata juga telah menentukan dengan terperinci beberapa ketentuan yang tidak boleh dijadikan persyaratan dalam perjanjian perkawinan yaitu dalam Pasal 139-142 KUHPerdata, yang antara lain :113 a). Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata). b). Tidak boleh memuat syarat yang menghilangkan status suami sebagai kepala keluarga, dan juga ketentuan yang memuat janji bahwa isteri akan tinggal secara terpisah dalam tempat tinggal kediaman sendiri dan tidak mengikuti tempat tinggal suami (Pasal 140 KUHPerdata). c). Tidak boleh memuat perjanjian yang melepaskan diri dari ketentuan undangundang tentang pusaka bagi keturunan mereka, juga tak boleh mengatur sendiri pusaka keturunan mereka itu. Tidak boleh diperjanjikan salah satu pihak diharuskan akan menanggung lebih besar hutang dari keuntungan yang diperoleh dari kekayaan bersama. (Pasal 141 KUHPerdata). d). Tidak boleh membuat perjanjian-perjanjian yang bersifat kalimat-kalimat yang umum, bahwa perkawinan mereka akan diatur oleh Undang-Undang
112 113
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 77. Ibid., hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
61
negara lain atau oleh beberapa adat kebiasaan yang dulu berlaku di Indonesia.(Pasal 142 KUHPerdata). Syarat-syarat perjanjian perkawinan ini juga ada diatur dalam UU Perkawinan dalam Pasal 29 yang antara lain :114 a). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian ini berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut; b).Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan; c). Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; d).Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. c.
Bentuk Perjanjian Perkawinan Sebagai bentuk penyimpangan harta kekayaan perkawinan yang diperjanjikan
dalam perjanjian perkawinan, maka calon suami isteri oleh undang-undang diberikan kebebasan untuk memilih bentuk perjanjian perkawinan yang dikehendakinya. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan yang tidak mengatur bentuk perjanjian perkawinan secara rinci. Pasal 29 UU Perkawinan tersebut hanya mengatur dari segi waktu pembuatan perjanjian perkawinan, keabsahan, masa berlaku dan tentang dapat diubahnya perjanjian perkawinan dengan persetujuan kedua belah pihak. Pada umumnya bentuk perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan calon suami isteri ada dua yaitu; persatuan untung rugi dan persatuan hasil dan pendapatan. Namun dengan adanya asas kebebasan berkontrak, maka dalam 114
Libertus Jehani, Op. Cit., hal. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
62
ketentuan Pasal 139 KUHPerdata memberikan kebebasan kepada calon suami isteri untuk menentukan bentuk perjanjian perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat. Adanya kebebasan untuk memilih bentuk perjanjian perkawinan membawa konsekuensi bagi calon suami isteri yang mengadakan perjanjian perkawinan untuk memilih bentuk selain perjanjian perkawinan seperti tersebut di atas (persatuan untung rugi atau persatuan hasil dan pendapatan). Oleh karenanya diperbolehkan jika calon suami isteri mengadakan perjanjian perkawinan dengan tujuan untuk mengadakan perpisahan harta kekayaan perkawinan di antara mereka.115 Tiga bentuk perjanjian perkawinan yang dapat dipilih oleh calon suami isteri tersebut, yaitu : 1). Persatuan untung dan rugi; Dalam Pasal 155 KUHPerdata disebutkan : Jika dalam perjanjian perkawinan oleh kedua calon suami isteri hanyalah diperjanjikan bahwa dalam persatuan perkawinan mereka akan berlaku persatuan untung dan rugi, maka berartilah bahwa perjanjian yang demikian, dengan sama sekali tak berlakunya persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, setelah berakhirlah persatuan suami isteri, segala keuntungan pada mereka, yang diperoleh sepanjang perkawinan harus dibagi antara mereka berdua, sepertipun segala kerugian harus mereka pikul berdua pula. Ketentuan mengenai persatuan untung rugi ini tidak semua harta kekayaan suami isteri dicampur menjadi harta persatuan, tetapi hanya sebagian dari harta kekayaan suami isteri saja yang merupakan keuntungan dan kerugian yang timbul 115
Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat, Suatu Pembahasan Teoritis dan Praktek, (Bandung: Tarsito, 1988), hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
63
selama perkawinan dan merupakan persatuan harta terbatas, yaitu persatuan untung rugi. Dalam perjanjian perkawinan dengan persatuan untung dan rugi ini tidak terdapat persatuan bulat harta perkawinan. Keuntungan yang diperoleh begitu pula kerugian yang terjadi sepanjang perkawinannya, dalam perjanjian perkawinan semacam ini menjadi hak dan tanggung jawab suami isteri bersama. Dengan demikian apa yang diperoleh suami isteri selama perkawinan baik dari hasil pekerjaan atau usaha maupun kekayaan lainnya sepanjang perkawinan adalah merupakan keuntungan dan menjadi hak milik bersama. Hak milik bersama ini merupakan milik bersama terikat, sehingga hanya boleh dimintakan pembagian atau pemecahan masingmasing haknya dalam waktu dan hal-hal tertentu, misalnya dalam hal perkawinan tersebut menjadi putus. Harta yang dibawa ke dalam perkawinan menjadi hak milik masing-masing pribadi suami isteri termasuk yang diperoleh dengan jalan mewaris dan hibah.116 Perjanjian perkawinan dengan persatuan untung rugi terjadi apabila calon pasangan suami isteri menyatakan dengan tegas di dalam akta perjanjian perkawinan bahwa di antara mereka mengehandaki perjanjian perkawinan dengan bentuk persatuan untung rugi atau dalam perjanjian perkawinan mereka menyatakan bahwa di antara mereka tidak diadakan persatuan harta perkawinan, sehingga secara otomatis akan terjadi persatuan untung rugi. 2). Persatuan Hasil dan Pendapatan; Perjanjian perkawinan dengan bentuk persatuan hasil dan pendapatan ini, yaitu selama perkawinan berlangsung, segala hasil dan pendapatan yang akan diperoleh oleh calon suami isteri, begitu pula untung rugi menjadi milik bersama.117
116
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 175. Soeroso Wigjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), hal. 151. 117
Universitas Sumatera Utara
64
Bentuk ini membawa konsekuensi bahwa apabila selama persatuan tersebut memperoleh keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi dua antara suami isteri, akan tetapi jika dalam persatuan tersebut timbul suatu kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung oleh suami dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga. Isteri hanya bertanggung jawab atas kerugian yang timbul sebagai akibat perbuatannya sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 105 KUHPerdata yang menentukan bahwa: “Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami isteri. Ia (suami) harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah yang baik, dan karenanyapun bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu.” Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa KUHPerdata menempatkan suami berperan lebih besar dalam keluarga, sehingga kerugian yang timbul dalam praktek perjanjian perkawinan dalam bentuk persatuan hasil dan pendapatan ini adalah menjadi tanggungan suami.118 Maka dengan perjanjian perkawinan dengan persatuan hasil dan pendapatan jika dalam persatuan tersebut terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh suami sebagai kepala rumah tangga, sedangkan dalam perjanjian perkawinan persatuan untung rugi kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bersama suami isteri. 3). Pemisahan Harta Sama Sekali. Bentuk ini adalah bagi calon suami isteri yang menginginkan adanya pemisahan harta sama sekali atas kekayaan mereka sepanjang perkawinan, maka dalam perjanjian perkawinan yang dibuat harus menyatakan bahwa antara calon 118
Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit., hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
65
suami isteri tersebut tidak akan ada percampuran harta dan secara tegas dinyatakan tidak adanya persatuan untung rugi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 144 KUHPerdata yang menentukan bahwa “Ketiadaan persatuan harta kekayaan tidak berarti tak ada persatuan untung rugi, kecuali jika inipun kiranya dengan tegas ditiadakannya”. Dari isi Pasal 144 KUHPerdata maka pasangan calon suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan dengan pemisahan harta sama sekali ini, masingmasing pihak menjadi pemilik dari barang-barang yang mereka bawa masuk dalam perkawinan. Selain itu mengingat tidak ada persatuan harta di antara mereka, maka hasil yang mereka peroleh sepanjang perkawinan tetap menjadi milik masing-masing pribadi suami isteri yang bersangkutan. Pengaturan bentuk perjanjian perkawinan sebagaimana dituangkan dalam KUHPerdata dimaksudkan agar calon suami isteri pada saat membuat perjanjian perkawinan dapat memilih bentuk perjanjian yang disepakati cukup dengan merujuk pada salah satu dari ketiga macam bentuk perjanjian perkawinan tersebut.119 d. Isi Perjanjian Perkawinan Dalam KUHPerdata, terkandung suatu asas kebebasan yang menyatakan bahwa calon suami istri bebas untuk isi perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Isi perjanjian perkawinan diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama.
119
H.M. Ridhan Indra, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1994),
hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
66
Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, dapat dikemukakan beberapa pendapat ahli hukum antara lain :120 1). Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat memuat apa saja, yang berhubungan dengan baik dan kewajiban suami istri maupun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan harta benda perkawinan. Mengenai batasan-batasan yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan. Hal ini merupakan tugas hakim untuk mengaturnya. 2). R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka lebih baik ditafsirkan bahwa perjanjian perkawinan sebaiknya hanya meliputi hak-hak yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan. 3). Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat memperjanjikan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut mengenai harta yang benarbenar merupakan harta pribadi suami istri yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam perkawinan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 139 KUHPerdata, bahwa dalam perjanjian perkawinan itu kedua calon suami istri dapat menyimpangi ketentuanketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja penyimpanganpenyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde) dengan mengindahkan pula isi ketentuan yang disebutkan setelah pasal 139 KUHPerdata itu.121 Dalam KUHPerdata diberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian perkawinan, yaitu :122 1). Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 139). 120
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 80-81. 121 R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2002), hal. 64. 122 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
67
2).Perjanjian tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPerdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa istri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1). 3).Dalam perjanjian suami istri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141). 4).Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa dalam hal campur harta, apabila milik bersama itu dihentikan, si suami atau si istri akan membayar bagian hutang yang melebihi perimbangan dan keuntungan bersama (Pasal 142). 5).Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam suatu negara asing (Pasal 143). Dalam hal ini yang dilarang bukanlah mencantumkan isi hukum asing dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk secara umum pada hukum asing itu. Larangan ini dimaksudkan agar terdapat kepastian hukum mengenai hak-hak suami istri, terutama untuk kepentingan pihak ketiga yang mungkin tidak menguasai hukum Negara asing yang ditunjuk. Sementara itu dalam UU Perkawinan tidak menjelaskan hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan. Batasan yang diberikan hanyalah perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan, sehingga perjanjian perkawinan menurut UU Perkawinan tidak terbatas masalah harta perkawinan saja, tetapi dapat juga mengatur hal lain. Dalam perjanjian tersebut juga dapat diperjanjikan hanya hal-hal tertentu saja yang dipisahkan. Sebagai akibat hukumnya, maka apabila suatu saat terjadi perceraian antara suami isteri maka tidak diperlukan lagi pembagian harta bersama. Masing-masing sudah memiliki bagiannya sendiri. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum
Universitas Sumatera Utara
68
dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama, pembukaan rekening bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).123 Dengan demikian isi perjanjian perkawinan tersebut pada intinya adalah perjanjian antara calon suami dan isteri untuk memisahkan harta yang diperoleh oleh mereka selama berlangsungnya perkawinan. Jadi hasil pendapatan suami dan hasil pendapatan isteri dipisahkan satu sama lain, dan masing-masing dapat mengurus hartanya sendiri-sendiri. B. Pengaturan Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan setelah perkawinan tidak terlepas dari peraturan yang mengatur tentang perkawinan, di mana perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat-akibat di bidang hukum, salah satunya dalam bidang hukum kekayaan. Suami isteri yang terikat dalam perkawinan sah, akan mempunyai harta benda baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan, di mana harta benda yang diperoleh dalam masa perkawinan itu akan menjadi harta bersama atau terjadi percampuran harta perkawinan. Hal inilah yang biasanya banyak menjadi dasar timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam kehidupan rumah tangga suami istri, sehingga dibuatnya perjanjian perkawinan akan menjadi salah satu solusi untuk mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda kekayaan tersebut. 123
Iskandar Bakrie, Surat Perjanjian Dulu, Baru Kawin, http://www.tnol.co.id/id /spiritual/spiritual/3332-seberapa-pentingkah-membuat-perjanjianperkawinan.html, dipublikasikan tanggal 21 Maret 2010, diakses tanggal 22 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
69
Namun dengan berlangsungnya perkawinan bukan berarti dengan sendirinya terjadi atau berlaku percampuran harta perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan dalam Stb. 1924/556 Pasal 2 ayat (1) “Bepalingen betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht der Vreemde Oosterlingen, andere dan Chineezen”, yang mulai berlaku 1 Maret 1925, yang menyatakan bahwa dengan perkawinan bagi golongan yang tunduk kepada Timur Asing Bukan China ini tidak mengakibatkan di antara mereka yang kawin itu terdapat harta bersama, dan keadaan ini berakhir saat mulai berlakunya Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974. 124 Hal ini artinya bagi WNI turunan Timur Asing bukan China yang kawin setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 maka akibat hukum perkawinannya terhadap harta yang diperoleh selama perkawinannya mengacu kepada Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974.125 Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka segala ketentuan yang sebelumnya mengatur mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan lebih lengkap mengenai tidak berlakunya lagi ketentuan hukum perkawinan yang sebelumnya dapat dilihat dalam Pasal 66 UU Perkawinan yang berbunyi :126 “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898 124
Lihat Pasal 35 UU Perkawinan. Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011), hal. 42-43. 126 Lihat Pasal 66 UU Perkawinan. 125
Universitas Sumatera Utara
70
No.158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 66 UU Perkawinan ini mengandung pengertian, bahwa masih ada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan yang belum mendapat pengaturan dalam UU Perkawinan, maupun dalam peraturan pemerintah, sehingga belum berlaku secara efektif. Ketentuan-ketentuan yang belum berlaku secara efektif, adalah harta benda perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, kedudukan anak dan perwalian. Oleh karenanya mengenai ketentuan yang belum berlaku secara efektif, atas dasar Pasal 66 UU Perkawinan bisa diberlakukan ketentuan dalam peraturan lama (BW, HOCI, GHR). Namun dalam hal perjanjian perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975, sebagai peraturan pelaksana dari UU Perkawinan juga tidak mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Mengingat hal tersebut, Mahkamah Agung kemudian memberikan pendapat melalui petunjuknya Nomor: MA/0807/75 untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian yang dimaksud oleh Mahkamah Agung tersebut adalah diberlakukannya Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUHPerdata bagi mereka yang dikuasai atau tunduk pada peraturan tersebut yaitu warga negara Indonesia keturunan Cina dan Eropa, hukum adat bagi golongan bumiputera dan H.O.C.I (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers) bagi golongan bumiputera yang beragama Kristen.127
127
Zain Badjeber, Tanya Jawab Hukum Perkawinan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
71
Dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan tidak terdapat pengaturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Namun dalam KUHPerdata dimungkinkan untuk para pihak mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW, WvK atau undangundang lain. Untuk persetujuan-persetujuan ini dapat berlaku dalam BW sebagaimana dalam buku III Title I-IV.128 Hal ini juga kita ketahui dengan adanya jenis perjanjian yang disebut dengan Perjanjian bernama (benoemd contracten atau nominaat contracten), yaitu perjanjianperjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari, dan jenis perjanjian tidak bernama (onbenoemd contracten atau innominaat contracten), yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian.129 J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan Perjanjian Innominaat atau Perjanjian Tidak Bernama, adalah :130 Perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang. Oleh karena itulah tidak diatur dalam undang-undang, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun d dalam Kitab Undang-
128
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), hal. 10. 129 Mariam Darus Badrulzaman. Op. Cit., hal.19. 130 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
72
Undang Hukum Dagang (KUHD), keduanya didasarkan pada praktek seharihari dan putusan pengadilan (yurisprudensi). Perjanjian Tidak Bernama ini ada diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyebutkan, bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”. Dari pasal ini dapat kita ketahui bahwa perjanjian yang belum ada pengaturannya namun terdapat di dalam masyarakat harus tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata. Hal ini dapat menjelaskan kepada kita bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung, meskipun pengaturannya secara khusus tidak ada ditemukan dalam KUHPerdata maupun peraturan lainnya, namun karena perjanjian perkawinan ini ada ditemukan dalam masyarakat maka perjanjian ini juga harus tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata. Dalam KUHPerdata perjanjian perkawinan yang diatur secara khusus dalam Pasal 139-154 KUHPerdata hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal ini jelas tercantum dalam Pasal 147 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi : “atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain saat untuk itu tak boleh ditetapkannya”. Dalam pasal itu dapat diketahui bahwa calon suami isteri yang akan membuat perjanjian perkawinan, khususnya mereka yang melakukan pemisahan harta
Universitas Sumatera Utara
73
seluruhnya, diperlukan adanya pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan dengan suatu akta notaris. Apabila tidak dibuat dengan akta notaris, perjanjian perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Perjanjian perkawinan baru berlaku setelah perkawinan dilangsungkan, sehingga apabila perkawinan tidak dilakukan, maka perjanjian perkawinan menjadi tidak berlaku. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa KUHPerdata tidak menetapkan jangka waktu antara pembuatan perjanjian perkawinan dengan saat dilangsungkannya perkawinan, namun sebaliknya perjanjian perkawinan dibuat sedekat mungkin dengan waktu dilangsungkannya perkawinan. Selain itu juga sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami istri masih dapat melakukan perubahan-perubahan atas perjanjian perkawinan. Perubahan tersebut harus dilakukan dengan akta notaris, dan dalam hal perjanjian perkawinan dibuat dengan bantuan orang tua atau wali, maka orang tua atau wali tidak menyetujui perubahan yang akan dilakukan, maka perubahan tersebut tidak dapat dilakukan. Ketentuan tersebut merupakan penjabaran dari asas yang terdapat dalam KUHPerdata yaitu bahwa selama perkawinan berlangsung termasuk kalau perkawinan tersebut disambung kembali setelah terputus karena perceraian, bentuk harta perkawinan harus tetap tidak berubah. Hal tersebut dimaksudkan demi perlindungan terhadap pihak ketiga (kreditur) supaya tidak dihadapkan kepada situasi
Universitas Sumatera Utara
74
yang berubah-ubah, yang dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang kreditur).131 Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 149 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah”. Dari rumusan pasal tersebut, dapat diartikan bahwa menurut ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, perubahan terhadap perjanjian perkawinan selama perkawinan dilangsungkan tidak dimungkinkan sama sekali, akan tetapi sebelum perkawinan dilangsungkan calon suami istri masih dapat merubah perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Pembuatan perjanjian perkawinan maupun perubahan terhadap perjanjian perkawinan ditentukan dan dibuat atas persetujuan bersama dari kedua belah pihak, dalam hal ini yang dimaksud ialah bahwa persetujuan terhadap pembuatan perjanjian perkawinan adalah kata sepakat yang bebas serta tidak terdapat paksaan dari pihak manapun, juga tidak ada penipuan dan juga kekhilafan.132 Asas tidak dapat diubahnya perjanjian perkawinan ini berkaitan dengan sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada saat berlangsungnya perkawinan yang menyadarkan pada pokoknya akan kekhawatiran, bahwa semasa
131 132
J. Satrio, Op. Cit., hal. 28. Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op. Cit., hal. 83.
Universitas Sumatera Utara
75
perkawinan sang suami dapat memaksa istri untuk mengadakan perubahan yang tidak diinginkan oleh istrinya.133 KUHPerdata juga ada mengatur tentang harta bersama menyeluruh atau bulat adalah akibat normal dari suatu perkawinan, sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta menyeluruh atau bulat hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian perkawinan.134 Dalam Pasal 140 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula hak-hak yang oleh undang-undang diberikan kepada yang masih hidup paling lama. Perjanjian perkawinan berdasarkan KUHPerdata juga harus didaftarkan di Pengadilan Negeri di wilayah hukum di mana suami istri tersebut berdomisili. Pendaftaran perjanjian perkawinan dilakukan agar dapat diketahui oleh umum terutama pihak ketiga yang tersangkut langsung dengan isi yang terkandung dalam perjanjian tersebut. Mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan ini juga dinyatakan dalam UU Perkawinan Pasal 29 sebagai berikut : 1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
133
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2002), hal 59. 134 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
76
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 3. Perjanjian tersebut berlaku, sejak perkawinan dilangsungkan. 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Dengan demikian mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan ditentukan lebih luas dengan memberikan dua macam waktu untuk membuat perjanjian perkawinan, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan.135 Maka, dengan telah adanya atau ditentukannya saat pembuatan perjanjian perkawinan tersebut maka tidak diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung apabila sebelum atau pada saat perkawinan tidak telah diadakan perjanjian perkawinan.136 Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwasanya pengaturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan dilangsungkan tidak ada dijumpai dalam berbagai ketentuan yang mengatur tentang perkawinan. Namun dalam perkembangannya yang terjadi di masyarakat sekarang ini dimungkinkan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yaitu dengan didasarkan pada Penetapan Pengadilan Negeri, karena kenyataannya ada pasangan suami istri yang karena alasan tertentu kemudian membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan dengan Penetapan Pengadilan Negeri. Banyaknya peristiwa hukum yang timbul di kalangan masyarakat di mana dalam hal ini belum ada pengaturan yang jelas mengenai peristiwa hukum tersebut 135 136
Ibid., hal. 61. Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op. Cit., hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
77
sehingga hakim sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk melakukan penemuan hukum untuk dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul di masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.137 Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu dituangkan dalam bentuk putusan. Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan perjanjian perkawinan para pemohon harus sungguh-sungguh dan mendasar apabila alasan yang diajukan benar dan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna. Penetapan pengadilan negeri tersebut merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini 137
Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama, Makalah Disampaikan pada Acara Rakernas Mahkamah Agung RI tanggal 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Universitas Sumatera Utara
78
ditempuh karena Pengadilan Negeri sebagai instansi hukum yang dijunjung tinggi, di mana produk hukumnya harus dipatuhi oleh siapapun. Oleh karena itu, penetapan tersebut dapat dipergunakan sebagai landasan hukum untuk dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan bagi pasangan suami-istri. Pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yang berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri ini pada dasarnya tetap mengacu kepada pengaturan
perjanjian
perkawinan
yang
dibuat
sebelum
atau
pada
saat
berlangsungnya perkawinan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yang mana mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu hukum perjanjian, hukum perkawinan di Indonesia dan juga tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan ini dilakukan dengan berlandaskan kepada azas kebebasan berkontrak yang ada terkandung dalam KUHPerdata berdasarkan kesepakatan dan itikad baik dari kedua belah pihak suami istri, sebagai mana tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Berdasarkan asas ini maka siapa saja yang dalam hal ini adalah para pemohon diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, sepanjang hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang
Universitas Sumatera Utara
79
dilarang. Konsekuensi hukum dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut adalah bahwa setiap orang/pihak yang telah mengikatkan dirinya ke dalam suatu perjanjian harus mematuhi perjanjian tersebut karena telah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah menandatanganinya.138 Pembuatan perjanjian sesudah perkawinan ini juga tidak terlepas dari persyaratan mendasar untuk sahnya suatu perjanjian yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak suami istri yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :
a. b. c. d.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal. Perbedaan mendasar yang terlihat dalam pembuatan perjanjian perkawinan
sesudah perkawinan hanyalah mengenai prosedur pembuatannya yang biasanya dilakukan oleh Notaris maka untuk pembuatan pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan ini harus dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri setempat untuk mengeluarkan Penetapan Pengadilan Negeri tentang perjanjian perkawinan setelah perkawinan. Pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri ini dapat diketahui dengan adanya beberapa penetapan Pengadilan Negeri mengenai perjanjian perkawinan yang dilakukan sesudah perkawinan dengan didapatnya data adanya 2 (dua) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan, yaitu Penetapan 138
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Op. Cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
80
Pengadilan Jakarta Timur Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Jakarta Timur Nomor: 459/Pdt./P/2007/PN.Jkt.Tmr. Kedua penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini adalah penetapan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dengan didasarkan atas pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang diputuskan berdasarkan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, di samping itu juga berlandaskan pada ketentuan yang berlaku secara universal bahwa Pengadilan Negeri dilarang untuk menolak setiap permohonan dan/atau perkara yang masuk. Namun demikian kebebasan membuat perjanjian perkawinan tersebut telah diberikan rambu-rambu yaitu harus tetap mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu hukum perjanjian, hukum perkawinan di Indonesia dan juga tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. C. Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Memutus Permohonan Penetapan Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Untuk lebih mengetahui mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan maka perlu diketahui pula apa yang menjadi dasar hakim Pengadilan Negeri dalam memutuskan pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan. Hal ini dapat diketahui dari adanya dua penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Nomor: 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr.
Universitas Sumatera Utara
81
Dalam
Penetapan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Timur
Nomor:
207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr, diketahui yang menjadi dasar pertimbangan hukum bagi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur adalah :139 PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon sebagaimana terurai di atas. Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil-dalil permohonan, Para Pemohon mengajukan bukti-bukti surat P.1 sampai dengan P.7 dan saksi Bernadetta Sri Wahyu S. dan Veranti. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.1 sampai dengan P.6 dan keterangan saksi Bernadetta Sri Wahyu S. dan Veranti, yang dikaitkan satu sama lain, terungkap fakta Yuridis; 1. Bahwa Para Pemohon adalah suami istri. 2. Bahwa Para Pemohon keduanya bekerja. 3. Bahwa Para Pemohon dikaruniai dua orang anak. 4. Bahwa Pemohon I memiliki 3(tiga) Bidang tanah dan bangunan di daerah Tangerang a.n Pemohon I; Bahwa menimbang, bahwa seharusnya Para Pemohon telah membuat Perjanjian Perkawinan tentang harta bersama sebelum perkawinan dilangsungkan, akan tetapi karena kealpaan dan ketidaktahuan Para Pemohon sehingga baru sekarang Para Pemohon berniat membuat perjanjian pemisahan harta bersama. Menimbang, bahwa pada kutipan Akta perkawinan Para pemohon ternyata tidak terdapat catatan tentang Perjanjian Perkawinan. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta Yuridis, Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak menemukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, karena itu permohonan Para Pemohon beralasan untuk dikabulkan. Menimbang, bahwa karena permohonan Para Pemohon dikabulkan, maka biaya yang timbul dalam permohonan ini dibebankan kepada Para Pemohon. Memperhatikan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya. Dalam
Penetapan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Timur
Nomor:
459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr, diketahui yang menjadi dasar pertimbangan hukum bagi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur adalah :140
139
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr.
Universitas Sumatera Utara
82
PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon sebagaimana terurai di atas. Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil-dalil permohonan, Para Pemohon mengajukan bukti-bukti surat P.1 sampai dengan P.5 dan saksi Ny. Lie Mie Fa dan Nn. Dessy Gunawi; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.1 sampai dengan P.5 dan keterangan saksi Ny.Lie Mie Fa dan Nn. Dessy Gunawi yang dikaitkan satu sama lain, terungkap fakta Yuridis; 1. Bahwa Para Pemohon adalah suami istri. 2. Bahwa Para Pemohon keduanya bekerja. Menimbang, bahwa seharusnya Para Pemohon telah membuat Perjanjian Perkawinan tentang harta bersama sebelum perkawinan dilangsungkan, akan tetapi karena kealpaan dan ketidaktahuan Para Pemohon, sehingga baru sekarang Para Pemohon berniat membuat perjanjian pemisahan harta bersama. Menimbang, bahwa pada kutipan Akta perkawinan Para Pemohon ternyata tidak terdapat catatan tentang Perjanjian Perkawinan. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yuridis tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak menemukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, karena itu permohonan Para Pemohon beralasan untuk dikabulkan. Menimbang, bahwa karena permohonan Para Pemohon dikabulkan, maka biaya yang timbul dalam permohonan ini dibebankan kepada Para Pemohon;. Memperhatikan ketentuan UU No.1 Tahun 1974 dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya. Dari kedua penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur di atas, maka dapat diketahui yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan terhadap pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan adalah sebagai berikut: 1.
Adanya kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon tentang ketentuan perjanjian perkawinan. Dalam hal ini diketahui bahwa salah satu pertimbangan hakim adalah karena kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon tentang adanya ketentuan perjanjian
140
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr.
Universitas Sumatera Utara
83
perkawinan bahwa perjanjian perkawinan tentang harta bersama seharusnya dibuat sebelum perkawinan berlangsung dan harus dibuat dengan akta notaris, sebagaimana yang tercantum dalam permohonan Penetapan Pengadlan Negeri Jakarta Timur Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr, yang pada intinya menyatakan “bahwa seharusnya para pemohon membuat perjanjian status harta bersama sebelum dilangsungkan perkawinan, akan tetapi oleh karena kealpaan dan ketidaktahuan Para Pemohon sehingga baru sekarang, Para Pemohon berniat membuat perjanjian status harta bersama”.141 Dasar dan pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan pemisahan harta dengan alasan-alasan kealpaan atau ketidaktahuan mereka mengenai ketentuan pembuatan perjanjian perkawinan masih lemah karena tidak ada dasar hukumnya. KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan itu sendiri adalah hukum, karena berisi kaedah hukum untuk melindungi kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia itu seberapa dapat terlindungi, maka undang-undang harus diketahui oleh setiap orang. Bahkan setiap orang dianggap tahu akan undang-undang (iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare consetur). Bahwa setiap orang mengetahui setiap undang-undang ini merupakan asas yang berlaku dewasa ini.142
141 142
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor : 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003),
hal. 88.
Universitas Sumatera Utara
84
Dalam hal ini seharusnya para pemohon sudah mengetahui akan adanya ketentuan mengenai perjanjian perkawinan karena sebagaimana diketahui bahwa semua peraturan perundang-undangan haruslah diumumkan di dalam Lembaran Negara dengan tujuan untuk diketahui oleh masyarakat umum sehingga peraturan perundang-undangan itu dapat dilaksanakan dan berfungsi untuk melindungi kepentingan hukum dari masyarakat itu sendiri. Para pemohon (Syam Lal Uttam dan Kavita Uttam dalam Penetapan Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr serta Dubagunta
Ramesh
dan
Selvia
Setiawan
dalam
Penetapan
Nomor:
459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr) yang dalam hal ini sebagai warga negara Indonesia seharusnya sudah tahu atau berkewajiban untuk mengetahui akan adanya ketentuan mengenai perjanjian perkawinan itu sehingga tidaklah menjadi suatu alasan bagi para pemohon bahwasanya mereka tidak mengetahui akan adanya ketentuan perjanjian perkawinan yang dapat mengatur tentang akibat hukum dari harta kekayaan dan hutang piutang yang ada atau timbul dari perkawinan mereka. Namun dikarenakan banyaknya peristiwa hukum yang timbul di kalangan masyarakat di mana dalam hal ini belum ada pengaturan yang jelas mengenai peristiwa hukum tersebut sehingga hakim sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk melakukan penemuan hukum untuk dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul di masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang
Universitas Sumatera Utara
85
menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.143 Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu di tuangkan dalam bentuk putusan. Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan perjanjian perkawinan para pemohon harus sungguh-sungguh dan mendasar apabila alasan yang diajukan benar dan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna. Suatu penetapan Pengadilan Negeri tersebut merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini ditempuh karena Pengadilan Negeri sebagai instansi hukum yang dijunjung tinggi, di mana produk hukumnya harus dipatuhi oleh siapapun. Oleh karena itu, penetapan tersebut dapat dipergunakan oleh Notaris sebagai landasan hukum untuk dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan bagi pasangan suami-istri. 143
Abdul Manan, Op. Cit., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
86
Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata Pasal 147 yang menyebutkan: “Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan, lain saat untuk itu tak boleh ditetapkannya”. Demikian juga yang tercantum dalam UU Perkawinan Pasal 29 ayat (1) yang pada intinya mengatur tentang pembuatan perjanjian perkawinan yaitu pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Adanya kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon ini dianggap sebagai suatu hal yang wajar dikarenakan kedua belah pihak adalah masyarakat umum yang tidak mengetahui secara pasti tentang ketentuan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan. Namun dikarenakan perjanjian ini didasarkan pada kesepakatan dan itikad baik kedua belah pihak untuk mengatur tentang harta benda perkawinan mereka dan telah memenuhi syarat-syarat dari sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang mengadakan perjanjian, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sehingga hal ini dibenarkan dan disetujui oleh majelis hakim yang memutuskan permohonan penetapan tersebut. Pasal 1320 KUHPerdata tersebut di atas merupakan landasan hukum bagi legalitas dari suatu perjanjian, apapun bentuk dan jenisnya yang dimaksud
Universitas Sumatera Utara
87
dengan sepakat antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya ke dalam suatu perjanjian adalah suatu kesepakatan atas dasar suka sama suka tanpa adanya paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun juga. Hal ini juga harus didukung dengan kecakapan para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, kewenangan bertindak untuk membuat perjanjian tersebut, hal yang diperjanjikan harus jelas dan tertentu dan obyek yang diperjanjikan merupakan obyek yang halal, legal dan tidak bertentangan dengan undang-undang.144 Hal ini juga tidak bertentangan bila ditinjau dari asas-asas dalam perjanjian yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam membuat suatu perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal ini mengandung asas kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian mengenai apa saja asal tidak melanggar hukum, kesusilaan dan ketertiban umum. Berdasarkan asas ini maka siapa saja yang dalam hal ini adalah para pemohon diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, sepanjang hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang dilarang. Konsekuensi hukum dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut
144
Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta: SinarGrafika, 2001), hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
88
adala bahwa setiap orang/pihak yang telah mengikatkan dirinya ke dalam suatu perjanjian harus mematuhi perjanjian tersebut karena telah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah menandatanganinya.145 Selain asas kebebasan berkontrak, hal ini juga sesuai dengan asas personalia yang terkandung dalam Pasal 1315 juncto Pasal 1340 KUHPerdata, yang pada intinya menyatakan bahwa, “setiap orang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian atau perikatan dikarenakan kehendaknya sendiri, atas namanya sendiri, dan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun”. Pembuatan perjanjian perkawinan ini juga dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana asas itikad baik (good faith) yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yaitu: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dalam hal ini perjanjian perkawinan yang dibuat harus dilaksanakan secara pantas dan patut oleh para pihak atau para pemohon. Itikad baik itu bukan hanya ada pada saat pelaksanaan perjanjian tapi juga pada saat dibuat atau ditandatanganinya perjanjian perkawinan tersebut. Dari hal-hal yang telah diuraikan di atas maka dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan oleh para pemohon adalah dibuat berdasarkan kesepakatan, kehendak sendiri, dan dengan itikad sehingga dapat dianggap tidak bertentangan dan dapat dibenarkan karena sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian. 145
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Op. Cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
89
2.
Adanya risiko pekerjaan terhadap harta bersama Dari permohonan para pemohon diketahui adanya kekhawatiran para pemohon akan adanya risiko pekerjaan mereka terhadap harta bersama mereka dalam perkawinan, karena pekerjaan para pemohon memiliki konsekuensi dan tanggung jawab sampai kepada harta-harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang didapat bisa tetap menjadi milik harta pribadi pemohon. Khususnya para pemohon yang menjabat sebagai direksi atau direktur Perseroan Terbatas, di mana jabatan mereka masing-masing tersebut mempunyai risiko terhadap harta bersama dalam perkawinan, karena konsekuensi dan tanggung jawab pekerjaan mereka sampai pada harta-harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang didapat tetap menjadi milik pribadi dari para pemohon. Resiko dari jabatan pekerjaan terhadap harta bersama ini dapat saja terjadi dalam kehidupan rumah tangga para pemohon yang dalam hal ini adalah Para Pemohon I sebagaimana yang dicantumkan dalam permohonannya yaitu : “Bahwa karena status sosial masing-masing sebagaimana tersebut di atas, di mana pekerjaan Pemohon I mempunyai resiko terhadap harta bersama dalam perkawinan, karena pekerjaan Pemohon I mempunyai konsekuensi dan tanggung jawab sampai pada harta-harta pribadi, oleh karena itu dengan persetujuan Pemohon II berkehendak agar harta–harta atas nama Pemohon I dengan Pemohon II dan tetap menjadi milik Pribadi Pemohon I…” Dari permohonan tersebut dapat diketahui bahwa pekerjaan para pemohon I mempunyai resiko terhadap harta bersama dalam perkawinan mereka dikarenakan pekerjaan para pemohon I mempunyai konsekuensi dan tanggung
Universitas Sumatera Utara
90
jawab sampai kepada harta-harta pribadi, sehingga hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian dalam kehidupan rumah tangga para pemohon. Bila hal ini kita tinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 97 ayat (3) yang berbunyi : “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”, maka jelas terlihat resiko pekerjaan yang mengharuskan Direksi mengganti kerugian perseroan terbatas sampai ke harta-harta pribadi apabila Direksi atau Direktur bersalah atau lalai dalam menjalankan jabatannya membuat keputusan maupun perbuatan hukum yang merugikan perusahaan. Sehingga untuk tidak menghancurkan biduk rumah tangga maka suami istri yang dalam hal ini adalah para pemohon yang belum membuat perjanjian perkawinan akhirnya membuat perjanjian perkawinan untuk melindungi harta benda masing-masing pihak suami istri dengan mengajukan permohonon penetapan perjanjian perkawinan dari Pengadilan Negeri. Seorang suami atau istri bekerja dalam jabatannya sebagai Direksi suatu perusahaan Perseroan Terbatas bertanggung jawab penuh atas kerugian Perseroan Terbatas sampai harta kekayaan pribadi jika yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Keadaan ini mulai dirasakan oleh para pasangan suami istri sangat merugikan bagi harta bersama mereka, sehingga memberikan implikasi terhadap pasangan suami isteri untuk membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan mereka.
Universitas Sumatera Utara
91
Dari gambaran di atas pasangan suami-istri ini mengkhawatirkan akan adanya risiko dari perilaku suami-istri atau risiko pekerjaan suami-istri selama perkawinan terhadap harta bersama mereka, hal ini berkaitan dengan pihak ketiga yang menjadi kreditur agar kepastian terlunasinya piutang. Jika suami-istri kawin dengan persatuan bulat harta kekayaan perkawinan, maka utang yang dibuat oleh suami atau istri dapat dituntut pelunasannya dari harta persatuan. Sebaliknya jika suami-istri dengan perjanjian perkawinan pisah mutlak harta kekayaan perkawinan maka utang suami hanya dapat ditagih dari harta pribadi suami, demikian pula utang yang dibuat oleh istri. Dari keadaan tersebut di atas membawa dampak terhadap pasangan suami istri membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan dengan tujuan yaitu pertama, jika terjadi pemberian hibah atau testamen dari orang tua kepada suami atau istri dengan maksud agar tidak dimasukan dalam pencampuran harta bersama selama perkawinan mereka. Kedua, melindungi perekonomian keluarga. Jika bisnis suami atau istri hancur, maka bisnis si istri atau suami tak perlu ikutan jadi korban, sehingga masih ada modal untuk membiayai pendidikan anak serta menata ulang kehidupan. Ketiga, sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kerugian lebih besar. Terutama kepada pihak suami atau istri yang bekerja dalam jabatannya sebagai direktur suatu perseroan terbatas yang mempunyai utang kepada pihak bank sehingga apabila terjadi kesalahan atau kelalaian maka hanya harta pribadi suami atau harta pribadi istri dapat ditagih pelunasannya.
Universitas Sumatera Utara
92
Adanya penetapan perjanjian perkawinan setelah perkawinan dari Pengadilan Negeri tersebut nantinya sudah pasti akan berakibat hukum pula terhadap harta benda para pemohon. Sehingga setelah adanya pembuatan perjanjian perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri maka harta benda masing-masing pihak suami istri akan menjadi semakin kuat pula secara hukum. Masing-masing pihak suami maupun istri harus mematuhi segala isi perjanjian perkawinan berdasarkan penetapan dari Pengadilan Negeri tersebut sebab segala hal yang menyangkut pemisahan harta sudah jelas dipisahkan, juga terhadap harta-harta lain yang kemudian hari timbul setelah tanggal penetapan tersebut tetap terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada lagi berstatus harta bersama. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 164 KUHPerdata bahwa apabila dijanjikan suatu persatuan hasil dari pendapatan, maka tidak akan terjadi persatuan harta kekayaan secara bulat dan persatuan untung rugi. Demikian juga halnya dengan hutang piutang yang ditimbulkan akibat perbuatan hukum dari pasangan hidupnya yang dilakukan setelah perjanjian perkawinan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut tanpa dapat melibatkan tanggung jawab dari pasangan kawinnya. Sehingga adanya penetapan perjanjian perkawinan ini dapat melindungi secara hukum harta benda kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak suami istri meskipun resiko pekerjaan dari masing-masing pihak dapat melibatkan harta bersama perkawinan mereka.
Universitas Sumatera Utara
93
3.
Adanya keinginan untuk tetap memiliki hak milik atas tanah Keinginan untuk memiliki hak milik atas tanah ini dikarenakan salah satu dari para pemohon adalah bukan Warga Negara Indonesia yaitu Pemohon II (Kavita Uttam) dalam Penetapan Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Pemohon I (Dubagunta Ramesh) dalam Penetapan Nomor: 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr, di mana menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyebutkan :146 a. Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik. b. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dengan syarat-syarat. c. Orang Asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik karena pewarisan-tanpa-wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepas maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. d. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. Dari bunyi pasal 21 UUPA yang menyebutkan bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang bisa memegang sertipikat hak milik atas tanah dan apabila yang bersangkutan, setelah memperoleh sertifikat hak milik kemudian menikah dengan eks patriat (bukan WNI), maka dalam jangka waktu 1 tahun setelah pernikahannya itu tanpa perjanjian perkawinan (percampuran harta), maka ia harus melepaskan hak milik atas tanah dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah 146
Pasal 21 UUPA.
Universitas Sumatera Utara
94
pernikahannya itu. Ia harus melepaskan hak milik atas tanah tersebut kepada subyek hukum lain yang berhak dan jika sesudah jangka waktu tersebut lampau maka hak milik atas tanah hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran bagi para pemohon akan hilangnya kepemilikan dari harta benda perkawinan mereka dikarenakan adanya ketentuan dalam Pasal 21 UUPA tersebut, di mana pasangan kawin para pemohon dalam hal ini pemohon Kavita Uttam dan pemohon Dubagunta Ramesh adalah Warga Negara Asing (WNA) sebagaimana dapat diketahui dari adanya bukti tertulis Foto Copy Kartu Izin Tinggal Tetap atas nama Kavita Uttam (P-4) dalam Penetapan Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Foto Copy Kartu Izin Tinggal Tetap Terbatas atas nama Dubagunta Ramesh (P-4) serta Foto Copy Passport India atas nama Dubagunta Ramesh No. Z1420292 (P-5) dalam Penetapan Nomor:
459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr. Sehingga untuk menghindari
hilangnya hak kepemilikan dari harta benda perkawinan tersebut maka diperlukan pemisahan harta benda perkawinan dari masing-masing pihak para pemohon dengan membuat perjanjian perkawinan dengan berdasarkan atas penetapan dari Pengadilan Negeri. 4.
Adanya penghasilan masing-masing para pemohon. Bahwa para pemohon juga memberikan alasan diajukannya permohonan perjanjian perkawinan setelah perkawinan ini juga dikarenakan para pemohon mempunyai penghasilan masing-masing yang cukup untuk menopang kehidupan rumah tangga mereka baik untuk kepentingan pribadinya maupun keluarga,
Universitas Sumatera Utara
95
sehingga para pemohon tidak memerlukan bantuan di bidang ekonomi atau keuangan antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian dalam urusan keluarga pihak suami berjanji akan tetap bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan keluarganya sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Keinginan para pemohon untuk memisahkan harta bersama mereka dikarenakan adanya penghasilan dari masing-masing pihak dapat dianggap sebagai suatu kesepakatan bersama yang dibuat berdasarkan kehendak sendiri, dengan itikad dan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun sehingga hal ini juga dapat dianggap tidak bertentangan dan dapat dibenarkan karena sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian. Hal ini juga sesuai dengan asas personalia yang terkandung dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata, yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian atau perikatan dikarenakan kehendaknya sendiri, atas namanya sendiri, dan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri ini dianggap tidak bertentangan dan dibenarkan karena sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian. Dalam hal ini kesepakatan para pemohon untuk memisahkan harta benda perkawinan mereka dengan membuat suatu perjanjian perkawinan dengan
Universitas Sumatera Utara
96
didasarkan pada penetapan Pengadilan Negeri adalah juga dikarenakan para pemohon merasa masing-masing mempunyai penghasilan yang cukup dan sangat memadai bagi kedua belah pihak untuk menopang kehidupan ekonomi rumah tangganya tanpa harus saling berketergantungan satu sama lainnya, di mana dalam hal urusan ekonomi keluarga para Pemohon I (selaku suami) tetap bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan keluarganya sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Dari
beberapa
pembahasan
mengenai
pertimbangan
hakim
dalam
memutuskan permohonan penetapan perjanjian perkawinan setelah perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri, maka dapat diketahui di mana dalam isi suatu perjanjian ada asas kebebasan berkontrak yang bisa dipakai untuk memperjanjikan apa saja dan tentang apa saja perbuatan hukum yang perlu bagi suami isteri ketika perkawinan berlangsung dengan adanya itikad baik kedua belah pihak terhadap apa isi dari hal-hal yang diperjanjikan tersebut dengan tetap mengacu kepada kaedah perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri itu harus berdasarkan kesepakatan, sebagaimana juga yang dicantumkan dalam dalam Pasal 1233 KUHPerdata, bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Universitas Sumatera Utara
97
Di samping itu, Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam mengabulkan permohonan penetapan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan, harus diartikan bahwa terjadinya pemisahan harta kekayaan para pemohon terhadap harta kekayaan mereka yang diperoleh adalah setelah tanggal penetapan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan harta-harta yang telah ada sebelum tanggal penetapan, tetap menjadi harta bersama suami istri. Adanya penetapan Pengadilan Negeri tersebut menjadi pedoman dan dasar hukum bagi kedua belah pihak suami istri untuk mengurus dan mengatur harta kekayaan perkawinan mereka karena suatu penetapan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihakpihak yang bersangkutan. Hal ini ditempuh karena Pengadilan Negeri sebagai instansi hukum yang dijunjung tinggi, dimana produk hukumnya harus dipatuhi oleh siapapun.
Universitas Sumatera Utara