BAB II KONDISI SOSIAL POLITIK KOTA SURAKARTA SEBELUM MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU
A. Kondisi Demografi 1. Wilayah Surakarta Surakarta merupakan daerah yang berada pada dataran rendah dengan tinggi kurang lebih 92 meter di atas permukaan air laut, yang berarti lebih rendah atau hampir sama tingginya dengan permukaan Bengawan Sala. Beberapa sungai-sungai kecil juga melewati wilayah Surakarta, yaitu Kali Pepe, Kali Anyar dan Kali Jenes yang semuanya bermuara di Bengawan Sala. Kotamadya Surakarta terletak diantara 110o BT - 111
o
BT dan 7,6o LS -
8oLS.1 Batas-batas Kota Surakarta sendiri meliputi: a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo. c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
Badan Pusat Statistik Kota Surakarta tahun 1970.
1
20
21
Wilayah Surakarta mempunyai iklim dengan suhu kurang lebih 26oC (suhu maksimum 29,1oC dan minimum 19,2oC). Tekanan udara rata-rata 10008,74o mbs, dengan kelembapan udara 79%. Kecepatan angin mencapai 4 knot dengan arah angin 188o. Wilayah Surakarta termasuk dalam iklim tropis yang mengalami dua pergantian musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada musim kemarau tempat-tempat terbasah masih menunjukkan curah hujan di atas minimum pada musim hujan. Pada musim hujan curah hujan sering lebih tinggi dari perkiraan sehingga daerahnya sering dilanda banjir., akibatnya Sungai Bengawan Solo tidak mampu menampung air dari aliran sungai-sungai kecil yang bermuara ke Bengawan Solo. Berdasarkan sejarahnya, kota Surakarta sering mengalami banjir besar sampai tujuh kali yaitu pada tahun 1866, 1886, 1897, 1902, 1904, 1956 dan 1966.2 Surakarta berada pada daerah yang menjadi jalur penghubung lintasan dua kota besar (Semarang dan Surabaya) dan merupakan wilayah yang berada diantara dua gunung yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi. Keadaan ini mempengaruhi struktur tanah di Surakarta yang bergelombang di bagian utara dan timur. Jenis tanahnya sendiri sebagian besar berupa tanah liat berpasir termasuk regosal kelabu disana-sini. Beberapa wilayah lain terdapat tanah padas dan sebelah timur terdiri dari endapan Lumpur di Keraton dan Kedung karena daerah tersebut dulunya daerah rawa.
Rossyta Dyah Prastyanti., Partai Masyumi Cabang Surakarta Pada Tahun 1954-1969., (Skripsi FSSR UNS: 2007)., hlm.30. 2
22
2. Percampuran Masyarakat Surakarta Masyarakat Surakarta mempunyai sifat yang terbuka terhadap masyarakat pendatang karena wilayahnya sendiri merupakan jalur penghubung antar daerah, sehingga banyak masyarakat luar yang berbaur dengan masyarakat Surakarta. Situasi seperti ini dipengaruhi oleh wilayahnya yang geografis dan strategis. Banyak masyarakat dari berbagai kalangan yang menggunakan jalur ini, sehingga dari mereka ada yang singgah untuk sementara atau menetap disitu. Kondisi seperti ini membuat masyarakat secara tidak langsung harus berinteraksi dengan masyarakat luar yang mungkin juga dari etnis yang berbeda-beda. Percampuran ini membuat wilayah Surakarta menjadi ramai dengan masyarakat-masyarakat pendatang. Kondisi mengenai keadaan penduduk di Surakarta dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain dari jumlah penduduk, mata pencaharian, agama dan kepercayaan penduduk. Berdasarkan data statistik Kota Surakarta tahun 1971, jumlah penduduk yang mendiami wilayah Surakarta mencapai 413.077 jiwa. Wilayah Surakarta yang strategis mempengaruhi kepadatan penduduk ini, karena berdasarkan data tersebut penduduk yang mendiami wilayah Surakarta juga banyak yang berasal dari etnis-etnis lain.
23
Tabel 1 : Sensus Penduduk Eks Karesidenan Surakarta tahun 1971 menurut Wilayah Administratif dan Suku Bangsa. Kewarganegaraan INDONESIA CINA ARAB INDIA 1 2 3 4 5 6 1 KODYA SURAKARTA 401.537 10.64 360 300 2 Kab. Klaten 956.018 1.083 0 157 3 Kab. Boyolali 708.249 175 0 188 4 Kab. Sragen 641.661 168 0 50 5 Kab. Sukoharjo 493.262 282 0 103 6 Kab. Karanganyar 501.846 0 0 49 7 Kab. Wonogiri 892.832 40 0 156 JUMLAH 4.595.405 12.388 360 1003 JAWA TENGAH 21.809.901 49.137 1024 4165 (Sumber : BPS Kota Surakarta tahun 1971) No.
Daerah TK. II
PAKISTAN LAINNYA 7 8 160 80 0 9 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 160 93 180 856
JUMLAH 9 413.077 957.267 708.612 641.879 493.651 501.895 893.028 4609.409 21.865.263
Tabel satu menjelaskan mengenai pengaruh wilayah Surakarta yang letaknya strategis dan menjadi jalur penghubung, sehingga di Surakarta menjadi wilayah percampuran antara berbagai suku kebangsaan atau multietnis yakni: Indonesia, Cina, Arab, India, Pakistan dan lainnya. Percampuran tersebut mempengaruhi pola kehidupan dan interaksi antar masyarakat dengan adat tradisi yang berbeda-beda. Perbedaan ini cukup memberi gambaran yang unik terhadap pola hidup masyarakat Surakarta karena mereka harus menyatukan beberapa unsur budaya yang berbeda untuk dapat hidup bermasyarakat. Wilayah Surakarta merupakan daerah yang kurang mendukung dalam hal untuk bercocok tanam, sehingga untuk mata pencaharian mayoritas masyarakatnya adalah di bidang perdagangan dan non agraris. Banyak usaha perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Surakarta, salah satunya usaha batik yang juga dilakukan
24
oleh mayarakat dari etnis Arab. Surakarta merupakan jalur penghubung yang banyak dilewati dan tempat bertemunya para etnis-etnis pendatang.
B. Kondisi Sosial Politik Surakarta 1. Gambaran umum Kota Surakarta Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mempengaruhi sistem pemerintahan yang ada di wilayah Surakarta. Setelah Proklamasi status Kerajaan di Wilayah Surakarta masih tetap diakui dan disahkan sebagai daerah Istimewa. Pada tanggal 19 Agustus 1945 berdasarkan piagam Penetapan Presiden, Pakubuwono XII dan Mangkunegaran VIII ditetapkan sebagai kepala daerah Istimewa Surakarta.3 Perubahan ini memberikan pengaruh terhadap situasi di Surakarta sendiri. Berbagai permasalahan yang timbul mengakibatkan munculnya gerakan anti swapraja, oleh sebab mereka merasa pihak pemerintahan Surakarta tidak bisa diajak kerjasama. Kelompok anti swapraja di Surakarta ini mengakibatkan ketegangan-ketegangan sosial politik antara golongan ningrat (bangsawan) dengan golongan intelektual yang duduk dalam pemerintahan daerah Surakarta.4 Mereka menginginkan pemerintahan yang ada di Surakarta sesuai dengan alam demokrasi dan perwakilan rakyatnya turut mempunyai bagian dalam pemerintahan serta menghendaki adanya satu pemerintahan saja. Suasana yang terjadi di wilayah Surakarta semakin tidak menentu, bentuk reaksi pro dan kontra terhadap pemerintahan Surakarta membuat keadaan semakin
Hari Mulyadi, dkk., Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit (Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala” Dan Kerusuhan Mei 1998 Di Surakarta)., (Surakarta: LPTP.1999)., hlm.289. 4 Ibid., hlm.290. 3
25
menegang. Peristiwa ini memberikan dampak terhadap pemerintahan Surakarta dan mengalami beberapa perubahan terhadap bentuk pemerintahanya antara lain5: a. Pemerintah Daerah Kota Surakarta, periode ini dimulai pada tanggal 16 Juni 1946 sampai berlakunya Undang-undang No. 16 tahun 1947 tentang pembentukan Haminte Surakarta tanggal 5 Juni 1947. Pemerintahan ini membekukan status istimewa Kasunan dan Mangkunegaran. Pembekuan ini merubah pemerintah daerah yang demokratis dengan nama Kota Surakarta yang dikepalai seorang walikota dan daerah Surakarta dijadikan daerah Karesidenan biasa. Mr. Iskak Cokroadisuryo diangkat sebagai Residen Surakarta merangkap walikota dan Sudiro dari Barisan Benteng diangkat sebagai wakil residen Surakarta. b. Pemerintahan Haminte Kota Surakarta dimulai sejak berlakunya Undangundang No. 16 pada tanggal 5 Juni sampai berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah tanggal 5 Juli 1948. Pada pembentukan pemerintahan ini telah mengambil alih dinas-dinas Kasunanan dan Mangkunegaran yang berada di wilayahnya dan menyusun lembaga, antara lain Dewan Pemerintah Kota (Badan Eksekutif Kota) dan walikota. Pada bulan Juli 1947 bekas wakil residen, Sudiro dan juga wakil pemimpin Barisan Benteng diangkat sebagai Residen Surakarta. c. Pemerintahan Kota Besar Surakarta, pemerintahan ini dimulai sejak berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah tanggal 18 Januari 1957. Perubahan ini merubah sistem 5
Ibid., hlm 293.
26
pemerintahannya, yaitu daerah Kota Surakarta dibagi dua jenis daerah, daerah otonom besar dan daerah otonom istimewa. Tiap daerah dibedakan lagi tiga tingkat, yakni propinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil), sedangkan Kota Surakarta termasuk kota besar. d. Pemerintah Kota Swapraja Surakarta yang dimulai sejak berlakunya Undangundang No. 1 tahun 1957 pada tanggal 18 Januari 1957 sampai dengan berlakunya Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang
pokok-pokok
pemerintahan daerah tanggal 1 September 1965. e. Periode pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta dimulai dengan adanya Undang-undang No. 18 tahun 1965 tanggal 1 September 1965 dan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 hingga sekarang.
2. Kondisi Sosial Politik di Surakarta Munculnya partai politik dilatarbelakangi oleh usulan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang meminta pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat supaya mendirikan partai politik, dengan restriksi bahwa partai-partai itu hendaknya memperkuat perjuangan
mempertahankan
kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Setelah pembentukan
partai
politik pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya: a. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran politik yang ada dalam masyarakat.
27
b. Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelum dilangsungkan
pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada
bulan Januari 1946.6 Sikap pemerintah dengan mengeluarkan maklumat tersebut, sekaligus resmi berdirinya beberapa partai politik yang secara garis besar dapat dikelompokan ke dalam
tiga basis ideologi: Agama, Nasionalis, dan Marxisme seperti pemetaan
Soekarno. Partai politik tersebut meliputi: a. Partai dengan ideologi Keagamaan yang berdiri karena munculnya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada bulan Agustus 1945, sehingga membuat basis keagamaan juga perlu mengorganisasikan kekuatannya dalam wadah politik. Beberapa partai yang berdiri antara lain: Masyumi, NU, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. b. Partai dengan politik nasionalis-kebangsaan menghendaki bahwa dalam lapangan
perjuangan
bercorak
kebangsaan
dan
susunan
pemerintah
berdasarkan kedaulatan rakyat, dalam lapangan masyarakat susunannya berdasarkan gotong royong (masyarakat kolektivisme) dan karena itu menolak susunan masyarakat yang individualisme (kapitalisme). Berdasarkan beberapa asas tersebut banyak partai yang berdiri antara lain: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia Raya (Parindra), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), Partai Persatuan Indonesia Widjanarko Puspoyo,.”Dari Soekarno Hingga Yudhoyono, Pemilu Indonesia 1955-2009”., (Laweyan, Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2012),. hlm.21. 6
28
Raya (PIR), Partai Wanita Rakyat, Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Partai Serikat Kerakyatan Indonesia (PSKI), Partai Ikatan Nasional Indonesia, dan Partai Tani Indonesia. c. Partai Berideologi Marxisme-sosialisme ini didasarkan pada paham Barat Sekuler, terutama Marxisme, Sosialisme, dan Komunisme Leninisme. Partai yang berdiri adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini berkeinginan membentuk masyarakat sosialis di Indonesia, yaitu susunan masyarakat di Indonesia di mana semua alat produksi dimiliki oleh rakyat dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Selain itu, PKI berusaha mencapai tujuannya dengan jalan perjuangan kelas yang revolusioner, yaitu kelas buruh, kaum tani, dan golongan yang trtindas oleh kelas borjuis. Setelah berdirinya PKI juga disusul oleh partai-partai lain yaitu: Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Murba, Partai Buruh.7 Surakarta menjadi suatu daerah yang penting bagi perkembangan politik yang ada di Indonesia, hal ini disebabkan oleh beberapa organisasi yang bersifat revolusioner banyak yang bermunculan di Surakarta. Situasi politik yang sangat dinamis ini mempengaruhi kehidupan yang sedang berlangsung di masyarakat itu sendiri. Banyak tekanan-tekanan dari pemerintah membuat masyarakat menjadi tidak bebas terhadap haknya sebagai warga negara terutama dalam hak memilih suara. Namun semua orang pun berpendapat bahwa semua itu hanyalah demokrasi pura-pura semata, untuk menutupi segala keburukan proses perpolitikan para penguasa, dan elit-elit politik Indonesia dan membungkusnya dengan istilah “musyawarah untuk mufakat”. 7
Ibid., hlm.23.
29
Partisipasi masyarakat dalam bidang politik ini meliputi hak memilih partai politik, baik secara individu maupun kelompok. Kehidupan sosial masyarakat juga mengalami perubahan terhadap munculnya pengaruh politik ini. Perubahan ini meliputi hubungan yang sebelumnya terjalin dengan harmonis dan dengan munculnya persaingan politik ini masyarakat menjadi saling bersaing. Kondisi yang sangat dinamis terjadi dalam kehidupan perpolitikan di kota Surakarta. Hal ini disebabkan karena kota Surakarta memiliki dua model kepemimpinan yaitu kepemimpinan resmi dari pemerintah yang dijalankan oleh walikota dan kepemimpinan tradisional yang berada di tangan penguasa keraton. Dua kepemimpinan ini tentunya sangat mempengaruhi kehidupan yang ada di masyarakat Surakarta. Wilayah Surakarta masih terdapat unsur budaya keraton, hampir sama dengan Yogyakarta. Pemimpin
memiliki
pengaruh
besar
terhadap
masyarakatnya.
Kondisi
pemerintahan tersebut memberikan pengaruh pada partai politik untuk saling berkompetisi dalam memperoleh dukungan. Pengaruh yang diberikan terutama ditujukan pada para pemimpin kekuasaan mengingat bahwa, pemimpin memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat khususnya kota Surakarta. Tabel satu menjelaskan berbagai etnis masuk dan mendiami wilayah Surakarta, sehinga banyak pola interaksi masyarakat yang terbilang unik karena harus menyatukan berbagai unsur budaya yang berbeda. Beberapa pola interaksi masyarakat tersebut tidak mengalami masalah, salah satu contohnya adalah interaksi yang dilakukan oleh etnis Jawa dan etnis Arab yang bisa berinteraksi dengan baik tanpa timbul masalah konflik yang serius karena masyarakat Jawa memiliki
30
keterbukaan dan bisa menerima segala aktivitas yang dilakukan oleh etnis Arab yang sebagian diantara mereka juga berprofesi dalam bidang ekonomi dan industri. Masyarakat Surakarta yang juga dikenal dengan masyarakat Jawa identik dengan keramahannya dalam berinteraksi dengan masyarakat lain. Hal ini menunjukkan interaksi yang terjadi di masyarakat itu sendiri dapat mempengaruhi kehidupan politik yang ada di masyarakat. Pada saat Pemerintah Orde Baru mulai menggeser Pemerintah Orde Lama banyak perubahan yang terjadi, salah satunya adalah mengenai percampuran masyarakat yang ada di Surakarta berdasarkan tabel diatas. Pada tabel satu menjelaskan bahwa etnis lain (bukan pribumi) yang mendiami wilayah Surakarta, paling banyak berasal dari etnis Tionghoa. Sebelumnya jika dijelaskan interaksi yang terjadi antara etnis Jawa dengan etnis Arab tidak mengalami masalah, dalam hal ini berbeda dengan hubungan antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa. Interaksi antara kedua etnis ini sering menimbulkan masalah dan bahkan sampai bentrokan fisik pernah terjadi. Permusuhan dengan etnis Tionghoa sudah muncul sejak tahun 1911 ketika perkelahian kecil antara Rekso Rumekso (Jawa) dengan Kong Sing (Tionghoa).8 Etnis Tionghoa juga mendapatkan serangan pada massa Pemerintahan Orde Baru yang mencoba untuk membersihkan unsurunsur komunis di wilayah Surakarta. Banyak masyarakat yang merasa menjadi korban, kemudian menjarah gudang beras di Purwopuran. Penjarahan gudang beras terebut kemudian berpindah ke Pasar Legi dan sepanjang jalan Tambaksegaran untuk
8
Ibid., hlm. 33.
31
menghancurkan toko-toko milik orang-orang Cina.9 Sikap tersebut mempengaruhi pola pikiran masyarakat etnis Cina untuk mendukung pelaksanaan pemilihan umum karena hak mereka dalam berpolitik juga dibatasi. Kepemimpinan di Surakarta pada kenyataannya terbagi menjadi dua yaitu kepemimpinan resmi melalui Pemerintah Kota Surakarta yang dijalankan oleh Walikota dan kepimpinan tradisional yang berada di tangan penguasa keraton.10 Kedua kepemimpinan ini pada pemilu 1971 berpengaruh terhadap massa yang ikut memilih karena Orde Baru melakukan pendekatan melalui para tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalam masyarakat, termasuk para pemimpin tersebut. Masyarakat di Surakarta sebagian masih ada yang menganut sistem patron client, sehingga pada situasi kampanye kedua pimpinan ini mempunyai peran yang sangat penting terhadap perolehan suara dan pengumpulan massa untuk setiap parpol. Di Surakarta sendiri sebagian masyarakatnya merupakan penganut aliran jawa abangan yaitu suatu ahli waris tradisi agama pribumi kuno yang dipengaruhi oleh gelombang perubahan agama.11 Selain itu, Surakarta merupakan wilayah dengan budaya jawa yang kuat dimana masyarakatnya pemeluk agama Islam terbagi menjadi dua kelompok yaitu: a.
Agama Islam yang tercampur dengan unsur-unsur keagamaan Hindu, Budha serta unsur-unsur keagamaan daerah setempat atau yang dikenal dengan 9
https://muhammadfarizqi.wordpress.com/2014/06/25/sejarah-kerusuhanrasial-di-kota-solo-jawa-tengah-indonesia/ diuduh 13 Juni 2015. 10 Insiwi Febriary Setiasih., Fanatisme Massa Partai Di Wilayah Surakarta (Studi Kasus Massa Partai Demokrasi Indonesia Tahun 1987-1999)., (Skripsi FSSR UNS: 2002)., hlm.37. 11 Yophy Swasti Kawedar., Partisipasi Masyarakat Miskin Di Surakarta Dalam Pemilihan Orde Baru (Studi Kasus Partai Politik Masyarakat Miskin Kampung Dadapan Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Dalam Pemilihan Umum Orde Baru Tahun 1982-1992)., (Skripsi FSSR UNS: 2007)., hlm.62.
32
istilah abangan (agama Jawi) golongan masyarakat yang menganut agama Islam tetapi belum menjalankan perintah agama secara benar. b.
Agama Islam putihan atau santri yang bersifat lebih dogmatik dan puritan. Selain itu juga merupakan pusat pergerakan yang memiliki mobilitas tinggi.12 Perbedaan golongan masyarakat tersebut sudah menampakkan bagaimana
persaingan yang ada di masyarakat itu sendiri. Masyarakat memiliki keyakinan sendiri dan bertentangan dengan beberapa masyarakat lainnya, namun pada masa Orde Baru aliran Jawa abangan semakin tidak terlihat karena terpengaruh dengan semakin
berkembangnya
agama
Islam.
Perkembangan
agama
Islam
ini
mengakibatkan aliran tersebut menjadi sulit dibedakan karena bercampur dengan agama islam. Surakarta yang merupakan daerah dengan basis abangan dan dengan latar belakang kebudayaan jawa pada umumnya. Pemilihan umum tahun 1955 yang ada di Surakarta merupakan persaingan antara partai berdasarkan tradisi abangan dengan partai politik berbasis agama (santri). Persaingan ini cukup memberi warna politik yang berbeda di Surakarta dengan basis ajaran jawanya. Pola kepemimpinan yang ada di kota Surakarta juga mempengaruhi struktur masyarakatnya misalnya masyarakat yang masih patuh pada kepemimpinan keraton, masyarakat santri dan masyarakat abangan. Masyarakat santri biasanya menjadikan seorang Kyai sebagai panutannya dan mengikuti semua ajarannya, maka yang mereka hormati adalah Kyai tersebut. Sedangkan masyarakat bukan dari wilayah keraton atau santri biasanya yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka adalah seorang pemimpin di tempat mereka masing-masing, misalnya seorang lurah atau camat. 12
Rossyta Dyah Prastyanti ., Op.Cit., hlm.34.
33
Budaya seperti ini biasa disebut dengan budaya patron client yaitu ketundukan terhadap pemimpin formal. Ketundukan terhadap pemimpin juga dirasakan untuk para pegawai negeri yang harus tunduk tehadap pemerintah. Masyarakat yang bekerja untuk pemerintah harus diwajibkan memilih Golkar selaku mesin politik Orde Baru. Dengan demikian Orde Baru bisa menggunakan strategi ini untuk menguasai perolehan suara pada pemilu tahun 1971. Selain itu, untuk masyarakat awam yang tidak tahu politik sama sekali lebih memilih untuk mengikuti tokoh yang ada di masyarakat itu seperti para pemimpin keraton yang juga menjadi panutan. Pada pemilihan umum tahun 1971 pihak Mangkunegaran dengan jelas mendukung dan membantu Golkar.13 C. Situasi Pemilihan Umum Di Kota Surakarta 1. Pemilihan Umum Tahun 1955 Pemilihan umum nasional pertama kali di Indonesia berlangsung pada September 1955. Pelaksanaan pemilu ini berlangsung selama dua kali yaitu pada September 1955 untuk memilih DPR dan pada Desember 1955 untuk Kontituante (yang dipilih untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang permanen).14 Pemilu Orde Lama pada tahun 1955 mumpunyai pasrtisipan politik yang banyak bermunculan dan berakar di daerah pedesaan atau perkotaan. Pemilihan umum tahun 1955 melibatkan persaingan empat partai besar, yaitu PKI, PNI, Masyumi dan NU. Berdasarkan komposisi masyarakat Surakarta yang didominasi oleh kelompok priyayi dan abangan cenderung dengan partai komunis dan nasionalis , PKI berhasil 13
Majalah Tempo edisi ke VIII tanggal 13 Mei 1978., hlm.20. Kevin R. Evans.,”Sejarah Pemilu Dan Partai Politik Di Indonesia”., (Jakarta Selatan: PT. Arise Consultancies,2003)., hlm.13. 14
34
memenangkan suara pada pemilihan umum tahun 1955 mengalahkan PNI. Namun demikian, basis santri tetap mempengaruhi kehidupan politik selanjutnya. Persaingan antara partai-partai abangan dengan basis santri yang massa terkuatnya berasal dari partai-partai Islam seperti Masyumi dan NU tetap mengalami persaingan yang sangat ketat hingga masa-masa berikutnya. Pada pemilihan umum 1955, diantara partai politik yang banyak mencari pengaruh dan dukungan dari kaum abangan, PNI adalah yang paling menonjol sebagai partai yang berhubungan erat dengan politikus abangan paling terkemuka yakni Soekarno.15 Di Surakarta PNI berhasil menarik perhatian kaum birokrat abangan di tingkat yang paling rendah yakni pejabat-pejabat desa serta orang-orang desa yang cukup berada dan kesemuanya mempunyai pengaruh besar di daerah masing-masing.16 Strategi yang dilakukan oleh PNI ini merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada masyarakat dan mengumpulkan massanya. Di Surakarta sebagian masyarakatnya masih menggunakan pola hubungan pemimpinpengikut (patron-client), sehingga dengan melakukan pendekatan terhadap para pemimpin-pemimpinnnya secara tidak langsung orang-orang kecil dibawahnya juga akan tunduk atau mengikuti para pemimpinnya. Setelah Orde Baru masuk ke pemerintahan menggantikan Orde Lama, banyak perubahan yang terjadi dan Orde Baru menguasai perpolitikan yang baru. Pelantikan Soeharto pada tahun 1968 mebuat perhatian selanjutnya adalah Pemilihan umum Arif Budi Yuwono., 1992., “Surakarta di Awal Masa Orde Baru Suatu Kajian Tentang Peta Kekuatan Partai Politik dalam Pemilu 1971 & 1977., Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UNS., hal.60. 16 Ibid., hlm.67. 15
35
tahun 1971. Soeharto harus menang dalam pemilu tersebut, dan ini berarti Soeharto memerlukan sebuah partai politik untuk memperkuat kekuasaannya. 17 Soeharto memilih Golkar untuk menjadi kekuatan politik pada masa Orde Baru. Sebagai representasi anti komunis, Golkar juga merupakan kekuatan alternative bagi Orde Baru. Golkar merupakan organisasi baru yang dekat dengan militer, yang dianggap juga sebagai pahlawan menumpas PKI.
2. Situasi Menjelang Pemilihan Umum Orde baru Di Surakarta Pemilihan umum pertama kali pada tahun 1955 yang berlangsung secara damai dan demokrasi tidak bisa dilanjutkan lagi dan merubah format politik yang baru. Perubahan ini dipengaruhi oleh keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yakni sebuah keputusan untuk membubarkan Dewan Konstituante dan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno dan Angkatan Darat untuk “menguburkan partai-partai politik yang dinilai terlalu gaduh.”18 Dalam hal ini, Dekrit Presiden telah mempengaruhi pengurangan partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum selanjutnya. Perubahan menjelang pemilu tahun 1971 dengan pengurangan beberapa partai, PNI masih tetap kuat karena Surakarta merupakan salah satu wilayah dengan budaya feodal yang kental dan menjadi lahan yang subur bagi partai ini untuk mendapatkan masa. Selain partai ini, PKI juga merupakan salah satu partai yang cukup berkembang di Surakarta dengan kemenangannya pada pemilihan
Jusuf Wanandi.. Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998., (Jakarta : Kompas, 2014)., hlm. 125. 18 Widjanarko Puspoyo., Dari Soekorno Hingga Yudhoyono, Pemilu Indonesia 1995-2009., (Laweyan, Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2012)., hlm.89. 17
36
umum 1955. Perolehan ini tentu menjadi pandangan sendiri bagi Orde Baru dalam pelaksanaan pemilu tahun 1971 di Surakarta. Sementara itu, pemberontakan G 30 S/PKI menimbulkan kestabilan politik menjadi tidak seimbang dan untuk mencegah kemenangan PKI terulang kembali, maka pada tahun 1965 pemberantasan atau pembersihan pemberontakan PKI dilakukan secara besar-besaran. Peristiwa ini membuat masyarakat menjadi trauma dan merasa ketakutan.19 Di wilayah Surakarta berdasarkan tabel satu diatas menunjukkan bahwa percampuran masyarakat paling banyak adalah etnis Tionghoa. Sebelum rezim Orde Lama runtuh, muncul banyak polemik sendiri mengenai ini. Orde Baru mencoba meminoritaskan masyarakat ini dan perlakuan istimewa lebih diutamakan untuk masyarakat asli Indonesia atau pribumi . Permasalahan ini juga memunculkan pengaruh untuk kestabilan politik yang terjadi di Surakarta. Banyak perusahaanperusahaan yang dimiliki oleh warga negara Indonesia keturunan Tionghoa oleh pemerintah tidak dianggap sebagai perusahaan nasional bila sahamnya tidak dimiliki 50% oleh orang Indonesia asli atau pribumi.20 Dalam masa transisi, Orde Lama berhasil dikuasai oleh Orde Baru yang didominasi Angkatan Darat dan teknokrat dibawah kekuasaan Presiden Soekarno. Munculnya kekuasaan baru ini sekaligus memunculkan adanya ideologi baru dalam pemerintahan, yakni ekonomi dengan slogan Politik No, Pembangunan Yes. Pemerintah
Orde Baru mencoba memberikan warna yang beda terhadap
pemerintahan dan image yang baru.
19 20
Wawancara dengan Bapak Saryanto pada tanggal 9 Juli 2015 Hari Mulyadi., Op.Cit., hlm.299.
37
Persiapan untuk pemilu tahun 1971 ini menjadi pertanda runntuhnya Orde Lama. Banyak perubahan dari pemilu sebelumnya antara lain munculnya golongan baru yaitu golongan karya yang lahir dalam bentuk Sekretarian Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Golkar dikelompokkan menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO) yang terdiri dari; Kelompok Profesi, Ormas-ormas, dan Gerakan Pembangunan. Menjelang Pemilihan umum 1971, dengan didukung tujuh KINO tersebut, Golkar muncul dengan tanda gambar Pohon Beringin.21Selain kemunculan Golkar yang memberikan warna baru menjelang pemilihan umum tahun 1971, Golkar juga dijadikan sebagai mesin politik Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru yang terkesan kurang jurdil juga munculkan golongan baru sebagai bentuk reaksi lain terhadap pemerintah yakni aksi Golput (Golongan Putih). Golongan Putih (Golput) merupakan bentuk respon dari masyarakat yang tidak puas terhadap cara Orde Baru yang dirasa kurang wajar terhadap partai politik maupun rakyat pada umumnya. Golput muncul sejak kampanye masih hangat-hangatnya dan personilnya kebanyakan berasal dari kalangan anak-anak generasi muda. Munculnya golongan ini mewarnai situasi politik saat itu, karena aksi ini membuat situasi politik terpecah menjadi tiga golongan yaitu: Golongan commite GOLKAR, Golongan commite PARPOL dan golongan PENONTON/MORAL FORCE atau yang tidak mau ikut siapa-siapa dengan menyebut dirinya GOLPUT.22 Golput didasari oleh beberapa alasan yang dirasa sebagai bentuk kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Salah satu kecurangan yang dilakukan oleh
21 22
Ibid., hlm.107. Harian Andika pada tanggal 3 Juni 1971.
38
Pemerintah Orde Baru dan dianggap kurang wajar oleh masyarakat adalah kebebasan memilih yang diberikan kepada para Pegawai Negara Sipi (PNS). Para PNS memang diberikan hak untuk mengikuti pemilu, akan tetapi mereka harus menilih partai Golkar dan Jika tidak memilih Golkar mereka dengan mudah dapat diketahui identitasnya dan besoknya mereka yang tidak memilih akan dipanggil dan ditindaklanjuti. Sikap Pemerintah yang seperti ini cukup membuat mereka merasa tertekan dan hak mereka dalam memilih menjadi terbatas, serta memberikan trauma terhadap mereka yang tidak memilih.23
Wawancara dengan Bapak Budi (nama samaran) salah satu aktivis penentang Orde Baru angkatan 80-an pada tanggal 18 Agustus 2015. 23