25
BAB II KEWAJIBAN PEMBERIAN MAHAR DARI CALON SUAMI KEPADA CALON ISTERI DALAM PERKAWINAN ISLAM
A. Mahar Dalam Hukum Perkawinan Islam 1.
Pengertian Mahar Secara terminologi, mahar adalah pemberian yang wajib dari calon suami
kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya38 dalam kaitannya dengan perkawinan. Pemberian itu dapat berupa uang, jasa, barang, ataupun yang lainnya yang dianggap bermanfaat oleh orang yang bersangkutan. Kemudian mengenai definisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam ilmu fiqih mahar atau maskawin mempunyai banyak nama. Demikian pula dalam al-Qur’an, maskawin sering disebut dengan sebutan yang berbeda-beda, kadangkala disebut dengan shadaq, nihlah, faridhah, atau arjun. Dasar hukum mahar adalah surat An-Nisa ayat 4, yakni: “Berikanlah kepada wanita-wanita yang kamu nikahi maskawin mereka dengan kerelaan”39. Dengan demikian, istilah shadaqah,
38
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan 4, 2010), hal. 84. 39 H. Rahmat Hakim, Op. Cit, hal. 72.
25
Universitas Sumatera Utara
26
nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi istilah maskawin lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia. Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa mahar merupakan pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah. Pemberian yang diberikan kepada mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan, tidak disebut mahar. 2.
Syarat dan Macam-macam Mahar Islam membolehkan
memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai
serendah mungkin yang penting memiliki nilai meski pun tidak besar yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar tersebut. Namun demikian ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam pemberian mahar kepada calon isteri. Mahar yang diberikan kepada calon isteri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 40 a.
Harta/bendanya bergerak. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
40
Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit , hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
27
b.
Barangnya suci dan dapat diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c.
Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d.
Bukan barang yang tidak jelas keberadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa syarat-syarat mahar atau sesuatu
yang cocok dijadikan mahar dan yang tidak cocok, ditetapkan 3 (tiga) syarat: 41 1.
Merupakan suatu barang yang bisa dimiliki dan dijual (emas), barang-barang dan yang sejenisnya. Tidak boleh memberikan mahar yang berupa khamar, babi, dan yang selain keduanya yang tidak bisa dimiliki.
2.
Harus sesuatu yang diketahui. Karena mahar adalah pengganti pada hak yang diberikan ganti, maka dia menyerupai harga barang jadi tidak boleh dengan sesuatu yang tidak diketahui, kecuali dalam pernikahan tafwidh, yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad diam ketika ditetapkan mahar didalam akad. Penentuan diserahkan kepada salah satu dari keduanya atau kepada orang yang selain keduanya.
3.
Terbebas dari tipuan. Mahar tidak boleh berupa budak yang tengah kabur, unta yang tersesat atau barang yang mempunyai keduanya. 41
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011) hal. 237.
Universitas Sumatera Utara
28
Menurut pendapat mazhab Maliki dan Hanafi yang bertentangan dengan pendapat Syafi’i dan Ahmad tidak diwajibkan menyifati barang mahar. Jika diberikan mahar yang tidak sesuai dengan yang disifati maka si perempuan memiliki hak untuk menengahi. 42 Macam-macam Mahar. Adanya pernikahan menjadi sebab seorang suami diwajibkan memberikan sesuatu kepada isterinya baik berwujud uang maupun berupa barang. Pemberian ini disebut mahar. Mahar adalah sesuatu yang wajib ada meskipun tidak dijelaskan bentuk dan harganya pada saat akad nikah namun pada kenyataannya yang terjadi ditengah-tengah masyarakat masalah mahar tetap disebutkan pada waktu akad nikah menurut ukuran yang pantas. Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu: a.
Mahar Musamma Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.43 Mahar ini yang umum berlaku dalam suatu perkawinan. Suami berkewajiban untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsungnya perkawinan, suami wajib membayar mahar tersebut yang nilainya sesuai dengan yang disebutkan
dalam
akad
perkawinan.
Ulama
fikih
sepakat
bahwa, dalam
pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
42 43
Ibid, hal. 238. Abdul Rahman Ghozali , Op. Cit, hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
29
1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun”.(QS AnNisa: 20) 2) Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’. Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah, berdasarkan firman Allah Swt. “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu....”(QS Al-Baqarah: 237). 44 Mahar musamma sebaiknya diserahkan langsung secara tunai pada waktu akad nikah supaya selesai pelaksanaan kewajiban. Namun dalam keadaan tertentu dapat saja tidak diserahkan secara tunai, bahkan dapat pembayarannya secara cicilan. Sebagian ulama diantaranya Malikiyah menghendaki pemberian pendahuluan mahar setelah akad berlangsung. Apabila mahar tidak dalam bentuk tunai kemudian terjadi putus perkawinan setelah dukhul, sewaktu akad maharnya adalah dalam bentuk 44
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
30
musamma maka kewajiban suami yang menceraikan adalah mahar secara penuh sesuai dengan yang ditetapkan dalam akad. Demikian juga keadaannya seandainya suami meninggal dunia. Namun bila perceraian terjadi sebelum dukhul, sedangkan jumlah mahar telah ditentukan, maka kewajiban mantan suami hanyalah separuh dari jumlah yang ditetapkan sewaktu akad nikah, kecuali bila yang separuh itu telah dimaafkan oleh mantan isteri atau walinya. b. Mahar Mitsil (Sepadan) Mahar Mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan.45 Maksudnya adalan mahar yang diusahakan kepada mahar-mahar yang pernah diterima pendahulunya atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memperhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya. Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita atau bibi/bude, atau uwa perempuan (Jawa Tengah/Jawa Timur), atau ibu uwa (Jawa Banten), ataupun anak perempuan dari bibi/bude. Apabila tidak ada, mahar mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia. Para Ulama berbeda pendapat tentang penetapan mahar mitsil. Mazhab Hanafi telah menetapkan bahwa mahar seorang perempuan sebanding dengan mahar seorang isteri dari pihak bapaknya pada waktu akad, bukan sebanding dengan mahar ibunya. 45
Ibid, hal. 93
Universitas Sumatera Utara
31
Seperti mahar saudara perempuannya, bibinya dari pihak bapak, dan sepupu perempuannya dari pihak bapaknya, yang tinggal dinegaranya dan terjadi pada masa itu. Dia mesti sebanding dengan mereka dalam beberapa sifat yaitu seperti umur, kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, dan agama. 46 Mazhab Maliki dan Syafi’i menetapkan batasan mahar mitsil yaitu, sesuatu yang biasanya diinginkan oleh orang laki-laki yang sepertinya (maksudnya suami) pada orang perempuan (maksudnya isteri). Menurut mazhab Syafi’i yang menjadi standar dalam mahar mitsil adalah mahar kerabat perempuannya yang ashabah. Yang dijadikan standar adalah kerabat perempuan yang paling dekat dengannya yaitu saudara-saudara perempuan, para keponakan perempuan dari saudara laki-laki, para bibi dari pihak bapak. Jika dia tidak memiliki kerabat perempuan ashabah maka yang dijadikan standar adalah perempuan yang memiliki hubungan paling dekat dengannya yaitu ibunya dan bibinya dari pihak ibu. Menurut mazhab Maliki yang menjadi patokan bagi mahar mitsil adalah kerabat perempuan si isteri, kondisi, kedudukan, harta dan kecantikannya seperti mahar saudara perempuan sekandung atau sebapak. Selain itu yang menjadi patokannya adalah persamaan dari segi agama, harta, kecantikan ,akal, etika, umur, keperawanan, janda, negara, nasab dan kehormatan. 47 Mazhab Hambali berpendapat jika kebiasaan para kerabatnya adalah meringankan
mahar, maka diperhatikan
peringanannya.
Jika adat
mereka
menyebutkan mahar yang banyak yang sebenarnya tidak ada, maka keberadaannya
46 47
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hal. 243 Ibid, hal. 244.
Universitas Sumatera Utara
32
sama dengan ketiadaannya. Jika adat mereka menangguhkan, maka dibayarkan secara tangguh karena itu adalah kebiasaan mahar kerabat perempuannya. Jika adat mereka tidak ditangguhkan, maka harus dibayarkan langsung karena mahar ini adalah pengganti yang bisa hilang seperti harga barang-barang yang hilang. Jika adat mereka berbeda dalam masalah pembayaran segera dan ditangguhkan, atau berbeda ukuran banyak dan sedikitnya dalam mahar mereka, maka diambil yang pertengahan darinya karena ini adalah suatu keadilan. 48 Mahar Mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut: 1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur. 2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah. Mahar mitsil ini diberlakukan apabila isteri telah dicampuri kemudian ia meninggal atau ia belum dicampuri, tetapi suaminya meninggal, ia berhak menerima maskawin dengan mahar mitsil. Apabila ia diceraikan sebelum dukhul, suaminya harus memberi pesangon (mut’ah) yaitu pemberian tertentu yang nilainya diserahkan kepada kemampuan mantan suami. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.
48
Ibid, hal. 245.
Universitas Sumatera Utara
33
Firman Allah Swt,: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istriistri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.....”(QS AL-Baqarah: 236). 49 Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu. Sesungguhnya dengan tafwidh tidak diwajibkan sesuatu dengan akad tersebut, hanya saja diwajibkan mahar mitsil berdasarkan akad. Disyaratkan ada keridhaan isteri dengan mahar yang telah ditetapkan oleh suami. 3.
Jumlah dan Penyerahan Mahar Agama Islam tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari mahar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Disamping itu, setiap masyarakat mempunyai adat kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu, besarnya mahar disesuaikan dengan kebiasaan suatu daerah disamping kondisi ekonomi kedua calon mempelai. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi mahar yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya, sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.50 Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal
49 50
Abdul Rahman Ghozali , Op. Cit, hal, 94 Kamal Mukhtar, Op. Cit, hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
34
menyebutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar mahar karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi: “Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai berkata: “Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguhsungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda: “adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: “Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim).51 Islam tidak membatasi jumlah mahar. Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma’ruf”. Artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri.52 Mengenai besarnya mahar tidak ada ketentuan khusus yang menyebutkan tentang banyak atau sedikitnya mahar. Para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk mahar53 karena tidak disebutkan dalam syariat yang menunjukkan batasannya yang paling tinggi. Akan tetapi disunnahkan meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam menetapkan mahar. Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya. 51
Ibid, hal. 83. Sudarsono, Op. Cit, hal. 55. 53 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hal. 234. 52
Universitas Sumatera Utara
35
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam Al-Quran dan demikian pula dalam hadist Nabi. Seperti firman Allah SWT, surat Al-Qashash ayat 27, “Berkatalah dia (Syu’aib): Sesungguhnya aku bermaksud nenikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah urusanmu”. (Al-Qashash: 27). 54 Ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mahar ini. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Saur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan sebagai mahar. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.55
54 55
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal. 91. Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit, hal. 88.
Universitas Sumatera Utara
36
Tidak ada petunjuk pasti tentang jumlah mahar, maka ulama sepakat menetapkan bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas minimalnya terdapat beda pendapat dikalangan ulama. Ulama Hanafiah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 (sepuluh) dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan mahar mitsil. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 (tiga) dirham perak atau seperempat dinar emas. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabillah tidak memberi batas minimal dengan arti apa pun yang bernilai dijadikan mahar. Mengenai ukuran atau kadar mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 32 bahwa “penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam” .Dengan demikian, besarnya mahar antara satu dan lain tempat akan berbeda-beda. Hanya saja permintaan yang terakhir ini disindir Nabi dengan sabdanya : “Wanita yang paling banyak membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit maskawinnya.” 56 Bila dalam bentuk barang, maka mahar itu harus memenuhi beberapa hal: 57 1. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya. 2. Barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satunya saja yang dimiliki, seperti
56 57
H. Rahmat Hakim, Op. Cit, hal. 74. Ibid, hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
37
manfaatnya saja dan tidak zatnya misalnya barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar. 3. Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjualbelikan dalam arti barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dijadikan mahar, seperti minuman keras, daging babi, dan bangkai. 4. Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang diudara. Penetapan pemberian mahar dalam masyarakat kita, dikompromikan antara kedua mempelai dan melibatkan keluarga kedua mempelai bahkan sejak jauh-jauh hari sebelum akad nikah dilaksanakan. Penyerahan mahar Pelaksanaan pembayaran mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan kebiasaan atau adat masyarakat. Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sehingga sangat bisa dipahami bahwa sebagian dari manusia ada yang kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya. Oleh karena itu, Islam memberikan keringanan kepada lakilaki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk dapat mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan
Universitas Sumatera Utara
38
angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi solusi terbaik antara kemampuan suami dan hak istri, supaya tidak ada yang merasa dirugikan. Pembayaran mahar dalam Islam dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: 1.
Secara Tunai Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw: “Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim). Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu. Ulama Imamiyah dan Hambali berpendapat bahwa manakala mahar disebutkan, tapi kontan atau dihutangnya tidak disebutkan, maka mahar harus dibayar kontan seluruhnya. Sementara Hanafi mengatakan, tergantung pada ‘urf yang berlaku. Ia harus dibayar kontan, manakala tradisi yang berlaku adalah seperti itu, dan boleh dihutang pula manakala tradisinya seperti itu pula. Maliki mengatakan bahwsa akad nikah tersebut fasid, dan harus di faskh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah terjadi percampuran, akadnya dinyatakan sah dengan menggunakan mahar
Universitas Sumatera Utara
39
mitsil. Namun Syafi’i berpendapat bahwa apabila hutang tersebut tidak diketahui secara detail, tetapi secara global, misalnya akan dibayar pada salah satu diantara dua waktu yang ditetapkan tersebut (sebelum mati atau jatuh thalak), maka mahar musammanya fasid dan ditetapkan mahar mitsil. 58 2.
Secara Hutang. Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan
pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Mahar dapat diutang diperbolehkan karena atau perceraian, ini adalah pendapat Al-Auza’i. Perbedaan tersebut dikarenakan pernikahan itu disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya. Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka
58
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, cetakan 27, 2011), hal. 369.
Universitas Sumatera Utara
40
berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu adalah ibadah. 59 B. Kewajiban Pemberian Mahar Dalam Hukum Perkawinan Islam 1.
Alasan Yuridis Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada isterinya yang
dilakukan pada waktu berlangsungnya akad nikah. Dikatakan pemebrian pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilakukan oleh suami selama masa perkawinan. Pemberian mahar ini dimaksudkan untuk mempersiapkan dan membiasakan suami menghadapi kewajiban materiil berikutnya. Kewajiban berlakunya membayar mahar, ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah mahar yang ditentukan pada waktu akad nikah. Alasannya adalah walaupun putus perkawinan atau kematian seorang diantara suami isteri terjadi sebelum dukhul, namun suami telah wajib membayar separuh mahar yang disebutkan pada waktu akad. Berlakunya kewajiban pemberian mahar ini dapat ditelaah dari beberapa aspek, diantaranya yaitu: a. Al-Qur’an Al-Quran adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Al-Quran memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut keyakinan umat Islam, Al-Quran adalah kitab 59
Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit, hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
41
suci yang memuat wahyu (firman) Allah, Tuhan Yang Maha Esa, asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan dikehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan diakhirat kelak.60 Menurut Al-Quran kewajiban pemberian mahar dari seorang suami kepada isterinya, terdapat dalam firman Allah dalam surat An-nisa ayat 4: “Berikanlah maskawin (shadaq, nihlah), sebagai pemberian yang wajib .kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagai maskawin itu senang hati, maka gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat".61 Dalam surat An-nisa ayat 4 juga disebutkan “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”. Hal ini merupakan dalil bahwa mahar merupakan simbol bagi kemuliaan seorang perempuan. Demikian juga seperti yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 20 “Dan kamu telah memberikan kepada mereka harta yang banyak (maskawin)”. 62 Surat An-Nisa ayat 24 juga Allah berfirman: “wanita-wanita yang telah kamu campuri, hendaklah kamu berikan ujrah (maskawin) sebagai suatu kewajiban” dan masih dalam ayat 24 juga ditegaskan “Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-
60
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan 18, 2012) hal. 78. 61 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Loc. Cit. 62 H. Rahmat Hakim, Op. Cit, hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
42
perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina” dan dalam ayat 25 disebutkan bahwa “Dan berilah mereka maskawin yang pantas”. 63 Dari dalil-dalil diatas sudah jelas bahwa adanya perintah Allah SWT untuk memberikan maskawin/mahar, dan mahar merupakan syarat dari sahnya akad pernikahan. b. Al-Hadis Al-Hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, yang berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitabkitab hadis.64 Ini merupakan penafsiran serta penjelasan tentang Al-Quran. Mengenai kewajiban mahar, terdapat beberapa Al-Hadis yang menyebutkan kewajiban pembayaran mahar dari seorang suami kepada isterinya. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad al-Sa’adiy dalam bentuk muttafaq alaih, yaitu: “Nabi berkata: Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Quran?, Ia menjawab: Ya, surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya. Nabi berkata: Kamu hafal surat-surat itu diluar kepala?, dia menjawab: Ya. Nabi berkata: Pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Quran”.65 Hadis lainnya adalah Nabi sendiri pada waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiyah tersebut. 63
Ibid. Mohammad Daud Ali, Op. Cit, hal. 80. 65 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal. 92.
64
Universitas Sumatera Utara
43
Kemudian dia menjadi ummu al-mukminin. Hal ini terdapat dalam hadis dari Anas r.a. yang muttafaq alaih ucapan Anas: “Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, telah memerdekakan sofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya)” 66 Mahar bisa dalam bentuk benda seperti uang, barang-barang, maupun perhiasan ataupun berbentuk bukan benda (jasa) sepanjang itu yang dikehendaki calon isteri dan bukan sesuatu yang haram. Jikalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga, maka nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih sederhana. Hal ini tergambar dalam sabdanya dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim, ucapan Nabi: “Sebaik-baiknya mahar itu adalah yang paling mudah”. Hal ini dikuatkan pula dengan hadis Nabi lainnya dari Sahal Ibn Sa’ad yang dikeluarkan oleh Hakim yang mengatakan: “Bahwa Nabi Muhammad SAW, telah pernah mengawinkan seorang laki-laki dengan perempuan dengan maharnya sebentuk cincin besi”.67 Riwayat yang lain juga ada yang menyebutkan nilai mahar yang tinggi, seperti hadis Nabi dari Abu Salamah bin Abd al-Rahman menurut riwayat Muslim: “Abu Salamah berkata: Saya bertanya kepada Aisyah isteri Nabi tentang berapa mahar yang diberikan Nabi kepada isterinya. Aisyah berkata: “Mahar Nabi untuk isterinya sebanyak 12 uqiyah dan satu nash, tahukah kamu berapa satu nash itu” saya jawab:
66 67
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
44
“tidak”. Aisyah berkata: “nash itu adalah setengah uqiyah. Jadinya sebanyak 500 dirham”. Inilah banyaknya mahar Nabi untuk isterinya”.68 Menurut para ulama, satu uqiyah itu sama dengan empat puluh dirham. Sedangkan 12 uqiyah sama dengan empat ratus delapan puluh dirham.69 Angka tersebut cukup besar nilainya karena nisab zakat untuk perak hanya senilai 200 dirham. Meskipun demikian ditemukan pula hadis Nabi yang maharnya hanya sepasang sandal, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi dari Abdullah bin ‘Amir, menurut riwayat al-Tirmizi yang bunyinya: “Nabi SAW, membolehkan menikahi perempuan dengan mahar sepasang sandal”.70 Nabi tidak pernah memberikan batasan pada mahar, karena kebiasaan dalam memberikan mahar berbeda-beda. Selain itu tingkat ekonomi setiap orang berbeda-beda pula, sehingga tidak mungkin diberikan batasan kepada mereka. Dengan tidak adanya petunjuk yang pasti tentang mahar maka ulama sepakat menetapkan bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah mahar. c. Ijtihad Kata Ijtihad (dalam bahasa Arab) berasal dari kata jahada artinya bersungguhsungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha.71 Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan 68
Ibid. Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, dengan penerjemah Abdul Ghoffar, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cetakan 4, 2010), hal 437. 70 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal 94. 71 Mohammad Daud, Op. Cit, hal 116. 69
Universitas Sumatera Utara
45
garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya didalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid. Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengembangan hukum Islam. Ijtihad adalah kewajiban umat Islam yang memenuhi syarat (karena pengetahuan dan pengalamannya) untuk menunaikannya dari masa ke masa, karena Islam dan umat Islam berkembang pula dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat yang berkembang itu senantiasa muncul masalahmasalah yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah hukumnya. Dalam masyarakat Indonesia berkembang bermacam ragam aliran yang berkenaan dengan fiqih. Ada beberapa mazhab yang memberi pengaruh besar terhadap umat Islam. Mazhab adalah “hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlak Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbath”.72 Di kalangan umat Islam ada empat mazhab yang paling terkenal yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali. Selain empat mazhab tersebut ada banyak mazhab lain seperti Hasan Bashri, Ats-Tsaury, Daud Azh-Zhahiri, Ibnu Abi Laila, Al-Auza’iy, Al-Laitsi, Ibnu Hazm, At-Thabary, Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah.73 Mahar hukumnya adalah wajib atas laki-laki dan bukan atas perempuan. Beberapa mazhab mempunyai pendapat yang berbeda dengan kewajiban pemberian mahar. Seperti yang dikemukakan oleh mazhab Hanafi dan Hambali bahwa pertama,
72 73
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997) hal 1. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
sekedar akad yang sahih bisa jadi hilang keseluruhannya atau setengahnya, selama ditegaskan dengan hubungan persetubuhan atau kematian atau dengan khalwat. Kedua, persetubuhan itu yang bersifat hakiki sebagaimana halnya kondisi persetubuhan yang dilakukan dengan syubhat, atau dalam perkawinan yang fasid. Dalam kondisi yang seperti ini mahar tidak jatuh kecuali dengan pelunasan atau dengan pembebasan.74 Ulama Hanafi dan Hambali juga berpendapat bahwa kewajiban mahar itu dimulai dari khalwah, meskipun belum berlaku hubungan suami isteri. Khalwah itu oleh ulama Hanafi statusnya sudah disamakan dengan bergaulnya suami isteri. Ulama Hanafi juga menambahkan satu syarat, yaitu berlangsungnya talaq bain, walaupun belum berlangsung hubungan suami isteri. Dan ulama Hambali menambahkan semenjak bersentuhan dengan bernafsu antara suami isteri telah wajib membayar mahar keseluruhannya. Ulama Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib deberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Sementara ulama Maliki mengatakan bahwa mahar sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib. 75 Ulama Maliki menanbahkan satu syarat yaitu isteri telah serumah dengan suaminya selama satu tahun. d. Kompilasi Hukum Islam Mengenai kewajiban mahar diatur pula dalam Kompilasi Hukum Islam. Tentang mahar ini, diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 38. Dalam Kompilasi
74 75
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hal 230. Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit, hal 85.
Universitas Sumatera Utara
47
Hukum Islam, mahar disepakati sebelum akad perkawinan. Jadi ada pengompromian antara kedua belah pihak. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan hal-hal yang menyulitkan kalu mahar ini tidak disepakati sebelumnya, sama seperti kebiasaan masyarakat kita. Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa penentuan mahar hendaklah berdasarkan kesederhanaan, tidak berlebihan apalagi menunjukkan kemewahan. Hal ini karena pada hakikatnya, mahar adalah lambang penyerahan diri seorang isteri bagi siapa saja yang memberinya mahar. Mahar walaupun hak wanita tetapi hendaklah hak itu dipertimbangkan masak-masak agar tidak memberatkan calon suaminya. Kewajiban menyerahkan mahar dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 30, disebutkan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati kedua belah pihak”, dan dalam pasal 33 ayat 1 disebutkan bahwa “Penyerahan mahar dilakukan dengan uang tunai” dan ayat 2 disebutkan “Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria”. Dalam pasal 33 ini, mahar terkesan dalam bentuk materi (benda). Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal mahar dalam bentuk nonmateri, seperti jasa dan lain-lainnya. Sementara dalam pasal 33 disebutkan bahwa: 1. Suami yang menalak isterinya qobla-ad-dukhul, wajib memberikan setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
Universitas Sumatera Utara
48
2. Apabila suami meninggal qobla-ad-dukhul, seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh isterinya. 3. Apabila perceraian terjadi qobla-ad-dukhul, tetapi besar mahar telah ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa mahar itu bukan merupakan rukun sebuah perkawinan. Mahar adalah suatu pemberian wajib dari calon suami kepada calon isterinya. Apabila maskawin dianggap sebagai rukun, maka harus ada ketika akad. Sedangkan mahar ini dapat disebutkan setelah perkawinan, asalkan jenis dan besarnya disebutkan ketika akad. Bahkan Kompilasi Hukum Islam masih memberikan kelonggaran apabila terjadi kelalaian, atau kelupaan menyebutkan jenis mahar, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. 2.
Alasan Sejarah Masa datangnya Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan
kezhaliman, dimana pada saat itu kaum wanita tidak dapat bernapas lega. Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati. Ketika datang dengan panji-panjinya yang putih, Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui pemberian kembali akan hak-haknya untuk menikah serta bercerai. Juga mewajibkan bagi laki-laki membayar mahar kepada mereka (kaum wanita). Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai wanita bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian maskawin dalam syariat Islam dimaksudkan untuk
Universitas Sumatera Utara
49
mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa salah satu usaha Islam adalah mesti memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak memegang urusannya.76 Sebab pada zaman jahiliyah hak-hak perempuan dihilangkan dan disiasiakan sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun dengan semena-mena menghabiskan hak-hak kekayaannya. Dalam syariat Islam wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar mahar jika hendak menikahi seorang perempuan. Pengangkatan hak-hak perempuan pada zaman jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya sama dengan kaum laki-laki, seperti adanya hak waris menerima wasiat. 3.
Alasan Filosofi Tujuan syara’ secara umum dalam menetapkan hukum-hukum Allah adalah
untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di akhirat (kekal) kelak. Salah satu bidang hukum Islam yang termasuk dalam muamalat 'am adalah ahwal al-syakhsiyah, yakni hukum yang menyangkut dan mengatur tentang masalah keluarga. Secara garis besar hukum Islam terbagi kepada, fikih ibadah meliputi aturan tentang shalat, puasa, haji, nazar, dan 76
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, penerjemah Mohammad Thalib, (Bandung: Al Ma’arif, 1980)
hal 53.
Universitas Sumatera Utara
50
sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, kedua fiqih muamalah mengatur hubungan antara manusia denagn semuanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakat. Islam mengatur mengenai pemberian sesuatu terhadap istri. Biasanya ini dikenal dengan mahar yaitu pemberian berupa barang (harta benda) bergerak ataupun benda tak bergerak yang diberikan oleh suami kepada sang istri77. Meskipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon isteri merasa dilecehkan atau disepelekan. Hal ini dimaksudkan supaya ada keseimbangan antara keluarga calon isteri dan keluarga calon suami. Pembayaran mahar sepatutnya berupa sesuatu yang memiliki nilai sekalipun mungkin ia kecil atau bahkan sangat berharga. Sekalipun maskawin itu tidak diberikan segera, namun ia tidak boleh ditunda dengan janji yang mengambang. Pada umumnya dalam berumah tangga pasti terdapat krikil tajam yang suatu saat bisa menghantuinya. Sehingga jalan satu-satunya dalam penyelesaiannya adalah talak. Untuk menyikapi hal itu, di sinilah peran aturan mengenai maskawin. Di mana
77 http://qolbifsh.blogspot.com/2012/04/bab-i-pendahuluan-secara-garis-besar.html, diakses tgl 12 juni 2013.
Universitas Sumatera Utara
51
pemberian maskawin akan menghalangi seseorang untuk cepat-cepat menjatuhkan talak 78. Oleh sebab itu, posisi maskawin dalam perkawinan memiliki nilai filosofisnya yaitu sebagai pemberian rasa takut terhadap sikap pengambilan talak secara cepat, sehingga keberlangsungan bahtera rumah tangga tetap terjaga. Selain itu juga, maskawin memiliki nilai filosofis yaitu sebagai penunjukan kecintaan sang laki-laki terhadap wanitanya. 4.
Alasan Sosiologi Secara sosiologis diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan
sosial. Perubahan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh pola pikir dan tata nilai yang ada pada mereka, semakin maju cara berfikir suatu masyarakat akan semakin terbuka pula peluang untuk menerima peluang ilmu pengetahuan. Bagi umat beragama, khususnya umat Islam kenyataan ini dapat menimbulkan suatu problem terutama apabila suatu kegiatan dihubungkan dengan norma-orma agama. Akibatnya diperlukan pemecahan atas masalah-masalah tersebut Hukum Islam bersifat universal sehingga ia mengatur segala aspek kehidupan manusia. Namun bagaimanapun ia tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya atau adat dari suatu daerah tertentu dimana hukum Islam itu berkembang. Oleh karenanya ia perlu mengembangkan pemahaman yang melihat kepada alternatif-alternatif (solusi)
78
Ibid.
.
Universitas Sumatera Utara
52
yang diyakini merupakan tujuan dari hukum Islam dalam merealisasikan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. 79 Umumnya laki-laki sulit memenuhi mahar karena faktor tingginya jumlah mahar yang ditetapkan oleh wanita. Tingginya nilai mahar ini dipengaruhi oleh status sosial dalam masyarakat. Hal ini seringkali menjadi penghalang dalam perkawinan, maka dari itu untuk menghindari perselisihan dilakukanlah musyawarah dalam hal penetapan jumlah dan bentuk mahar. Musyawarah adalah salah satu bagian dari prinsip perkawinan80 yang mana berperan sebagai media dalam hal mencapai tujuan perkawinan sangat dikedepankan terutama dalam hal penentuan mahar. Nilai-nilai hukum Islam tidak lepas dari prinsip penerapan yang dianutnya, serta tujuan hukum Islam itu sendiri. Salah satu prinsip dimaksud adalah penggunaan norma adat sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan hukum. Dalam penerapan hukum Islam selalu memperhatikan adat istiadat setempat untuk dijadikan standar norma yang harus diikuti dan ditaati oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. 81 Pada dasarnya mahar merupakan salah satu syari’at dalam agama Islam. Namun pada perkembangannya (salah satunya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim), syari’at ini lama-kelamaan menjadi adat dalam pernikahan di hampir
79
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal 117. 80 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yokyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004), hal 131. 81 Rusjdi Ali Muhammad, Dedy Sumardi, Kearifan Tradisional Lokal: Penyerapan Syariat Islam dalam Hukum Adat Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2011), hal 39.
Universitas Sumatera Utara
53
seluruh daerah di Indonesia. Mengenai mahar di Aceh, nilai mahar di Aceh merupakan simbol kehormatan dan gengsi keluarga baik dari pihak wanita maupun pihak lelaki. Bagi pihak wanita, tingginya nilai mahar menunjukkan kedudukan sosial keluarga wanita tersebut. Nilai mahar yang menjadi standar adat Aceh bagi seorang wanita adalah sepuluh mayam emas. Nilai ini tidak termasuk ke dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian, sepatu, tas, kosmetika dan sebagainya. Bila nilai mahar seorang wanita di Aceh kurang dari sepuluh mayam emas, hampir dapat dipastikan bahwa si wanita berasal dari kalangan status sosial yang dapat dikatakan amat rendah. Nilai mahar ini dapat berubah disesuaikan dengan status sosial keluarga wanita dimana nilai mahar ini ditentukan oleh pihak keluarga wanita tersebut. Tingkat pendidikan yang dienyam, kemampuan ekonomi, keturunan kebangsawanan, dan kecantikan paras menjadi variabel berubahnya nilai mahar si wanita. Makin tinggi tingkatan variabel yang disebutkan di atas yang dimiliki oleh seorang wanita, maka akan semakin tinggi nilai mahar yang ditetapkan oleh keluarganya. Hingga saat ini, tidak jarang terdengar beberapa kisah dimana keluarga wanita yang berasal dari turunan bangsawan tanpa segan-segan menetapkan nilai mahar bagi anaknya senilai seratus mayam emas atau jika dikonversikan ke nilai mata uang rupiah adalah seratus juta rupiah. Bagi pihak keluarga lelaki yang berniat menikahi seorang wanita, memenuhi nilai mahar yang telah ditetapkan oleh keluarga si wanita merupakan suatu simbol kehormatan pula. Bahkan, sering didapati pihak keluarga lelaki akan menambah
Universitas Sumatera Utara
54
beberapa mayam emas di atas jumlah mayam emas yang ditetapkan keluarga wanita sebagai bentuk kemapanan keluarga si lelaki. Aceh mempunyai banyak suku, seperti: Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Tentu hal ini perlu dikaji oleh generasi penerus secara kritis tentang alasan atau sebab-musababnya dan referensi dari adat istiadat itu sendiri, terlebih para generasi muda di era globalisasi yang mewarisi dan kewajiban untuk melestarikannya. Melihat situasi historis, keberagaman dan aspek masyarakat Aceh yang seratus persen memeluk Islam, menimbulkan implementasi hukum Islam dalam pelaksanaan adat istiadat dalam masyarakat Aceh, terlebih dalam masalah adat perkawinan. Mahar adalah hukumnya wajib ada. Namun, bentuk dan jumlahnya merupakan adat. Dengan demikian, menjadi wajar jika mahar di suatu daerah berbeda dengan daerah lain. Misal, ada suatu daerah maharnya harus emas, ada daerah yang boleh menggunakan uang atau benda lain. Kendatipun ada mahar yang bentuknya sama pada beberapa daerah, misal di Aceh, perkara jumlah masih terdapat perbedaan. Kendatipun ada mahar yang bentuknya sama pada beberapa daerah, misal di Aceh, perkara jumlah masih terdapat perbedaan. Wilayah Aceh Timur Utara umpanya, jumlah mas kawinnya belasan mayam bahkan ada yang mencapai dua puluh mayam ke atas. Sebaliknya, wilayah Aceh Barat Selatan seperti Kluet, Simeulu, dan Singkil, sepuluh mayam saja sudah dianggap banyak, sehingga ada kampung di sana yang menetapkan mas kawin cukup tiga mayam.
Universitas Sumatera Utara
55
Mahar sangat berpengaruh terhadap tingkat pendidikan, strata sosial serta paras dari mempelai wanita, mahar juga berpengaruh dengan kultur budaya lokal, misalnya wanita di daerah pidie umumnya maharnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya di aceh. Diaceh mahar ditentukan dalam satuan mayam, satu mayam setara dengan 3,3 gram emas, ini menjadi patokan resmi diseluruh aceh. Dipilihnya emas, mungkin endatu (leluhur) sudah mengerti bahwa harga emaslah yang sangat stabil dan jarang berfluktuasi, makanya dia dipakai menjadi acuan. Intinya, setiap orang mesti memahami kondisi zaman, situasi pasar, juga keberadaan adat di satu daerah. Dan yang terjadi di Aceh adalah, patokan mahar yang semakin tinggi seakan menjadi sebuah prestasi. Adapun dalam hal lamaran, dalam adat Aceh biasanya pihak keluarga lakilaki akan membawa emas (berupa cincin) untuk calon mempelai wanita sebagai lambang pertunangan. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda ikatan awal. Adakalanya emas dimaksud nantinya akan dijadikan sebagai (tambahan) mahar tetapi ada juga yang diberikan sebagai hadiah. Namun demikian, apabila suatu saat salah satu pihak membatalkan pertunangan maka akan berdampak kepada emas tersebut. Apabila pihak laki-laki yang membatalkan maka emas tersebut menjadi hak milik wanita, sebaliknya apabila pihak wanita yang membatalkan maka emas tersebut harus dikembalikan kepada pihak laki-laki. Adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh82. Perilaku-perilaku (adat) dari suatu masyarakat yang dalam pergaulannya dianggap baik dan bermanfaat bagi 82
Ibid, hal 42.
Universitas Sumatera Utara
56
golongannya yang dilakukan kembali secara berulang-ulang, akan menjadi suatu adat kebiasaan pada masyarakat tertentu. Adat ini lambat laun akan menjadi norma hukum yang tidak tertulis, yang menjadi norma hukum bukan karena ditetapkan, melainkan karena terulang-ulang sehingga ia bersumber bukan dari atas (penguasa) melainkan dari bawah (masyarakat sendiri). Namun demikian, syari’at mahar di dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam, seperti: 83 1. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya saling membutuhkan. 2. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian. 3. Untuk menjadi pegangan bagi isteri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan isterinya sesukanya. 4. Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami isteri.
83
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan 3, 2006), hal 66.
Universitas Sumatera Utara