BAB II PERLINDUNGAN HAK ISTERI DALAM PERKAWINAN POLIGAMI YANG DICATATKAN
A. Hak-hak Isteri dalam Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami isteri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Begitu pula mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan pada bunyi Pasal 1 tersebut yaitu : “…Dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Didalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual.
Universitas Sumatera Utara
Sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya. “Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.50 Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 itu, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan : “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentang atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut : 50
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet-1, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 26-27.
Universitas Sumatera Utara
1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orangorang tersebut yang memberikan izin. 6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah : 1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan; 2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masingmasing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan spiritual dan material.51 Oleh karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.52 “Hak isteri terhadap suaminya ada 2 yaitu hak kebendaan dan hak rohaniah. Hak kebendaan yaitu mahar dan nafkah sedangkan hak rohaniah adalah seperti bersikap adil jika suami berpoligami dan tidak boleh menyengsarakan isteri.”53 1. Hak kebendaan (Hak isteri dalam bentuk materi) a. Menerima mahar atau mas kawin “Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”54 Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban membayar mahar (mas kawin) tidak dimasukkan pada Pasal 80 mengenai kewajiban suami, akan tetapi dimasukkan pada Pasal 30 Bab V yang khusus mengatur masalah mahar. Hal ini suatu indikasi adanya usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan isteri, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Pada zaman Jahiliyah, hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan kepada perempuan yang berada di bawah perwaliannya untuk mengurus atau menggunakan hartanya sendiri. Dalam hal ini Islam pun datang untuk menghilangkan belenggu tersebut. Kepadanya diberi hak mahar, dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya, bukan kepada ayahnya. Orang 51
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,
hlm. 5. 52
Ibid, hlm. 6. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 39. 54 Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 6
53
Universitas Sumatera Utara
yang paling dekat keapdanya sekalipun tidak dibenarkan menjamah sedikitpun dari harta bendanya tersebut, kecuali dengan kerelaannya. Firman Allah dalam Q.S annisa : 4 yang artinya sebagai berikut :55 “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” Maksudnya adalah bahwa suami wajib memberikan mahar kepada para isteri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Apabila si perempuan memberikan sebagian mas kawin yang sudah menjadi miliknya, tanpa paksaan dan tipu muslihat maka sang suami boleh menerimanya. Hal tersebut tidak disalahkan atau dianggap dosa. Namun bila isteri memberikan sebagian maharnya karena malu, takut, atau terpedaya maka suami tidak halal menerimanya. Mahar atau mas kawin wajib diterima oleh isteri dan menjadi hak isteri bukan untuk orangtua atau saudaranya. Mahar adalah imbangan untuk dapat menikmati tubuh si perempuan dan sebagai tanda kerelaan untuk digauli oleh suaminya. Selain itu maskawin juga akan memperkokoh ikatan dan untuk menimbulkan kasih sayang dari isteri kepada suaminya sebagai teman hidupnya. Sebagaimana pendapat as Shabuni bahwa :56 “Mahar itu bermakna pemberian dengan kebaikan jiwa, padahal hukumnya wajib atas suami untuk memberitahukan bahwa pemberian itu berdasarkan 55
Mahmud Junus, Op.cit, hlm. 71. Mohammad Zuhri, Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami Isteri, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm. 135. 56
Universitas Sumatera Utara
sempurnanya keridhaan dan kebaikan hati. Selanjutnya mahar juga untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai antara suami dan isteri.” Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan tentang mahar, tidak lain hanya dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecil jumlahnya tapi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat. Jadi mahar dapat berupa cincin besi, segantang kurma, selembar kain, atau mengajarkannya beberapa ayat Al-Qur’an dan lain sebagainya dengan syarat telah disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan aqad. Dalam beberapa Hadits bahwa mahar yang diberikan oleh suami kepada isterinya dapat berupa sepasang sandal saja, hafalan ayat Al Qur’an, dan ke Islaman (masuk Islamnya) calon suami. “Golongan Hanafi menyebutkan jumlah mahar sedikitnya sepuluh dirham. Golongan Maliki menyebutkan tiga dirham.”57 Namun
jumlah seperti ini tidak
didasarkan pada keterangan nash agama yang kuat atau alasan yang sah. Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada laki-laki dan perempuan menikah, agar masing-masing dapat menikmati hubungan yang halal dan baik. Untuk mencapai hal ini, tentunya harus diberikan jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang fakir yang tidak mampu mengeluarkan biaya yang besar mampu untuk
57
Sayyid Sabiq, Op.cit, hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
menikah. Mereka ini merupakan golongan mayoritas dari umat manusia. Oleh karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan. Sebaliknya, Islam menghendaki bahwa setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberikan keberkahan dalam kehidupan suami isteri karena mahar yang murah menunjukkan kemurahan hati dari pihak perempuan. Aisyah berkata bahwa Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya, perkawinan yang besar keberkahannya adalah yang paling murah maharnya. Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Adapun perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, menyusahkan perkawinannya dan buruk akhlaknya.”58 Banyak sekali manusia yang tidak mengetahui ajaran ini bahkan menyalahinya dan berpegang kepada adat Jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan dan menolak untuk menikahkan anaknya kecuali kalau dapat membayar mahar dengan jumlah yang besar, memberatkan dan menyusahkan urusan perkawinan, sehingga seolah-olah perempuan itu merupakan barang dagangan yang dipasang tarif dalam sebuah etika perdagangan. Perbuatan semacam ini menimbulkan banyak kegelisahan sehingga baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam bahaya, menimbulkan banyak kejahatan, kerusakan dan mengacaukan pemikiran serta semangat menuju perkawinan. Akibatnya timbul persepsi bahwa yang halal (menikah) ini lebih sulit dicapai daripada yang haram (berzina). Pelaksanaan pemberian mahar boleh dengan kontan dan berhutang atau kontan sebagian dan hutang sebagian. Hal ini terserah kepada adat masyarakat dan 58
Muslich Maruzi, Op.cit, hlm. 210.
Universitas Sumatera Utara
kebiasaan mereka yang berlaku. Akan tetapi, membayar kontan sebagian, ini adalah sunnah karena Ibnu Abbas meriwayatkan : “Nabi SAW melarang Ali tidur serumah dengan Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Ali berkata, ‘Aku tidak mempunyai apa-apa.’ Lalu beliau bersabda, ‘Di manakah baju besi Hutaiyahmu? Ali lalu memberikan barang itu kepada Fatimah.”59 Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan
bahwa
Aisyah
berkata
:
“Rasulullah
menyuruhku
supaya
memerintahkan perempuan tidur serumah bersama suaminya meskipun ia belum membayar sesuatu (maharnya).”60 Hadits ini menunjukkan boleh tidur serumah dengan isteri meskipun ia belum membayar maharnya sedikitpun. Adapun hadits Ibnu Abbas menunjukkan larangan suami isteri tidur serumah sebelum suami membayar mahar dan inilah yang lebih baik, yang secara hukum dipandang sunnah. “Para ulama mensunnahkan tidak mencampuri isteri sebelum dibayarkan sebagian maharnya.”61 b. Menerima nafkah Maksud dari nafkah disini adalah memenuhi “kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan isteri meskipun isterinya itu orang kaya.”62 Memberi nafkah hukumnya wajib menurut Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya akad nikah menjadi terikat kepada suaminya, ia berada di bawah kekuasaan suaminya dan suaminya berhak penuh untuk
59
Ibid, hlm. 75 Ibid, hlm. 76 61 Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 45 62 Ibid, hlm. 55 60
Universitas Sumatera Utara
menikmati dirinya, ia wajib taat kepada suaminya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya, mengasuh anak suaminya dan sebagainya maka agama menetapkan suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya selama perkawinan itu berlangsung dan si isteri tidak nusyuz serta tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan kaidah umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya. Syarat-syarat untuk mendapatkan nafkah sebagai berikut : 1) Akad nikahnya sah 2) Perempuan itu sudah menyerahkan dirinya kepada suaminya 3) Isteri itu memungkinkan bagi si suami untuk dapat menikmati dirinya 4) Isterinya
tidak
menghendakinya,
berkeberatan kecuali
untuk
apabila
pindah suami
tempat
bermaksud
apabila
suami
jahat
dengan
kepergiannya itu atau tidak membuat aman diri si isteri dan kekayaannya atau pada waktu akad sudah ada janji untuk tidak pindah dari rumah isteri atau tidak akan pergi dengan isterinya. 5) Suami isteri masih mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami isteri.63 Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka suami tidak berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Isteri yang tidak berhak menerima nafkah dari suami yaitu :64
63 64
H.S.A. Alhamdani, Op.Cit, hlm. 125 Ibid, hlm. 125-126
Universitas Sumatera Utara
1) Isteri yang masih kecil yang belum dicampuri meskipun ia sudah menyerahkan dirinya untuk dicampuri. Sebaliknya kalau yang masih kecil itu suaminya sedangkan isterinya sudah baligh maka nafkah wajib dibayar, sebab kemungkinan nafkah itu ada di pihak isteri sedang uzur tidak menerima nafkah itu di pihak suami. Berdasarkan sunnah Rasulullah waktu kawin dengan Aisyah beliau tidak memberi nafkah selama dua tahun karena belum mencampurinya. 2) Apabila isteri berpindah dari rumah suaminya ke rumah lain tanpa alasan syar’i atau pergi tanpa izin suami. 3) Apabila isteri bekerja atau membuka usaha sedangkan suami melarangnya untuk bekerja dan si perempuan tidak memperhatikan larangan suaminya. 4) Apabila isteri berpuasa sunnah atau beri’tikaf sunnah. 5) Apabila si isteri di penjara karena melakukan kejahatan atau karena tidak membayar hutangnya. 6) Apabila si isteri diculik orang lain sehingga berpisah dengan suaminya. 7) Apabila isteri nusyuz atau durhaka atau berbuat maksiyat terhadap suaminya atau tidak mau melayani suaminya. Namun jika seorang isteri menderita sakit keras sehingga tidak dapat disetubuhi oleh suaminya, maka suami tetap wajib menafkahinya. Sangat tidak adil jika isteri sakit tidak menerima nafkah. Termasuk kategori hukum sakit, adalah jika kemaluan isteri sempit, tubuhnya kurus kerempeng, dan menderita cacat yang dapat menghalangi hubungan seks suami isteri. Begitu juga halnya jika suami itu bertabiat
Universitas Sumatera Utara
kasar atau kemaluannya buntung atau dikebiri atau sakit berat sehingga tidak dapat menggauli isterinya atau dipenjara karena utang atau karena suatu kejahatan. Dalam keadaan seperti ini, isteri tetap berhak mendapatkan nafkah. Hal ini karena pihak isteri masih tetap dapat memberi kenikmatan kepada suaminya, tetapi kesalahan terletak pada suami. Hilangnya kesempatan ini bukanlah kesalahan isteri, melainkan suami yang tidak dapat memenuhi hak isterinya.65 2. Hak rohaniah (Hak isteri dalam bentuk bukan materi) Hak isteri dalam bentuk bukan materi yang bersifat rohaniah antara lain sebagai berikut : a. Mendapat perlakuan yang baik dari suami Kewajiban suami terhadap isterinya adalah menghormatinya, bergaul dengan baik, memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingannya yang memang patut didahulukan untuk menyenangkan hatinya, terlebih lagi menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan dihadapannya dan bersabar ketika menghadapi setiap permasalahan yang ditimbulkan isteri. Allah telah berfirman dalam Q.S an Nisa : 19 yang artinya sebagai berikut : “….Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”66
65 66
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 58 Mahmud Junus, Op.cit, hlm. 74.
Universitas Sumatera Utara
b. Mendapat penjagaan dengan baik dari suami Suami wajib menjaga isterinya, memeliharanya dari segala sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung kemuliaannya, menjauhkannya dari pembicaraan yang tidak baik. Semua ini merupakan tanda dari sifat cemburu yang disenangi Allah. c. Hak untuk melakukan hubungan biologis dengan suami Hak isteri untuk melakukan hubungan biologis dengan suaminya adalah sesuai dengan firman Allah dalam Q.S al Baqarah : 222 yang artinya sebagai berikut bahwa : “….Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu….”67 Berkaitan dengan hak isteri untuk melakukan hubungan biologis (seputar masalah seks) dengan suami ini telah dilakukan penelitian oleh Muslimat Nahdatul Ulama (NU) dalam suatu Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan bahwa para wanita berhak untuk : 1) Hak menikmati hubungan seks Isteri berhak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan ketika berhubungan seks dengan suami, bukan hanya wajib memuaskan dan menyenangkan untuk suami saja ketika melakukan hubungan seks sebagai kewajiban untuk melayani kebutuhan biologis suami semata.
67
Ibid, hlm. 33
Universitas Sumatera Utara
2) Hak menolak untuk melakukan hubungan seks Isteri berhak menolak untuk melakukan hubungan seks dengan suaminya dengan alasan tertentu. 3) Hak merencanakan kehamilan dan jumlah anak Isteri
berhak
untuk
diajak
bermusyawarah
oleh
suami
dalam
merencanakan kehamilan dan jumlah anak yang dikehendaki tetapi dengan alasan tetap bahwa untuk memperhatikan dan mengutamakan kesehatan dan kemaslahatan isteri, walau tentunya Allah SWT yang pasti sebagai penentu. 4) Hak cuti reproduksi Dalam hal ini isteri berhak untuk cuti melakukan kegiatan rumah tangga ketika bereproduksi (selama masa kehamilan hingga melahirkan). Oleh karena itu, diharapkan agar suami mulai berfikir untuk menggaji pembantu guna melakukan pekerjaan rumah tangganya atau mengajak kerabat atau keluarganya untuk membantu pekerjaan tersebut.68
B. Hak-hak Isteri dalam Perkawinan Poligami Pada dasarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganut asas monogami di dalam perkawinan. Hal ini tegas disebut dalam Pasal 3 :
68
Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan), Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005, hlm. 230-232.
Universitas Sumatera Utara
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.69 Asas monogami dalam Undang-undang perkawinan ini tidak bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat pengarahan kepada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama sekali sistem poligami. Dapat tidaknya seorang suami beristeri dari seorang ditentukan
Pengadilan
Agama
berdasarkan
syarta-syarat
yang
ditentukan.
Pembolehan adanya poligami adalah merupakan suatu perkecualian. Dan pembolehan ini diberikan dengan pembatasan-pembatasan yang berat berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak. Pembatasan-pembatasan itu ialah sebagai berikut : 1. Maksimal empat orang Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari empat orang, seperti yang tersebut dalam Al-Qur’an suratr An-Nisa’ ayat 3 : “….maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat…”. 2. Adil terhadap semua isteri Seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari satu diharuskan sanggup berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya. Kalau sekiranya sudah merasa tidak dapat berlaku adil terhadap semua isterinya, maka sebaiknya jangan kawin lagi untuk kedua kalinya atau seterusnya.
69
Departemen Agama RI, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, hlm. 117
Universitas Sumatera Utara
3. Wanita yang akan dikawini seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak yatim. Hal ini adalah sebagai upaya agar anak yatim tersebut berada di bawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut dan supaya ia dapat berlaku adil terhadap anak yatim dan harta anak yatim tersebut. 4. Wanita-wanita yang hendak dikawini itu tidak boleh ada hubungan saudara, baik sedarah ataupun sesusuan.70 Undang-undang mengenai syarat-syarat poligami adalah sebagaimana tata cara yang telah diatur dalam Pasal 4 (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 dan Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :71 a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan Dalam Pasal 5 (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 maupun Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam diatur secara jelas tentang tata cara untuk dapat mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :72 1. Adanya persetujuan dari isteri-isteri 70
Soemiyarti, Op.Cit, hlm. 75-76. Departemen Agama RI, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, hlm. 118. 72 Ibid 71
Universitas Sumatera Utara
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Sedangkan dalam PP No. 9 tahun 1975 Pasal 40 telah diatur bahwa : Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 41 bahwa : 1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :73 a. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 2. Ada atau tidaknya persertujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan; 3. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
73
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, 2000, hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan; 4. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pada dasarnya aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan kemestian campur tangan penguasa yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil seluruhnya oleh KHI. Keberanian KHI mengambil alih aturan tersebut merupakan langkah maju secara dinamis aktualisasi hukum Islam di bidang poligami. Keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami didasarkan atas alasan Ketertiban Umum.74 Dengan demikian poligami : 1. Harus didasarkan pada alasan yang enumeratif. Tanpa dipenuhi salah satu alasan tak boleh poligami. Alasannya : a. Isteri tak dapat menjalankan kewajiban, b. Isteri cacat atau sakit yang tak dapat disembuhkan, c. Isteri mandul 2. Harus memenuhi syarat : a. Mesti ada persetujuan isteri,
74
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
b. Mampu berlaku adil, c. Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan. 3. Harus ada izin PA (Pengadilan Agama)75 Peraturan dalam perundang-undangan tentang poligami menegaskan juga menekankan bahwa pelaksanaan poligami itu adalah merupakan satu perkecualian dan hanya diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditentukan. Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para isteri, sebagaimana pada ayat yang artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Berlaku adil dalam bermuamalah dengan isteri-isterinya, yaitu dengan memberikan kepada masing-masing isteri hak-haknya. Adil disini lawan dari curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan persamaan. Berdasarkan hal ini maka adil antar para isteri adalah menyamakan hak yang ada pada para isteri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan di dalamnya. 75
Ibid, hlm. 43.
Universitas Sumatera Utara
Adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya. Apa saja hak seorang isteri di dalam poligami ? Di antara hak setiap isteri dalam poligami adalah sebagai berikut :76 1. Memiliki rumah sendiri Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33, yang artinya, “Menetaplah kalian (wahai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kalian.” Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sakit menjelang wafatnya, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana aku besok ? Di rumah siapa?” Beliau Shallallahu’ Alaihi wa Sallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu ’Anha, oleh karena itu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk dirawat dimana saja beliau menginginkannya, maka beliau dirawat di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisi Aisyah. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal di hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruh beliau dalam keadaan kepada beliau bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.77 Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasannya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang isteri dalam satu 76
http://arabecanuha.blog.com/2009/03/28/poligami-dalam-perspektif-islam/.Diakses tanggal 18 Juli 2011. 77 Ibid
Universitas Sumatera Utara
rumah tanpa ridha dari keduanya. Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan
dan
permusuhan
diantara
keduanya.
Masing-masing
isteri
dimungkinkan untuk mendengar desahan suami yang sedang menggauli isterinya, atau bahkan melihatnya. Namun jika para isteri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam satu rumah, maka tidaklah mereka. Bahkan jika keduanya ridha jika suami mereka tidur diantara kedua isterinya dalam satu selimut tidak mengapa. Namun seorang suami tidaklah boleh menggauli isteri yang satu dihadapan isteri yang lainnya meskipun ada keridhaan diantara keduanya. Tidak boleh mengumpulkan para isteri dalam satu rumah kecuali dengan ridha mereka juga merupakan pendapat dari Imam Qurthubi di dalam tafsirnya dan Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarh Muhadzdzab. 2. Menyamakan para isteri dalam masalah giliran Setiap isteri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki 9 isteri. Kebiasaan beliau Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bila menggilir isteri-isterinya, beliau mengunjungi semua isterinya dan baru berhenti (berakhir) di rumah isteri yang mendapat giliran saat itu. Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang isterinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam hendak safar, beliau mengundi diantara para isterinya, siapa yang akan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Universitas Sumatera Utara
Sallam sertakan dalam safarnya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa menggilir setiap isterinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.78 Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua isterinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli isteri yang bukan waktu gilirannya. Seorang isteri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin bermesraan dengan isterinya namun saat itu Isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya. 79 Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah, ulama besar dari Saudi Arabia, pernah ditanya apakah seorang isteri yang haid atau nifas berhak mendapat pembagian giliran atau tidak. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah bagi isteri yang haid berhak mendapat giliran dan bagi isteri yang sedang nifas tidak berhak mendapat giliran. Karena itulah yang berlaku dalam adat kebiasaan dan kebanyakan wanita di saat nifas sangat senang bila tidak mendapat giliran dari suaminya.80
78
Ibid Ibid 80 Ibid 79
Universitas Sumatera Utara
3. Tidak boleh keluar dari rumah isteri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah isteri yang lain yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, tidak lama setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah isteri yang lain. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pulang dan mendapapatkan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dalam keadaan terengah-engah, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?” Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah isteri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si isteri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah isteri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak isteri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.81
81
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menginap di rumah salah satu dari isterinya yang tidak pada waktu gilirannya. Beliau rahimahullah menjawab bahwa dalam hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf, yaitu kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika mendatangi salah satu isteri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang atau malam tidak dianggap suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka hal tersebut tidak apa-apa. Dalam hal tersebut, urf sebagai penentu karena masalah tersebut tidak ada dalilnya. 4. Batasan malam pertama setelah pernikahan Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa termasuk sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir isteri-isteri yang lain. Dalam
hadits
riwayat
Muslim
disebutkan
bahwa
Ummu
Salamah
Radhiyallahu ‘Anha mengkhabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya, beliau menginap bersamanya selama tiga hari dan beliau bersabda kepada Ummu Salamah, “Hal ini aku lakukan bukan sebagai penghinaan kepada keluargamu. Bila memang engkau mau, aku akan menginap bersamamu selama tujuh hari, namun aku pun akan menggilir isteri-isteriku yang lain selama tujuh hari.”82
82
Ibid
Universitas Sumatera Utara
5. Wajib menyamakan nafkah Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila isteri-isteri tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka tidak apa-apa. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada isteriisteri beliau segenggam-segenggam. Bahkan ada keterangan yang dibawakan oleh Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami menyamakan nafkah untuk isteri-isterinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa ditakar/ditimbang karena terlalu sedikit, beliau tetap membaginya tangan pertangan. 6. Undian ketika safar Bila seorang suami hendak melakukan safar dan tidak membawa semua isterinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa yang akan menyertainya dalam safar tersebut. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan bahwa kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bila hendak safar, beliau mengundi diantara para isterinya, siapa yang akan diajak dalam safar tersebut. Imam Ibnu Qudamah
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa seorang yang safar dan membawa semua isterinya atau meninggalkan semua isterinya, maka tidak memerlukan undian. Jika suami membawa lebih dari satu isterinya, maka ia harus menyamakan giliran sebagaimana ia menyamakan diantara mereka ketika tidak dalam keadaan safar. 7. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ diantara para isteri Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’ diantara para isterinya. Yang wajib bagi dia memberikan giliran kepada isteriisterinya secara adil. Ayat “Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil diantara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin demikian” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa manusia tidak akan sanggup bersikap adil diantara isteri-isteri dari seluruh segi. Sekalipun pemb again malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwaqt, dan jima’. Ayat ini turun pada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat mencintainya melebihi isteri-isteri yang lain. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Ya Allah inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah engkau cela aku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki, yaitu hati.” Muhammad bin Sirrin pernah menanyakan ayat tersebut kepada Ubaidah, dan dijawab bahwa maksud surat An Nisaa’ ayat 29 tersebut dalam masalah cinta dan bersetubuh. Abu Bakar bin Arabiy menyatakan bahwa adil dalam masalah cinta diluar kesanggupan seseorang. Cinta merupakan anugerah dari Allah dan berada dalam tangan-Nya, begitu juga dengan bersetubuh, terkadang bergairah dengan isteri
Universitas Sumatera Utara
yang satu namun terkadang tidak. Hal ini diperbolehkan asal bukan disengaja, sebab berada di luar kemampuan seseorang. Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan cinta diantara isteri-isterinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat dikuasai. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha merupakan isteri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para isteri dalam masalah jima’ karena jima’ terjadi karena adanya cinta dan kecondongan. Dan perkara cinta berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang membolak-balikkan hati. Jika seorang suami meninggalkan jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut dimaafkan. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bila dimungkinkan untuk menyamakan dalam masalah jima, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan lebih mendekati sikap adil.83
83
Ibid
Universitas Sumatera Utara