BAB II KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami 1. Pengertian Poligami Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, polus yang artinya banyak dan gamein, yang artinya kawin. Jadi, poligami adalah kawin banyak artinya seorang pria mempunyai beberapa orang isteri pada saat yang sama. Dalam bahasa Arab poligami disebut ta’diiduz-zaujaat (berbilangnya pasangan) atau dalam Kamus Istilah Fiqh menyebutnya ta’adduduz-zaujaat (seorang lelaki beristeri lebih dari seorang),1 sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut permaduan.2 Kata monogami dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim. Monogami adalah perkawinan dengan isteri tunggal, artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian: seorang laki-laki menikah dengan banyak perempuan atau seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan pertama disebut polygini dan kemungkinan kedua disebut polyandry. “Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki beristeri banyak, sedangkan kata polygini sendiri tidak lazim dipakai.3 ” 1
M. Abdul Mujieb., Mabruri Tholhah., Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 352. 2
Drs. H. Rahmat Hakim, op. cit., hlm. 113.
3
Drs. Achmad Kuzari, M.A., Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Ed. 1, Cet. Ke-1, 1995, hlm. 159.
13
14
Sedangkan poligami menurut pengertian istilah ialah “pengambilan seorang suami lebih dari seorang isteri”. Adapun pengertian lainnya yaitu “sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang isteri dalam suatu saat atau dalam suatu masa. Adapun menurut Ny. Soemiyati, S.H. adalah sebagai berikut : “poligami ialah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama.4 “ 2. Dasar Hukum Poligami Allah Swt telah memberikan peluang kepada kaum laki-laki untuk berpoligami sebagaimana firman-Nya yang tercantum dalam Al-Qur’an surat anNisa’ ayat 3, yang berbunyi :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.5 Ayat inilah kiranya yang menjadi dasar hukum diperbolehkannya poligami dalam syari’at Islam, dan ini merupakan satu-satunya ayat Al-Qur’an yang mengizinkan untuk beristeri lebih dari satu atau berpoligami.
4
Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, Cet. Ke-3, 1997, hlm. 74. 5
Departemen Agama RI, loc. cit.
15
Sebagai dasar diperbolehkannya poligami dalam ayat tersebut juga didukung oleh praktek Rasulullah saw. Serta para sahabat dalam kehidupan rumah tangga mereka, yang mana mereka telah melaksanakan perkawinan lebih dari seorang isteri dalam satu masa. Jika diperhatikan secara seksama dan berulangkali, ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum dibenarkannya poligami tersebut akan dimengerti dengan jelas, bahwa diperbolehkannya poligami itu bukanlah tujuan aslinya, melainkan hanya merupakan jawaban terhadap kondisi pada saat itu, dimana orang Arab telah biasa melakukannya.6 Jadi Al-Qur’an bukan membuat undang-undang pembolehan poligami, tetapi hanya membatasinya dengan beberapa ketentuan dan persyaratan tertentu. Tidak ada satu ayat yang sempurna di dalam Al-Qur’an, walaupun satu ayat saja, yang jelas menerangkan bolehnya poligami. Dan dalam ayat tersebut kebolehan berpoligami dikaitkan dengan persoalan anak yatim, kemudian dilanjutkan dengan nash yang mengandung syarat: “Kalau kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim”… kemudian syarat ini dijawab dengan: “Hendaklah kamu menikah dengan wanita-wanita yang baik untuk kamu, dua-dua, tiga-tiga dan empat-empat….”; kalau sekiranya tujuan yang asli dari ayat ini ialah membolehkan poligami tentulah diringkaskan
6
Dr. Abdul Nasir Taufiq Al ‘Atthar, Polygami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan (Ta’dduduz Zaujaati Minan Nawaahid Diiniyyati Wal Ijtimaa’ Iyyati Wal Qaanuuniyyati), Alih Bahasa oleh Dra. Chadidjah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-1, 1976, hlm. 106.
16
keterangan bolehnya itu pada permulaan ayat, dan tidaklah ada keperluan untuk menyebut poligami dalam hubungan salah satu dari masalah anak-anak yatim.7 Menurut Prof. Abdul Wahhab Khallaf, bahwa an-Nisa’ ayat 3 adalah jelas membolehkan menikahi wanita yang halal, karena ini makna yang segera dapat dipahami dari lafad “
“ tanpa memperhatikan
qorinah. Dan makna itu tidak menjadi tujuan asal redaksi ayat; karena tujuan redaksi ayat ialah membatasi bilangan kepada empat atau satu.8 Keterangan di atas akan lebih jelas lagi kalau dikaitkan dengan sebab turunnya ayat, yang mana ayat tiga an-Nisa’ itu turun berkenaan dengan persoalan anak yatim, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw. Sebagai berikut :
Artinya: “Bahwa ada seorang pria yang sedang memelihara anak yatim perempuannya, lalu dikawininya dan si yatim itu mempunyai nama yang cukup baik. Dia tetap berada dalam kekuasaan laki-laki tersebut, tetapi ia tidak diberi hak sesuatu apapun. Demikianlah lalu turun ayat tiga an-Nisa’ tersebut”. Dengan adanya asbabun nuzul ayat yang demikian, maka dengan jelas dapat ditangkap persoalannya, bahwa pokok utama atau tema sentral dari ayat ini adalah permasalahan anak yatim yang tidak dijaga dan dipenuhi hak-haknya, bukan mengenai pensyari’atan perkawinan poligami. Memang dalam Al Qur’an
7 8
Ibid.
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul al Fiqh), Bandung: Risalah, Cet. Ke-1, 1983, hlm. 77.
17
pensyari’atan poligami secara utuh dan tegas ditemui, demikian juga mengenai pelarangannya. Menurut penulis, pensyariatan poligami dalam Islam hanyalah merupakan efek samping dari suatu kondisi tertentu, seperti kondisi khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim misalnya, atau kondisi-kondisi yang lain yang hampir sama atau seimbang beratnya dengan kondisi tersebut. Nampaknya Al Qur’an dalam hal ini hanya memberikan alternatif dari kemadharatan karena takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, lalu diperbolehkan poligami sebagai jalan keluarnya. Jelaslah, daripada khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim lebih baik berpoligami, walaupun dalam poligami juga terkandung kemadharatan, akan tetapi kemadharatan yang dikandungnya relatif lebih ringan dibandingkan kemadharatan tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim. Padahal dipihak lain keadilan ini sulit terealisir oleh manusia, maka jalan terbaik adalah cukup kawin satu saja, karena hal ini merupakan sesuatu yang lebih aman dari berbuat dosa dan tidak dipusingkan oleh persoalan-persoalan rumah tangga, seperti pembagian nafkah antara para isteri, pertengkaranpertengkaran yang terjadi diantara para isteri dan anak-anak mereka, yang mana hal seperti ini sering terjadi pada masa sekarang. Melibatkan poligami dalam persoalan anak yatim, kiranya merupakan hujjah bagi menyedikitkan perkawinan karena adanya kejelekan-kejelekan dalam perkawinan poligami tersebut yang mana hal ini belum terlihat pada waktu turunnya ayat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hukum Islam dalam masalah perkawinan menganut asas monogami terbuka dan
18
perkawinan monogamilah yang menjadi tujuan ideal dari ayat Al Qur’an, karena perkawinan monogami merupakan perkawinan yang paling baik dan paling sesuai dengan pembawaan watak manusia, serta lebih menjamin keutuhan berlangsungnya kesejahteraan dan kasih sayang diantara sesama anggota keluarga. Namun juga perlu dipahami, karena Al Qur’an juga merupakan kitab petunjuk yang mengandung perundang-undangan, maka tidak hanya memuat suatu tata aturan untuk mencapai sesuatu yang ideal semata. Melainkan juga memuat tentang apa yang harus dilakukan dalam kondisi terpaksa, sama seperti apa yang dilakukan dalam keadaan biasa. Semuanya dipertahankan, apakah suatu peristiwa dihadapi dengan senang atau harus diterima dengan terpaksa. Kesemua itu haruslah ada hukumnya yang jelas yang dapat diterapkan pada waktu diperlukan atau suatu kondisi yang membutuhkan hukum tertentu sebagai suatu kepastian. Keterangan tentang bolehnya poligami bukanlah untuk mengemukakan bahwa poligami itu wajib dilaksanakan oleh setiap orang, atau sebaliknya dilaksanakan dan dianjurkan kepadanya, tetapi keterangan tersebut adalah untuk menonjolkan kemungkinan dimana seseorang itu terpaksa melaksanakannya dalam suatu situasi tertentu. Keadaan yang memaksa ini cukup satu saja dalam seribu situasi, agar supaya nampak syari’at perlu menanganinya dengan segala konsekuensinya dan ditinggalkan demikian saja tanpa penjelasan yang tegas. Jadi, perintah poligami itu merupakan suatu jalan keluar dari kemadharatan yang timbul, yang mana kemadharatan itu membutuhkan suatu kondisi sebagai alternatif pemecahannya. Atau karena suatu kondisi yang
19
memungkinkan untuk menerangkan tujuan yang ideal itu belum terwujud, maka lembaga poligami dilegalisasi. Dengan kata lain ia kondisional. Sedang menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini, yakni Surat an-Nisa’, maka masalah pokoknya ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap isteri-isterinya dan berusaha memperkecil jumlah isterinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah ra. yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi. Kemudian ada pendapat lain lagi, ialah Al-Razi, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah larangan berpoligami yang mendorong orang yang bersangkutan memakai harta anak yatim guna mencukupi kebutuhan isteri-isterinya. Menurut Rasyid Ridha, pendapat Al-Razi tersebut lemah, tetapi ia menganggap benar, jika yang dimaksud dengan ayat 3 surat an-Nisa’ itu mencakup tiga masalah pokok yang masing-masing dikemukakan oleh Ibnu Jarir, Muhammad Abduh, dan Al-Razi. Artinya, dengan menggabungkan tiga pendapat tersebut di atas, maka maksud ayat tersebut ialah untuk memberantas atau melarang tradisi zaman jahiliyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman Jahiliyah yang
20
mengawini isteri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat ini.9 Walaupun pelegalisasian poligami dalam surat an-Nisa’ ayat tiga itu menggunakan bentuk amar, yakni kata “
“ (hendaklah kamu menikah)
bukan berarti wajib yang harus dilaksanakan, melainkan hanya suatu kebolehan saja, karena perintah menikah disini bukan perintah yang harus dilaksanakan, tetapi bermaksud mengajari, memberi tuntunan dan pemberitahuan.10 Bahkan sekalipun sementara pengkaji mengenai berpoligami ini telah menemukan sejumlah hikmah dari berpoligami. Dalam hal ini Sayyid Sabiq menerangkan ringkasan hikmah berpoligami, seperti yang terdapat dalam buku yang berjudul “Nikah sebagai Perikatan” dikemukakan hikmah-hikmahnya sebagai berikut : a. sebagai karunia dan rahmat Allah, dan menjadi diperlukan untuk kemakmuran dan kemaslahatan. b. memperbesar jumlah ummat karena “Keagungan itu hanyalah bagi yang berjumlah banyak”. c. mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka. d. mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita berlebih dibandingkan pria. e. mengisi tenggang waktu yang lowong berhubung secara kodrati pria itu lebih panjang masa membutuhkan berhubungan seks karena dalam usia lanjut yang
9
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: CV. Haji Masagung, Cet. Ke-8, 1994, hlm. 15. 10
Dr. Abdul Nasir Taufiq Al ‘Atthar, op. cit., hlm. 118.
21
f. dapat mengatasi kalau isteri (pertama) mandul, dan g. sebaliknya di tempat yang menganut pemaksaan monogami terlahir banyak kefasikan, banyak WTS (wanita tuna susila), dan banyak pula anak di luar nikah.11
B. Sebab-sebab yang dapat dijadikan alasan berpoligami Pengadilan Agama dalam hal pemberian izin bagi seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang adalah hanya apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.12 Sedang menurut Drs. H. Rahmat Hakim dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Islam” disebutkan bahwa hal-hal yang dapat dijadikan alasan untuk berpoligami adalah sebagai berikut : a. Terhalangnya reproduksi generatif. b. Isteri tidak berfungsi sebagai isteri. c. Kondisi suami menuntut penyaluran lebih dari seorang. d. Persentase wanita melebihi jumlah laki-laki. e. Poligami dalam kenyataan sejarah.13
11
Drs. Achmad Kuzari, M.A, op. cit., hlm. 166.
12
H. Abdurrahman, SH., MH., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, Ed.1, Cet. Ke-1, 1992, hlm. 126. 13
Drs. H. Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 116-119.
22
Sedangkan pendapat Prof. Abdur Rahman I. Doi, Ph. D., menyebutkan bahwa keadaan berikut merupakan pemecahan terbaik bagi diperbolehkannya poligami diantaranya : a. Bila isteri menderita suatu penyakit yang berbahaya seperti lumpuh, ayan, atau penyakit menular. Dalam keadaan ini maka akan lebih baik bila ada isteri yang lain untuk memenuhi dan melayani berbagai keperluan si suami dan anak-anaknya. Kehadirannya pun akan turut membantu isteri yang sakit itu. b. Bila si isteri mandul dan setelah melalui pemeriksaan medis, para ahli berpendapat bahwa dia tidak dapat hamil. Maka sebaiknya suami menikahi isteri kedua sehingga dia mungkin akan memperoleh keturunan, karena anak merupakan permata kehidupan. c. Bila isteri sakit ingatan. Dalam hal ini tentu suami dan anak-anaknya sangat menderita. d. Bila isteri telah lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga tak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri, memelihara rumah tangga dan kekayaan suaminya. e. Bila suami mendapatkan bahwa isterinya memiliki sifat yang buruk dan tak dapat diperbaiki. Maka secepatnya dia menikahi isteri yang lain. f. Bila isteri minggat dari rumah suaminya dan membangkang, sedangkan si suami merasa sulit untuk memperbaikinya. g. Pada masa perang di mana kaum lelaki terbunuh meninggalkan wanita yang sangat banyak jumlahnya, maka poligami dapat berfungsi sebagai jalan pemecahan terbaik.
23
h. Selain hal-hal tersebut di atas, bila lelaki itu merasa bahwa dia tak dapat bekerja tanpa adanya isteri kedua untuk memenuhi hajat syahwatnya yang sangat kuat serta dia memiliki harta yang cukup untuk membiayainya, maka sebaiknya dia mengambil isteri yang lain. Ada beberapa daerah tertentu di dunia ini dimana kaum lelakinya secara fisik sangat kuat dan tak dapat dipuaskan hanya dengan seorang isteri. Dalam hal demikian maka poligami inilah jawabannya.14 Alasan-alasan tersebut diatas hampir sama dengan pendapat Al Maraghi yang menyebutkan bahwa diperbolehkannya poligami dengan alasan : a. Karena isteri mandul, sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan. b. Apabila suami mempunyai kemampuan seks yang tinggi, sementara isteri tidak akan mampu melayani sesuai dengan kebutuhannya. c. Kalau si suami banyak harta untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan anak-anak. d. Kalau jumlah wanita melebihi dari jumlah pria, yang bisa jadi dikarenakan terjadinya perang. Akibat lain yang mungkin muncul dari perang ini adalah banyak anak yatim dan janda yang perlu dilindungi, maka inipun termasuk alasan yang membolehkan. Barangkali untuk kasus lain juga bisa dipakai, seperti jumlah penduduk yang ternyata memang jumlah wanita melebihi dari jumlah pria.15
14
Prof. Abdur Rahman I. Doi, Ph. D., op. cit., hlm. 46-47.
15
Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi IV, Mesir, Musthafa al Babi al Halabi, 1963, hlm. 181.
24
C. Syarat-syarat Poligami Dalam syari’at Islam, untuk melaksanakan perkawinan poligami disyaratkan harus mampu berbuat adil dan memiliki kesanggupan untuk menafkahi isteri beserta anak-anak mereka. Untuk lebih mempertegas dan memperjelas persyaratan tersebut disini penulis mengemukakan secara terpisah. Dalam ayat tiga surat an-Nisa’, pada lafad “
“
(Kalau kamu khawatir akan tidak berlaku adil terhadap anak-anak yatim). Katakata ini dihadapkan sebagai firman Allah Swt. kepada manusia, yaitu kalau mereka khawatir akan menganiaya anak yatim. Kata “
“ (jika), kalau kita
pakai dalam menyusun kata-kata, maka kalimat itu mengandung maksud kemungkinan akan terjadi; berlainan dengan kata “
“ (apabila), yang
dipakai dalam hubungan menerangkan sesuatu syarat yang pasti akan terjadi. Sedang ayat ini dimulai dengan “
“. Jadi, maksudnya bahwa kekhawatiran
akan menganiaya anak yatim itu, kadang-kadang mungkin akan terjadi pada sebagian orang, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi di kalangan orang lain. Sedang asosiasi ayat itu memberi pengertian bahwa kata-kata itu ditujukan hanya kepada mereka yang khawatir akan menganiaya anak yatim itu saja. Dan pada lafad “
“ (kalau-kalau kamu tidak
berlaku adil terhadap anak-anak yatim). “Al qisthu” artinya bagian yang adil, “Tuqsithu” artinya memberikan bagian berdasarkan kebenaran. “Yatama” artinya anak-anak yatim, mencakup putera dan puteri. Tidak berlaku adil pada anak-anak yatim itu maksudnya menganiaya mereka dengan cara tidak memberikan bagian mereka dalam kehidupan ini dengan adil.
25
Hal itu dapat berlaku terhadap tubuh mereka, dan dapat juga berlaku terhadap harta mereka. “
“ (maka menikahlah kamu). Ini merupakan perintah
Allah Swt untuk menikah. Dalam Ilmu Tafsir sudah kita ketahui bahwa menurut asalnya perintah Allah Swt itu menunjukkan wajib, merupakan perintah yang tegas, harus dilaksanakan, kecuali kalau ada alasan yang menunjukkan bahwa perintah itu maksudnya untuk mengajari atau memberi tuntunan, atau memberi tahu, atau yang lain-lain. Jadi, kalau kata-kata di dalam Al Qur’an itu berbentuk perintah dari Allah Swt, maka sesuatu yang diperintahkan itu wajib dikerjakan oleh setiap orang, ia harus mengerjakannya dan mengikutinya. Dan itulah pengertian menurut asalnya. Kecuali kalau ada alasan, yang memalingkan perintah itu dari pengertiannya yang asli, maka dalam hal ini perintah itu kadangkadang bermaksud mengajari, memberi tuntunan atau memberitahukan, atau lainnya. Akan tetapi dalam ayat ini, andaikata perintah ini dimaksudkan untuk harus dilaksanakan, tentulah di dalamnya tidak diadakan pilihan. Dan juga, kalau sekiranya tegas, tentu saja tidak diiringi dengan larangan untuk menikahi dua, atau empat itu kalau kamu khawatir akan tidak berlaku adil. “ ”
“ (Wanita-wanita yang baik bagi kamu), kata
“ (ma) menurut asalnya digunakan untuk menerangkan sesuatu yang bukan
manusia, tetapi kadang-kadang boleh juga dipakai untuk menerangkan manusia, dan artinya lalu sama dengan “
“ (man), jadi, orang yang. “
“ (Thaba)
artinya yang baik, maksudnya yang halal, jadi mana yang kamu senangi dan memuaskan hati. “
“ (An-Nisa’), disini mencakup wanita yatim dan yang
bukan yatim. Kalau “
“ dalam ayat ini diartikan dengan sesuatu yang bukan
26
manusia, maka maksud ayat itu “Menikahlah kamu, dengan pernikahan yang baik bagi kamu, dengan wanita-wanita, dua orang, tiga atau empat orang”. “
“ (dua-dua, tiga-tiga dan empat-empat). Kita
telah mengetahui bahwa Firman Allah didalam Al Qur’an telah menetapkan tradisi poligami yang telah berlaku dikalangan masyarakat manusia pada waktu itu, tetapi dengan syarat, bahwa poligami itu hanya dua-dua, tiga-tiga dan empatempat saja. Sehingga dapat diperoleh keterangan bahwa poligami hanya dibatasi sampai batas empat saja. Dan hal ini sekaligus menyangkal tuduhan bahwa Islam telah membolehkan poligami tanpa batas.16 Dalam hal bilangan berapa isteri yang boleh dipoligami, ada berbagai pendapat yang mengemuka, diantaranya pendapat yang mengatakan bahwa dibolehkanya poligami itu dengan delapan belas isteri, alasannya adalah bahwa “
“ itu artinya (dua-dua dan tiga-tiga dan empat-empat), dan
kata “
“ (wa), disini maksudnya untuk menjumlahkan, jadi, 2 + 2 + 3 + 3 + 4 +
4 = 18. Akan tetapi dalam ayat tersebut “ “ adalah untuk mengulang kata kerja, dan bukan untuk mengulang kata bilangannya, dan kalau sekiranya poligami itu boleh lebih dari empat, tentulah jumlah itu akan di utarakan dengan jelas di dalam Al Qur’an, tetapi ternyata bahwa di dalam Al Qur’an hanya disebutkan sampai empat saja, dan tidak ada tambahan terhadap batas yang tertinggi ini. Sebagian ulama yang mengatakan bahwa batas poligami itu sampai delapan belas orang adalah pendapat dari ulama Zhahiri.17
16
Dr. Abdul Nasir Taufiq Al ‘Atthar, op. cit., hlm. 107 – 125.
17
Prof. Abdur Rahman I. Doi, Ph. D., op. cit., hlm. 47.
27
Adapula yang mengira bahwa poligami itu boleh sampai sembilan isteri, dengan alasan penafsiran bahwa “ tiga dan empat), sedang “
“ itu adalah (dua, dan
“ (wa), untuk menjumlahkan, jadi 2 + 3 + 4 = 9.
Dan mereka menguatkan pendapat mereka itu dengan hadits fi’liyah, perbuatan Rasulullah Saw yang mana beliau berpoligami dengan sembilan isteri. Dan hal ini juga tidak benar, karena dalam bahasa Arab “ dan bukan “dua” saja, demikian juga “
“ itu artinya dua-dua, “ dan juga “
“.
Sedang “wa” maksudnya untuk mengulang kata kerja, bukan mengulang kata bilangan. Adanya perbedaan jumlah bilangan poligami antara batasan 9 dan 18, terjadi karena perbedaan dalam memahami huruf “wawu” yang berada di selasela kalimat tersebut. Pada dasarnya huruf tersebut memiliki fungsi sebagai “littakhyir” (untuk memilih), bukan sebagai huruf jamak (untuk umum). Jadi, apabila seorang lelaki mampu kawin dengan dua orang isteri, maka diperbolehkan. Atau mungkin ia mampu kawin dengan tiga orang isteri, juga diperbolehkan. Atau ia mampu kawin dengan empat orang isteri sekalipun. Jadi maksud letak huruf tersebut bukan berarti kawinilah wanita sebanyak dua-dua (dua ditambah dua sama dengan empat), tiga-tiga (tiga ditambah tiga sama dengan enam), atau empat-empat (empat ditambah empat sama dengan delapan).18 Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah menganut asas
monogami.
Hanya
apabila
dikehendaki
oleh
yang
bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh
18
M. Ahnan & Ummu Khoiroh, Ma., op. cit., hlm. 171.
28
pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai syarat tertentu dan diputus oleh pengadilan.19 Namun demikian, bila ketentuan-ketentuan hukum perkawinan calon suami mengizinkan ia beristeri lebih dari seorang, Pengadilan dapat memberi izin kepadanya untuk beristeri lebih dari seorang. Dan, izin pengadilan ini (untuk ummat Islam pengadilan Agama) hanya mungkin diperoleh apabila nyata dan benar-benar dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kehendak itu harus dinyatakan oleh suami yang akan beristeri lebih dari seorang dengan jalan mengajukan permohonan tertulis berikut alasan-alasannya kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya. Permohonan itu baru dapat dimasukkan kalau telah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Ada persetujuan isteri/isteri-isteri; b. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. Ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka. Hal ini tertuang dalam Pasal 5 ayat 1.20 Selanjutnya dalam PP. No. 9 Tahun 1975 pada bab VII Pasal 40 dan 41 juga disebutkan persyaratan untuk berpoligami yang intinya sama dengan persyaratan tersebut diatas. Hanya dalam Pasal 41 (c) ditambahkan bahwa adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
19
H. Arso Sosroatmodjo, SH & H. A. Wasit Aulawi, MA., Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-1, 1975, hlm. 33. 20
Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, “Undang-undang Perkawinan Dan Wanita Muslim Dalam Zaman Modern”, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, Ed. 1, Cet. Ke-1, 1997. Hlm. 30-31.
29
i.
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja.
ii. Surat keterangan pajak penghasilan. iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.21 Sedangkan dalam KUH Perdata, yang sebagaimana kita ketahui menganut monogami mutlak, bahwa kalau dua orang terikat dalam perkawinan, maka tiap perkawinan kedua adalah batal demi hukum.22 Sedang menurut Ny. Soemiyati, SH., pembolehan poligami adalah merupakan suatu pengecualian. Disamping itu pembolehan ini diberikan dengan pembatasan-pembatasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak. Pembatasan-pembatasan itu ialah : a. jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari empat orang. b. akan sanggup berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya. Kalau sekiranya sudah merasa tidak dapat berlaku adil terhadap semua isterinya, maka sebaiknya jangan kawin lagi untuk kedua kalinya atau seterusnya. c. wanita yang akan dikawini seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak yatim, dengan maksud supaya anak yatim itu berada di bawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut supaya ia dapat berlaku adil terhadap anak yatim dan harta anak yatim tersebut. d. wanita-wanita yang hendak dikawini itu tidak boleh ada hubungan saudara, baik sedarah ataupun sesusuan.23
21
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia (UIIPress), Cet. Ke-5, 1986, hlm. 186. 22
Prof. R. Subekti, SH, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta: Intermasa, Cet. Ke-1, 1990, hlm. 5. 23
Ny. Soemiyati, SH., op. cit., hlm. 75-76.