BAB II KAJIAN TEORI
A. Analisis Teoritis 1. Tinjauan
tentang
Kemampuan
Pemecahan
Masalah
Matematika
Pecahan Perbandingan dan Skala a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Perubahan zaman yang terjadi seiring dengan berubahnya peradaban manusia menuntut adanya pola pikir yang mencari dan menganalisis suatu informasi
guna
menyelesaikan
masalah.
Aktivitas
mencari
dan
menganalisis ini merupakan dua indikator yang termuat dalam kemampuan berpikir kritis. (Mayadiana, 2005). Kemampuan pemecahan masalah sebagai usaha untuk meningkatkan menerjemahkan matematika yang meliputi: kemampuan menerapkan ide-ide matematika pada konteks permasalahan dan kemampuan bekerja sama untuk menyusun dan menyelesaikan permasalahan. Menurut S.C.Utami Munandar (1992) kemampuan merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Kemampuan menunjukkan bahwa suatu tindakan (performance) dapat dilakukan sekarang. Kemampuan akan menentukan “prestasi” seseorang. Prestasi tertinggi dalam bidang matematika akan dapat dicapai bila seseorang itu mempunyai kemampuan matematika pula.
11
12
Pemecahan masalah pada dasarnya adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya (Hudojo, 1988). Menurut Nasution (1982) pemecahan masalah merupakan perluasan yang wajar dari belajar aturan. Dalam pemecahan masalah prosesnya terutama terletak dalam diri pelajar. Variabel dari luar hanya berupa intruksi verbal yang membantu atau membimbing pelajar untuk memecahkan masalah. Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses di mana pelajar menentukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajari lebih dahulu dengan berpikir, mencobakan hipotesis dan apabila berhasil memecahkan masalah itu berarti mempelajari sesuatu yang baru. Menurut Slavin (1994) pemecahan masalah adalah penerapan dari pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan dengan tepat. Dengan demikian pemerolehan pengetahuan dan keterampilan dalam pemecahan masalah terjadi dari pengalamanpengalaman sebagai pengetahuan awal yang dapat disintesiskan. Rilllley, Greeno, dan Heller (1983) menunjukkan bahwa dalam proses representasi masalah dapat dijelaskan melalui teori kognitif. Konsep pemecahan masalah yang dibuat merupakan hasil dari pemahaman terhadap masalah. Siswa memahami masalah secara keseluruhan dan kemudian membuat hubungan-hubungan dari elemen-elemen masalah dengan prosedur secara keseluruhan. Proses ini disebut juga dengan pemahaman
masalah
secara
top-down
yang
memandang
bahwa
pemahaman dimulai dari keseluruhan topik permasalahan kemudian
13
menarik fakta-fakta dan hubungan-hubungannya (Slavin, 1994) Rilley, Greeno, dan Heller menjelaskan bahwa proses pemecahan masalah terjadi dengan
bekerjanya
skemata
dalam
struktur
kognisi
seseorang.
Pengorganisasian situasi untuk menemukan pemecahan masalah ditopang oleh dua pilar utama. Pilar tersebut adalah skema pengetahuan yang telah dimiliki dan otomatisasi aturan. Menurut Polya (1973) terdapat dua macam masalah Matematika yaitu : (1) masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Kita harus mencari variabel masalah tersebut, kita mencoba mendapatkan, menghasilkan atau mengkonstruksi semua jenis obyek yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah. (2) masalah untuk membuktikan adalah menunjukkan bahwa suatu pertanyaan ini benar atau salah- tidak kedua-duanya. Kita harus menjawab pertanyaan : “Apakah pernyataan itu benar atau salah ? “Bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Menurut Polya (1981) belajar pemecahan masalah matematika memerlukan strategi dengan empat tahapan yaitu : (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana, (3) menjalankan rencana pemecahan, dan (4) menguji kembali penyelesaian yang diperoleh. Dalam penelitian yang dilakukan Hardiman dan Mestre (1989) menunjukkan bahwa pembelajaran pemecahan masalah
matematika, dapat
dilakukan dalam
konteks
pemahaman konseptual yang dimiliki siswa. Hasil-hasil penelitian ini
14
menandakan bahwa untuk memecahkan masalah yang terjadi dengan memfungsikan skemata dalam proses kognisi seseorang. Skemata dapat berfungsi atau bekerja dengan strategi-strategi yang relevan. Memecahkan masalah merupakan suatu bentuk belajar. Menurut Nasution (1982) mengemukakan bahwa ada cara-cara di dalam membantu siswa memecahkan masalah yang lebih baik ialah : (1) memberikan instruksi kepada siswa secara verbal untuk membantu memecahkan masalah, (2) memecahkan masalah itu langkah demi langkah dengan menggunakan contoh, gambar-gambar, (3) belajar siswa dibantu dan dibimbing untuk menemukan sendiri pemecahan masalah dengan aturan yang diperlukan. Pemecahan masalah merupakan aspek penting dari pendidikan untuk siswa dan bahwa penekanan lebih besar hendaknya ditempatkan pada strategi-strategi pemecahan masalah dan pengintegrasian strategi-strategi itu secara lintas kurikulum dan ke dalam pengalaman-pengalaman hidup anak. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan
keterampilan
memahami
masalah,
membuat
model
matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya (Standar Isi/Kurikulum SD, 2007:9). Dalam pembelajaran Matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep Matematika.
15
Mengambil dari beberapa pendapat ahli di atas, maka kemampuan pemecahan masalah dapat disimpulkan bahwa suatu daya atau kekuatan untuk melakukan tindakan
penerapan pengetahuan dan keterampilan
terjadi pengalaman-pengalaman sebagai pengetahuan awal yang dapat disintesiskan dengan memahami masalah, menyusun pemecahan masalah, menjalankan rencana pemecahan, dan menguji kembali penyelesaian yang diperoleh. b. Tujuan dan Ruang Lingkup Mata Pelajaran Matematika di SD Mata pelajaran Matematika di SD diberikan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kristis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut di atas juga untuk mengembangkan kemampuan menggunakan
Matematika
dalam
pemecahan
masalah
dan
mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain. Tujuan mata pelajaran Matematika diberikan di SD adalah agar peserta didik mempunyai kemampuan : (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau
16
algoritma, secara luwes, akurat,efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika
dan
menafsirkan
solusi
yang
diperoleh,
(4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Ruang lingkup Matematika di SD kelas VI meliputi aspek : (1) bilangan yang terdiri dari operasi hitung bilangan bulat, dan campuran, FPB KPK, akar pangkat tiga, operasi hitung pecahan, (2) geometri dan pengukuran terdiri dari satuan debit, luas segi banyak sederhana, volume prisma segitiga dan lingkaran, sistem koordinat, dan (3) pengolahan data meliputi mengumpulkan, membaca, mengolah, menyajikan, menafsirkan data, menentukan nilai rata-rata hitung, median, dan modus sekumpulan data. c. Alasan Pemilihan Mata Pelajaran Matematika Hasil belajar Matematika kurang dari KKM baik ketuntasan individu maupun ketuntasan klasikal merupakan alasan pemilihan mata pelajaran Matematika dalam penelitian ini. Hasil belajar yang kurang KKM
17
disebabkan oleh karena kemampuan siswa dalam memahami masalah/ soal cerita rendah, kesulitan mengubah kalimat sehari-hari atau kalimat dalam soal serita menjadi kalimat matematika, dan kesulitan menentukan operasi hitungnya (memecahkan masalah) pecahan . Peneliti
mengamati bahwa
berdasarkan hasil ulangan harian, tugas-tugas, ulangan akhir semester, menunjukkan bahwa hasil belajar matematika menduduki peringkat paling bawah. Siswa mengalami kesulitan dalam menjalankan strategi pemecahan masalah. Dengan demikian perlu adanya suatu pendekatan dalam pembelajaran terhadap pemecahan masalah-masalah Matematika. d. Arti Pecahan Menurut Heruman (2010: 43) Pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Dalam ilustrasi gambar, bagian yang dimaksud adalah bagian yang diperhatikan, yang biasanya ditandai dengan arsiran. Bagian inilah yang dinamakan pembilang, adapun bagian yang utuh adalah bagian yang dianggap satuan, yang dinamakan penyebut. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan (Depdikbud, 1999) menyatakan bahwa pecahan merupakan salah satu topik yang sulit diajarkan. Kesulitan itu terlihat dari kurang bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru, dan sulitnya pengadaan media pembelajaran. Akibatnya, guru biasanya langsung mengajarkan pengenalan angka seperti pada pecahan ½, 1 disebut pembilang dan 2 disebut penyebut.
18
Menurut Heruman, (2010:44) Penanaman konsep pecahan dalam pembelajaran matematika bisa dilakukan oleh guru dengan cara guru memberikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) yang berkaitan dengan pecahan, seperti: (1) Susi mempunyai sepotong kue. Kue tersebut dibagikan menjadi dua bagian yang sama dengan adiknya. Adiknya mendapat ..... bagian. (2) untuk peragaan dengan kertas dalam pengenalan pecahan dilakukan dengan cara melipat kertas yang berbentuk pecahan menjadi 2 bagian untuk pecahan ½, atau 4 bagian untuk mengenalkan pecahan ¼. Pemahaman konsep pecahan dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah memahami konsep pecahan ½ atau ¼ dilakukan dengan cara siswa diperintahkan untuk menunjukkan pecahan ½ atau ¼ dari gambar yang disajikan. Pembinaan keterampilan tentang konsep pecahan ½ dan ¼ dapat dilakukan dengan kegiatan membagi dan mengarsir gambar, misalnya gambar dibagi menjadi 2 bagian dan diarsir salah satu bagian sehingga gambar menunjukkan ½ bagian. Menurut Imam Rajasa (2009:5) pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan atau sebagian dari suatu benda. Cara membaca lambang bilangan adalah “pembilang per penyebut,” misalnya ½ dibaca satu per dua. Bilangan pecahan pertama kali digunakan oleh Bangsa Mesir Kuno sekitar tahun 1600 SM. Pecahan pada masa itu dapat dilihat pada tulisan di Papyrus Ahmes. Bangsa Mesir menggunakan pecahan satuan , yaitu pecahan yang pembilangnya adalah angka satu untuk menyatakan perbandingan. Pecahan-pecahan tersebut ditulis
19
menggunakan huruf Hieroglyph. Pada saat yang bersamaan Bangsa Cina Kuno juga mulai mengenal konsep pecahan. Bangsa Romawi dan Babilonia juga mulai mengembangkan konsep pecahan yang memilki nilai penyebut yang sama dengan pembilang apapun. Bangsa Romawi Kuno menggunakan angka 12 sebagai penyebut untuk setiap bilangan pecahan. Bangsa Babilonia menggunakan angka 60 sebagai penyebut untuk bilangan pecahan. Bangsa Cina Kuno menamai penyebut sebagai “ibu” dan pembilang sebagai “anak”. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari suatu keseluruhan dan dilambangkan dengan pembilang dan penyebut. Perbandingan
berkaitan
dengan
pecahan.
Pada
dasarnya
perbandingan merupakan penyederhanaan bentuk pecahan. Penggunaan perbandingan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah banyak sekali. Contohnya : Ibu membeli 2 kg beras dengan harga Rp 17.000,00. Jika ibu membeli 5 kg beras, maka berapa uang yang harus dibayarkan ibu ?. Pecahan perbandingan juga digunakan dalam satuan ukuran suhu dengan perbandingannya adalah : C : R : F =
5:4:9
(+32) e. Pecahan Perbandingan dan Skala Menurut Imam Rajasa, (2009:54) konsep perbandingan pertama kali digunakan oleh Bangsa Mesir Kuno. Waktu itu, Bangsa Mesir Kuno menuliskan perbandingan seperti bentuk pecahan yaitu bagian pembilang yang ditulis di atas dan bagian penyebut di bawah yang dibatasi garis. Pada
20
tahun 1631, William Oughtred seorang ahli matematika asal Inggris yang lahir pada 1575 memperkenalkan tanda “ : “ sebagai tanda perbandingan. Simbol ini memiliki pengertian yang berbeda dengan garis pembatas pada pecahan. Simbol “ : “ juga bisa digunakan untuk menyatakan perbandingan dua benda atau lebih. Sebagai perbandingan tiga benda contohnya, 2 : 1 : 6. Materi pelajaran Matematika kelas VI SD Standar Kompetensi : melakukan operasi hitung pecahan dalam pemecahan masalah dan dengan kompetensi dasar memecahkan masalah perbandingan dan skala meliputi : (1) perbandingan antara kumpulan dua benda, (2) perbandingan banyak benda
terhadap
jumlah
atau
selisih,
(3)
perbandingan
senilai,
(4) perbandingan dengan ukuran suhu, (5) skala yang meliputi : membaca peta berskala, menghitung ukuran sebenarnya dari peta, dan membuat peta berskala. Adapun tujuan pembelajaran dari kompetensi dasar ini adalah: siswa mampu memecahkan masalah yang melibatkan perbandingan dan skala. f. Pemecahan Masalah Soal Cerita dalam Pecahan Perbandingan dan Skala Mengajarkan pemecahan masalah kepada siswa merupakan kegiatan seorang guru di mana guru harus bisa membangkitkan siswanya agar menerima dan merespon pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru dan kemudian guru membimbing siswanya untuk sampai kepada penyelesaian masalah. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami proses menyelesaikan masalah tersebut dan menjadi terampil di
21
dalam memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari
“generalisasi,
mengorganisasikan
merumuskan
keterampilan
yang
rencana telah
penyelesaian dimiliki
dan
sebelumnya.
Pemecahan masalah untuk mentransfer konsep atau keterampilan ke situasi baru. Menurut Herman Hudoyo (2001) syarat suatu masalah bagi seorang siswa adalah sebagai berikut : (1) pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya. (2) pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa, karena itu faktor waktu untuk menyelesaikan masalah janganlah dipandang sebagai hal yang esensial. Dalam pengajaran Matematika, pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan kepada siswa disebut soal. Dengan demikian , soal-soal Matematika akan dibedakan menjadi dua bagian yaitu : (1) latihan yang diberikan pada waktu belajar Matematika adalah bersifat berlatih agar terampil atau sebagai aplikasi dari pengertian yang baru saja diajarkan. (2) masalah tidak seperti halnya latihan tadi, menghendaki siswa untuk menggunakan sintesis atau analisis. Untuk menyelesaikan suatu masalah, siswa tersebut harus menguasai hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya yaitu mengenai pengetahuan, keterampilan dan pemahaman, tetapi dalam menggunakannya pada situasi baru. Materi pemecahan masalah pecahan perbandingan dan skala di SD cenderung terlalu menekankan peran soal-soal cerita tradisional untuk
22
mengembangkan
kemampuan-kemampuan
pemecahan
masalah.
Kelemahan soal-soal tersebut antara lain : (1) soal –soal cerita yang hanya dijadikan suatu bagian di akhir unit, (2) soal hanya ditujukan untuk menguasai konsep-konsep yang sedang dipelajari dalam unit tertentu, tidak mengintegrasikan topik-topik dari berbagai unit dan subjek, (3) soal-soal cerita yang cenderung berfokus pada satu interpretasi spesifik mengenai suatu operasi, seperti hanya pengurangan “mengambil” atau hanya pembagian “partitif”, dan secara demikian menyempitkan perspektif siswa tentang bagaimana operasi-operasi itu dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara, (4) soal-soal cerita yang ditulis sedemikian hingga anakanak terkondisikan mencari “kata-kata kunci” untuk menginterpretasikan apa yang hendaknya dilakukan daripada berfokus mencari petunjukpetunjuk konteks dalam “tindakan” yang berlangsung; dan , (5) Soal-soal cerita yang bersifat terlalu menyederhanakan aplikasi-aplikasi yang hendak didemonstrasikannya. Semua hal tersebut di atas menjadi penyebab siswa kesulitan untuk mengaplikasikan konsep konsep yang telah mereka pelajari. Aplikasiaplikasi
memberikan
suatu
konteks
untuk
melatih
sehimpunan
keterampilan tertentu, berikut kesempatan untuk mendemonstrasikan situasi-situasi di mana keterampilan-keterampilan dapat digunakan secara bermakna dan berpedoman pada tujuan tertentu. Soal- soal cerita yang hanya dihadirkan dalam satu atau dua kalimat atau hanya memuat informasi yang pemecahannya tidak benar-benar merupakan tantangan
23
tidak akan dapat menguji kemampuan anak untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu
kegiatan pembelajaran Matematika harus melibatkan
aktivitas siswa secara optimal, menciptakan adanya dialog antara guru dan siswa, membantu siswa untuk mengorganisasikan ide-ide matematika yang telah mereka pelajari.
2. Tinjauan tentang Problem Based Learning a. Pengertian Problem-Based Learning. Belajar merupakan proses pengkontruksian pemahaman terhadap dunia tempat kita tinggal. Siswa mengkonstruksikan pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Menurut Nasution (1982) Problem Based Learning dimaksud segala bentuk belajar yang langsung menghadapkan murid dengan segala suatu atau sejumlah belajar secara individu atau kelompok dengan segala kegiatan belajar. Problem
Based
Learning
adalah
suatu
pendekatan
untuk
membelajarkan siswa yang dikonfrontasikan dengan masalah praktis, berbentuk ill-strutured, atau open-ended melalui stimulasi dalam belajar (Boud dan Felleti, Fogarty, 1997). Menurut
Paulina
Pannen
(2001)
Problem
Based
Learning
merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berlandaskan pada paradigma konstruktivisme yang sangat mementingkan siswa dan berorientasi pada proses belajar siswa (student centered learning). Pemecahan masalah yang dapat menumbuhkan proses belajar siswa baik
24
secara kelompok maupun individual, merupakan ciri utama Problem Based Learning. Permasalahan menjadi fokus, stimulus dan pemandu proses belajar, sementara guru menjadi fasilitator dan pembimbing. Untuk dapat memecahkan masalah siswa dapat mencari informasi, pengetahuan awal dan keterampilannya melalui berbagai upaya aktif dan mandiri sehingga proses belajar individu menjadi self directed learning. Menurut Savoie dan Hughes (1994), Problem Based Learning memiliki karakteristik-karakteristik : (1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan
secara
langsung
proses
belajar
mereka
sendiri,
(5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau penampilan (performance). Pada pembelajaran berdasarkan masalah menurut Sofan dan Iif (2010) seorang guru dituntut untuk mengetahui di mana kekurangan siswa di dalam menerima penjelasan seorang guru, dengan melalui langkahlangkah sebagai berikut : (1) guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih, (2) guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisir tugas belajar yang berhubungan dengan
25
masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal dan lain-lain), (3) guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah, (4) guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya, (5) guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. Pembelajaran
Matematika
perlu
memperhatikan
aspek-aspek
pengetahuan awal Matematika dan mengaktifkan dalam situasi belajar, menurut Steffe dan D’Ambrosio (1995) menyarankan bahwa rancangan pembelajaran Matematika memperhatikan aspek-aspek pengetahuan awal matematika dan mengaktifkan pengetahuan awal dalam situasi belajar dalam situasi belajar yang dapat memunculkan konflik kognitif dan mendorong siswa untuk melakukan proses ekuilibirasi. b. Pelaksanaan Problem-Based Learning Pembelajaran pemecahan masalah Matematika dengan Problem Based Learning diawali dengan perencanaan, proses pembelajaran, dan evaluasi proses dan hasil belajar 1) Perencanaan Pembelajaran Identifikasi tujuan menyesuaikan kurikulum dengan kemampuan kognitif siswa. Pemahaman siswa dapat meningkat apabila tujuan pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan kognitif, psikomotorik,
26
dan afektif siswa. Menurut Fogarty (Demitra, 2003 : 6), “Dalam perencanaan dibutuhkan pengetahuan awal siswa tentang strategi pemecahan masalah matematika dan penguasaan konsep-konsep Matematika
dibutuhkan
sebagai
referensi
bagi
guru
dalam
mengidentifikasi tujuan pembelajaran”. Perencanaan didesain dengan masalah Matematika diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari dengan mendeskripsikan situasi. Skenario permasalahan diungkapkan secara singkat dengan kalimatkalimat yang pendek, menghubungkan konteks kehidupan nyata siswa, membantu
siswa
dalam
memahami
masalah
dengan
mudah.
Diharapkan siswa dapat melakukan aktivitas Matematika dan menemukan solusi yang lebih efisien dan efektif. Menurut Ferguson (1994) portofolio pemecahan masalah Matematika disajikan dalam beragam strategi penyelesaian seperti tabel, diagram, chart, dan penjelasan yang berbentuk narasi. Masalahmasalah matematika dengan konteks kehidupan sehari-hari dapat memunculkan beragam jawaban dan strategi penyelesaian. 2) Proses Pembelajaran Memecahkan suatu masalah merupakan aktivitas dasar bagi manusia. Kenyataan menunjukkan, sebagian besar kehidupan kita adalah berhadapan dengan masalah-masalah. Proses pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning langkah-langkah
kegiatan
belajar.
Menurut
dijalankan dengan Fogarty
(Demitra,
27
2003 : 7), “Langkah-langkah kegiatan belajar sebagai berikut : (1)
menemukan
masalah,
(2)
mengidentifikasi
masalah
,
(3) mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi permasalahan”. Langkah Pertama, Menemukan Masalah Pembelajaran pemecahan masalah sesuai dengan Problem Based Learning dilaksanakan secara kolaboratif antara guru dengan kelompok siswa dan antara siswa dengan siswa dalam kelompok yang memiliki latar belakang pengalaman beragam yang berkontribusi dalam memecahkan masalah matematika. Strategi awal yang yang dijalankan dalam pemecahan masalah matematika adalah membaca dan memahami masalah matematika. Tugas guru dalam proses ini lebih menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan konsepnya, serta kritis menguji konsep murid. Yang terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran murid apapun adanya. Guru harus menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan murid yang berbeda. Langkah Kedua, Mendefinisikan Masalah
28
Pada tahap ini siswa mendefinisikan permasalahan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Menurut Fogarty (Demitra, 2003 : 8), “siswa
mendefinisikan
masalah
matematika
berdasarkan
pemahamannya terhadap permasalahan yang dinyatakan dengan kalimatnya sendiri dengan parameter yang jelas”. Siswa membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Tahap pendefinisian masalah ini masih memfasilitasi dengan
cara
membaca
dan
berpikir.
Masalah
Matematika
diterjemahkan ke dalam bahasa siswa sendiri. Siswa membuat koneksi antara bagian-bagian dari permasalahan matematika. Langkah Ketiga, Mengumpulkan Fakta-Fakta Tahap ini siswa membuka kembali pengalaman-pengalaman yang
sudah
diperolehnya,
serta
pengetahuan
awal
untuk
mengumpulkan fakta-fakta. Menurut Krulik dan Rudnick (Demitra, 2003 : 9), “pada eksplorasi dan perencanaan, siswa menganalisa faktafakta/data-data dan menentukan apakah data tersebut sudah memadai”. Langkah Keempat, Menyusun Dugaan Sementara Siswa berpikir logis dalam menentukan jawaban pertanyaan yang membantu siswa untuk menguji apakah hipotesis yang dibuatnya benar atau masih membutuhkan perbaikan-perbaikan. Menurut Krulik dan Rudnick (Demitra, 2003 : 9). “siswa melakukan eksperimentasi atau simulasi, menebak dan menguji, menulis persamaan dalam menemukan jawaban”.
29
Jawaban dugaan merupakan model matematis untuk pemecahan masalah matematika yang dicari. Kemampuan menyusun model matematis untuk pemecahan masalah matematika merupakan variabel yang berhubungan positif dengan kemampuan pemecahan matematika (Kennedy, 1970; Meyer, 1985, Demitra, 1999; Dwiyogo, 2000). Model Matematika disusun dengan menghubungkan pengetahuan awal matematika yang dimiliki dengan data-data yang sudah teridentifikasi, dan mengacu pada pertanyaan yang akan dipecahkan. Lester (1994) menyatakan bahwa salah satu karakteristik seorang pemecah masalah yang baik adalah kemampuan membuat koneksi antara skemata (pengetahuan awal matematika) dengan masalah matematika yang dihadapi. Langkah Kelima, Menyelidiki Siswa melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang diperolehnya. Menurut Paul Suparno (1997) Guru sebagai fasilitator dan mediator
pembelajaran mempunyai tugas sebagai
berikut : (1) menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu jelas memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru, (2) menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan murid dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir
30
secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa, guru
perlu
menyediakan
pengalaman-
pengalaman
konflik,
(3) memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran si murid jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid. Menurut Fogarty (Demitra, 2003 : 9), “tahap penyelidikan memberikan kesempatan bagi siswa untuk menyelidiki atau merefleksi awal kembali jawaban dugaan yang dibuatnya”. Langkah Keenam, Menyempurnakan Permasalahan yang telah Didefinisikan. Siswa menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksinya melalui gambaran (setting) nyata yang mereka pahami. Pernyataan rumusan masalah pada tahap awal dirumuskan dari skenario permasalahan yang ada (Fogarty, 1997) Dalam pemecahan masalah matematika terdapat beberapa kemungkinan yang muncul pada tahap penyempurnaan masalah. Pertama, kelompok siswa bersama-sama mencocokan masalah matematika yang telah dibuat, sesuai dengan model matematika yang merupakan jawaban dugaan yang telah dibuat. Kedua, perumusan masalah matematika telah dinilai tepat namun perlu penyempurnaan
31
pada solusi atau jawaban dugaan yang telah dibuat sebelumnya. Ketiga, perumusan masalah dirasakan kurang tepat atau terlalu sukar bagi siswa, dan pemodelan penyelesaian yang dibuat sebelumnya kurang tepat. Langkah Ketujuh, Menyimpulkan Alternatif-Alternatif Pemecahan Secara Kolaboratif. Siswa berkolaborasi dengan mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Menurut Fogarty (Demitra, 2003 : 10), “setiap anggota kelompok mulai mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Proses pemecahan masalah berada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi untuk menghimpun sejumlah alternatif pemacahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik” Langkah Kedelapan, Menguji Solusi Permasalahan Siswa menguji alternatif cara pemecahannya yang diperoleh melalui pemahaman dan diskusi komprehensip antar anggota kelompok,
membuat
sketsa,
menulis,
membuat
plot
untuk
mengungkapkan ide-ide yang dimiliki dalam menguji alternatif pemecahan. Menurut Gallagher (Demitra, 2003 : 10), “peran guru dalam pendekatan Problem Based Learning memberikan bimbingan, merangsang siswa berpikir keras untuk memecahkan masalah, sebagai fasilitator guru melatih siswa berpikir secara metakognisi”. Dalam situasi ini siswa mengambil resiko yang dapat menjadi pembangkit
32
minat belajar. ketika siswa dihadapkan dengan permasalahan ia mulai ditarik keluar dari zona nyaman kemudian bertualang untuk masuk ke dalam situasi baru yang penuh resiko (De Porter, Reardon, dan SingerNourie, 2000). 3) Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Menurut Degeng (Demitra, 2003 : 10), menyatakan bahwa evaluasi belajar dalam pandangan konstruktivistik memiliki makna (1) menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan paduan keterampilan dengan menggunakan masalah dan konteks nyata, (2) menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan ganda bukan satu jawaban benar, dan (3) evaluasi bagian yang utuh dari belajar dengan memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar bermakna serta menerapkan yang dipelajari dalam konteks nyata. Penilaian proses dan hasil belajar pemecahan masalah menghendaki penilaian yang menyatu dalam proses pembelajaran. Penilaian
dengan
pendekatan
Problem
Based
Learning
berorientasi pada proses bertujuan untuk menilai keterampilan, bekerjasama, tanggungjawab, penyelesaian, penggunaan sumber dan pengembangan keterampilan memecahkan masalah. Proses dan hasil belajar pemecahan masalah matematika dengan pendekatan Problem Based Learning menggunakan cara penilaian yang dilakukan siswa sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan petunjuk pada tujuan yang ingin dicapai siswa
33
dalam belajar. Guru tidak dapat mengevaluasi apa yang sedang dibuat murid atau apa yang mereka katakan. Yang harus dikerjakan guru adalah menunjukkan kepada murid bahwa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Proses
dan
hasil
belajar
pemecahan
masalah
pecahan
perbandingan dan skala dengan pendekatan Problem Based Learning menggunakan cara penilaian dilakukan siswa sendiri terhadap usahausahanya dan hasil pekerjaannya dengan perujuk pada tujuan yang ingin dicapai siswa dalam belajar. Pendekatan murid terhadap persoalan itu lebih penting daripada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara konseptual yang murid gunakan, kita dapat menangkap bagaimana jalannya konsep mereka. Berikan pada murid suatu persoalan yang belum ada pemecahannya yang baku. 4) Skenario Pembelajaran. Menurut Abdul Majid (2009)
perencanaan pengajaran dapat
diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pengajaran, penggunaan pendekatan dan metode pengajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Skenario pembelajaran dirancang berdasarkan kegiatan-kegiatan pembelajaran. Menurut Fogarty (Demitra, 2003 : 12), “skenario pembelajaran diawali dengan perencanaan yang mencakup kegiatan-
34
kegiatan (1) identifikasi tujuan pembelajaran, (2) identifikasi standar asesmen, (3) perencanaan pesan”. Skenario pembelajaran kegiatannya meliputi perencanaan, proses pembelajaran dan skala dengan Problem Based Learning, dan evaluasi proses belajar pemecahan masalah perbandingan dan skala. Evaluasi proses belajar dilakukan dengan evaluasi formatif yang dilaksanakan menurut siklus-siklus pembelajaran, dalam pandangan konstruktivistik dilaksanakan dalam konteks proses belajar sesungguhnya. 3. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Dalam proses pembelajaran, peserta didik merupakan komponen masukan yang mempunyai kedudukan sentral. Tidak mungkin proses pembelajaran berlangsung tanpa kehadiran peserta didik, yang di tingkat SD disebut siswa. Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, guru perlu memahami karakteristik siswanya. Ketika proses pembelajaran di sekolah, siswa
memiliki
latar
belakang
yang
berbeda.
Guru
harus
dapat
mengakomodasi setiap perbedaan dari siswanya agar suasana pembelajaran kondusif. Karakteristik siswa menurut Depdikbud (1997:66) adalah mencakup umur, jenis kelamin, pengalaman prasekolah, kemampuan sosial ekonomi, tingkat kecerdasan, kreativitas, bakat dan minat, pengetahuan dasar dan prestasi terdahulu, motivasi belajar, dan sikap belajar.
35
a. Umur dan Jenis kelamin Dalam
belajar
umur
merupakan
faktor
penting
untuk
dipertimbangkan karena berkaitan dengan tingkat perkembangan dan kematangan. Murid SD adalah kelompok anak yang berada pada tingkat perkembangan awal. Menurut Partini S (1995;115) ciri-ciri khas anak SD kelas rendah (I-III) usia antara 6 sampai dengan 9 tahun adalah (1) ada hubungan yang kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah, (2) suka memuji diri sendiri, (3) kalau tidak dapat menyelesaikan sesuatu, sesuatu dianggap tidak penting,(4) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau menguntungkan dirinya, dan (5) suka meremehkan orang lain. Sedangkan ciri-ciri khas siswa SD kelas tinggi (IV-VI) usia 9-12 tahun adalah: (1) perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari, (2) ingin tahu, ingin belajar, realistis, (3) timbul minat kepada pelajaranpelajaran khusus, (4) anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajar di sekolah, dan (5) anak-anak suka membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama, dan mererka membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya. Menurut Depdikbud (1997:67) murid laki-laki dan perempuan mempunyai karakteristik belajar yang relatif berbeda. Misalnya, pada umur SD sebagian anak perempuan sudah mengalami menstruasi yang menandai awal keremajaannya, sedangkan anak laki-laki sebagian besar mengalami “mimpi indah” pada usia sekitar 15 tahun. Jadi datangnya masa keremajaan awal perempuan umumnya lebih cepat dari laki-laki.
36
b. Pengalaman Prasekolah Pengalaman
yang
dimiliki
sebelum
memasuki
sekolah
mempengaruhi kemampuan murid dalam belajar di sekolah. Sebelum memasuki SD pada umumnya anak telah menempuh pendidikan prasekolah seperti Taman Kanak-Kanak, Taman Pendidikan Alquran, Pendidikan Anak Usia Dini. Menurut Mohammad Sardja (1981) dan Dedi Supriadi (1982) yang dikutip Depdikbud (1997: 69) mengatakan bahwa prestasi membaca, bahasa Indonesia, dan Matematika/berhitung murid SD yang pernah menempuh TK lebih tinggi daripada yang tidak menempuh TK. Perbedaan tersebut terutama sangat nyata di kelas-kelas awal, yaitu di kelas I - III. Meskipun demikian, faktor pengalaman prasekolah perlu mendapatkan perhatian dari guru mengingat masa-masa kritis belajar di sekolah adalah pada kelas-kelas awal. c. Kemampuan Sosial Ekonomi Orang tua Indikator latar belakang sosial ekonomi adalah: pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, penghasilan orang tua dan tempat tinggal. Siswa yang orang tuanya berpendidikan lebih tinggi, biasanya pekerjaannya lebih baik dan penghasilannya lebih tinggi serta tempat tinggalnya/rumah relatif lebih baik. Demikian juga siswa yang orang tuanya berpendidikan rendah, biasanya pekerjaan, penghasilan, rumah relatif sederhana pula. Latar belakang sosial ekonomi keluarga perlu dipertimbangkan dalam proses belajar dan mengajar, karena hal ini akan mempengaruhi
37
keberhasilan belajar siswa di sekolah. Perhatian guru terutama diberikan kepada siswa-siswa yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang menguntungkan,
misalnya
karena
keterlantaran,
kemiskinan,
dan
keterpencilan. Menurut
Depdikbud
(1997:70)
“kemiskinan
secara
ekonomi
mempunyai akibat yang luas terhadap kemiskinan perkembangan fisik, intelektual, sosial dan emosional”. Secara fisik anak-anak miskin sering sakit-sakitan, kurang bersemangat, mengantuk, lusuh. Secara sosial mereka kurang bersahabat, agresif atau sebaliknya pemalu, malas, rendah diri. Secara emosional mereka labil dan kurang peka pada kepentingan orang lain. Secara kognitif mereka lemah, kemampuan belajarnya lambat, prakarsanya kurang, dan sulit berkonsentrasi. Keadaan mereka berbeda dengan anak-anak dari strata sosial ekonomi menegah dan tinggi. Dalam keluarga mereka mendapatkan perlakuan yang baik, makanan yang bergizi dan iklim keluarga yang hangat. Sejak umur 4-5 tahun mereka masuk TK yang memungkinkan sosialisasi mereka lebih dini, sehingga ketika masuk SD mereka lebih siap. d. Tingkat Kecerdasan Menurut Depdikbud (1997:71) tingkat kecerdasan atau sering disebut inteligensi merupakan kemampuan dasar yang dimiliki oleh setiap orang. Sebagian orang percaya bahwa taraf inteligensi sifatnya tetap, artinya tidak dapat diubah-ubah, ditambah atau dikurangi. Tetapi sebagian orang yang
38
lain menyatakan bahwa taraf inteligensi seseorang dapat berkembang melalui proses belajar. Siswa di SD mungkin ada yang termasuk anak yang sangat cerdas, cerdas, biasa-biasa saja, dan kurang cerdas. Dalam kegiatan belajar seharihari, tingkat kecerdasan siswa dapat diamati dari kemampuan belajarnya, yaitu cepat, tepat, dan akurat. Ada siswa yang dalam sekejap dapat , menyelesaikan soal dengan benar, ada yang dapat menyelesaikannya dengan susah payah. Adanya perbedaan tingkat kecerdasan murid menuntut guru untuk memperhatikannya. Murid-murid yang kecepatan belajarnya lambat perlu diperhatikan agar tidak terlalu tertinggal oleh murid-murid yang lain, meskipun diakui bahwa pada akhirnya akan selalu ada perbedaan pada prestasi belajar murid. e. Kreativitas Depdikbud (1997:73) mengemukakan bahwa “kreativitas yaitu kemampuan seseorang dalam menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan hal-hal yang telah ada “. Kreativitas siswa terlihat ketika mencetuskan ide atau gagasan yang relatif baru, misalnya suatu masalah dipecahkan dengan cara berbeda dari biasanya, menguraikan sesuatu dengan bahasa atau istilah yang bervariasi. Kreativitas juga terlihat ketika mereka dapat mengalihkan persoalan ke persoalan lain tanpa menyinggung perasaan temannya. Di sekolah setiap anak mempunyai tingkat kreativitas yang berbeda. Siswa yang lebih cerdas
39
biasanya mempunyai tingkat kreativitas yang tinggi, meskipun ada juga anak yang kecerdasannya sedang/biasa-biasa saja tetapi memiliki kreativitas yang tinggi, demikian pula sebaliknya. f. Bakat dan Minat Siswa SD mempunyai bakat yang sangat beragam, sebagaimana terlihat dalam minat belajarnya. Meskipun bakat dan minat merupakan dua hal yang relatif berlainan, tetapi dalam perwujudannya hampir sulit dibedakan. Ada siswa berbakat dalam kemampuan berbahasa, ada juga yang lebih menunjukkan kegemaran dan kemampuan berhitung atau menggambar. Sebagian siswa terlihat mempelajari materi pelajaran Matematika, IPS. Meskipun demikian terdapat juga siswa yang mempunyai bakat dan minat hampir merata pada semua mata pelajaran. Kenyataan di atas akan selalu ditemukan di SD. Untuk itulah guru harus dapat mengakomodasi dan memahami adanya perbedaan bakat dan minat agar dapat menguasai secara merata semua materi pelajaran. g. Pengetahuan Dasar dan Prestasi terdahulu Belajar pada dasarnya merupakan proses yang berkelanjutan. Hasil belajar terdahulu mendasari proses belajar kemudian. Oleh karena itu guru perlu mengetahui dan mempertimbangkan apa yang telah dikuasai oleh murid-muridnya, sebelum mereka diberikan materi yang baru. Menurut Depdikbud (1997:75) “dari berbagai penelitian diketahui bahwa siswa yang mempunyai pengetahuan dasar yang kuat sebelumnya akan mencapai
40
prestasi lebih baik pada proses belajar berikutnya”. Agar terjadi kesinambungan pengalaman belajar maka perlu adanya tautan materi terdahulu dengan berikutnya. Materi pelajaran perlu ditata secara urut serta sesuai dengan tingkat pencapaian siswa. Hal
ini
disebabkan
karena
dalam
satu
kompetensi
dasar
kemungkinan ada siswa yang telah menguasai sepenuhnya tetapi lainnya hanya sebagian. Pentingnya pengetahuan prasyarat sebelum mempelajari materi berikutnya. Perlunya penyampaian bahan yang sifatnya sederhana terlebih dahulu baru kemudian ke arah yang kompleks, dari materi konkrit menuju abstrak. Sebagai contoh dalam pelajaran Matematika siswa yang kurang menguasai penambahan dan pengurangan, akan mengalami kesulitan dalam memahami perkalian dan pembagian. h. Motivasi Belajar Proses pembelajaran akan efektif dan berhasil apabila siswa memiliki dorongan untuk belajar. Meskipun mereka memiliki kecakapan yang tinggi tetapi motivasi belajarnya lemah, maka prestasi yang akan dicapai kurang berhasil. Menurut Depdikbud (1997:76) “motivasi belajar siswa dapat diamati melalui indikator: ketekunan dalam belajar, keseringan dalam belajar, komitmen dalam memenuhi tugas, frekuensi kehadiran di sekolah”. Salah satu tugas guru adalah memberikan motivasi belajar kepada siswanya agar
pembelajaran
dapat
berlangsung
efektif.
membangkitkan motivasi perlu diupayakan guru.
Berbagai
cara
41
Pertama, berikan pujian kepada siswa yang telah melakukan tugas dengan baik. Pujian diberikan kepada siswa karena telah menjawab pertanyaan dengan benar, mengajukan pertanyaan atau memperoleh nilai bagus. Cara memberikan pujian dapat dengan kata-kata, tulisan maupun pemberian tanda bintang. “Bagus”, “Hebat” atau Ibu senang sekali kamu telah berani mengajukan/menjawab pertanyaan!” Kedua, hindari kecaman dan kritikan yang dapat mematikan motivasi belajar. Ucapan atau sebutan yang tidak disukai siswa seperti “Bodoh”,”Pemalas” menjadikan siswa enggan belajar bahkan kurang hormat terhadap guru. Kritik dan hukuman bisa saja diberikan asal secara bijaksana namun jangan mencari-cari kesalahan yang sebenarnya tidak dilakukan oleh siswa. Ketiga, ciptakan persaingan atau kompetisi di antara siswa secara sehat. Guru memberikan soal cepat tepat atau kuis secara kelompok ataupun individu. Siswa yang menjawab pertanyaan dengan benar dan cepat akan mendapat kesempatan pulang terlebih dahulu di akhir pelajaran. Persaingan ini diciptakan agar siswa menjadi giat belajar untuk mendapatkan prestasi terbaik. Keempat, ciptakan iklim kerjasama yang positif di antara siswa. Misalnya dengan menerapkan pembelajaran kooperatif, membentuk kelompok belajar, membentuk regu piket. Pembentukan anggota kelompok secara campuran baik prestasi maupun jenis kelamin.
42
Kelima, berikan umpan balik atau feed back kepada siswa atas hasil pekerjaannya. Caranya antara lain dengan mengoreksi pekerjaan siswa, memberi nilai dan memberi komentar. Informasi mengenai hasil yang dicapai sangat berarti bagi siswa untuk mengetahui tingkat kemajuan belajarnya. Umpan balik bermanfaat bagi siswa untuk memperbaiki atau mengatasi kekurangan sehingga di waktu yang akan datang prestasinya akan lebih baik. Umpan balik juga berfungsi memberikan motivasi belajar siswa. i. Sikap Belajar Sikap siswa terhadap sekolah, guru maupun teman lain serta materi pelajaran mempengaruhi hasil belajar. Sebagian siswa beralasan bahwa belajar di sekolah karena untuk mewujudkan cita-citanya, disuruh orang tua, malu dengan teman lain. Demikian juga sikap siswa terhadap gurupun beraneka ragam, ada yang mengganggap cara penyampaian materi mudah dipahami,
susah
dimengerti,
menarik,
membosankan.
Sebagian
beranggapan bahwa guru memberikan nilai “mahal” atau “murah” serta tidak adil hanya berdasarkan suka atau tidak terhadap siswa. Semua ini akan memberikan warna kepada proses belajar murid, baik disadari maupun tidak disadari oleh murid. Guru dituntut memahami dinamika perasaan dan sikap siswanya tersebut dan berusaha melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengubah sikap negatif siswa menjadi positif, serta memperkuat sikap siswa yang sudah positif.
43
B. Pengaruh Pendekatan Problem Based Learning dalam Pemecahan Masalah Menurut Nurcahyo (2005) menyatakan model Creative Problem Solving adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan kreativitas. Siswa mampu memecahkan permasalahan dengan diberikan rangsangan terlebih dahulu sehingga siswa mampu
menentukan
pilihan
terbaik.
Guru
hendaknya
meningkatkan
keterampilan proses dan keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat maksimal. Guru dapat mengembangkan perangkat pembelajaran yang serupa untuk kompetensi dasar lain, bahkan guru dapat mengembangkan untuk model pembelajaran yang lain. Pemecahan masalah merupakan bagian dari pemikiran analitis. Pendekatan Problem Based Learning merupakan representasi dimensidimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. Problem Based Learning merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih terampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal yang harus terus menerus mendapat rangsangan. Dengan Problem Based Learning siswa dapat memilih bahkan mengembangkan ide dan pemikirannya. Berbeda dengan hafalan yang sedikit menggunakan pemikiran, Problem Based Learning memperluas proses berpikir sehingga lebih tajam. Menurut Osborn (Nurcahyo:2005) mengatakan bahwa Problem Based Learning mempunyai tiga prosedur, yaitu : (1) menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan meneliti data atau informasi yang bersangkutan, (2) menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan
44
memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah, (3) menemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan masalah. Salah satu contoh mata pelajaran yang dapat menggunakan teknik Creative Problem Solving yaitu mata pelajaran Matematika. Menurut Karen (Nurcahyo:2005) menuliskan langkah-langkah pendekatan ini dalam pembelajaran Matematika sebagai berikut : 1. Klarifikasi masalah, meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan. 2. Pengungkapan gagasan, siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah. 3. Evaluasi dan seleksi, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah. 4. Implementasi, siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya hingga menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-langkah yang kreatif dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu siswa untuk mengembangkan kekuatan berpikir dan daya analisis lebih tajam sehingga mampu mengatasi kesulitan dalam mempelajari Matematika secara mandiri.
45
C. Hasil Penelitian Yang Relevan 1. Penelitian Syaiful Yazan (2003), tentang: Penerapan Metode Pemecahan Praktis Matematika pada siswa kelas II SLTP Negeri 1 Martapura Semester 1 Tahun Pelajaran 2002/2003. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa proses pembelajaran berlangsung baik, di mana sikap siswa terhadap metode pemecahan praktis tergolong baik sekali. Kegiatan belajar siswa dilihat dari terpenuhinya kelengkapan belajar tergolong lengkap dan dari kebiasaan belajar tergolong baik. Sebagian besar siswa berhasrat sekali dapat menemukan dan mengembangkan metode pemecahan praktis, namun mereka sangat tergantung kepada metode-metode yang diberikan oleh guru. Harapan siswa bagi peningkatan pembelajaran mereka menghendaki: (1) guru mampu membawakan pembelajaran yang mudah diikuti dan hubungan yang harmonis, (2) guru menghargai usaha dan prestasi siswa, (3) guru melakukan pemantapan terhadap siswa untuk siap menjawab setiap ulangan dan (4) metode pemecahan praktis terus dikembangkan. 2. Penelitian Umi Tri Waluyati (2007), tentang Upaya meningkatkan kreativitas memecahkan masalah dan hasil belajar Matematika melalui Problem Based Learning siswa kelas VII E SMP Negeri 1 Comal kabupaten Pemalang. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Metode Problem Based Learning mampu meningkatkan kreativitas siswa. Peningkatan kreativitas yang tertinggi adalah siswa dapat menemukan dua rumus atau cara menyelesaikan soal cerita. Metode Problem Based Learning mampu meningkatkan hasil belajar siswa yang sudah mencapai batas tuntas. Adapun
46
saran dari penelitian ini adalah menghendaki guru dalam menerapkan Problem Based Learning sebaiknya disesuaikan dengan materi yang ada pemecahan masalahnya. Sekolah menyediakan sumber-sumber belajar berupa buku-buku yang relevan untuk mendukung Problem Based Learning.
D. Kerangka Pikir Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan seseorang untuk merespon dan mengatasi ganjalan atau penghalang saat suatu metode penyelesaian tidak jelas dengan segera, pemecahan masalah harus melibatkan lebih dari sekedar penerapan suatu konsep. Pemecahan masalah dengan pendekatan Problem Based Learning, sangat dekat dengan Contextual Teaching and Learning (CTL), terutama dengan konstruktivisme. Dalam pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning ada beraneka ragam strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi penghalang di antara pemecah masalah dan solusi masalah. Strategi-strategi itu antara lain : menyatakan kembali masalah, memperagakan
masalah,
menggunakan
model,
membuat
gambar,
mengkonstruksi tabel atau grafik, mencari pola, menerapkan rumus dan menuliskan kalimat matematisnya. Mata pelajaran Matematika di SD dimaksudkan untuk mencapai dua sasaran. Pertama mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien. Kedua, mempersiapkan agar siswa dapat menggunakan Matematika
47
dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Tujuan tersebut menunjukkan bahwa belajar Matematika dapat menjadi wahana untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah kehidupan sehari-hari yang selalu berubah-ubah. Pendekatan Problem Based Learning masalah
menerapkan pembelajaran yang berdasarkan pada masalah-
konstektual
dalam
kehidupan
siswa
di
mana
siswa
dapat
mengembangkan kemampuannya dengan berbagai teknik dan strategi untuk memecahkan masalah, adanya kerjasama/kolaborator antara siswa dan guru, siswa dapat menerapkan bentuk kerjasama,
saling memberi dan menerima
mengenai permasalahan yang dihadapi. Dilihat dari materi pemecahan masalah perbandingan dan skala yang sebagian besar berupa soal cerita,
dalam menyampaikan materi jarang
mengajarkan strategi pemecahan masalah. Hal demikian yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam pecahan karena tingkat kemampuan siswa dalam pemecahan masalah sangat rendah. Untuk meningkatkan kemampuan siswa terhadap pemecahan masalahmasalah yang berkaitan dengan pecahan perbandingan dan skala, guru harus menciptakan suatu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kehidupan anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memilih pendekatan Problem Based Learning dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika. Pendekatan Problem Based Learning jika diterapkan secara baik dalam pembelajaran akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah pecahan perbandingan dan skala.
48
E. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini dirumuskan dalam hipotesis tindakan sebagai berikut: Jika kepada siswa dilakukan pembelajaran pemecahan masalah pecahan perbandingan dan skala dengan pendekatan Problem Based Learning , maka dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah Matematika terutama masalah pecahan perbandingan dan skala siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri Mandungan Piyungan Bantul tahun pelajaran 2011/2012.
F. Definisi Operasional variabel 1. Kemampuan dalam penelitian ini adalah : Suatu daya atau kekuatan untuk melakukan suatu tindakan memecahkan masalah-masalah matematika
dalam bentuk soal cerita tentang pecahan
perbandingan dan skala. Siswa yang mampu memecahkan masalah/ soal cerita pecahan perbandingan dan skala dapat dikatakan telah mencapai prestasi yang tinggi. 2. Pemecahan masalah pecahan perbandingan dan skala adalah : Suatu penerapan pengetahuan dan keterampilan yang disintesiskan dengan memahami masalah, mendefinisikan masalah, menyusun pemecahan masalah, menjalankan rencana pemecahan, dan menguji kembali penyelesaian yang diperoleh. 3. Pecahan Perbandingan dan Skala . Yang dimaksud pecahan perbandingan dalam penelitian ini adalah : salah satu bentuk pecahan di mana untuk membandingkan dua bilangan digunakan
49
pembagian. Hasil dari perbandingan bilangan-bilangan itu disebut Rasio. Pecahan perbandingan meliputi perbandingan senilai, perbandingan suhu. Skala adalah perbandingan panjang atau jarak pada gambar dengan panjang atau jarak sesungguhnya. 4. Problem Based Learning adalah: a. Kemampuan
memahami
masalah,
menyusun
rencana
pemecahan,
menjalankan rencana pemecahan, dan menguji kembali penyelesaian yang diperoleh. b. Kegiatan untuk membelajarkan siswa yang disesuaikan dengan masalah praktis, berbentuk masalah kehidupan yang sehari-hari ditemui melalui stimulus belajar. c. Kegiatan-kegiatan perencanaan, proses pembelajaran, dan evaluasi proses dan hasil belajar.
50