BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus Definisi DM berdasarkan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2015 DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Patogenesis DM tipe 2 karena resistensi insulin akibat kegagalan delapan organ yang disebut sebagai ominous octet yaitu mencakup: kegagalan sel β pankreas, liver, otot, sel lemak, usus, sel α pankreas, ginjal, dan otak (PERKENI, 2015). Gangguan kinerja insulin pada otot terjadi intramioselular akibat fosforilasi tirosin sehingga gangguan terjadi pada transport glukosa ke dalam sel otot, oksidasi glukosa menurun sehingga terjadi penurunan sintesis glikogen. Pada jaringan lemak terjadi resisten terhadap antilipolisis menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan free fatty acid (FFA) sehingga menstimulasi proses glukoneogenesis. Usus berperan dalam penyerapan hasil pemecahan polisakarida menjadi monosakarida, sehingga meningkatkan kadar glukosa darah setelah makan (PERKENI, 2015). Sel α pankreas menyebabkan peningkatan sintesis glukagon yang juga akan meningkatkan hepatic glucose production (HGP) dalam keadaan basal. Ginjal berperan dalam menyerap kembali 90% glukosa yang terfiltrasi oleh sodium glucose co-transporter-2 (SGLT-2) dan absorpsi sisa 10% nya dilakukan
9
oleh sodium glucose co-transporter-1 (SGLT-1). Untuk mengurangi kadar glukosa
10
dalam darah diperlukan SGLT-2 inhibitor sehingga glukosa akan dikeluarkan melalui urine. Mekanisme resistensi insulin juga terjadi di otak sehingga menimbulkan hiperinsulinemia berakibat asupan makanan justru meningkat (PERKENI, 2015). Klasifikasi DM berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologi DM (PERKENI, 2015) Tipe 1
Destruksi sel beta umumnya menjurus pada defisiensi insulin absolut: autoimun dan idiopatik.
Tipe 2
Bervariasi, mulai dari dominan resisten insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
Tipe lain
Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat dan zat kimia, infeksi, sebab imunologis yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
DM gestasional
Penegakkan diagnosis DM melalui beberapa keluhan antara lain keluhan klasik : poliuria, polidipsi, dan polifagi. Keluhan lain dapat berupa penurunan berat badan, lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Kriteria diagnosis DM dapat dilihat pada tabel 2.2 dan kadar laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes dapat dilihat pada tabel 2.3 sebagai berikut Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM (PERKENI, 2015) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 7 jam (B) Atau Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl. 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa 11
Oral (TTGO) dengan beban 75 gram. (B)
Atau Atau Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 220 mg/dl, dengan keluhan klasik Atau Pemeriksaan Hemoglobin A1C (HbA1C) ≥ 6,5% dengan menggunakan metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). (B)
Tabel 2.3 Kadar Laboratorium Darah Untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes (PERKENI, 2015) HbA1C (%)
Glukosa darah puasa
Glukosa plasma 2 jam
(mg/dL)
setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes
≥ 6,5
≥ 126 mg/dL
≥ 200 mg/dL
Prediabetes
5,7 – 6,4
100-125
140 – 199
Normal
< 5,7
< 100
< 140
Penyakit DM bila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan penyulit yang bersifat akut atau menahun. Penyulit DM akut diantaranya: krisis hiperglikemi berupa ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperglikemi hiperosmolar (SHH), dan hipoglikemi (glukosa darah < 70 mg/dL). Penyulit yang bersifat menahun diantaranya: makroangiopati berupa penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer (claudicatio intermittent), ulkus iskemik pada kaki serta kelainan pembuluh darah otak. Penyulit mikroangiopati diantaranya: neuropati diabetik, retinopati diabetik, dan nefropati diabetik (PERKENI, 2015).
2.2 Nyeri Neuropati Diabetik
12
2.2.1 Definisi dan Prevalensi Nyeri Neuropati Diabetik Neuropati diabetik merupakan istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik klinis maupun subklinis yang terjadi pada DM tanpa penyebab neuropati perifer lainnya. Gangguan ini dapat bermanifestasi somatik dan atau otonom dari sistem saraf perifer (Sahay dkk., 2011). Nyeri neuropatik merupakan sensasi nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi pada sistem sentral maupun perifer. Perasaan nyeri tersebut tidak selalu berlokasi pada daerah yang rusak tetapi dapat muncul ditempat lain (Manaf, 2010). Berdasarkan San Antonio Conference on Diabetic Neuropathy, American Academy of Neurology (AAN), American Association of Electrodiagnostic Medicine (AAEM), dan American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation (AAPM & R) mengusulkan kriteria neuropati diabetik perifer sebagai berikut: simetris, tanda klinis sejauh polineuropati sensorimotor yang terganggu, disebabkan oleh gangguan metabolisme dan perubahan mikrovaskular akibat dari paparan hiperglikemi kronik (Tesfaye dkk., 2010). Prevalensi penderita NND di Inggris, terdapat 26% penderita DM yang menderita nyeri neuropati perifer. Di seluruh dunia prevalensinya sekitar 47 juta penderita yang diprediksikan akan meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM dari 2,8% pada tahun 2000 menjadi sekitar 4,4% pada tahun 2030. Prevalensi dalam suatu survei di Jerman mendapatkan data 8,7% penderita dengan TGT, 4,2% penderita gangguan kadar GDP dan 1,2% dengan toleransi glukosa normal mengalami NND (Ziegler, 2009; IASP, 2014). Adapun dampak dari NND umumnya cukup berat, seperti perburukan kualitas kesehatan, menurunnya kualitas hidup penderita yang berkaitan dengan tingkat keparahan nyeri neuropatik, depresi, miokard infark, penyakit arteri koroner, serta DM yang tidak terkontrol (IASP, 2014).
2.2.2 Gejala Klinis dan Klasifikasi Nyeri Neuropati Diabetik
13
Gejala klinis NND dapat muncul secara spontan atau setelah adanya rangsangan meskipun inadekuat. Nyeri yang dirasakan dapat bermacam-macam seperti mati rasa, rasa tebal, terbakar, tertusuk, dan kesemutan. Gejala ini memiliki onset yang tidak jelas dan bersifat progresif hingga kronik. Gejala perifer bersifat simetris, mulai dari jari-jari kaki, telapak kaki, tangan dan lengan, sesuai gambaran glove-stocking sensation dan bisa hingga di dinding perut. Gambaran klinis tergantung dari serabut saraf yang terlibat, baik sensorik, motorik dan otonom. Gejala otonom dapat berupa perubahan dalam fungsi pencernaan usus, fungsi kandung kemih, respon seksual, dan keringat. Hal ini juga dapat mempengaruhi saraf yang menginervasi jantung, mengontrol tekanan darah, paru, dan mata (Sahay dkk., 2011; Rajan dkk., 2013; Zychowska dkk., 2013). Neuropati lain area proksimal bergejala nyeri di paha, pinggul, bokong atau mengarah pada kelemahan kaki. Neuropati fokal timbul mendadak dapat berupa kelemahan otot atau nyeri yang mengenai salah satu atau sekelompok sistem saraf (Sahay dkk., 2011; Rajan dkk., 2013; Zychowska dkk., 2013). Gejala klinis dapat dibedakan berdasarkan gejala positif dan negatif yaitu gejala positif berupa : nyeri spontan mencakup parestesi, disestesia, rasa terbakar, tersengat listrik, dan pada gambaran penunjang didapatkan alodinia, dan hiperalgesia. Sedangkan gejala negatif dapat berupa hipestesi, hipoalgesia, termhipestesi, dan palhipestesi (Sommer, 2003; Rajan dkk., 2013). Klasifikasi berdasarkan definisi dan kriteria klinis minimal neuropati diabetik perifer menurut Tesfaye tahun 2010 yaitu : Possible dependent sensorimotor polyneuropathy (DSPN) memiliki tanda penurunan sensasi sensori neuropatik dengan gejala positif seperti rasa tajam seperti tertusuk, terbakar terutama di jari kaki, dan kaki, dengan batas tegas distal simetris, terdapat penurunan atau hilangnya refleks achilles. Probable DSPN terdapat kombinasi gejala dengan dua atau lebih dari gejala penurunan sensasi distal, penurunan atau hilangnya refleks achilles. Confirmed DSPN mencakup tampak gambaran abnormal pada
14
konduksi saraf disertai gejala neuropati. Bila gambaran konduksi saraf normal maka tergolongkan dalam small fiber neuropathy (SFN). Subklinis DSPN tidak adanya gejala neuropati tetapi terdapat gambaran abnormal pada konduksi saraf (Tesfaye dkk., 2010). Klasifikasi berdasarkan IASP tahun 2015 menggolongkan kedalam mononeuropati kranial, dan mononeuropati perifer atau symmetrical distal sensorimotor polyneuropathy. Bentuk DSPN merupakan yang tersering terjadi, disusul dengan SFN yang merupakan bentuk lain dari NND. Hal ini karena serat saraf ukuran kecil baik yang bermielin atau tidak juga terkena. Gejala possible SFN berupa rasa terbakar pada kaki, probable SFN dengan gejala possible disertai respon sensori konduksi saraf suralis dalam batas normal, sedangkan definite SFN memiliki gejala probable disertai konfirmasi hasil tes biopsi kulit atau quantitative sensory testing (QST). Kondisi SFN dapat mengalami transmisi menjadi DSPN (Hanpaa dkk., 2015). Nyeri neuropati diabetik perifer akut jarang terjadi. Penderita mengalami nyeri berat disertai depresi, penurunan berat badan, dan disfungsi ereksi pada lelaki. Prognosis nyeri neuropati diabetik perifer akut adalah baik. Focal and multifocal painful neuropathies mencakup : neuropati anggota gerak, neuropati kranial, neuropati diabetik proksimal anggota gerak bagian bawah, dan neuropati trunkal. Diabetes dapat mengenai nervus III, IV, VI dan VII secara unilateral, nyeri retroorbita, sebagian besar membaik dalam 2-3 bulan (Hanpaa dkk., 2015). Neuropati diabetik proksimal diawali dengan nyeri berat pada punggung, panggul dan paha, dapat berupa miotropi diabetik, lumbosakral radikulopati diabetik. Hal ini dapat mengakibatkan kelemahan tungkai tipikal proksimal hingga ke distal, dan penurunan berat badan. Penyembuhannya dapat berlangsung beberapa bulan bahkan dapat menetap. Selanjutnya radikulopati trunkal termasuk isolated thoracic roots. Penderita mengalami nyeri beberapa hari hingga minggu dengan disestesia berat, dapat unilateral atau bilateral,
15
penyembuhannya dapat parsial atau total. Isolated limb mononeuropathies yang terjadi akibat kompresi dibutuhkan pemeriksaan elektrofisiologi dan kedepannya dapat membutuhkan tindakan dekompresi (Hanpaa dkk., 2015). 2.2.3 Diagnosis Nyeri Neuropati Diabetik Diagnosis NND merupakan diagnosis eksklusi, karena pasien harus dievaluasi adanya chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP), hipotiroid, kadar ureum serta mengevaluasi kadar serum B12, dilakukan tes fungsi tiroid, mengevaluasi kadar nitrogen urea dan serum kreatinin. Pasien juga dapat dilakukan pemeriksaan 10-g monofilament, pemeriksaan vibrasi dengan frekuensi 128 Hz dan tes sensasi nyeri superfisial. Pemeriksaan fisik untuk melihat penurunan laju arteri, refleks fisiologis menurun atau hilang, deformitas, ulkus, penyembuhan luka yang lambat, kekakuan jari kaki dan Charcot’s arthropathy (Sahay dkk., 2011). Konsensus San Antonio merekomendasikan penegakkan diagnosis ND paling sedikit memenuhi satu dari lima kategori yang diukur yaitu : skor gejala, skor pemeriksaan fisik, QST,
cardiovascular
autonomic
function
(cAFT)
dan
elektrodiagnostik
berupa
electromyography (EMG). Adapun proses timbulnya ND akibat kondisi hiperglikemi menetap dalam jangka waktu lama sehingga menyebabkan penurunan jumlah perfusi darah pada susunan saraf tepi, selanjutnya terjadi kekurangan nutrisi permanen dan menimbulkan kerusakan yang menetap (Tesfaye dkk., 2010). Menurut IASP 2015, diagnosis NND berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan dengan menggali lokasi nyeri, intensitas nyeri 1-10, menggunakan brief pain inventory for painful diabetic neuropathy (BPI-PDN) dengan menggali empat severity scale yaitu : nyeri terberat, nyeri paling ringan, nyeri rata-rata, dan nyeri saat ini, serta tujuh pain interference scale yaitu : aktivitas umum, mood, kegiatan normal, berjalan, hubungan sosialisasi, tidur, dan kualitas hidup. Pemeriksaan fisik dengan inspeksi kulit, palpasi nadi
16
perifer, tes gerak persendian, dan pemeriksaan sensorik dengan pemeriksaan raba dan vibrasi dimediasi oleh serat saraf besar, rasa nyeri dan suhu dimediasi serat saraf tipis bermielin Aδ dan rasa hangat dimediasi oleh serat kecil tidak bermielin C. Pemeriksaan dibandingkan dengan sisi kontralateral dan sisi atasnya. Tes berjalan, tes romberg, electroneuromyography (ENMG), QST, dan biopsi kulit (Manaf, 2010; Rajan dkk., 2013; Hanpaa dkk., 2015). 2.2.4 Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetik Nyeri neuropati merupakan komplikasi kronis yang paling umum dari DM. Terjadinya ND dapat dijelaskan melalui beberapa teori yaitu : teori metabolik, AGEs, penurunan konsentrasi NGF, teori vaskular, teori laminin dan teori autoimun. Kondisi hiperglikemi berkepanjangan berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis AGEs, pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivitas jalur tersebut menyebabkan kurangnya vasodilatasi sehingga aliran darah menuju saraf akan menurun bersama dengan rendahnya inositol dalam sel dapat menyebabkan neuropati diabetik perifer (NDP). Kejadian ND terkait lama dan beratnya DM (Purwata, 2010; Zychowska dkk., 2013). Hiperglikemi berhubungan dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemi persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah dan menetralisir nitric oxide (NO), yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kerusakan mikrovaskular juga dapat melalui penebalan membrana basalis dengan hialinisasi lamina basal arteriol dan kapiler, trombosis pada arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit, dan berkurangnya deformabilitas eritrosit. Hal ini menyebabkan berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular, stasis aksonal, pembengkakan dan demielinasi pada saraf serta berakibat iskemik jaringan. Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar 17
trigliserid yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi. Interaksi antara sistem saraf dan sistem kekebalan tubuh terjadi secara paralel dengan aktivasi sel glia (Yagihashi dkk., 2011; Zychowska dkk., 2013). Aktivitas lain akibat kondisi hiperglikemi terjadi peningkatan jalur poliol disertai meningkatnya aktivasi enzim aldose reduktase yang merubah glukosa menjadi sorbitol. Sorbitol selanjutnya dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf dapat merusak sel saraf dengan menyebabkan keadaan hipertonik intraselular sehingga mengakibatkan edema sel saraf. Peningkatan sintesis sorbitol juga menghambat masuknya mioinositol masuk ke dalam sel saraf dan secara langsung menyebabkan stres osmotik yang akan merusak mitokondria dan menstimulasi PKC. Aktivasi PKC akan menekan natrium-kalium-ATPase (Na+-K+-ATP-ase), sehingga kadar natrium (Na+) intraselular menjadi berlebih, memicu sensitisasi sentral yang mengarah pada terjadinya alodinia. Natrium intrasel yang berlebih juga menghambat masuknya kembali mioinositol ke dalam sel yang mengganggu transduksi sinyal pada saraf (Purwata, 2010; Cohen dkk., 2014). Peningkatan jalur poliol juga menyebabkan penurunan nicotonamide adenine dinucleotide phosphate hydride (NADPH) pada saraf yang merupakan kofaktor untuk gluthation dan nitric oxide synthase (NOS). Berkurangnya NADPH akan mengurangi kemampuan saraf dalam mengurangi radikal bebas dan menurunkan produksi NO. Selanjutnya kondisi hiperglikemi menyebabkan pembentukan AGEs yang sangat toksik dan merusak semua protein tubuh termasuk sel saraf sehingga menyebabkan ND. Kerusakan aksonal metabolik pada fase awal masih dapat kembali pulih dengan kendali glikemik yang optimal, namun bila kerusakan iskemik maka tidak dapat diperbaiki kembali. Adapun skema jalur poliol dapat dilihat pada bagan 2.1 berikut (Zychowska dkk., 2013).
18
Gambar 2.1 Jalur Poliol (Bhadada dkk., 2001)
Perbaikan tersebut tergantung peranan nerve growth factor (NGF) yang mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penderita DM kadar NGF cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. Peran NGF dalam regulasi gen substance P dan calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP). Peptida ini memiliki efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal, dan nosiseptif yang mengalami gangguan pada ND. Kondisi hiperglikemi dapat menyebabkan apoptosis langsung pada neuron ganglia radiks dorsalis. Hiperglikemi dapat menyebabkan bertambahnya glycation dari transport protein berakibat aktivitas berlebihan pada jalur poliol (Purwata, 2010; Zychowska dkk., 2013). Pada diabetes tipe 1 kondisi hiperglikemi disebabkan karena penurunan sekresi insulin dan peningkatan aktivitas jalur poliol. Kondisi hiperglikemi menyebabkan aktivasi enzim aldosa reduktase untuk glukosa meningkat sehingga terjadi peningkatan produksi sorbitol. Sorbitol tidak menembus membran sel dan terakumulasi intraseluler di jaringan saraf sehingga menimbulkan stres osmotik. Stres osmotik meningkatkan molaritas cairan intraselular serta masuknya air, kerusakan sel Schwann dan degenerasi serat saraf. Selanjutnya terjadi peningkatan regulasi dari hasil oksidase kompleks NADPH pada stres oksidatif melalui pengurangan produksi glutation, penurunan konsentrasi nitrat oksida dan 19
meningkatkan konsentrasi oksigen reaktif. Radikal bebas, oksidan dan beberapa faktor metabolik mengaktifkan enzim poli ADP-ribosa polimerase (PARP) yang mendasari neuropati diabetes (Purwata, 2010; Zychowska dkk., 2013). Defisit oksida nitrat dapat meningkatkan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan hipoksia mikrovaskular, selain itu deplesi mioinositol dan penimbunan sorbitol pada jaringan saraf menyebabkan stres osmotik dan kerusakan jaringan. Bersamaan dengan penurunan konsentrasi mioinositol mengurangi aktivitas ATP-ase natrium dan kalium yang penting dalam konduksi impuls. Konsentrasi mioinositol 330 kali lebih banyak pada saraf perifer dibandingkan di plasma. Sebanyak 20% dari mioinositol terikat phosphoinosotide yang berhubungan dengan fosfolipid membran sel (Yagihashi dkk., 2011; Zychowska dkk., 2013). Mioinositol lainnya dalam bentuk yang tidak terikat pada saraf. Phosphoinosotide merupakan sel dengan metabolik aktif fosfolipid terkait dengan membran sel. Siklus phosphatidylinositol melibatkan transformasi fosfolipid disertai dengan aktivasi sel dan penting untuk konduksi impuls saraf. Pada kondisi normal, natrium, kalium dan ATP-ase pada saraf mempertahankan konsentrasi dimana natrium lebih rendah pada saraf perifer dibandingkan di plasma. Berkurangnya mioinositol menyebabkan ketidakcukupan natrium, kalium dan adenosin triphosphatase (ATP-ase), enzim yang dibutuhkan untuk menghasilkan depolarisasi saraf, akibatnya konduksi rangsangan akan berkurang. Tingkat mioinositol tinggi berhubungan dengan regenerasi saraf, sehingga tingginya kadar mioinositol dianggap sebagai mekanisme kompensasi untuk mencegah kerusakan saraf (Yagihashi dkk., 2011; Zychowska dkk., 2013). Peningkatan glycoxidation (proses glikasi yang melibatkan oksidasi) protein juga memainkan peranan penting pada neuropati diabetes. Pada kondisi hiperglikemi terjadi peningkatan glukosa dan fruktosa hasil dari kovalen pengikatan glukosa untuk protein,
20
nukleotida dan molekul lipid tanpa adanya kontrol enzim tertentu. Produk dari transformasi ini yaitu produk glycation AGEs mengubah fungsi seluler. Advanced glycation end products menyebabkan sejumlah gangguan termasuk pembentukan trombus, dan vasokonstriksi vaskular (Zychowska dkk., 2013). Selanjutnya,
glikasi
protein
dapat
menurunkan
pembentukan
sitoskleletal,
menginduksi protein agregasi dan memberi ligan pada permukaan reseptor sel. AGEs juga terlibat dalam pembentukan radikal bebas. Induksi dari glikasi protein non-enzimatik struktural pada serabut saraf menyebabkan kekacauan berlebihan dan gangguan transportasi aksonal, karena tubulin glikasi mengarah pada polimerisasi tubulin GTP. Letak AGEs terdapat pada serat saraf bermielin, tanpa mielin, perineurium, sel endotel dan pericytes dari endoneurial mikrovaskular. Selain itu receptor advanced glycation end products (RAGE) dan produk glikasi berada dalam neuron perifer. Adapun skema efek AGEs pada tubuh dapat dilihat pada bagan 2.2 berikut (Purwata, 2010; Zychowska dkk., 2013).
Gambar 2.2 Efek Advanced Glycation End Products Pada Tubuh (Bhadada dkk., 2001) Interaksi antara makrofag dan AGE-mielin mungkin mempengaruhi kontribusi demielinasi segmental terkait neuropati diabetes. Terdapat bukti menunjukkan aktivasi nonneuron (mikroglia, astrosit, dan sel imun) memainkan peranan penting dalam nyeri neuropati, 21
sel-sel ini diaktifkan dalam kondisi hiperglikemi pada medula spinalis. Penelitian ini menunjukkan bahwa glia sangat mempengaruhi komunikasi sinaptik antara neuron yang menyebabkan nyeri patologis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengaktifan mikroglia memainkan peranan penting dalam menimbulkan nyeri neuropati melalui pelepasan sitokin proinflamasi, mediator allodynia dan hiperalgesia (Yagihashi dkk., 2011; Zychowska dkk., 2013). Pada penelitian terbaru ada yang mengatakan keterlibatan faktor proinflamasi berasal dari mikroglia diaktifkan pada kondisi hiperalgesia. Terdapat banyak laporan yang melibatkan pelepasan sitokin proinflamasi dari glia dan sel imun sebagai patomekanism untuk nyeri neuropati. Mikroglia medula spinalis aktif dalam kondisi hiperglikemi mengarah pada peningkatan sitokin proinflamasi (IL-1b, IL-2, IL-6, dan TNFα) dan stres oksidatif (Zychowska dkk., 2013). Setelah cedera saraf terjadi proses inflamasi dan respirasi yang mengarah pada hipereksitabilitas sensitisasi perifer. Bila cedera berlanjut karena stimulasi berulang seperti pada diabetes maka akan menimbulkan kerusakan berkelanjutan dan terjadi perubahan pada aferen primer. Beberapa faktor yang berkontribusi diantaranya mediator inflamasi seperti gen kalsitonin peptida terkait substansia P yang dilepas pada terminal nosiseptif. Pada tingkat sel, sinyal transmisi nosiseptif diatur oleh ion natrium, kalsium, kalium serta saluran ionotropik dan reseptor metabotropik seperti glutamat, γ aminobutiric acid (GABA), serotonergik, adrenergik, neurokinin dan reseptor vanilloic, kemudian sitokin proinflamasi dilepaskan dari sel glia beserta NGF (Cohen dkk., 2014). Sitokin proinflamasi dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF α) diproduksi perifer dan pusat saat terjadi cedera saraf. Mikroglia diaktifkan dalam 24 jam setelah terjadi cedera saraf diikuti dengan astrosit dan bertahan dalam 12 minggu. Sel glia mengalami transformasi struktural dan fungsional setelah cedera dengan astrosit melepas sejumlah pronosiseptif
22
seperti prostaglandin, asam amino, dan sitokin. Mikroglia berkembang di kornu dorsalis medula spnalis setelah cedera saraf. Teraktivasinya sel glia merangsang pelepasan sitokin, kemokin dan zat sitotoksik seperti NO dan radikal bebas. Sitokin berikutnya dilepas oleh astrosit dan mikroglia menginduksi peningkatan regulasi glukokortikoid dan reseptor glutamat. Sitokin proinflamasi 1β berperan dalam memori afektif nyeri (Cohen dkk., 2014).
Gambar 2.3 Mekanisme Nyeri Neuropatik Dibandingkan Nyeri Nosiseptif. (Cohen dkk., 2014). 2.2.5 Faktor Risiko Nyeri Neuropati Diabetik Kadar serotonin rendah pada penderita DM tipe 2 dapat menjadi salah satu faktor risiko NND. Faktor-faktor lain yang secara langsung dapat menjadi faktor risiko terjadinya NND adalah usia, lama menderita DM, HbA1C, hipertensi, obesitas, dislipidemia, dan depresi. Depresi dapat menyebabkan NND karena peningkatan glukokortikoid yang menyebabkan penurunan brain derived neurotrophic factor (BDNF) akan memicu depresi. Faktor-faktor lain yang secara tidak langsung dapat menyebabkan NND diantaranya penyakit ginjal dan hati kronis, infeksi HIV/AIDS, MH, neuropati jebakan, keganasan, obat, paparan toksik, pemakaian alkohol dan penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus (SLE) (Yenni, 2014; Zheng dkk., 2014; PERKENI, 2015). 23
Kadar HbA1C yang terkontrol < 7% dapat menurunkan komplikasi mikro dan makrovaskular. Glukosa dapat bereaksi dengan haemoglobin untuk membentuk HbA1C, sehingga peningkatan konsentrasinya dalam darah menunjukkan keadaan hiperglikemi kronis atau berlangsung lama. Hemoglobin A1C memiliki afinitas oksigen yang tinggi sehingga sukar melepas oksigen di perifer. Konsentrasi HbA1C berkorelasi dengan perkembangan komplikasi mikrovaskular yang mencerminkan paparan glukosa darah seluruhnya dan tidak memerlukan puasa sebelum pemeriksaan (Yenni, 2014; PERKENI, 2015). Faktor hipertensi, hiperlipidemia terutama kadar trigliserid yang tinggi, merokok, obesitas atau kelompok dengan berat badan lebih yaitu indeks massa tubuh (IMT) ≥ 23 kg/m2 dan resistensi insulin menyebabkan kerusakan mikrovaskular yang mengalami hialinisasi di lamina basal pembuluh darah sehingga terjadi trombosis
pada arteriol intraneural,
berkurangnya aliran darah menuju saraf dan menimbulkan hipoksia dan iskemia jaringan yang akan menjadi neuropati. Usia > 45 tahun dikatakan memiliki risiko mengalami DM tipe 2 (Yagihashi dkk., 2011; Zychowska dkk., 2013). Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa NND merupakan komplikasi kronis dari DM. Hal ini mengaitkan terjadinya ND dengan lama dan beratnya DM. Kondisi hiperglikemi berkepanjangan berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis AGEs, pembentukan radikal bebas dan aktivasi PKC. Aktivitas jalur tersebut menyebabkan kurangnya vasodilatasi sehingga aliran darah menuju saraf akan menurun dan bila terjadi terus-menerus dan berulang-ulang dalam kondisi kadar gula darah yang tidak terkontrol akan dapat menyebabkan ND. Berikut dapat dilihat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan neuropati pada gambar 2.4 (Purwata, 2010; Zychowska dkk., 2013).
24
Gambar 2.4 Patogenesis Neuropati Diabetik (Yagihashi dkk., 2011)
2.3 Serotonin Berbagai macam neurotransmiter dan reseptornya dapat ditemukan pada lamina superfisial kornu dorsalis medula spinalis. Informasi transmisi somatosensorik dari serat aferen primer menuju neuron kornu dosalis tergantung dari keseimbangan efek eksitasi asam amino dan inhibisi sistem neurotransmiter. Serotonin (5-HT) berada dalam akson dan terminal neuron kornu dorsalis medula spinalis khususnya pada lamina superfisial I-III. Proyeksi asal serotonin untuk kornu dorsalis medula spinalis adalah pada nukleus raphe magnus (Budai, 2000). Pada kloning molekular mengidentifikasi 5-HT 1-7. Dengan 5-HT3 terdiri dari ligand gated ion channel receptor. Sedangkan keenam lainnya berinteraksi dengan G-protein dan berpasangan dengan second messengers. Subtipe 5-HT1, 5-HT2, 5-HT3 mempengaruhi somatosensoris kornu dorsalis medula spinalis. Terdapat tiga sumber utama dari reseptor 5HT ke kornu dorsalis medula spinalis yaitu: sel dorsal root ganglion (DRG), neuron intrinsik
25
spinalis dan sistem desending. Aktivasi 5-HT dapat menginhibisi sistem second messengers yang berbeda. Subtipe reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D menghambat neuron nosiseptif secara selektif, sedangkan 5-HT1A agonis memfasilitasi respon nosiseptif. Subtipe 5-HT3 dimediasi reseptor GABA melalui eksitasi interneuron GABAergik (Budai, 2000). Serotonin berproyeksi pada SSP, medula spinalis, serebellum, korteks lobus frontal, hipotalamus, hipokampus, dan striatum. Serotonin disintesis di serotonergik terminal dari triptofan. Penyerapan triptofan melintasi sawar darah otak kemudian dibawa ke sinap, sintesis 5-HT oleh triptofan hidroksilase (TPH) dan aromatic amino acid decarboxylase (AADC), transportasi 5-HT oleh monoamine transporter (MAT), pelepasan 5-HT menuju ekstraseluler dan pengambilan kembali oleh serotonin transporters (SERTs) . Adapun biogenesis dan metabolisme serotonin dapat dilihat pada gambar 2.5 dan mekanisme substrat serotonin serta kerja enzim transporter dapat dilihat pada gambar 2.6 (Budai, 2000).
Gambar 2.5 Biogenesis dan Metabolisme Serotonin (Nichols dkk., 2008)
26
Gambar 2.6 Mekanisme Substrat, Enzim Transporter Serotonin (Budai, 2000). Triptofan hidroksilase bekerja tergantung konsentrasi triptofan. Triptofan serum dapat diukur baik sebelum atau sesudah makan dengan nilai rentang bervariasi 53-85 µM atau 61173 µM dengan berbagai komposisi protein. Triptofan diangkut menembus sawar darah otak oleh L-transporter. Triptofan mayoritas dalam serum terikat dengan albumin. Terdapat rantai asam amino lain yang bersaing juga dengan transporter yang sama. Kecepatan transport triptofan menuju otak 159µM/jam, sebanyak 2% dari triptofan intraselular digunakan untuk sintesis serotonin (Best dkk., 2010). Serotonin dihasilkan oleh reaksi TPH dekarboksilasi AADC untuk menghasilkan serotonin sitosol. Serotonin ekstraselular selanjutnya ada yang dipompa kembali ke sitosol oleh SERTs atau dikatabolisme dan dikeluarkan dari vesikel menuju celah sinap menjadi ekstraselular atau disebut extracellular serotonin release (e5-HT), saat konsentrasi e5-HT meningkat, maka sintesis dan pelepasan 5-HT dari vesikel ke dalam celah sinap akan dihambat. Sebaliknya bila konsentrasi e5-HT menurun, akan memfasilitasi sintesis dan
27
pelepasan 5-HT menuju celah sinap. Serotonin ekstraselular dan autoreseptor agonis menurunkan sintesis 5-HT sebanyak 50-90% sedangkan antagonisnya dapat meningkatkan sintesis sebanyak 40-60%. Serotonin ekstraselular selanjutnya dapat berkurang karena diserap sel glia, diserap sel darah, atau berdifusi antar jaringan. Serotonin e5-HT meningkat selama dan setelah makan. Serotonin dimetabolisme oleh monoamine oxidase (MAO) dan aldehyde dehydrogenase (ALDH) untuk 5-Hydroksyindoleacetic acid (5-HIAA) (Best dkk., 2010). Polimorfisme pada gen SERTs dikaitkan dengan depresi dan gangguan mood, serta bipolar. Kadar 5-HT di setiap daerah otak berbeda-beda, di korteks lobus frontal dan hipokampus. Area korteks lobus frontal mengalami penurunan cepat sekitar 30% sedangkan di area hipokampus mengalami penurunan sekitar 70% dari nilai basal pada penerapan dosis 5-HT1A agonis autoreseptor. Hal ini karena efek stimulasi autoreseptor 5-HT1A pada raphe yang diproyeksikan pada korteks lobus frontal dan hipokampus. Dorsal raphe nucleus (DRN) proyeksi ke korteks lobus frontal sedangkan median raphe nuclei (MRN) proyeksi ke hipokampus. Pemberian makanan juga mempengaruhi kadar beberapa neurotransmiter dalam serum diantaranya dapat dilihat pada gambar 2.7 (Best dkk., 2010).
28
Gambar 2.7 Pengaruh Makanan Pada Dopamin Dan Serotonin (Best dkk., 2010). Serotonin dalam darah yang disebut sebagai serotonin perifer merupakan produksi sel enterokromafin dinding usus. Sebagian di antaranya bekerja sebagai neurotransmitter di sistem saraf usus, sedangkan sebagian lepas ke dalam darah. Di dalam darah, sebagian besar diambil oleh trombosit menjadi platelet serotonin sedangkan sisanya beredar bebas dalam plasma disebut sebagai free-serotonin. Sel enterokromafin dapat memantau kadar serotonin dalam darah dan melepaskan serotonin sesuai kebutuhan, melalui mekanisme SERT (Pusponegoro, 2007). Berikut dapat dilihat gambar yang menjelaskan mengenai mekanisme 5-HT dari sel enterokromafin yang berlokasi pada lumen ileum pada gambar 2.8 (Parmar dkk., 2012).
Gambar 2.8 Mekanisme 5-HT dari sel enterokromafin yang berlokasi pada lumen ileum (Parmar dkk., 2012). Pada sisi atas tampak beberapa lapisan dinding usus. Lapisan luar berupa musculus longitudinal, pleksus myenterikus, dan pleksus submukosa. Lapisan terdalam merupakan mukosa yang terdiri dari sel enterochromaffin (EC) dan epitel yang terletak di sepanjang vili. Pada gambar ini sel EC tunggal dengan dua sel epitel diposisikan kedua sisi. 1) jalur sintesis 5-HT dari triptofan oleh enzim asam L-amino dekarboksilase (L-AADC), 2) pelepasan 5-HT ke dalam matriks ekstraselular, 3) pengikatan sesuai reseptor 5-HT pada neuron intrinsik 29
aferen primer dalam submukosa dan pleksus myenterikus. 4) mekanisme 5-HT tidak aktif, 5HT diangkut kedalam sel epitel melalui SERT. Selanjutnya metabolisme 5-HT menjadi 5hidroksilase asam asetat (5-HIAA) oleh enzim monoamine oksidase A (Parmar dkk., 2012).
2.4 Peranan Serotonin Pada Nyeri Neuropati Diabetik
Lesi
pada
serabut
saraf akibat
iskemik bekepanjangan karena
gangguan
mikrovaskular, dapat menyebabkan terjadinya remodeling dan hipereksitasi membran. Bagian proksimal dari lesi akan timbul sprouting yang sebagian diantaranya mampu mencapai organ target dan sebagian lagi berakhir di neuroma. Selanjutnya akan terjadi akumulasi natrium pada neuroma dan ganglion radiks dorsalis. Akumulasi saluran natrium ini akan memunculkan aktivitas listrik ektopik dan hipereksitabilitas. Lesi pada saraf tepi juga akan menunculkan molekul reseptor dan transducer baru yang akan menimbulkan ektopik baik evoked maupun spontan (Meliala, 2004; Purwata, 2010). Alpha-adreno-receptors yang peka terhadap katekolamin dan noradrenalin yang dilepaskan oleh sistem simpatis yang akan menambah ectopic discharge. Akibat timbulnya ectopic discharge, neuron sensorik di kornu dorsalis akan dibanjiri dengan impuls dari perifer, sehingga mengakibatkan sensitisasi. Selain itu timbul interaksi abnormal antar serabut saraf akibat hilangnya isolasi glia akibat lesi sehingga terjadi ephatic cross talk, short circuit antar serabut saraf, yaitu serabut saraf yang lesi mengaktifkan serabut saraf sehat disekitarnya. Lesi serabut Aβ di kornu dorsalis akan mengaktifkan serabut C atau Aδ yang dapat menimbulkan alodinia. Terjadi pula crossed after discharge (CAD) berulang yang disertai hipereksitabilitas neuron akan menimbulkan hiperalgesia dengan gejala seperti tersetrum (Meliala, 2004; Purwata, 2010). 30
Pada NND terjadi kematian serabut saraf C yang berada di lamina I dan II kornu dorsalis medula spinalis. Hilangnya serabut saraf C di lamina I dan II akan memicu sprouting pada serabut saraf Aβ dengan mengirimkan cabangnya menuju lamina untuk mengisi kekosongan sinapis. Impuls yang berasal dari lamina I dan II bersifat impuls nyeri sehingga impuls ringan yang dihantarkan oleh serabut saraf Aβ diartikan sebagai impuls nyeri (Purwata, 2010). Lesi pada saraf tepi dapat menyebabkan rusaknya neuron inhibisi sehingga kontrol inhibisi akan hilang. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakseimbangan antara eksitasi yang berasal dari perifer dengan neuron intersegmen atau decendent inhibition pada proses modulasi. Pada ND terjadi apoptosis sel-sel inhibisi di ganglion radiks dorsalis dan kornu dorsalis, sehingga akan terjadi penurunan serotonin, GABA dan glisin yang akan menimbulkan nyeri (Meliala, 2003; Purwata, 2010). Nyeri dapat ditekan dengan inhibisi baik perifer maupun sentral pada berbagai inti di batang otak hingga medula spinalis, diantaranya serotonergik berproyeksi dari nucleus raphe dorsalis, dopaminergik di ventral tegmental area dan noradrenergik di locus coeruleus. Berikut adalah gambar sirkuit modulasi nyeri 2.9 (Marks dkk., 2009).
Gambar 2.9 Circuit of pain modulation pathway. Abbreviations: 5-HT, serotonin; NE, norepinephrine. Thick arrow indicates ascending pain pathway and thin arrow represents descending inhibitory pain pathway (Marks dkk., 2009). Nyeri neuropatik diakibatkan karena lesi atau disfungsi sistem saraf perifer atau sentral. Trisiklik antidepresan dan antikovulsan merupakan terapi pilihan untuk meredakan
31
nyeri neuropatik. Trisiklik antidepresan bekerja dengan menghambat reuptake pada presinaptik dari biogenik amina serotonin dan noradrenalin serta memblok saluran kalsium. Golongan SSRI dan SNRI dilaporkan dapat memblok saluran natrium. Serotonin dan noradrenalin bersama endogen opioid dari otak dan batang otak memodulasi aktivitas di jalur nosiseptif pada kornu dorsalis medula spinalis, dan lebih rostral lagi pada SSP. Penghambatan reuptake presinaptik dari monoamin serotonin dan noradrenalin oleh antidepresan dapat meningkatkan kadar amina pada celah sinap sehingga meningkatkan penekanan terhadap NND. Golongan TCA juga dikatakan memiliki efek dapat memblok reseptor NMDA (Sindrup dkk., 2005). Serotonin memiliki peranan utama dalam modulasi nosiseptif transmisi spinal sebagai akibat dari jumlah reseptor 5-HT. Dalam penelitian Rahman dkk., mengenai peran agonis 5HT2A, B dan C, menyatakan peran pronosiseptif untuk reseptor 5-HT, kemungkinan besar melalui modulasi aktivitas reseptor 5-HT2A pada medula spinalis di pre dan post sinap lamina II, peran 5-HT2C sebagai inmodulating nociceptive dengan reseptor messenger RNA (mRNA) pada sebagian besar substansia grisea kecuali lamina II, berlokasi dominan di post sinap. Serotonergik yang masuk ke kornu dorsalis berasal dari supraspinal yaitu dari rostral ventromedial medula (RVM) (Rahman dkk., 2011). Penggunaan SSRI memiliki dua efek di celah sinap yaitu meningkatkan 5-HT karena menyumbat SERTs di celah sinap dan penurunan e5-HT karena penyumbatan SERTs di badan sel (Best dkk., 2010). Studi tentang efek antidepresan menyatakan yang paling efektif adalah golongan TCA, SSRI dan SNRI (Zychowska dkk., 2013). Pada penelitian Yamamoto pemberian oral amitriptilin tunggal tidak efektif mengurangi allodynia pada fase awal diabetes. Namun pengobatan amitriptilin efektif ketika terjadi pengembangan penyakit ini. Sehingga banyak penelitian yang menunjukkan hasil yang bertentangan terhadap efek amitriptilin untuk diabetes. Saat ini beberapa penelitian juga
32
fokus pada peran SSRI dan SNRI pada neuropati diabetes yang diinduksi dengan beberapa hasilnya menunjukkan dapat melemahkan hiperalgesia pada hewan coba. Pada penelitian Tembhurne dkk menunjukkan SSRI dapat mengurangi persepsi nyeri pada pengobatan kronis (9 minggu) hewan coba. Sebaliknya Sounvoravong dkk menunjukkan SSRI tidak berpengaruh pada tes Von Frey, tetapi efeknya dapat dibantu dengan morfin dan secara signifikan meningkatkan efek antinociceptive dan antialodinia pada hewan coba (Zychowska dkk., 2013). Penelitian lain membuktikan efek SNRI dapat memberikan efek antialodinia tergantung dosis dan cara pemberiannya. Hewan coba dengan induksi nyeri diberikan SNRI selama 7 hari melalui injeksi terjadi penurunan nyeri neuropatik seperti hiperalgesia dan alodinia. Dikatakan juga bahwa injeksi kronis intraperitoneal SNRI juga dapat mengurangi nyeri mekanik pada hewan coba diabetes. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan adenosin dengan keterlibatan jalur adenosinergik dalam efek antinosiseptif pada SSRI. Penelitian lain menunjukkan bahwa SSRI menurunkan alodinia sistemik dan medula spinalis tetapi bukan bersifat perifer. Penelitian pada neuron sensorik primer menunjukkan bahwa trisiklik antidepresan seperti amitriptilin memberi efek blok natrium sehingga dapat memberi efek antihiperalgesia (Zychowska dkk., 2013). American
diabetes
association
merekomendasi
penggunaan
terapi
trisiklik
antidepresan disusul dengan antikonvulsan dan opioid untuk NND, disertai pemeliharaan kadar gula darah. TCA terbukti efektif menghilangkan nyeri akibat ND pada 40% kasus. Trisiklik antidepresan menghambat norepineprin dan atau serotonin reuptake dalam sistem saraf pusat. Max dkk menunjukkan bahwa amitriptilin efektif dalam mengurangi NND dan telah dikonfirmasi oleh beberapa penelitian lainnya. Max menunjukkan SSRI tidak efektif pada pasien ND tetapi SSRI memiliki efek analgesik signifikan (Zychowska dkk., 2013).
33
34