BAB II DASAR TEORI
2.1
State of The Art State of The Art merupakan pencapaian tertinggi dari sebuah proses
pengembangan sebuah penelitian. Perencanaan Penempatan eNode B 4G LTE 1800 MHz pada BTS Existing di Kota Denpasar Menggunakan Metode Fuzzy C-Means dan Harmony Search belum ada yang melakukan penelitian ini. Berikut ada beberapa penelitian tentang beberapa metode optimasi pada jaringan mobile telekomunikasi. Penelitiain pertama pada tahun 2010, Fabio Garzia, Cristian Perna, dan Roberto Cusani melakukan penelitian mengenai optimasi perencanaan jaringan UMTS
(Universal
Mobile
Telecommunications
System)
yang
berjudul
“Optmization of UMTS Network Planning Using Genetic Algorithms”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan metode berbasis Algoritma Genetika untuk mengatasi masalah cakupan optimasi dan kapasitas sistem UMTS, dengan memperhitungkan kondisi-kondisi yang sesuai dengan yang ada di lapangan. Persoalan optimasi frekwensi menjadi sangat penting untuk dibahas dalam dunia telekomunikasi dikarenakan perkembangan pengguna (user) yang sangat cepat sehingga perlu dilakukan sebuah perencanaan jaringan yang mampu mengatasi masalah ini. Dalam penelitian ini terdapat parameter yang sangat berpengaruh yaitu signal – interference ratio (SIR), yaitu perbandingan antara daya signal asli dengan sinyal carrier atau dapat dikatakan jumlah pengguna aktif yang
1
terdapat pada suatu wilayah dalam satu sinyal carrier. Hasil menunjukkan bahwa Algoritma Genetika meghasilkan hasil optimasi yang berkualitas tinggi, yang mampu meningkatkan kinerja dengan ketepatan input data. Dari hasil penelitian itu didapatkan persentase hasil coverage mencapai 98% sedangkan persentase kapasitas mencapai 99%.
Waktu perhitungan juga cukup singkat, karena
kebanyakan dari solusi yang baik diperoleh setelah sekitar 200 - 1.000 generasi dari Lagoritma Genetika sebagai fungsi dari situasi yang dipertimbangkan. Pada penelitian ini tidak memperhitungkan kondisi wilayah secara matematis sehingga hasil perhitungan Algoritma Genetika bisa lebih maksimal sesuai dengan kondisi kenyataan. Kemudian akan lebih maksimal jika ditambahkan perhitungan OBQ (Offered Bit Quantity) yaitu total bit throughput per km2 pada jam sibuk. Penelitian kedua pada tahun 2012, Elok Nur Hamdana, Sholeh Hadi Pramono, dan Erfan Achmad Dahlan melakukan penelitian mengenai Optimasi BTS yang berjudul “Optimasi Perencanaan Jaringan UMTS pada Node B Menggunakan Probabilistik Monte Carlo”, dan dalam publikasinya dijelaskan bahwa optimasi jaringan sangat perlu dilakukan untuk membangun suatu jaringan telekomunikasi agar mampu melayani pelanggan dengan kualitas yang baik, dan nilai investasi yang ditanamkan bisa optimal. Maksud dari nilai investasi yang optimal adalah dengan biaya seminal mungkin mampu menghasilkan kualitas yang baik dengan kata lain memaksimalkan jumlah node B untuk menghasilkan pelayanan kepada pelanggan dengan kualitas yang baik. Pada penelitian ini dilakukan optimasi penentuan lokasi Node B yang akan digunakan pada salah satu operator yang ada di kota Malang. Metode yang digunakan untuk menentukan
2
optimasi ini adalah probabilistik Monte Carlo. Simulasi Monte Carlo merupakan sebuah simulasi probabilistik dimana solusi dari suatu maslah diberikan berdasarkan proses acak (random). Tahapan proses penelitian ini adalah pendimensian jaringan dimana proses ini menentukan jumlah penduduk yang berpotensi sebagai pengguna jaringan UMTS pada tahun 2012. Kemudian dilanjutkan dengan perencanaan kapasitas dan coverage mengenai BTS yang akan digunakan. Tipe BTS yang akan digunakan mencakup besarnya kapasitas kanal yang mampu ditampung. Terakhir adalah melakukan pengoptimasian jaringan dimana proses optimasi dibagi menjadi 2 yaitu optimasi demand serta tipe Node-B, dan Optimasi menentukan lokasi dari Node-B. Hasil optimasi yang didapat dari penelitian ini adalah dari 25 BTS existing didapatkan 15 site terpilih untuk memenuhi coverage layanan. Untuk menentukan kapasitas kanal yang dibutuhkan pada masing-masing Node B tersebut dilakukan random yang memprediksi jumlah pelanggan yang masuk dalam wilayah perencanaan jaringan. Pada penelitian ini digunakan metode perhitungan link budget model Hatta Cost 231. Metode perhitungan
link
budget
tersebut
memiliki
kelemahan
dimana
tidak
memperhitungakan secara detail parameter-parameter seperti tinggi bangunan pengahalang,
sudut
antara
pemancar
dan
penerima,
kemudian
tidak
memperhitungakan jika user dalam keadaan bergerak. Akan lebih maksimal jika metode perhitungan link budget nya menggunakan metode Welfisch Ikegami, dimana metode ini memperhitungkan tinggi bangunan, sudut antara pemancar dan penerima, dan pergerakan user juga diperhitungkan.
3
Penelitan ketiga di tahun yang sama yaitu di tahun 2012, M. Fajrul Hakim, Wiwik Angraeni, Apol Pribadi melakukan sebuah penelitian mengenai optimasi BTS dengan hasil penelitiannya yang berjudul “ Optimasi Perencenaan Jumlah Base Transceiver Station (BTS) dan Kapasitas Trafik BTS Menggunakan Pendekatan Goal Programming pada Sistem Telekomunikasi Seluler Berbasis GSM”. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode Goal Programming untuk melakukan optimasi julah BTS dan kapasitas trafik BTS. Metode Goal Programming merupakan sebuah metode yang digunakan dalam pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bertentangan di dalam batasanbatasan yang kompleks dalam sebuah perencanaan. Penelitian ini akan menentukan kapastias trafik yang bisa menampung semua permintaan trafik dari pengguna telepon seluler dan menentukan kapasitas total trafik BTS yang tidak melebihi total kapasitas yang dimiliki masing-masing BTS. Setelah dilakukan optimasi, Terdapat sisa sektor BTS yang tidak digunakan untuk melayani permintaan trafik. Pada tahun 1 terdapat 166 sektor BTS, tahun 2 terdapat 134 sektor BTS, tahun 3 terdapat 96 sektor BTS, tahun 4 terdapat 58 sektor BTS, dan tahun 5 terdapat 22 sektor BTS. Pada tahun ke-6 sampai tahun ke-10 kapasitas trafik yang tersedia sudah tidak mencukupi permintaan trafik. Pada tahun 6 dan 7 terdapat kekurangan 29 sektor BTS, tahun 8 terdapat kekurangan 62 sektor BTS, dan pada tahun 9 dan 10 terdapat kekurangan 93 sektor BTS. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, jumlah permintaan trafik tergolong parameter yang sensitif. Jika permintaan berubah, maka nilai dari fungsi tujuan dan solusi optimal akan ikut berubah. Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak memperhitungkan kondisi wilayah yang dijadikan lokasi
4
penelitian ini. Akan lebih baik jika kondisi wilayah diperhitungkan dengan menggunakan metode perhitungan link budget, sehingga hasil coverage yang didapat sesuai dengan kenyataan (real) di lapangan. Metode goal programming memilik kelemahan yaitu tidak bisa menentukan priotas-prioritas dan kriteriakriteria pengambilan keputusan sehingga perlu dipadukan dengan metode yang lainnya agar memperolah hasil yang lebih maksimal. Penelitian keempat di tahun 2013, Satvir Singh dan Kulvinder Kaur melakukan sebuah penelitian mengenai optimasi BTS menggunakan metode ABC (Artificial Bee Colony) dengan judul penelitian “ Base Station localization using Artificial Bee Colony Algorithm”. Berbeda dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan, pada penelitian ini menggunakan metode ABC (Artificial Bee Colony) yaitu sebuah metode optimasi yang diadopsi dari sifat kawanan hewan seperti semut, rayap, lebah, dan yang lainnya dalam mencari rute terdekat dalam mencari makanan. Dalam penelitiannya ini menggunakan beberapa parameters untuk menghitung path loss diantara nya transmit power 500 mW, frequency 850 MHz dan Tinggi antena Base Station berkisar 20 – 200 m. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah memperkenalkan sebuah metode baru dalam melakukan sebuah optimasi berdasarkan teori segerombolan lebah (Artificial Bee Colony). Pendekatan ini memungkinkan untuk secara efisien menentukan lokasi yang optimal dari BTS, menghindari pencarian secara menyeluruh yang memakan waktu yang lama. Hasil menunjukkan bahwa pendekatan ABC efektif dan kuat untuk masalah cakupan efisien lokasi BTS dan dianggap memberikan hampir solusi optimal dalam wireless jaringan komunikasi. Metode ABC jika dibandingkan
5
dengan algoritma lain yaitu sangat sederhana dan fleksibel. Namun, jika dimensi masalah meningkat, pertukaran informasi masih terbatas pada satu dimensi. Kemudian persekitaran dan dimensi dipilih secara acak, sehingga sumber makanan dengan fitness yang lebih tinggi memungkinkan untuk tidak dipilih. Sehingga perlu dicari solusi agar penggunaan algoritma ABC (Artificial Bee Colony) dapat menghasilkan optimasi yang maksimal. Penelitian kelima pada tahun 2013, Pancawati Dessy Aryanti, Sholeh Hadi Pramono, dan Onny Setyawati melakukan penelitian mengenai optimasi penempatan BTS dengan judul penelitian “Optimasi Penempatan Node B UMTS900 pada BTS Existing Menggunakan Algoritma Genetika”. Penelitian ini mengambil lokasi di Malang dengan menggunakan 46 BTS eksisting sebagai sample. Penelitian ini melakukan sebuah optimasi BTS hanya saja penulis disini menggunakan metode yang berbeda yaitu metode Algoritma Genetika untuk melakukan optimasi. Pada penelitian ini untuk perhitungan link budget menggunakan metode welfisch – ikegami, dimana metode memperhitungakan lebih detail parameter-parameter seperti tinggi bangunan pengahalang, sudut antara pemancar dan penerima, kemudian tidak memperhitungakan jika user dalam keadaan bergerak. Sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini lebih menyerupai kenyataan (real). Kemudian dalam penelitian ini juga memperhitungkan nilai OBQ (Offered Bit Quantity) yaitu total bit throughput per km2 pada jam sibuk. OBQ selama jam sibuk untuk suatu area tertentu dihitung berdasarkan beberapa asumsi, yaitu penetrasi user, durasi panggailan efektif, Busy Hour Call Attempt (BHCA), dan bandwidth dari layanan. Performansi penempatan Node B ditentukan oleh daya
6
cakup wilayah (coverage area) yang dihasilkan, yaitu sebesar 35% dan tingkat layanan trafik sebesar 61%. Tingkat optimasi yang didapatkan rendah disebabkan karena persebaran BTS exixting tidak merata di seluruh wilayah obyek penelitian, dan distribusi penduduk yang dibangkitkan tersebar merata di seluruh wilayah, sedangkan pada kenyataannya distribusi penduduk lebih banyak berada di pusat kota. Algoritma Genetika merupakan metode yang sudah sangat sering digunakan untuk melakukan optimasi jaringan seluler, sehingga perlu dicoba menggunakan metode yang lain untuk melakukan optimasi. Penelitian keenam pada tahun 2013, A. O. Onim, P. K. Kihato, dan S. Musyoki menerbitkan hasil penelitian yang berjudul ”Optimization of Base Station Location in 3G Networks using Mads and Fuzzy C-means”. Penelitian ini menggunakan metode Fuzzy C-Means sebagai metode untuk menentukan peletakan BTS yang tepat berdasarkan jumlah populasi pada suatu daerah. Kemudian hasil penempatan tersebut akan dioptimasi menggunakan metode Mesh Adaptive Direct Search (MADS). Hasil dari penelitian ini adalah dari 1000 MS yang dijadikan sample, jumlah BTS yang dirasa cukup untuk mencover adalah 34 BTS dengan jangkauan masing-masing BTS 1,5 km. Penelitian ketujuh pada tahun 2014, I Gede Putu Bagus Primadasa, mahasiswa Teknik Elektro Universitas Udayana melakukan penelitian mengenai perencanaan “Coverage jaringan LTE (Long Term Evolution) pada frekuensi 1900 MHz di wilayah kota Denpasar dengan memperhitungkan Offered Bit Quantity (OBQ)”. Dalam penelitian ini diasumsikan semua BTS 3G eksisting akan dipasang perangkat 4G. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan dimana coverage
7
4G di kota Denpasar berdasarkan perhitungan link budget dan Offered Bit Quantity (OBQ) sudah memenuhi wilayah kota Denpasar. Namun realitanya jaringan 4G LTE dialokasikan menggunakan frkwensi 1800 MHz (Dirjen SDPPI, 2014), sehingga perlu dilakukan perhitungan ulang mengenai link budget dari jaringan 4G di kota Denpasar. Kemudian untuk kondisi saat ini masyarakat belum terlalu banyak menggunakan jaringan ini, sehingga dalam penelitian ini akan mengkaji tentang jumlah BTS yang diperlukan hingga 5 tahun kedepan. Penelitian kedelapan pada tahun 2015, Muthmainnah dan Achmad Mauludiyanto menerbitkan hasil penelitian mengenai optimasi penempatan BTS dengan judul “Optimasi Penempatan Lokasi Potensial Menara Baru Bersama pada Sistem Telekomunikasi Seluler dengan Menggunakan Fuzzy Clustering di Daerah Sidoarjo”. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian keenam, dimana pada peneletian ini menggunakan metode clustering Fuzzy C-Means untuk menentukan posisi BTS yang tepat sesuai dengan jumlah penduduk, luas wilayah, dan kebutuhan menara di tahun 2019. Kemudian dioptimasi menggunakan metode Harmony Search. Dari hasil perencanaan kebutuhan menara baru bersama telekomunikasi untuk tahun 2019, khusus untuk optimasi layangan jaringan 3G dibutuhkan penambahan BTS sebanyak 359 BTS dengan kebutuhan menara baru bersama sebanyak 97 menara. Dimana setiap zona mampu mengcover 2 menara baru sekaligus, jadi 97 titik menara baru dapat diwakili dengan menggunakan 49 zona. Untuk layanan coverage zona biru (zona menara baru) di Kabupaten Sidoarjo berada dalam range radius antara (500 – 800) m dengan ketinggian menara antara (25 – 50) m. Metode yang digunakan dalam penelitian ini sangat tepat digunakan
8
untuk sebuah optimasi dan perencanaan jumlah BTS kedepan untuk jaringan 3G UMTS. Namun untuk penambahan jumlah BTS kedepan untuk jaringan 3G dirasa kurang tepat karena sudah ada generasi jaringan yang terbaru yaitu generasi keempat 4G LTE. Penelitian ini sangat menarik jika metode yang digunakan dalam pnelitian ini diterapkan dalam jaringan 4G LTE untuk mengembangkan infrastrukturnya di Indonesia.
9
Tabel 2.1 State Of The Art Review
1
Jurnal
Judul
Fabio Garzia, Cristina
Optimization of UMTS Network Planning Using
Perna, Roberto Cusani
Genetic Algorithms
Elok Nur Hamdana, Sholeh 2
Hadi Pramono, dan Erfan Achmad Dahlan M. Fajrul Hakim, Wiwik
3
Anggraeni dan Apol Pribadi Pancawati Dessy Aryanti,
4
Sholeh Hadi Pramono, dan Onny Setyawati
5
Optimasi Perencanaan Jaringan UMTS pada Node B Menggunakan Probabilistik Monte Carlo
Variabel dan indikator penelitian Metode
Jaringan
Genetic Algorithms
UMTS
Monte Carlo
UMTS
Goal Programming
GSM
Algoritma Genetika
UMTS900
Optimasi Perencenaan Jumlah Base Transceiver Station (BTS) dan Kapasitas Trafik BTS Menggunakan Pendekatan Goal Programming pada Sistem Telekomunikasi Seluler Berbasis GSM Optimasi Penempatan Node B UMTS900 pada BTS Existing Menggunakan Algoritma Genetika
Satvir Singh dan Kulvinder
Base Station Localization using Artificial Bee
Artificial Bee
Kaur
Algorithm colony
Algorithm colony
10
Tabel 2.2 State Of The Art Review (2) 6
7
8
A. O. Onim, P. K. Kihato,
Optimization of Base Station Location in 3G Networks
Mads and Fuzzy C-
dan S. Musyoki
using Mads and Fuzzy C-means
means
Muthmainnah dan Achmad Mauludiyanto
I Gede Putu Bagus Primadasa
Optimasi Penempatan Lokasi Potensial Menara Baru Bersama pada Sistem Telekomunikasi Seluler dengan Menggunakan Fuzzy Clustering di Daerah Sidoarjo Coverage jaringan LTE (Long Term Evolution) pada frekuensi 1900 MHz di wilayah kota Denpasar dengan memperhitungkan Offered Bit Quantity (OBQ)
Fuzzy C-means dan Harmony Search
Offered Bit Quantity (OBQ)
UMTS
UMTS
LTE
Perencanaan Penempatan E-Node B 4G LTE 1800 9
Penelitian ini
MHz pada BTS Existing di Kota Denpasar
Fuzzy C-means dan
Menggunakan Metode Fuzzy C-Means dan Harmony
Harmony Search
LTE
Serach
11
2.2
Long Term Evolution (LTE) Long Term Evolution (LTE) merupakan generasi teknologi komunikasi
selular ke empat, yaitu sebuah standar teknologi komunikasi data nirkabel yang merupakan lanjutan dari teknologi standar GSM (Global System for Mobile Communication)/UMTS (Universal Mobile Telephone Standard). Yang mana pada teknologi LTE terjadi peningkatan kapasitas dengan penggunaan teknologi modulasinya. LTE merupakan standar teknologi komunikasi yang dikembangkan oleh 3GPP (3rd Generation Partnership Project) yang berfungsi mengatasi peningkatan permintaan akan kebutuhan layanan komunikasi dengan kecepatan data yang tinggi dan spektrum yang lebih luas. LTE merupakan teknologi seluler yang mampu mendukung aplikasi data, voice dan video. Kecepatan data transfer pada downlink sebesar 100 Mbps dan uplink 50 Mbps, coverage yang diberikan pada sistem LTE lebih besar dengan kapasitas yang lebih besar sehingga bisa mengurangi biaya operasional dan penggunaan multiple antena. Komunikasi seluler LTE merupakan komunikasi dua arah yaitu dengan menggunkan teknik multiple acces, dimana multiple access merupakan suatu titik yang dapat dapat diakses oleh beberapa titik yang lain yang saling berjauhan dan tidak saling mengganggu satu sama lain. Multiple access pada LTE berbeda antara downlink dan uplink, downlink menggunakan teknik Orthogonal Frequency Division Multiple Access (OFDMA) sedangkan untuk sisi uplink menggunakan teknik Single Carier Frequency Division Multiple Access (SC-FDMA) dan LTE bisa diterapkan pada frekuensi 700 MHz, 800 MHz, 1800 MHz, 2100 MHz, 2600 MHz. (Usman,U.K, dkk, 2011)
12
2.2.1
Teknologi Akses LTE LTE memiliki beberapa teknologi akses dalam downlink dan uplink yang
berbeda, pada arah downlink adalah arah dari eNode B ke UE dengan menggunakan OFDMA (Orthogonal Frequency Division Multiple Access). Arah uplink merupakan arah dari UE ke eNode B dengan menggunakan SC-FDMA (Single Carrier Frequency Division Multiple Access) dan juga menggunakan MIMO sebagai sistem multiple antena. (Usman,U.K, dkk, 2011) 1. OFDMA (Orthogonal Frequency Division Multiple Access) OFDMA
merupakan
penggabungan
antara
teknik OFDM
multiple
access,
(Orthogonal
yang
Frequency
merupakan Division
Multiplexing) dan CDMA (Code Division Multiplexing). Jika pada OFDM alokasi subcarrier di manfaatkan oleh satu user, namun pada OFDMA, subcarrier yang ada di bagi-bagi kepada sejumlah user. Hal ini menyebabkan kanal dapat digunakan oleh sejumlah user pada waktu yang sama. Pada kanal downlink OFDMA, setiap user akan menerima satu sinyal yang sama dari Base Station. Akan tetapi, sinyal yang sampai pada satu user akan mengalami perubahan akibat fading selama berpropagasi. Dan karakteristik fading ini akan berbeda antara satu user dengan user yang lainnya, karena pada komunikasi mobile umumnya user berada pada lokasi yang berbeda. Kelebihan dari teknik OFDMA ini adalah dapat menghilangkan ISI (Inter Symbol Interference) dengan penggunaan guard time yang lebih panjang dari nilai delay spread dan dapat mengurangi ICI (Inter Carrier Interference) dengan penambahan cyclic prefix pada tiap
13
symbol OFDM, mampu memberikan data rate yang tinggi sehingga mendukung aplikasi multimedia.
Gambar 2.1 Orthogonal Frequency Division Multiple Access (Usman,U.K, dkk, 2011)
Pada gambar diatas terdapat terdapat tiga jenis subcarrier pada OFDM, yaitu: 1) Data Subcarrier yang digunakan untuk transmisi data 2) Pilot Subcarrier untuk estimasi dan sinkronisasi 3) Null Subcarrier yang digunakan untuk guard band 2. SC-FDMA (Single Carrier Frequency Division Multiple Access) Sistem SC-FDMA (Single Carrier Frequency Division Multiple Access) merupakan teknik multiple access single carrier yang dianggap sebagai sistem OFDMA yang ditambahkan dengan operasi DFT, dimana simbol data dalam domain waktu ditransformasikan ke domain frekuensi dengan menggunakan operasi DFT (Discrete Fourier Transform). SC-FDMA dipilih karena memiliki nilai PAPR (Peak Average Power Ratio) yang kecil sehingga dapat meningkatkan cakupan dan kinerja cell-edge. Setiap user ditempatkan pada subcarrier yang berbeda dalam domain frekuensi dan
14
transmitter SC-FDMA mengkonversi input sinyal biner menjadi serangkaian modulasi subcarrier. 3. MIMO (Multiple Input Multiple Output) MIMO merupakan sistem multiple antena yang digunakan pada teknologi LTE untuk mendukung kecepatan dalam pengiriman data dan peningkatan kualitas. Penggunaan beberapa tipe sistem MIMO yang didukung oleh teknologi LTE ada tiga, yaitu: (Usman,U.K, dkk, 2011) -
MIMO 2x2 : merupakan sistem multiple antena yang mendukung dua antena transmitter dan dua antena receiver
-
MIMO 2x4 : merupakan sistem multiple antena yang mendukung adanya dua antena transmitter dan empat antena receiver
-
MIMO 4x4 : merupakan sistem multiple antena yang mendukung adanya empat antena transmitter dan empat antena receiver
Teknologi MIMO merupakan sistem yang dapat mengirimkan informasi yang sama dari dua pemancar atau lebih kepada user, dibandingkan dengan sistem tunggal, penggunaan MIMO dapat mengurangi informasi yang hilang pada saat proses pengiriman berlangsung. Selain itu pada MIMO juga terdapat teknologi yang mampu mengurangi gangguan interferensi dengan mengarahkan radio link pada penggunaan spesifik. MIMO juga bisa meningkatkan throughput karena adanya Spatial Division Multiplexing (SDM) yang berfungsi men-spasial multiplex stream data dan kemudian mentransfer secara bersamaan dalam satu saluran bandwidth.
15
Gambar 2.2 MIMO (Anonim, 2010)
2.2.2
Arsitektur LTE (Long term Evolution) Arsitektur LTE dikenal dengan EPS (Evolved Packet System), dalam
arsitektur LTE dibagi menjadi 2 yaitu radio access dan core network. Yang mana radio access pada LTE disebut E-UTRAN (Evolved UMTS Terresterial Access Network) yang berfungsi dalam modulasi dan handover. Sedangkan pada core network LTE yang disebut EPC (Evolved Packet Core) yang berfungsi dalam charging dan mobility management. (Usman,U.K, dkk, 2011) 1.
UE (User Equipment) Merupakan perangkat yang digunakan pada saat berkomunikasi yang mana perangkat ini dapat berupa smart phone. UE terdiri dari USIM (Universal Subscriber Identity Module) yang berfungsi sebagai tempat aplikasi card dan digunakan sebagai identifikasi dan authentikasi user, juga sebagai pelindung interface transmisi radio.
16
2.
eNode B (Evolved Node B) eNode B adalah base station yang berfungsi pengontrol semua fungsi yang berhubungan dengan radio, yaitu sebagai jembatan antara UE dan EPC (Evolved Packet Core). eNode B juga berfungsi untuk mengontrol pemakaian interface radio, mengontrol dan menganalisis sinyal level yang terdapat pada UE (User Equipment), mengontrol proses pada saat UE mengalami handover antar sel.
3.
MME (Mobility Managemen Entity) Mobility Management Entity (MME) adalah elemen kontrol pada EPC (Evolved Packet Core), fungsi-fungsi MME (Mobility Management Entity) pada arsitektur jaringan LTE adalah : -
Authentication dan Security berfungsi untuk meng-authentikasi UE (User Equipment) pada saat UE pertama kali melakukan registrasi ke jaringan. Peng-authentikasian diperlukan untuk menjamin adanya permintaan UE, ini dilakukan untuk melindungi rahasia UE dan menghindari komunikasi dari penyadapan orang yang tidak memiliki wewenang.
-
Mobility Managemen berfungsi untuk menjaga jalur lokasi untuk semua UE (User Equipment) yang berada pada service area dengan menjaga jalur lokasi UE sampai eNode B, mengontrol jalur berdasarkan aktivitas UE, mengontrol proses handover yang terjadi antara UE dan eNode B.
17
-
Managing Subcription Profile dan Service Connectivity berfungsi untuk mendapatkan kembali profil pelanggan pada saat UE melakukan registrasi ke jaringan dan mengirimkan paket data network kepada UE (User Equipment).
4.
S-GW (Serving Gateway) S-GW (Serving Gateway) berfungsi sebagai pusat operasional dan maintenance pada MME dan eNode B dimana S-GW akan membangun hubungan antara eNode B yang satu dengan eNode B yang lain dan bertugas untuk melanjutkan dan menerima paket dari eNode B satu ke eNode B lain yang melayani UE (User Equipment).
5.
P-GW (Packet Data Network Gateway) P-GW (Packet Data Network Gateway) atau dikenal dengan PDN-GW berfungsi untuk mengalokasikan IP addres ke UE dan sebagai fungsi filtering.
6.
PCRF (Policy and Charging Rules Function) PCRF (Policy and Charging Rules Function) berfungsi untuk mengontrol charging dan juga mengangani QOS (Quality of Service)
7.
HSS (Home Subscription Server) Home Subscription Server (HSS) berfungsi sebagai tempat menyimpan semua data permanen user, data yang disimpan berisi tentang infomasi layanan untuk user dan identitas dari user tersebut. Dimana authentication user disimpan pada AuC (Authentication Center).
18
Gambar 2.3 Arsitektur LTE (Usman,U.K, dkk, 2011)
2.3
Konsep Seluler Selular merupakan system komunikasi yang memberikan layanan
komunikasi data, voice, dan video yang dapat dilakukan dalam keadaan bergerak. Yang mana pada konsep seluler ini pengguna dapat melakukan hubungan komunikasi dengan pengguna lain tanpa bergantung adanya media fisik. Cell merupakan bagian kecil dari cakupan suatu wilayah, Pembagian sel-sel dalam sistem seluler dimodelkan dalam bentuk hexagonal dimana tiap sel nya memiliki satu frekuensi, yang mana frekuensi antar sel tidak boleh berdekatan agar tidak terjadi overlapping. (IT Telkom, 2008)
19
Gambar 2.4 Konsep Sel (IT Telkom, 2008)
Terdapat empat jenis sel berdasarkan jari-jari sel, yaitu : 1. Makrosel, yaitu jenis sel yang digunkaan untuk daerah urban. Dimana pada daerah ini
merupakan daerah yang padat akan penduduk dan banyak
terdapat gedung-gedung tinggi. 2. Mikrosel digunakan untuk ketinggian antena yang tidak lebih dari 25 meter, yang merupakan sel dengan wilayah coverage lebih kecil dibandingkan makrosel. Mikrosel merupakan salah satu solusi yang bisa digunakan apabila makrosel sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan pelanggan yang padat. Suatu daerah dengan user yang padat tidak cukup hanya dilayani dengan makrosel dikarenakan pelayanan yang didapat tidak merata. Maka diperlukan adanya pembagian daerah coverage yang lebih kecil untuk mencover daerah yang tidak dijangkau oleh makrosel dan berfungsi sebagai penambah jaringan kapasitas pada daerah yang penggunaan selulernya padat. Penempatan mikrosel ini tidak memerlukan wilayah yang cukup luas seperti hal nya penempatan makrosel dan diletakkan pada gedung-gedung atau diatas bangunan. 3. Pico Sel merupakan penempatan sel yang terdapat di dalam gedung atau ruangan yang berfungsi sebagai penopang trafik yang terjadi di dalam
20
ruangan dan juga berfungsi untuk mengatasi adanya interferensi yang terjadi di dalam gedung akibat pemantulan dinding gendung. 4. Femto Sel merupakan Base Transceiver Station mini yang dipasang pada wilayah bersinyal rendah yang mana penempatan femto cell ini dipasang di dalam ruangan dengan ukuran yang kecil sehingga tetap bisa memberikan pelayanan seluler terhadap pelanggan yang berada di dalam ruangan. Fungsi femto cell dapat meningkatkan konektivitas, availabilitas, mobilitas dan juga performansi layanan. Selain itu adanya femto sel ini bertujuan untuk meningkatkan coverage dan kapasitas di dalam ruangan dikarenakan sinyal dari BTS outdoor ke indoor tidak maksimal. (Ridwan, A, 2012)
Gambar 2.5 Makrosel. Mikrosel, Pico Sel dan Femto Sel (Anonim, 2012)
21
2.3.1Sel Hexagonal Sel hexagonal dipilih dalam perencanaan dikarenakan dapat menutupi wilayah tanpa celah dan juga tidak terjadi tumpang tindih antara sel satu dengan sel yang lainnya, yang mana bentuk sel hexagonal dapat dilihat pada dibawah.
Gambar 2.6 Sel Hexagonal (Sudiarta, P.K, t.t)
Untuk rumusan luas sel hexagonal, dilakukan dengan persamaan : L
=6𝑥
1 2
1
𝑅 √3 x 2 𝑅
3
= 2 R2 √3
2,6 R 2 km2
(2.1)
Dimana : L = luasan sel hexagonal (km2) R = jari-jari sel (km)
2.4
Perencanaan Kapasitas (Capacity Planning) Dalam melakukan perancangan kapasitas jaringan ini tentunya kita harus
mempertimbangkan kebutuhan pelanggan di masa mendatang, maka untuk mengantisipasi jumlah pelanggan selama periode tersebut diperlukan estimasi pertumbuhan jumlah pelanggan.
22
2.4.1
Peramalan Kebutuhan Prediksi pertambahan jumlah pelanggan hingga beberapa tahun kedepan
merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan jaringan karena menentukan kebijaksanaan dan strategi dalam pengembangan sistem untuk mengantisipasi pertumbuhan pelanggan agar kelak semua target pelanggan dapat terlayani (Wibisono, dkk, 2008). Ada beberapa metode untuk melakukan prediksi pelanggan, diantaranya :
Metode Deret Berkala (Time Series)
Metode Eksponensial Smoothing
Metode Regresi
Metode Iteratif
a. Metode Deret Berkala (Time Series) Metode ini merupakan metode dengan melakukan pendekatan secara makro. Tujuan dari metode ini adalah menemukan pola dalam deret data yang lalu dan mengekstrapolasikan data tersebut ke masa depan. Langkah penting dalam memilih suatu metode pada Time Series adalah harus mempertimbangkan jenis pola yang akan diramalkan. Ada beberapa macam jenis pola, salah satunya adalah Pola Trend yang paling cocok untuk peramalan jumlah kebutuhan telepon. Untuk prediksi pelanggan dengan Deret Berkala Pola Trend akan dibatasi metode yang digunakan sampai tiga macam saja, yaitu metode Trend Linier, Trend Kuadratik, dan Trend Eksponensial.
23
b. Prediksi pelanggan dengan Metode Trend Linier Bentuk umum persamaan linier : Y’ = a + b.X Dimana:
(2.2)
Y’
= variabel tak bebas hasil ramalan (kepadatan pelanggan)
X
= variabel bebas berupa periode waktu
a & b = konstanta (dihitung dari data sample deret berkala) Bila jumlah pengamatan sebanyak n, maka dari persamaan di atas diperoleh : ∑Y
= n.a + b. ∑ X
∑ XY = a ∑ X + b ∑ X2
(2.3)
Keterangan : X = unit periode waktu pengamatan (mulai 0,1,2,3 dan seterusnya) Y = data kepadatan pelanggan sebenarnya (per 100 penduduk) Dengan cara eliminasi kedua persamaan tersebut di atas, maka diperoleh konstanta a & b sehingga Y’ (variabel tak bebas hasil ramalan berupa kepadatan pelanggan) dapat diperoleh.
c. Prediksi pelanggan dengan Metode Trend Kuadratik (Parabola) Metode Trend Kuadratik biasanya sebagai persamaan parabola. Bentuk umum persamaan ini adalah : Y’ = a + b.X + c.X2 Dimana :
(2.4)
Y’
= variabel tak bebas hasil ramalan (kepadatan pelanggan)
X
= variabel bebas berupa periode waktu
a, b, dan c = konstanta (dihitung dari data sample deret berkala) Cara menghitung konstanta a, b, dan c memakai persamaan normal :
24
∑Y
= an + b∑X + c∑X2
∑XY = a∑X + b∑X2 + c∑X3 ∑X2Y = a∑X2 + b∑X3 + c∑X4
(2.5)
Keterangan : 1. X = unit periode waktu pengamatan Untuk n = ganjil (misal n = 3) maka : X1 = -1 ; X2 = 0 ; X3 = 1 Untuk n = genap (misal n = 2) maka : X1 = -1 ; X2 = 1 2. Y = data kepadatan pelanggan sebenarnya (per 100 penduduk) Dengan cara mengeliminasi ketiga persamaan tersebut diatas, maka diperoleh konstanta a, b, dan c sehingga Y’ (variabel tak bebas hasil ramalan berupa kepadatan pelanggan) dapat diperoleh.
d. Prediksi pelanggan dengan Metode Trend Eksponensial Bentuk persamaan metode Trend Eksponensial : Y’ = a.bX
(2.6)
Y’
= variabel tak bebas hasil ramalan (kepadatan pelanggan)
X
= variabel bebas berupa periode waktu
Dimana :
a, b, dan c = konstanta (dihitung dari data sample deret berkala) Bentuk persamaan metode Trend Eksponensial tersebut dapat diubah menjadi bentuk persamaan linier sebagai berikut : Y’ = a.bX........ Log Y’ = log a.bX Log Y’ = log a + log bX Log Y’ = log a + X (log b)
(2.7)
25
Bila log Y’ = Yo ; log a = ao dan log b = bo, maka persamaan Trend Eksponensial tersebut menjadi : Yo’ = ao + bo.X
(2.8)
Sehingga : Y ' 10 ( a0 b0 X )
(2.9)
Konstanta-konstanta ao dan bo dapat dicari dengan cara eliminasi kedua persamaan di bawah ini : ∑ Y0 = a0.n + b0 ∑X ∑XY0 = a0 ∑X + b0 ∑X2 Y0
= log Y
(2.10)
Keterangan : 1. X = unit periode waktu pengamatan Untuk n = ganjil (misal n = 3) maka : X1 = -1 ; X2 = 0 ; X3 = 1 Untuk n = genap (misal n = 2) maka : X1 = -1 ; X2 = 1 2. Y = data kepadatan pelanggan sebenarnya (per 100 penduduk)
e. Langkah-langkah dalam prediksi pelanggan Tahapan dalam prediksi pertambahan jumlah pelanggan adalah sebagai berikut :
Dari data jumlah penduduk dari tahun ke tahun serta jumlah pelanggan yang ada dari tahun ke tahun dapat ditentukan kepadatan pelanggan sebenarnya (per 100 penduduk) untuk daerah yang direncanakan. Persamaan yang digunakan : Kepadatan pelanggan tahun ke-n =
pelanggan tahun ke - n penduduk tahun ke - n
x 100
(2.11)
26
Kepadatan pelanggan yang diperoleh dari persamaan diatas digunakan sebagai variabel Y yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan untuk metode Trend Linier, Kuadratik maupun Eksponensial untuk mencari variabel Y’ (variabel tak bebas hasil ramalan).
Ketiga metode tersebut dicoba satu per satu untuk dibuktikan metode mana yang paling sesuai untuk dipakai dalam prediksi pelanggan., dimana dipilih yang mempunyai selisih jumlah sekecil mungkin antara kepadatan pelanggan sebenarnya dengan kepadatan hasil perhitungan.
Setelah metode ditetapkan, maka dapat digunakan persamaannya dalam menentukan kepadatan pelanggan untuk prediksi hingga tahun ke-n sesuai kebutuhan perencanaan yang akan diterapkan sampai berapa tahun.
Prediksi pertambahan jumlah penduduk hingga tahun ke-n dihitung secara terpisah. Persamaannya adalah sebagai berikut : Pn = Po ( 1 + h )n
(2.12)
Keterangan : Pn = prediksi jumlah penduduk hingga tahun ke-n Po = jumlah penduduk tahun ke-0 (tahun yang dijadikan sebagai acuan) h = laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun
Sehingga prediksi pertambahan jumlah pelanggan hingga tahun ke-n dapat diperoleh. Persamaannya adalah sebagai berikut : Prediksi pelanggan tahun ke-n =
kepadatan pelanggan tahun ke - n x Pn (2.13) 100
Jumlah pelanggan hasil prediksi yang diperoleh akan dibagi luas wilayah dari daerah layanan untuk memperoleh jumlah pelanggan per kilometer persegi. 27
2.4.2
Perhitungan Pertumbuhan Penduduk Dengan rumus pertumbuhan geometrik, angka pertumbuhan penduduk
sama untuk setiap tahunnya, untuk memprediksi jumlah penduduk di masa mendatang dapat digunakan rumus :
𝑃𝑡 = 𝑃0 (1 + 𝑟)𝑡
(2.14)
Dimana: 𝑃𝑡 = Jumlah penduduk total setelah tahun ke-t 𝑃0 = Jumlah penduduk saat perencanaan 𝑟 = Laju pertumbuhan penduduk (%) 𝑡 = Jumlah tahun prediksi
2.4.3
Perhitungan Jumlah Pengguna Seluler Dengan asumsi
teledensitas sebesar x%, maka perhitungan jumlah
pengguna seluler dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: 𝑃 = 𝑥% ∗ 𝑃𝑡 (2.15)
Dimana: 𝑃 = Jumlah Pengguna Seluler 𝑥% = Teledensitas Pengguna Seluler 𝑃𝑡 = Jumlah Penduduk setelah tahun ke-t
28
2.4.5
Teori Trafik Trafik
didefinisikan sebagai jumlah dari data atau banyaknya pesan
(messages) pada suatu sirkuit selama suatu periode waktu tertentu. Pengertian trafik disini termasuk hubungan antara kedatangan panggilan (call) ke perangkat telekomunikasi dengan kecepatan perangkat tersebut memproses panggilan sampai panggilan tersebut berakhir. Besaran dari trafik telekomunikasi diukur dengan satuan waktu, sedangkan nilai trafik dari suatu kanal adalah banyaknya (lamanya) waktu pendudukan pada kanal tersebut. Sedangkan kapasitas trafik adalah kemampuan yang diberikan oleh suatu teknologi atau suatu BTS untuk menampung trafik komunikasi yang terjadi. Definisi dari kepadatan trafik yaitu tingkat kesibukan suatu komunikasi yang terjadi dengan nilai yang bervariasi, tergantung lingkungannya. Satuan untuk variable trafik adalah Erlang. 1 Erlang didefinisikan sebagai jumlah trafik yang berlangsung ketika 1 pelanggan menduduki 1 kanal percakapan selama 1 kurun waktu rujukan (detik, menit, atau jam). 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑻𝒓𝒂𝒇𝒊𝒌 (𝑨) =
𝑽 𝑻
(2.16)
dimana : A
= besarnya intensitas trafik (Erlang)
V
= volume trafik (menit)
T
= periode pengamatan (menit)
Jika diasumsikan setiap pelanggan membangkitkan trafik sebesar β Erlang maka trafik total yang dibangkitkan oleh semua pelanggan adalah sebesar : T = P x A x 10−3
(2.17)
29
dimana : T
= total trafik yang dibangkitkan semua pelanggan seluler (E)
P
= jumlah pelanggan seluler
A
= intensitas trafik yang dibangkitkan setiap pelanggan seluler (E)
2.4.5
Perhitungan Kapasitas Trafik Layanan GSM Untuk mengetahui kapasitas suatu BTS dalam melayani pelanggan, maka
hal yang harus diperhatikan adalah mengetahui berapa jumlah TRx (Transmitter dan Receiver) yang digunakan dalam tiap sektornya. Perhitungan yang digunakan adalah perhitungan secara teoritis karena kondisi di lapangan akan sangat tergantung dengan kondisi jaringan dan perilaku pelanggan. Dengan asumsi tiap BTS menggunakan antena sektoral, maka dalam satu menara memiliki 3 sektor dalam setiap BTS yang akan dikalkulasi kapasitasnya. Setiap TRx yang digunakan akan mampu meng-handle 8 timeslot, masing-masing timeslot/kanal ini akan diduduki oleh satu panggilan/pembicaraan pelanggan. Jika operator menggunakan konfigurasi 4x4x4, maka tiap sektor di isi dengan 4 TRx sehingga perhitungan bisa dilakukan sebagai berikut: 1 sektor terdiri atas 4 TRx 1 TRx terdiri atas 8 timeslot Sehingga 4 TRx menghasilkan 8 x 4 = 32 timeslot Sebagai catatan penting, setiap sektor membutuhkan 1 kanal BCCH (Broadcast Control Channel) dan 1 kanal SDCCH (Standalone Dedicated Control Channel) yang berguna dalam broadcast sinyal dan juga mengatur panggilan setiap
30
pelanggan. Jadi, 1 sektor yang terdiri atas 4 TRx mampu melayani 32 – 2 = 30 panggilan secara teoritis. Maksud dari istilah kapasitas secara teoritis di sini karena masih ada faktor interference, blocking, congestion, dan sebagainya. Berikut ini rumus yang digunakan untuk menghitung kebutuhan BTS dalam suatu wilayah adalah sebagai berikut: 𝑩=𝑨
𝑻
𝑩𝑻𝑺
(𝒃𝒖𝒍𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒂𝒕𝒂𝒔)
(2.18)
dimana : B
= Jumlah kebutuhan BTS
T
= Total trafik yang dibangkitkan semua pelanggan seluler (E)
ABTS
= Kapasitas satu BTS (E)
2.5
Perhitungan Jari-jari Sel Jari-jari sel diperhitungkan untuk mengetahui coverage suatu BTS dan juga
untuk mendapatkan nilai jumlah eNode B yang diperlukan untuk mencakup seluruh area Kota Denpasar, adapun persamaannya adalah (Irawan, dkk, 2009) : r
2.6
L 2,6
(2.19)
MAPL (Maximum Allowable Path Loss) Maximum Allowable Path Loss merupakan nilai maksimum dari nilai
propagasi antara perhitungan nilai dari perangkat eNode B dan mobile station, yang mana nilai perhitungan MAPL ini dibagi menjadi dua untuk arah MAPL uplink dan downlink. Yang mana nilai uplink digunakan untuk menentukan nilai maksimum
31
redaman propagasi dari mobile station ke eNode B, dan nilai downlink merupakan nilai maksimum redaman propagasi dari eNode B ke mobile station agar tetap dapat melayani keperluan dari komunikasi untuk seluruh user dalam suatu cakupan daerah. Nilai MAPL untuk arah uplink dan downlink sistem LTE dapat dilihat pada tabel 2.3 dan tabel 2.4 dibawah ini (Usman,U.K, dkk, 2011).
Tabel 2.3 Perhitungan MAPL Arah Downlink (3GPP, t.t) Parameter Nilai Transmitter – eNode B a.
Tx Power
dBm
b.
Tx Antenna Gain
dBi
c.
Transmit Array gain
dB
d.
Data Channel Power Loss Due to Pilot
dB
e.
Cable Loss
dB
f.
EIRP
(a)+(b)+(c)-(d)-(e) dBm
Receiver – UE g.
Antenna Gain
dBi
h.
Body Loss
dB
i.
Receiver Noise Figure
dB
j.
Thermal Noise Density
dBm/Hz
k.
Receiver Interference Density for Data
dB/Hz
Channel l.
Total Noise Plus Interference Density for 10log (10^(((i)+(j)/10) + Data Channel
m.
Occupied Channel Bandwidth for Data
10^((k)/10)) dBm/Hz Hz
Channel n.
Effective Noise Power for Data Channel
(l) + 10 log(m) dBm
o.
Required SNR for the Data Channel
dB
p.
Receiver Implementation Margin
dB
32
q.
H-ARQ Gain for Data Channel
r.
Receiver Sensitivity for Data Channel
(n) + (o) + (p) – (q) dBm
s.
Hardware link budget for Data Channel
(f) + (g) – (r) dB
t.
Log Normal Shadow Fading Deviation
dB
u.
Shadow Fading Margin for Data Channel
dB
v.
Diversity Gain
dB
w.
Penetration Margin
dB
x.
Other Gain
dB MAPL
dB
(s) – (u) + (v) – (w) + (x) – (h) dB
Tabel 2.5 Perhitungan MAPL Arah Uplink (3GPP, t.t) Parameter Nilai Transmitter – UE a.
Tx Power
dBm
b.
Tx Antenna Gain
dBi
c.
Transmit Array gain
dB
d.
Data Channel Power Loss Due to Pilot
dB
e.
Cable Loss
dB
f.
EIRP
(a)+(b)+(c)-(d)-(e) dBm
Receiver – eNode B g.
Antenna Gain
dBi
h.
Body Loss
dB
i.
Receiver Noise Figure
dB
j.
Thermal Noise Density
dBm/Hz
k.
l.
Receiver Interference Density for Data Channel
dB/Hz
Total Noise Plus Interference Density for 10log (10^(((i)+(j)/10) + Data Channel
10^((k)/10)) dBm/Hz
33
m.
Occupied Channel Bandwidth for Data
Hz
Channel
n.
Effective Noise Power for Data Channel
(l) + 10 log(m) dBm
o.
Required SNR for the Data Channel
dB
p.
Receiver Implementation Margin
dB
q.
H-ARQ Gain for Data Channel
dB
r.
Receiver Sensitivity for Data Channel
(n) + (o) + (p) – (q) dBm
s.
Hardware link budget for Data Channel
(f) + (g) – (r) dB
t.
Log Normal Shadow Fading Deviation
dB
u.
Shadow Fading Margin for Data Channel
dB
v.
Diversity Gain
dB
w.
Penetration Margin
dB
x.
Other Gain
dB (s) – (u) + (v) – (w) + (x)
MAPL
– (h) dB
Dari tabel diatas bisa dilihat parameter untuk perhitungan MAPL, berikut penjelasan dari masing-masing parameter diatas, yang bisa dilihat pada tabel 2.6 Tabel 2.6 Deskripsi Parameter Arah Downwlink dan Uplink Parameter Deskripsi a.
Tx Power
daya
pancar
maximum
yang
ditransmisikan oleh base station atau mobile station b.
Tx Antenna Gain
nilai penguat yang dimiliki oleh masingmasing antena, dimana nilai tersebut tergantung pada tipe perangkat dan frekuensinya
c.
Transmit Array Gain
Penguatan karena penggunaan multipleantena (array) di pemancar
34
d.
Data Channel Power Loss Due Loss daya karena adanya sinyal pilot to Pilot
e.
Cable Loss
redaman yang terjadi antara base station dan antena konektor, yang mana nilai redaman
akan
tergantung
terhadap
spesifikasi perangkat (jenis kabel) f.
EIRP
(Effective
Isotropic nilai daya pancar dari antena
Radiated Power) g.
Receiver Antenna Gain
besar penguat antena yang diterima
h.
Body Loss
rugi-rugi
yang
disebabkan
karena
interaksi dengan user i.
Receiver Noise Figure
nilai gangguan, dimana nilai tersebut akan tergantung terhadap implementasi desain
(rangkaian
elektronik
pada
receiver base station) j.
Thermal Noise Density
besar noise alami, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus : N = 10 log kTB
k.
Receiver Interference Density Densitas interferensi penerima untuk for Data Channel
l.
Total Noise Plus Interference Total densitas noise ditambah interferensi Density for Data Channel
m.
untuk kanal data
Occupied Channel Bandwidth Bandwidth kanal yang digunakan untuk for Data Channel
n.
kanal data
data
Effective Noise Power for Data Daya noise efektif untuk kanal data Channel
o.
Required SNR for the Data Signal Noise Ratio, yang nilai tersebut Channel
akan bergantung terhadap modulasi dan data rate yang digunakan.
35
p.
Receiver
Implementation margin yang sampai pada penerima pada
Margin
q.
saat implementasi
H-ARQ Gain for the Data Hybrid Automatic Request merupakan Channel
gabungan dari Automatic Requst (AR) dengan Error Corection (EC) yang berfungsi untuk melakukan pengiriman kembali pada saat ada kerusakan paket saat pengiriman
r.
Receiver Sensitivity for Data nilai sensitivitas minimum yang dapat Channel
s.
Hardware Link Budget for perangkat Data channel
t.
yang
digunakan
dalam
perhitungan link budget
Log Normal Shadow Fading nilai standar deviasi untuk log normal Deviation
u.
diterima
shadow margin
Shadow Fading Margin for rugi-rugi yang diakibatkan dari fading Data channel
v.
Diversity Gain
gain
yang dapat
menggunakan
dihasilkan karena
sistem
antena
space
diversity w.
Penetration Margin
rugi-rugi dari margin
x.
Other Gain
nilai penguat yang diakibatkan dari perangkat lain
2.7
EIRP (Effective Isotropic Radiated Power) EIRP adalah Power efektif yang dipancarkan pada sisi antena. EIRP dapat
dihitung menggunakan persamaan berikut (Wardhana,2011):
36
a.
Perhitungan EIRP EIRP = Ptx + Gtx – Loss system
(2.20)
Dimana : EIRP : Effective Isotropic Radiated Power (dBm).
b.
Ptx
: Daya transmitter (dBm).
Gtx
: Gain pada antena Transmitter (dB).
Loss
: Loss pada konektor Transmitter (dB).
Perhitungan Parameter Sensitivity Receiver (SR)
SR SNR N f NT
(2.21)
Dimana :
c.
SNR
: Signal to Noise Ratio (dB).
Nf
: Noise Figure receiver (dB).
NT
: Thermal Noise (dB).
Perhitungan MAPL MAPL = EIRP - SR + GRx - LossRx - Fade Margin
(2.22)
Dimana : EIRP
: Effective Isotropic Radiated Power (dBm).
SR
: Sensitivity Receiver (dBm).
GRx
: Gain antena pada receiver (dB).
LossRx
: Loss pada receiver (dB).
Fade Margin : Batas fading sinyal yang diterima (dB).
37
2.8
Model Propagasi Walfisch-Ikegami Model Walfisch-Ikegami adalah model propagasi empiris untuk area urban
yang dapat digunakan baik untuk makrosel maupun mikrosel. Parameter-parameter yang berhubungan dengan model walfisch-ikegami dapat diilustrasikan pada gambar 1. Model walfisch-Ikegami dapat dibagi menjadi 2 kasus, yaitu LOS (Line Of Sight) dan NLOS (Non Line Of Sight). Formula redaman lintasan untuk kondisi LOS dapat dirumuskan pada persamaan berikut: LLOS [dB] = 42.6 + 26 log10 d + 20 log10 f
(2.23)
Dengan d adalah jarak (km) dan f adalah frekuensi (MHz). Formula redaman lintasan untuk kondisi NLOS dapat dirumuskan pada persamaan berikut: L = Lfsl + Lrts + Lmsd
(2.24)
Model Walfisch-Ikegami valid untuk kondisi: f = Frekuensi 800 - 2000 MHz Hbts = Tinggi antenna BTS 4 – 50 m Hms = Tinggi antenna MS 1 – 3 m d = Jarak antara MS dan BTS 20 – 5000 m
38
Gambar 2.7 Model Welfisch Ikegami (Mufti, )
w = lebar jalan (m), hm= tinggi ms (m), ϕ= sudut orientasi jalan (derajat), hb= tinggi BTS (m), hroof = tinggi rata-rata bangunan (m), d= jarak MS-BTS (km), b= jarak antar bangunan (m), f= frekuensi (MHz), Redaman lintasan dalam kondisi NLOS, Free space loss dinyatakan pada persamaan berikut : Lfsl = 32,45 + 20 log10 (d) + 20 log10 (f)
(2.25)
d = Jarak MS-BTS (km), f = Frekuensi (MHz) Lrts = −16.9 + 10 log10 (w)+20 log10(w) + 20 log10(hroof – hm) + Lori (2.26) Lori = −10 + 0.354ϕ : untuk 0⁰ ≤ ϕ < 35⁰
(2.27)
39
2.5 + 0.075(ϕ − 35) : untuk 35⁰ ≤ ϕ< 55⁰
(2.28)
4.0 − 0.114(ϕ − 55) : untuk 35⁰ ≤ ϕ< 90⁰
(2.29)
Lmsd = LBSH + ka + kd log10 d+ kf log10 fc− 9log10 b
(2.30)
kf =
𝑓𝑐
−4 + 0,7 (925 − 1) : Untuk kota sedang 𝑓𝑐
−4 + 1,5 (
925
− 1) :Untuk daerah metropolitan
(2.31) (2.32)
LBSH = 18xlog10 (1 (hr - hm)) : hb > hr
(2.33)
Ka = 54 : hb > hr
(2.34)
Kd = 18 : hb > hr
(2.35)
18 – 15(Δhb/Δhr) : hb ≤ hr
(2.36)
2.9
Fuzzy C-Means Konsep dari himpunan fuzzy sejalan dengan himpunan tegas, hanya saja
derajat atau tingkat keanggotaan dari himpunan fuzzy tersebut bersifat kontinu dimana nilainya dalam interval [0,1]. Dimisalkan didefinisikan suatu himpunan Z yang anggotanya dapat dilambangkan dengan u. Suatu himpunan fuzzy Adalam Z yang didefinisikan dengan {( , ( ) | }𝐴 𝑧 𝑢𝐴 𝑧 𝑧 𝑍 = ∈, ( ) 𝑢𝐴 𝑧 adalah fungsi 36 keanggotaan untuk himpunan fuzzy A. Dimana fungsi keanggotaan akan memetakan setiap elemen dari Z ke derajat keanggotaan antara 0 dan 1. Semakin nilai fungsi keanggotaan mendekati satu, akan semakin tinggi derajat atau tingkat keanggotaan z dalam A. Himpunan fuzzy dalam pengelompokan berperan dalam pembentukan fungsi dan tingkat keanggotaan dari setiap objek dalam kelompok. Clustering atau klasterisasi merupakan proses membagi data dalam suatu himpunan ke dalam beberapa kelompok yang kesamaan datanya dalam suatu 40
kelompok lebih besar daripada kesamaan data tersebut dengan data dalam kelompok lain (Kusrini, 2009). Klastering dapat diterapkan ke dalam data yang kuantitatif (numerik), kualitatif dan kategorikal atau kombinasi dari keduanya. Data dapat merupakan hasil pengamatan dari suatu proses. Setiap pengamatan dapat memiliki n variabel pengukuran dan dikelompokkan dalam n dimensi vektor : 𝑍𝑘 = [𝑍1𝑘 , … . , … . 𝑍𝑛𝑘 ]𝑇 , 𝑍𝑘 𝜀 𝑅 𝑛
(2.37)
Sebuah himpunan dari N pengamatan dinotasikan dengan : 𝑍 = 𝑍𝑘 | 𝑘 = 1,2, … . , … . , 𝑁
(2.38)
Dan direpresentasikan sebagai matrik n x N 𝑍11 𝑍12 𝑍1𝑛 𝑍 = (𝑍21 𝑍22 𝑍2𝑛 ⋮) 𝑍𝑛1 𝑍𝑛2 𝑍𝑛𝑁
(2.39)
Dalam pengenalan pola, kolom dalam matriks disebut patterns atau objek, baris disebut features atau attribute. Arti kolom dan baris dalam Z tergantung pada konteks pembahasan. Klaster secara umum merupakan wujud himpunan bagian dari suatu himpunan data dan metode klastering dapat diklasifikasikan berdasarkan himpunan bagian yang dihasilkan, apakah fuzzy atau crips hard (Kusrini, 2009). Dalam metode fuzzy clustering level keanggotaan data dalam suatu kelompok bukan hanya 0 atau 1, dapat tetapi memiliki nilai antara 0 dan 1. Nilai level keanggotaan dalam setiap kolom matriks selalu berjumlah 1. Fuzzy clustering adalah salah satu teknik
41
untuk menentukan cluster optimal dalam suatu ruang vektor yang didasarkan pada bentuk normal euclidean distance vektor. Fuzzy C-Means adalah suatu teknik pengklasteran data yang mana keberadaan tiap-tiap titik data dalam suatu klaster ditentukan oleh derajat keanggotaan. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Jim Bezdek pada tahun 1981. Konsep dasar Fuzzy C-Means pertama kali adalah menentukan pusat klaster yang akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap klaster. Pada kondisi awal, pusat klaster ini masih belum akurat. Setiap titik data memiliki derajat keanggotaan untuk setiap klaster. Dengan cara memperbaiki pusat klaster dan derajat keanggotaan setiap titik data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat klaster akan bergerak menuju lokasi yang tepat. Perulangan ini didasarkan pada minimalisasi fungsi objektif yang menggambarkan jarak dari titik data yang diberikan ke pusat klaster yang terbobot oleh derajat keanggotaan titik data tersebut. Output dari Fuzzy C-Means bukan merupakan fuzzy inference sistem, melainkan merupakan deretan pusat klaster dan beberapa derajat keanggotaan untuk tiap-tiap titik data. Informasi ini dapat digunakan untuk membangun suatu fuzzy inference sistem. Algoritma Fuzzy C-Means dapat diuraikan sebagai berikut. 1.
Input data yang akan diklaster, X, berupa matriks berukuran n x m (n = jumlah sampel data, m = attribut setiap data), dimana 𝑋𝑖𝑗 = data sampel ke-i (i = 1,2,....,n), attribut ke-j (j = 1,2,....,m)
2.
Tentukan : a. Jumlah cluster
=c
b. Pangkat
=w
42
3.
c. Maksimum iterasi
= MaxIter
d. Error terkecil yang diharapkan
=𝜉
e. Fungsi objectif awal
= P0 = 0
f. Iterasi awal
=t=1
Bangkitkan bilangan random 𝜇𝑖𝑘, i = 1,2,....,n; k = 1,2,....,c; sebagai elemenelemen matriks partisi awal U. Hitung jumlah setiap kolom :
𝑄𝑖 = ∑𝑐𝑘=1 𝜇𝑖𝑘
(2.40)
Dengan j = 1,2,....,n
Hitung :
𝜇𝑖𝑘 = 4.
Hitung pusat cluster ke-k, 𝑉𝑘𝑗 , dengan k = 1,2,....,c; dan j = 1,2,....,m.
𝑉𝑘𝑗 = 5.
𝜇𝑖𝑘 𝑄𝑖
𝑤 ∑𝑛 𝑖=1((𝜇𝑖𝑘 )∗𝑋𝑖𝑗
(2.41)
𝑤 ∑𝑛 𝑖=1 𝜇𝑖𝑘
Hitung fungsi obyektif pada iterasi ke-t, Pt 2
𝑤 𝑃𝑡 = ∑𝑛𝑖=1 ∑𝑐𝑘=1 (⌊∑𝑚 𝑗=1(𝑋𝑖𝑗 − 𝑉𝑘𝑗 ) ⌋ 𝜇𝑖𝑘 )
6.
(2.42)
Hitung perubahan matriks partisi −1 2 𝑤−1
𝜇𝑖𝑘 =
7.
⌊∑𝑚 𝑗=1(𝑋𝑖𝑗 −𝑉𝑘𝑗 ) ⌋
−1 2 𝑤−1 ∑𝑐𝑘=1⌊∑𝑚 (𝑋 −𝑉 ) ⌋ 𝑘𝑗 𝑗=1 𝑖𝑗
(2.43)
Cek kondisi berhenti : Jika (|𝑃𝑡 − 𝑃𝑡−1 | < 𝜉) atau (t > MaxIter) maka berhenti; 43
Jika tidak: t = t + 1, ulangi langkah ke-4
Gambar 2.8 Ilustrasi penentuan pusat klaster dengan Fuzzy C-Means
2.10
Optimalisasi
2.10.1 Definisi Optimalisasi Optimalisasi adalah tindakan untuk memperoleh hasil yang terbaik dengan keadaan yang diberikan. Dalam desain, konstruksi, dan pemeliharaan dari sistem teknik, harus diambil beberapa teknologi dan keputusan managerial dalam beberapa tahap. Tujuan akhir dari semua keputusan seperti itu adalah meminimalkan upaya yang diperlukan atau untuk memaksimalkan manfaat yang diinginkan. Mengacu pada pendapat Singiresu S Rao, John Wiley dan Sons optimalisasi juga dapat didefinisikan sebagai proses untuk mendapatkan keadaan yang memberikan nilai maksimum atau minimum dari suatu fungsi (Rao, S. S., 2009). Hal ini dapat dilihat dari gambar 2.1, bahwa jika titik x* berkaitan dengan nilai minimum fungsi f(x), titik yang sama juga berkaitan dengan nilai maksimum dari negatif fungsi tersebut –f(x).
Tanpa
menghilangkan
keumumannya,
optimasi
dapat
diartikan
44
meminimalkan, karena maksimum suatu fungsi dapat diperoleh melalui minimum dari negatif fungsi yang sama. 8
Gambar 2. 9 Minimum dari f(x) sama dengan Maksimum dari –f(x) (Rao, S. S., 2009)
2.10.2 Metode Optimalisasi Metode
mencari
optimum
dikenal
sebagai
teknik
mathematical
programming dan biasa dipelajari sebagai bagian riset operasi. Riset operasi adalah cabang matematika yang berkaitan dengan penerapan metode ilmiah dan teknik pengambilan keputusan dan penetapan penyelesaian terbaik atau optimal. Pada awal dari subyek riset operasi dapat ditelusuri pada periode awal Perang Dunia II, selama perang, militer inggris menghadapi masalah mengalokasikan sumber daya yang sangat langka dan terbatas (seperti pesawat tempur, radar, dan kapal selam) untuk beberapa kegiatan (penyebaran ke berbagai target dan tujuan). Karena tidak ada metode sistematis yang tersedia untuk memecahkan masalah alokasi sumber
45
daya, militer diatas (tim matematikawan) mengembangkan metode untuk memecahkan masalah secara ilmiah. Metode yang dikembangkan oleh tim berperan penting dalam memenangkan pertempuran udara oleh inggris. Metode tersebut seperti program linier, yang dikembangkan sebagai hasil riset pada militer. Perkembangan metode optimalisasi semakin mengalami kemajuan hingga masa modern, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak metode optimasi yang ditemukan dan dapat menghasilkan solusi yang semakin optimal. Metode optimasi yang popular dan banyak dipakai antara lain seperti Dynamic Programming, Integer Programming, Game Theory, dan metode optimasi modern. Metode optimasi modern juga disebut metode optimasi non-tradisional, muncul sebagai metode yang ampuh dan popular untuk menyelesaikan masalah teknik optimasi yang kompleks. Metode yang termasuk seperti algoritma genetik, optimasi partikel swarm, optimasi koloni semut, optimasi berbasis jaringan syaraf tiruan, optimasi fuzzy, dan simulated annealing (Rao, S. S., 2009).
2.11
Harmony Search Harmony Search Algorithm (HSA) adalah salah satu algoritma
metaheuristik yang diusulkan oleh Zong Woo Geem pada tahun 2001. Algoritma tersebut terinspirasi oleh proses pertunjukan musik ketika musisi mencari harmoni yang lebih baik [Geem, 2009]. Pencarian harmoni pada proses improvisasi musik bertujuan untuk mendapatkan keadaan terbaik berdasarkan perkiraan estetika. Dengan analogi tersebut, HSA melakukan proses optimasi untuk mendapatkan keadaan terbaik dengan cara mengevaluasi fungsi objektif.
Seperti halnya
46
perkiraan estetika yang ditentukan menggunakan himpunan pitches yang dikeluarkan alat musik, fungsi objektif pada HSA dihitung menggunakan himpunan nilai-nilai pada setiap variabel keputusan (decision variables). Perbaikan nilai fungsi objektif pada HSA menerapkan improvisasi yang terus ditingkatkan dari iterasi ke iterasi sama seperti perbaikan kualitas suara estetika yang diperbaiki dengan latihan demi latihan.
Gambar 2.10 Struktur Harmony Search Algorithm (Geem, 2009)
Pada gambar diatas, setiap pemain musik ( saxophonist, double bassist, dan guitarist ) merepresentasikan suatu decision variable ( x1, x2, dan x3 ). Kumpulan bunyi yang dihasilkan oleh setiap instrumen musik ( saxophone = { Do, Re, Mi }; double bass = { Mi, Fa, Sol }; guitar = { Sol, La, Si }) menyatakan rentang nilai variabel ( x1 = { 100, 200, 300 }; x2 = { 300, 400, 500 }; x3 = { 500, 600, 700}). Sebagai contoh, misalnya saxophonist mengeluarkan bunyi Re, double bassist membunyikan Fa dan guitarist mengeluarkan bunyi La, maka ketiganya membangun suatu harmoni baru ( Re, Fa, La ). Jika harmoni ini lebih indah dibandingkan harmoni saat ini, maka harmoni baru ini dipertahankan. Harmoni
47
yang diperoleh tersebut dalam dunia optimasi disebut dengan solusi yang direpresentasikan dalam bentuk dimensi vektor solusi. Analogi musik dengan proses optimasi menurut HS adalah sebagai berikut:
Instrumen Musik ↔ Variabel keputusan
Pitch Range ↔ Range nilai variabel
Harmony ↔ Vektor solusi
Aesthetics ↔ Fungsi tujuan
Practice ↔ Iterasi
Experience ↔ Matrik memori
Agar harmony memory dapat digunakan secara efektif, algoritma HS mengadopsi sebuah parameter yang disebut Harmony Memory Considering Rate (HMCR). Nilai HMCR akan menentukan apakah satu nada baru akan dibangkitkan atau mengambil dari harmony memory. Komponen kedua adalah penyesuaian nada dimana dalam proses ini ada beberapa parameter seperti bandwidth (bw) dan Pitch adjusting rate (PAR) (Santosa, 2011). Harmony search menyelesaikan suatu permasalahan optimasi (minimasi fungsi) dengan langkah umum sebagai berikut :
Langkah 1. Inisialisasi Parameter Beberapa parameter model perlu diberi nilai antara lain Harmony Memory Consideration Rate HCMR (misal 0.7 – 0.95), ukuran sampel HMS (misal N = 0.20), pitch adjusting rate (PAR = 0.3) Tentukan pitch bandwidth b secara random, xL (batas bawah) dan xU (batas atas) untuk nilai variabel.
Langkah 2. Inisialisasi Harmony Memory (HM)
48
HM terdiri dari N solusi awal. Solusi ini bisa terdiri dari satu variable sampai p variabel. Solusi ini dibangkitkan secara random. Semua kandidat solusi ini dievaluasi untuk menemukan solusi terburuk.
𝑋=
𝑥11 𝑥12 𝑥13 ⋮ 𝑥1𝐻𝑀𝑆−1 𝐻𝑀𝑆 [ 𝑥1
𝑥21 𝑥21 𝑥21 …
𝑥2𝐻𝑀𝑆−1 𝑥2𝐻𝑀𝑆
𝑥31 𝑥31 𝑥31 …
𝑥3𝐻𝑀𝑆−1 𝑥3𝐻𝑀𝑆
…
1 𝑥𝑝−1
𝑥𝑝1
…
2 𝑥𝑝−1
𝑥𝑝1
3 … 𝑥𝑝−1 … … 𝐻𝑀𝑆−1 … 𝑥𝑝−1
…
𝐻𝑀𝑆 𝑥𝑝−1
𝑥𝑝1 𝑥𝑝𝐻𝑀𝑆−1 𝑥𝑝𝐻𝑀𝑆 ]
Dimana masing-masing vektor solusi (tiap baris) akan dievaluasi nilai fungsinya
𝑓 (𝑥 1 ) 𝑓(𝑥 2 ) 𝑋= ⋮ 𝐻𝑀𝑆−1 ) 𝑓 (𝑥 [ 𝑓(𝑥 𝐻𝑀𝑆 ) ]
Langkah 3. Lakukan perbaikan/improvisasi terhadap solusi yang ada Untuk setiap variabel diambil secara random nilai yang ada pada HM. Dengan prosedur tertentu nilai ini akan diajust sedemikian rupa jika memenuhi aturan tertentu (menggunakan pembangkitan bilangan random dan dibandingkan dengan HMCR dan PAR) hingga akan didapatkan nilai baru. Atau kalau tidak memenuhi aturan, akan dibangkitkan solusi baru secara random. Suatu harmoni baru atau vektor baru akan dibangkitkan berdasarkan aturan sebagai berikut : HM consideration (HMCR), pitch adjuting rate (PAR) dan pembangkitan yang benar-benar random. Sebagai
49
contoh nilai 𝑥1′ baru akan diambil dari (𝑥11 ~𝑥1𝐻𝑀𝑆 ). Variabel yang lain dicari dengan cara yang sama. Besarnya nilai HMCR akan menentukan nilai baru ini besar kemungkinannya akan diambil dari Hmatau benar-benar dibangkitkan secara random. 𝑥𝑖′ = {
𝑥𝑖′ ∈ {𝑥𝑖1 , 𝑥𝑖2 , … , 𝑥𝑖𝐻𝑀𝑆 } 𝑑. 𝑝 𝑑. 𝑝 𝑥𝑖1 ∈ 𝑋𝑖
𝐻𝑀𝐶𝑅 ........................ (2.44) (1 − 𝐻𝑀𝐶𝑅)
Dimana HMCR adalah probabilitas memilih satu nilai dari HM dan 1HMCR adalah probabilitas memilih nilai secara random dalam range xl – xu. Setelah memilih suatu harmoni baru 𝑥 ′ = (𝑥1′ ,.......................... 𝑥2′ , … , 𝑥𝑁′ ), keputusan (2.45) melakukan pitch adjustment dilakukan untuk setiap komponen vektor solusi. Prosedur ini menggunakan parameter PAR untuk melakukan pengaturan : 𝑥𝑖′ = {
𝑑. 𝑝 𝐴𝑡𝑢𝑟 𝑝𝑖𝑡𝑐ℎ 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑑. 𝑝
𝑃𝐴𝑅 (1 − 𝑃𝐴𝑅)
Dalam proses pitch adjustment ini, suatu nilai pindah ke nilai dekatnya dengan peluang (d.p) PAR atau tetap pada nilai aslinyadengan peluang.
Langkah 4. Perbarui Harmony Search Solusi baru ini akan dibandingkan dengan solusi terburuk dalam N populasi awal. Jika lebih baik maka ia akan menggantikan vektor solusi terburuk tadi.
Langkah 5. Cek kriteria penghentian Jika kriteria penghentian belum terpenuhi, kembali ke langkah 3 untuk mengambil secara acak salah satu vektor solusi dari variabel pertama. Bisa digunakan kriteria penghentian berupa jumlah iterasi atau nilai mutlak selisih dua nilai fungsi tujuan yang berurutan. (Santosa, B., Willy,P., 2011).
50