1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Ekologi pulau membuat masyarakat Madura mengalami proses historis yang berlainan dengan daerah sekitarnya. 1 Tanah Madura tidak subur dan lahan pertanian yang ada kerapkali tidak bisa menghasilkan cukup pasokan pangan untuk kebutuhan daerahnya sendiri. Jika terjadi gagal panen dapat dipastikan akan segera terjadi kelaparan. Selain itu Madura juga sering dihadapkan pada bencana kekeringan. Untuk menanggulangi masalah ekologis ini masyarakat bergantung pada pasokan pangan dari luar. Pulau ini tidak pernah menjadi tempat yang cocok untuk mengembangkan ekonomi pertanian apalagi perkebunan. Oleh karena itu ketika Cultuurstelsel diterapkan di Jawa, pulau Madura mengalami rangkaian peristiwa yang sama sekali berbeda. Dari pertengahan sampai akhir abad ke-19 terjadi beberapa perubahan penting di Madura. Diantaranya penghapusan kerajaan lokal dan penggantian sistem hak milik tanah. Sebelumnya penguasa-penguasa lokal mendapat kebebasan dari VOC untuk memerintah sendiri daerah kekuasaannya. Keputusan tersebut bukan tanpa alasan, pertama dari segi ekonomi Madura tidak menarik
1
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 196.
2
perhatian Belanda dan karena Belanda tidak ingin terlibat dengan masalahmasalah lokal. 2 Penghapusan kerajaan lokal sekaligus mengakhiri sistem percaton Madura. Akibatnya pengaruh kalangan bangsawan memudar dan Madura menjadi lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di luar pulau. Kegiatan niaga pun menjadi lebih ramai. Sebelum ada reorganisasi pemerintahan pelautpelaut Madura memang sering melakukan perdagangan antar pulau di Nusantara. Namun perdagangan tersebut tidak membawa perubahan pada hubungan sosial masyarakat Madura. Raja-raja lokal kerap menghalangi pembaruan ekonomi agar sistem apanage tidak terganggu. 3 Berakhirnya kekuasaan tradisional di Madura nyaris bersamaan dengan dihapuskannya
cultuurstelsel
di
Jawa.
Pemerintah
kolonial
kemudian
memperkenalkan undang-undang agraria dan memulai apa yang dikenal dengan kebijakan liberal.
Melalui kebijakan ini pemerintah memperbolehkan pihak
swasta asing untuk menyewa tanah dan memulai usahanya yang kebanyakan berupa perkebunan untuk menghasilkan berbagai komoditas ekspor. Perkebunanperkebunan teh, kopi, karet dan tebu bermunculan di Jawa dan Sumatera pasca liberalisasi ekonomi.
2
Huub De Jonge, “Stereotypes of the Madurese” dalam Kees van Dijk (ed). Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society, (Leiden: KITLV Press, 1995), hlm. 21. 3
Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 78.
3
Ekonomi perkebunan lantas membawa kemajuan ekonomi yang begitu pesat bagi Hindia Belanda. Tercatat pada periode 1905-1917 total ekspor Hindia Belanda melebihi total impornya. 4 Total ekspor pada 1905 tercatat sebanyak 300 juta gulden. Nilai ini kemudian menanjak drastis menjadi 800 juta guldden pada 1917. Pada kurun waktu yang sama impor Hindia Belanda juga mengalami kenaikan dari 200 juta gulden pada 1905 menjadi 500 gulden pada1917. Kemajuan ini penting bagi masyarakat Madura karena menawarkan hal yang paling mereka butuhkan; lapangan pekerjaan. Perkembangan mutakhir yang terjadi di Jawa menarik orang Madura untuk bermigrasi. Secara historis migrasi bagi etnis Madura merupakan fenomena permanen. Perpindahan mereka selain didorong oleh faktor utama kondisi sektor pertanian yang buruk juga oleh bermacam penindasan yang dilakukan penguasa lokal 5. Migrasi yang terjadi pasca diberlakukannya liberalisasi ekonomi begitu masif karena perkebunan-perkebunan yang ada dibuka membutuhkan banyak tenaga kerja. Statistik dari pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 menunjukkan bahwa kala itu 55 persen etnis Madura berada di Pulau Jawa. Sementara 45 persen yang lain berada didaerah asal. 6 Bekerja di perkebunan sangat cocok bagi orang Madura yang saat itu yang digambarkan “suka bekerja
4
Thomas Lindblad, “The Late Colonial State and Economic Expansion, 1900-1930” dalam Howard Dick dkk. The Emergence of National Economy, An Economic History of Indonesia 1800-2000. (Honolulu: University of Hawai’i Press.2002), hlm. 124 5
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial …, op. cit., hlm. 113-118.
6
Ibid., 80.
4
keras dan mau menerima pekerjaan apapun”. 7 Karena karakter tersebut para pemilik perkebunan disebut condong memilih pekerja asal Madura untuk menggarap lahan mereka. 8 Migrasi orang Madura ke Jawa merupakan usaha mereka untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan dan untuk melepaskan dari represi penguasa lokal. 9 Selain itu migrasi ke Jawa berarti menggabungkan diri menjadi salah satu faktor produksi dalam ekonomi perkebunan dan akhirnya melibatkan mereka pada fenomena penting yang terjadi di akhir masa kolonial yakni depresi ekonomi. Pesatnya perkembangan ekonomi Hindia Belanda begitu bergantung pada ekonomi perkebunan yang terintegrasi dengan perekonomian dunia. Tingginya permintaan atas komoditas-komoditas ekspor menjadi motor pertumbuhan ekonomi negara. Ketika permintaan tersebut turun maka perekonomian akan terganggu. Hal inilah yang terjadi pada Hindia Belanda dekade 1930an. Permintaan terhadap berbagai komoditas ekspor mendadak turun karena pasar Eropa kacau akibat depresi. Semua sektor yang berkaitan dengan ekonomi perkebunan terseret pada masalah ini. Pabrik-pabrik besar banyak yang merugi bahkan sebagian harus tutup. Misalnya, pabrik-pabrik gula seluruh Hindia Belanda yang pada 1929 mampu memproduksi gula mencapai 3 juta ton, pada tahun 1934 jumlah produksi
7
Huub de Jonge, “Stereotypes of Madurese”… op.cit., hlm. 16.
8
Ibid., 15
9
Ibid., hlm. 38.
5
jatuh pada angka setengah ton. 10 Sektor transportasi juga terkena dampak, perkeretaapian yang menghubungkan pabrik-pabrik dengan pelabuhan ikut ambruk. Pelabuhan-pebuhan dihadapkan dengan masalah serupa; sepi kegiatan niaga. Macetnya laju perekonomian menimbulkan persoalan baru; pengangguran. Di Surabaya dari bulan Juli hingga Desember tercatat 1034 pekerja di industri besi di-PHK, nasib sama dialami 250 pekerja di percetakan dan 1100 pekerja lain di industri menengah. Pegawai pemerintahan pun turut kehilangan pekerjaan mereka. 11 Orang Madura yang bekerja di perkebunan-perkebunan di Jawa Timur juga termasuk dalam daftar panjang pengangguran kala itu. Sebagian besar dari pekerja-pekerja ini lantas kembali ke daerah asalnya dan membuat Madura turut terkena dampak dari permasalahan global ini. B. Permasalahan Permasalahan ekonomi masyarakat tidak hanya kondisi ekologis yang buruk, tetapi juga faktor ekonomi. Kondisi tersebut memperburuk kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar adalah petani. Meski demikian, hampir bersamaan dengan dihapuskannya kerajaan-kerajaan tradisional masyarakat mendapat
peluang
baru
untuk
memperbaiki
kondisi
perekonomiannya.
10
Dietmar Rothermund, The Global Impact of the Great Depression 1929 1939, (London: Routledge, 2003), hlm. 44. 11
John Ingleson, “Urban Java During the Depression”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 19, No. 2 (Sep., 1988), pg. 295.
6
Perkebunan-perkebunan yang dibuka di pulau Jawa pasca liberalisasi ekonomi membutuhkan banyak tenaga kerja baru. Migrasi merupakan siasat masyarakat Madura untuk merespon perubahanperubahan yang terjadi agar kebutuhannya terpenuhi. Penelitian ini membahas dampak migrasi pada perekonomian masyarakat Madura akhir masa kolonial. Juga dibahas mengenai berbagai dampak dari perubahan situasi ekonomi makro Hindia Belanda pada ekonomi masyarakat Madura yang telah terintegrasi melalui migrasi penduduk. Secara spasial pembahasan dibatasi pada lingkup pulau Madura. Penelitian ini membatasi lingkup temporal pada kurun waktu 1900-1930am. Sekalipun liberalisasi ekonomi dimulai secara resmi pada 1870 namun tentunya kebijakan tersebut tidak langsung berdampak terhadap kehidupan masyarakat. Pemilihan batas akhir 1930an karena depresi ekonomi yang terjadi pada dekade tersebut menghentikan arus migrasi orang Madura. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kehidupan masyarakat Madura pada akhir masa kolonial. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat menambah akumulasi pengetahuan mengenai sejarah Madura pada masa itu. Madura merupakan salah satu etnis yang banyak dikenal di Indonesia. Masyarakatnya tersebar diberbagai penjuru Indonesia membuat suku Madura dikenal luas. Namun pengetahuan masyarakat Indonesia tentang Madura ternyata
7
masih minim. Terbukti pencitraan masyarakat Madura di media massa masih berkutat dalam kerangka stereotip tentang Madura. Penelitian dari akademisi tentang Madura dirasa masih kurang banyak jika dibandingkan dengan studi tentang daerah lain seperti pulau Jawa. Kajian tentang Madura masih perlu diperbanyak untuk mengetahui berbagai fenomena sosial budaya dan ekonomi menarik di pengalaman historis masyarakatnya. Penelitian ini selain diharapkan bisa memperkaya pengetahuan masyarakat tentang masyarakat Madura juga untuk memenuhi rasa ingin tahu penulis tentang sejarah etnisnya. Selain beberapa tujuan diatas, penelitian ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan studi di Universitas Gadjah Mada. D. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan sumber-sumber berdasarkan relevansinya dengan tema skripsi ini. Dari proses pengumpulan sumber, didapatkan sumber primer dan sekunder yang berupa sumber tertulis dan tidak tertulis. Sumber yang termasuk kategori sumber tertulis adalah arsip pemerintah kolonial, artikel, buku, jurnal dan iklan dalam surat kabar dan jurnal. Sumber yang tergolong sumber tidak tertulis adalah foto yang relevan. Sumber foto membantu dalam menggambarkan kondisi masyarakat Madura pada akhir masa kolonial. Sumber primer seperti arsip kolonial, surat kabar, foto dan buku didapatkan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan UPT UGM, Perpustakaan Ignatius Yogyakarta, situs
8
kitlv.nl, geheugenvannederland.nl serta delpher.nl yang bisa diunduh gratis. Arsip kolonial yang didapatkan di ANRI adalah Memorie van Overgave. Untuk sumber berupa surat kabar didapatkan dari Perpustakaan Nasional RI dan situs delpher.nl. Surat kabar yang digunakan antara lain; Sin Jit Po, Ra’jat, De Indische Courant, De Sumatera Post, Soerabaiasch Handelsblad, Algemeen Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, De Banier, dan De Telegraaf. Sumber foto didapatkan dari kitlv.nl dan geheugenvannederland.nl. Sumber-sumber sekunder didapatkan dari buku-buku, jurnal dan skripsi yang berkaitan dengan Madura pada masa kolonial. Data-data yang telah diperoleh kemudian dilakukan pengelompokkan dan dilakukan kritik sumber. Kritik sumber dimaksudkan untuk memeriksa autensitas dan kredibilitas sumber. Penulis melakukan kritik secara internal dan eksternal. Kritik internal berarti sejarawan menekankan kritik pada bagian isi dari sumber tersebut. Menilai apakah sumber yang didapatkan dari arsip kolonial atau surat kabar bisa digunakan atau tidak. Penilaian dilakukan salah satunya dengan cara membandingkan sumber yang diperoleh dengan sumber lain. Sumber juga dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti lain. Setelah itu dilakukan kritik eksternal dimana dilakukan penilaian segala aspek “luar” dari suatu sumber. Keotentikan sumber dinilai dari berbagai segi seperti segi fisik dan non fisik. Penilaian dari segi fisik dilakukan dengan mengamati jenis kertas atau bentuk huruf sebuah sumber untuk memastikan apakah sudah sesuai dengan zaman pembuatannya. Penilaian non fisik dilakukan dengan memeriksa kredibilitas dan identitas lembaga-lembaga yang menyimpan sumber sejarah.
9
Tahap auffasung dan darstellung dilakukan setelah kritik sumber selesai. Auffasung merupakan proses menafsirkan sumber untuk memperoleh fakta sejarah dan mengelompokkan bermacam fakta tersebut dalam hubungan tertentu. Faktafakta tentang Madura yang telah didapatkan dari proses interpretasi lantas dikelompokkan dalam suatu sebab atau dampak dari sebuah perubahan pada akhir masa kolonial. Tahap darstellung merupakan tahap memformulasikan fakta-fakta tersebut. E. Tinjauan Pustaka Studi tentang masyarakat Madura sudah sering dilakukan. Beberapa desertasi mengenai Madura telah dipublikasikan seperti salah satunya desertasi Kuntowijoyo dalam bukunya Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, memberikan gambaran mengenai kehidupan mayarakat Madura saat terjadi penghapusan kerajaan-kerajaan lokal dan perubahan sosial yang mengikutinya. Kuntowijoyo menjelaskan masyarakat Madura merupakan masyarakat yang perilaku sosial budayanya terbentuk dari ekologi tegalan pulau Madura. Dengan faktor-faktor seperti penghapusan sistem apanage, pendidikan dan keterlibatan dalam organisasi massa telah membawa masyarakat Madura menjadi lebih terbuka. Semula ekologi tegalan membuat orang Madura sulit untuk berorganisasi. Desertasi Kuntowijoyo memang mencakup periode 1900-1942 namun tidak secara khusus menjelaskan tetnang ekonomi Madura pada periode tersebut.
10
Tahun 1975 sarjana Belanda Huub de Jonge melakukan penelitiannya di Desa Parendu Kabupaten Sumenep. Penelitian ini kemudian pada tahun 1984 melahirkan desertasinya yang berjudul Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Desertasi ini merupakan penelitian antropologis tentang kehidupan ekonomi di desa parenduan. De Jonge menghususkan penelitiannya pada komoditas tembakau. Karya ini penting karena selain menyediakan banyak fakta tentang tembakau juga terdapat informasi mengenai perekonomian masyarakat non pertanian. Laurence Husson meneliti tentang migrasi orang Madura dari masa ke masa. Dalam desertasinya La Migration Maduraise vers l'Est de Java; 'Manger le vent ou gratter la terre'? menjelaskan bermacam aspek sosial ekonomi yang mendasari migrasi orang Madura. Salah satu paparan Husson tentang migrasi orang Madura adalah migrasi pada abad ke-20. Dijelaskan bahwa perkebunan di Jawa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk datang dan menjadi buruh. Dekade 80an banyak menghasilkan disertasi tentang Madura baik oleh peneliti asing maupun peneliti Indonesia. Selain Kuntowijoyo (80) dan de Jonge (84) ada Jeff Leunissen (82), Mansurnoor (87) Roy Jordaan (85) dan istrinya Anke Niehof (85) serta Elly Touwen Bousma (88). Setelah era ini menyusul kemudian Helene Bouvier (1990) dan Glenn Smith (1992). Disertasi diatas sebagian sudah diterbitkan namun beberapa yang lain masih belum. Namun beberapa peneneliti tersebut telah beberapa kali terlibat dalam penulisan bersama kajian interdisipliner tentang Madura dengan membahas beberapa bagian dari disertasi masing-masing. Pertama pada tahun 1989 diterbitkan buku yang
11
merupakan kumpulan tulisan berjudul Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studistudi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura. Pada 1995 KITLV menerbitkan kumpulan tulisan yang dieditori oleh Kees van Dijk, Huub de Jonge and Elly Touwen Bousma dan berjudul Across Madura Strait The Dynamics of An Insular Society. Buku-buku ini sangat penting peranannya untuk memiliki pengetahuan luas dan mendalam tentang Madura. Terutama banyak ssekali memberi pengetahuan tentang Madura abad ke-20. De Jonge misalnya yang dalam Across Madura Strait menulis Stereotypes of the Madurese, membahas stereotip tentang masyarakat Madura. Dalam artikel tersebut De Jonge menunjukkan bahwa terdapat kontinuitas yang tinggi pada gambaran masyarakat luar terhadap Madura dari masa kolonial hingga kemerdekaan. Beberapa stereotip negatif tentang kekerasan dan budaya terhadap orang Madura disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya, kemiskinan, lahan pertanian yang tidak subur, keterisolasian sosial serta migrasi. De Jonge juga menulis artikel ilmiah berjudul State and Welfare in the Late Colonial Period: The Madura Welfare Fund (1937-1941). Artikel ini membahas program dana kesejahteraan masyarakat untuk menanggulangi dampak depresi. Tulisannya berfokus pada bagaimana pemerintah menggunakan dana tersebut melakukan berbagai perbaikan infrastruktur, bermacam penyuluhan untuk memperlancar kegiatan ekonomi sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
12
Weathering the Storm: the Economies of Southeast Asia in the 1930s Depression merupakan kumpulan artikel yang dieditori oleh Peter Boomgaard dan Ian Brown membahas secara menyeluruh dampak depresi ekonomi di Asia Tenggara. enjelaskan pentingnya mempertimbangkan kompleksitas penyebab depresi di Asia Tenggara, struktur ekonomi dan keadaan daerah di asia tenggara yang beragam, beragamnya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Artikel lainnya, The Economy of Besuki in the 1930s Depression ditulis oleh
Nawiyanto.
Nawiyanto
terlebih
dahulu
menjelaskan
permasalahan
historiografis seputar kajian tentang Depresi Ekonomi 1930. Senada dengan pengantar Brown dan Boomgaard, Nawiyanto mengkritik penelitian-peneltian terdahulu yang dia anggap telah menggeneralisir dampak depresi ekonomi di Hindia Belanda. Dia mengutip pernyataan Sejarawan JS Furnivall, Hindia Belanda sebagai sebuah negara jajahan memiliki apa yang disebut “ekonomi majemuk” sehingga dari faktor itu saja akan menyebabkan dampak berbeda pada lapisan-lapisan
sosial
di
masyarakat.
Selanjutnya
Nawiyanto
mengupas
perekonomian Besuki sebelum depresi ekonomi, dampak depresi terhadap perkebunan dan dampaknya pada para buruh. Namun dalam artikel ini dosen di Universitas Negeri Jember ini tidak membahas secara spesifik buruh-buruh Madura. Dia hanya menyebut banyak buruh asal Madura pulang ke daerah asalnya. 12 Padahal buruh asal Madura jumlah populasinya begitu besar, mereka telah memiliki pemukim tetap di berbagai wilayah di Keresidenan tersebut dan 12
Nawiyanto, “The Economy of Besuki in the 1930s Depression” dalam Peter Boomgaard & Ian Brown. The Economies of Southeast Asia in the 1930s Depression. (Singapore: ISEAS, 2000), hlm. 182.
13
mereka bekerja di bermacam jenis perkebunan. Penelitian tentang mereka perlu untuk mengetahui bagaimana isu pertanahan di Besuki dan nasib buruh-buruh Madura itu sendiri. Selain di kumpulan artikel tersebut Ian Brown juga melakukan kajian mengenai dampak depresi di Asia Tenggara dalam artikel Rural distress in southeast asia during the world depression of the early 1930s: A preliminary reexamination. Dalam artikel tersebut Brown menjelaskan bagaimana depresi tidak hanya menghantam daerah perkotaan di Asia Tenggara, namun juga daerah pedesaan. Ada dua argument yang diajukan Brown dalam artikel tersebut. Pertama, depresi ekonomi 1930 memberi dampak beragam pada daerah pedesaan Asia Tenggara. Dia melihat perbedaan tingkat parahnya depresi memberi dampak pada daerah pedesaan. Misalnya, masyarakat pedesaan di perkebunan-perkebunan Malaya yang tidak terkena dampak separah masyarakat di Sumatera Timur. Kedua, brown mengatakan bahwa secara umum pemerintah kolonial tidak menaikkan pajak secara signifikan dan bahwa masyarakat pedesaan bisa membayar pajak dan kewajiban lainnya lebih baik dari pada hari-hari sebelum depresi. Dalam bukunya yang lain,
Agricultural Development In A Frontier
Region of Java: Besuki, 1870-Early 1990s, Nawiyanto membahas perkembangan agrikultur Besuki dari mulai dibukanya kesempatan bagi swasta untuk turut berkecimpung dalam perkebunan di Keresidenan Besuki hingga era kontemporer Indonesia. Dalam buku yang semula merupakan thesisnya ini, mengenai buruh-
14
buruh Madura Nawiyanto menjelaskan mereka datang setelah dibukanya perkebunan dan bagaimana dinamika kehidupan disana. Pembahasan mengenai depresi ekonomi dilakukan oleh John Ingleson dalam artikelnya di Journal of Southeast Asian Studies yang berjudul Urban Java During the Depression membahas bagaimana daerah perkotaan jawa terkena dampak depresi ekonomi. Dia menjelaskan daerah perkotaan bergantung pada ekonomi perkebunan sehingga ketika sektor ekonomi tersebut jatuh daerah urban jawa juga terkena dampak. Dia memperlihatkan beberapa data tentang pengangguran dari di pabrik-pabrik dan kantor-kantor pemerintahan di perkotaan jawa. Tentang pengangguran dari kuli kontrak dia menjelaskan bahwa dua kemungkinan yang bisa terjadi pada mereka kembali ke desa asal atau bertahan sebisa mungkin dengan mencari pekerjaan apapun di kota. Ingleson juga menjelaskan fakta menarik bahwa ternyata isu depresi ini tidak dimanfaatkan oleh para nasionalis untuk menyerang pemerintah colonial. Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo dalam buku mereka Sejarah Perkebunan di Indonesia
menjelaskan perkebunan Indonesia dari masa
prakolonial hingga tahun 1980an. Buku ini memberikan gambaran jelas perkembangan perkebunan di Indonesia. Khususnya penjelasan mengenai masyarakat dan kebudayaan perkebunan. Dengan penjelasan tersebut dapat diketahui identitas perkebunan dan masyarakat disekitarnya pada masa kolonial. Dari tinjauan yang dilakukan oleh penulis belum ada hasil penelitian yang menjelaskan dampak migrasi terhadap ekonomi masyarakat Madura pada akhir
15
masa kolonial secara menyeluruh. Memang ada tulisan-tulisan tentang migrasi yang ditulis oleh Husson dan ekonomi Madura oleh De Jonge serta Kuntowijoyo. Namun dalam karya-karya mereka dampak migrasi akhir masa kolonial tidak menjadi bahasan utama. F. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian dijelaskan secara kronologis agar dapat diterangkan secara teratur. Hasil penelitian dibagi dalam lima bab. Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penelitian. Pada bab pertama menerangkan alasan-alasan yang melatarbelakangi penelitian. Bab kedua memaparkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Madura pada awal abad ke-20 yang merupakan babak baru bagi masyarakat Madura. Akhir abad ke-19 mereka mendapati sistem apanage telah dihapuskan dan faktor tersebut membawa perubahan-perubahan pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Madura. Penjelasan pada bab ini termasuk sejarah Madura sebelum abad ke-20 dan gambaran ekologi pulau. Selanjutnya pada Bab ketiga membahas migrasi Madura untuk memenuhi kebutuhannya ditengah kesulitan-kesulitan yang ada. Menerangkan bagaimana mereka memanfaatkan perubahan-perubahan yang terjadi di Hindia Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan.
16
Bab keempat membahas bagaimana dampak depresi 1930an pada masyarakat Madura. Dibahas juga cara dan siasat masyarakat untuk bertahan dalam situasi tersebut. Bab terakhir adalah simpulan dari bermacam penjelasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.