BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Banjarmasin sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dengan segala konsekuensinya berupaya meningkatkan terus pembangunan sarana dan prasarana serta infrastruktur dalam upaya mewujudkan Banjarmasin sejajar dengan dengan kota-kota maju di Indonesia lainnya. Namun seiring dengan perkembangan menuju kota besar menjadikan kota ini sarat akan masalah, seperti kemacetan, tata ruang kota yang semakin sempit, jumlah penduduk yang semakin bertambah, kebersihan kota yang semakin parah, hutan yang semakin berkurang dan lain lain. Pembangunan kota yang hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan terutama Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pertambahan jumlah penduduk tersebut mengakibatkan terjadinya densifikasi penduduk dan permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota.
Hal
tersebut
menyebabkan
kebutuhan
ruang
meningkat
untuk
mengakomodasi kepentingannya. Semakin meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun berdampak kepada semakin merosotnya kualitas lingkungan. Rencana tata ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehingga keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas.
1
2
Tabel 1.1 Persebaran Lahan Kritis dan Sangat Kritis 2011 di Provinsi Kalimantan Selatan Lahan Kritis dan Sangat Kritis
Luas/ Kabupaten/Kota Areas Regency/Municipality (Ha) (1)
(2)
Critical and Very Critical Areas (Ha) Kritis/ Sangat Kritis Jumlah/ Persentase/ Critical (3)
/Very Critical (4)
Total (5)
Percentages (6)
Tanah Laut
372 930
54 928,8
17 306,9
72 235,7
19,37
Kotabaru
942 273
250 435,8
14 654,5
165 090,3
28,13
Banjar
471 097
110 934,2
10 018,8
120 953,0
25,67
Barito Kuala
237 622
7 872,6
0
7 872,6
3,31
Tapin
217 495
24 262,9
4 576,1
28 839,0
13,26
Hulu Sungai Selatan
180 494
28 327,4
2 323,1
30 650,5
16,98
Hulu Sungai Tengah
147 200
41 094,8
201,7
41 296,5
28,05
95 125
13 630,5
0
13 630,5
14,33
Tabalong
359 995
52 562,1
3 735,2
56 297,3
15,64
Tanah Bumbu
506 696
59 043,8
17 591,2
76 635,0
15,12
Balangan
181 975
38 114,4
5 233,3
43 347,7
23,82
7 267
105
124
229,0
5,88
32 883
1 085,3
3 107,6
4 192,9
9,75
3 753 052
682 292,6
78 748,4
761 041
Hulu Sungai Utara
Banjarmasin Banjarbaru Jumlah/Total
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, 2011
Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) menyebabkan suatu kota tidak lagi memberikan kenyamanan dan kesejukan kepada warganya, terjadinya peningkatan suhu udara, terbentuknya pulau-pulau panas di tengah kota, penurunan air tanah, terjadinya banjir atau genangan air, penurunan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi pantai, pencemaran air tanah, pencemaran udara (meningkatnya kadar CO, ozon, CO2, oksida nitrogen dan belerang), debu dan
20,28
3
tingkat kebisingan yang tinggi (Milya, 2007: 54). Penyebab kerusakan hutan (Hardjasoemantri, 2012: 112) disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya yaitu. 1. Kebakaran hutan Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut. a. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindahpindah. Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional dikawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH. b. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan
4
cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya c. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara. Selain itu penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Di sini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya. 2.
Penebangan hutan secara sembarangan Menebang hutan sembarangan akan menyebabkan hutan menjadi gundul. Ditambah lagi akhir-akhir ini penebangan hutan liar semakin marak terjadi sehingga perlu perhatian khusus dari pemerintah dan juga peran serta masyarakat.
3.
Penegakan Hukum yang Lemah Menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S. Kaban, SE.,M.Si. menyebutkan bahwa lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah turut memperparah
5
kerusakan hutan Indonesia. Menurut Kaban penegakan hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya para pelaku hanya orangorang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehariharinya. Pelaku hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggung jawab. Orang yang menyuruh dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum. Pelaku biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan. Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah. 4. Mentalitas Manusia Manusia sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk menguasai hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang
6
daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutan pun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan secara eksploitasi yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya. Kerusakan hutan yang berkelanjutan akan menimbulkan beberapa dampak negatif yang besar (Dahlan, 1992: 49), antara lain. 1. Efek rumah kaca (green house effect) Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas CO2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara dll) akan menyebabkan kenaikan gas CO2 di atmosfer yang menyelebungi bumi. Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan kembali kepermukaan bumi oleh lapisan CO2 tersebut, sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah kaca. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu
7
atau perubahan iklim bumi pada umumnya. Kalau ini berlangsung terus maka suhu bumi akan semakin meningkat, sehingga gumpalan es di kutub utara dan selatan akan mencair. Hal ini akhirnya akan berakibat naiknya permukaan air laut, sehingga beberapa kota dan wilayah di pinggir pantai akan terbenam air, sementara daerah yang kering karena kenaikan suhu akan menjadi semakin kering. 2. Kerusakan lapisan ozon Lapisan ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanamantanaman di bumi. 3. Kepunahan spesies Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan. Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia tiga tahun yang lalu Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu spesies (punah) dan kehilangan hampir 70 persen habitat alami pada sepuluh tahun terakhir ini.
8
4. Merugikan keuangan negara Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m 3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp 30.000.000.000.000/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia. 5. Banjir Dalam peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini, disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir. Bencana banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak
9
hanya akan menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi taruhannya. Banjir di Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah contoh nyata. Salah satu bagian dari RTH adalah taman hutan raya (grand forest park), yang berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, dirumuskan sebagai kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Adapun tujuan pengelolaannya adalah untuk terjaminnya kelestarian kawasan hutan dan ekosistemnya, terbinanya koleksi tumbuhan dan satwa serta potensi sumber daya alam kawasan taman hutan raya, dan optimalnya manfaat taman hutan raya untuk wisata alam, penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya adat istiadat budaya bagi kesejahteraan masyarakat terbentuknya taman hutan raya. Pesatnya pembangunan disuatu kawasan, apalagi jika mengabaikan aspek ekologi dapat melahirkan sebuah perubahan lingkungan yang dapat berdampak positif maupun negatif terhadap fungsi taman hutan raya sebagai kawasan konservasi. Kawasan konservasi perlu dikelola secara adaptif dalam perspektif jangka panjang dan dipandang sebagai aset masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional dengan tujuan yang mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dengan proses pembangunan sosial ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati.
10
Dalam kaitannya dengan pelestarian hutan dan atau kawasan hijau di wilayah perdesaan hutan, yang dinilai mampu sebagai pengendali dan pencegah terhadap pemanasan global, tampaknya partisipasif masyarakat perlu digalang dan dipacu untuk ikut serta dalam pelestariannya dalam pada itu aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. aspek kesadaran pentingnya hutan (kawasan hijau) sebagai salah satu penyangga kenyamanan lingkungan hidup; 2. aspek peningkatan pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan multiguna peranan fungsi hutan (kawasan hijau); 3. aspek ekonomi, memberikan informasi dan peluang untuk bekerja dan berusaha pada sektor kehutanan; 4. aspek sosial, dimana hutan merupakan bagian hidup bagi masyarakat, karena produk oksigen dari pepohonan hutan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap insan kehidupan; 5. aspek pengamanan, diaman hutan (kawasan hijau) merupakan kawasan penyangga baik terhadap kesuburan tanah, air, dan kehidupan satwa liar. Taman Hutan Raya di Indonesia sedikitnya ada 22 (dua puluh dua) lokasi. Taman Hutan Raya (Tahura) tersebut tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Taman Hutan Raya merupakan salah satu kawasan pelestarian alam selain Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Salah satunya adalah Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam di Kalimantan Selatan yang memiliki seluas 112.000 Ha, yang secara administratif meliputi wilayah Kabupaten Banjar dan wilayah Kabupaten Tanah Laut. Tahura Sultan Adam di Kabupaten Banjar meliputi 2
11
(dua) kecamatan dan 38 (tiga puluh delapan) desa, sedangkan di Kabupaten Tanah Laut meliputi 3 (tiga) kecamatan dan 8 (delapan) desa. Berdasarkan surat keputusan gubernur Kalimantan Selatan No. 0283 Tahun 2003 tentang badan pengelola Tahura Sultan Adam, sebagai penanggung jawab adalah gubernur Kalimantan Selatan. Ketua dijabat oleh wakil gubernur Kalimantan Selatan dengan sekretaris kepala balai konservasi dan sumber daya alam Kalimantan Selatan. Sesuai dengan fungsinya untuk menjamin keberlanjutan pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam serta pembangunan sosial ekonomi yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Salah satunya adalah Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam di Kalimantan Selatan yang memiliki seluas 112.000 Ha, yang secara administratif meliputi wilayah Kabupaten Banjar dan wilayah Kabupaten Tanah Laut. Tahura Sultan Adam di Kabupaten Banjar meliputi 2 (dua) kecamatan dan 38 (tiga puluh delapan) desa, sedangkan di Kabupaten Tanah Laut meliputi 3 (tiga) kecamatan dan 8 (delapan) desa. Berdasarkan surat keputusan gubernur Kalimantan Selatan No. 0283 Tahun 2003 tentang badan pengelola Tahura Sultan Adam, sebagai penanggung jawab adalah gubernur Kalimantan Selatan. Ketua dijabat oleh wakil gubernur Kalimantan Selatan dengan sekretaris kepala balai konservasi dan sumber daya alam Kalimantan Selatan. Sesuai dengan fungsinya untuk menjamin keberlanjutan pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam serta pembangunan sosial ekonomi yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Pesatnya pembangunan disuatu kawasan, apalagi jika mengabaikan aspek ekologi dapat melahirkan sebuah perubahan lingkungan yang dapat berdampak positif maupun negatif terhadap fungsi taman hutan raya sebagai kawasan
12
konservasi. Kawasan konservasi perlu dikelola secara adaptif dalam perspektif jangka panjang dan dipandang sebagai aset masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional dengan tujuan yang mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dengan proses pembangunan sosial ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Manajemen aset taman hutan raya berbeda pengelolaannya dengan aset milik pemerintah yang berbentuk infrastruktur seperti gedung, jalan, jembatan, dan lain sebagainya. Pengelolaan taman hutan raya melibatkan berbagai disiplin ilmu (multi disiplin) yang tidak hanya menerapkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) tetapi juga seni (arts). Taman hutan raya memerlukan suatu pengelolaan dan pemanfaaatan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam satu program perlindungan terhadap wilayah-wilayah konservasi, sehingga dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yang terpadu di mana tercipta pembangunan perkotaan yang berwawasan lingkungan. Pengelolaan taman hutan raya tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah semata tetapi juga menuntut peran serta seluruh masyarakat karena tujuan utamanya adalah memelihara pada tingkat maksimum. Apabila kesehatan ekosistem merupakan kondisi ideal yang harus tetap dipertahankan dan dibangun dalam pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan untuk masa depan, sudah seharusnya bila semua pihak yang terlibat (stakeholder) memberikan kontribusi untuk mewujudkannya. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi taman hutan raya, bentuk kebijakan yang telah diambil pemerintah setempat antara lain adalah pengamanan kawasan, penyuluhan dan pembinaan daerah penyangga, maupun usulan
13
rehabilitasi untuk kawasan yang telah rusak. Namun upaya ini masih tidak maksimal karena fakta di lapangan pada Tahura Sultan Adam masih menunjukkan permasalahan
maraknya
penebangan
liar
oleh
pihak-pihak
tidak
bertanggungjawab. Kekayaan alam yang melimpah di Tahura Sultan Adam menjadi daya tarik bagi pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Dampaknya, disinyalir keanekaragaman hayati Tahura ini ikut terganggu. Beberapa satwa yang dulunya menjadi penghuni tetap, sekarang mulai sulit ditemui termasuk pohonpohon besar yang jarang ditemui akibat penebangan liar. Di salah satu perbukitan hanya ditumbuhi semak belukar sehingga udara terasa sangat panas di siang hari. Permasalahan ini semakin rumit karena kini diperparah lagi dengan aksi penambangan dan pembalakan liar yang menyebabkan kerusakan Tahura. Salah satu penyebabnya adalah kurang maksimalnya upaya pengelolaan pada aset daerah ini, baik dalam aspek legalitas kepemilikan, peruntukan lahan hingga inventarisasi aset-aset yang ada di dalamnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan pendekatan kebijakan yang komprehensif berupa manajemen aset daerah. Pengelolaan aset dalam konteks taman hutan raya memang berbeda pengelolaannya dengan aset milik pemerintah yang berbentuk infrastruktur. Pengelolaan taman hutan raya tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata tetapi juga menuntut peran serta seluruh masyarakat karena tujuan utamanya adalah memelihara pada tingkat maksimum dari jaringan ekologi, sosial dan manfaat ekonomi secara berkelanjutan dari waktu ke waktu sehingga manfaatnya dirasakan tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang (Clark, et.al, 1997).
14
Partisipasi masyarakat sangat penting dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH. Upaya ini dilakukan untuk memberikan hak masyarakat dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang. Masyarakat perlu dilibatkan dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian agar merasa memiliki dan diharapkan agar bisa menjaga dan melindungi kelangsungan aset pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan fenomena di atas penelitian ini akan memfokuskan pada implementasi manajemen aset dalam pengelolaan taman hutan raya yang dimiliki/dikelola oleh pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan konsep berkelanjutan (sustainability) berdasarkan kepada sumber daya tanaman, pengelolaan sumber daya, membangun kerangka kerja yang baik dengan masyarakat, pembelajaran kepada masyarakat, legal audit lahan dan pendanaan. Faktor-faktor tersebut memiliki peran vital dalam pengelolaan taman hutan raya dan diharapkan dapat menjadi sumber masukan dalam penyusunan strategi dan kebijakan pengelolaan hutan kota yang berkelanjutan (sustainability).
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai manajemen aset berupa hutan kota khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan belum pernah dilakukan namun penelitian mengenai manajemen asset telah banyak dilakukan antara lain: 1.
Clark, et.al., (1997) mengadakan suatu studi untuk membuat sebuah model pembangunan hutan kota yang berkelanjutan, di mana model tersebut menerapkan
prinsip-prinsip
secara
umum
pengelolaan
kota
yang
berkelanjutan dengan membuat kriteria dan indikatornya. Pengelolaan hutan
15
kota yang berkelanjutan memerlukan kesehatan pohon dan sumber dayanya, dukungan penuh masyarakat, dan pendekatan manajemen yang menyeluruh. 2. Juniarto (2009), melakukan penelitian tentang manajemen aset hutan kota di DKI Jakarta. Penelitian ini menemukan bahwa membangun kerangka kerja yang baik dengan masyarakat, legal audit lahan dan pendanaan berpengaruh signifikan terhadap implementasi manajemen aset dalam pengelolaan hutan kota. 3. Chairul (2001) mengadakan suatu studi kasus di pemerintah daerah DKI Jakarta tentang peranan manajemen dalam upaya meningkatkan kegunaan aset tanah dan bangunan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian ini mencoba mengidetifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan keprogresifan status manajemen aset daerah. Penelitian ini menggunakan metoda cluster analysis dan hasil yang diperoleh adalah adanya tingkat aktifitas yang tinggi terhadap pengawasan dan pelaksanaan manajemen aset tanah dan bangunan serta adanya pembedaan kinerja manajemen aset kelurahan yang terbentuk berdasarkan luas tanah dan bangunan yang dimiliki. 4. Mahsun (2003) melakukan studi kasus pada Pemerintah Kota Yogyakarta tahun anggaran 2001/2002 tentang analisis efektifitas manajemen aset properti riil pemerintah daerah. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama dengan melakukan wawancara dengan pejabat di lingkungan kota, yang kedua melakukan pengamatan dan observasi di lingkungan pemerintah kota, dan yang ketiga melakukan tinjauan data baik literatur akademik maupun laporan pertanggungjawaban. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek manajemen aset di Pemerintah Kota Yogyakarta masih belum optimal, karena
16
pemerintah kota masih belum mempunyai kapasitas yang memadai untuk mengelola aset-aset yang dimiliki terutama aset besar. Kesamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu yaitu penggunaan dasar konsep manajemen aset pemerintah, baik berupa tanah maupun bangunan serta penilaian dan pemanfaatan aset merupakan bagian dari fenomena manajemen aset daerah selain dari inventarisasi, legal audit, pengawasan, dan pengendalian aset. Selain itu, juga terkait pada sikap institusi yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan taman hutan raya dengan konsep berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Selatan. Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah terletak pada metoda analisis tentang implementasi manajemen aset dalam pengelolaan taman hutan raya yang dimiliki/dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Pada penelitian ini analisis dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif.
1.3 Manfaat dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat yang berarti yaitu: 1. dapat menjadi masukan kepada pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan manajemen aset serta pengambilan kebijakan dalam pengelolaan aset berupa taman hutan raya; 2. dapat menjadi acuan atau referensi dalam bidang manajemen khususnya
17
manajemen aset ruang terbuka hijau berupa taman hutan raya milik pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan. 1.3.2 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh variabel persepsi responden pada aspek-aspek: 1. pengelolaan sumber daya tanaman; 2. pengelolaan sumber daya; 3. membangun kerangka kerja yang baik dengan masyarakat; 4. melakukan edukasi dan komunikasi dengan masyarakat; 5. legal audit lahan; dan 6. pendanaan pelaksanaan manajemen aset terhadap variabel implementasi manajemen aset.
1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut BAB I Pengantar, yang menguraikan keaslian latar belakang, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, menguraikan tentang tinjauan pustaka, landasan teori dan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. BAB III Cara Penelitian, memuat tentang cara penelitian. BAB IV Analisis Data dan Pembahasan, memaparkan mengenai hasil analisis data dan Pembahasan. BAB V Kesimpulan, memuat tentang Kesimpulan dan Saran.