BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Bahasa mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya
zaman. Hal ini ditandai dengan (1) terciptanya istilah baru sebagai pengganti istilah lama atau karena adanya penemuan baru uang ditemukan oleh manusia, sehingga dibutuhkan istilah untuk mewakilinya (Amin, 1975: 1), (2) perilaku serta hal–hal yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat (Pateda, 1990: 77), dan (3) terjadinya kontak antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain memiliki pengaruh terhadap perubahan bahasa dan menimbulkan saling meminjam bahasa dalam penggunaannya (Ruskhan, 2007: 11). Selain itu, Abdu as-Sabur Syahin berpendapat bahwa bahasa memiliki karakteristik dinamis, yaitu bergerak, berkembang, dan berubah mengikuti perkembangan sejarah dan masyarakat (Syahin, 1985: 14). Perubahan yang ditandai dengan adanya perkembangan bahasa berupa penambahan, pengurangan, adan penggantian dalam bidang–bidang bahasa ini dipengaruhi oleh faktor internal, dan eksternal. Pengaruh internal disebabkan oleh pengaruh bahasa itu sendiri berupa perubahan bunyi, bentuk, dan makna, baik secara gramatikal maupun leksikal. Sedangkan pengaruh eksternal disebabkan karena pengaruh bahasa asing yang ditandai oleh elemen–elemen pungutan dari bahasa lain (Cahyono, 1995: 358).
1
Sebelum Al Quran diturunkan, Bahasa Arab telah dipengaruhi oleh bahasa–bahasa lain, seperti sebuah kata dalam Bahasa Habasyah khaimah ()ﺧﻴﻤﺔ, dalam Bahasa Yunani funduq ()ﻓﻨﺪوق, dari Bahasa Latin dinar ()دﻳﻨﺎر. Selain itu ada kata ibrahim ( )اﺑﺮاﻫﻴﻢyang diambil dari Bahasa Ibrani, khinzir ( )ﺣﻨﺰﻳﺮdari Bahasa Suryani, syay ( )ﺷﺎيdari Bahasa India, ka`sun ( )ﻛﺄسdari Bahasa Persia, dan ‘arabah ( )ﻋﺮﺑﺔdari Bahasa Turki (Al Taunjiy, 2005: 90). Pada masa Kekhalifahan Umayyah hingga Turki Usmani, Bahasa Arab menjadi bahasa negara dan bahasa ilmu pengetahuan. Pada kurun waktu kekhalifahan tersebut, berbagai ekspansi banyak dilakukan ke berbagai belahan dunia, terutama Eropa dan itu menyebabkan Bahasa Arab banyak dipengaruhi oleh bahasa–bahasa asing selain Arab, seperti Bahasa Latin, Perancis, Spanyol, dan Inggris yang kesemua bahasa tersebut memberi pengaruh mencapai lebih dari delapan ratus kata (Rahman, 1975: 4). Sejak awal abad ketujuhbelas, yang ditandai dengan ekspedisi Napoleon ke Mesir, menjadi salah satu permulaan adanya kontak antara Dunia Timur (kawasan Timur Tengah) dengan Dunia Barat. Adanya ekspedisi tersebut juga menyebabkan berkembangnya hubungan yang berkelanjutan antara Mesir dan Dunia Arab pada awal abad kesembilanbelas (Chejne, tt: 104). Sejak saat itu, ilmu pengetahuan yang dulunya berkembang di Dunia
2
Arab mengalami penurunan dan beralih berkembang di Dunia Barat, dalam hal ini adalah Eropa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni (IPTEKS) dalam
berbagai
bidang
banyak
dipimpin
oleh
negara–negara
yang
menggunakan Bahasa Inggris, sehingga melahirkan kata dan istilah baru, terutama menggunakan Bahasa Inggris. Perkembangan IPTEKS tersebut memiliki pengaruh kepada berbagai bahasa selain Bahasa Inggris. Pengaruh tersebut terjadi juga dalam Bahasa Arab. Untuk itu, negara–negara yang menggunakan Bahasa Arab sebagai alat komunikasi resmi dan sebagai bahasa ilmu
pengetahuan
memerlukan
cara
dan
strategi
untuk
mengikuti
perkembangan IPTEKS tersebut (Hadi, tt: 2). Sesuai dengan perkembangan IPTEKS yang telah melahirkan kata dan istilah baru, hal tersebut berpengaruh pula pada terhadap Bahasa Arab. Perkembangan kosakata dan istilah dalam berbagai cabang IPTEKS melahirkan berbagai permasalahan kebahasaan seperti dalam bidang kesehatan, terutama dalam cabang ilmu kedokteran. Perkembangan menyebabkan
pengetahuan
kesulitan
dalam
manusia
menciptakan
yang
berlangsung
istilah–istilah
baru
cepat, yang
menyertainya. Dalam pembentukan istilah, para ilmuwan memiliki kebebasan dalam memilih kata–kata yang dipandang cocok dan sesuai dengan makna yang dimaksud (Qaniby, 2000: 53). Dewasa ini, salah satu cabang IPTEKS, yaitu bidang kedokteran mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terjadi sering dengan
3
banyaknya penelitian dan penemuan yang dilakukan di dunia barat mengenai bidang kesehatan, terutama dalam cabang ilmu kedokteran (Masna, 2012: 377). Ilmu kedokteran adalah ilmu yang membahas mengenai penyakit pada organ ataupun
organisme
manusia
atau
hewan,
serta
cara
dan
metode
penyembuhannya (http://kbbi.web.id/ilmu, diakses pada 1 Oktober 2015 pukul 05.00). Bersumber dari hasil penelitian yang sering dilakukan dan merujuk pada definisi ilmu kedokteran, maka banyak sekali penemuan yang muncul di masa ini dan banyaknya istilah baru menggunakan Bahasa Inggris/Latin dan Latin untuk menamainya, mulai dari organ, alat kedokteran, nama–nama penyakit, nama–nama obat, tindakan medis, tim medis, cabang spesialisasi profesi kedokteran dan masih banyak lagi. Kemunculan istilah–istilah baru bidang kedokteran menggunakan Bahasa Latin dan Inggris menjadi tantangan tersendiri bagi Bahasa Arab. Mengingat adanya istilah Latin dalam bidang kedokteran yang baru dan Bahasa Arab belum memiliki istilah baru tersebut, maka dibutuhkan upaya untuk membentuk istilah–istilah tersebut ke dalam Bahasa Arab menggunakan cara dan kaidah yang telah ada. Bentuk perkembangan Bahasa Arab dapat berupa perkembangan makna kata, pemunculan kata baru, penerjemahan, dan serapan dari bahasa lain,
ِ sebagai contoh Uterus (ﻢ اﻟ ﱠ ٌ ) َرﺣ, Ultrasonography (USG) (ﺼ َﺪى
ﻂ ُ )ﺗَ ْﺨ ِﻄ ْﻴ, carbon
()ﻛﺎرﺑﻮن, leukemia ()ﻟﻮﻛﻴﻤﻴﺎ, anaximenes, ()أﻧﻜﺴﻴﻜﺎﻧﺲ, dan carbohydrates
4
( )ﻛﺮﺑﻮﻫﻴﺪراتmerupakan Bahasa Arab yang diserap dari Bahasa Latin (Hadi, tt: 14). Perkembangan kata terus terjadi, terutama perkembangan Bahasa Arab, hal ini dapat dilihat dari kamus–kamus Bahasa Arab dari masa ke masa, dikarenakan salah satu fungsi kamus adalah memberikan penggunaan kata kepada penuturnya (Taufiqurrachman, 2008: 150). Perubahan bahasa meliputi komponen–komponen kebahasaan yang meliputi: perubahan dalam tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, tata kata, tata istilah, tata makna, tata tulisan dan penambahan kosakata. Untuk mengkaji problematika yang timbul karena adanya perubahan–perubahan dari setiap komponen kebahasaan tersebut, maka diperlukan rekayasa bahasa dalam membuat
perencanaan
yang
menyeluruh,
terperinci,
bertahap
dan
berkesinambungan (Sumarsono, 2004: 37). Dalam perkembangan ataupun perubahan yang terjadi dalam suatu bahasa tidak akan terlepas dari istilah yang dipergunakan oleh penuturnya. Hal ini dikarenakan berkembangnya istilah yang digunakan oleh penutur suatu bahasa membuktikan bahwa bahasa tersebut dinamis. Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkap konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang keilmuwan tertentu (Kridalaksana, 2009: 97) yang mengalami perkembangan perubahan bahasa. Sedangkan menurut Abdul Chaer (2007: 19), istilah adalah kata atau gabungan kata yang penggunaannya dibatasi oleh suatu bidang keilmuwan
5
tertentu. Dalam tulisan Baalbaki (1990: 500) disebutkan bahwa dalam Bahasa Arab sebuah istilah sering disebut dengan musthalach. Untuk itu dibutuhkan cara untuk mempertahankan kaidah–kaidah kebahasaan dalam bahasa Arab, terutama dalam pembentukan istilah baru seiring berkembangnya teknologi dan penerjemahan istilah–istilah tersebut ke dalam Bahasa Arab. Dengan demikian, penelitian ini akan memaparkan mengenai proses pembentukan Istilah Bahasa Inggris dan Bahasa Arab Modern pada bidang kedokteran Bahasa Arab Modern pada bidang kedokteran. Selain itu, peneliti juga memaparkan padanan Istilah Bahasa Inggris dan Bahasa Arab Modern pada bidang kedokteran serta persamaan dan perbedaannya. Hal ini dikarenakan terjadinya banyak perkembangan istilah baru dalam dunia kedokteran, sehingga diperlukan adanya penelitian penggunaan kaidah–kaidah kebahasaan yang tepat untuk menyikapi kemunculan istilah–istilah baru.
1.2.
Permasalahan Penelitian Seiring perkembangan istilah yang mayoritasnya Bahasa Inggris/Latin
dan sering digunakan dalam dunia kedokteran, berpengaruh pula dalam pembentukan istilah tersebut di dalam Bahasa Arab. Hal ini disebabkan karakteristik bahasa yang bersifat dinamis, maka permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pembentukan istilah–istilah kedokteran Bahasa Inggris/Latin dan Bahasa Arab?
6
2. Bagaimana bentuk istilah Bahasa Inggris dan Bahasa Arab pada bidang kedokteran? 3. Bagaimana persamaan dan perbedaan bentuk istilah Bahasa Inggris dan padanannya dalam Bahasa Arab pada bidang kedokteran?
1.3.
Objek Penelitian
a. Objek Formal Merujuk pada permasalahan penelitian di atas, maka objek formal dalam penelitian ini adalah pembentukan ragam istilah kedokteran di dalam Bahasa Arab. Ilmu kedokteran adalah ilmu yang membahas mengenai penyakit pada organ ataupun organisme manusia atau hewan, serta cara dan metode penyembuhannya (http://kbbi.web.id/ilmu, diakses pada 1 Oktober 2015 pukul 05.00). b. Objek Material Objek material yang merupakan sumber data dalam penelitian ini berupa istilah kedokteran yang terdapat di dalam kamus Bahasa Arab berjudul Al Mawrid Al Mazduj: Arabic–English karya Rohi Baalbaki dan Ramzi Munir Baalbaki dan Kamus Kedokteran “Nuria” Indonesia– Arab/Arab–Indonesia karya Dr. H. R. Taufiqurrahman, MA. Kamus ini dipilih untuk dijadikan sumber data karena memuat lebih banyak istilah kedokteran dalam bahasa Inggris, Latin, dan Arab. Penelitian
7
ini membahas tentang adanya pengaruh morfologis, sintaksis, ataupun semantis pada istilah–istilah kedokteran dalam Bahasa Arab.
1.4.
Ruang Lingkup Masalah Berdasarkan beberapa permasalahan dan objek penelitian di atas, maka
penelitian ini membatasi lingkup penelitiannya pada istilah Bahasa Arab dalam bidang kedokteran yang pembahasannya mencakup nama penyakit, alat kedokteran, nama virus, nama organ tubuh, cabang–cabang ilmu di bidang kedokteran, farmasi, dan istilah tindakan medis. Pembatasan pembahasan penelitian ini diambil, dikarenakan merujuk pada definisi ilmu kedokteran.
1.5.
Tujuan Penelitian Penelitian terhadap pembentukan istilah Bahasa Arab dalam bidang
kedokteran ini memiliki tujuan untuk: a. Mengetahui proses pembentukan istilah–istilah kedokteran dalam Bahasa Arab. b. Mengetahui
padanan
istilah-istilah
kedokteran
dari
Bahasa
Inggris/Latin dan Bahasa Arab. c. Mengetahui persamaan dan perbedaan istilah-istilah kedokteran dari Bahasa Inggris/Latin dan Bahasa Arab.
8
1.6.
Manfaat Penelitian Berkaitan dengan manfaat dari penelitian ini, peneliti berharap bahwa
penelitian ini memiliki dua manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat–manfaat yang dapat dimungkinkan untuk diambil diantaranya adalah a. Secara teoritis, tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi di dalam pengembangan teori kebahasaan, khususnya Bahasa Arab b. Secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penting bagi sejarah perkembangan bahasa, perbandingan bahasa, dan penelurusan etimologi kata yang masih terbatas dalam khazanah leksikografi Bahasa Arab. Selain itu juga diharapkan dapat menjadi dasar dalam mempelajari Bahasa Arab pada bidang kedokteran, terutama bagi para pemula dan pemerhati Bahasa Arab serta bidang kedokteran.
1.7.
Kajian Pustaka Penelitian mengenai pembentukan dan penerjemahan istilah–istilah
dalam Bahasa Arab pernah dilakukan oleh para ahli bahasa dan para peneliti terdahulu. Hasil penelitian tersebut dapat berupa laporan penelitian, tesis, disertasi, artikel, makalah dan buku, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Laporan penelitian yang berjudul Arabisasi Kata dan Istilah Asing yang disusun oleh Syamsul Hadi, dkk., berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1993. Hasil dari penelitian ini berupa kaidah–kaidah pembentukan dan penulisan bahasa serapan dari bahasa asing. Hal yang
9
membedakan antara laporan penelitian ini dengan penelitian saya adalah dalam hasil penelitian ini terfokus pada istilah Bahasa Arab yang terserap dari bahasa asing, sedangkan penelitian saya mengkaji tentang bentuk istilah terjemahan pada bidang kedokteran dari Bahasa Inggris/Latin ke dalam Bahasa Arab dan menjelaskan secara singkat proses pembentukan istilah tersebut (baik berasal dari proses serapan, terjemah, dan abreviasi). b. Tesis yang ditulis oleh Musthafa, mahasiswa UGM dengan judul Neologi Dalam Bahasa Arab (Kajian Morfologi, Sintaksis, dan Semantik Terhadap Istilah Komputer dan Internet Dalam Bahasa Arab Modern) pada tahun 2008 berisikan tentang pembentukan istilah atau kosakata baru Bahasa Arab dalam bidang internet dan komputer mengikuti kaidah neologi morfologi, neologi semantis, dan neologi peminjaman. Hal yang membedakan antara tesis ini dengan penelitian saya adalah dalam hasil penelitian ini terfokus neologi pembentukan istilah Bahasa Arab dalam bidang komputer dan internet, sedangkan penelitian saya mengkaji tentang bentuk istilah terjemahan pada bidang kedokteran dari Bahasa Inggris/Latin ke dalam Bahasa Arab dan menjelaskan secara singkat proses pembentukan istilah tersebut (baik berasal dari proses serapan, terjemah, dan abreviasi). c. Tesis yang ditulis oleh Herlita Susanti (mahasiswa UGM) pada tahun 2014 berjudul Idiom Bahasa Inggris Berunsus Bagian Tubuh Manusia dan Padanannya dala Bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa dari segi
10
bentuk idiom Bahasa Inggris berbentuk frasa dan klausa, sedangkan idiom dalam Bahasa Indonesia berbentuk kata ulang, frasa, klausa dan kalimat. Selain itu, dari segi makna, (1) dalam pemilihan kata dan makna terdapat kesamaan, (2) dalam pemilihan kata berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan makna, dan (3) dalam pemilihan kata sama, akan tetapi memiliki perbedaan dalam makna. Adapun penyebab persamaan dan perbedaan dari kedua idiom dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia adalah faktor budaya yang berbeda antara pengguna Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. d. Tesis yang berjudul Kesepadanan Penerjemahan Idiom dalam Novel Laskar
Pelangi
dan
Mujigae
Hakyo
yang
ditulis
oleh
Eka
Hardiananingsih, mahasiswi UGM pada tahun 2013 dengan temuan penelitian adalah bahwa tidak semua strategi yang dikemukakan oleh Mona Baker muncul dalam penerjemahan novel Laskar Pelangi, dkarenakan adanya perbedaan struktur linguistik antara kedua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Korea. Selain itu, metode parafrase adalah metode yang dapat digunakan untuk menerjemahkan idiom dalam kedua novel ini. Adapun kesepadanan maknanya, penerjemahan semua idiom dalam kedua novel berbahasa Indonesia dan Bahasa Korea memiliki kesepadanan makna dari segi informasi, dan isi pesan yang disampaikan dari bahasa sumber memiliki kesamaan dengan isi pesan yang disampaikan dalam bahasa sasaran.
11
e. Disertasi yang ditulis oleh Rika Astari, mahasiswi UGM dengan judul Istilah Serapan Bahasa Inggris/Latin Dalam Bahasa Arab pada tahun 2015. Disertasi ini berisikan mengenai secara fonologis, Bahasa Inggris/Latin mempunyai lima konsonan yang tidak terdapat dalam Bahasa Arab. Sedangkan secara morfologis, bentuk simpleks ada yang berupa nomina, verba, ajektiva, nomina deverba, partisipal aktif, partisipal pasif dan nomina instrumental. Adapun secara semantis adalah istilah serapan Bahasa Arab ada yang mengalami perubahan makna, akan tetapi pada bidang sains, Bahasa Arab tidak banyak menyerap istilah asing. Hal yang membedakan antara disertasi ini dengan penelitian saya adalah dalam hasil penelitian ini terfokus istilah serapan yang berasal dari Bahasa Inggris, sedangkan penelitian saya mengkaji tentang bentuk istilah terjemahan pada bidang kedokteran dari Bahasa Inggris/Latin ke dalam Bahasa Arab dan menjelaskan secara singkat proses pembentukan istilah tersebut (baik berasal dari proses serapan, terjemah, dan abreviasi). f. Tesis yang ditulis oleh Karlina Denistia yang berjudul Nominalisasi Agen Berimbuhan {-er}, {-ist}, {-ian} dalam Bahasa Inggris dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia menemukan bahwasannya akhiran {-er} dan {ist} memiliki makna saat melekat pada kata kerja, kata sifat, dan kata benda. Sedangkan akhiran {-ian} memiliki makna saat melekat pada kata benda dan kata sifat. Alomorf dari akhiran {-ian} adalah –ian / n/ dan – ean / n/. Pembentukan agen dalam bahasa Indonesia sebagai padanan
12
sufiks {-er}, {-ist}, dan {-ian} dalam bahasa Inggris terdiri dari proses afiksasi yang mencakup prefiksasi dan sufiksasi dan proses komposisi. Sebagian besar padanan bahasa Indonesia untuk sufiks {-er} dalam bahasa Inggris mencakup prefiksasi berkata dasar verba dan komposisi nomina + nomina. Sebagian besar padanan bahasa Indonesia untuk sufiks {-ist} dan {-ian} dalam bahasa Inggris mencakup prefiksasi berkata dasar verba, sufiksasi asing -is, dan komposisi nomina + nomina. Klasifikasi analisis kontrastif pembentukan agen menunjukkan bahwa sufiks {-er} sebagian besar mengalami fenomena konvergen dalam padanannya dengan bahasa Indonesia. Sebagian besar data menunjukkan bahwa sufiks {-ist} mengalami fenomena tiadanya perbedaan dalam padanannya dengan bahasa Indonesia. Akhirnya, sebagian besar data menunjukkan bahwa sufiks {-ian} mengalami fenomena tiadanya persamaan dalam padanannya dengan bahasa Indonesia. Dari beberapa kajian pustaka di atas dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah objek penelitian, yaitu bidang kedokteran. Selain itu, penelitian ini juga berfokus dalam penelitian model penerjemahan istilah dari Bahasa Inggris/Latin ke dalam Bahasa Arab. Karena belum banyaknya dilakukan penelitian tentang penerjemahan, sehingga perlu dilakukan penelitian dalam bidang penerjemahan.
13
1.8.
Landasan teori Di dalam membahas pembentukan istilah baru Bahasa Arab, perlu
diketahui teori–teori kebahasaan yang sesuai dan penjelasan mengenai istilah dan proses pembentukan istilah di dalam Bahasa Arab.
1.8.1. Teori Kontrastif Istilah kontrastif pertama kali dipopulerkan oleh Lado (1957) dalam karyanya berjudul Linguistik Across Culture yang menjelaskan mengenai caracara mengkontraskan dua bahasa. Di dalam buku tersebut diuraikan analisis kontrastif (Anakon) antara Bahasa Inggris dengan Bahasa Spanyol, beserta suplemen contoh-contoh lain dari Bahasa Cina, Muangthai, dan sebagainya. Lado (1957) menjelaskan bahwa mengkontraskan bahasa pertama (B1) dengan
bahasa
yang
akan
dipelajari
(B2)
dapat
meramalkan
dan
mendeskripskan pola-pola yang akan menyebabkan kesulitan dan kemudahan belajar bahasa. Selain itu, dia menganjurkan agar pengkontrasan itu dilakukan terhadap fonologi, struktur gramatikal, kosakata, serta sistem tulisan. Berikut adalah prosedur dan langkah yang diterapkan Robert Lado dalam analisis kontrastif (Parera, 1997: 105): 1. Tempatkan satu deskripsi struktural yang terbaik tentang bahasa-bahasa yang bersangkutan yang mencakup tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, serta bentuk, makna, dan distribusi.
14
2. Rangkum dalam satu ikhtisar yang terpadu semua struktur. Rangkuman tersebut berisi tentang segala kemungkinan pada setiap tataran analisis bahasa yang diteliti dan dibandingkan. 3. Bandingkan dua bahasa itu struktur demi struktur dan pola demi pola. Sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan pola-pola. Selain itu juga ramalan tentang kemungkinan-kemungkinan hambatan dan kesulitan dalam pembelajaran bahasa-bahasa tersebut. Menurut Kridalaksana (1993: 15) dan Lubis (2009: 23), analisis kontrastif adalah metode sinkronik dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis seperti pengajaran bahasa dan terjemahan. Parera (1997: 98) menambahkan bahwa analisis kontrastif akan melahirkan terjadinya interferensi, alih kode, dan campur kode antara B1 dan B2. James (1986: 3) menguraikan bahwa analisis kontrastif adalah satu upaya yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik (yaitu kontrastif, bukan komparatif dan berlandaskan asumsi bahwa bahasabahasa dapat dibandingkan (maksudnya analisis kontrastif selalu berkaitan dengan pasangan dua bahasa). Secara umum, analisis kontrastif atau contrastive analysis adalah sebuah analisis untuk memperlihatkan perbedaan dan persamaan elemenelemen, baik berupa sistem atau struktur suatu bahasa dengan bahasa lain yang
15
hasilnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan dalam pengajaran dan penerjemahan. Sama halnya secara teoritis, analisis kontrastif bertujuan untuk menemukan atau membuktikan persamaan maupun perbedaan dalam berbagai bentuk, karakteristik, dan aspek kebahasaan antara bahasa-bahasa yang dibandingkan, sementara secara praktis kajian ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip kebahasaan yang bermanfaat untuk diterapkan untuk keperluan pengajaran, pembelajaran, dan penerjemahan.
1.8.2. Pengertian Istilah Istilah menurut Al Jarjani (1978: 28) yaitu sebuah kata yang bermakna lain, berbeda dengan makna bahasa untuk menjelaskan makna tertentu. Adapun di dalam Bahasa Arab sendiri, istilah sering disebut dengan musthalach (Baalbaki, 1990: 500). Hal serupa juga diungkapkan oleh (Kridalaksana, 2009: 97) dan Abdul Chaer (2007: 19) bahwa istilah adalah kata atau gabungan kata yang mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat khusus yang dibatasi oleh suatu bidang keilmuan tertentu.
1.8.3. Pembentukan Istilah Bahasa Arab Istilah dibentuk dari sebuah kata yang dipandang cocok untuk mewakili dan menggambarkan suatu konsep tertentu maupun sebuah kata yang diserap dari bahasa asing dikarenakan tidak terdapat kata yang dipandang sesuai untuk mewakili suatu konsep tertentu (Chaer, 2007: 91). Selain itu Abdul Chaer menambahkan bahwa proses pembentukan istilah dapat dilakukan melalui 16
beberapa proses, diantaranya konversi, afiksasi, reduplikasi, komposisi, abreviasi, dan analogi (Chaer, 2007: 102) Menurut Abdul Chaer (2008: 37), Bahasa Arab dalam tipologi morfologi diklasifikasikan sebagai bentuk bahasa fleksi, yaitu bahasa yang mengalami perubahan internal dalam akar kata yang meliputi perubahan paradigmatis baik itu pada kata kerja (konjugasi) maupun pada kata benda (deklinasi) (Keraf, 1990: 55), sebagaimana Bahasa Latin dan Bahasa Itali. Bentuk bahasa fleksi mempergunakan proses atau penambahan afiks pada akar kata untuk membatasi makna gramatikalnya (Kridalaksana, 2008: 25, 61). Berdasarkan akarnya, menurut Keraf (1990: 64), Bahasa Arab tergolong dalam bahasa yang berakar disilabis, artinya akar kata ditandai oleh tiga konsonan sebagai dasar pembentukan katanya, dan sekaligus menjadi pendukung makna kata. Sebagaimana bahasa fleksi, dalam proses morfologinya, Bahasa Arab dapat menggunakan proses yang meliputi fleksi dan derivasi (Chaer, 2008: 37). Menurut pendapat Kridalaksana (2008: 93) mengenai proses fleksi atau infleksi adalah perubahan kata yang menunjukkan berbagai hubungan gramatikal, mencakup deklanasi nomina, pronomina, dan adjektiva serta konjugasi verba. Dalam Bahasa Arab, istilah fleksi atau infleksi sering disebut dengan tasrif lughawi (Faisal, 2007: 42). Sedangkan derivasi adalah proses pengimbuhan afiks non infleksi pada dasar untuk membentuk kata (Kridalaksana, 2008: 47) dengan mengubah suatu kata menjadi kata baru yang menduduki kelas kata atau kategori kata yang berbeda (Kentjono, 2009: 153). Penggunaan istilah
17
derivasi dalam Bahasa Arab sering menggunakan istilah tasrif istilahy (Faisal, 2007: 42). Disebabkan oleh akarnya yang disilabis, maka muncullah pola standarisasi bentuk kata yang digunakan dalam proses morfologi yang disebut dengan wazan atau miqyas. Menurut Ar Rajihy (1999: 10) pola standarisasi wazan dan miqyas adalah menyatukan tiga huruf ke dalam sebuah kata, fa’ala. Huruf fa sebagai landasan pola huruf pertama, Huruf ‘ain sebagai landasan pola huruf kedua, dan huruf la sebagai landasan pola huruf ketiga. Untuk membentuk sebuah kata, maka pola standarisasi bentuk kata ini mengikuti forma shighah tertentu. Forma adalah struktur bermakna yang bergabung dengan organisasi substansi fonis dan grafis (Kridalaksana, 2008: 65). Secara semantis, menurut Bakalla (1984: 12–13) terdapat tiga cara dalam membentuk sebuah kosa kata baru atau istilah, yaitu pertama, taulid adalah dengan memunculkan kata yang lama atau berdekatan maknanya dengan makna yang baru. Kedua, qiyas atau majaz adalah dengan membuat analog terhadap kata asing ke dalam Bahasa Arab. Ketiga, dengan cara tarjamah, yaitu menerjemahkan dalam bentuk klise dari model asing tersebut. Bakalla juga menambahkan bahwa secara morfologis terdapat tiga cara yang digunakan untuk membentuk sebuah kosakata atau istilah baru, yaitu derivasi, abreviasi, dan arabisasi. Menurut Qanibi (2000: 55), metode pembentukan Bahasa Arab ada tujuh, diantaranya adalah: pertama,isytiqaq atau derevation, adalah perubahan sebuah bentuk ke bentuk lainnya dalam kata (Qanibi, 2000: 136). Derivasi
18
merupakan proses pengimbuhan atau penambahan afikz non–inflektif pada dasar untuk membentuk kata (Kridalaksana, 2008: 47) atau mengubah suatu kata menjadi kata baru yang menduduki kelas kata atau kategori kata yang berbeda (Kentjono, 2009: 153). Dalam istilah Arab, derivasi sering dikenal dengan tasrif istilachy(Faisal, 2007: 42) atau tasrif ma’nawy (Qawabah, 1998: 13). Kedua, qiyas, majaz atau analogy yaitu penempatan suatu kata pada padanannya (Qanibi, 2000: 135). Ketiga, taulid atau generation or rebirth of old secara leksikal adalah pembaharuan sesuatu atau kosakata baru yang tidak terdapat di dalam Bahasa Arab (Al Azhariy, tt: 478). Sedangkan secara istilah adalah setiap kata asli dalam Bahasa Arab yang mengalami perubahan dalam pemakaian setelah masa riwayat (Qanibi, 2000: 136). Keempat, tarjamah atau translation, merupakan proses perpindahan makna dari sebuah kata pada suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya dalam pemahaman yang sama (Qanibi, 2000: 136). Penerjemahan merupakan pengalihan amanat antar budaya atau antar bahasa dalam tataran gramatikal dan leksikal dengan maksud, efek, atau wujud yang sedapat mungkin tetap dipertahankan (Kridalaksana, 2008: 181). Kelima, adalah tadkhil atau integration, yaitu proses penyerapan kata pinjaman ke dalam Bahasa Arab yang tidak mengikuti pola atau sistem pelafalan Arab dan kaidah morfologis Arab (Khasarah, 2008: 335). Keenam, ta’rib atau arabization, adalah penyerapan kata asing ke dalam Bahasa Arab dengan pengurangan, penambahan atau metatesis (Qanibi, 200: 136).
19
Ketujuh, nacht atau abreviation, yaitu proses penanggalan atau pemendekan yang meringkas leksem dasar atau gabungan leksem sehingga membentuk status baru pada kata (Kridalaksana, 2009: 159). Menurut Al Dahdah (1993: 643), nacht adalah kata yang tersusun dari dua kata atau lebih dengan menanggalkan sebagian huruf pada masing–masung kata yang disatukan dengan penyelasaran lafal dan makna. Sedangkan Al Khulli (1982: 45) berpendapat tentang nacht, adalah pembentukan sebuah kata baru dengan penyelarasan antara kata–kata pembentuknya untuk keperluan tertentu. Bentuk – bentuk nacht atau abreviasi diantaranya adalah pertama, singkatan adalah suatu hasil dari proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf yang dieja maupun tidak dieja. Kedua penanggalan, ialah haul dari pemendekan yang mengekalkan salah satu unsur pada leksem. Ketiga akronim, yaitu hasil yang berupa sebuah kata yang memenuhi haidah fonotaktik melalui sebuah proses pemendekan kata dengan cara penggabungan huruf atau suku kata atau bagian lainnya yang ditulis dan dilafalkan. Keempat kontraksi, kata yang terbentuk dari proses pemendekan dengan cara meringkas leksem atau gabungannya, dan kelima lambang huruf (Kridalaksana, 2009: 162-163) Sedangkan menurut Khasarah (2008: 11), secara garis besar ada tiga metode dalam pembentukan istilah, yaitu pertama, tarjamah atau translation merupakan salah satu cara utama dalam pembentukan istilah, yaitu dengan cara memadankan istilah asing dengan istilah dalam Bahasa Arab yang sesuai.. Kedua, iqtiradh atau borrowing, adalah peminjaman atau penyerapan kata
20
asing ke dalam Bahasa Arab (Khasarah, 2008: 237), dan ketiga adalah taulid atau generation or rebirthof old yaitu membentuk suatu kata baru yang mewadai atau mewakili konsep kata asing tersebut (Khasarah, 2008: 11). Jika ditinjau dari perkembangan kata serapan bahasa penerima, kontak bahasa memiliki sifat sebagai berikut: pertama, sifat ekspansif: ekspansi dari bahasa (budaya) pemberi ke dalam bahasa penerima: kedua, sifat adiktif: kata serapan akan hidup berdampingan dengan bahasa penerima. Keduanya digunakan secara bersamaan berdasarkan pilihan masyarakat penerima tetapi terkadang memiliki perbedaan makna, ketiga, sifat replansif: bentuk kosakata serapan menggantikan distribusi kosakata lama: keempat, penciptaan baru atau neologisme: pembentukan kosakata baru berdasarkan contoh dan model yang sudah ada, hal ini dikarenakan terjemahan, terjemah serapan, reproduksi penafsiran, dan reproduksi hilaridis (Parera, 1987: 155). Selain pendapat para linguis Arab dalam menyikapi perkembangan bahasa terutama istilah dalam ilmu pengetahuan akibat adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dewasa ini, membuat beberapa Lembaga-Lembaga Bahasa Arab di kawasan Timur Tengah memberikan beberapa keputusan terkait pembentukan istilah yang terjadi di masyarakat. Beberapa lembaga Bahasa Arab yang mengeluarkan keputusan tersebut diantaranya adalah : 1. Lembaga Bahasa Arab di Mesir
21
Terdapat beberapa ketentuan yang diatur oleh Pusat Lembaga Bahasa Mesir dalam penerjemahan kata asing ke dalam Bahasa Arab. Diantara ketentuan-ketentuan tersebut adalah a. Mengutamakan terjemah satu kata. Contoh: istilah komputer diterjemahkan menjadi chasub ( )ﺣﺎﺳﻮبbukan chasub aliy (ﺣﺎﺳﻮب
)آﻟﻲ b. Mengutamakan terjemahan dengan mengikuti struktur/pola atau forma.
Contoh:
kata
berunsur
meter
diterjemahkan
dengan
pola/struktur muf’al ()ﻣﻔﻌﻞ, kata berunsur scope diterjemahkan
mengikuti
pola/struktur
mif’al
()ﻣﻔﻌﻞ.
Kata
berunsur
graph
diterjemahkan mengikuti pola/struktur mif’alah ()ﻣﻔﻌﺎﻟﺔ. Kata yang berunsur able diterjemahkan mengikuti forma verba impervektum pasif atau fi’il mudhari’ majhul (ﻣﺠﻬﻮل
)ﻓﻌﻞ ﻣﻀﺎرع, kata berunsur oid,
form, like diterjemahkan mengikuti forma relation atau nisbah ()ﻧﺼﺒﺔ. c. Penerjemahan bentuk terikat berupa awalan a- dan an- diterjemahkan menjadi la ()ﻻ, hyper- diterjemahkan menjadi farth ()ﻓﺮط, hypo diterjemahkan menjadi habth ()ﻫﺒﻂ.
22
d. Penerjemahan bentuk terikat berupa akhiran –gen diterjemahkan menjadi muwallidah ()ﻣﻮﻟﺪة, -oid diterjemahkan menjadi syibh ()ﺷﺒﻪ (Amin, 1984: 175-185). Menurut Pusat Lembaga Bahasa Mesir, muwallad adalah kata yang dibentuk atau dipakai yang berbeda pemakaiannya dengan pemakaian kata tersebut pada umumnya oleh orang Arab (Amin, 1984: 12). Menurut Pusat Lembaga Bahasa di Mesir taulid ( )ﺗﻮﻟﻴﺪmeliputi analogi, derivasi, serapan, distorsi bentuk dan makna kata, dan istijal ()اﻻرﺗﺠﺎل. Namun, taulid dengan distorsi bentuk dan makna kata dan irtijal oleh Pusat Lembaga Bahasa Mesir dianjurkan untuk dihindari (Amin, 1984: 13). Pemakaian wazan (model pola) fi’aalah ( )ﻓﻌﺎﻟﺔuntuk membentuk istilah yang mengandung arti profesi, fa’laan ( )ﻓﻌﻼنuntuk membentuk istilah yang mengandung arti perubahan, fa’aal ( )ﻓﻌﺎلdan fu’aal ()ﻓﻌﺎل untuk membentuk istilah yang mengandung arti penyakit, dan taf’aal ()ﺗﻔﻌﺎل untuk membentuk istilah yang mengandung arti lebih banyak (Zarkan, 1998: 153-155).
23
Istilah yang dibentuk dengan ta’rib ( )اﻟﺘﻌﺮﻳﺐatau disebut mu’arrab (kata serapan) dibentuk menyesuaikan tradisi pelafalan bunyi yang ada pada orang Arab. Kata asing yang tersusun dari bentuk terikat berupa akhiran – logy diserap menjadi lujiyaa (( )ﻟﺠﻴﺎZarkan, 1998: 165).
2. Lembaga Bahasa Arab di Iraq Selain Lembaga Bahasa Arab di Mesir, Lembaga Bahasa Arab di Iraq juga mengeluarkan beberapa ketentuan umum mengenai pembentukan istilah baru dalam Bahasa Arab, diantaranya adalah (Zarkan, 1998: 195196): a. Pengutamaan istilah Arab dalam pemakaiannya dari istilah serapan b. Pengutamaan warisan Bahasa Arab yang telah ada dari pembentukan istilah baru (pemantapan istilah yang telah ada) c. Penghindaran istilah betukan yang aneh didengar atau sulit dilafalkan oleh orang Arab d. Penghindaran istilah bentukan yang bersifat polisemi 3. Lembaga Bahasa di Lebanon Lembaga Bahasa Arab di Lebanon pun juga ikut mengeluarkan keputusan mengenai ketemtuan umum dalam pembentukan istilah Bahasa Arab, diantaranya adalah (Zarkan, 1998: 208-209):
24
a. Istilah baru yang dibentuk dalam Bahasa Arab bukan dengan serapan harus benar-benar menunjukkan maksud istilah asing yang dirujuk dengan tingkat akurasi tinggi b. Istilah baru yang dibentuk dalam Bahasa Arab bukan dengan serapan harus menunjukkan fungsi atau peran sebenarnya dari isrilah asing yang dirujuk c. Istilah baru yang dibentuk dalam Bahasa Arab sebagai padanan istilah asing dipilih dari kata arab yang benar-benar warisan Arab. d. Istilah baru yang dibentuk dengan ta’rib atau serapan mengikuti tradisi pelafalan orang Arab Istilah asing yang dirujuk dalam pembentukan istilah merupakan istilah asli bahasa yang dirujuk bukan pinjaman dari bahasa asing lainnya Selain Lembaga Bahasa Arab yang berada di Mesir, Iraq, dan Lebanon, secara umum Pusat Lembaga Bahasa Arab yang berada di Kairo, Mesir mengeluarkan beberapa keputusan yang dituangkan dalam Majmu’ah Qararat Al Ilmiyyah mengenai metode penerjemahan dalam pembentukan istilah baru pada Bahasa Arab, diantaranya adalah sebagai berikut (Amin, 1984: 175-186): 1. Sufiks logy yang mengacu pada ilmu diterjemahkan dengan marbutah (ة/ )هpada akhir kata, seperti pada istilah jiyulujiyyah ( )ﺟﻴﻮﻟﻮﺟﻴﺔdan istilah susiyulujiyyah ()ﺳﻮﺳﻴﻮﻟﻮﺟﻴﺔ
25
2. Huruf p diucapkan dengan huruf ba` ()ب 3. Lebih mengutamakan susunan satu kata daripada dua kata untuk membentuk suatu istilah baru, jika memungkinkan, maka langkah yang diambil adalam menggunakan jalur terjemah langsung (harfiah) 4. Terjemah
bentuk-bentuk
penemuan,
pengukuran
dan
ilustrasi/penggambaran. Seperti jenis penemuan, maka digunakan pola mif’aal (( )ﻣﻔﻌﺎلscope), untuk pengukuran digunakan pola mif’al ()ﻣﻔﻌﻞ (meter), dan penggambaran digunakan pola mif’alah (( )ﻣﻔﻌﻠﺔgraph). 5. Terjemahan prefiks an-, a- dengan la ()ﻻ, prefiks an atau a yang mengacu pada makna negatif (peniadan) diterjemahkan dengan la nafiyyah murakkabah (اﻟﻤﺮﻛﺒﺔ
)ﻻ اﻟﻨﺎﻓﻴﺔ
(tersusun) bersama kata yang dimaksud.
Seperti istilah al laajfan (( )اﻟﻼﺟﻔﻦablepharia) dan al laamiqlah () اﻟﻼﻣﻘﻠﻪ (anophthalmus) 6. Penerjemahan prefiks hyper dengan farth ()ﻓﺮط, contoh farth al haasiyah (اﻟﻬﺎﺳﻴﺔ
)ﻓﺮط
(hypersensitiveness), sedangkan penerjemahan prefiks hypo
dengan habth ()ﻫﺒﻂ, contoh habth al dhaghath (اﻟﻀﻐﻂ
26
( )ﻫﺒﻂhypotension)
7. Terjemahan kata yang berakhiran scope; penerjemahan kata-kata asing yang berakhiran scope dilihat dari maknanya. Jika memungkinkan diderivasi dengan ism al ‘alah yang berpola mif’aal ()ﻣﻔﻌﺎل, maka
ditambahkan ya
()ي.
Jika tidak memungkinkan derivasi dengan ism al
‘alah dari segi makna, maka pembentukan dengan ism al ‘alah yang disifati pekerjaan dari alat tersebut. Contoh teleskop (( )ﻣﻜﺴﺎفmiksaaf) 8. Kata-kata asing yang berakhiran able diterjemahkan dengan menggunakan fi’il mudhari mabni lil majhul (kata kerja pasif), dan kata benda dengan bentuk nomina deverba sina’iy. Contoh eatabel (( )ﻳﺆﻛﻞyu`kal), eatability (( )ﻣﺄﻛﻮﻟﻴﺔma`kuuliyyah) 9. Diterjemahkan kata berakhiran gen dengan kata muwallidah ()ﻣﻮﻟﺪة. Contoh: antigen (اﻟﻤﻀﺾ (اﻟﻤﺮﺳﺐ
( )ﻣﻮﻟﺪةmuwallidah al madhadhi). Precipitinogen
( )ﻣﻮﻟﺪةmuwallidah al mursab)
10. Terjemahan sufiks oid dengan kata syibh ()ﺷﺒﻪ. Contoh: colloid (
( )اﻟﻐﺮاﺋﻲsyihb gharaa`iy), muchoid (( )ﺷﺒﻪ ﻣﺨﺎﺗﻲsyibh mukhaatiy)
27
ﺷﺒﻪ
11. Terjemahan kata yang berakhiran -oid dihubungkan dengan alif ( )اdan nun ()ن. Kata-kata asing yang berakhiran -oid yang mengacu pada penyerupaan dan teori yang diterjemahkan ke istilah-istilah ilmiah dengan cara menghubungkan kata-kata tersebut dengan alif ( )اdan nun ()ن. Contoh: colloid (( )ﺳﻤﺴﻤﺎﻧﻲsumsimaaniy), yakni menyerupai lem dan racun 12. Terjemahan kata yang berakhiran -oid,-form, dan -like dihubungkan dengan alif ( )اdan nun ()ن. Menggunakan bentuk kata yang dihubungkan dengan alif ( )اdan nun ()ن. untuk istilah-istilah kedokteran Eropa, seperti oid,-form, dan -like. 13. Pola kata untuk unsut-unsur Kimia diterjemahkan dengan mengambil huruf-huruf arab yang dasar (pokok), dengan tidak meninggalkan pendapat pakar yang ahli dibidang tersebut. Selain keputusan di atas, Majma’ Lughah al Arabiyyah di Mesir juga mengeluarkan keputusan mengenai metode ta’rib, diantara adalah (Amin, 1984: 189-195): 1. Cara pengucapan atau artikulasi kosakata mu’arrab seperti diucapkan orang Arab
28
2. Jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembentkan istilah mu’arrab, maka diambil kata yang paling mudah pengucapannya 3. Kata-kata asing yag berakhiran -a atau -gie yang mengacu pada makna ilmu di ta’rib kan dengan huruf ta diakhir kata 4. Pola untuk harakat asing pada awal nama dengan hamzah yang diberi tanda baca sesuai pengucapannya, contoh aadaz (( )آدﻣﺰadams) 5. Harakat a pada akhir nama dipadankan dengan ta marbutah( ( ةatau alif mad, contoh america (( )اﻣﺮﻳﻜﺎ( )اﻣﺮﻳﻜﻴﺔamrikiyyah atau amrikaa), harakat e dipadankan dengan ha marbutah, contoh neitzsche (( )ﻧﻴﺘﺸﻪniytsyih) 6. Untuk nama-nama geografis tidak diperkenankan menggunakan ‘adah at ta’rif (kata sandang), contoh ( )ﻧﻴﺠﻴﺮﻳﺎniyjiyriyaa bukan ( )اﻟﻨﻴﺠﻴﺮﻳﺎan niyjiyriyaa.
1.8.3.1.
Teori Penerjemahan
Bahasa memiliki beberapa karakteristik, baik dari sistem, dan sifat yang membentuknya, diantaranya adalah bahwa bahasa memiliki sifat arbitrar, yaitu keterikatan antara lambang dan yang dilambangkan tidak bersifat wajib dan dapat berubah (Syaifulaziz, 2014). Selain itu, bahasa juga bersistem terstruktur (Machali, 2000: 18). Mengenai pengaruh budaya
29
terhadap suatu bahasa, Simatupang (2000: 56) berpendapat bahwa dalam sebuah bahasa tidak akan pernah terhindar dari budaya penuturnya dan kosakata yang digunakan dalam kesehariannya. Hal ini dikarenakan kosakata adalah bagian dari konsep yang terdapat dalam suatu budaya (Pelawi, 2014: 33). Dalam penerjemahan, seorang penerjemah harus mengerti tentang konsep struktur yang terdapat dalam bahasa yang akan diterjemahkan (bahasa sasaran) dan memperhatikan adanya sebuah struktur di dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dalam hal ini, Nida (1974: 21) mengelompokkannya menjadi dua, yaitu struktur lahir, adanya persepsi dalam bentuk atau ukuran dalam bahasa, dan struktur batin, adanya konsepsi berupa makna, yang keduanya harus diperhatikan oleh penerjemah dalam melakukan penerjemahan. Menurut Fahrurrozi (2003: 1), penerjemahan adalah pengalihbahasaan makna atau pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dalam prosesnya, penerjemahan harus mencakup tiga unsur di dalamnya, yaitu bahasa sumber, makna atau pesan, dan bahasa sasaran. Hal serupa juga diungkapkan Simatupang (2000: 1) mengenai pengertian penerjemahan. Menurutnya, penerjemahan adalah suatu proses pengalihan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan mengungkapkannya kembali dalam bahasa sasaran dengan bentuk bahasa sasaran yang mengandung makna yang sama dengan bahasa sumber. Dalam menerjemahkan ada beberapa hal yang harus
30
diperhatikan, diantaranya adalah aturan gramatikal, aturan kolokasi, aturan fonologi, dan aturan tatakrama bahasa (Simatupang, 2000: 4). Pendapat Burdah mengenai terjemah tidak jauh berbeda dengan Fahrurrozi dan Simatupang, bahwa penerjemahan adalah usaha memindahkan pesan dari teks (bahasa) sumber dengan padanannya ke dalam teks (bahasa) sasaran (Burdah, 2003: 9). Newmark (1988: 5) berpendapat mengenai definisi penerjemahan, “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text.” Sedangkan menurut Machali (2000: 5) berpendapat bahwa penerjemahan adalah upaya menggantikan teks dari bahasa sumber dengan teks yang sepadan dengan bahasa sasaran dan makna yang sesuai dengan maksud pengarang. Selain itu, menurut Pelawi (2014: 36), kegiatan penerjemahan tidak jauh berbeda dengan pemadanan dan pemindahan budaya berbahasa dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Maka dari itu, kegiatan penerjemahan melibatkan dua bahasa atau lebih seperti dalam tipologinya. Dalam
penerjemahan
sebuah
istilah
atau
kata,
tidak
harus
diterjemahkan dalam bentuk satu kata juga, akan tetapi dapat diterjemahkan dalam bentuk dua kata atau lebih (Setia, 2012: 78-79), dalam hal ini dapat berbentuk frasa dan / atau klausa. Kata adalah morfem atau kombinasi morfem yang merupakan satuan terkecil dalam bahasa yang dapat diujarkan dalam bentuk bebas, berdiri
31
sendiri, atau memiliki pola (Kridalaksana, 2008: 110). Adapun ilmu yang mempelajari tentang pembentukan kata disebut Morfologi, adalah salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang morfem dan kombinasi– kombinasinya, atau salah satu bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian–bagiannya yang berupa morfem (Kridalaksana, 2008: 159). Dalam morfologi, ada fokus pembahasan yaitu tentang forma (pola) atau wazan. Menurut Khasarah (2008: 49-61) diantara cara dalam menerjemahkan adalah pertama, penerjemahan langsung. Kedua, terjemah struktur (tarjamah bi al abniyah) adalah penerjemahan dengan mengikuti struktur yang dibentuk. Struktur adalah organisasi pelbagai unsur bahasa yang masing-masing merupakan pola bermakna (Kridalaksana, 2008: 228). Struktur bentukan ini telah ada dalam tradisi morfologi Arab dikenal dengan bina’ atau wazan. Menurut Ar-Rajihy (1999: 10) pola standarisasi wazan dan miqyas adalah menyatukan tiga huruf ke dalam sebuah kata, fa’ala. Huruf
sebagai landasan pola huruf pertama, Huruf
huruf kedua, dan huruf
( فfa`)
‘( عain) sebagai landasan pola
( لlam) sebagai landasan pola huruf ketiga. Untuk
membentuk sebuah kata, maka pola standarisasi bentuk kata ini mengikuti forma shighah tertentu. Forma adalah struktur bermakna yang bergabung dengan organisasi substansi fonis dan grafis (Kridalaksana, 2008: 65).
32
Pola (wazan) pembentukan istilah dalam Bahasa Arab berasal dari beberapa pola dasar yang kemudian ditambahkan dengan sawabiq dan lawachiq (afiksasi). Adapun pola – pola dasar dalam pembentukan istilah diantaranya adalah fa’ala-yaf’ulu (– ﻳَـ ْﻔﻌُﻞ
ُ
)ﻓَـ َﻌ َﻞ, fa’ala-yaf’ilu ()ﻓَـ َﻌ َﻞ – ﻳَـ ْﻔ ِﻌ ُﻞ,
fa’ala-yaf’alu ()ﻓَـ َﻌﻞ – ﻳَـ ْﻔ َﻌﻞ, fa’ila-yaf’ulu (( )ﻓَ ِﻌﻞ – ﻳَـ ْﻔﻌُﻞAstari, 2015: 154).
ُ
َ
ُ
َ
Selain itu dalam buku Abniyatul Asma’ wal Af’al wal Mashadir, AsShuqliy (1999: 445–479) menyebutkan ada lebih dari 1500 pola yang berupa abniyah assanaiy, abniyah as tsulatsiy, abniyah al mashdar, mazid as tsulatsiy, abniyah al jam’, abniyah as tsulatsiy al mazid bil ahruf, abniyah ar ruba’i al mujarrad, abniyah ar ruba’i al mazid bil ahruf, abniyah al khumasiy al mujarrad al mazidah, abniyah al af’al, mashadir as tsulatsiy al mujarrad, mashadir as tsulatsiy al mazid, dan mashadir ar ruba’iy al mujarrad. Sedangkan di atas kata terdapat frasa, adalah satuan sintaksis atau gabungan kata yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak mengandung unsur presikasi (Alwi, 1998: 319). Hal serupa juga diungkapkan oleh Kridalaksana (2008: 66), frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang tidak bersifat predikasi. Dalam frasa terdapat beberapa bentuk, diantaranya adalah frasa genetif, frasa, atributif, dan frasa preposional serta koordinatif (Alwi, 1998:
33
326). Pertama, frasa genetif atau frasa aneksasi adalah frasa yang dalam pembentukannya terdapat hubungan diantara dua nomina, nomina yang pertama berperan sebagai nomina yang disandarkan dan yang kedua sebagai nomina yang menyandarkan atau menyifati nomina pertama. Fungsi nomina kedua adalah menghilangkan keumuman yang ada pada nomina pertama (Hidayatulloh, 2011: 201) Sedangkan di dalam Bahasa Arab, frasa genetif atau aneksasi sering disebut dengan idhafah, yaitu kata yang yang tersandakan atau terikat pada kata lainnya, sehingga kata pertama dapat berupa tanwin atau kata umum (nakirah), dan kata kedua berupa kata genetif (majrur) dan berbentuk kata khusus (ma’rifah) (al-Ghulayainy, 1993: 205). Selain itu, keduanya merupakan kata dengan bentuk sejenis (Al Tunjiy, 2003: 63). Hal senada juga diungkapkan oleh Al Bashariy (2004: 44) bahwa idhafah adalah nomina (isim) yang memiliki keterkaitan dengan nomina (isim) lainnya. Bentuk frasa kedua ialah frasa atributif, merupakan sebuah frasa yang dalam susunan pembentukannya terdapat sebuah nomina yang berfungsi sebagai ajektiva. Ajektiva adalah sebuah kata yang menerangkan sebuah kata benda (Kridalaksana, 2008: 4), dengan kata lain ajektiva juga dapat disebut dengan kata sifat. Di dalam Bahasa Arab, frasa ini sering disebut dengan shiffah wal maushuuf. Al-Ghulayainiy (1993: 97 dan 221-222) menjelaskan bahwa shiffah wal maushuuf memiliki kesamaan dengan na’t wal man’uut, yaitu
34
na’t sering juga disebut shiffah dan man’uut sering disebut maushuuf. Shiffah adalah sebuah kata yang menerangkan tentang sifat suatu kata lainnya, sedangkan maushuuf adalah sebuah kata yang disifati. Jadi shiffah wal maushuuf adalah gabungan dua buah kata atau lebih yang terdiri dari kata yang disifati dan sifat yang mewakili kata tersebut. Hal serupa juga dijelaskan oleh Al-Tunjiy (2003: 260, 452, 454, dan 470) dalam bukunya, maushuuf atau man’uut adalah nomina (isim) yang dapat menggambarkan tentang sesuatu, sedangkan shiffah atau na’t adalah kata sifat yang dapat menggambarkan sifat akan sesuatu tersebut. Akan tetapi, Al Tunjiy menambahkan bahwa shiffah wal maushuuf harus berupa kata sejenis, baik dari bentuk keumuman katanya (ma’rifah dan nakirah), atau dari bentuk genetiknya (mudzakkar dan muannats). Adapun bentuk frasa yang ketiga adalah frasa preposisional, yaitu susunan
frasa yang terdapat salah satu unsur preposisi di dalamnya.
Menurut Alwi (2014: 326-327) salah satu katagori frasa berdasarkan unsur utamanya adalah frasa preposisional. Frasa preposional adalah frasa yang yang terbentuk karena salah satu unsur utamanya adalah salah satu partikel preposisi. Dalam strukturnya, frasa preposisional terdiri dari partikel preposisi dan nomina. Preposisi adalah partikel yang biasanya terletak di depan nomina dan berfungsi menghubungkannya dengan kata lain dalam kata ekosentris (Kridalaksana, 2008: 199).
35
Sedangkan di dalam Bahasa Arab, frasa preposisional sering disebut dengan jar wal majrur, yaitu gabungan dua kata yang terdiri dari partikel (harf) jar dan nomina (isim) yang mengakibatkan nomina (isim) akan menjadi kata genitif (majrur). Adapun preposisi di dalam Bahasa Arab (huruf jar) berjumlah 20, yaitu
( بba), ( ِﻣﻦmin), ‘( َﻋﻦan), ‘( ﻋﻠﻰala), ﻓِﻲ
(fiy), ( كkaf), ( لlam), ( وwaw), ( تta’), ﻟﻌﻠﻮ ّ (la’alla), ( ﻣﺘﻰmata), ( َﻛﻲkay),
ﺧﺎﺷﺎ
(khaasyaa),
(mundzu), dan
ﻋﺪا
(‘adaa),
ﺧﻼ
(khalla),
ﺣﺘﻰ
(chatta),
رب
(rubb),
ﻣﻨﺬ
( ﻣﺬmudz) (al-Ghulayainiy, 1993: 167). Al Bashariy (2004:
38) juga mengatakan bahwa jar wal majrur adalah bertemunya salah satu preposisi (huruf jar) yang berjumlah 20 partikel dengan kata benda (isim) yang menjadikan kata benda (isim) tersebut menjadi kata genitif (majrur). Sedangkan frasa koordinatif, yaitu frasa yang salah satu konstituennya mempunyai perilaku sintaktis yang sama dengan konstituen lainnya dan memiliki bagian-bagian yang secara potensial maupun aktual dapat dihubungkan dengan penghubung (Kridalaksana, 2008: 66). Kridalaksana (2008: 66) menjelaskan
mengenai frasa nominal, yaitu frasa yang
keseluruhannya mempunyai perilaku kesamaan sintaktis dengan salah satu konstituennya dan memiliki induk satu berupa nomina.
36
Mengenai
metode
dalam
penerjemahan,
Newmark
(1988)
mengungkapkan ada dua metode yang digunakan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber. Metode ini menuntut penerjemah untuk mewujudkan makna bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan tepat walaupun terdapat problem dalam sintaksis dan semantik, dan (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Metode ini menuntut penerjemah untuk menghasilkan dampak yang relatif sama dengan penulis asli terhadap pembaca bahasa sumber. Dengan kata lain, penerjemah dituntut untuk menyampaikan pesan penulis dalam bahasa sumber ke dalam terjemahannya (Machali, 2000: 49). Dalam hal penerjemahan, Burdah (2003:16) membaginya ke dalam dua kategori (metode), yaitu terjemah harfiyah (literer), dan terjemah bi tasharruf (bebas). Newmark (1988: 45–46) menyebutkan empat metode dalam penerjemahan, yaitu (1) penerjemahan kata demi kata: dalam metode ini, kata–kata dalam bahasa sasaran diletakkan di bawah kata–kata dalam bahasa sumber secara langsung, dan langsung diterjemahkan di luar konteks, sedangkan kata–kata yang bersifat kultural dipindahkan apa adanya. (2) Penerjemahan harfiah: dalam metode ini, konstruksi gramatikal bahasa sumber disepadankan dengan yang mendekati konstruksi gramatikal bahasa sasaran. Akan tetapi penerjemahan leksikal dilakukan terpisah dari konteksnya. (3) Penerjemahan setia: dalam metode ini berupaya untuk menghasilkan makna kontekstual bahasa sumber dengan terbatasi oleh
37
struktur gramatikalnya. Akan tetapi leksikal yang bermuatan budaya dialihbahasakan
dan
membiarkan
pilihan
kata
dan
penyimpangan
gramatikal. (4) Penerjemahan semantis: dalam metode ini hampir menyerupai dengan penerjemahan setia, akan tetapi terdapat beberapa hal yang membedakan, diantaranya (a) mempertimbangkan unsur estetika bahasa sumber, (b) leksikal yang bermuatan budaya diterjemahkan ke dalam leksikal yang netral dan fungsional, dan (c) metede ini lebih fleksibel dibandingkan penerjemahan setia yang cenderung kaku. Sedangkan Machali (2000: 53–55) mengemukakan dalam bukunya Pedoman Bagi Penerjemah bahwa dalam penerjemahan terdapat empat metode yang dapat digunakan, yaitu: (1) adaptasi: merupakan metode penerjemahan yang paling dekat dengan bahasa sasaran dan paling bebas. Dalam menerjemahkan dengan metode ini akan terjadi perubahan budaya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. (2) penerjemahan bebas: merupakan metode penerjemahan yang mengutamakan isi daripada bentuk teks bahasa sumber dan berbentuk parafrase yang lebih panjang atau pendek dari teks aslinya. (3) Penerjemahan idiomatik: metode ini berupaya menghasilkan pesan dalam bahasa sumber dengan ungkapan idiomatik keakraban dan tidak ditemukan dalam bahasa sumber. (4) Penerjemahan komunikatif: metode ini mereproduksi makna kontekstual dalam bahasa sumber, sehingga aspek kebahasaan dan aspek isi dapat dimengerti oleh pembaca bahasa sasaran secara langsung. Metode ini sangat memperhatikan aspek pembaca dan tujuan penerjemahan.
38
Khasarah membagi cara penerjemahan menjadi tiga, diantaranya adalah: a. Tarjamah Charfiyah wa Tarjamah bi al Ma’na Tarjamah charfiyah atau terjemah literer atau terjemah yang mengutamakan struktur atau bentuk (form based translation) adalah terjemah kata sesuai maka leksikal kamus umum. Menurut Malaikah, tarjamah charfiyah dipakai untuk istilah yang maknanya hampir sama dengan makna leksikalnya. Selain itu, tarjamah charfiyah juga dapat digunakan pada kata berkelas kata sifat (Al Nashrawiy, 2010: 28). Akan tetapi, menurut Khasarah (2000: 31), tarjamah charfiyah memiliki kelemahan utama yaitu tidak memungkinkan dipakai dalam penerjemahan istilah. Hal ini dikarenakan istilah merupakan kata yang terlepas dari makna leksikalnya. Bilamana sebuah kata masih lekat dengan makna leksikalnya maka tidak dikatakan istilah. Sedangkan Tarjamah bi al ma’na (meaning based translation) atau terjemah yang mengutamakan makna atau pesan adalah penerjemahn kata dengan makna pemakaian (istilah). Terkait dengan dua model terjemahan, tarjamah charfiyah wa tarjamah
bi
al
ma’na,
terdapat
cara
penerjemahan
yang
menyempurnakannya, yaitu tarjamah al siyaq. Tarjamah al siyaq merupakan model trjemah yang sesuai dalam menerjemahkan suatu istilah. Hal ini dikarenakan sebuah kata tidak hanya memiliki satu makna dalam pemakaiannya atau dalam istilah. Cara yang digunakan dalam penerjemahan ini adalah menerjemahkan suatu kata dengan cara menyesuaikan konteks
39
pemakaiannya pada bidang tertentu dapat berupa tarjamah charfiyah atau tarjamah bi al ma’na Khasarah (2008: 44). b. Tarjamah al Sawabiq wa al Lawachiq Tarjamah al sawabiq wa al lawachiq atau terjemah terikat atau terjemah kompositum dipakai untuk menerjemakan bahasa asing yang bercorak gabungan atau dalam Bahasa Arab disebut lughah ilshaqiyah, lughah washliyah atau lughah tarkibiyah. Bahasa negara-negara eropa termasik bahasa yang bercorak gabungan. Menurut Hilaly (tt: 147), untuk menciptakan istilah baru dalam bahasa bercorak tersebut, misal Bahasa Inggris, banyak ditemukan dengan cara menggabungkan kata. Kompositum yang terbentuk terdiri dari kata dasar yang disebut akar yang memuat makna utama istilah kemudian ditambahkan unsur lain yang dipadukan dengan kata dasar tersebut sehingga menjadi sebuah kata baru. Unsur bahasa yang dipadukan dengan akar bila terdapat di depan disebut sabiq jamaknya sawabiq, sedangkan bila terdapat dibelakangnya disebut lachiq jamaknya lawachiq. Sawabiq disebut juga ash shudur dan lawachiq disebut juga lawasiq (Khasarah, 2008: 46). Terdapat beberapa cara penerjemahan sawabiq dan lawachiq, (Khasarah, 2008: 49-61) diantaranya adalah pertama, penerjemahan langsung. Kedua, terjemah struktur (tarjamah bi al abniyah) adalah penerjemahan dengan mengikuti struktur yang dibentuk. Struktur adalah organisasi pelbagai unsur bahasa yang masing-masing merupakan pola bermakna (Kridalaksana, 2008: 228). Struktur bentukan ini telah ada dalam
40
tradisi morfologi arab dikenal dengan bina’ atau wazan. Ketiga, tarjamah yang dilakukan secara langsung tidak mengutamakan penyesuaian bentuk maupun struktur kata tetapi berorientasi langsung kepada makna. Keempat, Penerjemahan analogi adalah penerjemahan bentuk terikat asing ke bentuk terikat Arab yang telah ada. Kelima, terjemah forma atau disebut tarjamah bi al shighah. Forma adalah struktur bermakna yang bergabung dengan organisasi substansi dan atau grafis; mencakup gramatika dan leksikon (Kridalaksana, 2008: 65). Beberapa forma yang menjadi penerjemahan diantaranya yaitu: (1) relasi atau dalam Bahasa Arab disebut nisbah, (2) Nomina verba artifisial atau dalam Bahasa Arab disebut mashdar shina’i, dan (3) Sound feminine plural atau dalam Bahasa Arab disebut jama’ muannas salim. c. Tarjamah al mukhtasharat Tarjamah al mukhtasharat atau terjemah pemendekan. Terjemah pemendekan adalah penerjemahan kata asing dengan memendekkan atau menyingkat padanannya dalam Bahasa Arab. 1.8.3.2.
Teori Penyerapan Kontak bahasa adalah sebuah peristiwa penggunaan dua bahasa oleh
penutur
yang
sama
secara
bergantian.
Peristiwa
kontak
bahasa
mengakibatkan terjadi transfer atau pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya yang mencakup semua aspek, termasuk terjadinya penyerapan kata (word borrowing) dari satu bahasa ke dalam bahasa lainnya (Hockett,
1958:
402–406).
Proses
41
pinjam
meminjam
dan
saling
mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Pengaruh suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya merupakan pengaruh migrasi dan pengalihan pranata melewati batas–batas bahasa serta pengaruh hasil pertemuan bahasa atau budaya pada dua masyarakat yang ditandai dengan peminjaman bahasa atau budaya (Weinreich, 1953: 5). Hadi (2015: 18) berpendapat mengenai istilah serapan bahwa penggunaan istilah serapan lebih tepat dibandingkan dengan pinjaman (borrowing). Selain itu, istilah serapan meliputi proses penyerapan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, sedangkan istilah pinjaman menunjukkan peminjaman secara utuh. Begitu juga penggunaan istilah serapan lebih tepat digunakan dibandingkan dengan istilah pungutan. Hal ini lebih disebabkan oleh karena istilah serapan dipandang memiliki kedekatan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran yang ditunjukkan dengan adanya proses interaksi dalam bahasa bilingualisme berbahasa, sedangkan istilah pungutan kurang mencerminkan kedekatan kontak antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dalam penyerapan kata, Haugen (1993) yang dikutip dalam buku Hadi (2015: 19) mengklasifikannya ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) kata serapan (loanwords), merupakan hasil dari importansi morfemis tanpa subtitusi morfemis, akan tetapi dengan atau tanpa substitusi fonemis. (2) campuran serapan (loanblends) atau hibrida (hybrids), adalah gabungan dari hasil substitusi dan importansi morfemis, akan tetapi struktur yang berada di dalamnya tidak sesuai dengan bentuk kata asing yang diserap. (3) Geseran
42
serapan (loanshifts), yaitu merupakan hasil dari substitusi morfemis tanpa ada importansi. Dalam geseran serapan terdapat (a) terjemahan serapan (loan translation). Menurut Hadi (2015: 19) terjemahan serapan adalah penerjemahan unsur suatu kata menjadi kata dalam bahasa yang dipinjam (diserap) secara langsung tanpa mengubah makna. Sedangkan menurut Kridalaksana (1987: 157) bahwa terjemahan serapan adalah peminjaman frasa dengan mempertahankan makna leksikal, makna gramatikal bahasa sumber atau keduanya dengan mengganti morfem dan fonemnya. (b) serapan semantik (loan semantic) dan semantic borrowings. Menurut prosesnya, Haugen (1971: 85) menyatakan bahwa penyerapan meliputi beberapa proses, diantaranya adalah (1) pemasukan (importation), proses ini dilakukan karena ketiadaan konsep bahasa sumber dalam bahasa sasaran, sehingga penyerapan kata dan konsep dilakukan secara bersamaan. (2) Penyulihan (substitution) Mengenai alih tulis dalam penyerapan kata, Hadi (2014: 96) dalam buku Kata-Kata Arab dalam Bahasa Indonesia menjelaskan tentang kaidah translitrasi Arab-Latin yang di ambil dari beberapa sumber, diantaranya (1) Shorter Encyclopaedi of Islam, susunsan HAR Gibb, J. H. Kramers, Leiden: E. J. Brill, 1961, (2) Arabic Grammar, G. W. Tatcher, London: Lund Humpries, 1958, (3) Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1971, (4) Penulisan Bahasa Arab ke dalam Huruf Latin. Majelis Bahasa Indonesia, Malaysia, 1976 (5) Studia Islamika, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1980, (6) Translitrasi Bahasa Arab ke dalam Huruf Latin,
43
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1987, dan (7) Leksikon Islam, 1988, serta (8) Ensiklopedi Islam, 1993. Adapun bentuk kaidahnya adalah sebagai berikut:
Tabel: 1 - Kaidah Translitrasi Arab – Latin
No
1
2
3
4
5
6
7
8
1
ثTh
Th
Ts
s
S
S
s
ts
2
حH
H
Ch
h
H
H
h
h
3
خKh
Kh
Kh
kh
K
Kh
kh
Kh
4
ذDh
Dh
Dz
z
Z
Z
z
Dz
5
شSh
Sh
Sy
sy
S
Sy
sy
Sy
6
صS
S
Sh
s
S
S
s
Sh
7
ضD
D
Dh
d
D
D
d
Dh
8
طT
T
Th
t
T
T
t
Th
9
ظZ
Z
Zh
z
Z
Z
z
Th
10
غGh
Gh
Gh
gh
G
G
g
Gh
11
قK
Q
Q
q
Q
Q
q
Q
a, i,
aa, ii,
aa, ii,
a, i,
a, i,
a, i,
a, i,
a, i,
u
uu
uu
u
u
u
u
u
12 Maddah
1.9.
Sumber Fonem
Fonem
Metode Penelitian Pembahasan dalam penelitian ini berbentuk deskripsi dengan data
penelitian yang bersifat kualitatif. Data dianalisis secara induktif. Penelitian ini berujung pada rumusan generalitatif terhadap fenomena–fenomena yang
44
ditemukan dari data–data yang dianalisis. Data penelitian berupa kata–kata dan istilah Arab yang berhubungan dengan bidang kedokteran. Dalam tataran strategi metode, penelitian ini menggunakan tiga tahapan kerja yang berurutan, yaitu metode penyediaan data, metode analisis data dan metode penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1992: 57) Data diambil dari kamus Bahasa Arab berjudul Al Mawrid Al Mazduj: Arabic–English karya Rohi Baalbaki dan Ramzi Munir Baalbaki yang diterbitkan tahun 2014 dan Kamus Kedokteran “Nuria” Indonesia–Arab/Arab– Indonesia karya Dr. H. R. Taufiqurrahman, MA yang diterbitkan tahun 2015. Kamus Al Mawrid diambil dengan alasan karena kamus ini memuat istilah– istilah kontemporer dalam Bahasa Latin dan Bahasa Arab. Sedangkan Kamus Nuria diambil karena merupakan kamus Arab–Inggris–Indonesia yang mencakup istilah–istilah kedokteran. Dalam tahap penganalisaan data, peneliti menggunakan metode Huberman dan Miles, yaitu reduksi data, display data, dan analisis data, serta kesimpulan dan verifikasi. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan,
mengarahkan,
mengklasifikasikan
dan
membuang yang tidak perlu, serta mengorganisasi data dengan cara yang sesuai. Penyajian data (display data). Peneliti mengembangkan sebuah deskripsi informasi yang tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Setelah mereduksi dan mendisplay data, meneliti melakukan analisa data dan dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification). Peneliti berusaha menarik kesimpulan dan
45
melakukan verifikasi dengan mencari makna setiap gejala yang diperolehnya dari lapangan, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena, dan proposisi (Moh. Nazir, 1998: 57). Selain itu, data dicatat dan kemudian diurutkan secara alfabetis untuk mempermudah
proses
analisis
berupa
pengurutan,
klasifikasi,
dan
perbandingan dengan data–data lain. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan metode distribusional teknik top down. Metode distribusional adalah metode analisis yang alat penuturnya ada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti. Sedangkan teknik top down adalah teknik analisis data dengan cara memperhatikan bentuk jadian turun pada stem hingga diketahui bentuk dasar suatu kata atau istilah (Djajasudarma, 2010: 69). Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik proses, yaitu model analisis yang berlandaskan bahwa bentuk kompleks terjadi sebagai hasil suatu proses yang melibatkan dua buah komponen, yaitu dasar dan proses (Chaer, 2008: 10) Penyajian analisis data diusahakan dapat memenuhi tiga prinsip, yaitu descriptive
adequacy/kepadaan
deskriptif,
adalah
penyajian
dapat
mendekripsikan semua rincian permasalahan penelitian. Kepadaan penjelasan adalah bahwa penelitian dapat menjelaskan semua permasalahan yang ada. Sedangkan kepadaan ketuntasan adalah bahwa penyajian data dilakukan secara tuntas dan komprehenif, sehingga semua permasalahannya dapat dikaji dan disajikan dengan teliti (Hadi, 2003: 76).
46
1.10.
Sistematika Penelitian Pada penelitian ini, penulis akan merumuskan sistematika penulisannya
sebagai berikut: Bab satu berisi pendahuluan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika pembahasan. Bab dua berisi mengenai pembahasan mengenai proses pembentukan istilah–istilah kedokteran Bahasa Inggris/Latin dan Bahasa Arab. Pada bab tiga berisi bentuk istilah Bahasa Inggris dan Bahasa Arab pada bidang kedokteran. Sedangkan bab empat berisi persamaan dan perbedaan bentuk istilah Bahasa Inggris dan padanannya dalam Bahasa Arab pada bidang kedokteran. Adapun bab lima berisi kesimpulan dan penutup.
47