BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia kaya akan sumber daya alamnya, salah satunya adalah tanah. Dalam hukum tanah, pengertian tanah telah diberi batasan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Nomor 104) yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, “Atas dasar hak menguasai dari negara....adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang....”, berarti dalam hal ini yang dimaksud dengan tanah adalah permukaan bumi. Tanah merupakan sumber daya alam yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Tanah yang disebut dengan permukaan bumi ini dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh orang-orang yaitu dengan pemberian hak-hak yang telah diatur dalam Undang-Undang yang disebut dengan hak atas tanah. Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.1 Jadi dengan demikian bahwa, hak-hak atas tanah yang diberikan kepada orang-orang harus sesuai dengan aturan yang berlaku, mengingat tanah 1
Boedi Harsono; 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan:Jakarta, hal. 18
79 1
2
merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara, merupakan hak yang dimiliki oleh negara untuk menguasai tanah. Hak menguasai Negara atas tanah bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum Publik.2 Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilakukan oleh seluruh Bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi seluruh rakyat. Dengan demikian, cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dalam artian diatur dan diselenggarakan oleh pihak-pihak yang diberi wewenang oleh negara dan bertindak untuk dan atas nama negara berdasarkan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menentukan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal tersebut Negara memberikan kewenangan kepada penyelenggara pemerintahan dalam bidang pertanahan, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Pokok-pokok Agraria. Hak menguasai negara atas tanah mencerminkan bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan 2
W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta: Yogyakarta, hal. 107.
3
atas tanah serta mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. Terkait dengan adanya hak menguasai negara tersebut terdapat bermacam-macam hak atas tanah yang diberikan dan dipunyai oleh orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dan badan hukum. Oleh karena itu untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, maka diterbitkan Sertipikat Hak Atas Tanah. Sertipikat hak atas tanah
pada umumnya merupakan tanda bukti
kepemilikan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menentukan “Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan masingmasing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”. Dengan melihat pengertian sertipikat tersebut, maka dapat diketahui bahwa Sertipikat hak atas tanah akan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut yang berkenaan jenis hak atas tanah, subyek hak dan obyek hak. Terdapat berbagai jenis hak atas tanah, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, salah satunya yaitu hak milik. Dengan demikian sertipikat hak milik atas tanah merupakan surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Namun walaupun sertipikat hak milik atas tanah merupakan tanda bukti hak atas tanah, namun hal tersebut belum dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang haknya. Oleh karena itu bagi pihak
4
yang merasa memiliki tanah yang telah diterbitkan sertipikat hak milik atas tanah dapat mengugugat di pengadilan. Gugatan terhadap terbitnya Sertipikat hak milik atas tanah, selain disebabkan karena sertipikat merupakan alat bukti kepemilikan hak atas tanah, sertipikat juga merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat penetapan (beschiking). Oleh karena itu maka sertipikat hak atas tanah juga merupakan suatu keputusan pemerintahan yang bersifat konkret dan individual, yang merupakan pengakuan hak atas tanah bagi pemegang hak tersebut. Selain itu gugatan atas terbitnya sertipikat hak milik atas tanah disebabkan karena sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia, adalah sistem publikasi negatif. Sistem publikasi negatif dapat diartikan bahwa kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum didalam sertipikat harus diterima sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya, dengan kata lain bahwa Sertipikat bukan merupakan alat bukti yang bersifat mutlak. Pendaftaran tanah dalam sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kepastian dan kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, hal inilah yang menimbulkan peluang bagi pihak lain yang keberatan atas terbitnya sertipikat hak atas yaitu sertipikat hak milik atas tanah suatu bidang tanah tertentu menggugat pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat tersebut, atau menggugat pejabat yang berwenang menerbitkan atau mengeluarkan Sertipikat hak milik atas tanah tersebut. Oleh karena itu apabila suatu Sertipikat Hak Milik atas tanah terdapat adanya cacat hukum administrasi atau terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/ inkracht, maka permasalahan hak milik atas tanah dapat diselesaikan
5
oleh pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional) dengan melakukan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan tersebut. Pengkajian dan penanganan kasus pertanahan adalah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang bersengketa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Naisonal Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang menetapkan “Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum akan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia”. Dalam hal penyelesaian kasus pertanahan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maupun adanya suatu cacat yuridis dalam penerbitan suatu Sertipkat Hak Milik Atas Tanah, maka terhadap sertipikat hak milik atas tanah tersebut dapat dilakukan suatu tindakan hukum pemerintah dalam hal ini pejabat yang berwenang untuk melakukan pembatalan. Kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap sertipikat hak atas tanah termasuk juga pembatalan sertipikat hak milik atas tanah adalah berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan “Pemutusan hubungan hukum atau pembatalan hak atas tanah atau pembatalan data pemeliharaan data pendaftaran tanah dilaksanakan oleh Kepala BPN RI”. Selain itu dalam ketentuan Pasal 58 ayat (1) menetapkan “ Kepala BPN RI menerbitkan keputusan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan
6
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak atas tanah termasuk juga pembatalan sertipikat
hak milik atas tanah, maka akan menimbulkan
tanggungjawab terhadap penerbitan Keputusan tersebut. Selanjutnya kewenangan untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 58 ayat (2) yang menetapkan “Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Deputi atau Kakanwil”. Selanjutnya pelimpahan kewenangan dalam pembatalan hak atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 74 menetapkan: Kakanwil mempunyai kewenangan untuk membatalkan: a. Keputusan Pemberian Hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kakan yang terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya; b. Keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberiannya dilimpahkan kepada Kakan dan Kanwil untuk melaksnaakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Hak milik atas satuan Rumah Susun untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan d. pendaftaran hak atas tanah asal penegasan/pengakuan hak yang terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya dan/atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun dalam ketentuan Pasal 75 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, menetapkan “Kakanwil dalam menerbitkan keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 atas nama Kepala BPN RI”. Dari ketentuan Pasal 58 ayat (2) tersebut bermakna bahwa adanya pelimpahan kewenangan secara delegasi dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam hal penerbitan Keputusan Pembatalan, tetapi apabila
7
dilihat dalam ketentuan Pasal 75 terlihat bahwa Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melimpahkan kewenangan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam bentuk mandat, karena Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional bertindak atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Berarti dalam hal ini telah terjadi inkonsistensi rumusan norma dalam Peraturan Nomor 3 Tahun 2011, sehingga terlihat adanya ketidakharmonisan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tersebut, terutama dalam hal tanggungjawab apabila terjadi gugatan terhadap diterbitkannya Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah. Ketidakharmonisan suatu norma menyebabkan terjadinya konflik norma. Konflik norma secara luas dapat dilihat dari pendapat Lars Lindahl yang menyatakan: “in a wide, norms are in conflict when they do not “get on well” together”.3 (secara luas, norma disebut sebagai konflik ketika mereka tidak dapat “harmonis” bersama-sama). Inkonsistensi rumusan norma tersebut dapat dilihat dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat yang salah satunya diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali. Salah satu Keputusan Pembatalan Sertipikat hak Milik Atas Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia adalah Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Badan
Pertanahan
Nasional
Provinsi
Bali
Nomor:
3607/Pbt/BPN.51/2011 tentang pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 131 3
Lars Lidahl, 1992, Conflicts In System Of Legal Norms A Logical Point Of View. Dalam Onder redaction van, et, al, editor. Conhrence and conflict in law, Kluwer law and Taxation Publisher Deventer, Boston, h. 39
8
sebagian, 132, 133, 134, 135, dan 136/Tajun beserta perlaihan haknya yatu Sertipikat Hak Milik Nomor 40, 81 dan 82/Mengening yang terletak di Desa Mengening, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali sebagai pelaksanaan Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.4 Namun ketika terjadi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar oleh pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkan Keputusan Pembatalan tersebut, yang digugat adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali yang, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar Nomor 06/G/2012/PTUN.Dps, tanggal 11 Juli 2012.5 Berdasarkan hal tersebut, dengan adanya ketidakharmonisan rumusan Pasal dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia antara Pasal 58 ayat (2) dengan Pasal 75 yang disertai dengan fakta hukum (legal fact) yang ada, maka penulis bermaksud menghasilkan suatu kesimpulan hukum yang dimaksud untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut. Dengan demikian, maka dalam penulisan karya tulis ini, penulis akan melakukan kajian terhadap “Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Terkait Kewenangan Menerbitkan Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah”.
4
Bidang Pengakjian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali. 5 ibid
9
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, oleh karena adanya konflik norma didalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 yaitu antara Pasal 58 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (2) dengan Pasal 75, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu: 1.2.1 Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan tentang Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah. 1.2.2 Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terkait Kewenangannya menerbitkan Keputusan tentang Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah.
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam Penulisan tesis ini, ruang lingkup masalah merupakan salah satu faktor yang penting, dimana ruang lingkup masalah menggambarkan cakupan luasnya penelitian tesis ini. Sehingga adapaun ruang lingkup masalah yang dibahas dalam pokok permasalahan ini, dibatasi pada kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dan Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional
yang ditimbulkan akibat
penggunaan kewenangan
menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah.
10
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari disusunnya penelitian yaitu dalam rangka implementasi dan aplikasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang dalam hal ini mengkhususkan di bidang penelitian ilmu pengetahuan yang menekankan antara bidang ilmu hukum administrasi negara dan ilmu hukum Agraria. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan nantinya menghasilkan sebuah pemahaman yang lebih mendalam perihal Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengkaji secara yuridis kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan tentang Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. 2. Untuk menemukan dan mengkaji secara yuridis tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap terbitnya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini ada 2 (dua) yaitu: 1.5.1 Manfaat Teoritis a. Memberikan kontribusi ilmiah dalam pengembangan ilmu hukum khususnya pengembangan ilmu hukum Perundang-Undangan dan peraturan kebijakan bidang Perundang-Undangan dan peraturan kebijakan Agraria.
11
b. Memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, memperdalam wawasan serta dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian sejenis.
1.5.2 Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam merumuskan peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah pengkajian dan penanganan pertanahan. b. Bagi kalangan akademik, memberikan dorongan untuk dilaksanakannya penelitian sejenis oleh peneliti lainnya dimasa mendatang sehingga dari penelitian ini akan melahirkan inspirasi baru bagi kalangan akademisi untuk melakukan pengkajian kritis terhadap kewenangan dan tanggungjawab terhadap penerbitan
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah dalam rangka penyelesaian kasus-kasus pertanahan.
1.6. Orisinalitas Penelitian Penelitian tentang Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terkait Kewenangannya Menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah adalah secara umum membahas mengenai bidang pertanahan. Dalam penelitian ini, penulis telah memperbandingkan dengan beberapa penelitian yang juga membahas mengenai bidang pertanahan yang khusunya mengkaji tentang pembatalan hak atas tanah. Adapun karya tulis yang mirip dengan penelitian ini antara lain:
12
1. Penelitian tesis dari Sriyanti Achmad6, Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Diponogoro, judul tesis “Pembatalan dan Peneribitan Sertipikat Hak Atas Tanah Pengganti (Studi Kasus Pembatalan Sertipikat Putusan MA No. 987 K/ PDT/ 2004)”. Penelitian Sriyanti Achmad mengkaji tentang kepastian hukum sertipikat hak atas tanah pengganti atas pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang kemudian di batalkan oleh putusan pengadilan tata usaha negara dan perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap pihak yang tercatat dalam sertipikat hak atas tanah pengganti tersebut. Sementara itu Penulis ini mengkaji tentang tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional karena diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah. 2. Penelitian tesis dari Dewi Purnama Julianti7, Program Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, judul tesis “Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan”. Penelitian Dwi Purnama Julianti mengkaji tentang analisis yuridis terhadap penerbitan Keputusan pemberian hak atas tanah yang serta merta membatalkan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan, yang pada tatanan empirik Badan Pertanahan Nasional sangat jarang mengeluarkan Keputusan pembatalan hak atas tanah, walaupun putusan pengadilan 6
Sriyanti Achmad, 2008, “Pembatalan dan Peneribitan Sertipikat Hak Atas Tanah Pengganti (Studi Kasus Pembatalan Sertipikat Putusan MA No. 987 K/ PDT/ 2004)”, Program Pascasarjana Universitas Diponogoro, Semarang, http://eprints.undip.ac.id/18339/1/SRIYANTI_ACHMAD.pdf, diakses 6 Agustus 2012. 7 Dwi Purnama Julianti, 2009, “Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan”, Sekolah Pascasarjana Univeistas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5464/1/09E01888.pdf, 8 Agustus 2012.
13
mengenai pembatalan sertipikat relatif banyak. Sementara itu penulis ini mengkaji dari tatanan normatif tentang pengaturan Pelimpahan Kewenangan Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang selanjutnya dari kewenangan tersebut menimbulkan tanggungjawab bagi Kepala Kantor Wilayah sebagai Pejabat yang mengeluarkan Keputusan tersebut. 3. Penelitian Tesis dari Titut Rosawati8, Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, judul tesis “Analisis Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2096.K/Pdt/1987 tanggal 28 Desember 1987 dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4-X.C-2005 tanggal 14 Juli 2005)”. Penelitian Titut Rosawati mengkaji tentang sengketa tanah antara Jaminan dengan Kasmir dan Jamud yang berakibat pada pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 444/Kramas atas nama Indra Soewignya dan Sertipikat Hak Milik Nomor 445/Kramas atas nama Nuning Lestari. Penelitian menekankan pada perlindungan hukum bagi Indra Soewignya dan Nuning Lestari selaku pemegang sertipikat hak atas tanah yang diperolehnya dengan itikad baik. Sementara itu penulis ini mengkaji tentang tanggungjawab diterbitkannya
8
Titut Rosawati, 2010, “Analisis Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2096.K/Pdt/1987 tanggal 28 Desember 1987 dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4-X.C-2005 tanggal 14 Juli 2005)”, Program Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131073-T%2027401Analisis%20pembatalan-HA.pdf, 9 Agustus 2012.
14
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. 4. Penelitian Tesis dari Triastuti, Yulia Darini9, Program Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada, judul tesis “Analisis Yuridis Pembatalan Keputusan pemberian hak atas tanah dan/ atau sertipikat hak atas tanah berdasarkan Putusan Pengadilan (Studi kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Sleman)”. Penelitan Triastuti mengkaji tentang dasar hukum yang digunakan sebagai landasan pembatalan Keputusan pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah, akibat hukum pembatalan sertifikat hak atas tanah, proses pembatalan sertifikat hak atas tanah dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah. Sementara itu penulis ini mengkaji pada tatanan normatif yang menekankan pada diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang menimbulkan tanggungjawab dari diterbitkannya Keputusan tersebut. Walaupun ke-4 penelitian diatas merupakan ranah penelitian dalam bidang pertanahan khususnya tentang pembatalan sertipikat atas tanah, namunnya kajiannya tidak sama dengan penelitian dalam tulisan yang berjudul “Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Terkait Kewenangannya Menerbitkan Keputusan Pembatalan sertipikat Hak Milik atas
9
Yulia Darini Triastusi, “Analisis Yuridis Pembatalan Keputusan pemberian hak atas tanah dan/ atau sertipikat hak atas tanah berdasarkan Putusan Pengadilan ( Studi kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Sleman)”, Program Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada Program Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada , Yogyakarta,http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=vie w&typ=html&buku_id=38810&obyek_id=4, diakses 9 Agustus 2012.
15
Tanah”, karena dalam kajian ini menekankan pada tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Hal ini membuktikan bahwa tulisan dalam penelitian ini tidak merupakan plagiasi terhadap tulisan penelitianpenelitian terdahulu.
1.7 Landasan Teoritis Dalam rangka penelitian Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap Penerbitan Keputusan Hak Atas Tanah diperlukan teori, asas, dan konsep yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam membahas permasalahan yang telah dirumuskan, adapun teori, asas dan konsep yang digunakan: 1. Konsep Negara Hukum 2. Teori Kewenangan 3. Asas Kepastian Hukum. 4. Konsep Keputusan Tata Usaha Negara 5. Konsep Pertanggungjawaban Pemerintah
1.7.1 Konsep Negara Hukum Konsep tentang negara hukum sudah dicetuskan sejak abad ke17 dan 18 untuk menentang kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa. Para pemikir mencoba menjawab persoalan yang berkaitan dengan hakekat, asal dan tujuan negara. Khususnya adalah berkaitan dengan dari mana negara mendapat
16
kekuasaan, karena itulah muncul 2 teori besar tentang negara dan hukum yaitu Teori Kedaulatan ( Souverenete) dan Teori Asal Mula Negara, yang menghasilkan 2 pola negara yaitu negara kekuasaan (machstaats) dan negara hukum (rechstaat)10. Perkembangan konsep negara hukum modern terjadi sekitar abad ke-20, dimana telah terjadi pergeseran kedudukan negara sebagai penjaga keamanan
dan
ketertiban
menjadi
negara
yang
mengutamakan
dan
mneyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Menurut Pendapat Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Irfan Fachruddin menyatakan, “bahwa konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan negara kesejahteraan”.
11
Jadi dalam konsep negara hukum ini, negara tidak semata-mata
hanya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, tetapi memiliki tanggungjawab dalam mewujudkan dan menyelenggarakan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakatnya. Konsep negara hukum modern dikenal dengan istilah “Rechtstaat”. Penggunaan istilah negara hukum selain rechtstaat juga dikenal dengan The Rule Of Law di Inggris dan Government of law,but not of man12. Konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The
10
A. Mukthie Fadjar, 2004, Type Negara Hukum, Bayu Media Publihsing, Malang h. 11, Lihat Pendapat Bagir Manan dalam Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tidakan Pemerintah, Edisi Pertama, cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, h. 115. 12 Ni Matul Huda,2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta, h.73. 11
17
Rule of Law”.
Konsep negara hukum yang disebut dengan “The Rule of Law”,
dapat dilihat dari pendapat Hilaire Barnett menyatakan bahwa “The essence of the rule of law is that of the soverignity or supremacy of law over man”13 (esensi dari The Rule of Law adalah kedaulatan atau supremasi hukum atas manusia) Menurut ahli hukum jerman, Friedrich Julius Stahl (1802-1861) menyatakan bahwa prinsip negara hukum yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) Adanya pemisahan kekuasaan; (3) Pemerintah dijalankan berdasarkan kepada Undang-Undang (hukum tertulis); (4) Adanya pengadilan administrasi.14 Unsur-unsur Rule Of Law, seperti yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Costitution mencakup: a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang (di negera lain oleh Undang-Undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.15 Menurut Pendapat Prof. Sudargo Gautama, SH sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Azis Hakim, mengemukakan tiga ciri-ciri atau unsur-unsur dari Negara Hukum, yakni: a) Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan
13
Hilaire Barnett, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, Routledge, London and New York, h. 52 14 Munir Fuady, 2009, Teori Negara hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama: Bandung, h. 27. 15 Miriam Budiardjo, 2007, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 58.
18
negara dibatasi oleh hukum, individu mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa. b) Asas Legalitas Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya. c) Pemisahan kekuasan.16 Sehubungan dengan konsep negara hukum, Indonesia adalah negara yang menganut prinsip negara hukum, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Konsep Negara Hukum di Indonesia, menurut Muhammad Yamin, menyatakan: “Indonesia ialah negara hukum (rechstaat, government of law) tempat keadilan tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintahan dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang”.17 Berdasarkan uraian konsep negara hukum tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada dasarnya dalam konsep negara hukum berkaitan dengan asas legalitas (kepastian hukum). Asas legalitas merupakan salah satu unsur negara hukum yang utama, karena suatu negara bukan diperintah oleh orang tetapi diperintah oleh hukum. Menurut Montesquieu, “Negara merupakan alat hukum” (rechtsappraat), bukan menjadi alat kekuasaan/kekuatan (manchtspperest).18 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas legalitas merupakan kekuasaan negara didasarkan pada hukum yang berlaku, dimana dengan asas legalitas ini dapat memberikan suatu legitimasi bagi tindakan pemerintah dalam artian bahwa 16
Lihat Pendapat Sudarto Gautama dalam Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 10 17 Irfan Fachruddin,Op. cit, h. 126. 18 Mukthie Fadjar,Op. cit, h. 59.
19
tindakan hukum pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh suatu aturan hukum yang tertulis. Apabila dikaitkan dengan usulan penelitian ini, maka organ pemerintah, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam membentuk dan menerbitkan Keputusan berupa penerbitan Keputusan terhadap pembatalan sertipikat hak milik atas tanah didasarkan pada Hukum yang berlaku. Sehingga dengan adanya kewenangan yang didasarkan oleh hukum yang berlaku, maka akan disertai dengan tanggungjawab yang ditimbulkan dari kewenangan dalam menerbitkan Keputusan tersebut.
1.7.2 Teori Kewenangan Istilah kewenangan dan wewenang dalam Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan pandangan dari beberapa literatur yang ada. Secara konseptual istilah kewenangan sering disebut authority, gezag atau yuridiksi dan istilah wewenang disebut dengan competence atau bevoegdheid.19 Menurut Juanda yang menyatakan bahwa “kewenangan adalah kekuasaan formal yang berasal dari atau diberikan oleh Undang-Undang misalnya kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif. Dengan demikian dalam kewenangan terdapat kekuasaan dan dalam kewenangan lahirlah wewenang”.20 Sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu atau bidang tertentu saja.21 Sedangkan menurut Pendapat Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Lukman Hakim, memakai istilah wewenang yang dapat 19
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,(selanjutnya SF. Marbun I), h. 153 20 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumnni, Bandung, h. 265. 21 SF. Marbun (I), Op. cit, h. 154
20
dipertukarkan dengan istilah kewenangan, kedua istilah itu sering disejajarkan dengan istilah bevoegheid dalam bahasa belanda.22 Menurut Atmosudirdjo antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid) perlu dibedakan, walaupun dalam praktik pembedaanya tidak selalu dirasakan perlu.23 Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung Hak dan Kewajiban dalam suatu hubungan hukum publik. Menurut H.D Stout yang mengatakan bahwa: Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke 24 rechtsverkeer. ( wewenang merupakan pengertian yang berasal dari organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik ). Pemerintah dalam mengambil suatu tindakan, harus disadarkan pada hukum yang berlaku, oleh karena itu agar suatu tindakan pemerintah dikatakan sah, maka hukum memberikan suatu kewenangan kepada pemerintah untuk bertindak maupun tidak. Menurut Philipus M. Hadjon, Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi.25 Senada dengan hal tersebut, menurut pendapat F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek yang dikutip oleh Sajidjono, mengatakan bahwa hanya ada dua 22
Lihat Pendapat Philipus M. Hadjon dalam Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Setara Press, Malang, h. 74. 23 Prajudi Atmosudirjo,1994, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.78 24 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.101. 25 Philipus M. Hadjon, et.al, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to the Indonesian Administrative law, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 130.
21
cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yakni atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi adalah menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada, untuk wewenang mandat dikatakan tidak terjadi perubahan wewenang apapun, yang ada hanyalah hubungan internal.26 Namun secara teoritis pemerintah memperoleh kewenangan dari tiga sumber yaitu, atribusi, delegasi dan mandat. Menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: a. Atrtibutie: toekenning van een bestursbevoegheid door een wetgever aan een bestursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintah). b. Delegatie:overdracht van een bevoegheid van het ene het bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya). c. Mandaat: een bestuursorgaan ;aat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lainnya).27 Kewenangan yang diperoleh secara atribusi menunjukkan pada kewenangan asli yaitu bahwa adanya pemberian kewenangan oleh pembuat Undang-Undang kepada suatu organ pemerintah. Suatu atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada suatu
peraturan
Perundang-Undangan.
Delegasi
dapat
diartikan
adanya
penyerahan/ pelimpahan wewenang oleh pejabat pemerintah (delegans) kepada pihak lain yang menerima wewenang tersebut (delegatoris). Dan kewenangan yang diperoleh secara mandat tidak terjadi pergeseran kompetensi antara pemberi mandat dengan penerima mandat. 26
Lihat Pendapat Stroink dan Steenbeek dalam H.Sadjijono, 2011, Bab- Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan II, Edisi II, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, selanjutnya disebut Sadjijono (I), h. 65. 27 Ridwan HR, Op.cit, h.104-105.
22
Dalam kajian hukum Administrasi Negara, sumber wewenang bagi pemerintah dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena dalam penggunaan wewenang tersebut selalu berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum. Dalam pemberian kewenangan kepada setiap organ atau pejabat pemerintahan tertentu tidak terlepas dari pertanggungjawaban yang ditimbulkan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggungjawab intern ekstern pelaksaanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).28 Dalam wewenang delegasi sifat wewenanganya adalah penyerahan atau pelimpahan wewenang yang bersumber dari wewenang atribusi. Akibat hukum ketika wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab penerima delegasi (delegataris). 29 Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan, tetapi tidak sama dengan delegasi, karena mandataris (penerima mandat) dalam melaksanakan kekuasaannya tidak bertindak atas namanya sendiri, tetapi atas nama sipemberi kuasa, karenanya yang bertanggungjawab adalah si pemberi kuasa.30 Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan Lembaga Pemerintahan Non Departemen yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, dan dipimpin oleh seorang Kepala, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya dalam Pasal 2 menetapkan bahwa “Badan Pertanahan 28
Ridwan HR,Op.cit, h.108. H.Sadjijono (I) , Op. cit, h. 66. 30 Jum Anggriani, 2012, “ Hukum Adminsitrasi Negara”, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 92. 29
23
Nasional
mempunyai
tugas melaksanakan
tugas pemerintahan
dibidang
pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional, yang kewenangannya diperoleh dari adanya pendelegasian wewenang. Begitu juga berkaitan dengan produk hukum yang dihasilkan oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dalam bentuk regulasi, yaitu salah satu dalam bentuk Peraturan Kepala Badan. Fungsi regulasi kekuasaan eksekutif dapat dilihat dari; (a) pendelegasian Undang-Undang; (b) peraturan kebijaksanaan.31 Berdasarkan hal tersebut, Peraturan Kepala Badan merupakan salah satu bentuk Peraturan Kebijakan, dimana dalam hal kewenangan untuk membuat Peraturan Kebijakan berupa Peraturan Kepala Badan diperoleh berdasarkan adanya delegasi wewenang. Dikeluarkanya Peraturan Kepala Badan Pertanahan tentang pengkajian dan penangangan sengketa dan konflik pertanahan yang salah satunya mengatur tentang pelaksanaan pembatalan hak atas tanah materi muatannya berisi hal-hal yang berkenaan dengan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional yang bersifat mengatur. Dengan dibentuknya peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 yang berkaitan dengan Pembatalan Hak Atas Tanah menjadi dasar kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah yang disertai dengan tanggung jawab secara internal maupun
31
Yudhi Setiawan, 2009, Instrumen Hukum campuran (gemeenscapelijkrecht) dalam Konsolidasi Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Yudhi Setiawan I), h. 25
24
secara eksternal dalam hal menerbitkan Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah.
1.7.3. Asas Kepastian Hukum Asas Kepastian Hukum merupakan salah satu perwujudan asas legalitas dalam negara hukum. Menurut penjelasan atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menyebutkan bahwa “ Asas Kepastian hukum merupakan Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan PerundangUndangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan Negara”. Menurut Pendapat Ateng Syarifudin sebagiamana yang dikutip oleh Murtir Jeddawi, asas kepastian hukum ini mempunyai dua aspek, masing-masing bersifat hukum material dan hukum formal.32 Aspek hukum Material sangat erat hubunganya
dengan
asas
kepercayaan,
dimana
asas
kepastian
hukum
menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat.33 Sementara yang bersifat formal, diartikan bahwa keputusan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada keputusankeputusan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas.34 Terkait dengan asas kepastian hukum apabila ditinjau dari aspek hukum formal, yaitu memberikan konsekuensi bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan 32
Lihat Pendapat Ateng Syarifudin dalam H. Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, Total Media, Yogyakarta, h. 139. 33 S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta, h. 60. 34 Ibid
25
dengan penerbitan keputusan oleh badan pemerintah harus dirumuskan secara jelas. Asas Kepastian Hukum dalam Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik dapat dikatakan bahwa, dalam banyak keadaan, asas kepastian hukum memberikan konsekuensi hukum yaitu badan pemerintah tidak dapat menarik kembali atau mengubah suatu ketetapan, namun menurut Philipus M. Hadjon, dkk terdapat pengecualiannya yang harus diingat yaitu: 1. Asas kepastian Hukum tidak menghalangi penarikan kembali atau perubahan suatu ketetapan, bila sesudah sekian waktu dipaksa oleh perubahan keadaan atau pendapat; 2. Penarikan kembali atau perubahan juga mungkin, bila ketetapan yang menguntungkan didasarkan pada kekeliruan, asal saja kekeliruan itu dapat diketahui oleh yang berkepentingan; 3. Demikian pula penarikan kembali atau perubahan mungkin, bila yang berkepentigan dengan memberikan keterangan yang tidak benar atau tidak lengkap, telah ikut menyebabkan terjadinya ketetapan yang keliru; 4. Penarikan kembali atau perubahan mungkin, bila syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang dikaitkan pada suatu ketetapan yang menguntungkan, tidak diaati. Dalam hal ini dikatakan ada penarikan kembali sebagai sanksi.35 Dengan melihat pengecualian tersebut salah satunya adalah asas kepastian hukum tidak menghalangi penarikan kembali atau perubahan suatu ketetapan, bila sesudah sekian waktu dipaksa perubahan oleh keadaan atau pendapat dapat dikaitkan dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terkait dengan tidak sahnya suatu keputusan menyebabkan dapat dicabutnya keputusan tersebut. Dalam pelaksanaan hukum, untuk menciptakan suatu kepastian hukum sangat berkaitan dengan perilaku manusia, dimana kepastian menurut Radbruch adalah kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan 35
Philipus M. Hadjon, et.al, Op. cit, h. 273.
26
(sicherkeit des Rechts).36 Terciptanya suatu kepastian hukum dalam suatu peraturan hukum apabila dikaitkan dengan asas pembentukan peraturan Perundang-Undangan yang baik, maka asas kepastian hukum dapat dikaitkan dengan asas kejelasan rumusan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut penjelasan Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Jadi dalam hal ini kepastian hukum dapat diartikan bahwa suatu aturan hukum harus dirumuskan dan dibentuk secara jelas, sehingga dapat memberikan kepastian bagi pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum. Begitu juga dalam hal tindakan pemerintah berupa penerbitan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah didasarkan pada suatu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, dimana aturan hukum khususnya tentang pembatalan Hak Atas tanah termasuk juga pembatalan sertipikat hak milik atas tanah harus dirumuskan secara jelas sehingga tidak
menimbulkan
suatu
kekeliruan
dalam
pemaknaannya
atau
tidak
bertentangan antara Pasal yang satu dengan yang lainnya, sehingga tindakan-
36
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)”, Edisi Pertama, cetakan ke-2, Kencana Prenada Media Group,Jakarta, h. 297.
27
tindakan hukum yang diambil oleh Badan Pertanahan Nasional dapat memberikan suatu kepastian hukum.
1.7.4 Konsep Keputusan Tata Usaha Negara Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu perbuatan hukum atau tindakan hukum pemerintah, dimana perbuatan hukum tersebut merupakan pembentukan hukum yang bersifat kongkret atau inkonkrito. Tindakan Hukum TUN adalah perbuatan hukum badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.37 Oleh karena Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu perbuatan hukum, maka pemerintah dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara harus didasarkan pada suatu wewenang. Didalam memaknai istilah keputusan ini, Prins berpendapat bahwa (“Inleiding in het administratief recht van indonesie”) “beschiking adalah de eenzidige rechtshandeling op bestuursgebied door een overheidsorgaan verricht uit/kracht van zijbijzondere bevoegdheden” (suatu tindak hukum sepihak dibidang pemerintahan, dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan khusus)”.38 Menurut E. Utrecht dalam bukunya pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia sebagaimana yang dikutip oleh Titik Triwulan dan Gunadi mendifinisikan ketetapan sebagai: “Suatu perbuatan pemerintahan dalam arti luas yang khusus bagi lapangan pemerintahan dalam arti sempit (de specifieke 37
Zairin Harahap, 1997, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 66. 38 Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Beberapa catatan hukum tata pemerintahan dan peradilan administrasi negara, Alumni, Bandung, h. 46.
28
bewindshandeling of hat terrein van het bestuur).39 Berarti dalam hal ini, keputusan (beschikking) merupakan suatu tindakan pemerintah dalam lapangan hukum publik dalam rangka untuk mengatur hubungan hukum. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata usaha Negara, menentukan bahwa: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan PerundangUndangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Jadi dapat dikatan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu norma hukum “penetapan” tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi yang berwenang yang bersifat individual, konkret dan final. Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat individual artinya Keputusan Tata usaha Negara tidak bersifat umum yaitu bahwa Keputusan Tata Usaha Negara ditujukan kepada seseorang atau lebih atau badan hukum perdata tertentu. Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret artinya Keputusan Tata Usaha Negara tidak abstrak, yaitu yang menjadi obyek Keputusan Tata Usaha Negara ini berwujud atau dapat ditentukan. Dan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat final artinya Keputusan Tata Usaha Negara sudah definitif yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan
39
Lihat pendapat Utrecht dalam Titik Triwulan T dan Kombes Pol. Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara & Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group,Jakarta, h. 317.
29
atau instansi lain belumlah bersifat final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.40 Pembentukan Keputusan Tata Usaha Negara dalam proses penetapannya tidak boleh mengandung cacat yuridis. Cacat yuridis yang dimaksud dalam hal ini yaitu dalam penetapan Keputusan Tata Usaha Negara tidak boleh mengandung salah kira (dwaling), paksaan (dwang) dan tipuan (bedrog). Berarti dalam hal ini agar suatu keputusan tata usaha negara dapat menjadi KTUN yang sah maka harus dipenuhi syarat-syarat yang sah. Menurut Pendapat Van der Pot sebagaiman yang dikutip oleh Riawan Tjandra menyebutkan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar-agar suatu Keputusan Tata Usaha Negara menjadi KTUN yang sah yaitu: 1. KTUN harus dibuat oleh alat (organ) yang berwenang (bevoegd) untuk membuatnya. 2. Karena KTUN itu merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen jurisdische gebreken in de wilsvorming) 3. KTUN itu harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan cara (procedure) pembuatan KTUN itu, manakala cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut. 4. Isi dan tujuan KTUN harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar tersebut. 41 Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara apabila ditinjau dari sudut normatif, maka yang menjadi acuan keabsahannya didasarkan pada Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang harus ditafsirkan secara a contrario yaitu (1) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan peraturan 40
A. Siti Soetami, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 3 41 Lihat Pendapat Van Der Pot dalam W. Riawan Tjandra, Op. cit, h. 71
30
Perundang-Undangan yang berlaku dan (2) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.42 Jadi dalam hal ini keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang didasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan/atau asas-asas umum pemerintahn yang baik. Suatu Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara tidak semuanya disebut sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu: Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: (a) keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; (b) keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; (c) keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan; (d) keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-Undang hukum pidana atau kitab Undang-Undang hukum acara pidana atau peraturan Perundang-Undangan lain yang bersifat hukum pidana; (e) keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku; (f) keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; (g) keputusan Komisi pemilihan Umum, baik pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tidak semua Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara disebut dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Begitu juga dalam penerbitan Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
42
Ibid, h. 72
31
Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah didasari oleh adanya cacat administrasi dan karena Putusan Pengadilan yang telah memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Keputusan Pembatalan Hak Milik Atas Tanah yang diterbitkan karena cacat hukum administrasi dapat dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan Keputusan Pembatalan Hak Milik Atas Tanah diterbitkan karena Putusan Pengadilan Yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Namun demikian, Keputusan Kepala Kantor Wilayah tentang Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah baik karena cacat administrasi dan karena Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila terdapat keberatan dari pihak yang dirugikan dapat menggugat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Tersebut melalui lembaga peradilan. Digugatnya Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional tentang pembatalan sertipikat hak milik atas tanah tersebut akan disertai dengan tanggungjawab akibat dari digugatnya Keputusan tersebut.
1.7.5 Konsep Pertanggungjawaban Pemerintah Hukum merupakan pedoman bagi penyelenggara negara dan warga negara dan warga negara bertindak, oleh karena itu hukum harus dapat mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Namun apabila subyek hukum merasa dirugikan atau telah dilanggar hak-haknya oleh subyek hukum lain, maka kepada subyek hukum yang melakukan tindakan yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi subyek hukum lain dibebani suatu tanggungjawab.
32
Tanggungjawab dalam kamus hukum dapat diistilahkan sebagai liability dan responsibility. Dalam black law’s dictionary, liability diartikan sebagai “the quality or state of being obligated or accountable; legal responsibility to an other or to society, enforceable by civil remidy criminal punishment.43 Sementara responsibility adalah 1. Liability, 2. Criminal law. A. person’s mental fitnes to answer in court for his her actions. See competency.44 Dari pengertian istilah liability dan responsility merupakan suatu bentuk tanggungjawab hukum. Namun dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu tanggunggugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh
subjek
hukum,
sedangkan
istilah
responsibility
suatu
negara
menunjuk
pada
pertanggungjawaban politik.45 Dalam
penyelenggaraan
dan
pemerintahan,
pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan yang juga telah dilekati dengan kewenangan. Dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum; “geen bevegdheid zonder verantwoordelijkheid; there is no authority without responsibility; la sulthota bi la mas-uliyat” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungajwaban).46 Hal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh organ atau badan pemerintah selalu disertai dengan tanggungjawab. Bagir
Manan
43
menyatakan
bahwa
“salah
satu
unsur
penting
dalam
Bryan A. Garner, 2004, Black Law’s Dictionary, eighth edition, Thomson business, West, h. 932. 44 Ibid, h. 1338 45 HR. Ridwan, Op.cit, h. 337 46 HR. Ridwan, Op.cit, h. 352.
33
penyelenggaraan pemerintahan adalah pertanggungjawaban.47 Jadi dalam hal ini setiap pejabat atau organ pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya selalu disertai dengan pertanggungjawaban. Suwoto menyebutkan bahwa: Pengertian tanggung jawab mengandung dua aspek yaitu, aspek internal dan aspek eksternal, pertanggungjawaban yang mengandung aspek internal hanya diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan. Pertanggungjawaban dengan aspek eksternal merupakan pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksankan kekuasaan itu menimbulkan suatu derita atau kerugian.48 Dalam kaitannya dengan penggunaan kewenangan oleh organ atau pejabat pemerintahan membebankan tanggungjawab terhadap pejabat yang bersangkutan. Bentuk tanggungjawab pemerintah dalam penggunaan wewenang berupa tanggungjawab
intern
tanggungjawab
pribadi
dan
tanggungjawab
(sebagai
pejabat)
eksteren dan
yang
terdiri
tanggungjawab
dari
jabatan.
Tanggungjawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service, sedangkan tanggungjawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan) tindakan pemerintah.49 Tanggungjawab pribadi dapat berupa tanggungjawab pidana, karena pada dasarnya yang melakukan perbuatan pidana adalah manusianya sebagai pejabat bukan jabatannya. Sedangkan taggungjawab jabatan dapat berupa tanggung gugat perdata dan tanggung gugat Tata Usaha Negara, karena pada dasarnya gugatan seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas tindakan hukum pemerintah yang diajukan gugatan adalah jabatan sebagai badan Tata Usaha Negara, bukan terhadap manusia sebagai pejabat. 47
Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press. Yogyakarta, h. 106 HR. Ridwan, Op. cit, h. 353 49 Yudhi Setiawan (I), Op.cit, h. 96 48
34
Begitu juga dalam kaitannya dengan diterbitkannya suatu Keputusan oleh Pejabat Tata Usaha Negara berupa Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah menimbulkan suatu keberatan dari pihak yang merasa dirugikan, maka akan menimbulkan suatu pertanggungjawaban bagi badan atau instansi yang mengeluarkan Keputusan tersebut. Pertanggungjawaban hukum yang dimaksud adalah tanggungjawab akibat digunakan kewenangan tersebut terhadap pihak ketiga, baik tanggungjawab jabatan maupun tanggungjawab pribadi.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menemukan, dan mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter mahmud Marzuki, “penelitian hukum adalah suau proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.50 Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson mengemukakan bahwa “Legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”.51 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, dalam ilmu hukum teradapat dua jenis penelitian hukum terdapat, yaitu penelitian
50
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Peneitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta, h. 35. Morris L. Cohen dan kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, Seventh Edition, ST. Paul, Minn, West Group, h. 1. 51
35
hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.52 Penelitian hukum Normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal dan juga disebut penelitian hukum perpustakaan. Disebut penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan- peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.53 Penelitian mengenai tanggungjawab Kepala Kantor Wiayah Badan Pertanahan Nasional yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dalam hal ini penelitian terhadap sinkronisasi dari Pasal-Pasal dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 khususnya tentang pembatalan sertipikat hak milik atas tanah.
1.8.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan dan memecahkan masalah yang dihadapi. Pendekatanpendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan UndangUndang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), Pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
52
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press), Jakarta, h. 51. 53 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, jakarta, h. 31.
36
dan pendekatan konseptual (conceptual approach).54 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a.
Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meneliti peraturan perUndang Undangan dan Peraturan Kabijakan yang berkaitan dengan tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap Penerbitan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, antara lain Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011.
b.
Pendekatan konseptual (conseptual approach) yaitu pendekatan melalui konsep-konsep,
asas-asas
dan
konsep-konsep
berkaitan
dengan
Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap penerbitan Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah yang diakibatkan dari adanya pelimpahan kewenangan c.
Pendekatan kasus (case approach) yaitu dengan melakukan telaah kasus sebagai refrensi isu hukum tentang tanggungjawab dalam penerbitan Keputusan pembatalan Sertpikat hak milik atas tanah.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan/sumber primer yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui Maupun mengenai
54
Peter Mahmud Marzuki, Op. cit, h. 93.
37
suatu gagasan (ide) dan bahan/sumber sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer.55 Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria ( Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Nomor 104). 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1986, Nomor 77) Jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 35) Jis. UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 160). 4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembar Negara Republik Indoensia Tahun 2008 Nomor 139). 5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran. 6. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
55
Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, “ Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat”, cetakan ke-13, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 29.
38
7. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. 8. Serta Peraturan peraturan Perundang-Undangan lainnya yang berkaitan dengan tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap Penerbitan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah. Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini seperti hasil penelitian atau karya ilmiah para ahli hukum, kamus dan internet yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan dan menginvetarisasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pencatatan dengan menggunakan system kartu. Dalam system kartu ini dilakukan suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu setelah bahan-bahan hukum yang terkait dengan permasalahan yang dikaji dikumpulkan,
39
kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik analisis bahan hukum yaitu: Teknik deskripsi yaitu menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum, dimana dalam penelitian ini menguraikan ketentuan pasal-pasal yang inkonsistensi yang disertai dengan fakta hukum yang ada. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap rumusan pasal-pasal tersebut dengan menggunakan teknik evaluasi. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.56 Analisis bahan hukum selanjutnya yang digunakan adalah teknik argumentasi. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.57
Berdasarkan teknik argumentasi tersebut, maka setelah
dilakukan penilaian terhadap rumusan norma dalam suatu aturan hukum yang menjadi kajian dalam penulisan ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan argumentasi-argumentasi hukum untuk mendapatkan suatu kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis ini.
56
Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Studi magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Unversitas Udayana, Denpasar, h. 35. 57 Ibid.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN KEPUTUSAN PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH
2.1 Struktur Organisasi Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional pada awalnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988, dimana pembentukan ini merupakan peningkatan dari Direktorat Jendral Agraria yang berada dibawah Departemen Dalam Negeri. Dibentuknya Badan Pertanahan Nasional tidak terlepas dari perkembangan politik dalam penyelenggaraan pemerintah akibat dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sehingga mengakibatkan institusi kegiatan penyelenggaraan keagrariaan menjadi Badan Pertanahan Nasional. Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga Non Departemen (sekarang disebut Kementerian berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara) yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan baik secara sektoral, regioal maupun nasional. Jadi Badan Pertanahan Nasional merupakan badan pemerintahan yang menyelenggarakan tugas, fungsi dan wewenang dibidang pertanahan, dimana kedudukannya berada dibawah presiden dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Badan
40 79
41
Pertanahan Nasional dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang ditingkat pusat terdiri dari Kepala dan beberapa kedeputian sebagaimana yang ditur dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, yaitu: a. b. c. d. e. f. g.
Kepala; Sekretariat Utama; Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan; Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaf taran Tanah; Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan; Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat; Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan; h. Inspektorat Utama. Dengan melihat susunan organisasi Badan Pertanahan Nasional tersebut, maka dapat diketahui bahwa Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh seorang Kepala yang dibantu oleh Sekretaris Utama, Inspektorat Utama dan lima Deputi yang masing-masing memiliki tugas, fungsi dan wewenang. Gambar 1: Struktur Organisasi Badan Pertanahan Nasional Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Sekretaris Utama
Inspektorat Utama
Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan
Pusat Data dan Informasi Pertanahan
Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat
Deputi Bidang pengaturan dan Penataan Pertanahan
Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Sekolah Tinggi Pertanahan NAsional
(Sumber: Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2006)
42
Selanjutnya Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional menetapkan bahwa: (1) Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi di Kabupaten dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Kaupaten/Kota. (2) Organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggungjawab dibudang pendayagunaan aparatur Negara. Jadi dengan demikian Badan Pertanahan Nasional selain tediri dari Kepala, Sekretaris Utama, Inspektorat Utama, dan lima Deputi, juga terdiri Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Lebih jelasnya susunan organisasi Badan Pertanahan Nasional dapat dilihat dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahana Nasional Republik Indonesia, yang menentukan bahwa: a. Kepala; b. Sekretariat Utama; c. Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan, yang selanjutnya disebut Deputi I; d. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, yang selanjutnya disebut Deputi II; e. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, yang selanjutnya disebut Deputi III; f. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat, yang selanjutnya disebut Deputi IV; g. Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, yang selanjutnya disebut Deputi V; h. Inspektorat Utama; i. Pusat Data dan Informasi Pertanahan; j. Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat; k. Pusat Penelitian dan Pengembangan; l. Pusat Pendidikan dan Pelatihan; m. Kantor Wilayah BPN Provinsi; n. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
43
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 menetapkan bahwa: (1) Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang selanjutnya dalam Peraturan ini disebut Kanwil BPN adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. (2) Kanwil BPN dipimpin oleh seorang kepala. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang bersangkutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasioal Nomor 4 Tahun 2006. Susunan organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, yaitu: a. b. c. d. e. f.
Bagian Tata Usaha; Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan; Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan; Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat; Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Adapun struktur Organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional,
yaitu sebagai berikut:
44
Gambar II: Struktur Organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah BPN Provinsi Bagian Tata Usaha
Subbagian perencanaan dan keuanangan
Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan
Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan
Subbagian kepegawaian
Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat
Seksi pengukuran dan pemetaan dasar
Seksi penetapan hak tanah perorangan
Seksi penatagunaa n tanah
Seksi pengendalian pertanahan
Seksi pemetaan tematik
Seksi penetapan hak tanah badan hukum
Seksi penataan kawasan tertentu
Seksi pemberdayaa n masyarakat
Seksi pengukuran bidang
Seksi pengaturan tanah pemerintah
Seksi landreform
Seksi Survei Potensi Tanah
Seksi pendaftaran, peralihan pembebanan hak dan PPAT
Subbagian umum dan informasi
Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan Seksi pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan
Seksi pengkajian dan penanganan perkara pertanahan
Seksi konsolidasi tanah
(Sumber: Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 4 Tahun 2006) Dengan merujuk pada uraian diatas terlihat bahwa susunan organisasi pada Badan Pertanahan Nasional dengan susunan organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional tidak jauh berbeda, dimana unit kerja ketata usahaan dan 5 unit kerja teknis yang terdapat dalam susunan organisasi Badan Pertanahan Nasional juga terdapat dalam susunan organisasi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sehingga terlihat adanya suatu hubungan kerja yang bersifat
45
rutin, karena dengan adanya susunan organisasi Badan Pertanahan Nasional pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menggambarkan bahwa tugas pokok, dan fungsi yang secara umum terdapat pada setiap unit kerja baik unit kerja tata usaha negara maupun unit kerja teknis dalam bidang pertanahan yang terdapat pada Badan Pertanahan Nasional juga terdapat pada unit kerja di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Di Indonesia jumlah Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional adalah sebanyak 33 Kantor Wilayah yang tersebar diseluruh provinsi di Indonesia dengan unit-unit kerjanya masing-masing. Hal ini terlihat bahwa adanya Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional disetiap provinsi di Indonesia merupakan perwujudan tugas dari Badan Pertanahan Nasional, yaitu Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional yaitu penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pertanahan secara nasional, sektoral dan regional. Sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam bidang pertanahan. Berdasarkan Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006, selain dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional juga dibentuk Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pasal 29 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 menetapkan bahwa: “Kantor Pertanahan, adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kanwil BPN”. Selanjutnya Pasal 30
46
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 menetapkan bahwa: “Kantor Pertanahan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang bersangkutan”. Sususan Organisasi Kantor Pertanahan Kabupatendan/Kota diatur dalam Pasal 32 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006, yang terdiri dari: a. b. c. d. e. f.
Subbagian Tata Usaha; Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan; Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan; Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan; Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara. Gambar III: Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Subbagian Tata Usaha
Urusan perencanaan dan keuanangan
Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan
Subseksi Pengukuran dan Pemetaan Subseksi Tematik dan Potensi Tanah
Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
Subseksi Penetapan Hak Subseksi Pengaturan Tanah Pemerintah Subseksi Pendaftaran hak
Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan
Subseksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu
Subseksi Landreform dan Konsolidasi Tanah
Urusan Umumdan kepegawaian
Seksi Pengendalain dan Pemberdayaan
Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara
Subseksi Pengendalai n Pertanahan
Subseksi Sengketa dan Konflik Pertanahan
Subseksi Pemberdaya an Masyarakat
Subseksi Perkara Pertanahan
Subseksi Peraliahn pembebanan hak dan PPAT
(Sumber: Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 4 Tahun 2006)
47
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka keberadaan Kantor Pertanahan Kabupaten dan/Kota merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah Kabupaten atau Kota yang dipimpin oleh seorang Kepala dan secara teknis administrasi bertanggungjawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional. Dengan demikian maka, wewenang pemerintah dalam bidang pertanahan berada pada Badan Pertanahan Nasional yang dalam tingkat Provinsi dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan dalam tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
2.2. Keputusan Yang Diterbitkan Oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional 2.2.1 Pengertian Keputusan Keputusan merupakan salah satu instrumen hukum yang diterbitkan oleh pemerintah sebagai bentuk dari tindakan hukum pemerintah. Tindakan pemerintah yang tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen), yakni: (1) tindakan menurut hukum privat; dan (2) tindakan hukum menurut hukum publik.58 Selanjutnya perbuatan pemerintah menurut hukum publik dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Perbuatan menurut hukum publik bersegi satu; dan (2) perbuatan menurut hukum publik bersegi dua.59 Terkait dengan Keputusan sebagai instrumen hukum yang diterbitkan pemerintah, maka perbuatan hukum yang dimaksud adalah perbuatan menurut hukum publik. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu (yang 58
Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 214 59 Ibid, h. 215
48
dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu wewenang istimewa) diberi nama “bescikiking”.60 Istilah bescikiking dapat diartikan sebagai ketetapan dan keputusan. Menurut Utrecht, dalam bahasa Indonesia telah dipakai umum istilah “ketetapan”.61 Senada dengan pendapat Utrecht, Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, yang menerjemahkan “beschikking” dengan “ketetapan” lebih menunjuk kepada suatu bentuk keputusan yang khusus.62 Sedangkan menurut Koentjoro Purbopranoto sebagaimana yang dikutip oleh Djaenal Hoesen mempergunakan istilah “beschikking” untuk keputusan, dengan alasan bahwa istilah “ketetapan” dalam waktu itu mempunyai arti yang yuridis teknis, yaitu sebagai keputusan MPR yang berlaku umum (ke luar maupun ke dalam).63 Jadi dapat dikatakan bahwa istilah beschikking yang lebih tepat disebut dengan keputusan, namun perlu dibedakan antara keputusan yang disebut dengan “beschikking” dengan keputusan yang disebut dengan “besluit”, dimana keputusan yang disebut dengan “besluit” merupakan keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau sebagai peraturan Perundang-Undangan.64 Menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt, “Een administrative beschikking is een eenzijdig besluit van een bestuursorgaan, gegeven op grond van een staats-of administratiefrechtelijke beveogheid, dat voor een of meer individuele, concrete gevallen een rechtsverhouding schept, bindend vaststelt of
60
E. Utrecht, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Tjetakan Kelima, Ichtiar, Jakarta, h. 85 61 Ibid, h. 87 62 Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, 1983, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, h. 47 63 Lihat Pendapat Koentjoro Probopranoto dalam Djaenal Hoesen Koesoehatmadja, Ibid 64 Ridwan HR, Op. cit, h. 145
49
opheft, of waarbij dat wordt geweigerd.65 (Suatu Keputusan Administratif adalah keputusan sepihak dari badan, atas dasar suatu negara atau kewenangan administrasi, yang menciptakan hubungan hukum untuk satu atau lebih individu, dalam kasus-kasus konkret, yang mengikat atau mencabut, atau menolak). Jadi keputusan “beschikking” merupakan suatu tindakan hukum sepihak yang dikeluarkan oleh organ pemerintahan yang mempunyai suatu akibat hukum yang didasarkan pada suatu wewenang. Keputusan (Beshickking) dapat disebut juga dengan Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini dipertegas oleh Philipus M. Hadjon, dkk sebaimana yang dikutip oleh Sadjijono mengartikan istilah Keputusan Tata Usaha Negara sama dengan isitilah Beshickking.66 Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, menentukan bahwa: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perUndangUndangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Berdasarkan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang tersebut, maka unsur-unsur-unsurnya yaitu: a. Penetapan tertulis; b. Dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara; c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan Perundang-Undangan; d. Bersifat konkret, individual dan final; 65
H.D. Van Wijk, 1988. Hoofdstukken van administratief recht, Culemborg, Uitgeverij Lemma, h. 208. 66 Lihat pendapat Philipus M. Hadjon dalam Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksabang Pressindo, Yogyakarta, selanjtunya disebut Sadjijono (II), h. 90
50
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.67 Penetapan Hukum tertulis yang dimaksud adalah suatu keputusan dibuat dalam bentuk tertulis namun bukan dilihat dari bentuk formatnya, sebagaimana dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu istilah “penetapan tertulis” menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Sehingga dengan demikian penetapan tertulis diartikan bahwa suatu keputusan tidak terikat pada bentuknya, ini berarti sebuah nota atau memo dapat disebut sebagai suatu penetapan tertulis. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dimaksud adalah sutu keputusan harus dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diberikan wewenang pemerintahan untuk mengeluarkan suatu keputusan. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan Perundang-Undangan yang dimaksud adalah bahwa suatu keputusan merupakan salah satu bentuk tindakan hukum pemerintah, dimana penerbitan keputusan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh Peraturan Perundang-Undangan. Tindakan hukum yang dimaksud merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang disebut bersifat konkret, individual dan final, dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu konkret berarti obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau 67
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h. 15-16
51
dapat ditentukan. Individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Final berarti sudah definitif sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata berarti bahwa suatu tindakan hukum organ atau pejabat pemerintah dengan maksud untuk menimbulkan akibat-akibat hukum, sehingga menyebabkan muncul dan lenyapnya hak dan kewajiban bagi seseorang atau badan hukum perdata yang dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Pasal 1 angka 9 UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan suatu pembatasan terkait dengan Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, dimana tidak semua Keputusan yang diterbitkan oleh pejbat atau instansi pemerintah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2. Sehingga dengan demikian tidak semua Keputusan termasuk Keputusan Tata Usaha Negara, karena Suatu Keputusan dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara baru dapat ditentukan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
2.2.2. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Keputusan Pemerintah dalam membuat suatu Keputusan (Beshickking) harus berdasarkan pada syarat-syarat yang ditentukan oleh Peraturan Perundang-
52
Undangan yang berlaku, apabila suatu keputusan (Beshickking) tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan tersebut berakibat Keputusan yang dibuat menjadi tidak sah. Didalam lapangan hukum administrasi istilah “keabsahan” merupakan terjemahan dari istilah hukum Belanda “rechmatig”, sedangkan perbuatan melanggar hukum merupakan terjemahan dari istilah “onrechtmatig” yang merupakan isitilah dalam lapangan hukum perdata.68 Terkait dengan syarat-syarat keabsahan suatu keputusan (Beshickking), menurut Kuntjoro Purbopranoto yang dikutip oleh Sadjijono menyatakan bahwa, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, agar suatu Keputusan yang dibuat menjadi keputusan yang sah, yakni syarat syarat materiil dan syarat formil, syarat materiil sahnya keputusan meliputi: a. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang (berhak); b. Dalam kehendak alat pemerintahan yang membat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen yurisdiche gebreken in de welsvorming); c. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatanya harus juga memperhatikan prsedure membuat keputusna bilamana prosedure itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechmatig); d. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig). Sedangkan syarat formil sahnya keputusan, meliputi: a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan; c. Syarat-sayarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi; d. Jangka waktu harus ditentukankan antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.69 68 69
Sadjijono (II), Op. cit, h. 96 Lihat Kuntjoro Purbopranoto dalam Sadjijono (II), Ibid, h. 98
53
Berdasarkan syarat-syarat Keputusan yang harus dipenuhi tersebut, maka apabila suatu keputusan (Beshickking) tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan tersebut, maka suatu Keputusan menjadi tidak sah, sehingga mengakibatkan bahwa suatu keputusan menjadi batal demi hukum, dimana tidak dipenuhinya syarat dan unsur-unsur tersebut menyebabkan timbulnya suatu kewajiban untuk membatalakan keputusan tersebut. Selain itu tidak dipenuhi unsur dan syarat keputusan yang tekah ditentukan tersebut juga menyebabkan suatu keputusan dapat digugat di pengadilan. Dalam kaitannya dengan Keputusan Tata Usaha Negara, tindakan hukum pemerintah dianut asas “Presumtio Causa” yang maksudnya bahwa suatu keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya.70 Keputusan Tata Usaha Negara selalu dianggap sah sebelum adanya Putusan Hakim yang membuktikan tidak sahnya suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Jadi dalam hal ini apabila terdapat suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus selalu dianggap sah, dan apabila menimbulkan kerugian bagi sesorang atau badan hukum perdata, maka pihak tersebut dapat mengajukan gugatan di Pengadilan, sampai terdapat putusan pengadilan yang menyatakan Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara tersebut tidak sah. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan bahwa:
70
Titik Triwulan Tutik, Op cit, h. 234
54
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku; b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dimaksud diberikan wewenang tersebut. c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) seteleh mempertimbangkan semua kepentingan, yang bersangkutan dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan tersebut. Berdasarkan rumusan dalam Pasal 53 ayat (2) tersebut, maka apabila dikaitkan dengan keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka dapat diketahui unsur-unsur sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yaitu: 1. Sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang meliputi: Prosedural, substansial dan wewenang. 2. Keputusan harus mengarah kepada maksud dan tujuan pemberian wewenang (tidak menyalahgunakan wewenang). 3. Bertindak secara wajar, rasional atau tidak bertindak sewenang-wenang.71 Jadi dapat dikatakan bahwa syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara pada dasarnya harus memenuhi unsur wewenang, substansi dan prosedural, dimana unsur wewenang dan substansi merupakan landasan bagi keabsahan tindakan pemerintah. Terkait dengan syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dilihat pendapat H.D Van Wijk, yang menyatakan bahwa: Vormgebreken hebben betrekking op de voorbereiding, totstandkoming, inrichting of be kendmaking van een besluit. Inhoudsgrebeken ten slotte zijn afwijkingen van een materiele rechtsnorm. (Suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan Perundang-Undangan yang bersifat prosedural/formal merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang cacat mengenai bentuknya (vormgebreke) dan biasanya menyangkut persiapan, terjadinya, susunan atau pengumuman keputusan yang bersangkutan. 71
Philipus M. Hadjon, 1993, Pemerintah Menurut Hukum (Wet En Rechtmatig Bestuur), Yuridika, Surabaya, h. 8
55
Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang bersifat material/substansial adalah keputusan yang cacat mengenai isinya (inhoudsgebreken))72 Dengan demikian, merujuk uraian tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa suatu keputusan (Beshickking) menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat formil maupun materiil suatu keputusan sebagaimana yang telah diuraikan tersebut, begitu juga dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena keputusan
(Beshickking)
merupakan
suatu
keputusan
administrasi
yang
dikeluarkan oleh organ pemerintah dan Keputusan Tata Usaha Negara juga merupakan suatu Keputusan administrasi, maka syarat-syarat formil dan materiil yang merupakan syarat-syarat sahnya suatu keputusan (Beshickking) juga harus dipenuhi dalam menerbitkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
2.3 Jenis-jenis
Keputusan
Yang
Diterbitkan
Oleh
Kepala
Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Adapun jenis-jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yaitu: 2.3.1 Jenis-Jenis
Keputusan
yang
diterbitkan
oleh
Kepala
Badan
Pertanahan Nasional a. Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah yang diberikan secara umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan 72
H.D. Van Wijk, Op.cit, h. 354
56
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. b. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 73 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. c. Keputusan Penetapan Tanah Terlantar, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. d. Keputusan tentang Pembatalan Keputusan Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Keputusan Penegasan Tanah Sebagai Obyek Konsolidasi tanah. Merujuk uraian diatas, jadi Jenis-jenis keputusan yang dapat diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, yaitu: a. Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah; b. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah; c. Keputusan Penetapan Tanah Terlantar;
57
d. Keputusan tentang Pembatalan Keputusan Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. 1.3.1 Jenis-Jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional a. Keputusan Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf a Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. b. Keputusan Pemberian Hak Milik untuk badan hukum atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf b Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. c. Keputusan Pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 M² (dua ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 5.000 M² (lima ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan
58
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. d. Keputusan Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000 M² (Dua juta meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. e. Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 1.000 M2 (seribu meter persegi) dan tidak lebih dari 5.000 M² (lima ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 huruf a Peraturan Kepala Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. f. Keputusan pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 5.000 M2 (lima ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 huruf b Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
59
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. g. Keputusan pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 huruf a Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. h. Keputusan pemberian Hak Pakai untuk badan hukum atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 huruf b Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. i. Keputusan pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 M² (dua ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 5.000 M2 (lima ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. j. Keputusan mengenai penetapan tanah negara untuk menjadi tanah objek landreform, sebagaimana yang diatur Pasal 9A Peraturan Kepala
60
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. k. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. l. Keputusan tentang Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Keputusan Penegasan Tanah Sebagai Obyek Konsolidasi tanah. Merujuk uraian tersebut, maka jenis-jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yaitu: 1. Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah, dengan spesifikasi: - Hak Milik untuk perorangan dan badan hukum atas tanah pertanian, luasnya lebih dari 20.000 M2. - Hak Milik atas tanah Non Pertanian, luasnya lebih dari 2.000 M2 dan tidak lebih dari 5.000 M2. - Hak Guna Usaha atas tanah, luasnya tidak lebih dari 2.000.000 M2. - Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah, luasnya lebih dari 1.000 M2 dan tindakan lebih dari 5.000 M2.
61
- Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah, luasnya lebih dari 5.000 M2 dan tidak lebih dari 150.000 M2; - Hak Pakai untuk perseorangan dan badan hukum atas tanah pertanian, luasnya lebih dari 20.000 M2. - Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian, luasnya lebih dari 2.000 M² dan tidak lebih dari 5.000 M2. 2. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah. 3. Keputusan mengenai penetapan tanah negara untuk menjadi tanah objek landreform. 4. Keputusan tentang Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah. Dengan semikian jenis-jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasioanl dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yaitu: Tabel 1. Jenis-jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional No. Keputusan No. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Kepala Kantor Wilayah Badan Nasional Republik Indonesia Pertanahan Nasional 1. Keputusan Pemberian Hak Atas 1. Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah yang diberikan secara Tanah dengan spesifikasi tertentu, umum (dalam artian bahwa sebagaimana yang daitur dalam Keputusan Pemberian Hak Atas pasla 6 sampai Pasal 9 Peraturan Tanah yang tidak dilimpahkan Kepala Badan Pertanahan kewenangannya kepada Kepala Nasional Republik Indonesia Kantor Wilayah badan Nomor 1 Tahun 2011 Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Pertanahan) 2.
Keputusan pembatalan Hak Atas Tanah
2.
Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah (dalam artian bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dapat
62
3.
Keputusan Terlantar
Penetapan
Tanah
3.
4.
Keputusan tentang Pembatalan Keputusan Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah (ini berarti bahwa dalam hal terjadi pembatalan Keputusan Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, kewenangannya berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk mengeluarkan keputusan pembatalan tersebut)
4.
menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah yang kewenangannya dilimpahkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional) Keputusan mengenai penetapan tanah negara untuk menjadi tanah objek landreform Keputusan tentang Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah
(Sumber: diolah dari berbagai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia)
2.2.4 Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Sertipikat merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sertipikat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah mengandung makna bahwa sertipikat merupakan bukti hak atas tanah yang bersifat kuat bukan mutlak. Oleh karena itu apabila terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkan suatu sertipikat hak atas tanah, maka pihak tersebut dapat menggugat di Pengadilan sepanjang dapat membuktikan sebaliknya. Adanya
gugatan
di
pengadilan
atas
terbitnya
suatu
sertipikat
menimbulkan konsekuensi bahwa gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan akan
63
menuntut agar sertipikat yang diterbitkan tersebut tidak sah atau membatalkan Sertipikat Hak Atas tanah yang menjadi pokok perkara. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah merupakan salah satu tindakan hukum dalam bidang pertanahan yang diambil oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional. Pembatalan Sertipikat Hak Atas dikonkretkan dengan membatalakan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan dalam hal: 1. Adanya cacat hukum dalam penerbitan sertipikat, sebagaimana ditemukan sendiri oleh Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan. 2. Adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang harus dilaksanakan. Amar putusan pengadilan tersebut harus secara tegas memerintahkan pembatalan keputusan pemberian hak yang bersangkutan.73 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa suatu Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah apabila mengandung cacat hukum dalam penerbitannya dapat dilakukan suatu pembatalan atas sertipikat tersebut tanpa harus ada putusan pengadilan yang telah incraht dan apabila dalam hal terdapat putusan pengadilan yang inkracht yang menyebabkan batalnya sertipikat hak atas tanah, maka sertipikat hak atas tanah tersebut termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah tidak serta merta menjadi batal, karena pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah merupakan tindakan administratif dari pemerintah, sehingga pembatalan sertipikat tersebut harus dilakukan oleh organ atau instansi yang diberikan wewenang untuk membatalkan Sertipikat Hak Atas Tanah yang dimaksud. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 350 K/Sip/1968 tanggal 3 Maret 1969, yaitu:
73
Adrian Sutedi, 2011, Sertipikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, selanjutnya disebut Adrian Sutedi (I), h. 12.
64
Untuk menyatakan batal surat bukti hak milik (sertipikat) yang dikeluarkan oleh instansi agraria secara sah tidak termasuk wewenang Pengadilan, melainkan semata-mata wewenangnya administrasi, sehingga pihak yang oleh pengadilan dimenangkan wajib meminta pembatalan surat bukti hak milik (sertipikat) itu kepada instansi Agraria berdasarkan putusan pengadilan yang diperoleh itu. Berdasarkan hal tersebut, maka terhadap Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah ditindaklanjuti oleh Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu Bentuk Keputusan Tata Usaha Negara, oleh karena itu maka dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah harus dilaksanakan oleh pejabat adminitrasi yang memiliki wewenang yaitu Badan Pertanahan Nasional sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Apabila terdapat putusan pengadilan tentang pembatalan sertipikat yang sudah inkracht harus ditindaklanjuti oleh Badan Pertanahan Nasional dengan menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah melalui permohonan dari pihak yang bersangkutan. Pasal 56 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanhan Nasional Republik Indonesia menetapkan bahwa: “Perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan putusan pengadilan dilaksanakan dengan keputusan pejabat yang berwenang”. Selanjutnya ayat (2) menetapkan bahwa: Proses pengolahan data dalam rangka penerbitan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah diterimanya putusan pengadilan oleh BPN RI, berupa: a. salinan resmi putusan pengadilan yang dilegalisir pejabat berwenang;
65
b. surat keterangan dari pejabat berwenang di lingkungan pengadilan yang menerangkan bahwa putusan dimaksud telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde); dan c. Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi untuk putusan perkara yang memerlukan pelaksanaan eksekusi. Berdasarkan uraian Pasal 56 tersebut, maka Badan Pertanahan Nasional dapat mengambil tindakan hukum berupa penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah setelah dilakukan pengelolaan data terhadap Putusan Pengadilan dimaksud telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) dan Berita Acara eksekusi untuk putusan perkara yang memerlukan pelaksanaan eksekusi. Selain apabila penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah mengandung suatu cacat hukum administrasi, maka Badan Pertanahan Nasional dapat menerbitkan Keputusan Pembatalan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 huruf a Peraturan Kepala Badan Pertanhan Nasional Republik Indonesia yang menetapkan bahwa: “Perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi dilaksanakan dengan menerbitkan Keputusan pembatalan”.
2.3 Sertipikat Hak Milik Hak Atas Tanah Wujud Dari Pendaftaran Tanah 2.3.1 Hak Milik Atas Tanah sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah Hak-hak atas tanah merupakan salah satu perwujudan dari hak menguasai negara dalam bidang pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat
66
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.74 Kata “Menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, pabrik, kata “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.75 Berdasarkan hak menguasai negara atas tanah, maka akan melahirkan macam-macam hak atas tanah, salah satunya yaitu hak milik atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menentukan bahwa “Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuhi, yang dapat dipunyai orang atas tanah. Selanjutnya dalam ayat (2) menentukan bahwa “hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Berdasarkan rumusan Pasal tersebut, maka hak milik merupakan hak-hak yang paling kuat, namun tidak bersifat mutlak, karena dapat beralih kepada pihak lain. Berdasarkan penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, disebutkan sifat-sifat dari hak milik berbeda dengan hak-hak lainnya, yaitu: 74
Urip Santoso, 2011, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah, Edisi Pertama, Cetakan Ke-2, Kencana, jakarta, h. 49. 75 Ibid.
67
Hak milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuhi”, yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak ini merupakan hak “mutlak”, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifatnya yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. kata-kata “terkuat dan terpenuhi” itu bermaksud untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha , Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan lain-lain, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang ter (artinya paling kuat dan terpenuhi).76 Merujuk pada pengertian hak milik atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Notonegoro merinci tentang ciriciri hak milik, sebagai berikut: (1) Merupakan hak atas tanah terkuat bahkan terpenuh menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah terkuat, artinya mudah dihapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. (2) Merupakan hak turun-temurun dan dapat beralih, artinya dapat dialihkan kepada ahli waris yang berhak. (3) Dapat menjadi hak induk, tetapi tidka akan berinduk pada hak-hak atas tanah lainnya, berarti hak milik dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya, sperti HGB, HGU, HP, hak sewa, hak gadai, hak bagi hasil dan hak numpang karang. (4) Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebabni hak tanggungan (dahulu hypotheek dan credietverband). (5) Dapat dilaihkan, seperti dijual, ditukar dengan benda lain, dihibahkan, dan diberikan dengan wasiat. (6) Dapat dilepaskan dengan yang punya, sehingga tanahnya menjadi tanah dikuasai oleh negara. (7) Dapat diwakafkan. (8) Pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali terhadap orang yang memegang benda tersebut.77 Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah, hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu: (1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
76
Soeharyo Soimin, 2004, Status Hak dan Pembebasan Tanah, ed.2, cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2 77 Aslan Noor, 2006, Konsep hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, h. 82-83.
68
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. (3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undangundang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini. Merujuk Pasal 21 tersebut diatas, memberikan konsekuensi yuridis bahwa, dalam hal terjadi pemindahan hak milik baik secara jual beli, pewarisan, penghibahan dan perbuatan-perbutan lain yang berkaitan dengan pengalihan hak milik tersebut diawasi oleh pemerintah, sehingga oleh karena hak milik tersebut hanya dapat diberikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, maka apabila terjadi peralihan kepada orang asing atau badan hukum, maka kepemilikan tanah tersebut batal demi hukum dan status tanahnya menjadi tanah negara. Terkait dengan terjadinya hak milik atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menentukan bahwa: (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hak milik terjadi karena : a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; b. ketentuan Undang-undang. Dengan demikian terjadinya hak milik ada 3, yaitu terjadi hak milik menurut hukum adat, yaitu hak milik yang diperoleh dengan cara ini didasarkan atas
69
hukum adat; 2, hak milik terjadi berdasarkan penetapan pemerintah, yaitu sesorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan hak milik kepada pemerintah, jika permohonan itu dikabulkan maka atas dasar penetapan pemerintah orang atau badan hukum itu memperoleh hak milik; dan (3) terjadi berdasarkan ketentuan undang-undang artinya bahwa karena undang-undang menentukan tentang konversi hak atas tanah tertentu menjadi hak milik.78 Hapusnya Hak Milik diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yang menentukan bahwa: Hak Milik hapus bila: a.tanahnya jatuh kepada Negara : 1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ; 3. karena diterlantarkan; 4. karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). b.tanahnya musnah. Berdasarkan Uraian hak-hak atas tanah diatas, dapat dikatakan bahwa Hak Milik merupakan salah satu jenis hak atas tanah yang berbeda dengan hak-hak atas tanah lainnya, karena hak milik atas tanah merupakan hak atas tanah yang terpenuh, terkuat dan dapat dimiliki secara turun temurun. Hak Milik adalah hak hak terkuat dan terpenuh mengandung makna bahwa Hak Milik berbeda dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai dan hak-hak lainnya. Sedangkan Hak Milik sebagai hak turun temurun mempunyai makna bahwa hak itu dapat diwariskan secara turun temurun dan dialihkan kepada orang lain. Hak Milik sebagai hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan tanah sebagai fungsi sosial,
78
J.B. Daliyo, et, al, 1992, Pengantar Hukum Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 143
70
sehingga dengan sendirinya memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali hak lain di atas tanah hak milik tersebut. 79 Dengan kata lain, diatas hak milik dapat diberikan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, sedangkan Hak Guna Usaha tidak bisa diberikan diatas Hak Milik, karena Hak Guna Usaha hanya diberikan atas tanah yang langsung dikuasai negara. Salah satu kekhususan hak milik adalah tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya, yaitu selama hak milik masih diakui.80
2.3.2 Pendaftaran Tanah a. Pengertian Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah merupakan salah satu tugas negara yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan bagi rakyatnya. Dalam pendaftaran tanah yang didaftarkan tidak hanya hak-hak atas tanahnya melainkan juga tanah negara dan tanah wakaf sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dalam hal tanah negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang bersangkutan dalam daftar tanah.81 Dan pada tanah wakaf, apabila tanah
yang
bersangkutan
bersertipikat,
pendaftaran
dilakukan
dengan
membubuhkan catatan-cataann pada buku tanah dan Sertipikat hak Miliknya.82 Jadi dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa disebut dengan pendaftaran tanah, bukan pendaftaran hak-hak atas tanah, karena yang dapat didaftarkan bukan
79
Yudhi Setiawann (I), Op. cit, h. 41 Aslan Noor, Op. cit, h. 82 81 Boedi Harsono, Op.cit, h. 476 82 Ibid 80
71
hanya hak-hak atas tanah saja seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan hakhak atas tanah lainnya tetapi juga dapat berupa tanah negara dan tanah wakaf. Menurut A.P Parlindungan sebagaimana yang dikutip oleh Urip Santoso memberikan suatu penjabaran tentang asal kata pendaftaran tanah, yaitu: Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari Bahasa Latin “Capistratum” yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Torrens).83 Boedi Harsono memberikan definisi tentang Pendaftaran Tanah, yaitu: Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengelolahan, penyimpanan dan penyajian bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan termasuk penerbitan tanda-buktinya dan pemeliharaannya.84 Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pengertian pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) yaitu rangkaian kegiatan yang meliputi (1) Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah; (2) Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak tersebut; (3) Pembuktian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Selanjutnya menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah mengatur bahwa: Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat 83
Lihat Pendapat AP. Parlindungan dalam Urip Santoso, Op.cit, h.12 Boedi Harsono, Op.cit, h. 72
84
72
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Secara umum tujuan utama dari pendaftaran tanah adalah: 1) untuk memelihara dan mengembangkan sistempendataran tanah secara efisien; 2) untuk menjamin hak-hak atas tanah secara sah menurut undnag-undang atas nama; 3) untuk mengakses ke informasi tanah secara akurat; 4) untukm meningkatkan pemberian layanan.85 Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa “Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah”. Menurut Boedi harsono, kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (“initial registration) dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanh untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagan wilayah suatu desa atau kelurahan. Umumnya prakarsa datang dari pemerintah. 2. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau massal, yang dilakukan atas pemegang atau penerima hak atas tanah yang bersangkutan.86 Dengan demikain pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pendaftaran tanah secara sporadik, yaitu pada dasarnya prakasarsa berasal dari pemohon pendaftaran baik yang bersifat individual maupun massal dengan biaya dari pemohon sendiri. Sedangkan pendaftaran tanah sporadik yaitu pendaftaran tanah yang pada dasarnya berasal dari prakarsa pemerintah. 85
Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, BP. Cipta Jaya, Jakarta, selanjutnya disebut Adrian Sutedi (II), h. 29 86 Boedi Harsono, Op.cit, h.75-76
73
b. Obyek Pendaftaran Tanah Negara Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur penguasaan, peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan atas tanah atau yang dilaksakan oleh Pemerintah yang disebut dengan hak menguasai negara atas tanah menimbulkan adanya hak-hak atas tanah, dimana hak-hak atas tanah ini merupakan obyek pendaftaran tanah yang harus didaftarkan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 obyek pendaftaran tanah meliputi: 1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; 2. Tanah hak pengelolaan; 3. Tanah wakaf; 4. Hak milik atas satuan rumah susun; 5. Hak tanggungan; 6. Tanah negara.
c. Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah Sistem Publikasi dalam pendaftaran tanah dikalangan para ahli disebut juga dengan sistem pendaftaran tanah, namun menurut Boedi Harsono kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan: apa yang didaftarkan, bentuk penyimpangan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.87 Sistem pendaftaran tanah terdiri dari Registration of deeds (sistem Pendaftaran Akta atau Perbuatan hukum) dan Registration of titles (Sistem Pendaftaran Hak atau hubungan hukum).88 Registration of title kemudian dikenal dengan sistem Torens.89 Sedangkan Sistem Publikasi dalam Pendaftaran tanah adalah berkaitan dengan penyajian data yang 87
Ibid, h. 76 Arie S. Hutagalung, et.al, 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, h. 242 89 Boedi Harsono, Op. cit, h. 77 88
74
dihimpun secara terbuka dan disajikan dalam tanda bukti hak sebagai informasi bagi masyarakat yang akan melakukan perbuatan hukum atas tanah yang telah didaftrkan tersebut. Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu sistem Publikasi Positif dan Sistem Publikasi Negatif. 1) Sistem Publikasi Positif Sistem Publikasi Positif dalam pendaftaran tanah menandakan bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak, dalam artian bahwa pendaftaran tanah yang dilakukan oleh orang adalah benar, sehingga apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkannya suatu sertipikat, maka pihak tersebut tidak dapat menuntut perbuatan hukum yang terjadi pendaftaran hak atas tanah tersebut, dan dalam keadaan tertentu pihak ketiga yang dirugikan tersebut akan diberikan kompensasi dalam bentuk yang lain. Dengan kata lain bahwa negara memberikan jaminan bahwa pendaftaran tanah yang dilakukan tersebut sudah dilakukan dengan benar. Sistem publikasi pendaftaran tanah yang positif, ditemukan pada negara-negara Anglo saxon, seperti Inggris, dan negeri-negeri jajahannya. Cara Pengumpulan data pada sistem positif ialah pendaftaran “title” atau hubungan hukum yang kongkrit yaitu haknya.90 Adapun ciri-ciri sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah yaitu: 1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles). 2. Sertipikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat tidak dapat diganggu gugat dan memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah. 90
Ibid.
75
3. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar. 4. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan perlindungan hukum yang mutlak. 5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat mendapatkan kompensasi dalam bentuk lain. 6. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah membutuhkan waktu yang lama, petugas pendaftaran tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti dan biaya relatif lebih besar.91
2) Sistem Publikasi Negatif Sistem Publikasi Negatif dalam pendaftaran tanah mempunyai makna bahwa data yang disajikan dalam pendaftaran belum tentu benar adanya, dengan kata lain bahwa negara tidak jaminan tentang kebenaran data yang disajikan dalam pendafataran. Sehingga apabila ada pihak yang keberatan atas pendaftaran hak atas tanah, maka dimungkinkan adanya gugatan dari pihak lain yang dapat membuktikkan bahwa ia merupakan pemegang hak yang sebenarnya. Terkait dengan sistem publikasi negatif pendaftaran tanah Arie S. Hutagalung menyatakan bahwa Dalam sistem publikasi negatif ini, negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran, oleh karena itu sewaktu-waktu dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. pihak yang memperoleh tanah dari orang yang sudah terdaftar pun tidak dijamin, walaupun dia memperoleh tanah itu dengan iktikad baik.92 Sistem publikasi pendaftaran tanah yang negatif pada umumnya berlaku di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Belanda. Cara pengumpulan data pada sistem ini ialah pendaftaran “deeds” atau perbuatan hukumnya.93 Dengan demikian ciri-ciri sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu: 91
Urip Santoso, Op.cit, h. 264 Ibid, h. 266 93 Arie S. Hutagalung, et.al, Op.cit, h. 242. 92
76
1. Sistem pendaftaran tanah mengunakan sistem pendaftaran akta (registration of deed). 2. Sertipikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat dianggap benars epanjang tidak dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti lain. Sertipikat bukan sebagai satu-satunya tanda bukti hak. 3. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar. 4. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat a]dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertipikat ataupun gugatan ke pengadilan untuk meminta agar sertipikat dinyatakan tidak sah.94
d. Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah Yang dianut di Indonesia Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendafaran Tanah. Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menentukan bahwa “Pendaftaran tersebut pada ayat (1) Pasal ini meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Dengan melihat ketentuan tersebut, maka sertipikat hak atas tanah memiliki pengakuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Meskipun sertipikat mendapat pengakuan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagai alat bukti yang kuat, namun sertipikat belum menjamin adanya kepastian hukum, karena bagi pihak yang berkebaratan atas penerbitan sertipikat tersebut, maka
94
Urip Santoso, Op.cit, h. 266-267
77
dapat mengajukan gugatan di pengadilan dan dapat membuktikan sebaliknya bahwa tanah yang dimaksud adalah miliknya. Adanya gugatan dari pihak lain yang merasa memiliki tanah tersebut, disebabkan oleh karena pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi negatif. Asas Publikasi negatif tersebut telah dijadikan Yurisprudensi yakni putusan Mahkamah Agung No. 459/K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975, yang menyebutkan bahwa “Mengingat stelsel negatif tentang registrasi pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftaranya nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain.95 Menurut Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa “Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”. ketentuan Pasal 32 ayat (1) tersebut mengandung makna bahwa data fisik dan data yuridis yang terkandung dalam data fisik dan data yurids dalam sertipikat harus dianggap benar sebelum ada alat bukti lain yang membuktikannya. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa: Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi 95
Adrian Sutedi (I), Op.cit, h. 4
78
negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipikat dalam Peraturan Pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Merujuk uraian diatas, maka sistem publikasi pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi negatif, namun bukan publikasi negatif yang murni, karena disatu sisi, pendafataran tanah di Indonesia menggunakan sistem pendaftaran hak “registration of titles”, hal ini dapat dilihat dari adanya buku tanah sebagi dokumen yang memuat data yridis dan data fisik suatu bidang tanah dan selanjutnya dihimpun dan disajikan dalam bentuk Sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang didaftar. Ini berarti bahwa pendaftaran tanah memberikan perlindungan hukum yang seimbang atas pendaftaran tanah yang diselenggarakan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam bidang pertanahan sedangkan disisi lain negara tidak menjamin kebenaran data fisik maupun data yuridis yang disajikan dalam Sertipikat, sehingga menyebabkan Sertipikat dapat digugat di Pengadilan.
BAB III KEWENANGAN KEPALA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM MENERBITAKAN KEPUTUSAN PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH
3.1 Kewenangan Badan Pertanahan Nasional 3.1.1 Pengertian Kewenangan Kewenangan atau mempunyai
kedudukan
yang disebut dengan wewenang (beveogdheid) yang
sangat
penting
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, karena dengan adanya wewenang yang didasarkan atas hukum, maka akan memberikan legitimasi bagi tindakan pemerintah. Menurut F.A.M. Stroink sebagaimana yang dikutip oleh Jum Aggriani, dikemukakan bahwa “Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. Dalam hukum tata negara wewenang (bevoegheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht). Dengan demikian dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan”.96 Kewenangan menurut P. Nicolai, adalah sebagai berikut: Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingn (handeling die op rechtsgevoleg gericht zijn en dus ertoe strekken dat bepaalde rechtsgovelgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechten gegeven) aanspraak op het verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten of na te laten.97 (kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau 96
Lihat Pendapat Stroink dalam Jum Aggriani, Op.cit, h. 75 Ridwan HR, Op.cit, h.102.
97
79
80
tindak melakukan tindakna tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan tindakan tertentu). Selanjutnya menurut S.F. Marbun, wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.98 Dari pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa kewenangan merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh organ atau pejabat Tata Usaha Negara yang diberikan oleh Undang-Undang, sehingga dapat dikatakan setiap penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada asas legalitas. Asas legalitas memberikan legitimasi pada kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat atau badan Tata Usaha Negara dalam mengambil suatu tindakan hukum. Menurut Pendapat Indroharto sebagaimana yang dikutip oleh Irfan Fachruddin merumuskan: “...tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya”. 99 Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa adanya pembatasan kekuasaan pemerintah oleh hukum. Sifat wewenang pemerintahan antara lain expressimplied, jelas maksud dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.100 Jadi dalam hal ini, Kewenangan yang 98
SF. Marbun (I), Op.cit, h. 154. Lihat Pendapat Indroharto dalam Irfan Fachruddin, Loc. cit. 100 SF. Marbun (I), Loc.cit 99
81
dimiliki oleh pemerintah terikat pada maksud dan tujuan dari pemberian wewenang tersebut dan dilaksanakan menurut hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yaitu asas-asas umum penyelenggara pemerintahan yang layak. Dalam konsep hukum publik, kewenangan berkaitan dengan kekuasaan hukum, sehingga dengan adanya wewenang memberikan legitimasi bagi penyelenggara pemerintah dalam mengeluarkan keputusan-keputusan secara sepihak yang bersifat mengikat bagi orang lain. Sebagai konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu: Pengaruh, Dasar Hukum, dan Konformitas hukum.101 Phipilus M. Hadjon, menyatakan bahwa: Komponen pengaruh ialah penggunaan wewenang dimaksud untuk megendalikan perilaku subyek hukum; komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).102
3.1.2 Sumber-sumber Kewenangan Pemerintah Kewenangan
merupakan
suatu
kekuasaan
hukum
penyelenggara
pemerintah dalam melaksanakan tindakan hukum publik. Suwoto Mulyosudarmo dengan menggunakan istilah kekuasaan mengemukakan ada dua macam pemberian kekuasaan, yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif
101
Philipus M. Hadjon, et.al, 2011, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 11 102 Ibid.
82
dibedakan antara delegasi dan mandat.103 Menurut Lukman Hakim, yang menyatakan bahwa “Kekuasaan yang diperoleh secara atribusi (atributie van macht) bersumber pada UUD atau Konstitusi melalui asas-asas pembagian kekuasaan. Kekuasaan derivatif yang terdiri atas delegasi dan mandat bersumber dari pelimpahan kekuasaan.104 Jadi secara teoritis, sumber wewenang ada tiga yaitu Atribusi, Delegasi dan Mandat. Menurut Rapport sebagaimana yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon, menyatakan bahwa “Atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil”.105 Jadi wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan suatu pembentukan wewenang tertentu oleh suatu organ yang berwenang berdasarkan peraturan Perundang-Undangan yang diberikan kepada organ tertentu. wewenang yang diperoleh secara atribusi menyebabkan munculnya suatu wewenang baru, dimana wewenang tersebut sebelumnya tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Indroharto membedakan wewenang pemerintahan baru (legislator) yang kompeten untuk memberikan atribusi wewennag pemerintah itu dibedakan antara: original legislator dan delegated legislator.106 Yang disebut sebagai original legislator yaitu badan legislasi yang mempunyai kewenangan membentuk konstitusi dan undang-undang, misalnya MPR dan delegated legislator yaitu
103
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.39-48 104 Lukman Hakim, Op. cit, h. 74 105 Lihat Pendapat Rapport dalam Philipus M Hadjon,et al, Loc. cit 106 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, jakarta, h. 65
83
organ pemerintah yang berdasarkan pada suatu Undang-undang membentuk suatu peraturan yang menciptakan wewenang-wewenang pemerintahan tertentu kepada badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Jadi dapat dikatakan bahwa, dalam suatu wewenang yang diperoleh secara atribusi, pembentukan wewenang atribusi dan penyebaran wewenang utamanya ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar dan pembentukan wewenang organ atau Pejabat Tata Usaha Negara didasarkan pada suatu Peraturan Perundang-undnagan. Dalam artikel 10: 3 Alegemen Wet Bestuursrecht, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut, Yang memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima wewenang disebut delegataris.107 Jadi dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi merupakan suatu bentuk pelimpahan wewenang yang menimbulkan sautu pergeseran kompetensi dari pemberi wewenang (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris), sehingga pemberi wewenang (delegans) tidak menggunakan lagi wewenang tersebut, sehingga tanggungjawab dan tanggunggugat beralih kepada penerima delegasi (delegataris). Menurut Triepel, pengertian delegasi dibedakan dalam echte delegation dan unechte delegation.108Unechte delegation atau yang disebut dengan Konservierende delegation merupakan suatu jenis pendelegasian dengan menyerahkan suatu kompetensi tetapi pemangku kekuasaan yang asli sama memperoleh wewenangnya seperti yang memperoleh kompetensi itu. Jadi dalam 107
Philipus M. Hadjon, et al, Op. cit, h. 13 H. Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, e.al, 2004, Mandat, delegasi, Attribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 65. 108
84
pendelegasian jenis ini, bukan merupakan pendelegasian yang membebaskan secara penuh kewenangan dari pemberi delegasi, melainkan hanya untuk meringankan beban saja, namun dalam pendelgasian ini, walaupun pemberi wewenang masih dapat menggunakan kewenangan seperti sediakala, penerima wewenang dalam bertindak bukan atas nama pemberi wewenang, tetapi dalam bertindak atas nama penerima delegasi sendiri. Sedangkan menurut Triepel, echte Delegation (delegasi sesungguhnya) berarti suatu pelepasan dan suatu penerimaan kompetensi.109 Ini berarti bahwa pemberi wewenang tidak lagi dapat menggunakan wewenangnya, karena telah terjadi suatu penyerahan wewenang (pelepasan) kepada penerima wewenang. Dengan demikian dalam pendelegasian wewenang, terjadi suatu pelepasan dan penerimaan wewenang yang didasarkan atas kehendak dari pihak yang menyerahkan wewenang, sehingga pihak yang mendelegasikan wewenang tidak dapat lagi menggunakan wewenangnya, sedangkan pihak yang menerima pendelegasian wewenang dapat memperluas wewennag yang telah didelegasikan tersebut. Dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi oleh suatu organ atau pejabat Tata usaha Negara, maka organ atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut dapat mendelegasikan kembali wewenang tersebut kepada pejabat Tata Usaha lainnya. Menurut Jum Anggriani, “jika kewenangan yang diperoleh melalui delegasi dilimpahkan kepada badan/lembaga/pejabat TUN yang lebih rendah untuk melaksanakan wewennag dan tanggungjawab atas namanya sendiri.”
110
Contohnya: dari Depdagri dilimpahkan kepada Gubernur dan dari Gubernur 109 110
Ibid, h. 67 Jum Anggriani, Op.cit, h.91.
85
dilimpahkan lagi kepada Kepala Dinas. yang
dilimpahkan
secara
111
subdelegasi,
Selanjutnya wewenang pemerintah indroharto
menjelaskan
bahwa:
“subdelegasi dapat terjadi apabila ditentukan dalam peraturan dasarnya bahwa sang delegataris dapat mendelegasikan lebih lanjut wewenang pemeintahan yang diperolehnya berdasarkan delegasi itu kepada pejabat lainnya. Untuk subdelegasi ini secara mutatis mutandis juga berlaku ketentuan-ketentuan mengenai delegasi pada umumnya.”112
Sejalan dengan pendapat indorharto, H.D. van Wijk
menegaskan bahwa: De gewone vorm van delegatie is die, weararbij een is eerste instantie aan een bestuursorgaan geattribueerde bestuursbevoegdheid door dit orgaan wordt overgedragen aan een ander bestuursorgaan. Maar ook de delegataris kan deze beveogdheid soms weer doorgeven; dan is er sprake van subdelegatie. Voor subdelegatie gelden, mutatis mutandis, dezelfde regels als voor delegatie. 113 (bentuk delegasi yang biasa adalah bentuk, dimana didalam instansi pertama suatu wewenang pemerintah yang dilambangkan kepada suatu lembaga pemerintahan disrahkan oleh lembaga ini kepada lembaga pemerintahan yang lainnya. Namun, pihak yang didelegasikan juga kadang-kadang bisa menyerahkan wewenang ini; sehingga kita dapat berbicara tentnag subdelegasi. Undtuk subdelegasi belaku mutatis mutandis, peraturan yang sama seperti untuk delegasi).
Jadi suatu wewenang pemerintah yang diperoleh secara delegasi dapat dilakukan suatu pelimpahan kembali yang disebut dengan sub delegasi kepada pejabat lainnya apabila ditentukan dalam peraturan dasarnya dan penerima subdelegasi bertindak atas namanya sendiri. Terkait dengan wewenang yang diperoleh secara mandat, dapat dilihat dari pendapat Rosjidi Ranggawidjaja, dengan mengikuti pendapat Heinrich Triepel sebagaimana yang dikutip oleh SF. Marbun, berpendapat bahwa: “Mandat 111
Ibid. Indroharto, Op.cit, h.66-67. 113 Irfan fachruddin, Op.cit, h.52. 112
86
merupakan opdracht/suruhan kepada suatu alat perlengkapan (organ) untuk melaksanakan kompetensi sendiri maupun berupa tindakan hukum oleh pemegang suatu wewenang dengan diberikan kekuasaan penuh kepada suatu objek lain untuk melaksanakan kompetensi si pemberi mandat atas nama si pemberi mandat”.114 Mandat itu dapat berupa opdracht (suruhan) pada suatu alat perlengkapan (organ) untuk melaksanakan kompetensinya sendiri ataupun untuk melaksanakan kompetensi yang dimiliki oleh pemberi mandat atas nama si pemberi mandat. Jadi sumber wewenang yang diperoleh secara mandat, yaitu penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, dimana dalam hal ini penerima mandat bukan merupakan pihak lain dari pemberi mandat, dengan kata lain biasanya terlihat dalam hubungan antara atasan dan bawahan.
3.1.3 Kewenangan Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dalam penyelenggaraan negara, setiap tindakan pemerintah atau kebijakan pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Begitu
juga
tindakan
pemerintah
atau
kebijakan
pemerintah dalam bidang pertanahan harus didasarkan pada Peraturan PerundangUndangan. Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
114
Lihat Pendapat Rosjidi Ranggawidjaja dalam SF. Marbun (I), Op. cit, h. 163
87
kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut, merupakan landasan konstitusional yang memberikan kewenangan kepada penyelenggara pemerintahan dalam bidang pertanahan. Rumusan Pasal tersebut, mengandung arti bahwa kewenangan mengelola dan mengatur tanah dalam bidang hukum publik dalam hukum pemerintahan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana yang dikutip oleh Yudhi Setiawan menjelaskan “Kekuasaan hukum terkait dengan wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam hukum administrasi pemerintahan, kekuasaan hukum menunjuk kepada wewenang Pemerintah Pusat dan diatur dalam norma pemerintahan”. 115 Hal tersebut berarti bahwa tindakan pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang sah yang memiliki dasar hukum. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logis dan yuridis dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 mengatur bahwa: (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
115
Lihat Pendapat Philipus M. Hadjon dalam Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan, Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing, Malang, selanjutnya disebut Yudhi Setiawan (II), h. 10.
88
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Merujuk Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) fungsi utama keagrariaan yang harus dijalankan oleh negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, yaitu: 1. Mengatur dan Menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.116 Sehingga dengan wewenang yang bersumber pada hak negara untuk menguasai tanah harus dipergunakan untuk: a) b) c) d)
Mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Membahagiakan dan mensejahterakan rakyat; Memerdekakan rakyat dari berbagai tekanan hidup; dan Memantapkan kedaulatan, keadilan dan kemakmuran di kalangan masyarakat luas.117 Menurut Sjachran Basah sebagaimana yang dikutip oleh SF. Marbun menyatakan bahwa, “Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan landasan hukum yang memungkinkan administrasi negara melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang di bidang pertanahan”.118 Hal tersebut berarti bahwa diaturnya hak menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung makna bahwa negara sebagai 116
Adrian Sutedi, 2006, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan serta berbagai permasalahan, BP. Cipta Jaya, Jakarta, selanjutnya disebut Adrian Sutedi (III), h. 12 117 Lihat Pendapat Sjachran Basah dalam SF. Marbun, et. al, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h. 371 118 Ibid, h. 364
89
tingkat tertinggi yang memiliki kewenangan dalam bidang pertanahan, dimana negaralah yang memiliki kewenangan dan berhak mengatur penguasaan, peruntukan, pemanfaatan dan penguasaan tanah, sehingga kewenangan negara ini merupakan suatu kewenangan asli atau yang disebut dengan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang lansung bersumber pada Pasal 33 ayat (3) yaitu memberikan kewenangan tersebut kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengatur penguasaan, peruntukkan dan pemanfaatan tanah. Jadi dalam rangka pelaksanaan kewenangan dalam bidang pertanahan tersebut, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk suatu Lembaga Pemerintahan non Departemen yaitu Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga pemerintahan yang mengurusi dan menangani bidang pertanahan. Dengan kata lain bahwa segala urusan dibidang pertanahan menjadi wewenang Badan Pertanahan Nasional yang dipimpin oleh seorang kepala, dan ini berarti adanya suatu penyerahan wewenang dari Presiden kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk menangani urusan dalam bidang pertanahan. Sehingga ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dijadikan landasan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang di bidang pertanahan, sehingga dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, tanggal 19 Juli 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 menetapkan bahwa: Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan baik berdasarkan UndangUndang Pokok Agaria maupun peraturan Perundang-Undangan lain yang meliputi pengaturan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah,
90
pengurusan hak-hak tanah pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden. Selanjutnya dalam rangka penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional, maka dibentuklah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Presiden sebagai pemegang dan penyelenggara pemerintahan memiliki kedudukan sebagai delegated legislator yaitu yang berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, membentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan nasional dengan menciptakan wewenang-wewenang pemerintah dalam bidang pertanahan. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.119 Namun dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, tidak menjelaskan secara tegas tentang wewenang Badan Pertanahan Nasional, tetapi peraturan tersebut menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional. Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional menentukan bahwa: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi : a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; 119
Arie Sukanti Hutagalung, 2008, Kewenangan pemerintah di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 88.
91
c. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; g. pengaturan dan penetapan hak -hak atas tanah; h. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus; i. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan; j. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; k. kerjasama dengan lembaga-lembaga lain; l. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; m.pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; n. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan; o. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; p. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; q. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; r. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; s. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan; t. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan yang berlaku; u. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang -undangan yang berlaku. Berdasarkan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional seperti yang diuraikan diatas, terlihat bahwa Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas dan fungsi yang bersifat administratif yaitu merumuskan kebijakan pertanahan baik yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya. Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, Badan Pertanahan Nasional merupakan lembaga pemerintah Non Departemen yang bertugas untuk membantu
92
presiden dalam pengelolaan keadminstrasian dibidang pertanahan yang meliputi: pengaturan penggunaan tanah, penguasaan tanah, pemilikan tanah dan pemanfaatan tanah, pengukuran tanah, pendaftaran tanah, pegkajian dan penanganan sengketa dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah-masalah pertanahan. Dalam rumusan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional tersebut, secara
tersirat
memuat
wewenang
Badan
Pertanahan
Nasional
untuk
mengeluarkan berbagai peraturan dalam bidang pertanahan yang bersifat mengatur yang diperoleh secara pendelegasian wewenang. Jadi dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional merupakan badan pemerintah dalam tingkat pusat yang
diberikan
wewenang,
tugas,
fungsi
dan
tanggungjawab
untuk
menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang pertanahan. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah, sebagai instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional membentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan dibentuknya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 yang menetapkan bahwa “Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang selanjutnya dalam peraturan ini disebut Kanwil BPN, adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada dibawah dan bertanggung
93
jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan nasional”. Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) menetapkan bahwa “Kanwil BPN dipimpin oleh seorang Kepala”. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas untuk melaksanakan fungsi dan tugas Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang bersangkutan. Dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, menetapkan bahwa: Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kanwil BPN mempunyai fungsi: a. penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pertanahan; b. pengkoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan pemetaan; hak tanah dan pendaftaran tanah; pengaturan dan penataan pertanahan; pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat; serta pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan; c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di lingkungan Provinsi; d. pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah; e. pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) di Provinsi; f. pengkoordinasian penelitian dan pengembangan; g. pengkoordinasian pengembangan sumberdaya manusia pertanahan; h. pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana, dan prasarana, perundangundangan serta pelayanan pertanahan; Berdasarkan uraian diatas, maka terlihat adanya pelimpahan kewenangan dari Presiden kepada Badan Pertanahan Nasional untuk menangani bidang pertanahan yang selanjutnya adanya pelimpahan wewenang kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di Provinsi. Jadi dengan demikian untuk memperjelas dasar hukum yang digunakan terhadap lahirnya kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
94
Tabel 2: Dasar Hukum lahirnya kewenangan Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional No. 1.
Jenis Peraturan Undang-Undang
Keterangan Dasar Dalam Pasal 3 ayat (3) merupakan landasan
Negara Republik Indonesia konstitusional lahirnya kewenangan yang Tahun 1945
dimiliki oleh Pemerintah dalam bidang Pertanahan.
2.
Undang-Undang Nomor 5 Pasal 2 malahirkan tiga fungsi utama dalam Tahun Peraturan
1960 Dasar
Pokok Agraria
tentang keagrariaan khususnya bidang pertanahan Pokok- Indonesia
yang
dijalankan
pemerintah
dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional, yaitu: 1. Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan penggunaan, pemanfaatan, pengelolaan,
persediaan
dan
pemeliharaan tanah. 2. Menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. 3. Menentukan dan mengatur perbuatanperbuatan hukum antara orang-orang menganai tanah. 3.
Keputusan Presiden Nomor Keputusan
Presiden
ini
merupakan
26 Tahun 1988, tanggal 19 peraturan awal yang dikeluarkan oleh Juli 1988 tentang Badan Presiden Pertanahan Nasional.
untuk
Pertanahan
membentuk
Nasional
sebagai
yang
mengurusi
pemerintahan
Badan lembaga bidang
pertanahan. 4.
Peraturan Presiden Republik Peraturan
ini
dibentuk
dalam
rangka
Indonesia Nomor 10 Tahun penguatan kelembagaan Badan Pertanahan
95
2006
tentang
Badan Nasional sebagai lembaga non departeman
Pertanahan Nasional.
yang
berada
bertanggungjawab
dibawah langsung
dan kepada
Presiden. 5.
Peraturan
Kepala
Pertanahan
Badan Peraturan ini merupakan peraturan yang Nasional digunakan
Republik Indonesia Nomor Kantor 4
Tahun
2006
Organisasi
Tata
Kantor
Wilayah
sebagai Wilayah
dasar
dibentuknya
Badan
Pertanahan
tentang Nasional sebagai instansi vertikal dari Kerja Badan Pertanahan
Nasional didaerah
Badan provinsi.
Pertanahan Nasional. (Sumber: diolah dari berbagai Peraturan Perundang-Undangan) 3.2 Sumber Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dalam Menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, organ pemerintahan melakukan suatu tindakan hukum dengan berbagai kebijakan. Tindakan hukum organ pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang berasal dari Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini didasarkan karena, pilar utama negara hukum adalah asas legalitas. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara hukum, sehingga dengan asas legalitas ini akan memberikan suatu legitimasi atas tindakan pemerintah. terkait dengan penggunaan wewenang oleh pemerintah, Philipus M. Hadjon sebagaimana yang dikutip oleh Jufri Dewa yang menyimpulkan terdapat lima norma umum penggunaan wewenang, yaitu:
96
1. Penggunaan wewenang harus berdasarkan peraturan PerundangUndangan (asas wetmatigheid); 2. Larangan menyalahgunakan wewenang; 3. Larangan bertindak sewenang-wenang; 4. Wajib bertindak sesuai dengan norma-norma kepatutan; 5. Wajib memberikan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan yang dilakukan.120 Lebih lanjut dijelaskan, pemerintahan yang bersih atau rechmategheid van bestuur adalah asas keabsahan tindak pemerintahan yang memiliki tiga fungsi; (1) bagi aparat pemerintah berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuursnormen); (2) bagi masyarakat berfungsi sebagai alasan mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden); dan (3) bagi hakim berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsingsgronden).121 Selanjutnya terkait dengan pemerintah dalam mengambil suatu tindakan atau perbuatan hukum harus berdasarkan pada suatu peraturan yang berlaku dapat dilihat dari pendapat dari Belinfante, yakni: “Administratiefrechtelijke rechtshandelingen kunen uitsluitend verricht worden in de gevalen waarin, en op de wije waarop een wettelijk voorschrift dat heeft voorzien of toelaat” (perbuatan hukum yang bersifat hukum administrasi hanya dapat dilaksanakan dalam hal dengan cara yang diperkenankan oleh peraturan yang sah).122 Begitu juga dalam kaitannya dengan tindakan pemerintah berupa penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, organ atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diberikan wewenang untuk itu harus sesuai dengan norma umum dalam penggunaan wewenang sebagaimana yang telah disebutkan tersebut. Setiap tindak pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang 120
Lihat Philipus M. Hadjon dalam H. Muh. Jufri Dewa, 2011, Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif pelayanan Publik, Unhalu Perss, Kendari, h. 84. 121 Yudhi Setiawan (I) Op.cit, h. 16. 122 Adrian Sutedi (I), Op.cit, h. 37
97
sah yang diperoleh dari sumber: atribusi, delegasi dan mandat, serta dibatasi oleh isi (materi), wilayah dan waktu.123 Sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa sumber wewenang pemerintahan pada umumnya diperoleh melalui tiga cara yaitu, Atribusi, Delegasi dan Mandat, yaitu wewenang atribusi merupakan wewenang yang diperoleh dari Peraturan Perundang-Undangan, artinya bahwa peraturan Perundang-Undangan telah mengatur wewenang dari organ pemerintah yang dimaksud. Wewenang delegasi merupakan wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari organ atau badan pemerintanahan kepada oragan atau badan pemerintahan lainnya. Wewenang mandat merupakan suatu wewenang yang biasanya terdapat dalam hubungan rutin antara atasan dan bawahan. Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu bentuk dari perbuatan hukum dalam bidang pertanahan yang berupa pemutusan, penghentian atau peghapusan suatu hubungan hukum terhadap hak milik atas tanah dalam rangka penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan. Menurut doktrin hukum terdapat asas-asas hukum mengenai kebatalan, yakni: nietgheid, nultiteit, yang dibedakan menjadi kebatalan mutlak dan kebatalan nisbi.124 Kebatalan mutlak merupakan suatu perbuatan harus dianggap batal, meskipun tidak perlu diminta secara tegas oleh pihak tertentu, sedangkan kebatalan nisbi adalah pembatalan suatu perbuatan apabila diminta oleh pihak tertentu. Kedua jenis pembatalan tersebut, berkaitan dengan perbuatan yang dianggap sah atau tidak sahnya suatu keputusan sehingga menyebabkan keputusan dibatalkan, dimana yang dapat melakukan pembatalan suatu perbuatan hanya 123 124
Yudhi setiawan (II), Op. cit, 51 Adrian Sutedi (I), Op. cit, h. 243
98
dapat dilakukan oleh hakim atau badan atau pejabat pemerintahan yang diberikan wewenang untuk itu. Jadi keputusan yang batal merupakan keputusan yang pembatalannya harus dengan putusan hakim atau keputusan Badan Administrasi Negara yang lebih tinggi atau badan Administrasi Negara yang mengeluarkan keputusan tersebut. Termasuk juga dalam pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, karena Sertipikat merupakan suatu keputusan yang dikeluarkan oleh organ atau pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional. Pembatalan Sertipikat Hak Milik atas tanah merupakan salah suatu tindakan hukum Badan Pertanahan Nasional sebagai pejabat Tata Usaha Negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan suatu tindakan hukum berupa Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Telah dijelaskan bahwa Badan Pertanahan Nasional merupakan lembaga pemerintah non departemen yang diberikan tugas untuk mengatur peruntukan, penguasaan, pemilikan dan hubungan-hubungan hukum atas tanah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Namun dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tidak dijelaskan secara tegas tentang kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional, dan hanya mengatur tentang tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional, sehingga dapat diartikan bahwa
penetapan kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam
bidang Pertanahan oleh Presiden merupakan suatu bentuk penyerahan wewenang secara delegasi. Wewenang yang diperoleh secara delegasi merupakan suatu penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ atau pejabat pemerintahan kepada organ atau
99
pejabat Pemerintahan lain, dalam hal ini Presiden sebagai organ pemerintahan menyerahkan kewenangan untuk mengurusi bidang pertanahan kepada Badan Pertanahan Nasional. Termasuk juga dalam kaitannya dengan pembatalan Sertipikat Hak Atas tanah, wewenang yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah dapat dilihat dalam Pasal 3 huruf t Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 intinya menentukan bahwa salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional adalah pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Berdasarkan wewenang yang diperoleh secara delegasi tersebut, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai pemimpin Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yang dijadikan sebagai peraturan dasar dalam Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Hak Milik Atas Tanah. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 merupakaan peraturan yang diterbitkan atas dasar kekuasaan regulasi yang materi muatannya bersifat pengaturan. Kekuasaan regulasi merupakan kekuasaan mengatur yang diberikan kepada pemerintah untuk melaksanakan kekuasaan legislatif atau dengan kata lain untuk menjalankan segala sesuatu hal pokok yang dituangkan dalam kekuasaan legislasi.125 Dibentuknya suatu peraturan regulasi bertujuan untuk melaksanakan kekuasaan
125
Yudhi Setiawan (I), Op.cit, h. 62
100
legislasi atau untuk menjalankan segala sesuatu hal pokok yang dituangkan dalam kekuasaan legislasi, sehingga Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 merupakan peraturan regulasi yang dikeluarkan oleh adanya suatu delegasi wewenang atau delegated legislation. Menurut H.W.R. Wade menyatakan bahwa: “A standard argument for delegated legislation is that is necessary for cases where parliament cannot attend to small maters of details”.126 (pendapat mendasar tentang delegated legislation adalah diperlukan untuk kasus-kasus, dimana parlemen tidak dapat mengurus masalah secara mendetail). Dalam rangka melaksanakan regulasi tersebut, Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tindakan-tindakan hukum dalam penyelesaian kasus pertanahan salah satunya yaitu tindakan hukum berupa Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, sebagiamana yang diatur dalam pasal 72 huruf b Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 yang itinya menetapkan bahwa kasus pertanahan yang dalam penanganan BPN RI dinyatakan selesai dengan kriteria penyelesaian berupa Penerbitan Keputusan tentang pemberian Hak Atas Tanah, Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah, pencatatat dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai surat pemberiatahuan penyelesaian kasus. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu kebijakan pertanahan nasional dalam rangka menetapkan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum dengan tanah. 126
H.W.R.Wade, 1977, Administrasi law, Fourth Edition, Oxford University Press, England, h. 698.
101
Dalam melakukan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah terlebih dahulu harus mengetahui perolehan hak atas tanahnya, dimana dengan diketahui perolehan hak atas tanahnya, maka akan menimbulkan prosedur atau mekanisme pembatalannya. Terjadinya suatu pembatalan sertipikat hak milik atas tanah disebabkan oleh perolehan atau penerimaan haknya tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Keputusan pemberian haknya atau telah terjadi kekeliruan atau kesalahan baik secara administrasi maupun dalam hal penerapan peraturannya dalam pemberian haknya tersebut, yang dapat diketahui baik melalui putusan pengadilan yang telah memeperoleh kekuatan hukum tetap maupun tidak. Pembatalan sertipikat hak atas tanah termasuk juga dalam pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, dapat dilakukan, karena: 1. Adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Terkait dengan adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 62 ayat (1) Peraturan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 yang menetukan bahwa “Sertipikat hak atas tanah yang mengandung cacat hukum administrasi dilakukan pembatalan atau pemerintah pencatatan perubahan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut peraturan Perundang-Undangan”. Selanjutnya Pasal 62 ayat (2) menetapkan bahwa: a. kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah; b. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti; c. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
102
d. kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas; e. tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah; f. kesalahan subyek dan/atau obyek hak; dan g. kesalahan lain dalam penerapan peraturan Perundang-Undangan. Terkait dengan perbuatan hukum dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah diatur dalam Pasal 63 yang menetapkan bahwa: “Perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi dilaksanakan dengan: (a) menerbitkan Keputusan pembatalan; dan/atau (b) pencatatan pemeliharaan data pendaftaran tanah”. 2. Sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht). Berdasarkan putusan pengadilan yang teah memperoleh kekuatan hukum tetap, badan atau pejabat yang berwenang dapat melakukan suatu tindakan hukum berupa pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Hak Milik Atas tanah. Tindakan hukum pembatalan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 55 Ayat (1) Peraturan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa: “Tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa: a. pelaksanaan dari seluruh amar putusan; b. pelaksanaan sebagian amar putusan; dan/atau c. hanya melaksanakan perintah yang secara tegas tertulis pada amar putusan”. Terkait dengan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dapat dilihat dalam Pasal 56 ayat (1) yang menetapkan bahwa “Perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan
103
dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan putusan pengadilan dilaksanakan dengan keputusan pejabat yang berwenang”. Jadi dalam hal dilakukan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah baik karena cacat hukum administrasi maupun sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan suatu Keputusan sebagai bentuk dari tindakan hukum dari pejabat yang diberikan wewenang untuk menerbitkan Keputusan pembatalan hak milik atas tanah. Terkait dengan wewenang dalam melakukan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Sertipikat Hak milik Atas tanah dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan bahwa: “Pemutusan hubungan hukum atau pembatalan hak atas tanah atau pembatalan data pemeliharaan data pendaftaran tanah dilaksanakan oleh Kepala BPN RI”. Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (1) menetapkan bahwa: “Kepala BPN RI menerbitkan keputusan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka yang mempunyai wewenang untuk melakukan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Dalam membatalkan sertipikat Hak Milik Atas tanah Kepala Badan Pertanahan Nasional melimpahkan wewenang tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 73 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
104
2011 yang menetapkan bahwa: “Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Deputi dan Kakanwil”. Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (2) menetapkan bahwa: “Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Deputi atau Kakanwil”. Berdasarkan ketentuan tersebut wewenang untuk melakukan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah karena cacat administrasi dan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap selain berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia juga wewenang untuk melakukan pembatalan juga berada pada Kepala Kantor Wilayah melalui pelimpahan wewenang. Pelimpahan wewenang dalam pembatalan diatur dalam Pasal 74 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indoensia Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan bahwa: Kakanwil mempunyai kewenangan untuk membatalkan: a. keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kakan yang terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya; b. keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberiannya dilimpahkan kepada Kakan dan Kakanwil, untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; c. hak milik atas satuan rumah susun untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; dan d. pendaftaran hak atas tanah asal penegasan/pengakuan hak yang terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya dan/atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; e. pencatatan data yuridis/fisik dalam pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagai lanjutan dari penyelesaian kasus pertanahan. Berdasarkan rumusan Pasal-Pasal yang diuraikan tersebut mengandung makna bahwa Kepala Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan untuk membatalkan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah hanya melimpahkan kewenangan tersebut kepada Kepala
105
Kantor Badan Pertanahan Nasional, sedangkan yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai salah satu bentuk dari keputusan Tata Usaha Negara adalah berada pada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah yang menentukan
bahwa
“Dalam
rangka
penyelenggaraan
pendaftaran
tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain”. Sehingga berdasarkan asas “contrarius actus”127 yaitu suatu Keputusan Tata Usaha Negara dibatalkan atau dicabut oleh Pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut, maka yang seharusnya berwenang membatalkan
adalah
Kepala
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kota
yang
menerbitkan Sertipikat Hak Milik tersebut. Namun perlu dijelaskan kewenangan untuk membatalkan Sertipikat Hak Atas tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas Tanah hanya dilimpahkan sampai pada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional disebabkan karena apabila terjadi keberatan atas terbitnya suatu sertipikat maka pihak yang keberatan tersebut dapat mengajukan upaya hukum administratif. Menurut SF. Marbun, Upaya administratif tersebut dapat diajukan baik kepada instansi semula mengeluarkan keputusan itu yang disebut prosedur keberatan, maupun kepada instansi lain dari instansi semula yang mengeluarkan
127
Soehino, 1984, mengatakan bahwa Prosedur Pencabutan Kembali atau perbuatan suatu ketetapan harus sama dengan prosedur pembuatan atau pembentukan ketetapan tersebut (asas Contrarius actus), Lihat Soehino, Asas-Asas Hukum Tata pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, h. 172
106
keputusan itu yang disebut banding administratif.
128
Dengan demikian, maka
apabila terhadap terbitnya suatu Sertipikat Hak Milik Atas Tanah apabila terdapat pihak yang berkeberatan atas terbitnya Sertipikat tersebut, maka terlebih dahulu mengajukan keberatan pada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan, namun apabila tidak mendapatkan penyelesaian maka dapat mengajukan banding administratif berupa Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah tersebut kepada Instansi atasan yaitu kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional maupun kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Terkait dengan Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Permabatlan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, telah dijelaskan sebelumnya, wewenang delegasi merupakan suatu cara untuk memperoleh
wewenang
bagi
pejabat
atau
organ
pemerintah
dalam
menyelenggarakan pemerintahan, dimana dalam wewenang delegasi ini terjadi suatu penyerahan wewenang yang menyebabkan terjadi pergeseran kompetensi dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris). Dalam pemberian atau pelimpahan wewenang ada persayaratan-persayaratan yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan (diserahkan) itu; 2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-Undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan Perundang-Undangan; 3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenalkan adanya delegasi;
128
SF. Marbun (I), Op. cit, 71
107
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan) artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; 5. Peraturan kebijakan (beleidsregeelen) artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.129 Dalam suatu pengertian hukum publik, suatu pendelegasian wewenang dimaksudkan untuk menyerahkan suatu kompetensi yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan baik seluruh atau sebagian kompetensinya kepada pejabat pemerintahan lainnya. Pejabat atau organ pemerintahan yang mendelegasikan wewenang
tersebut
harus
memiliki
suatu
wewenang,
dimana
setelah
mendelegasikan wewenang tersebut, maka pemberi delegasi tidak dapat menggunakan
wewenangnya
tersebut.
Namun
terdapat
pendapat
yang
memberikan batasan totalitas pada pendelegasian wewenang, sebagaimana pendapat H. Mustamin Daeng Matutu. AL. Kajagi, dkk yang menyatakan bahwa “pendelegasian wewenang secara total didalam suatu organisasi sewajarnya tidak boleh dilakukan, dan kalau hal demikian sampai terjadi juga, maka hal itu dengan sendirinya sudah menimbulkan perubahan struktur (susunan tertib) wewenang dalam organisasi yang semula telah disepakati”. 130 Disamping itu, sebagaimana yang telah diuraikan diatas, bahwa dalam penyerahan
wewenang
secara
delegasi
dikenal
dengan
Konservierende
Delegation, yaitu suatu penyerahan wewenang, dimana pemberi wewenang masih memiliki suatu wewenang tertentu, walaupun wewenang tersebut telah diserahkan kepada penerima delegasi. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan pemberi wewenang dengan penerima wewenang memiliki kompetensi yang sama, sehingga
129 130
Muh. Juhfri Dewa, Op. cit, h. 80 H. Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, e.al, Op.cit, h. 15
108
pendelegasian jenis ini bukan untuk membebaskan sepenuhnya terhadap suatu wewenang tertentu, melainkan hanya bersifat meringankan saja. Namun perlu ditegaskan bahwa delegasi wewenang pada jenis ini, penerima delegasi dalam mengambil suatu tindakan hukum tidak atas nama penerima delegasi, melainkan atas namanya sendiri. Jadi dalam hal ini tidak terjadi pendelegasian total atas wewenang yang dialihkan tersebut. Wewenang yang diperoleh secara mandat mempunyai pengertian bahwa terjadinya wewenang mandat didasarkan karena adanya suatu penugasan dari atas kepada bawahan, misalnya dalam hal pembuatan suatu Keputusan atas nama Pemberi Mandat (Mandans). Jadi sipenerima mandat (mandataris) itu sebenarnya tidak lebih dari bawahan/pelayan si pemberi mandat yang berkewajiban melaksanakan
keinginan-keinginan
si
pemberi
mandat.131
Indroharto
menambahkan bahwa pada “mandat” tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan atas penugasan bawahan melakukan suatu tindakaan atas nama dan atas tanggugjawab mandat.132 Jadi wewenang yang diperoleh secara mandat mengandung arti bahwa wewenang yang telah dilimpahkan kepada penerima mandat dapat digunakan sewaktu-waktu oleh pemberi mandat. Untuk memperjelas perbedaan antara delegasi dan mandat dapat dilihat pada tabel berikut:
131 132
H. Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, e.al, Op.cit, h. 112 Lukman Hakim, Op. cit, h. 129.
109
Tabel 3: Perbedaan Delegasi dan Mandat No. 1.
2.
Pelimpahan
Delegasi wewenang
No. dari 1.
Pelimpahan
Mandat wewenang
dalam
organ atau pejabat pemerintahan
hubungan rutin antara atasan
kepada pejabat lainnya yang
dengan bawahan biasanya berupa
didasakan
perintah
pada
peraturan
untuk
melaksanakan
Perundang-Undangan.
tugas.
Pemberi delegasi tidak dapat 2.
Pemberi
menggunakan wewenang yang
menggunakan wewenang yang
telah
telah dilimpahkan setiap saat.
dilimpahkan,
dilakukan Namun
penarikan disisi
dengan
lain
kecuali
mandat
dapat
kembali. dikenal
Konservierende
Delegation
pemberi
delegasi
dapat memggunakan wewenang yang telah dilimpahkan tanpa melalui penarikan kembali. Dan dalam delegasi dapat dilakukan subdelegasi. 3.
Penerima
Delegasi
melakukan hukum
atas
suatu nama
dalam 3. tindakan
Penerima mandat bertindak atas nama pemberi mandat.
penerima
delegasi sendiri, sekalipun dalam delegasi
yang
disebut
Konservierende Delegation dan subdelegasi. 4.
Tanggungjawab beralih kepada 4.
Tanggungjawab
penerima delegasi.
pemberi mandat.
berada
pada
(Sumber: diolah dari berbagai literatur tentang Atribusi, Delegasi dan Mandat)
110
Berdasarkan uraian tentang wewenang yang diperoleh secara delegasi dan mandat apabila dikaitkan dengan wewenang Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah khususnya yang sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu
merupakan wewenang yang
diperoleh secara subdelegasi. Hal ini dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam bidang pertanahan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 sebagai bentuk dari adanya suatu pendelegasian wewenang dari Presiden kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya berdasarkan kewenangan yang diperoleh secara delegasi tersebut Kepala Badan Pertanahan Nasional membentuk Peraturan Kebijakan yaitu berupa Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 yang berisi petunjuk pelaksanaan tentang penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Peraturan kebijakan dibentuk karena adanya kewenangan diskresioner atau Freies ermessen administrasi negara yang mengandung dan aspek pokok yaitu: pertama, kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya, kedua, kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara dilaksanakan.133 Oleh karena itu wewenang freis Ermessen ini dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
133
Ibid
111
1. Belum ada Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang penyelesaian secara kongkrit terhadap suatu masalah tertentu, sedangkan masalah tersebut menuntut penyelesaian segera. 2. Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar bertindak aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya untuk bertindak. 3. Adanya delegasi wewenang dari Perundang-Undangan, maksudnya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur, meninjau dan menentukan tindakan sendiri atas tanggungjawabnya sendiri. 4. Tindakan dilakukan dalam hal-hal tertentu yang mengharuskan untuk bertindak.134 Jadi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yang merupakan peraturan dasar yang mengatur tentang Pembatalan Sertipikat Hak Atas tanah termasuk Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah dibentuk karena adanya suatu delegasi wewenang dari Presiden sebagimana yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006, sehingga Kepala Badan Pertanahan Nasional memiliki kebebasan
untuk
menafsirkan ruang lingkup wewenang dari Badan Pertanahan Nasional yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006, dimana peraturan tersebut tidak mengatur secara tegas mengenai wewenang yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional, tetapi hanya mengatur tentang Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional, sehingga dengan demikian maka dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional memilik kebebasan menafsirkan lingkup wewenangnya termasuk dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden tersebut dan menentukan kapan dan cara bagaimana wewenang tersebut dilaksanakan.
134
Sadjijono (I), Op.cit, h. 76
112
Selanjutnya dalam rumusan Pasal 58 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasioanal menetapkan bahwa: “Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Deputi atau Kakanwil”. Dan Pasal 73 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 yang menetapkan “Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Deputi dan Kakanwil”. Berdasarkan ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan pasal 73 ayat (2) tersebut, kata “dapat mendelegasikan” dan “dapat dilimpahkan” mengandung makna bahwa Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai penerima delegasi kewenangan dari Presiden (delegataris) melimpahkan lebih lanjut sebagian kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, karena Peraturan dasar yang menjadi dasar penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah memberikan kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk mendelegasikan sebagian wewenangnya tersebut. Sebagaimana pendapat dari Mr. H. Mustamin Daeng Matutu. Al kajangi, dkk yang menyatakan bahwa: Jelaslah setiap organisasi, bukan saja pucuk pimpinan yang boleh mengalihkan sebagian wewenangnya kepada bawahan-bawahan langsungnya, tetapi bawahan-bawahan itu dapat pula mengalihkan sebagian wewenang yang diperolehnya melalui pengalihan dari atasan langsungnya kepada bawahan langsungnya juga. Dengan kata lain, bukan saja “delegation” tetapi juga “subdelegation” boleh saja dilakukan dalam setiap organisasi asalkan tidak mendelegasikan keseluruhan wewenangnya secara total. 135 Jadi berdasarkan hal tersebut, maka pelimpahan subdelegasi dalam Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dapat terjadi pelimpahan dari Presiden kepada Kepala
135
H. Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, e.al, Op.cit, h. 14
113
Badan Pertanahan Nasional sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya melimpahkan lagi sebagian kewenangannya tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Pelimpahan sebagian kewenangan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan dapat dilihat dari ditentukannya ruang lingkup kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam Pasal 74 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011. Selanjutnya ketentuan yang diatur dalam pasal 58 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 yang menetapkan “ dapat didelegasikan” dan dapat “dilimpahkan”, mengandung pengertian bahwa terjadi suatu pelimpahan wewenang dari Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada kepala kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dimana pelimpahan itu tidak dimaksudkan melimpahkan sepenuhnya kewenangan yang ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional namun pelimpahan tersebut dimaksudkan untuk meringankan tugas dan mengurangi penumpukan masalah pada Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan. Selain itu dalam subdelegasi wewenang secara teoritik tidak boleh dilakukan dari atasan kepada bawahan, namun dalam prakteknya Pelimpahan kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dapat terjadi secara subdelegasi, karena
114
banyaknya jumlah kasus pertanahan yang ada di Indonesia yang dapat dilihat dari tata penyelesaian kasus pertanahan tahun 2011 dan 2012, yaitu: Tabel 4 Data penyelesaian Kasus Pertanahan Perode Januari-Desember 2011 No
Provinsi Sisa
1
2
Yang Diproses Kasus Jml seles Baru ai
3
4
5
6
sisa
7
K-1 Pern yata an 8
Kriteria Penyelesaian K-2 K-3 k-4 Dgn med Huk SK iasi um 9
10
11
k-5 lain
12
1
Aceh
2
30
32
27
5
27
26
0
1
0
2
Sumatera Utara
264
67
331
76
255
76
12
7
25
22
3
Sumatera Barat
494
389
883
379
504
379
0
116
75
26
4
Sumatera Selatan
3
16
19
1
18
1
0
0
0
1
5
Kep. Bangka Balitung
1
0
1
0
1
0
1
0
7
0
6
Riau
24
137
161
126
35
126
3
21
64
0
7
Kepulauan Riau
33
39
72
59
13
59
0
12
30
5
8
Jambi
21
16
37
34
3
34
2
23
7
2
9.
Bengkulu
15
39
54
43
11
43
0
29
9
3
10.
Lampung
115
36
151
17
134
17
0
5
2
0
11
Banten
157
167
324
166
158
166
0
0
200
0
12
DKI Jakarta
9
107
116
86
30
86
13
9
15
36
13
Jawa Barat
257
492
749
480
272
480
16
125
263
37
14
Jawa Tengah
163
369
532
274
258
274
28
176
834
83
15
Daerah
5
142
147
112
35
112
1
23
42
32
Istimewa
Yogyakarta 16
Jawa Timur
233
167
400
400
0
400
36
9
97
74
17
Kalimantan Barat
10
87
97
77
20
77
0
22
58
2
18
Kalimantan Selatan
55
52
107
8
99
9
0
0
2
6
19
Kalimantan Tengah
40
54
94
89
5
89
11
11
0
10
20
Kalimantan Timur
173
69
242
125
242
125
0
25
14
79
115
21
Sulawesi Utara
29
93
122
43
79
43
0
23
9
6
22
Gorontalo
0
66
66
44
22
44
0
0
0
0
23
Sulawesi Tengah
55
85
140
89
51
89
11
11
46
10
24
Sulawesi Selatan
383
397
780
199
581
199
18
50
126
15
25
Sulawesi Barat
5
45
50
35
15
35
2
24
19
0
26
Sulawesi Tenggara
10
135
145
73
72
73
5
19
34
2
27
Bali
178
337
515
180
335
180
16
0
138
0
28
NTB
70
135
205
99
106
99
4
52
42
13
29
NTT
35
300
335
248
87
248
0
168
66
14
30
Maluku
0
106
106
80
26
80
0
68
9
3
31
Maluku Utara
17
33
50
6
44
6
0
0
0
0
32
Papua
118
53
171
51
67
51
0
26
16
8
33
Papua Barat
17
0
17
8
3
8
4
3
6
3
34
Deputi V
62
994
568
488
568
1
7
79
29
305 3
5254
105 6 830 7
430 2
400 5
430 2
210
106 4
2335
521
Jumlah
(Sumber: TU Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN RI)
Tabel 5 Data penyelesaian Kasus Pertanahan Perode Januari-Desember 2012 No
Provinsi Sisa
1
2
Yang Diproses Kasus Jml seles Baru ai
3
sisa
4
5
6
7
K-1 Pern yata an 8
Kriteria Penyelesaian K-2 K-3 k-4 Dgn med Huk SK iasi um 9
10
11
k-5 lain
12
1
Aceh
5
146
151
38
113
38
0
13
3
84
2
Sumatera Utara
255
89
344
312
32
312
9
2
12
6
3
Sumatera Barat
504
129
633
542
91
542
5
34
31
21
4
Sumatera Selatan
18
30
48
20
28
20
0
28
0
0
5
Kep. Bangka Balitung
1
8
9
5
4
5
0
4
4
3
6
Riau
35
5
40
34
6
34
3
3
0
0
7
Kepulauan Riau
13
47
60
12
48
12
0
9
35
3
116
8
Jambi
3
10
13
2
11
2
0
0
11
0
9.
Bengkulu
11
23
34
17
17
17
0
22
16
0
10.
Lampung
134
25
159
138
21
138
0
7
14
53
11
Banten
158
109
267
182
85
182
15
11
20
4
12
DKI Jakarta
30
107
137
42
95
42
10
29
0
0
13
Jawa Barat
272
384
656
239
417
239
40
93
161
53
14
Jawa Tengah
258
165
423
289
134
289
13
84
19
50
15
Daerah
35
53
88
31
57
31
7
18
39
22
Istimewa
Yogyakarta 16
Jawa Timur
0
687
687
85
602
85
25
65
144
193
17
Kalimantan Barat
20
7
27
16
11
16
0
6
0
0
18
Kalimantan Selatan
99
12
111
110
1
110
0
1
0
0
19
Kalimantan Tengah
5
30
35
30
5
30
0
30
5
0
20
Kalimantan Timur
242
39
281
270
11
270
0
11
0
0
21
Sulawesi Utara
79
85
164
58
106
58
0
0
0
30
22
Gorontalo
22
12
34
29
5
29
0
0
1
0
23
Sulawesi Tengah
51
81
132
5
127
5
2
21
43
14
24
Sulawesi Selatan
581
396
977
636
341
636
0
16
47
147
25
Sulawesi Barat
15
55
70
19
51
19
4
21
0
0
26
Sulawesi Tenggara
72
13
85
76
9
76
0
0
4
0
27
Bali
335
140
475
298
177
298
0
24
14
50
28
NTB
106
61
167
25
142
25
5
6
0
0
29
NTT
87
85
172
95
77
95
0
0
10
0
30
Maluku
26
98
124
23
101
23
10
71
29
7
31
Maluku Utara
44
16
60
29
31
29
0
0
19
12
32
Papua
67
12
79
67
12
67
1
1
0
10
33
Papua Barat
3
32
35
15
20
15
0
8
0
12
34
Deputi V
488
523
502
511
502
1
15
12
57
400 5
3191
101 3 719 6
429 1
290 5
429 1
149
638
681
774
Jumlah
(Sumber: TU Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN RI)
117
Melihat jumlah kasus pertanahan yang ditangani oleh Badan pertanahan nasional tersebut, maka Pengalihan sebagian wewenang dari pemerintah pusat yaitu Kepala Badan Pertanahan kepada bawahan sangat berkaitan dengan masalah efiensi waktu dan kecermatan dalam memecahkan masalah yang diahadapi. Adanya pemusatan wewenang, menyebabkan pemerintah pusat yaitu Kepala Badan Pertanahan Nasional atau atasan akan ditumpuki dengan banyak masalah, sehingga memerlukan banyak waktu untuk menangani dan menyelesaikan kasus yang ada, yang menyebabkan masalah menjadi tertunda dan berlarut-larut. Padahal dalam pengambilan suatu keputusan dituntut adanya suatu kecermatan dan ketelitian agar tidak terjadi kekeliruan. Jadi fungsi pengalihan sebagian kewenangan tersebut yakni menghindari kemungkinan perbenturan antara keharusan memecahkan banyak persoalan dalam waktu terbatas tetapi harus mempertimbangkan secara cermat dan
menjamin mutu keputusan yang
diambil.136 Dengan merujuk uraian tersebut, maka wewenang untuk melakukan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas tanah sebagai bentuk dari pembatalan atau penghentian hubungan hukum antara orang perorangan dengan tanah berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan wewenang tersebut dapat dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 dan Kepala Badan Pertanahan Nasional masih dapat menggunakan wewenang dalam menerbitkan
136
Ibid, h. 23
118
Keputusan Pembatalan tersebut sebagimana fungsi dari Badan Pertanahan Nasional tersebut, karena yang terjadi adalah pelimpahan atau pengalihan sebagian wewenangnya. Sehingga dengan demikian wewenang dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Milik Atas Tanah bersumber dari adanya subdelegasi kewenangan yaitu dari Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai penerima delegasi
(delegataris)
dari
Presiden
melimpahkan
kembali
sebagian
kewenangannya kepada Kepala kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik. Adapun struktur pelimpahan kewenangan dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, yaitu: Gambar. IV Skema pelimpahan kewenangan Kewenangan dalam bidang pertanahan berada pada negara (pasal 33 ayat (3) UUD 1945
Kewenangan Atribusi
Diberikan kepada Presiden sebagai kepala negara.
Dilimpahkan kepada Kepala BPN RI dalam bentuk delegasi (Keppres No. 26 Tahun 1988 dan Perpres No. 10 Tahun 2006)
Kewenangan delegasi
Membentuk Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011 yang mengatur tentang Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah
Pasal 58 ayat (2): Penerbitan BAB IV Keputusan pembatalan, Kepala BPN dapat mendelegasikan kewenangan kepada Kanwil BPN
Kewenangan subdelegasi
(sumber: diolah dari Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan kebijakan serta berbagai literatur)
BAB IV TANGGUNGJAWAB KEPALA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM MENERBITKAN KEPUTUSAN PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH
4.1 Konsep Tanggungjawab Dalam negara hukum, setiap pemerintah dalam mengambil sutu tindakan hukum harus didasarkan pada wewenang yang sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga akibat dari tindakan pemerintah tersebut menimbulkan suatu tanggungjawab bagi pemerintah yang bersangkutan. Tanggungjawab pada dasarnya mempunyai makna bahwa setiap perbuatan seseorang tidak terlepas dari hasil atau akibat dari perbuatan tersebut, dimana atas perbuatan tersebut seseorang tersebut dapat dituntut untuk melaksanakan suatu perbuatan yang layak yang diwajibkan
kepadanya.
Didalam
teori
hukum
dikenal
pengertian
pertanggungjawaban, pertama ialah pertanggungjawaban dalam arti sempit, yaitu tanggungjawab tanpa sanksi, yang kedua ialah tanggungjawab dalam arti luas, yaitu tanggungjawab dengan sanksi.137 Berkaitan dengan pengertian tanggungjawab dapat dilihat dari pendapat Prajudi Atmosudirjo yang dikutip oleh Pipin Sjarifin dan Jubaedah, menyatakan bahwa: Tangungjawab dan pertanggungjawaban dapat dibedakan dalam tiga batasan yaitu responsibility, accountability dan liability. Tanggungjawab dalam arti responsibility adalah tanggungjawab yang berlaku antara bawahan dan atasan. Liability menunjukkan tanggungjawab hukum dan tanggung jawab 137
Lukman Hakim, Op.cit, h. 47
79 119
120
gugat, seperti halnya peneyelesaian perkara melalui pengadilan (hukum) sedangkan tanggung jawab sebagai accountability adalah pertanggungjawaban yang dibuat oleh mereka yang menerima kuasa atau mendapat kewenangan yang diterima untuk kebaikan (kesejahteraan) mereka yang memberikan kuasa (rakyat).138 Berdasarkan pengertian tanggungjawab tersebut diatas, maka terdapat perbedaan istilah dalam tanggungjawab, namun dalam hal kaitannya dengan tindakan hukum pejabat atau organ pemerintahan yang dimaksud adalah tanggungjawab dalam artian liability yaitu tanggungjawab hukum dan tanggung jawab gugat akibat dari adanya suatu kewajiban hukum. Tanggungjawab dalam artian liability juga menyangkut tentang tanggungjawab pemerintah dengan memberikan ganti kerugian atau kompensasi atas suatu kerugian yang terjadi yang
harus
dilakukan
melalui
pengadilan.
Sedangkan
terkait
dengan
taggungjawab dalam arti responsibility misalnya tanggungjawab hukum dari menteri dan para pegawainya atas tindakan-tindakan yang telah dilakukan. Tanggungjawab dalam arti responsibility juga merupakan bentuk tanggungjawab yang dalam tanggungjawab politik, yaitu tanggungjawab pemerintah kepada parlemen. Organ atau pejabat pemerintah dalam melaksanakan fungsi dan tugas serta wewenangnya disertai dengan tanggungjawab. Menurut A.D. Belinfante menyatakan
bahwa
“Niemandkan
een
bevoegheid
uitoefenen
zonder
verantwording schuldig te zijn of zonder dat of die uitefening controle bestaan” (tidak seorang pun dapat melaksanakan kewenangan tanpa meemikiul kewajiban
138
Lihat Pendapat Pradjudi Atmosudirjo dalam Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah,2005,Pemerintah Daerah di Indonesia Dilegkapi Undang-Undang No.32 Tahun 2004, Pustaka Setia, Bandung, h. 146
121
tanggungjawab atau tanpa pelaksanaan pengawasan).139 Tanggungjawab organ pemerintah dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya dapat dibedakan antara tanggungjawab pribadi dan tanggungjawab jabatan. Tanggungjawab pribadi terjadi apabila pejabat atau organ pemerintah dalam melakukan tindakan hukum tidak sesuai dengan wewenang yang dimiliki atau dengan kata lain tanggungjawab pribadi berkaitan dengan perilaku menyimpang aparat pemerintah terhadap peraturan Perundang-Undanganan dan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Tanggungjawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan suatu wewenang dalam pemberian pelayanan publik. Konsep maladministrasi pertama kali diintrodusir tahun 1967, ketika pemerintah Inggris membentuk Parliamentary Commisin for Administrasion (the Ombudsman).140 Menelaah arti kata maladminsitrasi, kata dasar mal dalam bahasa Latin malum artinya jahat (jelek), kata administrasi asal katanya administrare dalam bahasa Latin artinya melayani.141 Jadi maladministrasi dapat dikaitkan dengan perilaku pejabat atau organ pemerinah dalam memberikan pelayanan. Menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, menentukan bahwa: Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelanggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelanggara Negara dan Pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. 139
Ridwan HR, Op.cit, h. 352. Titiek Sri Djatmiati, 2010, Maladministrasi dalam Konteks kesalahan Pribadi dan Kesalahan Jabatan, Tanggung Jawab Pribadi dan Tanggung Jawab Jabatan, dalam Philipus M Hadjon, et, al, Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 74 141 Philipus M. Hadjon, et.al, Op.cit, h. 19 140
122
Ketentuan Pasal tersebut tidak memberikan definisi yang jelas tentang pengertian maladministrasi, karena dalam pengertian tersebut menimbulkan suatu kesulitan untuk menentukan pertanggungjawabannya apakah tanggungjawab pribadi atau tanggungjawab jabatan, karena dalam pengertian maladministrasi tersebut memberikan batasan-batasan dari bentuk-bentuk maladministrasi yang juga menyangkut tanggungjawab jabatan selain tanggungjawab pribadi. Maladministrasi dikaitkan dengan tindakan menyimpang dari aparat, yang tidak mengindahkan atau tidak mengikuti norma-norma perilaku yang baik.142 Jadi maladministrasi berkaitan dengan perilaku pejabat dalam melaksanakan tugas pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik, sehingga maladministrasi ini ditujukan pada tanggungjawab pada pribadi pejabat Tata usaha Negara. Adapun batasan dari maladministrasi yaitu perilaku menyimpang dalam penggunaan suatu wewenang, seperti penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan. Berkaitan dengan tanggungjawab pribadi tidak dikenal asas “Superior Respondeat” (atasan bertanggungjawab atas perbuatan bawahan).143 Jadi tanggungjawab aparat pemerintah dalam melaksakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan publik apabila terjadi suatu maladministrasi, maka yang bertanggungjawab adalah aparat pemerintah sendiri secara pribadi, dalam hal ini tanggungjawab yang ditimbulkan tidak melihat sumber wewenang yang diperoleh dari
aparat
pemerintah.
Sehingga
konsekuensi
yang
ditimbulkan
atas
tanggungjawab pribadi atas tindakan pemerintah berkaitan dengan tanggung jawab administrasi, tanggungjawab pidana dan tanggung gugat perdata, karena 142 143
Titiek Sri Djatmiati, Loc.cit Ibid, h. 94
123
tanggungjawab pribadi seorang pejabat atau organ pemerintah berhubungan dengan adanya maladministrasi. Selanjutnya dalam tanggungjawab jabatan organ atau pejabat pemerintah berkaitan dengan legalitas atau keabsahan tindakan pemerintah. Ruang Lingkup legalitas tindak pemerintahan meliputi: wewenang, prosedur, substansi.144 Wewenang yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa tindak pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang sah, dimana sumber wewenang pemerintah diperoleh melalui tiga sumber yaitu, atribusi, delegasi dan mandat. Selanjutnya dalam hal prosedur dikenal tiga asas umum yang menjadi tumpuan utama prosedur dalam hukum administrasi yaitu asas negara hukum, asas demokrasi dan asas instrumental.
145
Asas negara hukum dapat memberikan
perlindungan hak, asas demokrasi dapa memberikan keterbukaan informasi, dan asas instrumental yang dimaksud adalah dapat berdaya guna bagi masyarakat. Dan Substansi yang dimaksud yaitu bahwa tindakan pemerintah dibatasi secara substansial yaitu harus didasari pada tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh Peraturan yang menjadi dasanya. Atau dengan kata lain, aspek substasial menyangkut “apa dan “untuk apa”, cacat substansial menyangkut “apa” merupakan tindakan sewenang-wenang; cacat substansial menyangkut “untuk apa” merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang.146 Jadi organ atau pejabat pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum harus memenuhi ketiga komponen tersebut, tidak dipenuhi ketiga komponen tersebut, maka tindak organ atau pejabat pemerintah menjadi tidak sah atau cacat 144
Philipus M. Hadjon, et.al, Op.cit, h. 17. SF. Marbun, et.al, Op.cit, h.429. 146 Ibid, 430. 145
124
dalam tindakan pemerintah. Menurut Titiek Sri Djatmiati, yang menyatakan bahwa:” cacat wewenang mengakibatkan tindakan pemerintah atau keputusan pemerintah menjadi batal demi hukum (nietig); cacat prosedur tidak menyebabkan tindakan atau keputusan pemerintah menjadi batal namun kekurangan yang harus dilengkapi, cacat prosedur dapat dimohonkan pembatalan, dan bukan batal demi hukum”.147 Konsekuensi yang ditimbulkan dari tindak pemerintah sebagai wujud tanggungjawab
jabatan
organ
atau
pejabat
pemerintah
dapat
berupa
tanggunggugat perdata dan tanggung gugat Tata Usaha Negara. Tanggung gugat perdata yang dimaksudkan yaitu berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh oragan atau pejabat pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum. Para ahli hukum administrasi memberi arti tanggung gugat pemerintah adalah kewajiban Pemerintah atau Pemerintah Daerah membayar ganti rugi sebagai akibat badan dan/atau pejabatnya melakukan tindakan yang cacat hukum baik dalam menjalankan tugas, jabatan, pelayanan publik, maupun kesalahn administratif.148 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ada dua jenis tanggung gugat, yaitu tanggung gugat sebagai konsekuensi atas kerugian karena implementasi dari KTUN dan tanggung gugat karena perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan hukum.149
147
Titiek Sri Djatmiati, Op. cit, h. 95 Lukman Hakim, Op.cit, h. 45-46 149 Ibid, h. 46. 148
125
Perbandingan antara tanggungjawab jabatan dan tanggung jawab pribadi dapat digambarkan dalam tabel berikut150: Tabel 6. Perbandingan tanggungjawab jabatan dan tanggungjawab pribadi Tanggung Jawab Jabatan a. Fokus: legalitas (keabsahan) tindakan: Wewenang Prosedur Substansi
b.
c.
d.
e. f.
Tanggung Jawab Pribadi Fokus: maladministrasi Perilaku jelek aparat dalam pelaksanaaan tugas perbuatan tercela Antara lain: - sewenang-wenang - Penyalahgunaan wewenang Parameter: Parameter: - Peraturan Perundang-Undangan 1. Peraturan Perundang-Undangan - Asas-asas umum pemerintahan 2. Asas-asas umum pemrintahn yang yang baik baik 3. - Code of good administrative behavior (Uni Eropa) Pertanyaan hukum: Pertanyaan hukum: Adakah cacat yuridis menyangkut: Adakah maladministrasi dalam Wewenang tindakan tersebut? Prosedur Substansi Asas praesumptio iustse causa Berkaitan dengan tindak pidana: asas Setiap tindakan pemerintahan harus praduga tak bersalah dianggap sah sampai ada pencabutan atau pembatalan Asas vicarious liability: berlaku Asas vicariuos liability: tidak berlaku Sanksi: administrasi, perdata Sanksi: administrasi, perdata, pidana
(Sumber: Philipus M. Hadjon, et, al, Hukum Adminitrasi dan Tindak Pidana Korupsi, h. 20-21)
4.2 Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, dalam rangka penyelesaian kasus pertanahan dilakukan suatu tindakan hukum dari Badan Pertanahan Nasional berupa Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. 150
Philipus M. Hadjon, et.al, Op.cit, h. 20-21
126
Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah merupakan suatu bentuk penyelesain sengketa hak atas tanah yang disebabkan karena Sertipikat Hak Atas Tanah yang merupakan Suatu Keputusan (beshickking) menimbulkan kerugian pihak tertentu, dimana pembatalan Sertipikat hak Atas tanah termasuk Sertipikat Hak mIli Atas tanah bertujuan untuk memutuskan, menghentikan atau menghapus hubungan hukum antara subyek hak atas tanah dengan obyek hak atas tanah. Menurut Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa “pembatalan Hak atas Tanah yaitu pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Jadi pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas Tanah terjadi karena cacat hukum administrasi dan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dapat dilakukan karena sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan karena cacat hukum administrasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Oleh karena itu adapun mekanisme pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, yaitu:
127
4.2.1 Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai Pelaksanaan Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang didasarkan putusan pengadilan adalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mempunyai makna bahwa terhadap suatu putusan pengadilan telah tidak ada upaya hukum lagi atau upaya hukum masih tersedia, namun para pihak yang berperkara tidak menggunakan upaya hukum tersebut dan telah lewat tenggang waktu sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang. Terdapatnya putusan Pengadilan yang menyebabkan batalnya suatu suatu Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, tidak serta merta Sertipikat Hak Milik tersebut menjadi batal, melainkan pembatalan tersebut harus dilakukan oleh instansi pemerintah yang memiliki wewennag untuk melakukan pembatalan terhadap Sertipikat Hak Atas Tanah dan harus didasarkan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 350 K/Sip/1968 tanggal 3 Mei 1969 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 716 K/Sip/1973 tanggal 5 September 1973, yang menyatakan bahwa: “Pengeluaran/pencabutan dan pembatalan surat sertipikat adalah semata-mata wewenang dari Kantor Pendaftaran Tanah dan Pengawas Pendaftaran Tanah, bukan termasuk wewenang Pengadilan Negeri ”.151 Ini berarti bahwa yang berwenang
151
Adrian Sutedi (1), Op. cit, h. 12
128
membatalkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah adalah instansi pemerintah yang mempunyai wewenang atas permohonan pihak yang berkepentingan atau pihak yang dimenangkan yang berdasarkan pada Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut. Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai pelaksanaaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didasarkan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan bahwa: “Proses penerbitan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dilakukan
berdasarkan
adanya
pengaduan/permohonan
pihak
yang
berkepentingan”. Selanjutnya permohonan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah dapat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Badan Pertanahan Nasional, dimana berdasarkan Pasal 59 ayat (3), surat permohonan pembatalan tersebut harus dilengkapi dengan: a. putusan pengadilan yang memutus perkara kasus tanah; b. Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi untuk putusan perkara yang memerlukan pelaksanaan eksekusi; c. surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan. Dalam melakukan pengajuan permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah, tindakan Badan Pertanahan Nasional dalam rangka
129
melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55, yang menetapkan: (1) Tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa: a. pelaksanaan dari seluruh amar putusan; b. pelaksanaan sebagian amar putusan; dan/atau c. hanya melaksanakan perintah yang secara tegas tertulis pada amar putusan. (2) Amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah, antara lain: a. perintah untuk membatalkan hak atas tanah; b. menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah; c. menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum; d. perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam buku tanah; e. perintah penerbitan hak atas tanah; dan f. amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya, beralihnya atau batalnya hak. Namun tidak semua Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dijadikan dasar untuk melakukan pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, alasanalasan yang sah untuk tidak melakukan perbuatan hukum berupa penerbitan Keputusan pembatalan dapat dilihat dalam Pasal 54 ayat (2) yang menetapkan bahwa: “Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a.terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan; b.terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan; c.terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain; d. alasan lain yang diatur dalam peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan alasan-asalan tersebut, maka Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang memiliki wewenang untuk itu dapat menolak permohonan
130
pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
dengan memberitahukan
kepada pemohon yang disertai dengan alasan dan pertimbangannya, sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 60 ayat (3). Dalam rangka proses penanganan permohonan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah untuk melaksanakan Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, adapun tahap-tahap yang dilaksanakan sesuai dengan Pasal 60 ayat (1), yaitu: a. penelitian berkas permohonan/usulan pembatalan; b. penelitian dan pengolahan data putusan pengadilan; c. pemeriksaan lapangan dalam hal diperlukan; d. Gelar Internal/Eksternal dan Gelar Mediasi; e. Gelar Istimewa dalam hal sangat diperlukan; f. penyusunan Risalah Pengolahan Data; dan g. pembuatan keputusan penyelesaian kasus. Jadi dalam pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah tindakan terakhir yang dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang memiliki wewenang untuk itu dalam rangka pelaksnaaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu berupa Penerbitan Keputusan Pembatalan. Setelah dilakukan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yaitu berupa penerbitan Keputusan Pembatalan, maka dilakukan pencatataan pada Buku Tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan setelah diterima salinan Keputusan tentang Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah tersebut, hal ini dapat dilihat dari Pasal 55 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran yang menentukan bahwa “Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan
131
Pengadilan dilakukan setelah diperoleh Keputusan mengenai hapusnya hak yang
bersangkutan
dari
Menteri
atau
Pejabat
yang
ditunjuknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1)”. Selanjutnya dalam Pasal 125 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menetapkan bahwa: “Pendaftaran pencatatan hapusnya suatu hak atas tanah atau Hak
Pengelolaan atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun berdasarkan putusan Pengadilan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan setelah diterimanya salinan keputusan mengenai hapusnya hak bersangkutan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk”.
4.2.2 Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah karena cacat hukum administrasi. Dalam proses pendaftaran tanah memuat
kegiatan dalam
penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah, dimana hal tersebut berpotensi timbulnya kesalahan atau kekeliruan dalam kegiatan tersbeut, sehingga menimbulkan suatu sertipikat yang cacat hukum admnistrasi. Cacad hukum admnistrasi merupakan salah satu sebab, bahwa suatu Sertipikat Hak Atas Tanah untuk dilakukan Pembatalan. Sertipikat Hak Milik Atas tanah yang terdapat cacat hukum administrasi, Badan Pertanahan Nasional dapat melakukan perbuatan hukum berupa Penerbitan Keputusan
132
Pembatalan. Cacat hukum administrasi yang dimaksud yaitu dapat dilihat dalam Pasal 62 ayat (2) yang menetapkan: a. kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah; b. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti; c. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat; d. kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas; e. tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah; f. kesalahan subyek dan/atau obyek hak; dan g. kesalahan lain dalam penerapan peraturan Perundang-Undangan. Dalam proses penanganan atas Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang cacat hukum administrasi, permohonan diajukan oleh pihak yang berkepentingan/ pemohon atau kuasanya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 64 ayat (1). Selanjutnya menurut Pasal 64 ayat (3) menetapkan bahwa: Surat permohonan/usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri data pendukung antara lain: a. sertipikat hak atas tanah yang kedapatan cacat hukum administrasi; b. hasil pengolahan data yang membuktikan adanya cacat hukum administrasi; c. salinan amar putusan pengadilan atau pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang substansinya menyatakan tidak sah dan/ atau palsu dokumen yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah; d. surat-surat lain yang mendukung alasan permohonan pembatalan. Dalam hal permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah tidak hanya datang dari pihak yang merasa dirugikan atas diterbitkan Sertipikat Hak Milik atas tanah tertentu, tetapi permohonan pembatalan tersebut dapat berasal dari Aparatur Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 65 yang menetapkan bahwa:
133
Pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1): a. aparatur BPN RI yang mengetahui data dan/atau warkah penerbitan hak atas tanah yang tidak sah mengenai substansi dan/atau proses penerbitannya; b. aparatur BPN RI mempunyai bukti adanya kesalahan prosedur administrasi penerbitan sertipikat hak atas tanah; dan c. pihak yang dirugikan akibat terbitnya sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum. Terhadap Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang mengandung cacat hukum administrasi dapat diambil suatu perbuatan hukum berupa menundaan untuk dilakukan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 66 ayat (2) yang menetapkan bahwa: Alasan yang sah untuk menunda atau menolak pelaksanaan perbuatan hukum administrasi pertanahan sebagaimana dimaksud ayat (1) antara lain: a. surat yang akan dibatalkan sedang dalam status diblokir, disita oleh pejabat yang berwenang (conservatoir beslag-CB); b. tanah yang dimohon perbuatan hukum administrasi merupakan tanah yang merupakan obyek perkara di pengadilan; c. pelaksanaan pembatalan diperkirakan dapat menimbulkan gejolak sosial/konflik massal. Tata cara dalam Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah karena cacat hukum administrasi sama dengan tata cara Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 ayat (1) yang menetapkan bahwa: “Proses penanganan permohonan perbuatan hukum pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi melalui tahapan penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27”. Selanjutnya adapun tata cara penanganan yang daitur dalam Pasal 27 yaitu: a. b. c. d.
penelitian/pengolahan data pengaduan; penelitian lapangan; penyelenggaraan Gelar Kasus; penyusunan Risalah Pengolahan Data;
134
e. penyiapan berita acara/surat/keputusan; dan/atau f. monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa. Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang belum dialihkan dan yang telah dialihkan, memiliki mekanisme dalam mengambil suatu perbuatan hukum melalui cara yang berbeda. Adapun mekanisme pembatalan Sertipkat Hak Atas tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, yaitu: a. Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang cacat Hukum Administrasi dan belum dialihkan haknya diatur dalam Pasal 67 ayat (2), yang menetapkan bahwa: Sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi dan belum dialihkan haknya dilakukan melalui proses: a. dilakukan penelitian oleh Kantor BPN setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai tahap pembuatan Risalah Pengolahan Data paling lambat 3 (tiga) bulan setelah menerima surat permohonan; b. dalam hal Risalah Pengolahan Data berkesimpulan bahwa terdapat cacat hukum administrasi yang dapat berakibat batalnya sertipikat hak atas tanah, Kakan mengajukan usulan pembatalan sertipikat hak atas tanah kepada pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73. c. pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam huruf b melakukan penanganan melalui tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan pembuatan Risalah Pengolahan Data paling lambat 3 (tiga) bulan setelah menerima usulan sebagaimana dimaksud huruf b untuk menetapkan perbuatan hukum pertanahan berupa: 1) pembatalan sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi; 2) penetapan pencatatan dalam Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya; 3) penolakan usulan pembatalan. d. dalam hal pejabat berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 tidak dapat mengambil suatu keputusan, diusulkan untuk dilakukan Gelar Istimewa guna menentukan dapat tidaknya pembatalan sertipikat yang terdapat cacat hukum administrasi; e. selanjutnya dilakukan tindakan sesuai dengan putusan Gelar Istimewa; f. dalam hal terdapat gugatan ke pengadilan dengan keputusan pengadilan yang menguatkan adanya cacat hukum administrasi,
135
BPN RI tidak melakukan upaya banding atau kasasi dan langsung melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
b. Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang cacat Hukum Administrasi yang telah dialihkan haknya diatur dalam Pasal 67 ayat (3), yang menetapkan bahwa: Sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi, yang telah dialihkan kepada pihak lain, proses penyelesaiannya sebagai berikut: a. pencatatan dalam Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya bahwa sertipikatnya terdapat cacat hukum administrasi sesuai dengan hasil Risalah Pengolahan Data; b. pencatatan dalam Buku Tanah bahwa sertipikat yang terdapat cacat hukum administrasi tidak dapat dialihkan lagi selama belum dilakukan pembetulan atas cacat hukum administrasi yang ditemukan; c. dilakukan Gelar Istimewa untuk menentukan dapat tidaknya pembatalan sertipikat yang terdapat cacat hukum administrasi dengan putusan: 1) tindakan pembatalan sertipikat tanpa menunggu putusan pengadilan; 2) tindakan pembatalan sertipikat dilaksanakan setelah terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. d. dalam hal terdapat gugatan ke pengadilan dengan keputusan pengadilan yang menguatkan adanya cacat hukum administrasi, BPN RI tidak melakukan upaya banding atau kasasi dan langsung melaksanakan putusan pengadilan berupa pembatalan sertipikat yang cacat hukum administrasi. Merujuk uraian diatas pada dasarnya walaupun suatu Sertipikat Hak Milik Atas tanah walaupun terdapat adanya cacat hukum administrasi, namun cacat hukum administrasi tersebut harus dikuatkan dengan bukti-bukti seperti amar putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Sertipikat hak Milik Atas tanah tidak sah dan bukti-bukti lainnya, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 71 ayat (2) Peraturan Kepala badan Nomor 3 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa:
136
Cacat hukum administrasi yang dapat mengakibatkan tidak sahnya suatu sertipikat hak atas tanah harus dikuatkan dengan bukti berupa: a. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan/atau b. hasil penelitian yang membuktikan adanya cacat hukum administrasi; dan/atau c. keterangan dari penyidik tentang adanya tindak pidana pemalsuan surat atau keterangan yang digunakan dalam proses penerbitan, pengalihan atau pembatalan sertipikat hak atas tanah; dan/atau d. surat-surat lain yang menunjukkan adanya cacat administrasi. Dengan demikian maka dalam hal Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah baik sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang menjadi dasar bagi Aparatur Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai wewenang untuk itu dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang berupa Penerbitan Keputusan Pembatalan adalah Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht) dan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas karena cacat hukum administrasi yang mengakibatkan suatu Sertipikat Hak Milik Atas tanah menjadi tidak sah dikuatkan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hasil penelitian yang membuktikan adanya cacat hukum admnistrasi, keterangan penyidik tentang adanya tindak pemalsuan dalam penerbitan atau peralihan suatu Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dan surat-surat lain yang membuktikan telah terjadi cacat hukum administrasi. Pengajuan permohonan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah oleh pihak yang berkepentingan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten dan/atau Kota, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/ atau Kepala Badan Pertanahan Nasional. Namun pada umumnya oleh karena pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana yang daitur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
137
Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, sehingga seluruh data yuridis dan data fisik berada pada Kantor Pertanahan, maka permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah dapat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk dilakukan suatu kajian dengan melakukan penelitian data fisik dan data yuridis terhadap Sertipikat Hak Milik Atas tanah yang dimohonkan untuk dibatalkan. Dan dalam hal penerbitan Keputusan Pembatalan yang mempunyai wewennag adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional dan dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, maka Kepala Kantor Pertanahan akan meneruskan permohonan pembatalan yang telah memenuhi persyaratan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang disertai dengan hasil kajian yang telah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan. Dalam hal terdapat permohonan pembatalan atas Sertipikat Hak Milik Atas Tanah baik karena cacat hukum administrasi maupun didasarkan atas Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka perlu dilakukan
pemberitahuan kepada termohon tentang adanya permohonan
pembatalan, hal ini bertujuan untuk memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik dan menghindari terjadinya kesewenang-wenangan. Hal tersebut dapat dilihat dari Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 19 Juli 2000, Nomor: 500-2147 yang ditujukan kepada Seluruh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se Indonesia menetapkan bahwa: Agar setelah menerima permohonan pembatalan hak/sertipikat, segera memberitahukan secara tertulis kepada termohon (pihak yang dimintakan
138
pembatalan) tentang adanya permohonan pembatalan hak/sertipikat, disertai alasan-alasannya dengan penjelasan : 1. Apabila permohonan pembatalan itu berdasarkan atas kekuatan keputusan Badan Peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kepada termohon tidak perlu diminta untuk menanggapi; 2. Apabila permohonan pembatalan tersebut karena alas hak yang tidak sah atau cacat administrasi, kepada termohon diberi tenggang waktu 1 (satu) bulan untuk menanggapi; 3. Surat pemberitahuan tertulis dan tanggapannya menjadi warkah dan apabila kewenangan pembatalan ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional, harus disertakan sebagai bahan pertimbangan. Dengan diaturnya mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan salah satu penerapan asas kepastian hukum berupa pelaksanaan putusan hakim secara nyata begitu juga perbutan Aparatur Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional berupa Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah karena cacat hukum administrasi juga merupakan salah satu pelaksanaan asas kepastian hukum, yaitu kepastian bagi tindakan pemerintah dalam hal memberikan kepastian bagi masyarakat yang merasa dirugikan karena Sertipikatnya menjadi tidak sah akibat adanya cacat hukum administrasi.
4.3 Konsekuensi Yuridis diterbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara sebagai tanda bukti yang kuat kepemilikan hak atas tanah. Namun apabila terhadap Sertipikat tersebut terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya dan terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan sertipikat tersebut tidak sah, maka bagi pihak yang
139
berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang dimaksud. Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu wujud dari pengelolaan dan pengkajian suatu kasus pertanahan. Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 menetapkan bahwa: Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dimaksudkan untuk: a. mengetahui akar, sejarah dan tipologi kasus pertanahan dalam rangka merumuskan kebijakan strategis penyelesaian kasus pertanahan di Indonesia; b. menyelesaikan kasus pertanahan yang disampaikan kepada Kepala BPN RI agar tanah dapat dikuasai, dimiliki, dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya serta dalam rangka kepastian dan perlindungan hukum. Selanjutnya dalam ayat (2) menetapkan bahwa: “Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum akan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia”. Jadi dengan diterbitkannya Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai wujud dari penyelesaian kasus pertanahan maka akan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan atas hak milik atas tanah tertentu. Sertipikat Hak Milik Atas tanah merupakan salah satu Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena Sertipikat Hak Milik Atas tanah merupakan keputusan, maka secara teoritik dalam hal dilakukannya Pembatalan keputusan dapat terjadi karena batal (nietig), batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan
140
(vernietgbaar). Secara singkat perbedaan antara batal, batal demi hukum dan dapat dibatalkan, dapat dilihat dalam tabel sebagi berikut:152 Tabel 7. Perbedaan antara nietig, van rechswege nietig dan verniatigbaar Uraian
Nietig
1. Sejak kapan Ex tunc*) dibatalkan 2. Tindakan Pembatalan
Van rechswege Vernietigbaar nietig Ex tunc
Ex nunc*)
Tidak harus Tanpa harus ada Mutlak harus ada dengan putusan putusan atau putusan atau atau Keputusan keputusan keputusan Sifat putusan atau ------------------keputusan.
Sifat putusan atau keputusan
Konstatering atau deklaratur
konstitutif
(Sumber: Philipus M. Hadjon, Kebutuhan akan Hukum Administrasi Umum, h. 74)
*) Ex tunc
: secara harfiah “ex tunc” berarti sejak waktu (dulu) itu. dalam koneks ini, “ex tunc” berarti perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada. Ex nunc : secara harfiah “ex nunc” berarti sejak saat sekarang. Dalam konteks ini “ex nunc” berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya.153 Jadi dalam hal ini suatu Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah dapat dilakukan tidak harus dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (dalam hal ini dapat dikatakan pembatalan karena cacat hukum administrasi) dan didasarkan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap Sertipikat Hak Milik Atas tanah mengandung cacat hukum administrasi dalam artian terdapat kesalahan prosedur dalam penerbitannya, diterbitkan Keputusan pembatalannya 152
dimana dalam
Philipus M. Hadjon, 2010, Kebutuhan akan Hukum Administrasi Umum, dalam Philipus M Hadjon, et, al, Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 74 153 Ibid.
141
penerbitan Keputusan Pembatalan tersebut tidak harus adanya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melainkan Putusan Pengadilan hanya sebagai data pendukung dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan sebagaiama yang diatur dalam Pasal 64 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2011, sehingga
Sertipikat tersebut menjadi batal demi hukum, dan konsekuensi hukum yang ditimbulkan yaitu Sertipikat Hak Milik Atas tanah tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah diterbitkan (ex. tunc), dalam artian bahwa Sertipikat tersebut dianggap batal terhitung sejak diterbitkannya Sertipikat Hak Milik tersebut. Sedangkan apabila terdapat putusan pengadilan atas suatu sengketa Sertipikat Hak Milik Atas tanah yang amar putusannya menyatakan Sertipikat Hak Milik batal, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap atau Sertipikat Hak Milik Atas Tanah tidak sah, Sertipikat Hak Milik tersebut tidak serta merta menjadi batal, melainkan harus dilakukan pembatalan dengan diterbitkan Keputusan Pembatalan oleh pejabat yang mempunyai wewenang untuk itu, karena hakim tidak dapat secara langsung membatalkan Keputusan yang diterbitkan oleh Pemerintah sebagaimana dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 350 K/Sip/1968 tanggal 3 Mei 1969 dan Putusan Mahkamah Agung No. 716 K/Sip/1973 tanggal 5 September 1973. Dalam Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai pelaksanaan Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang amar putusannya antara lain menyatakan Sertipikat Hak Milik Atas tanah batal demi hukum, batal, tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyebabkan Sertipikat Hak Milik Atas tanah yang dibatalkan
142
kembali pada status semula, maka konsekuensi yuridis yang ditimbulkan adalah Sertipikat Hak Milik Atas Tanah menjadi batal sejak Sertipikat tersebut diterbitkan (ex.tunc). Namun dalam hal ini, walaupun diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dapat memberikan kepastian hukum berkaitan dengan status kepemilikan tanah, tidak semua pihak-pihak yang bersangkutan dapat menerima Keputusan Pembatalan Sertipkat Hak Milik Atas tanah yang telah diterbitkan. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa pihak-pihak yang merasa keberatan atas diterbitkannya Keputusan pembatalan sehingga menimbulkan sengketa dapat mengajukan keberatan kepada instansi yang berwenang menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah atau yang disebut dengan upaya administratif maupun upaya hukum dengan mengajukan gugatan di pengadilan. Upaya hukum administratif merupakan suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan akibat diterbitkan suatu keputusan yang dikeluarkannya oleh Organ atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dilakukan dilingkungan pemerintahan sendiri. Upaya administrasi terdiri dua bentuk, yakni: a. Keberatan b. “banding administrasi”154 Ad. a. Keberatan yang dimaksud yaitu ditempuh dengan mengajukan kebaratan atas diterbitkannya Keputusan kepada badan atau pejabat Tata Usaha 154
Martiman Prodjohamidjojo, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 45
143
Negara yang mengeluarkan Keputusan tersebut. Dalam hal ini apabila pihak yang berkeberatan atas diterbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan/ atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sebagai pejabat atau badan Tata Usaha Negara yang memiliki wewenang untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan tersebut. Ad. b. Banding Administratif yaitu apabila penyelesaian itu dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.155 Jadi dalam banding administratif ini dimaksudkan upaya penyelesaian adminsitratif yang ditempuh apabila dalam upaya keberatan tidak menemukan penyelesaian, sehingga pihak yeng merasa keberatan atas diterbitkan sutu keputusan dapat mengajukan keberatannya kepada instansi yang lebih tinggi atau instansi lainnya. Upaya Administratif dalam penyelesaian masalah dapat dilihat dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan bahwa: (1) dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan Perundang-Undangan untuk menyelesaikan secara administrasi sengketa Tata Usaha Negara tertetnu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelseaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh administrasi yang bersangkutan telah digunakan. Merujuk Pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa apabila terdapat sengketa Tata Usaha Negara, maka sebelum diselesaikan melalui jalur hukum
155
SF. Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 78.
144
yanitu gugatan dipengadilan, maka sengketa tersebut terlebih dahulu harus diupayakan diselesaikan melalui upaya administratif dan apabila tidak menemukan penyelesaian, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut diselesaikan melalui jalur hukum yaitu gugatan di pengadilan. Disamping itu, dengan melihat ketentuan Pasal 48, upaya hukum administratif pada umumnya digunakan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, jadi obyek dalam penyelesaian dengan upaya hukum administrasi adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Namun sebagaimana yang telah diuraikan diatas, tidak semua Keputusan disebut dengan Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini dapat dilihat dari pembatasan-pembatasan dari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu: Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: (a) keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; (b) keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; (c) keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan; (d) keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-Undang hukum pidana atau kitab Undang-Undang hukum acara pidana atau peraturan Perundang-Undangan lain yang bersifat hukum pidana; (e) keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasi pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku; (f) keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; (g) keputusan Komisi pemilihan Umum, baik pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
145
Jadi walaupun tidak semua keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau organ Tata Usaha Negara termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara atau hanya disebut sebagai Keputusan (beschikking), namun oleh karena baik Keputusan Tata Usaha Negara maupun Keputusan (beschikking) merupakan bentuk dari tindakan administratif dari organ atau pejabat Tata Usaha Negara, maka upaya administratif ini dapat ditempuh terhadap Keputusan yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik yang termasuk Keputusan Tata Usaha Negara maupun hanya disebut dengan Keputusan (beshickking). Dalam penyelesaian masalah melalui upaya hukum administratif tidak hanya terbatas dengan mempertimbangkan aspek hukumnya (rechtmatigheid) tetapi juga segi kebijaksanaan atau ketepatgunaan (doelmatigheid). Selanjutnya apabila dalam penerbitan suatu Keputusan oleh Pejabat Tata Usaha Negara telah dilakukan upaya hukum administratif namun tidak menemukan penyelesaian, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat mengajukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan hukum di Pengadilan, baik melalui peradilan umum maupun melalui Pengadilan Tata Usaha Negara yang disesuaikan dengan kompetensi dari Pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara tentang suatu perbuatan yang dituntut oleh pihak yang bersangkutan, apakah perbuatan pemerintah tersebut termasuk dalam kompetensi dari peradilan Umum ataupun perbuatan pemerintah yang dimaksud termasuk kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan pada dasarnya merupakan tempat terakhir bagi para pihak yang bersengketa atau pihak yang dirugikan atas tindakan hukum pemerintah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Dalam
146
gugatan di peradilan umum berkaitan dengan perbuatan yang melanggar hukumyang dilakukan oleh organ pemerintah yang mengeluarkan keputusan, sehingga tanggungjawab pemerintah atas perbuatan tersebut digugat oleh pihak yang merasa dirugikan di Peradilan Umum, sedangkan seseorang dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara didasarkan dengan alasanalasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan bahwa: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sehingga merujuk uraian diatas, apabila terjadi ketidak puasan atas diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah baik sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maupun karena cacat hukum administrasi, pihak yang keberatan tersebut diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya administrasi untuk menyelesaikan sengketa tersebut sebelum diajukan gugatan di Pengadilan. Upaya administrasi ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa keberatan atas diterbitkannya Keputusan untuk menyelesaikannya melalui sarana yang tersedia.
147
Dalam hal penerbitan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, apabila pihak yang merasa tidak puas telah mengajukan keberatan kepada Kepala Badan Peratanahan Nasional atau Kepala Kantor Wilayah Badan peratanahan Nasional sebagai pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, namun tidak menemukan penyelesaiannya, maka pihak yang berkebratan tersebut dapat mengajukan banding administratif kepada intansi yang lebih tinggi atau instansi lain. Misalnya apabila Keputusan pembatalan dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, maka banding admnisratif dapat diajukan kepada Kepala Badan Peratanahan Nasional. Selanjutnya setelah dilakukan upaya hukum administratif tidak menemukan penyelesaian, maka pihak yang merasa keberatan atas diterbitkan suatu Keputusan dapat mengajukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan di Pengadilan. Gugatan atas diterbitkan suatu Keputusan dapat diajukan baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara maupun melelaui peradilan umum, disesuaikan dengan kompetensi mengadili dari Pengadilan itu sendiri. Dengan demikian konsekuensi yuridis atas diterbitkan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yaitu dapat memberikan kepastian hukum atas kepemilikan hak atas tanah, yang secara teoritis pembatalan suatu keputusan dalam hal ini sertipikat Hak Milik Atas tanah dapat berakibat batal (nietig), batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (varniatigbaar). Perbedaan antara batal (nietig), batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan
148
dapat dibatalkan (varniatigbaar) dapat dilihat dari Pendapat Philipus M. Hadjon, yaitu: Nietig berarti bahwa bagi hukum perbuatannya yang dilakukan dianggap tidak ada. Konsekuensinya, bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada. Vernietigbaar berarti bagi hakim perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan pemerintah lain yang kompeten. Nietigheid van rechtswege artinya bagi hukum akibat suatu perbuatan dianggap tidak ada tanpa perlu adanya suatu keputusan yang membatalkan perbuatan tersebut.156 Sehingga, apabila Suatu Sertipikat Hak Milik mengandung cacat hukum administrasi yaitu terjadi kesalahan prosedur atau cacat yuridis dalam penerbitannya yang menyebabkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah menjadi batal demi hukum, maka Sertipikat Hak Milik Atas tanah tersebut menjadi batal sejak diterbitkan Sertipikat Hak Milik tersebut (ex tunc), sehingga penerbitan Sertipikat tersebut dianggap tidak pernah ada atau dianggap tidak pernah diterbitkan. Selanjutnya apabila terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dimana sebagai tindak lanjut dari Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu diterbitkannya Keputusan pembatalan, karena hakim tidak dapat secara langsung membatalkan suatu keputusan, sehingga akibat dari penerbitan Keputusan pembatalan adalah dilihat dari amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), apabila Putusan Pengadilan menyatakan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah batal demi hukum, batal,
tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum tetap,
menyebabkan tanah yang diterbitkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang
156
Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan (bestuurshandeling), Djumali, Surabaya, h. 24.
149
dibatalkan kembali kepada status semula, maka Sertipikat Hak Milik Atas Tanah menjadi batal sejak saat diterbitkan (ex.tunc), atau dengan kata lain Sertipikat Hak Milik tidak berlaku sejak diterbitkannya Sertipikat tersebut. Namun apabila dalam hal penerbitan Keputusan tersebut terdapat keberatan dari pihak-pihak tertentu, maka dapat ditempuh melalui upaya admistratif yang terdiri dari keberatan dan banding administratif dan dapat ditempuh melalui jalur hukum dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara atau lembaga peradilan umum.
4.4 Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam Menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu bentuk dari perbuatan hukum badan permerintah yaitu berupa perbuatan hukum menerbitkan Keputusan oleh Pejabat Pemerintah yaitu Badan Pertanahan Nasional. Perbuatan hukum berupa penerbitan Keputusan Pembatalan tersebut harus didasarkan pada wewenang yang sah dan tidak boleh dilakukan tanpa dasar peraturan Perundang-Undangan. Tindakan Pemerintah haruslah “Rechmatig”, yaitu suatu tindakan pemerintah harus sesuai dengan batasan atau ukuran tertentu. Ukuran “rechmatigheid”dari pada tindakan penguasa adalah: 1. Undang-Undang dan peraturan-peraturan formil yang berlaku; 2. Kepatutan dalam masyarakat yang harus dipatuhi oleh penguasa.157 157
Philipus M. Hadjon, Op.cit, h. 15
150
Dalam konsep negara hukum dikenal dengan asas legalitas yang mempunyai arti setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada hukum yang berlaku, sehingga keputusan-keputusan yang merupakan bentuk dari tindakan hukum pemerintah memiliki resiko dibatalkan oleh Pengadilan apabila ada pihak yang dirugikan. Sehingga sebagai konsekuensi dari negara hukum, maka diwajibkan adanya jaminan bagi pejabat atau organ pemerintah sebagai alat perlengkapan negara dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan hukum pemerintah yang didasarkan pada wewenang yang sah juga disertai dengan tanggungjawab akibat digunakannya wewenang tersebut. Tanggungjawab organ pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum juga dititikberatkan pada kewajiban untuk memenuhi aturan-aturan hukum yang dijadikan dasar untuk mengambil tindakan hukum tersebut, dan juga dititikberatkan pada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan suatu perbuatan tersebut apabila tindak dipenuhinya aturan-aturan hukum yang telah ditentukan tersebut. Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas tanah merupakan suatu kewajiban bagi aparatur Badan Pertanahan Nasional dalam memberikan suatu pelayanan publik kepada masyarakat, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa: “Pengambilan keputusan untuk melakukan perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan dan pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan/pencoretan dalam Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya serta perbuatan hukum lainnya untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan perbuatan
151
hukum yang wajib dilaksanakan oleh pejabat BPN yang berwenang”. Dengan adanya kewajiban tersebut, mengakibatkan timbulnya suatu tanggungjawab akibat dilaksanakan perbuatan hukum berupa penerbitan Keputusan Pembatalan Hak Milik Atas Tanah. Tangungjawab apabila dilihat dari sisi badan atau lembaga mana pertanggungjawaban itu diberikan, maka dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1) Tanggungjawab eksternal; dan 2) Tanggungjawab internal.158 Tanggungjawab internal dapat berupa tanggungjawab bawahan kepada atasan, pada dasarnya terjadi dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahan. Sedangkan tanggungjawab eksternal merupakan tanggungjawab kepada pihak lain dalam hal ini misalnya tanggungjawab eksternal berupa tanggung gugat. Tanggung gugat ini muncul apabila terdapat individu atau badan hukum tertentu yang merasa dirugikan atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. terkait dengan tanggunggugat yang ditujukan kepada pemerintah, menurut Tribunal de Conflicts tahun 1873, menetapkan 3 asas, yaitu: 1. Asas tanggung gugat negara atas kesalahan pejabatanya. 2. Tanggung gugat tunduk kepada peraturan yang memisahkan dan membedakannya dengan hukum privat. 3. Asas bahwa tanggung gugat tersebut merupakan yuridiksi dari peradilan administrasi.159 Tanggung gugat pemerintah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ada dua jenis, yaitu: tanggung gugat sebagai konsekuensi atas
158 159
Lukman Hakim, Op. cit, h. 45 Titiek Sri Djatmiati, Op. cit, h. 89
152
kerugian karena implementasi dari KTUN dan tanggung gugat karena perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan hukum.160 Tanggung jawab dalam hukum publik dikenal dengan tanggung jawab pribadi dan tanggungjawab jabatan. Tanggung jawab pribadi disebut dengan maladministrasi, dimana tanggung jawab ini terjadi karena adanya kesalahan pribadi yang diakukan oleh pejabat atau organ pemerintahan dalam memberikan suatu pelayanan publik seperti kurang hati-hati atau kelalaian sehingga menyebabkan timbulnya kerugian bagi individu atau suatu badan hukum tertentu. Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan.161 Dalam kaitannya dengan tanggungjawab negara, oleh karena terdapat unsur adanya kesalahan pribadi, maka orang yang merasa dirugikan tersebut dapat menggugat pejabat atau organ pemerintahan yang bersangkutan di peradilan umum. Jadi dalam hal tanggungjawab pribadi ini tidak dilihat dari sumber wewenang-wewenang yang dimiliki oleh organ atau pejabat pemerintah, baik yang diperoleh secara atribusi, delegasi ataupun mandat, apabila telah terjadi maladministrasi atau kesalahan pribadi dalam memberikan pelayanan publik (public service), maka yang bertanggungjawab adalah pribadi dari pejabat atau organ pemerintah yang bersangkutan. Dalam tanggungjawab pribadi tidak dikenal dengan asas yang menyatakan bahwa atasan bertanggungjawab atas perbuatan bawahannya.
160
Lukman Hakim, Op.cit, h. 46 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 61 161
153
Tanggung jawab jabatan merupakan tanggungjawab yang timbul dalam kaitannya dengan tindakan atau perbuatan hukum pemerintah, dimana tanggungjawab ini didasarkan pada adanya asas legalitas. Ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang sah, prosedur tertentu dan harus sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Sehingga segala tindakan hukum pemerintah harus sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintah yang baik, dimana setiap keputusan yang dikeluarkan oleh organ atau pejabat pemerintah harus dianggap sah sampai terdapat pencabutan atau pembatalan. Jadi dalam tanggungjawab jabatan ini dapat digugat oleh pihak yang merasa dirugikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara karena berkaitan dengan tindakan pemerintah yang tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Namun terhadap tanggungjawab jabatan ini juga dapat digugat melalui peradilan umum apabila terdapat unsur perbuatan melanggar hukum oleh organ atau pejabat pemerintah. Dalam kaitannya dengan tanggungjawab pejabat atau organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahan kecuali tanggungjawab pribadi, tidak terlepas dari wewenang yang dimiliki oleh pejabat atau organ pemerintah yang bersangkutan, dimana setiap sumber wewenang yang dimiliki oleh pejabat atau organ pemerintah menimbulkan tanggungjawab yang berbeda. Sumber wewenang yang
diperoleh
secara
atribusi,
tanggungjawab
yang
timbulkan
baik
tanggungjawab intern dan tanggungjawab eksteren akibat digunakan wewenang tersebut berada pada penerima atribusi (atributaris). Wewenang yang diperoleh
154
secara delegasi, tanggungjawab yang ditimbulkan baik tanggungjawab eksteren maupun tanggugjawab jabatan beralih kepada penerima delegasi, karena pada wewenang delegasi terjadi pergeseran wewenang dari pemberi delegasi kepada penerima delegasi. Dan wewenang yang diperoleh secara mandat, tanggungjawab yang ditimbulkan baik tanggungjawab jabatan maupun tanggungjawab eksteren berada pada pemberi mandat, karena dalam wewenang yang diperoleh secara mandat tidak terjadi pergeseran kompetensi, sehingga tanggungjawab yang dimiliki hanya tanggungjawab internal yaitu tanggungjawab bawahan (penerima mandat) kepada atasan (pemberi mandat). Namun apabila suatu tindakan pemerintah atau suatu Keputusan Pemerintah dibuat oleh pejabat yang tidak mempunyai wewenang untuk itu, maka menyebabkan tindakan pejabat atau Keputusan Pejabat batal demi hukum. Selanjutnya tanggungjawab jabatan dapat dilihat dalam legalitas tindakan pejabat harus sesuai dengan prosedur tertentu, yang dimaksudkan dengan prosedur yaitu bahwa tindakan pemerintah harus bertumpu pada asas negara hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Dan terhadap legalitas substansi tindakan pejabat menyebabkan bahwa setiap tindakan pejabat harus sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, apabila legalitas substansial ini tidak dipenuhi dalam artian bahwa tindakan pejabat yang didasari suatu wewenang tidak sesuai dengan tujuan, sehingga menyebabkan terjadi suatu penyalahgunaan wewenang. Menurut Praktek “Conseil d’Etat” di Perancis, tindakan yang demikian disebut dengan “deteurnement de pouvoir”.162 Hal ini berarti tanggungjawab yang ditimbulkan 162
Philipus M.Hadjon, Op.cit, h. 19.
155
tidak hanya tanggungjawab jabatan, tetapi dapat berupa tanggungjawab pribadi karena mengandung penyalahgunaan wewenang maupun kesewenang-wenangan. Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang dimaksud dapat dilihat dari wewenang yang dimiliki oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, dapat diketahui bahwa wewenang untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas Tanah berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya wewenang penerbitan Keputusan Pembatalan dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dengan melihat rumusan dalam Pasal 58 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (2), dimana arti kata “dapat didelegasikan dan dapat dilimpahkan” serta mengingat jumlah kasus pertanahan yang ada di Indoensia mencapai ribuan kasus mengandung makna bahwa wewenang yang dimaksud adalah wewenang yang diperoleh secara sudelegasi. Oleh karena wewenang yang dimiliki oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional merupakan wewenang yang diperoleh secara subdelegasi, dimana dalam hal penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah terjadi pelimpahan sebagian wewenang dari Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sehingga tanggungjawab dan tanggunggugat tetap berada pada penerima subdelegasi yaitu Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Hal tersebut diperkuat denga adanya legal
156
fakta yang terdapat di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, yaitu Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali menerbitkan Keputusan Nomor: 3607/Pbt/BPN.51/2011 tentang pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 131 sebagian, 132, 133, 134, 135, dan 136/Tajun beserta perlaihan haknya yatu Sertipikat Hak Milik Nomor 40, 81 dan 82/Mengening yang terletak di Desa Mengening, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali sebagai pelaksanaan Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap163 yang diterbitkan atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Namun ketika terjadi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar oleh pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkan Keputusan Pembatalan tersebut, yang digugat adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar Nomor 06/G/2012/PTUN.Dps, tanggal 11 Juli 2012.164 Dengan digugatnya Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali walaupun atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional memperkuat bahwa yang dimaksud adalah pelimpahan kewenangan secara subdelegasi, karena dalam Putusan Pengadilan tersebut Majelis Hakim Pengadilan Tata usaha Negara tidak mempertimbangkan para pihak yang seharusnya digugat di pengadilan. Selain itu, apabila yang digugat adalah kepala Badan Pertanahan Nasional, maka akan memberikan beban atau tanggungjawab yang cukup berat kepada kepala Badan Pertanahan Nasional, mengingat banyaknya kasus
163
Bidang Pengakjian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali. 164 ibid
157
pertanahan yang ada diseluruh Provinsi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan pembatalan Sertipikat hak Atas tanah, maka apabila setiap Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah digugat di Pengadilan terhadap penerbitan Keputusan tersebut menjadi tanggungjawab Kepala Badan Pertanahan menyebabkan terjaidnya penumpukan tanggungjawab pada Kepala Badan Pertanahan Nasional, padahal fungsi dari pelimpahan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat adalah untuk meringankan beban atau untuk menghindari terjadi pemusatan wewenang pada pemerintah pusat. Jadi tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional secara teoritis menurut Hukum Administrasi Negara apabila dilihat dari tanggungjawab
jabatan
baik
berupa
tanggungjawab
perdata
maupun
tanggungjawab administrasi adalah berada pada penerima subdelegasi yaitu Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, karena dalam pelimpahan kewenangan subdelegasi secara mutatis mutandis berlaku ketentuan dalam delegasi sehingga penerima subdelegasi menerima sebagian pelimpahan kewenangan dari delegataris yaitu
dari Kepala Badan Pertanahan Nasional
kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan apabila dilihat dari tanggungjawab pribadi terhadap Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah apabila dalam penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan dan kebijakan yang telah ditentukan atau dengan kata lain telah terjadi maladministrasi, maka yang bertanggungjawab adalah pribadi pejabat yang bersangkutan yaitu aparatur Badan Pertanahan Nasional yang terbukti melakukan tindakan maladministrasi dalam
158
Penerbitan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, karena dalam tanggungjawab pribadi tidak dikenal asas “Superior Respondeat” (atasan bertanggungjawab atas perbuatan bawahan).165 Sehingga tanggungjawab pribadi atas penerbitan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dapat berupa tanggungjawab adminstrasi, perdata dan pidana.
165
Titiek Sri Djatmiati, Op. cit, h. 94.
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Dari keseluruhan uraian pada pembahasan terhadap 2 (dua) masalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Bab I dapat ditarik simpulan, yaitu: 1. Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Milik Atas Tanah adalah kewenangan yang diperoleh secara subdelegasi.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa
pertimbangan, yaitu: - Kepala Badan Pertanahan Nasional memperoleh kewenangan delegasi dari presiden (delegataris) membentuk Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 sebagai peraturan dasar dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah, dimana dalam rumusan Pasal 58 ayat (2) yang menetapkan “....dapat didelegasikan kepada Deputi atau Kakanwil”, mengandung makna Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 sebagai peraturan dasar untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah menentukan bahwa Kepala Badan Pertanahan Nasional yang berkedudukan sebagai delegataris
dapat
mendelegasikan
lebih lanjut
wewenangnya untuk
menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
79 159
160
- Dalam rangka efiensi waktu dan kecermatan dalam pemecahan masalah yang ada, mengingat banyaknya kasus pertanahan yang ada diseluruh Indonesia termasuk juga jumlah pembatalan yang cukup tinggi, sehingga tidak terjadi perbenturan antara keharusan menyelesaikan masalah dalam waktu yang terbatas dengan harus mempertimbangkan kecermatan dan kehatian-hatian dalam mengambil keputusan, sehingga dapat menjamin mutu keputusan yang diambil tersebut. - Dalam rangka mengurangi atau meringankan beban kerja atau tugas Kepala Badan Pertanahan Nasional , mengingat banyaknya kasus peratanahan yang ada diseluruh Indonesia yang memerlukan penyelesaian, maka untuk menghindari
pemusatan kewenangan pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional yang dapat menyebabkan terjadinya penumpukan beban tugas pada Kepala Badan Pertanahan Nasional, diperlukan adanya subdelegasai kewenangan. 2. Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah apabila dilihat dari tanggungjawab jabatan, Kepala Kantor Wilayah badan Pertanahan Nasional bertanggungjawab secara jabatan baik anggungjawab perdata maupun tanggungjawab administrtaif. Hal ini disebabkan karena wewenang Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan adalah wewenang yang diperoleh secara subdelegasi, sehingga tanggungjawab dan tanggunggugat tetap berada pada penerima subdelegasi yaitu Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
161
Nasional. Sedangkan tanggungjawab Pribadi merupakan tanggungjawab yang berkaitan dengan maladministrasi yaitu perilaku menyimpang aparat pemerintah terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, sehingga tanggungjawab dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah berada pada pribadi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau aparatur Badan Pertanahan Nasional yang terbukti melakukan maladministrsi dalam melakukan penanganan atas Permohonan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah. Hal ini disebabkan karena dalam kaitannya dengan Tanggungjawab pribadi tidak melihat sumber wewenang yang diperoleh oleh pejabat atau aparatur pemerintah dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu dan tidak dikenal atasan bertanggungjawab atas perbuatan bawahan.
5.2 Saran Bahwa perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan tidak mencantumkan Pasal 75, karena pelimpahan kewenangan dalam Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah adalah pelimpahan secara subdelegasi dari Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai delegataris atau penerima delegasi dari Presiden kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Dan
162
oleh karena kewenangan yang diterima oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam bentuk subdelegasi, yang berarti tangungjawab berada pada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional hendaknya berhati-hati dan bersikap cermat dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah.
163
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)”, Edisi Pertama, cetakan ke-2, Kencana Prenada Media Group,Jakarta. Anggriani, Jum, 2012, “ Hukum Adminsitrasi Negara”, Graha Ilmu, Yogyakarta. Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Atmosudirjo, Prajudi,1995,”Hukum Administrasi Kesepuluh, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Negara”,
Cetakan
Barnett, Hilaire, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, Routledge, London and New York. Budiardjo, Miriam, 2007, “ Dasar-dasar Ilmu Politik”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cohen, Morris L dan kent C. Olson, 2000, “Legal Research In A Nutshell”, Seventh Edition, ST. Paul, Minn, West Group. Daeng, Mustamin, et, al, 2004, Mandat, delegasi, Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Attribusi
dan
Djatmiati, Titiek Sri, 2010, Maladministrasi dalam Konteks kesalahan Pribadi dan Kesalahan Jabatan, Tanggung Jawab Pribadi dan Tanggung Jawab Jabatan, dalam Philipus M Hadjon, et, al, Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta. Dewa, H. Muh. Jufri, 2011, Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif pelayanan Publik, Unhalu Perss, Kendari. Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumnni, Bandung. J.B. Daliyo, et, al, 1992, Pengantar Hukum Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
164
Fachruddin, Irfan , 2004, “Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tidakan Pemerintah”, Edisi Pertama, cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung Fadjar, A. Mukthie,2004,Type Negara Hukum,Bayu Media Publihsing,Malang. Fuady, Munir, 2009, “Teori Negara hukum Modern (Rechtstaat)”, Refika Aditama: Bandung Garner, Bryan A, 2004, “Black Law’s Dictionary”, eighth edition, Thomson business, West. Hadjon, Philipus M, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan (bestuurshandeling), Djumali, Surabaya. -------, 1993, Pemerintah Menurut Hukum (Wet En Rechtmatig Bestuur), Yuridika, Surabaya. -------, 2010, Kebutuhan akan Hukum Administrasi Umum, dalam Philipus M Hadjon, et, al, Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta. Hadjon, Philipus M., et.al, 2011, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to the Indonesian Administrative law”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hadjon, Philipus M, et.al, 2011, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada Uiversity Press, Yogyakarta. Hakim, Abdul Aziz, 2011, “ Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia”, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hakim, Lukman, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Setara Press, Malang. Harahap, Zairin, 1997, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Harsono, Boedi 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan:Jakarta. Huda, Ni Matul,2006,”Hukum Tata Negara Indonesia”,Raja Grafindo Persada,Jakarta.
165
Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintahan di Bidnag Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hutagalung, Arie S., et.al, 2012, Hukum Pertanahan di belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar. Indroharto, 1991, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta. Jeddawi, H. Murtir, 2012, “ Hukum Administrasi Negara”, Total Media, Yogyakarta. Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen, 1983, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung. Lars Lidahl, 1992, Conflicts In System Of Legal Norms A Logical Point Of View. Dalam Onder redaction van, et, al, editor. Conhrence and conflict in law, Kluwer law and Taxation Publisher Deventer, Boston. Manan, Bagir, 2003, “Lembaga Kepresidenan”, FH UII Press. Yogyakarta. Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Marbun, SF, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta. Marbun, SF, et. al, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta. Marbun, S.F dan Moh. Mahfud MD, 2009, “ Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara”, cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta. Marzuki Peter Mahmud, 2005, “Peneitian Hukum”, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta. Mulyosudarmo, Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Noor, Aslan, 2006, Konsep hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung. Prodjohamidjojo, Martiman, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
166
Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Studi magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Unversitas Udayana, Denpasar. Purbopranoto, Kuntjoro, 1981, Beberapa catatan hukum tata pemerintahan dan peradilan administrasi negara, Alumni, Bandung. Ridwan, HR., 2006, “Hukum Administrasi Negara”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksabang Pressindo, Yogyakarta. -------, 2011, “Bab- Bab Pokok Hukum Administrasi”, Cetakan II, Edisi II, Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Santoso, Urip, 2011, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah, Edisi Pertama, Cetakan Ke-2, Kencana, jakarta. Setiawan, Yudhi, 2009, “Instrumen Hukum campuran (gemeenscapelijkrecht) dalam Konsolidasi Tanah”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. -------, 2010, Hukum Pertanahan, Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing, Malang. Soehino,1984, Asas-Asas Hukum Tata pemerintahan, Liberty, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono, 1986, “Pengantar Penelitian Hukum”, Universitas Indonesia (UI) Press), Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono I). Soekanto, Soerjano dan Sri Mamudji, 2011, “ Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat”, cetakan ke-13, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soetami, A. Siti, 2005, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, PT. Refika Aditama, Bandung. Soimin, Soeharyo, 2004, Status Hak dan Pembebasan Tanah, ed.2, cet.2, Sinar Grafika, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, BP. Cipta Jaya, Jakarta. -------, 2006, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan serta berbagai permasalahan, BP. Cipta Jaya, Jakarta.
167
-------, Adrian, 2011, “ Sertipikat Hak Atas Tanah”, Sinar Grafika, Jakarta. Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2005, Pemerintahan Daerah Di Indoesia Dilengkapi Undang-undang No. 32 tahun 2004, Pustaka Setia, bandung. Tjandra, W. Riawan, 2008, “ Hukum Administrasi Negara”, Universitas Atma Jaya Yogyakarta: Yogyakarta. Triwulandari, Titik, 2010, “ Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia”, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta Triwulan T, Titik dan Kombes Pol. Ismu Gunadi Widodo, 2011, “Hukum Tata Usaha Negara & Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia”, Kencana Prenada Media Group,Jakarta. Utrecht, E, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Tjetakan Kelima, Ichtiar, Jakarta. Wade,W.R, 1977, Administrasi law, Fourth Edition, Oxford University Press, England. Waluyo, Bambang, 1991, “Penelitian Hukum Dalam Praktek”, SinarGrafika, jakarta. Wijk, H.D. Van, 1988. Hoofdstukken van administratief recht, Culemborg, Uitgeverij Lemma. Wiyono, R, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ( Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Nomor 104). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1986, Nomor 77) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 35) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
168
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 160). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembar Negara Republik Indoensia Tahun 2008 Nomor 139). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011, Nomor 82). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tanggal 19 Juli 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 19 Juli 2000, Nomor: 500-2147 yang ditujukan kepada Seluruh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se Indonesia. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahana Nasional Republik Indonesia. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
III. INTERNET Dwi Purnama Julianti, 2009, “Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan”, Sekolah Pascasarjana Univeistas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5464/1/09E01888.pdf, diakses 8 Agustus 2012. Sriyanti Achmad, 2008, “Pembatalan dan Peneribitan Sertipikat Hak Atas Tanah Pengganti (Studi Kasus Pembatalan Sertipikat Putusan MA No.
169
987 K/ PDT/ 2004)”, Program Pascasarjana Universitas Diponogoro, Semarang,http://eprints.undip.ac.id/18339/1/SRIYANTI_ACHMAD.pdf, 8 Agustus 2012. Titut Rosawati, 2010, “Analisis Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2096.K/Pdt/1987 tanggal 28 Desember 1987 dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4-X.C-2005 tanggal 14 Juli 2005)”, Program Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131073-T%2027401Analisis%20pembatalan-HA.pdf, 9 Agustus 2012. Yulia Darini Triatusi, “Analisis Yuridis Pembatalan Keputusan pemberian hak atas tanah dan/ atau sertipikat hak atas tanah berdasarkan Putusan Pengadilan ( Studi kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Sleman)”, Program Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada Program Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada , Yogyakarta,http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub= PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=38810&obyek_id=4, 9 Agustus 2012.
170
LAMPIRAN