14
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai tujuan antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka mencapai kesejaheraan umum tersebut, perlu diusahakan menggali, mengembangkan serta memberi kepastian hukum terhadap objek-objek yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Salah satu objek tersebut adalah tanah. Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia, Indonesia telah menetapkan Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No.5 tahun 1960 disahkan tanggal 24 September 1960. Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.1 Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah,
1
Konsiderans menimbang a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
1
Universitas Sumatera Utara
15
yang sederhana, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersadar pada hukum agama.2 Tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan umum memperoleh hak tersebut.3 Dalam Hukum Islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual beli, tukar menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat, dan ihya-ulmawat (membuka tanah baru). Namun salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas keagrariaan yang sering menjadi perhatian adalah perwakafan tanah milik. Hal ini dikarenakan wakaf tanah difungsikan untuk kepentingan umum. Perwakafan tanah milik menjadi perhatian khusus oleh pemerintah sebagaimana terlihat pasal 49
Bab IX UUPA No.5 tahun 1960. Penuangan
perwakafan tanah milik dalam UUPA tersebut secara yuridis merupakan realisasi dari pengakuan terhadap unsur-unsur agama.4 Hal yang demikian ini sesuai dengan Politik Hukum Agraria Nasional maupun Pancasila sebagai asas kerohanian negara yang meliputi seluruh tertib Hukum Indonesia. Dengan demikian, dalam menafsirkan dan
2 Konsiderans berpendapat a Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria 3 Adijani Al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal 2. 4 Boedi Harsono, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Jilid 1, Jambatan, Jakarta, Edisi Revisi 2003 : hal 220
Universitas Sumatera Utara
16
melaksanakan peraturan agraria (pertanahan) yang berlaku harus berlandaskan dan bersumber pada Pancasila.5 Wakaf adalah sebagai salah satu cara mendapat hak kepemilikan atas tanah, merupakan salah satu lembaga Islam yang diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, yaitu sejak Islam masuk ke Indonesia. Dilihat dari keberadaannya, wakaf tanah berasal dari Hukum Islam, yang diberlakukan sebagai hukum nasional. Negara Indonesia menganut asas Pancasila yang memberikan hak kepada rakyatnya untuk melaksanakan kaidah-kaidah sesuai dengan keyakinan agamanya. Indonesia adalah negara sebagian besar penduduknya beragama Islam. Bagi orang Islam, beribadat menurut Agama Islam termasuk kedalam melaksanakan hukum-hukum yang diajarkan oleh Islam. Penerapan Hukum Islam telah diberlakukan sedikit demi sedikit secara bertahap oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penerapannya telah dilakukan ijtihad-ijtihad dalam berbagai variasi kelembagaan dan pasang surutnya situasi dan kondisi, dalam bentuk adat istiadat dan dalam Hukum Adat. Demikian juga dalam bentuk yurisprudensi dan perundang undangan, walaupun masih sedikit dibandingakan materi Hukum Islam itu sendiri. Kenyataannya dapat kita lihat langsung dalam hukum perwakafan tanah milik, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977.6
5
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,1984, hal 69. 6 Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 2002, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
17
Sebenarnya perwakafan tanah ini dapat dimasukan dalam kategori pengasingan tanah (Land-alienation) karena pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebahagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah, namum dalam kaitannya dengan administrasi pendaftaran tanah, wakaf masuk kedalam kategori penetapan hak atas tanah karena terdapat kegiatan penetapan tanah wakaf melalui keputusan pejabat yang berwenang.7 Pengasingan tanah yang dimaksudkan diatas dapat diartikan suatu perbuatan memisahkan atau memindahkan sebagian hak milik dengan cara penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya untuk kepentingan sosial, sehingga hak milik tersebut menjadi hapus. Pengasingan tanah wakaf dapat juga dikatakan sebagai pengasingan secara langsung, karena jelas orang yang menyerahkan (wakif), kepada siapa tanah tersebut diserahkan (nadzir) dan untuk apa pemanfaatnnya. Berbicara tentang pemahaman perwakafan di Indonesia, maka harus diketahui landasan hukum yang berlaku tentang pewakafan tersebut dinegara ini. Karena hanya tanah hak milik sebagai objek wakaf, maka landasan hukum perwakafan menurut undang-undang dan peraturan perundangan di negara kita antara lain sebagai berikut: 1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan
7
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal. 266
Universitas Sumatera Utara
18
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik 4. Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 5. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah, Instruksi bersama Menteri Agama-Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1990/….. No. 24 Tahun 1990 tentang Serterpikat Tanah Wakaf. 6. Surat Kepala BPN, 27 Agustus 1991, biaya serterpikat wakaf dengan biaya prona. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994-pajak untuk tanah hibah/wakaf dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1977 unuk PHTB (Peralihan Hak Untuk Tanah Bangunan), atas pewakaf.8 Sebagai langkah konkrit pemerintah dalam menertibkan administrasi perwakafan, telah disahkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU ini terdiri atas 11 (sebelas) Bab dan 71 (tujuh puluh satu) Pasal yang meliputi tentang pengertian wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian sengketa, pembinaan dan pengawasan wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI), ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.9
8
M. Hasballah Thaib, Fiqih Waqaf, Konsentrasi Hukum Islam Program Pascasarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003, hal. 7 9 Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan: Peradilan Agama di Indonesia, Perdana Publishing, Medan, 2010, hal. 347
Universitas Sumatera Utara
19
Secara umum perwakafan tunduk pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, namun secara khusus ketentuan hukum yang mengatur tentang perwakafan tanah milik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.10 Dengan mengacu kepada undang-undang dan peraturan tersebut, maka inti dari perwakafan adalah sebagai berikut: 1.
Objeknya tanah hak milik dengan catatan tentu serterpikat dan/atau sekalian diproses hak miliknya.
2.
Merupakan perbuatan hukum (wakaf) untuk memisahkan tanah milik perorangan/badan hukum (wakaf) guna kepentingan peribadatan, kepentingan umum sesuai ajaran Islam, berlaku selamanya dan tidak dapat dicabut.
3.
Dilakukan dengan akta ikrar wakaf dihadapan pejabat akta ikrar wakaf.
4.
Adanya nadzir yaitu perorangan atau badan hukum yang diberikan tugas memelihara dan mengurus harta wakaf tersebut.
5.
Tanah wakaf dengan akta wakaf harus didaftarkan ke kantor BPN setempat.
6.
Pengawasan tanah wakaf dan nadzir dilakukan oleh KUA Kecamatan
7.
Atas tanah wakaf tersebut terbebas dari beban pajak berupa PBB, PPH, BPHTB, dan untuk persertipikatan tanah wakaf dengan biaya prona.11 Ketentuan mengenai perwakafan tanah milik yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan tersebut belum mengatur substansi hukum wakaf secara utuh
10 11
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Op. cit, hal 268 M. Hasballah Thaib, Op. cit, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
20
sehingga belum dapat dijadikan landasan hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan wakaf yang dihadapi oleh lembaga keagamaan yang bertindak sebagai nadzir. Sering terjadi perselisihan antara nadzir dengan pewakaf atau ahli waris pewakaf, dan adakalanya melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan yang belum diatur oleh masyarakat dan belum ada ketentuan hukum mengenai cara penyelesaiannya. Jika hal itu tidak segera diatasi, dengan terlebih dahulu membentuk suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai wakaf, dikuatirkan akan semakin banyak harta wakaf beralih ke pihak lain tanpa hak akibat kesenjangan atau kelalaian nadzir yang dapat merugikan masyarakat.12 Hal-hal yang belum jelas diatur dalam undang-undang perwakafan seperti mengenai tata cara pengelolaan tanah wakaf, bagaimana imbalan nadzir bila tanah wakaf tidak memiliki hasil bersih dari pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, sanksi hukum terhadap nadzir yang tidak jujur dalam pengelolaan tanah wakaf, mekanisme penyelesaian sengketa wakaf dan siapa saja yang terlibat dalam penyelesaian sengketa wakaf bila dilakukan musyawarah, peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan sengketa wakaf, dan bagaimana bila terjadi perubahan peruntukan tanah wakaf, bukankah ikral wakaf pada dasarnya tidak boleh dibatalkan, apakah akta ikral wakaf dapat diubah pula. Mengkaji tentang pengelolaan wakaf, tentunya hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah masalah Nadzir wakaf, karena berkembang dan tidaknya harta wakaf sangat dipengaruhi oleh peran nadzir wakaf, meskipun ahli fiqih tidak
12
Proses Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2005, hal 33
Universitas Sumatera Utara
21
menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun wakaf, namun mereka sepakat bahwa wakif boleh menentukan nadzir terhadap harta wakafnya, mengingat pentingnya peranan nadzir, di Indonesia menjadikan nadzir sebagai salah satu unsur wakaf.13 Nadzir wakaf adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi nadzir selama ia mempunyai hak melakukan tindakan hukum.14 Ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa pihak yang berwakaf boleh menunjukkan seseorang atau lembaga yang akan mengelola harta wakaf, baik menunjuk pribadi langsung maupun menyebutkan sifat-sifatnya saja seperti pengelola wakaf itu harus cerdas, terampil, dan bertanggung jawab. Apabila pemberi wakaf menunjuk nadzir, maka wajib dipenuhi sesuai dengan syarat yang diminta. Akan tetapi, apabila wakif tidak menunjuk atau mensyaratkan nadzir, menurut ulama Mazhab Maliki dan Syafi”I, yang bertindak sebagai nadzir adalah pihak penguasa, karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kepentingan umum. Menurut ulama Mazhab Hambali, nadzirnya adalah orang yang menerima wakaf tersebut. menurut ulama mazhab Hanafi, pengelolaan wakaf itu boleh dilakukan oleh wakif sendiri, baik ia syaratkan dirinya sebagai nadzir atau tidak, boleh juga orang yang diberi wasiat oleh wakif. Apabila tidak ada orang yang ditunjuk atau diawasi, maka nadzirnya adalah pihak penguasa.15 Wakif hendaknya
13
Pasal 6 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Darul Ulum Press, Jakarta, 1994,
14
hal.33 15
Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1999, hal. 1910
Universitas Sumatera Utara
22
menentukan nadzir dan honor atas kerjanya. Ia juga bisa memilih dirinya sebagai nadzir sepanjang hidupnya kalau mau. Ia berhak untuk menggantikannya, sekalipun itu tidak tertulis dalam ikral wakaf. Sedangkan kepengurusan yang memerlukan dewan dan badan wakaf apabila wakif belum nenentukan nadzir dan cara pemilihannya, dan apabila telah berlalu seratus tahun dari pembentukan wakaf, apapun bentuknya.16 Di dalam UU No. 41 tahun 2004, nadzir wakaf dijadikan sebagai salah satu unsur wakaf, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 6 yang menjelaskan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf, yaitu: 1. Wakif 2. Nadzir 3. Harta benda wakaf 4. Ikrar wakaf 5. Peruntukan harta benda wakaf 6. Jangka waktu wakaf Dalam Undang-undang tersebut, selain memuat nadzir wakaf sebagai unsur wakaf juga menjelaskan tentang kategori nadzir adakalanya: 1. Perseorangan 2. Organisasi, atau, 3. Badan hukum
16
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group), Jakarta Timur, 2005, hal. 171
Universitas Sumatera Utara
23
Sebelum ditetapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang perwakafan, telah ada PP Nomor 28 Tahun 1977 menegaskan tentang keberadaan nadzir dalam pelaksanaan perwakafan. Di dalam PP No. 28 Tahun 1977 disebutkan tentang kewajiban dan hak nadzir yang bertujuan untuk menghindari praktek ketidakpastian pengelolaan dan pemanfaatan wakaf yaitu Pasal 7 yang berbunyi: 1. Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai aturan wakaf. 2. Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 3. Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh menteri Agama.17 Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2006 tentang aturan Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 secara jelas menjelaskan tentang Nadzir wakaf, dimana mulai pasal 2 hingga pasal 14 memuat tentang Nadzir wakaf, dimulai dari Pasal 2 hingga Pasal 14. Diantara hal yang dimuat dalam PP No.42 Tahun 2006 adalah tentang ketentuan nadzir, baik nadzir perseorangan, organisasi maupun nadzir badan hukum. Pasal 4 PP No.42 tahun 2006 menyebutkan: 1. Nadzir perseorangan ditunjukan oleh wakif dengan memenuhi persyaratan menurut Undang-undang 2. Nadzir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri Agama dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat. 3. Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana pada ayat (2), pendaftaran nadzir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau Perwakilan Badan wakaf Indonesia di Provinsi/Kabupaten Kota. 4. BWI menerbitkan bukti pendaftaran Nadzir. 5. Nazir perseorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari paling sedikit tiga orang dan salah salah seorang diangkat menjadi ketua. 17
Pagar, Op.Cit, hal. 90
Universitas Sumatera Utara
24
6. Salah seorang nadzir perseorangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (5) harus bertempat tinggal di Kecamatan tempat benda wakaf berada. Dalam praktik kehidupan masyarakat, sebidang tanah telah diwakafkan Sebagai akibatnya akan mempunyai kedudukan khusus, yakni terisolasinya tanah wakaf tersebut dari kegiatan transaksi (jual beli, sewa beli, hibah, waris, penjaminan, dan bentuk pengalihan hak lainnya). Sebagai akibatnya pula ia seolaholah dapat dikategorikan sebagai suatu rechtpersoon (badan hukum), yakni pribadi hukum, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban di dalam kehidupan hukum sebagai subjek hukum. Dikatakan demikian, karena dari tata cara sampai kepada pengurusnya, seluruh kegiatannya dalam masyarakat merupakan kegiatan harta wakaf itu sendiri yang pelaksanaannya diwakili oleh nadzir. Agar harta wakaf kelembagaannya tetap terpelihara dan tujuannya dapat terlaksana, tentulah nadzir sebagai pihak yang diserahi dan diberi amanat untuk mengelola dan memeliharanya mempunyai peranan yang amat penting. Nadzir tidak saja berkewajiban menjaga dan mengurusnya, akan tetapi juga mewakili harta wakaf yang dikelolanya didalam dan diluar hukum, seperti laporan berkala kepada KUA, mempertahankannnya apabila diperkarakan di pengadilan.18 Pada dasarnya, terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksudkan dalam ikrar wakaf, sesuai dengan UU NO.41 Tahun 2004 Pasal 40, “harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan,
18
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
25
ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya”. Disinilah peran nadzir sangat diperlukan, sebagai pihak yang memelihara dan mengamankan benda wakaf, untuk menjaga keberadaan dan keutuhan serta fungsi dari wakaf itu sendiri, sehingga tidak menyimpang dari keinginan wakif. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, sangat jelas bahwa keberadaan Nadzir sangat memiliki peran penting dalam pengelolaan dan pengurusan tanah wakaf, sebab tidak jarang terjadi penyelewengan penggunaan tanah wakaf karena tidak jelasnya siapa nadzir wakaf dan apa saja kewenangan dari nadzir terhadap tanah wakaf yang dikuasainya. Oleh karena nadzir merupakan orang yang berpengaruh keberadaannya, sebab dengan adanya nadzir akan terwujud pengelolaan tanah wakaf yang tertib hukum dalam masyarakat. Pasca tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh, persoalan tanah menjadi persoalan yang sangat besar. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus tanah yang timbul. Tidak hanya masalah-masalah hilangnya batas tanah atau bukti-bukti kepemilikan tanah, tetapi karena banyaknya persil (bidang) tanah yang musnah. Dari persoalan tersebut ada beberapa kasus yang menimbulkan sengketa. Sengketa atas tanah ini tidak hanya terjadi pada tanah-tanah yang merupakan hak milik pribadi, tetapi juga terhadap tanah wakaf. Contohnya saja persoalan tanah wakaf di kawasan kecamatan kutaraja, Banda Aceh. Disebutkan Kepala KUA Kutaraja, Drs. H. Nurdin Ali, dari banyaknya tanah wakaf di kawasan ini, ada beberapa tanah wakaf yang bermasalah. Masalah timbul karena tanah wakaf yang ada kini diduduki oleh orangorang yang sebelum tsunami tidak mendiaminya tanah-tanah tersebut diwakafkan
Universitas Sumatera Utara
26
oleh Teungku Dianjong. Setelah diwakafkan, penduduk yang saat itu menjadi penerima wakaf, menimbun rawa-rawa dan selanjutnya dijadikan pemukiman, sampai akhirnya tsunami menghantam kawasan tersebut. masalah mulai muncul ketika kemudian para ahli waris yang sebelumnya tinggal di kawasan tanah wakaf itu membangun rumah bantuan pasca tsunami. Sebagian warga dikatakannya menolak keberadaan para ahli waris karena status tanah tersebut adalah tanah wakaf, artinya tidak bisa diwariskan. Selain itu, ada juga kasus di kecamatan Ulee Kareng. Di kecamatan ini, sengketa tanah wakaf terjadi karena peruntukan tanah yang diubah dari perjanjian semula. Tanah tersebut dalam aktanya disebutkan akan digunakan untuk kegiatan keagamaan. Tetapi kini, di atas tanah wakaf tersebut
dibangun
Poliklinik Desa (Polindes).19 Namun dari beberapa kasus yang di temukan di wilayah Banda Aceh, hanya ada satu kasus yang sampai ke tingkat Mahkamah Syar’iyah, yaitu kasus tanah wakaf Mesjid Jami’ di Kecamatan Lueng Bata Banda Aceh. Berdasarkan informasi yang di peroleh dari Makamah Syar’iyah Banda Aceh. Persoalan tanah wakaf terjadi tidak terlepas dari kurangnya tanggung jawab nadzir wakaf yang mengelola tanah wakaf tersebut. Nadzir wakaf yang mengelola tanah wakaf tersebut tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban sebagai mana yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga pemanfaatan tanah wakaf tidak sesuai dengan yang ikrarkan oleh wakif. 20
19
Internet, http://www.google.com/idlo.int/wakaf_land_ind.pdf, terakhir di akses pada tanggal 01 Desember 2011 20 Hasil wawancara dengan H. Basri, S.H, Ketua Panitera Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, 8 Januari 2012.
Universitas Sumatera Utara
27
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka disusunlah penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir” (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah: 1.
Bagaimana kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut Hukum Islam dan UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
2.
Apakah yang menjadi kendala-kendala nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf?
3.
Bagaimana efektifitas pengelolaan pengawasan tanah wakaf?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah? 1.
Untuk mengetahui kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut Hukum Islam dan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf.
2.
Untuk mengetahui kendala-kendala nadzir dalam pengelolaa tanah wakaf
3.
Untuk mengetahui efektifitas pengelolaan pengawasan tanah wakaf.
D. Manfaat Penelitian Dari pembahasan permasalahan dalam kegiatan penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktek.
Universitas Sumatera Utara
28
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbangan saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta ilmu kenotariatan khususnya tentang pengelolan tanah wakaf oleh nadzir. Secara praktek, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan nadzir dalam kegiatan pemanfaatan harta wakaf dan pihak yang berkepentingan dengan tanah wakaf tersebut. selain itu, masyarakat dan praktisi hukum dapat menyadari bahwa kedudukan tanah wakaf adalah untuk mensejahterakan masyarakat dan merupakan milik bersama, bukan milik nadzir atau pihak tertentu yang menguasai tanah tersebut. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, khususnya pada perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara di Medan, penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh) , ternyata belum pernah disusun oleh peneliti lain. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah asli, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan kejujuran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi, dan teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-
Universitas Sumatera Utara
29
fakta dapat menunjukkan ketidakbenarannya.21 Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena
berdasarkan
teori
tersebut
variabel
bersangkutan
memang
dapat
mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.23 Selain itu teori ini bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis terhadap topik yang sedang dikaji. Disamping itu teori ini dapat memberikan bekal kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis dalam tulisan.24 Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atas butir-butir pendapat teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.25 Menurut teori konfesional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (recht geverchtyheid), kemanfaatan (recht sulihteit) dan kepastian hukum (recht zekerheid).26 Aveldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertip dalam masyarakat secara damai dan adil, untuk mencapai kedamaian hukum, harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan penumbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang
21
J.JM. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, Jilid 1, FE UI, Jakarta, 1996, hal.
203 22
J.Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rieka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 192 Lexy J Molloeng, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
23
hal. 35 24 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.144 25 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 26 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofi dan Sosiologi), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal.85
Universitas Sumatera Utara
30
harus memperoleh hak-haknya sesuai hukum yang berlaku dalam hal mewujudkan keadilan.27 Wakaf adalah sesuatu istilah yang terdapat dalam Hukum Islam, oleh karena itu apabila berbicara mengenai wakaf, tidak mungkin terlepas dari konsepsi wakaf dari Hukum Islam. Hukum Islam bersifat elastis, sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman. Tujuan dari Hukum Islam adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Sejalan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori positivisme. Teori positivisme yang dikembangkan oleh John Austin dalam bukunya yang berjudul Province of Jurisprudence, Jgon Austin mengartikan bahwa: Hukum itu sebagai a commond of the lawgiver, yang artinya bahwa hukum adalah perintah dari penguasa, yaitu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai sesuatu yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada nilai baik buruk.28 Oleh karena itu, hukum positif harus memenuhi unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Di sinilah letak korelasi antara persoalan kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan hukum dengan peranan negara. Dalam Hukum Positivisme, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian. 27
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.57 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar maju, Bandung, 2002, hal.55. 28
Universitas Sumatera Utara
31
Hukum berwakaf ada beberapa macam, menurut pendapat imam-imam diantaranya ialah: Imam Syafi’I berpendapat bahwa berwakaf adalah “suatu ibadah yang disyari’atkan Allah dan berlaku sah bilamana orang yang berwakaf itu telah menyatakan dengan kalimat tanda menyerahkan seperti katanya” saya telah mewakafkan (berwakaf) walaupun tidak diputuskan oleh hakim. Kemudian Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf adalah merupakan suatu sadakah ataupun pemberian dan tidak terlepas dari milik orang yang berwakaf sebelum hakim memutuskannya. Dengan arti kata sebelum hakim mengumumkan bahwa harta itu adalah wakaf atau dengan kata-kata ta’lik
yaitu sesudah meninggal orang yang
berwakaf seumpama perkataan si wakif: Bila saya telah meninggal dunia maka harta saya (misalnya sawah saya) saya wakafkan untuk kepentingan urusan masjid si polan.29 Pengaturan wakaf di Aceh sebelum kedatangan kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fiqih bermazhab Syafi’i. Karena masalah wakaf ini sangat erat kaitannya dengan Hukum Adat yang berlaku di Indonesia, dengan tidak mengurangi nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam wakaf itu sendiri.30 Sejalan dengan perkembangan zaman yang begitu pesat,
29
M. Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1992, hal.72 30 Surawardi K.Lubis dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.151
Universitas Sumatera Utara
32
sejarah perkembangan perwakafan tanah milik mengikuti pula perkembangan sejarah Islam yang terdapat disuatu Negara. 31 Mengingat betapa pentingnya masalah tersebut dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas pemeluknya Agama Islam, maka lembaga wakaf tanah harus di transformasikan ke dalam Hukum Nasional guna melindungi eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.32 Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik yang berkembang di negara-negara Islam mengilhami pembuat/perancang UUPA Tahun 1960 memasukan salah satu pasal dalam UUPA yang mengatur khusus mengenai perwakafan tanah milik, yaitu pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut:33 1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dalam sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. 2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai. 3. Perwakafan tanah milik dilindumgi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penerapan
Hukum
Syariat
adalah
merupakan
hukum
positif
yang
diberlakukan di Provinsi Aceh dan dilegalkan atau disahkan oleh negara atas keinginan masyarakat Aceh.34 Didalam penerapan Hukum Syariat di Aceh, merupakan suatu penghormatan terhadap agama dalam praktek kehidupan bernegara, 31
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 134 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Tatanusa, Jakarta, 2003, hal. 36. 33 Supriadi, Loc. cit 34 Amrullah Ahmad, SF, Dimensi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 183 32
Universitas Sumatera Utara
33
dalam Hukum Syariat itu tersusun norma hukum nonyuridis dan yuridis sekaligus. Di dalam sistem hukum Indoensia, meski Syariat Islam diberlakukan, namun hukum nasional juga diberlakukan, untuk itu harus ada terciptanya keharmonisan hukum yang tidak bertentangan dan saling melengkapi dengan hukum nasional.35 Menurut Satjipto Raharjo: Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.36 Jadi menurut teori ini pengelolaan wakaf dan pendayagunaannya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan agar tercapainya kepastian hukum, keadilan serta ketertiban hukum. Oleh karenanya, sebagai negara yang berdasarkan hukum, kebijakan di bidang hukum nasional sangat di perlukan. Arah kebijakan harus menyeluruh dan terpadu dengan mengikutsertakan konsep-konsep Hukum Islam serta memperbaharui perundangan-undangan tanah wakaf apabila sudah tidak selaras dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat sehingga hak tanah wakaf yang dimiliki masyarakat dapat terjamin.
35 36
Ibid. Sajibto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, 2000, hal.53
Universitas Sumatera Utara
34
Menurut Ultercht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia dan hubungan-hubungan dalam pergaulan kemasyarakatan. Hukum menjamin kepastian para pihak yang satu terhdap pihak yang lain.37
2.
Konsepsi Konsepsi berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu
kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.38 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran.”Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.”39 Konsep
diartikan
sebagai
kata
yang
menyatakan
abstraksi
yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.40 Untuk menghindari pengertian atau penafsiran yang berbeda dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirumuskan beberapa defenisi sebagai berikut: Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang diatasnya dengan pembatasan pasal 4 yaitu sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung 37
M.Solly Lubis, Beberapa Pengertian Umum tentang Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU, 2004, hal.21 38 Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, Bumi Aksara, 2000, hal.122 39 Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999, hal.34. 40 Sumardi Suryabrata, Metodeloi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal.3
Universitas Sumatera Utara
35
berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan lainnya yang lebih tinggi. Dalam hukum tanah nasional sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah diberi pembatasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Wakaf adalah persoalan pemindahan hak milik yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum.41 Nadzir adalah seseorang atau lembaga yang mengelola harta wakaf, baik menunjuk pribadi langsung maupun menyebut sifat-sifatnya saja, seperti pengelola itu harus cerdas, terampil dan bertanggung jawab.42 Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara atau pihak (pemilik) yang kewenangan pelaksanaan sebagian dilimpahkan kepada pemengangnya (nadzir). Dikuasai adalah dimiliki secara fisik dala arti digarap, dihuni, namun belum tentu dia adalah pemilik atau yang punya tanah itu. G. Metode Penelitian 1.
Sifat dan jenis Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat peneelitian ini
adalah deskriptif analitis, yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkungan permasalahan dan berdasarkan teori dan konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan
41 42
Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1999, hal. 1905 Ibid , hal 1910
Universitas Sumatera Utara
36
komporasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.43 Deskriptif artinya mampu memberi gambaran secara jelas dan sistematis tentang masalah yang akan diteliti. Analisis artinya menganalisa secara teliti permasalahan berdasarkan gambaran dan fakta sehingga mampu menjawab permasalahan tesebut. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Artinya dengan pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan didalam masyarakat.
2.
Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan-bahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara. a.
Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang, putusan pengadilan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian.
b.
Bahan hukum sekunder , yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini. 43
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
37
c.
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3.
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Studi Kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
b.
Wawancara dengan nara sumber, yaitu KUA Kecamatan Lueng Bata, Nadzir Kecamatan Lueng Bata, Hakin Makamah Syar’iyah Kota Banda Aceh.
4.
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yaitu penelitian
dilakukan dengan menganalisis terhadap data-data atau bahan-bahan hukum yang berkualitas saja. Selanjutnya, ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yakni befikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normative. Analisis data dilakukan setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sehingga memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.
Universitas Sumatera Utara