BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Dalam perkembangan kegiatan international, interaksi-interaksi lintas batas negara yang berbeda kewarganegaraan semakin kerap terjadi. Setiap negaranegara memiliki sistem hukum yang berbeda-beda, perbedaan sistem hukum ini dipengaruhi oleh tradisi hukum yang dimiliki. Di dunia paling tidak ada 2 (dua) tradisi hukum yang sangat besar, yaitu tradisi hukum eropa-kontinental (civil law) dan tradisi hukum anglo saxon ( common law). Dalam hubungan antara negaranegara yang berbeda sistem hukum ini dampak yang perlu dilihat adalah dibutuhkannya salah satu alternatif penyelesaian jika terjadi sengketa antara para pihak tersebut, Karena sengketa antar negara setiap saat terjadi.1 Perlu diperhatikan gerak dinamis perkembangan dunia bisnis antar negara baik itu negara maju dan juga negara berkembang, terutama yang menyangkut dalam bidang joint venture dan dagang, oleh sebab itu sudah saatnya negaranegara
terlebih
negara
Indonesia
untuk
mempersiapkan
diri.
Untuk
mengantisipasi hal demikian dibutuhkan forum untuk penyelesaian sengketa jika terjadi sengketa, Salah satu forum penyelesaian sengketa international yang marak digunakan adalah Arbitrase, karena arbitrase memiliki sifat yang fleksibel. Disebut fleksibel karena ada kebebasan para pihak untuk memilih hukum mana yang berlaku, siapa yang akan menyelesaiakan sengketa mereka, para pihak bebas menentukan bahasa pada saat sidang berlangsung, serta bagaimana hukum acara 1
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa International,Sinar Grafika,Jkarata, 2004. Hal. 1.
1
dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dan hal ini merupakan salah satu jalan tengah yang menjadi pilihan para pihak yang bersengketa. Menjadi permasalahan adalah ketika suatu pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu negara, dan jika timbul hal yang demikian maka bagaimana dengan aturan yang telah ditetapkan dalam suatu negara tentang pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase tersebut. Indonesia misalnya juga merupakan salah satu negara yang disebut sebagai an Arbitration Unfriendly Country. Suatu putusan arbitrase intenational yang dijatuhkan seharusnya akan dilaksanakan di Indonesia tetapi ada yang tidak dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan wakil dari BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Bahwa Indonesia adalah Negara yang
dapat
dilihat bahwa Kesan umum di dunia Internasional masih merupakan “an Arbitration Unfriendly Country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional.2 Pengertian arbitrase itu sendiri tertuang dalam UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.3
2
Wakil Ketua BANI Arbitration Center dan Partner Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR), Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Berita Hukum Online ,8 april 2010,diakses melalui : http://www.hukumonline.com/berita/ baca/ lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase -internasional-di-indonesiabr-oleh-m-husseyn-umar-, diunduh 1 Februari 2013. 3 Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2
Dalam skripsi ini Penulis spesifik menekankan pengkajian tentang Pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing, seperti yang telah diberitahu oleh Penulis di dalam judul skripsi. Pengertian arbitrase asing atau arbitrase international terdapat di dalam Konvensi New York 1958, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 (yang dalam penulisan berikutnya disingkat dengan Perma No.1 Tahun 1990) memberikan pengertian sejalan dengan konvensi New York 1958. Di dalam Perma
(Pasal 2 Ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1990)
dinyatakan putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase asing.4 Perrnyataan Perma tersebut sejalan dengan Pasal 1 Ayat (1) Konvensi New York 1958, dalam pasal ini menyatakan made in the territory of a states other than the states where the recognition and enforcement of such awards are sought.5 Pasal tersebut diartikan oleh Yahya Harapap yaitu yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah : Putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah Negara lain dari Negara tempat dimana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrease yang bersangkutan.6
Berdasarkan paparan tersebut dapat Penulis simpulkan, bahwa putusan arbitrase asing adalah merupakan suatu putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase (institusional arbitrase) atau arbitrase perorangan (arbitrase ad-hoc) yang dimana
4
Pasal 2 Ayat (2) Perma No.1 Tahun 1999. ayat (1) Konvensi New York 1958 6 Yahya Harahap, Arbitrase,edisi Ke-2,Sinar Grafika,Jakarta,2001,hal.18 5
3
putusan tersebut diputuskan di luar dari wilayah Negara masing-masing pihak atau berada di luar personalitas dari suatu Negara. Satu materi yang sangat penting dikaji oleh Penulis adalah tentang pengakuan suatu putusan arbitrase, Pengakuan putusan (recognize) adalah mempersamakan daya kekuatan mengikatnya seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dijatuhkan oleh badan peradilan di Negara yang bersangkutan.7 Pengakuan terhadap Arbitrase di Indonesia bisa dilihat pada ratifikasi Indonesia atas New York Convention melalui Keppres Nomor 34 tahun 1981,Perma No.1 Tahun 1990, dan UU No.5 Tahun 1968. Di dalam pengakuan juga terdapat pelaksanaan (enforcement), yang bertujuan untuk dilakukan suatu tindakan terhadap suatu putusan yang telah diakui. Definisi pelaksanaan juga terdapat di dalam Blak’s Law dictionary. Defnisi pelaksanaan (enforcement) menurut Black’s Law Dictionary ialah : a uniform law,adopted by several states, that gives the holder of a foreign judgment essentially the same rights to levy and execute on the judgment as the holder of a domestic judgment / the act defines a foreign judgment as any decree, or order (of a court in the united states or of any other court) that is entitled to full faith and credit in the state.8 Pelaksanaan atau enforcement merupakan suatu tindakan yang harus dilaksanakan atau dilakukannya suatu proses yang sebagaimana yang telah diputuskan. Setelah adanya pengakuan dan pelaksanaan maka putusan tersebut dapat dilaksanakan. Putusan merupakan suatu hasil dari pemeriksaan perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.9
7
Ibid. Black’s Law Dictionary,Seventh Edition,hal. 549. 9 Sudarsono,Kamus Hukum,Edisi Baru,Rineka Cipta,Jakarta,2000, hal.36. 8
4
Mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dapat dilihat dalam pasal 66 huruf a UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Yang dikatakan bahwa : Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.10 Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan Indonesia mengakui (recognition) dan melaksanakan (enforcement) putusan arbitrase asing. Pemerintah Indonesia ikut serta dalam ikatan Konvensi International di bidang arbitrase ialah berdasarkan UU No.5 Tahun 1968 Tentang Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States. Begitu juga melalui Keppres No.34 Tahun 1981, Indonesia secara multilateral telah terikat terhadap Konvensi New York 1958 tentang Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Demikian pula dengan UNCITRAL Arbitration Rules, Indonesia termasuk salah satu peserta yang ikut menandatangani resolusi kelahirannya (Resolusi Sidang Majelis Umum PBB 31/98 tanggal 15 Desember 1976). Guna menandakan
suatu
komitmen Pemerintah
Indonesia terhadap
mengakui
(Recognition) dan melaksanakan (Enforcement) putusan arbitrase Internasional, maka seharusnya putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia. Jika berbicara mengenai Putusan arbitrase maka tidak akan penah lepas dari dalam bidang Perdagangan International atau transaksi Bisnis International merupakan suatu kegiatan Komersial (Comersial Activity) lintas batas negara 10
Ibid., Pasal 66 huruf a
5
yang diwakili oleh individu atau perusahaan yang berkewarganegaraan yang berbeda, berdasarkan prediksi-prediksi tertentu (future outcome) dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan tertentu (engage infor gain).11Dalam kerjasama tersebut tentu akan menghasilkan yang namanya perjanjian, dan dari perjanjian (klasul) tersebut akan mengikat para pihak yang berhubungan melalui kerjasama International. Perjanjian atau klausul arbitrase memiliki 2 (dua) macam perjanjian, yang pertama perjanjian dibuat sebelum terjadinya kerjasama atau secara pactum de compromitendo dan perjanjian dibuat sesudah terjadinya kerjasama atau secara acta van compromise. Jika kerjasama tersebut terjadi sengketa (dispute), yang dimana sengketa (dispute) merupakan pertentangan antara kedua belah pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya, selanjutnya akan diselesaikan melaui sesuai dengan yang telah diperjanjikan antara para pihak. 12 Dengan demikian suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang didalamnya mencantumkan klausul arbitrase, maka penyelesaian sengketa (dispute) tersebut dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase (arbitration institusional) atau arbitrase perorangan (arbitration ad-hoc) yang telah dispekati. Bahwa pencamtuman klausul arbitrase dalam perjanjian baik itu secara pactum de comprominttendo ataupun penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dituangkan dalam acta van compromise berdasarkan pacta sunt servanda, maka klausul ataupun akta ini memiliki kekuatan hukum seperti halnya Undang-undang 11
Salam,Moch.faisal , Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan International, Mandar Maju, Jakarta,2007,Hal.61. 12 Ali Achmad, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit PT Toko, Jakarta, 2002, hal. 48.
6
bagi kedua belah pihak. Suatu sengketa yang terdapat perjanjian arbitrase dan klausula maka penyelesaiannya akan dilakukan melalui lembaga arbitrase atau arbitrase perorangan sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Berdasarkan paparan di atas menurut Penulis pengakuan adalah merupakan suatu unsur yang mutlak yang merupakan jaminan bahwa suatu negara menerima, dan merupakan salah satu syarat yang harus ada dalam suatu negara. Pelaksanaan adalah suatu program atau suatu sistem yang telah ditetapkan oleh suatu negara atau pemerintah yang dimana harus sejalan dengan kondisi yang ada. Dan dengan adalanya hal tersebut menurut penulis putusan arbitrase asing adalah suatu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase (arbitration Institusional) atau arbitrase perorangan (arbitrase ad-hoc) yang dijatuhkan diluar dari wilayah negara Indonesia itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan Penulis bahwa pelaksaaan dan pengakuan putusan arbitrase asing adalah merupakan unsur yang mutlak bahwa suatu negara menerima, melaksanakan, dan merupakan suatu sistem yang telah ditetapkan oleh suatu negara atau pemerintah negara yang bersangkutan, yang merupakan putusan yang dijatuhkan diluar dari wilayah suatu negara atau diluar pesonalitas suatu negara. Dalam penulisan skripsi ini Penulis mengkaji Putusan Mahkamah Agung No.01 K/Pdt.sus/2010, yang memutuskan tentang permasalahan tentang kerjasama (joint venture). Dari penulisan skripsi ini Penulis belum menemukan penulisan skripsi atau bahan-bahan skripsi tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang dibutuhkan Penulis untuk membandingkan skripsi ini.
Berdasarkan
paparan
tersebut
penulis 7
tertarik
untuk
mengangkat
permasalahan ini, karena permasalahan tersebut tidak sesuai dengan hukum dan Undang-undang Arbitrase yang berlaku di Indonesia. Adapaun judul skripsi ini adalah :
PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA.
Judul tersebut menggambarkan dan juga memaparkan tentang arbitrase di Indonesia,
khususnya
berkaitan
dengan
menerima atau
mengakui
dan
melaksanakan putusan arbitrase asing yang telah dijatuhkan, di negara Indonesia. Dimana seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Indonesia merupakan an Arbitration Unfriendly Country terhadap pelaksanaan arbitrase asing, sehingga dipandang buruk dimata dunia international.
B. Latar Belakang Masalah Seperti dipaparkan penulis sebelumnya sampai dengan saat ini Indonesia sendiri sulit untuk melaksanakan putusan arbitrase asing dalam perkara-perkara arbitrase international. Pada putusan arbitrase masih sulit untuk dilaksanakan di Indonesia (complicated enforcement) ini seringkali dengan mendasarkan pada alasan bertentangan dengan ketertiban umum (public policy).13
13
Wakil Ketua BANI Arbitration Center dan Partner Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR),Op.Cit.,Berita Hukum Online, diunduh 1 Februari 2013.
8
Pengertian public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan hal-hal pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa.14 Dalam hal ini khususnya Indonesia tidak pernah menjelaskan secara mendetail bahwa apa dan bagaimana batasan ketertiban umum (public policy) tersebut, sehingga keadaan demikian dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum dalam arbitrase itu sendiri. Penafsiran diberikan kepada Hakim untuk melihat ada dan tidaknya ketertiban umum yang diganggu, kondisi ini yang menimbulkan ketidak pastian hukum. Bilamana dilihat dari segi perjanjian, jika kedua pihak sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu badan arbitrase, maka perjanjian (klausul) penyerahan sengketa tersebut harus dibuat untuk penyelesaiaan sengketa.15Pihak-pihak
dalam
suatu
perjanjian
(klausul)
atau
kontrak
mencantumkan suatu ketentuan atau pasal yang menerapkan bahwa setiap perselisihan yang mungkin timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian atau kontrak itu, maka akan diajukan kepada arbitrase untuk diputuskan. Ketentuan atau pasal dalam perjanjian atau kontrak seperti itu dinamakan klausula arbitrase (Arbitration Clause).16 Perjanjian tersebut merupakan dasar hukum bagi yurisdiksi badan arbitrase guna menerima dan meyelesaikan sengketa. Dalam Studi Hukum International perjanjian tersebut tunduk pada prinsip prinsip dan
14
Ibid. Huala Adolf,Op.cit., hal.48. 16 Subekti, aneka perjanjian, PT.Citra Aitya Bakti,Bandung,1995, hal. 182. 15
9
aturan aturan Hukum Perjanjian International (konvensi Wina Tahun 1969 mengenai hukum perjanjian)17. Sehingga suatu putusan arbitrase yang telah dijatuhkan oleh para arbiter, yang sesuai dengan kesepakatan para pihak untuk penyelesaian sengketa. Putusan yang dijatuhkan lembaga arbitrase tersebut bersifat final dan binding, yang artinya bahwa putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat bagi para pihak. Dengan demikian pelaksanaan putusan arbitrase tidak dapat diganggugugat oleh pengadilan ataupun dibatalkan, kecuali permintaan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase dari para pihak yang menang dalam arbitrase tersebut. Permasalahan yang dibahas oleh penulis yaitu permasalahan antara para pihak Astro Nusantara International
dan pihak PT.Ayunda Primamitra dkk.
(Anak perusahaan Lippo Group) yang didalam permasalahan ini telah dijatuhkan putusan oleh lembaga SIAC (Singapore International Arbitration Centre). Sebelumnya lembaga arbitrase tersebut telah disepakati para pihak sebagai jalan untuk meyelesaikan sengketa (dispute) yang terjadi antara para pihak, terkait permasalahan gagalnya Usaha Kerjasama Patungan (joint venture). Bermula antara Lippo Grup dengan Astro menjalin kerja sama untuk membuat televisi berbayar di Indonesia, dengan menjalin kerjasama dua perusahaan tersebut sepakat untuk membangun PT.Direct Vision. Dalam kerja sama itu disepakati Lippo menanamkan modal sebesar 49% (empat puluh Sembilan persen) lewat PT Ayunda Prima Mitra, anak usaha PT First Media Tbk 17
Huala Adolf, Op.Cit., hal. 48.
10
yang juga anak usaha Lippo Group. Sedangkan Astro memberikan modal sebesar 51% (lima puluh satu persen) lewat Silver Concord Holding Limited. Akan tetapi kepemilikan saham 51% tersebut belum diserahkan kepada Astro, dan rencananya saham 51% yang dimiliki oleh Silver Concord Holding Limited yang akan diberikan kepada pihak Astro. Selain penggunaan merek dagang Astro Nusantara, lewat kerja sama tersebut Astro memasok materi siaran, perangkat teknologi, hingga menempatkan beberapa orangnya di posisi strategis PT.Direct Vision. Pada November 2005, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran berlangganan. Pasal 28 PP itu menyatakan kepemilikan orang atau badan hukum asing di televisi berlangganan hanya 20%. Aturan itu menyebabkan PT.Ayunda Primamitra dan Astro All Asia Network harus merancang ulang perjanjian. Disamping itu pada saat belum ditandatanganinya perjanjian pihak astro langsung melakukan tayangan perdana pada 28 Februari 2006. Hingga pada tanggal 31 Juli 2006, tercatat Astro telah mengeluarkan dana M$ 157 juta atau setara dengan Rp 471 milyar. Dan pihak Lippo secara tidak pasti menunda finalisasi perjanjian patungan yang telah direvisi dan kesepakatan layanan komersial dengan berbagai alasan. Hal ini menurut pihak Astro, menimbulkan peningkatan pembiayaan yang dibutuhkan untuk melakukan roll out platform televisi berbayar via satelit. Persoalan ini terus berlarut hingga Astro mengklaim bahwa pihaknya telah membenamkan investasi di PT. Direct Vision sampai M$ 536 juta (setara dengan Rp 1,6 trilyun). Walaupun demikian Astro menyatakan tetap menyediakan 11
berbagai layanan kepada PT. Direct Vision untuk membangun jaringan televisi berbayar berbasis langganan, yang ditargetkan meraih 100.000 pelanggan dalam dua tahun. Menurut
Astro
pihak
Lippo
tidak
menunjukkan
iktikad
baik
menyelesaikan kewajibannya. Negosiasi berlarut-larut yang disebabkan Lippo mematok harga tinggi untuk kepemilikan 51% saham Direct Vision, yakni mencapai US$ 250 juta. Astro keberatan terhadap harga yang dituntutkan Lippo sehingga negosiasi akhirnya tidak dapat dilanjutkan lagi antara pihak Astro dan pihak Lippo. Pada tahun 2008, akibat gagalnya kesepakatan berlangganan dan kepemilikan saham bersama (KBKS), tanggal 6 Oktober 2008, Astro pun mendaftarkan gugatan ke Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Astro menggugat tiga perusahaan di bawah perusahaan Grup Lippo, yaitu PT. First Media Tbk, PT. Ayunda Prima Mitra, dan PT. Direct Vision, dengan nilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 2,85 trilyun. Pihak Astro meminta pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi agar pihak Lippo melaksanakan keputusan SIAC. Putusan itu final mengikat dan diakui di bawah hukum Singapura. Karena itu, pihak pengadilan tinggi harus menetapkan (Lippo) melaksanakanya. Berkebalikan dengan itu pihak Lippo Group menilai putusan arbitrase Singapura itu cacat hukum.18 Antara para pihak sebelumnya telah melakukan perjanjian, jika terjadi sengketa (dispute) di antara para pihak sepanjang permasalahan terkait dengan
18
Artikel Gatra News,Perang Gugat Mantan Sahabat,9 agustus 2012, dapat diakses melalui : http://www.gatra.com/hukum/31-hukum/16001-perang-gugat-mantan-sahabat-
12
subscription and share holders agrement maka para pihak telah sepakat melarang penyelesaian secara litigasi di pengadilan. Pada saat terjadi sengketa antara para pihak maka jalan yang ditempuh adalah arbitrase, Penyelesaianan dan pemutusan permasalahan juga akan diputus oleh para arbiter yang telah disepakati. Tetapi pihak dari PT.Ayunda Primamitra tidak melakukan sesuai dengan yang telah diperjanjikan (Non Mutual Consent), saat putusan arbitrase tersebut telah dijatuhkan oleh SIAC dan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan telah memenuhi syarat formil yang terdapat dalam pasal 67 Ayat (1) Undang-undang Arbitrase, di dalam pasal 67 Ayat (1) menyatakan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase international dilakukan setelah putusan tersebut dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.19 Berbalikan dengan itu PT.Ayunda Primamitra melakukan pendaftaran gugatan perbuatan melawan hukum terhadap PT.Astro Nusantara International dkk., melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 2 september 2008 dengan nomor perkara No.1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL. Terhadap gugatan ini telah dikeluarkan putusan (interm) pada tanggal 13 Mei 2009. Faktanya adalah terdapat putusan sela perkara perdata NO.1100/pdt.g/2008/PN.JKT.SEL., yang bertentangan dengan putusan SIAC arbitration NO.062/08. Tidak hanya itu saja PT.Ayunda
Primamitra
juga
mengajukan
surat
permohonan
penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal pada tanggal 3 Agustus 2009 dan tanggal 2 September 2009, akan tetapi surat 19
Op.Cit.,Pasal 67 Ayat (1) UU No.30 Tahun 1999.
13
permohonan penolakan pelaksaan putusan arbitrase tersebut dicabut secara bersamaan oleh pihak PT.Ayunda Primamitra di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 30 september 2009. Akibat adanya hal-hal di atas tersebut maka permohonan Exequatur dari putusan arbitrase yang bersifat final dan binding tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pertimbangan-pertimbangan surat gugatan hukum yang dilayangkan oleh PT.Ayunda Primamitra. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan penetapan terhadap putusan arbitrase untuk melakukan NON Exequatur, dalam penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.05/PPdt.ARB.INT/2009 menyatakan Putusan Arbitrase International SIAC nomor : 062 tahun 2008 (Arb 062/08/JL) yang diputuskan tanggal 7 mei 2009 Non Exequatur (tidak dapat dilaksanakan) dengan beralaskan mengganggu ketertiban umum (public policy) dan menyatakan putusan arbitrase tidak bersifat final atau binding. Hal ini dipertimbangkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bentuk Intervensi dari proses beracara di Indonesia. Pada saat pihak PT.Astro Nusantara Internasional melakukan kasasi secara lisan untuk membela haknya di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung dalam putusannya No.01 K/Pdt.sus/2010 juga memutuskan tidak dilaksanakannya putusan arbitrase beralaskan melanggar ketertiban umum (Public policy) dan melanggar asas souvereignty. Pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di atas dapat divisualisasikan bagan seperti berikut.
14
Bagan 1.1 Kasus Posisi Lippo Group (PT.Ayunda Prima Mitra. Dkk)
Astro Nusantara International. dkk.
Melakukan perjanjian joint venture bernama subscription and share holders agreement , melarang penyelesaian secara litigasi di pengadilan (11 Maret 2005)
Mengajukan kasasi secara lisan kepada Mahkamah Agung (16 November 2009)
- Menolak putusan Arbitrase SIAC karena Melanggar Ketertiban Umum (public Policy),melanggar asas souvereignty - Materi yang termasuk dalam putusan dalam putusan SIAC tersebut bukan termasuk hukum bidang perdagangan, melainkan termasuk hukum acara (24 Februari 2010)
menjalin kerjasama pendirian perusahaan penyedia saluran televise berbayar dan keduanya sepakat membangun PT.Direct Vision.
Terjadi sengketa karena gagalnya usaha kerja sama patungan (joint venture)
Mendaftarkan gugatan melawan hukum (2 September 2008)
PN Jakarta Selatan
Mengeluarkan putusan Sela(Interm) No.1100/Pdt.G/2008 /PN.JKT (13 Mei 2009)
Astro mendaftarkan gugatan di SIAC (6 Oktober 2008)
Sengketa Arbitrase SIAC dimenangkan oleh Astro Nusantara dan putusan bersifat final dan binding No. 062of 2008 (7 Mei 2009)
Dimasukkan ke PN Jakarta Pusat untuk pendaftaran putusan arbitrase (1 September 2009) Mengeluarkan akta pendaftaran putusan SIAC (1 September 2009)
PN Jakarta Pusat
Atas dasar pertimbangan putusan sela Jakarta Selatan (13 mei 2009) dan surat permohonan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase (3 Agustus 2009 dan 2 september 2009) yang telah dicabut pada tanggal 30 september 2009.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Mengeluarkan Penetapan No.05/PPdt.ARB.INT/2009 Menyatakan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase tidak dikabulkan dan tidak dapat dilaksanakan (non exequatur) (2 Oktober 2009)
15
- (3 Agustus 2009) PT.Ayunda Primamitra Mengajukan permohonan penolakan atas pelaksanaan putusan arbitrase ke bagian umum PN Jakarta Pusat No.177/PDT.P/2009/PN.JKT.P ST. - (2 sept 2009) kembali Mengajukan permohonan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase No.178/PDT.P/2009/PN.JKT.P ST
Permohonan tersebut dicabut oleh PT.Ayunda Prima Mitra dan PT.Direct Vision (30 September 2009)
Jika dicermati Sebagaimana yang telah diutarakan putusan SIAC arbitration NO.062/08 tidak dapat dilaksanakan oleh karena pertimbanganpertimbangan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
melaksanakan putusan arbitrase dengan mengeluarkan
Penetapan terhadap putusan arbitrase tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pertimbangan-pertimbangan surat permohonan PT.Ayunda Primamitra tentang penolakan pelaksanaan putusan arbitrase yang telah dicabut sebelumnya dan pertimbangan surat gugatan melawan hukum yang dilayangkan oleh PT.Ayunda Primamitra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sehingga putusan SIAC yang bersifat final dan binding menjadi putusan yang tidak mempunyai kekuatan eksekusi. Melihat persoalan di atas, maka muncul pertanyaan bagaimana dengan Indonesia yang telah dikatakan mengakui dan juga melaksanakan putusan arbitrase di Indonesia, apakah setiap putusan arbitrase yang bersifat final atau binding tidak mempunyai kekuatan eksekusi sesuai dengan putusan arbitrase. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 dengan Keppres No.34 Tahun 1968 dan di dalamnya terdapat salah satu prinsip yaitu “self execution” dalam putusan arbitrase. Bagaimana dengan UNCITRAL dimana resolusi tersebut berisi anjuran kepada dunia arbitrase agar melaksanakan kegiatan arbitrase digunakan dan diterapkan UNCITRAL. Indonesia telah masuk sebagai salah satu peserta dalam perjanjian yang disusun oleh PBB tersebut, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia terikat secara Resiprositas di arbitrase. Terlebih diadakannya PERMA No.1 Tahun 1990 yang menjamin akan 16
pelaksanaan arbitrase di Indonesia, maka seharusnya pelaksanaan dan pengakuan terhadap putusan arbitrase dijalankan di Indonesia. Dalam putusan SIAC terlihat bahwa putusan arbitrase SIAC dikatakan menganggu ketertiban umum (public policy). Dari putusan pengadilan tidak dapat diketahui alasan hal-hal yang menyebabkan terganggunya ketertiban umum. Menurut Yahya Harahap mengatakan bahwa makna yuridis ketertiban umum adalah “tak terbatas” atau “unlimited”20. Putusan tersebut sekalipun dikatakan melanggar ketertiban umum maka hal tersebut sangat sulit untuk dilihat dan dicermati, karena ketertiban umum di dalam Negara Indonesia itu sendiri tidak dibatasi dalam permasalahan arbitrase, dan arah atau pun yang hal yang dikatakan mengganggu tersebut tidak dapat diperinci. Perlu diperhatikan, bahwa Ketua Pengadilan Negeri pada waktu akan memberikan perintah pelaksanaan kepada suatu putusan arbitrase itu, sekali-kali tidak dibolehkan menilai isi maupun pertimbangan putusan arbitrase.21 Berdasarkan paparan diatas, menurut penulis suatu putusan arbitrase seharusnya tidak perlu diputuskan oleh Pengadilan Negeri, karena bukan bagian atau wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa alasan atau pertimbangan suatu putusan arbitrase. Di dalam pasal 3 Undang Undang Republik Indonesia No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili
20
Yahya Harahap, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta,2001, hal. 39. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan Arbitrase Dan Peradilan, Penerbit Alumni, Bandung , 1980, hal.72. 21
17
sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrse.22Dalam undangundang arbitrase juga telah tegas memberitahukan, bahwa sengketa (dispute) yang terjadi dalam permasalahan arbitrase tidak dapat diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, karena memang bukan dari kewenangan Pengadilan Negeri tersebut untuk mengadili sebuah perkara tersebut. Dari permasalahan di atas Penulis ingin menghubungkan permasalahan tentang Pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing, juga kewenangan dan Pelaksanaan arbitrase itu sendiri dari sudut pandang hukum. Seperti hal di dalam pasal 66 Undang Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif penyelesaian Sengketa mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut: a). Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. b). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan. c). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 23 Persyaratan suatu putusan arbitrase international dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah Indonesia jika memenuhi syarat yang termuat dalam Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999. Seharusnya putusan SIAC yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh hakim arbiter dapat dilaksanakan, terlebih bahwa putusan Arbitrase tersebut telah
22 23
Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999 Op.Cit.,Pasal 66 Huruf a,b,dan c
18
memenuhi syarat pasal 66 dan bersifat final dan binding. Disamping itu juga arbitrase merupakan jalan yang dipilih dan disepakati oleh para pihak arbitrase termasuk juga pencamtuman klasul arbitrase dalam pejanjian para pihak. Akan tetapi dalam pemutusan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta dan Mahkamah Agung tidak melihat secara keseluruhan dari permasalahan yang ada, sehingga terlihat tidak ada pengakuan (recognize) dan pelaksanaan (enforcement) di Negara Indonesia itu sendiri. Padahal Indonesia merupakan Negara yang mengikuti berbagai perjanjian di dunia tentang permasalahan arbitrase. Atas dasar latar belakang permasalahan sebagaimana digambarkan di atas, maka Penulis kemudian merumuskan masalah penelitian berikut ini.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada alasan pemilihan judul dan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Bagaimanakah pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase Arbitrase asing di Indonesia? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menggambarkan atau memaparkan pengakuan terhadap putusan arbitrase di Indonesia. 19
2. Menggambarkan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam kasus antara Astro dan Lippo Group.
E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan di sini adalah penelitian hukum (legal research)
dengan
pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach),
pendekatan konseptual (konseptual approach), dan pendekatan kasus (cases study). Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi untuk menjawab isu hukum atau permasalahan penelitian.24 Pendekatan konseptual mengkaji konsep-konsep dan teori-teori yang berkembang di bidang hokum arbitrase dan hukum perdata yang relevan dengan permasalahan penelitian. 2. Sumber Hukum Sumber-sumber hukum
penelitian ini meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a. Bahan hukum primer, yaitu Perundang-Undangan yang merupakan kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara.25 Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer: UU No.39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiana sengketa, 24 25
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 97. Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, Hal. 142.
20
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1999, Keppres No. 34 Tahun 1981 Tentang Pengesahan Convention on the recognition and enforcement of Foreign Abital Award (konvensi New York 1958), UU No.5 Tahun 1968 Tentang Pengesahan convention on the settlement of investment disputes between
states
and
national
of
other
states
(Wangshington
convention/world bank convention). b. Bahan Hukum Sekunder yang terutama adalah buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang memiliki kualifikasi tinggi.26 c. Bahan Hukum Tersier, adalah adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus-kamus, ensiklopedia dan lainlainnya. 3. Unit Amatan dan Unit Analisa Yang menjadi unit amatan dalam penelitian ialah Putusan Mahkamah Agung No.01 K/Pdt.Sus/2010, Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Alternatif, Perma No.1 Tahun 1999, Konvensi New York 1958 , dan UU No.5 Tahun 1968 pengesahan tentang convention on the settlement of investment disputes between states and national of other states. Sedangkan yang menjadi Unit Analisa Penulis ialah bagaimana pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase dalam sengketa (dispute) international dilakukan di Indonesia. 26
Ibid.
21