BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Industri ritel merupakan sub-sektor yang sangat krusial bagi perekonomian Indonesia. Indikasi dari hal tersebut bisa kita lihat pada kontribusi sektor ritel terhadap total Gross Domestic Product (GDP) Indonesia, maupun daya serap sektor tersebut terhadap total angkatan kerja di Indonesia. Selain itu, perlu diingat bahwa total GDP Indonesia lebih banyak ditopang oleh aktivitas konsumsi, dimana aktivitas konsumsi tentunya berhubungan erat dengan kinerja industri ritel. Gambar 1. 1. Struktur GDP Rill Indonesia 2012 Menurut Lapangan Usaha (dalam persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia 2013, diolah (tahun dasar 2000). Dengan melihat grafik diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang cukup krusial dalam menopang perekonomian Indonesia. Menurut data sementara yang dipublikasikan oleh BPS, pada tahun 2012 sektor perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang 472,6 triliun rupiah dari total GDP rill Indonesia yang mencapai 2.618,14 triliun rupiah. Dengan kata lain, sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki kontribusi sebesar 18,5 persen dari total GDP rill Indonesia. Angka tersebut menempatkan sektor perdagangan, hotel, dan restoran pada urutan kedua setelah industri pengolahan sebagai lapangan usaha dengan kontribusi terbesar bagi total GDP Indonesia. Gambar 1. 2. GDP Riil 2012 Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (dalam persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia 2013, diolah (tahun dasar 2000).
Apabila kita mencoba untuk melakukan disagregasi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran, maka kita akan menemukan fakta bahwa subsektor perdagangan besar dan eceran merupakan sub-sektor dengan tingkat kontribusi terbesar terhadap total GDP riil sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Pada tahun 2012, kontribusi sub-sektor perdagangan besar dan eceran bahkan mencapai 83,77 persen dari total GDP riil sektor perdagangan, hotel, dan restoran itu sendiri yang sebesar 472,6 triliun rupiah. Kontribusi sub-sektor restoran terhadap total GDP riil sektor perdagangan, hotel, dan restoran berada di peringkat kedua, disusul oleh sub-sektor perhotelan dengan pencapaian masing-masing sebesar 12,16 persen dan 4,08 persen. Apabila kita mencoba membandingkan kontribusi sub-sektor perdagangan besar dan eceran terhadap total GDP riil Indonesia dengan sub-sektor lainnya, maka kita mendapatkan sebuah hasil yang cukup menarik. Pada tahun 2012, kontribusi sub-sektor perdagangan besar dan eceran berada di peringkat kedua dengan pencapaian sebesar 395,89 triliun rupiah. Kontribusi sub-sektor perdagangan besar dan eceran terhadap total GDP riil Indonesia hanya berada di bawah sub-sektor industri non-migas yang memiliki tingkat kontribusi hingga mencapai angka 624,62 triliun rupiah. Adapun empat sub-sektor terbesar dalam konteks sumbangannya terhadap total GDP adalah sub-sektor industri non-migas, perdagangan besar dan eceran, komunikasi dan tanaman bahan makanan.
Gambar 1. 3. Pertumbuhan Sektor Ritel (dalam persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, diolah. Data dari BPS juga mengindikasikan pertumbuhan yang cukup signifikan pada sub-sektor perdagangan besar dan eceran. Sub-sektor ini mampu tumbuh sebesar 8,63 persen di tahun 2012. Dari empat sub-sektor terbesar dalam konteks sumbangannya terhadap total GDP, sub-sektor perdagangan besar dan eceran secara umum berada di peringkat kedua terkait tingkat pertumbuhan. Sub-sektor komunikasi berada di peringkat pertama, disusul oleh sub-sektor perdagangan besar dan eceran, industri non-migas, dan tanaman bahan makanan pada peringkat kedua hingga terakhir. Tren pertumbuhan sektor ritel juga relatif tidak terlalu terpengaruh oleh krisis keuangan global (KKG) pada tahun 2010. Hal ini dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan industri ritel yang justru mampu tumbuh dengan pesat pada level 9,69 dan 10 persen pada tahun 2010 dan 2011. Hal ini dikarenakan industri ritel bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu, proses
perputaran barang dan uang di dalam industri ini juga terjadi dengan relatif lebih cepat dibandingkan dengan apa yang terjadi di industri-industri lainnya (Simanjuntak, 2012). Gambar 1. 4. Penduduk 15 Tahun Keatas Yang Bekerja Tahun 2013 (dalam persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, diolah. Industri ritel yang termasuk dalam kategori lapangan pekerjaan sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi dapat diklasifikasikan sebagai sektor yang relatif menopang hajat hidup orang banyak. Sekitar 21,75 persen dari total penduduk Indonesia berusia 15 tahun keatas menggantungkan hidupnya pada sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi. Hal tersebut menjadikan sektor ini berada di posisi kedua sebagai sektor yang memiliki tingkat daya serap tenaga kerja tertinggi setelah sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan.
Secara umum,kualitas pendidikan masyarakat Indonesia relatif masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara lain. Indikasi dari hal tersebut dapat dilihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2011, kualitas SDM Indonesia menempati urutan ke-124 dari 187 negara di Indonesia. Mengingat karakteristik sektor ritel yang relatif tidak membutuhkan banyak tenaga kerja dengan keahlian khusus dan pendidikan tinggi, hal tersebut dianggap dapat menjawab pertanyaan kita seputar alasanmengapa sektor ini menjadi pilihan yang begitupreferable bagi sebagian besar tenaga kerja di Indonesia.
I. 2. Deskripsi Umum Industri Ritel Sebelum masuk ke bagian pembahasan masalah, kita akan sedikit membahas tentang sejarah industri ritel di Indonesia. Menurut Soliha (2008), secara historis industri ritel di Indonesia dapat dibagi menjadi lima tahapan evolusi. Tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. Era sebelum tahun 1960an: Era perkembangan ritel tradisional yang terdiri dari pedagang-pedagang independen. 2. Tahun 1960an: Era perkenalan ritel modern dengan format department-store. Hal ini ditandai dengan dibukanya gerai ritel modern pertama, yaitu Sarinah di Jl. MH. Thamrin, Jakarta. 3. Tahun 1970-1980an: Era perkembangan ritel modern dengan format supermarket dan department-store, ditandai dengan hadirnya peritel modern seperti Matahari, Hero, dan Ramayana. 4. Tahun 1990an: Era perkembangan conveniece-store, yang ditandai dengan maraknya pertumbuhan
minimarket
seperti
Indomaret.
Pertumbuhan
high-
classdepartement store ditandai dengan masuknya Sogo, Metro, dan lainnya. Pertumbuhan format cash and carry dengan berdirinya Makro, Goro, dan Alfa. 5. Tahun 2000-2010:
Era perkembangan hypermarket dan mulai dikenalnya sistem e-retailing. Era ini ditandai dengan hadirnya Carrefour dengan format hypermarket serta hadirnya Lippo-Shop yang memperkenalkan sistem e-retailing berbasis internet di Indonesia. Konsep ini memang masih asing dan sukar diterima oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama mereka yang masih terbiasa melakukan perdagangan secara langsung. Selain format tersebut, terdapat pola pertumbuhan ritel dengan format waralaba.
Dalam perkembangan industri ritel sendiri, secara umum kita dapat mengklasifikasikan peritel menjadi dua jenis, yaitu ritel tradisional dan ritel modern. Berikut adalah definisi ritel tradisional menurut pasal satu dan dua dari Perpres No. 112 Tahun 2007: “Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerinth, Pemerintah Daerah, Swasta, BUMN, dan BUMD termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa took, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.” Sedangkan pada pasal satu dan lima dari Perpres No. 112 Tahun 2007, disebutkan bahwa definisi dari ritel modern adalah: “Toko Modern adalah toko dengan system pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department-Store, Hypermarket, ataupun grosir yang berbentuk perkulakan." Adapun selain itu, deskripsi umum
dari masing-masing format ritel modern tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 1. 1. Klasifikasi Format Ritel Modern Minimarket 1. Menjual berbagai macam produk makanan dan sejumlah kecil produk nonmakanan. Deskripsi 2. Jumlah produk yang dijual relatif tidak terlalu banyak 3. Rata-rata jumlah kasir hanya dua. Maksimal 5.000 produk Jumlah Produk
Jenis Produk
1. Makanan kemasan 2. Barang-barang hygienis pokok
1. Dilakukan secara eceran Sistem Penjualan 2. Langsung pada konsumen akhir 3. Swalayan. Luas Maksimal 400M 2 Lantai Usaha Luas Lahan Parkir
Minim
Sumber : Suryadarma dkk, 2007.
Supermarket
Hypermarket
1. Menjual berbagai macam produk makanan dan barang kebutuhan sehari-hari 2. Ukuran outlet relatif lebih besar dari minimarket.
1. Menjual jenis produk dalam jumlah yang sangat variatif (lebih dari 50.000 produk) 2. Melingkupi banyak jenis produk (makanan, pakaian, hardware, alatalat listrik, dll).
5.000 s.d. 25.000 produk
> 50.000 produk
1. Makanan 2. Barang kebutuhan rumah tangga
1. 2. 3. 4. 5. 1.
1. Dilakukan secara eceran 2. Langsung pada konsumen akhir 3. Swalayan. 4.000M 2 s.d. 5.000M 2
Standar
Makanan Barang rumah tangga Elektronik Pakaian Alat Olahraga Dilakukan secara eceran 2. Langsung pada konsumen akhir 3. Swalayan. > 5.000M 2
Sangat Luas
Dalam perkembangannya, muncul kekhawatiran terhadap kekuatan pasar dari beberapa pemain ritel modern yang dianggap terlalu dominan. Hal ini dinilai dapat berimplikasi pada berbagai masalah seperti dualisme antara ritel modern dengan ritel tradisional, praktek monopoli dari beberapa pemain terbesar ritel modern, maupun melemahnya daya tawar para pemasok. Penelitian dari SMERU di tahun 2007 tentang Dampak Supermarket Terhadap Pasar Tradisional menyimpulkan bahwa keberadaan ritel modern menyebabkan pendapatan serta keuntungan yang diperoleh peritel tradisional menurun secara drastis. AC Nielsen di tahun 2008 juga menyatakan hal serupa, hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa pertumbuhan ritel tradisional terus menurun dengan persentase 8 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan ritel modern kian meningkat hingga level 31,4 persen per tahun. Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi bahkan telah menyatakan PT Carrefour Indonesia telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Memang pada akhirnya, keputusan KPPU atas perkara tersebut dibatalkan di level Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Meskipun begitu, hingga saat ini masih banyak kita temui artikel media cetak maupun digital yang berisi tentang kekhawatiran pedagang tradisional maupun para supplier seputar dominasi kekuatan pasar dari beberapa pemain ritel modern. Untuk mengantisipasi berbagai potensi masalah tersebut dalam jangka panjang, pemerintah pada akhirnya mengeluarkan Perpres No. 112 tahun 2007. Perpres ini pada intinya berisi tentang arahan umum seputar zoning, jam buka,
perizinan, dan trading-terms pada industri ritel. Saat ini, poin-poin pada Perpres No. 112 tahun 2007 tersebut juga telah didukung dan dijabarkan secara lebih spesifik melalui terbitnya Permendag No. 53 tahun 2008. Tiga tahun sebelum perpres ini diberlakukan, konsep desentralisasi mulai diterapkan dalam proses kepemerintahan di Indonesia. Dengan ditetapkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memang telah terbuka peluang bagi pemerintah untuk melakukan perencanaan pembangunan ekonomi yang lebih bersifat bottom-up melalui proses desentralisasi dan otonomi daerah. Secara formal, desentralisasi sendiri dapat diartikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah pusat
kepada daerah otonom. Sementara, otonomi
daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom dalam mengatur urusan pemerintahan dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Kembali ke Perpres No. 112 tahun 2007 dan Permendag No. 53 tahun 2008, aturan-aturan terkini terkait penyehatan persaingan pada industri ritel juga dirancang dengan mengedepankan aspek desentralisasi dan otonomi daerah pada proses implementasinya. Implikasinya, peran masing-masing pemerintah daerah menjadi sangat vital terkait penyehatan persaingan usaha industri ritel di Indonesia.
I. 3.Perumusan Masalah Sejak tahun 1998, industri ritel mengalami perubahan besar sebagai dampak liberalisasi ekonomi. Hal tersebut merupakan konsekuensi pasti dari penandatangan letter of intent dengan IMF yang salah poinnya adalah pemberian peluang investasi kepada pihak asing untuk masuk dalam industri ritel. Melalui Keputusan Presiden No. 118 tahun 2000, Indonesia akhirnya secara resmi menarik keluar sektor ritel dari daftar negatif Penanaman Modal Asing (PMA). Sejak saat itulah para pemain asing mulai berdatangan dan meramaikan industri ritel di Indonesia. Pada perkembangannya, para pemain asing tersebut sangat aktif dalam melakukan investasi pada industri ritel. Kecendrungan ini menjadi semakin jelas apabila kita mengacu pada data struktur pasar industri ritel modern skala besar atau yang biasa kita sebut dengan istilah supermarket dan hypermarket. Data yang dipublikasikan oleh AC Nielsen pada tahun 2008 menunjukan tingkat pertumbuhan ritel modern yang mencapai angka 10 persen hingga 30 persen tiap tahunnya. Ekspansi ritel modern bahkan telah mencapai wilayah pemukiman dalam bentuk minimarket. Survey 6 kota besar yang dilakukan oleh Research Division of Frontier Consulting Group di Indonesia menyatakan, dari tahun 2007–2012, jumlah gerai ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 17,57 persen per tahun. Pada tahun 2007, jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365 gerai, kemudian pada tahun 2011 mencapai 18.152 gerai.
Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (APRINDO), pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10 persen sampai 15 persen per tahun. Penjualan ritel pada tahun 2006 masih sebesar Rp 49 triliun, dan melesat hingga mencapai Rp 120 triliun pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, pertumbuhan ritel diperkirakan masih sama, yaitu 10 persen sampai 15 persen, atau mencapai Rp 138 triliun. Jumlah pendapatan terbesar merupakan kontribusi dari hipermarket, kemudian disusul oleh minimarket dan supermarket. Tentunya semua hal tersebut memiliki dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Konsumen
dimanjakan
dengan
berbagai
hal
positif
terkait
kenyamanan, keamanan, dan kemudahan berbelanja. Selain itu, variasi produk yang semakin beragam, kualitas produk yang terus meningkat, dan tentu saja harga produk yang menjadi semakin murah sebagai manfaat dari adanya persaingan. Namun, di sisi lain Pertumbuhan usaha ritel modern yang begitu pesat saat ini mulai menimbulkan berbagai masalah. Kekuatan pasar dari beberapa pelaku ritel modern dikhawatirkan mulai mengancam daya tawar para supplier, pesaing lansung, dan kelansungan usaha peritel tradisional. Hal tersebut tentu menyebabkan probabilitas munculnya masalah dualisme antar peritel modern, antara ritel modern dengan ritel tradisional, maupun antara ritel modern dengan para supplier di masa yang akan datang. Empat karakteristik pokok dari masalah dualisme menurut Arsyad (2010) antara lain adalah:
1. Dua keadaan yang berbeda dimana satu keadaan bersifat superior dan keadaan lainnya bersifat inferior, namun hidup berdampingan dalam ruang dan waktu yang sama. 2. Kenyataan hidup berdampingannya dua keadaan tersebut bersifat kronis bukan transisional. 3. Derajat
superioritas
atau
inferioritas
tersebut
tidak
menunjukan
kecendrungan menurun, bahkan terus meningkat. 4. Keterkaitan antara unsur superior dan inferior menunjukan bahwa keberadaan unsur superior hanya berpengaruh kecil atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali dalam mengangkat derajat unsur inferior (backwash-effect).
Apabila kita berkaca pada teori evolusi fokus pembangunan ekonomi, tujuan dari adanya pembangunan ekonomi di NSB saat ini bukanlah hanya mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi semata, namun juga mengedepankan aspek pemerataan pendapatan dan perbaikan tatanan institusi. Selain itu, perlu diingat bahwa struktur pasar yang mengarah pada monopoli maupun oligopoli juga rentan terhadap berbagai bentuk perilaku persaingan tidak sehat dari para pemainnya. Untuk menjawab kekhawatiran tersebut secara obyektif, dibutuhkan sebuah penelitian yang dapat mengidentifikasi elemen-elemen dari struktur pasar yang dapat mempengaruhi kekuatan pasar dari perusahaan-perusahaan ritel modern. Nantinya, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan bentuk
adaptasi dari metode analisis struktur pasar, perilaku, dan kinerja. Penelitian ini diharapkan untuk mampu secara empiris menganalisis faktor-faktor terkait struktur pasar yang mempengaruhi kinerja profitabilitas perusahaan-perusahaan ritel modern, dimana kinerja profitabilitas itu sendiri dapat dijadikan sebagai sebuah indikator lansung mengenai tingkat kekuatan pasar yang dimiliki oleh suatu perusahaan.
I. 4. Batasan Masalah Penelitian ini memiliki batasan masalah terkait obyek observasi. Obyek observasi dalam penelitian ini hanya mencakup perusahaan-perusahaan ritel yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini dilakukan atas dasar ketersediaan akses data dan keinginan peneliti untuk memberikan fokus penelitian yang lebih bersifat disagregatif.
I. 5. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: Menganalisis faktor-faktor terkait struktur pasar yang mempengaruhi tingkat kekuatan pasar yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan ritel modern.
I. 6. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenaifaktor-faktor terkait struktur pasar yang mempengaruhi tingkat kekuatan pasar yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan ritel modern. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi bagi pemerintah, instansi terkait, maupun peneliti selanjutnya dalam melakukan segala aktivitas penelitian maupun pengambilan kebijakan seputar industri ritel.