BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sistem penentuan nilai tukar telah berubah beberapa kali. Pada tahun 1876 hingga tahun 1913 nilai tukar ditentukan oleh standar emas (gold standar), yaitu tiap valuta dapat dikonversikan ke dalam emas memakai suatu formula tertentu. Nilai tukar antara dua valuta ditentukan oleh daya konversi relatifnya per troy ounce emas. Sistem ini menjadikan setiap negara menggunakan cadangan emas untuk mendukung valutanya. Standar emas ditangguhkan ketika terjadi Perang Dunia 1 dimulai pada tahun 1914. Sejumlah negara kembali memakai standar emas pada tahun 1920-an, tetapi kemudian meninggalkannya menyusul kepanikan perbankan di AS dan Eropa tidak lama setelah Great Depresion. Pada tahun 1930-an, sejumlah negara berupaya mem-peg valutanya ke dolar atau pound Inggris, tetapi terjadi revisi beberapa kali. Volume perdagangan internasional menurun sebagai akibat dari ketidakstabilan dalam pasar valas dan ketatnya restriksi atas transaksi-transaksi internasional selama periode ini. Kesepakatan antar negara (yang dikenal dengan Bretton Woods Agreement) pada tahun 1944 menghasilkan sistem nilai tukar tetap. Sistem ini berlangsung hingga tahun 1971. Berdasarkan sistem ini, pemerintah berbagai
1
negara melakukan intervensi untuk mencegah nilai tukar bergerak lebih dari 1 % di atas atau di bawah tingkat yang telah ditentukan sebelumnya. Tahun 1971, dolar AS tampak mengalami overvalued, karena permintaan luar negeri terhadap dolar AS jauh lebih kecil dari pada penawaran dolar. Wakil dari negara-negara penting bertemu untuk membahas bagaimana menangani dilema ini. Sebagai hasil dari konferensi ini, yang dikenal dengan Smithsonian Agreement, dolar AS didevaluasi relatif terhadap valuta-valuta lain. Besarnya devaluasi dolar bervariasi menurut valuta. Nilai dolar tidak hanya diubah, tetapi nilai tukar lain juga dibolehkan berfluktuasi sampai 2,25% (turun atau naik) dari tingkat baru. Ini merupakan langkah pertama dalam rangka melepaskan kekuatan pasar (penawaran dan permintaan) menentukan nilai yang tepat bagi suatu valuta. Walaupun pergerakan nilai tukar masih dibatasi, akan tetapi dalam pita (band) yang lebih luas, sehingga nilai valuta lebih bebas bergerak ke tingkat yang lebih tepat (Madura, 2000). Setelah ditandatanganinya Smithsonian Agreement, pemerintah dari berbagai negara masih tetap memiliki kesulitan mempertahankan nilai tukar dalam batas-batas yang dimaksud. Pada tahun 1973, valuta-valuta akhirnya dibolehkan bergerak mengikuti kekuatan pasar, dan batas-batas resmi dihapus. Negara-negara yang ikut dalam perjanjian tersebut, mengubah standar uangnya antara uang fiat atau fractional reserve dengan gold standard. Apabila kekayaan atau cadangan emas berkurang karena perang, negara menggunakan uang fiat atau fractional reserve, kemudian kembali lagi ke gold standard saat uang fiat atau fractional reserve sudah berlebihan (terjadi hiperinflasi). 2
Pada tahun 1996-1999 terjadi krisis yang parah di Asia, kemudian pada tahun 2008 terjadi krisis subprime mortgage di Amerika, dan baru-baru ini terjadi krisis finansial di Eropa, khususnya Yunani. Fenomena krisis ini mengakibatkan harga barang-barang komoditas semakin mahal termasuk naiknya harga emas dunia. Pada bulan April tahun 2009 dalam KTT G-20, Perancis dan Rusia mengusulkan agar sistem moneter kembali ke standar emas. Selain itu, bulan Juni 2010, PBB yang merupakan lembaga yang disegani menganjurkan untuk meninggalkan dolar (Reuters, Juni 2010) Krisis ekonomi yang melanda berbagai negara baik di Eropa, Asia, dan Amerika mengakibatkan berbagai negara mengeluarkan kebijakan ekonomi yang dirasa mampu mengakhiri krisis ekonomi. Salah satu kebijakan yang populer adalah Quantitative Easing (QE). Quantitative Easing adalah sebuah kebijakan penciptaan uang oleh bank sentral untuk memacu perkreditan dan mendorong pembelanjaan yang akhirnya dapat menggerakan roda perekonomian. Quantitative mengacu pada kuantitas uang yang diciptakan, sedangkan easing mengacu pada mengurangi tekanan pada bank. Skema Quantitative Easing adalah sebagai berikut, bank sentral memperluas distribusi uang dengan menciptakan penambahan suplai uang yang dilakukan bukan dengan cara mencetak uang secara fisik melainkan dengan menambah angka baru di neraca elektronik bank sentral tersebut. Kemudian uang tersebut digunakan untuk membeli surat utang seperti obligasi pemerintah, aset milik bank dan institusi keuangan lainnya. Institusi keuangan lalu menggunakan uang tersebut untuk mengucurkan kredit atau membeli aset lain. Dengan demikian 3
uang yang semula hanya berupa account di bank sentral, kini telah memasuki sistem keuangan negara tersebut. Quantitative Easing (QE) merupakan solusi ketika cara normal menambahkan pasokan uang dengan memangkas suku bunga tidak ampuh lagi. Umumnya ketika suku bunga hampir nol dan mustahil untuk memangkasnya lagi. Quantitative Easing (QE) menjadi langkah alternatif saat kebijakan konvensional dinilai tidak mampu mendorong roda perekonomian. Dalam hal ini, langkah penyesuaian suku bunga dinilai sudah optimal namun kondisi makro belum membaik. Tambahan dana merupakan tambahan modal bagi pelaku aktifitas ekonomi. Negara yang sukses pertama kali menerapkan kebijakan QE secara modern ini adalah Jepang. Mengacu kepada tingkat pertumbuhan ekonomi, rasio kenaikan angka produk domestik bruto (PDB) Jepang naik konsisten antara tahun 2002 hingga tahun 2007. Kinerja PDB jauh lebih baik dari pada apa yang dicapai pemerintah di awal tahun 1990-an (Monexnews, Januari 2012). Walaupun demikian bukan berarti langkah QE tidak mengandung kelemahan dan potensi negatif. Sistem ini tidak akan efektif apabila perbankan lebih memilih untuk bertransaksi dengan bank sentral dari pada sesama kolega perbankan. QE sifatnya hanya sementara, digunakan untuk mengulur waktu sampai sistem dan lembaga perbankan kembali menemukan ritme operasionalnya.
4
Gambar 1.1 Pertumbuhan PDB Jepang Sumber : Bank of Japan Gambar 1.1 memperlihatkan pertumbuhan PDB jepang dari tahun 2002 hingga 2006 setelah penerapan QE yang berjalan dengan sukses. Berbeda dengan Jepang, negara Amerika yang telah menerapkan Quantitative Easing untuk kedua kalinya belum menunjukkan adanya perbaikan ekonomi yang signifikan. Kebijakan pelonggaran moneter yang diterapkan semakin mengakibatkan lemahnya nilai mata uang dolar Amerika dibandingkan nilai mata uang negara lainnya. Efek buruk dari gagalnya QE ini adalah rusaknya daya beli masyarakat karena nilai uang yang semakin menurun akibat kelebihan suplai uang sebagaimana sesuai prinsip sederhana tentang permintaan dan penawaran. Bahkan sangat dimungkinkan terjadinya hiperinflasi dan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi yang berdampak pada sektor riil seperti menurunnya kegiatan ekonomi serta meningkatnya pengangguran manakala tidak ditangani dengan baik. Dalam teori ekonomi, kebijakan moneter akan efektif bila masyarakat mengalami ilusi uang (money illusion), yaitu merasa lebih kaya karena memiliki jumlah nominal 5
uang yang lebih banyak. Setelah pertambahan uang beredar terefleksi pada kenaikan harga-harga, barulah masyarakat sadar telah tertipu (Kontan, Juli 2010). Secara teori, meningkatnya suplai uang beredar akan meningkatkan hargaharga komoditas dan pengurangan suplai uang beredar akan menurunkan hargaharga komoditas. Namun tidak demikian dengan emas. Komoditas yang dahulu pernah dijadikan sebagai alat tukar, pada perkembangannya terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun 2000 hingga tahun 2012 baik pada saat sebelum QE pertama di Amerika di berlakukan maupun di saat QE di terapkan. Hal ini menjadikan emas merupakan komoditas yang unik dan menjadi suatu fenomena tersendiri. Tidak sedikit individu bahkan suatu negara yang kini menyimpan emas untuk investasi maupun sarana lindung nilai (safe haven) terhadap inflasi dan ketidakpastian kondisi ekonomi dunia.
Gambar 1.2 Harga Emas dalam Dolar Amerika Sumber : Kitco.com Gambar 1.2 memperlihatkan perubahan harga emas dari tahun 2000 hingga tahun 2012 yang terus meningkat. Banyak fenomena ekonomi yang terjadi
6
di Amerika dalam rentang waktu tersebut, diantaranya adalah suku bunga Federal Reserve yang mendekati nol akibat penerapan kebijakan quantitative easing, naik turunnya inflasi Amerika, perubahan indeks dolar Amerika terhadap mata uang utama dunia, dan pertumbuhan riil Amerika yg turun naik selama periode tersebut. Perubahan – perubahan indikator tersebut sangat mempengaruhi harga-harga komoditas khususnya harga komoditas internasional dalam denominasi dolar Amerika. Emas sebagai komoditas yang dijadikan sebagai instrumen investasi dan lindung nilai (safe haven) diperkirakan dipengaruhi oleh berbagai indikator ekonomi seperti suku bunga, inflasi, dan PDB. Ketatnya kebijakan moneter di Amerika untuk mengontrol inflasi menyebabkan terjadi resesi lainnya. Inflasi ini pula yang mengakibatkan meningkatnya harga emas dalam rentang waktu tersebut. Hal tersebut kembali berulang saat terjadinya krisis perumahan di Amerika pada tahun 2008. Krisis tersebut mengakibatkan meningkatnya inflasi yang terefleksi pada tahun berikutnya. Ketika inflasi naik terus menerus dan mengakibatkan pelemahan nilai mata uang dolar, maka masyarakat akan cenderung mengalihkan uangnya dengan membeli emas yang dipercaya apresiasinya mampu melebihi nilai inflasi. Hal tersebut mengakibatkan naiknya harga emas dunia. Inflasi berkaitan erat dengan suku bunga. Umumnya ketika inflasi naik, pemerintah menaikkan suku bunga untuk mengurangi jumlah uang beredar. Tujuan dari mengurangi jumlah uang beredar itu sendiri adalah agar inflasi turun atau terkendali. Namun hal tersebut berbeda dengan apa yang dilakukan oleh 7
negara Amerika dalam penentuan kebijakan ekonominya. Menurut data yang dirilis oleh Bureau of Labor Statistics dan Bureau of Economic Analysis, negara Amerika meluncurkan program QE dengan suku bunga bank sentral (fed fund rate) yang mendekati nol. Hal ini mengakibatkan inflasi yang terus meningkat karena bertambahnya suplai uang dimasyarakat yang tidak diikuti oleh penyerapan uang masyarakat di bank yang diakibatkan oleh suku bunga bank yang rendah. Kebijakan suku bunga rendah ini sebenarnya bertujuan agar dana yang disuplai digunakan untuk membangkitkan sektor usaha riil. Tujuan ini dapat dikatakan berhasil dengan positifnya data PDB Amerika dipertengahan tahun 2009 hingga akhir tahun 2011 yang dirillis oleh Bureau of Economic Analysis. Namun naiknya inflasi dan PDB Amerika direspon oleh pasar emas dunia dengan kenaikan harga yang sangat signifikan. Meningkatnya PDB akan menyebabkan naiknya tingkat konsumsi dan investasi negara tersebut, karena PDB itu sendiri merupakan fungsi dari konsumsi dan investasi. Dengan naiknya tingkat pendapatan dan investasi maka masyarakat sangat dimungkinkan memilih intrumen emas dalam portofolio investasinya sehingga meningkatkan permintaan emas di pasar. Sementara itu perubahan dolar Amerika terhadap indeks mata uang utama dunia juga ikut mempengaruhi permintaan emas. Emas sebagai komoditas yang unik tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat Amerika saja, masyarakat dari negara lain juga ingin memilikinya untuk kebutuhan yang sama. Transaksi emas dalam denominasi dolar Amerika akan membuat permintaannya dipengaruhi oleh perubahan kurs dolar Amerika. Dengan melemahnya dolar Amerika akan membuat emas terlihat murah sehingga
8
permintaan akan naik. Permintaan yg melebihi ketersediaan suplai emas akan mengakibatkan harga emas naik.
Gambar 1.3 Permintaan Koin Emas dan Batangan dari Berbagai Negara. Sumber : Thomson Reuters GFMS, World Gold Council Gambar 1.3 memperlihatkan Permintaan koin emas dan batangan dari berbagai negara. Terlihat bahwa permintaan emas di kuartal 3 tahun 2012 dibandingkan dengan rata-rata permintaan selama 5 tahun sebelumnya mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti kebutuhan akan instrumen yang mampu melawan inflasi, untuk perhiasan, teknologi, Exchange Traded Funds (ETFs), kebutuhan cadangan bank sentral berbagai negara, dan sektor-sektor resmi lainnya.
9
Gambar 1.4 Perbandingan Utang Negara Amerika dengan Harga Emas Dunia Sumber : World Gold Council Kenaikan utang negara Amerika ternyata seiring dengan kenaikan harga emas sebagaimana yang terlihat pada gambar 1.4. Kenaikan utang negara Amerika yang diiringi dengan kenaikan harga emas didasari akan persepsi kekhawatiran masyarakat akan runtuhnya dolar Amerika. Keruntuhan dolar akan mengakibatkan guncangnya perekonomian dunia. Masyarakat akan mencoba mengamankan uangnya dengan membeli instrumen yang diterima oleh seluruh dunia yaitu emas. Selain komoditas emas, komoditas yang juga dipengaruhi oleh krisis ekonomi adalah minyak, baik itu minyak yang berasal dari sumber yang terbarukan maupun sumber yang tidak terbarukan. Total produksi energi dunia berdasarkan data yang dirillis oleh United States Energy and World Energy
10
Production and Consumption Statistics pada tahun 2004 adalah sebagai berikut, 40% berasal dari minyak, 23,3% dari batu bara, 22,5% dari gas alam, hydroelectric sebesar 7%, nuklir sebesar 6,5%, biomassa dan sumber energi lainnya sebesar 0,7%.
Salah satu skenario investasi energi abad 21
memproyeksikan bahwa total investasi yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur pasokan energi dunia tahun 2001 – 2030 berkisar 16 triliun dolar Amerika. Sektor listrik akan mendominasi investasi energi, kurang lebih investasi untuk pembangkit (power generation), transmisi dan distribusi listrik dunia membutuhkan investasi sekitar 10 triliun dolar Amerika. Sementara itu pengembangan sumber-sumber energi terbarukan seperti CPO menyerap hampir sepertiga dari total investasi sektor listrik di negara-negara OECD (IEA, World Energy Outlook). Tahun 1970-an yang merupakan tahun pertumbuhan luar biasa ekonomi Amerika, secara mendadak dihentikan oleh lonjakan harga minyak. Sejak itu, harga minyak naik hampir 10 kali lipat antara tahun 1972 – 1981. Akibatnya, konsumsi minyak riil per dolar Amerika ekuivalen dengan anjloknya hampir sepertiga PDB Amerika. Dalam perekonomian Amerika, setiap 1000 dolar PDB membutuhkan 2,4 barel minyak pada tahun 1973 jika disesuaikan dengan angka inflasi. Pada tahun 2005, konsumsi minyak Amerika berkisar 7,5 juta bbl dan PDB berkisar 1.1048,6 miliar dolar atau 1465,45 dolar per bbl (Ja’far, 2009). Minyak mampu menggerakkan harga-harga di pasar dunia, perang, dan konflik. Lonjakan yang terjadi selama revolusi Iran tahun 1979 akhirnya menaikkan harga minyak ke level 39 dolar per barel di tahun 1981. Harga terus naik hingga level 76
11
dolar per barel pada Juni tahun 2006 dan level 100 dolar per barel tahun 2008. Lonjakan harga minyak tersebut memicu anjloknya pertumbuhan ekonomi dunia dan konsumsi minyak dunia.
Harga Minyak dan CPO Dunia 200
US $
150 100
Harga Minyak CPO Harga Minyak Brent
50 0 24/07/1998
14/01/2004
06/07/2009
27/12/2014
Periode
Gambar 1.5 Harga Minyak Bumi (Brent) dan CPO dengan Satuan Barrel (disesuaikan) dalam Dolar Amerika. Sumber : Bloomberg Kenaikan harga minyak baik minyak bumi maupun CPO ternyata di ikuti oleh kenaikan harga emas di pasar dunia. Kenaikan tersebut mengakibatkan masyarakat yang memiliki emas pada saat itu tidak terkena exposure yang begitu berarti terhadap kenaikan harga minyak dan inflasi. Karena emas dapat dikonversi menjadi fresh money yang bisa digunakan untuk membeli kebutuhan bahan bakar maupun kebutuhan sehari-hari. Secara ekonomi, kapitalisme global di gerakkan oleh energi. Mantan gubernur bank sentral Amerika, Alan Greenspan, menyatakan bahwa jika harga minyak menyentuh level 100 dolar per barel, maka itulah awal krisis global yang akan merasuki seluruh ekonomi negara di dunia. (Ja’far, 2009). Mengingat
12
minyak bumi maupun CPO merupakan bahan yang sangat vital yang dibutuhkan oleh manusia dan perubahan atas harga minyak bumi dan CPO juga diikuti oleh perubahan harga emas maka atas dasar ini penulis mencoba untuk menganalisis stabilitas emas dengan menggunakan minyak bumi dan CPO sebagai variabel pembandingnya. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan, penulis menganalisis dinamika emas sebagai suatu instrumen yang pernah digunakan dunia sebagai alat untuk bertransaksi dan investasi, maka di rumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Apakah terdapat perbedaan stabilitas emas terhadap harga komoditi minyak dan crude palm oil dalam 3 periode waktu, yaitu sebelum, sesaat dan sesudah kebijakan Quantitative Easing ?
2.
Apakah pergerakan harga emas dunia dipengaruhi oleh variabel ekonomi suku bunga bank sentral Amerika (Fed fund rate), tingkat inflasi Amerika (CPI-AU), pertumbuhan ekonomi Amerika (GDP US) ?
1.3 Batasan Masalah Batasan permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1.
Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 periode waktu, yaitu periode sebelum Quantitative Easing (bulan
13
Januari tahun 2001 s/d bulan Februari tahun 2009), periode Quantitative Easing (bulan Maret 2009 s/d bulan Juni tahun 2011, penulis mengabaikan jeda QE 1 dengan QE 2 yang relatif singkat), dan periode setelah Quantitative Easing (bulan Juli tahun 2011 s/d bulan Juli 2012). 2.
Variabel pembanding yang digunakan dalam mengukur stabilitas emas adalah komoditas minyak dunia (Brent) dan Crude Palm Oil (CPO).
3.
Satuan emas yg digunakan adalah troy ounce dalam dolar US.
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk: 1.
Menganalisis perbedaan stabilitas emas terhadap harga komoditi minyak dan crude palm oil dalam 3 periode waktu, yaitu sebelum, sesaat dan sesudah kebijakan Quantitative Easing.
2.
Menganalisis pengaruh suku bunga bank sentral Amerika (Fedfund rate), tingkat inflasi Amerika (CPI-AU), pertumbuhan ekonomi Amerika (GDP US) terhadap harga emas.
1.5 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan yang telah disebutkan di atas, diharapkan penelitian ini memberikan manfaat: 1.
Bagi Perusahaan: 14
Dapat dijadikan bahan masukan kepada perusahaan untuk penentuan strategi lindung nilai terhadap kas yang dimiliki. 2.
Bagi individu: Dapat digunakan dalam pertimbangan dalam portofolio investasi dan sarana lindung nilai terhadap aset yang dimiliki.
1.6 Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai penulisan tesis ini, maka dalam pembahasannya dibagi ke dalam lima bab, yaitu: BAB I Pendahuluan Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai latar belakang pemilihan judul tesis ini, yaitu fenomena menurunnya nilai mata uang yang ada relatif terhadap emas, kebijakan Quantitative Easing, dampak harga komoditas minyak terhadap perekonomian suatu negara, dan isu dari beberapa negara yang tergabung dalam KTT G-20 yang menyerukan agar sistem moneter kembali kepada emas sebagai standar nilainya. Pada bab ini juga disebutkan beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai, manfaat dari penelitian ini, dan terakhir adalah sistematika penulisan. BAB II Literatur Dalam bab ini, akan dibahas mengenai kerangka teoritis dan pengertian yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian, seperti Konsep dasar inflasi, konsep dasar bunga, dan PDB yang mempengaruhi 15
perubahan nilai kurs dan harga emas dunia. Selain itu dipaparkan pula teori tentang uang, teori kuantitas uang dan penelitian terdahulu serta pengembangan hipotesis. BAB III Metode Penelitian Bab ini memberi penjelasan tentang metode data yang akan digunakan, cara memperoleh data, kriteria sampel, metode analisis dan uji statistik. BAB IV Analisis dan Pembahasan Bab ini merupakan inti dari pembahasan, yaitu melakukan uraian kestabilan emas terhadap harga-harga komoditi tertentu seperti minyak dan CPO. Setelah itu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga emas dunia. BAB V Kesimpulan dan Saran Bab ini memuat kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan, beserta saran untuk penelitian selanjutnya. Selain itu akan disampaikan pula mengenai keterbatasan penelitian serta saran untuk penelitian lanjutan.
16