BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Seiring majunya ekonomi suatu negara, maka semakin banyak
kebutuhan-kebutuhan
yang
diperlukan
untuk
memenuhi
kebutuhan
masyarakatnya. Barang kebutuhan itu belum tentu bisa dihasilkan oleh negara itu sendiri dan harus dibeli dari negara lain. Oleh karena itu, pada zaman ini tidak ada satu pihak pun yang tidak merasa perlu berhubungan dengan pihak lain. Hubungan itu, termasuk dalam rangka memenuhi kebutuhan barang dan jasa (procurement). 1 Akhirnya mereka saling terikat dalam suatu perdagangan barang karena faktor kebutuhan, dan terjalinlah hubungan antara pengusaha yang satu dengan pengusaha lainnya dari negara yang berbeda. Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di Indonesia merupakan modal utama dalam pengembangan usaha untuk mencapai pembangunan nasional. Kekayaan alam yang melimpah seperti hasil kayu, rotan, dan berbagai jenis tanaman yang ada di Indonesia menjadi bahan baku yang tersedia melimpah dan dapat mendatangkan manfaat bila digunakan secara bijaksana dan tepat guna. Kondisi bangsa dengan masyarakatnya yang majemuk serta berada di tengah aneka kebutuhan yang kian beragam, telah membentuk manusia Indonesia menjadi makhluk berdaya cipta dan kreatifitas tinggi. Berbagai 1
Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 57
2
produk kerajinan barang kebutuhan sehari-hari seperti tas, keranjang, dsb berhasil diciptakan dari beragam bahan baku, salah satu yang paling menonjol adalah dari rotan. Pohon rotan merupakan salah satu tanaman yang dikenal sebagai komoditas utama khas Indonesia yang banyak dipakai sebagai bahan pokok membuat kerajinan. Bahan ini sudah lazim digunakan oleh masyarakat terutama yang ada di daerah pedalaman Kalimantan. Bagian dari rotan yang sering digunakan sebagai pengikat dalam pembuatan kerajinan adalah kulitnya yang kuat. Tanpa harus dicat warna-warni, kulit rotan dapat mengkilap dengan menggunakan pewarna transparan. Tidak heran jika keindahan alami produk ini menarik minat banyak orang. Yogyakarta yang juga dikenal sebagai kota budaya dengan kreatifitas orang-orangnya nampaknya telah menangkap potensi tersebut dan banyak mendirikan usaha kerajinan berbahan baku rotan sehingga membuat industri kerajinan rotan kian berkembang. Permintaan pasar terhadap produk kerajinan rotan nyatanya tidak hanya datang dari nusantara, namun bahkan manca negara. Tanaman rotan yang tidak banyak ditemui di negara lain juga menempatkan rotan sebagai salah satu komoditas ekspor utama di Indonesia. Pada dasarnya semua barang bebas diekspor kecuali Barang Dibatasi Ekspor, Barang Dilarang Ekspor, atau ditentukan lain oleh Undang-undang.
2
2
Meskipun demikian, belum lama ini telah
Kementerian Perdagangan, ‘Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor’, www.kemendag.go.id/id/news/2012/03/30/ketentuan-umum-di-bidang-ekspor, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 26 Agustus 2013 pk 10:04 WIB
3
terbit Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/-MDAG/PER/7/2012 tentang Barang dilarang Ekspor yang mulai berlaku 19 Juli 2012.
3
Dalam peraturan tersebut sebagaimana disebutkan pada lampiran kedua
ternyata bahwa rotan mentah dan rotan setengah jadi yang belum dipoles termasuk sebagai Barang Dilarang Ekspor, padahal cukup banyak negara lain yang semula membeli dan menggunakannya sebagai bahan baku produk untuk diolah dan dijual kembali. Pasca larangan ekspor tersebut, secara tidak langsung telah mengarahkan pasar internasional untuk mengadakan transaksi jual beli langsung ke Indonesia terhadap rotan dalam bentuk barang jadi atau produk hasil kerajinan. Maka, sesuai dengan kaidah ekonomi, ada demand dan ada pula supply, akhirnya berkembanglah kegiatan ekspor impor produk kerajinan rotan dari Indonesia ke luar negeri. Aktivitas perdagangan internasional ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat global akan produk berkualitas, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, membina hubungan antar negara, serta tujuan mulia lainnya. Tentunya diperlukan pengetahuan yang cukup dan nyali untuk dapat menjawab serta memenuhi permintaan pasar internasional tersebut. Memasuki era globalisasi, pengetahuan tentang transaksi internasional amat penting dan harus disebarluaskan pada masyarakat luas. Sekalipun pada
3
Kementerian Perdagangan, ‘Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-DAG/PER/7/2012 tentang Barang Dilarang Ekspor’, www.kemendag.go.id/id/news/2012/07/31/barang-dilarang-ekspor, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 26 Agustus 2013 pk 10:06 WIB
4
umumnya perdagangan dalam negeri tidak berbeda dengan perdagangan luar negeri, tetapi dapatlah dikatakan bahwa perdagangan luar negeri lebih sulit dan lebih berbelit-belit disebabkan faktor-faktor sebagai berikut: 1.
Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan (geopolitik);
2.
Barang harus dikirim atau diangkut dari satu negara ke negara lainnya melalui bermacam-macam peraturan seperti peraturan pabean, yang bersumber dari pembatasan yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah;
3.
Antara satu negara dengan negara lainnya tidak jarang terdapat perbedaan dalam bahasa, mata uang, dan lain-lainnya. 4 Oleh karena itu perlu adanya peningkatan pengetahuan mengenai tata
cara mengadakan perjanjian jual beli internasional termasuk cara pembayaran, supaya tercipta hubungan yang sehat, berkeadilan, dan memberikan kepastian hukum. Dengan pengetahuan yang cukup maka perlindungan akan hak-hak para pihak dapat lebih ditegakkan. Prosedur yang ditempuh oleh suatu perusahaan eksportir dalam mata rantai kegiatan, pertama-tama eksportir harus mendapatkan izin lebih dahulu untuk melakukan transaksi ekspor. Eksportir tersebut harus mengadakan kontak dengan pihak-pihak di luar negeri yang nantinya dapat diharapkan sebagai 4
Moerdjono, S.H., S.U., 1989, Transaksi Perdagangan Luar Negeri Documentary Credit & Devisa, Liberty, Yogyakarta, hlm 6
5
pembeli (importir), yang dapat dilakukannya baik secara langsung maupun dengan pihak perantara (broker), guna membicarakan sesuatu yang menyangkut harga, jumlah barang jenis barang, dan spesifikasinya (kualitas, tipe, bentuk, tahun pembuatan, tahun panen, dan persyaratan-persyaratan tertentu dan sebagainya), kondisi pengiriman barang, pertanggungan, jangka waktu penyerahan barang dan cara pembayaran. Apabila sudah ada kata sepakat, maka kedua belah pihak menuangkan di dalam suatu perjanjian jual beli di antara mereka. 5 Salah satu isu krusial yang harus ditetapkan dalam suatu perjanjian jual beli adalah cara pembayaran, sebab tentu saja dalam hubungan dua pihak antar negara yang kemungkinan besar belum mengenal secara baik tersebut, perlu adanya sikap kehati-hatian agar kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian dengan aman dan nyaman. Sesuai dengan asas yang berlaku dalam perjanjian yakni asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.yang menyebutkan bahwa ‘semua’ perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, maka terdapat kebebasan bagi para pihak salah satunya dalam menentukan syarat dan isi dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Kebebasan tersebut termasuk cara pembayaran yang bebas ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum. Ada berbagai cara pembayaran yang ditawarkan dalam
5
Ibid, hlm 2
6
melakukan suatu perjanjian jual beli internasional seperti misalnya Letter of Credit, Oppen Account, Advance Payment, dan sebagainya. Secara teoritik banyak ahli yang berpendapat Letter of Credit sebagai cara pembayaran yang paling aman digunakan dalam transaksi internasional, namun ternyata dalam praktek di Indonesia khususnya Yogyakarta seringkali dijumpai transaksi ekspor impor produk kerajinan yang menggunakan cara pembayaran di muka (Advance Payment) dengan Telegraphic Transfer. Maka dari itu menurut hemat penulis hal ini amat menarik untuk dibahas dan diteliti secara mendalam tentang alasan pihak dalam perjanjian yang lebih memilih cara pembayaran tersebut, bagaimana pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak, tingkat keamanannya, hambatan serta solusi yang terjadi di perusahaan yang secara khusus melakukan ekspor impor produk kerajinan rotan. Untuk itulah penulis mengadakan penulisan hukum atas penelitian di wilayah tempat penulis tinggal tersebut dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN CARA PEMBAYARAN DI MUKA (ADVANCE PAYMENT) DENGAN TELEGRAPHIC TRANSFER DALAM PERJANJIAN EKSPOR IMPOR PRODUK KERAJINAN ROTAN DI PERUSAHAAN ANGGUN ROTAN IMOGIRI, KABUPATEN BANTUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”
7
B.
Rumusan Masalah Yang dimaksud dengan permasalahan adalah sebagai penegasan apa
saja yang akan diteliti dan sekaligus menggambarkan arah serta sebagai penentu dalam proses penelitian. Menurut Saapiah Faisal ( 1982 : 61 ), penegasan masalah tersebut sekaligus menggambarkan fokus arah yang diikuti nantinya di dalam proses penelitian. Berdasarkan latar belakang di atas, pada penelitian tentang “TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN CARA PEMBAYARAN DI MUKA (ADVANCE PAYMENT) DENGAN TELEGRAPHIC TRANSFER DALAM PERJANJIAN
EKSPOR
IMPOR
PRODUK
KERAJINAN
ROTAN DI
PERUSAHAAN ANGGUN ROTAN IMOGIRI, KABUPATEN BANTUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”, penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa pihak perusahaan Anggun Rotan selaku eksportir produk kerajinan rotan cenderung memilih menggunakan cara pembayaran di muka (Advance Payment) dengan Telegraphic Transfer dalam transaksi ekspor impornya? 2. Adakah kendala yang dialami perusahaan Anggun Rotan dalam melaksanakan transaksi ekspor impor menggunakan cara pembayaran di muka (Advance Payment) dengan Telegraphic Transfer? 3. Bagaimana penyelesaian yang dilakukan perusahaan Anggun Rotan terhadap kendala tersebut?
8
C.
Tujuan Penelitian
1.
Obyektif Tujuan obyektif yang akan dicapai : a.
untuk mendapatkan pengetahuan tentang cara pembayaran dalam transaksi ekspor impor khususnya Advance Payment dengan Telegraphic Transfer; dan
b.
untuk mengetahui hal – hal yang merupakan hambatan dalam pelaksanan transaksi ekspor impor produk kerajinan rotan menggunakan cara pembayaran di muka (Advance Payment) dengan Telegraphic Transfer serta cara penyelesaiannya di Perusahaan Anggun Rotan.
2.
Subyektif Tujuan Subyektif yaitu memperluas pengetahuan berkat hasil penelitian dan dalam rangka penyusunan penulisan hukum yang merupakan syarat memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D.
Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini
dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
9
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi serta wawasan yang lebih konkrit bagi para akademisi, masyarakat serta khususnya pelaku usaha yang ingin atau telah melakukan kegiatan ekspor terutama dalam industri kerajinan rotan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan cara pembayaran internasional Advance Payment dengan Telegraphic Transfer. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran serta pertimbangan khususnya bagi para pelaku usaha dan eksportir dalam menangani praktek transaksi ekspor impor terutama dalam menentukan cara pembayaran yang paling sesuai untuk digunakan. Semoga penulisan ini pun bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk semakin mengedukasi masyarakat khususnya pelaku usaha terutama dalam menentukan dan melaksanakan cara pembayaran ekspor impor yang paling tepat serta menjelaskan cara-cara penyelesaian yang dapat ditempuh bila timbul masalah.
E.
Keaslian Penelitian
10
Berdasarkan penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Gadjah Mada terdapat beberapa penelitian tentang cara pembayaran transaksi ekspor impor antara lain berjudul : 1.
Pelaksanaan Pembayaran dengan Letter of Credit dan Non-Letter of Credit dalam Kegiatan Ekspor Produk Kerajinan Tangan (Handycraft) di Wilayah Yogyakarta, Tuti Fitriawati, Skripsi Dagang, 2008. Penulisan Hukum tersebut masih membahas secara umum cara pembayaran yang digunakan dalam transaksi ekspor impor dengan mengklasifikasikannya ke dalam dua kelompok besar yakni Letter of Credit (L/C) dan Non-Letter of Credit (Non L/C), selain itu menurut hemat penulis belum nampak adanya suatu masalah hukum yang diangkat di sana sebab penulisan tersebut hanya membahas mengenai upaya pihak eksportir produk kerajinan di wilayah Yogyakarta untuk mencegah kemungkinan terjadinya resiko dalam praktik penggunaan cara pembayaran non-Letter of Credit dengan lokasi penelitian PT. Indah Puri Craft; sedangkan penelitian baru yang diadakan oleh penulis adalah hendak mengulas secara khusus dan mendalam mengenai cara pembayaran di muka (Advance Payment) dengan Telegraphic Transfer, memfokuskan subyek penelitian pada perusahaan kerajinan rotan, mengangkat masalah hukum yang memang telah ada beserta cara penyelesaiannya, dan mengambil lokasi penelitian yang tentu saja berbeda yakni di Perusahaan Anggun Rotan di Imogiri, Bantul, DIY.
11
2.
Pelaksanaan Pembayaran Transaksi Jual Beli Mebel Kayu Jati Berdasarkan Perjanjian Ekspor Impor pada CV. Kayu Manis, Radityo Hendro Prakoso, Skripsi Dagang, 2011 Skripsi
tersebut belum
membahas
Advance Payment
dengan
Telegraphic Transfer secara lengkap dan spesifik, selain itu obyek serta lokasi yang diteliti jelas berbeda dengan penulis yang tidak meneliti perjanjian ekspor impor mebel kayu melainkan kerajinan rotan di Perusahaan Anggun Rotan, Imogiri. 3.
Penerapan Prinsip Kehati-hatian oleh Bank dalam Pembayaran Transaksi Ekspor Impor menggunakan Letter of Credit (Studi Kasus PT. Sritex pada PT BRI (Persero) Tbk. Cabang Surakarta, Rini Puji Astuti, Skripsi Dagang 2012 Penelitian tersebut dilakukan terhadap perusahaan tekstil yang melakukan cara pembayaran dengan Letter of Credit dan bukan Advance Payment. Penelitian yang dilakukan pun hanya mengarah pada pelaksanaan salah satu prinsip dalam dunia perbankan yakni prinsip kehati-hatian yang mana hal ini amat berbeda dengan yang dilakukan oleh Penulis. Penulis sendiri memfokuskan penelitian terhadap pelaksanaan cara pembayaran non-LC, yakni Advance Payment dengan Telegraphic Transfer pada perusahaan Anggun Rotan. Oleh karena itu dapat dikatakan penelitian tentang “TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN
CARA
PEMBAYARAN
DI
MUKA
(ADVANCE
12
PAYMENT) DENGAN TELEGRAPHIC TRANSFER DALAM PERJANJIAN EKSPOR IMPOR PRODUK KERAJINAN ROTAN DI PERUSAHAAN ANGGUN ROTAN IMOGIRI, KABUPATEN BANTUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA” belum pernah dilakukan dan kesempatan ini Penulis akan meneliti masalah tersebut. Dengan demikian penelitian ini asli.