BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya berasal dari kata “budhi” yang artinya adalah sebagai salah suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap manusia untuk merespon pengaruh dari lingkungan alam sosial. Hasil dari suatu respon inilah yang disebut dengan budaya. Secara umum pengertian budaya dapat disimpulkan bahwa budaya bukan berarti sesuatu yang berwujud sebuah barang atau benda, seperti rumah, mobil, dan meja, melainkan juga memiliki pengertian sebagai proses atau kegiatan seperti diskusi dan juga hasil dari rapat atau diskusi tersebut, termasuk material dan nonmaterial. Secara kodrati manusia hidup dibekali kemampuan berfikir, merasa, berbuat. Dengan kemampuan berfikir, merasa dan berbuat itulah manusia akan berkreasi menciptakan sebuah ide, gagasan dan berbuat untuk menghasilkan sesuatu yang disebut kebudayaan (Santoso, 2002:9). Mesir merupakan satu-satunya pusat kebudayaan tertua di benua Afrika yang berasal dari tahun 4000 SM. Hal ini diketahui dari penemuan sebuah batu tulis di daerah Rosetta oleh pasukan Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte. Batu tulis itu berhasil dibaca oleh orang Perancis yang bernama Jean Francois Champollin (1800) sehingga sejak tahun itu terbukalah tabir sejarah Mesir Kuno yang berasal dari tahun 4000 SM. Seseorang akan mudah teringat dengan Mesir ketika disebut nama Fir’aun. Istilah Fir’aun sebenarnya merupakan gelar atau sebutan bagi 1
2
raja/bangsawan Mesir. Kata Fir’aun sendiri berarti istana besar, artinya hampir semua penguasa Mesir hanya mau menetap di istana besar untuk menunjukkan kebesarannya. Beberapa Firaun yang sempat menguasai wilayah Mesir di antaranya Ahmose, Thutmose I, Thutmose III, Ramses II, Akhenaton, Ramses II, dan lain sebagainya. Letak geografis Mesir di Afrika Utara, Negara ini mempunyai pesisir pantai yaitu Laut Mediterranean dan Laut Merah; berbatasan dengan Libya dibagian barat, Sudan dibagian selatan, Semenanjung Gaza, Palestina dan Israel bagian timur. Mesir Kuno terbagi atas dua kerajaan, yang dikenal sebagai Mesir Hulu dan Mesir Hilir. Berlainan dengan kebiasaan, Mesir Hulu (Upper Egypt) terletak di selatan dan Mesir Hilir (Lower Egypt) di utara, dinamakan sungai Nil. Sungai Nil mengalir ke utara dari titik selatan ke Mediterranean. Sungai Nil, yang merupakan tumpuan penduduk negara tersebut telah menjadi sumber kehidupan bagi kebudayaan Mesir sejak kebudayaan Naqada dan Zaman Batu. Kedua kerajaan membentuk Kemet "tanah hitam", dan Gurun dikenal sebagai Deshret "tanah merah". Menurut Herodotus: "Mesir merupakan negara tanah hitam. Kita ketahui bahawa Libya mempunyai tanah lebih merah." (Histories, 2:12). Tetapi Herodotus turut menyatakan "Colchians adalah penduduk Mesir. Berdasarkan fakta bahwa mereka berkulit hitam dan mempunyai rambut keriting (wooly hair)." (Histories, 2:104) dan Champollion sebagai orang yang lebih muda (mendiskripsikan Batu Rosetta) dalam Expressions at Termes Particuliers (Expression of Particular Terms) mendakwa bahwa
3
Kemet sebenarnya tidak merujuk kepada tanah, tetapi kepada penduduk negro dalam arti kata "Negara Hitam (Black Nation)". Kebudayaan Mesir Kuno adalah sebuah peradaban kuno di bagian timur Afrika Utara. Peradaban ini dimulai pada tahun 3150 SM di bawah pemerintahan Fir’aun pertama. Fir’aun adalah orang terkuat di mesir kuno. Fir’aun adalah pemimpin politik dan agama para masyarakat Mesir. Sebagai penguasa dari Mesir Atas dan Mesir Bawah, Fir’aun menguasai semua tanah, membuat hukum, mengumpulkan pajak, dan melindungi Mesir dari bangsa asing. Sebagai imam tertinggi dari setiap kuil, Fir’aun mewakili dewa bumi. Dia membuat ritual-ritual dan kuil-kuil untuk menyembah para dewa. Kebudayaan yaitu suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep kebudayaan dari wujud sebagai rangkaian tindakan berpola suatu aktifitas manusia, (A.L Krueber, 1958:582-583). Peradaban Mesir Kuno adalah salah satu peradaban yang pertama kali menggunakan bahasa tulis. Mereka menulis pada makam, tembikar, dan kertas papyrus yang terbuat dari alang-alang yang ditenun. Bahasa pertama Mesir kuno adalah Hieroglif. Tulisan hieroglif terdiri dari gambar. Sistem penulisan hieroglif sangat kompleks dan padat karya. Hieroglif pertama digunakan pada bangunan dan makam. Hal ini diyakini bahwa masyarakat Mesir pertama kali mengembangkan sistem penulisan pada sekitar 3000 SM. Ada juga fakta-fakta menarik mengenai hieroglif. Hieroglif tidak memiliki huruf vokal, semua huruf hieroglif adalah konsonan. Tidak ada tanda baca digunakan dalan hieroglif. Tidak seperti kebanyakan bahasa modern yang biasa dibaca dari kanan atau kiri, hieroglif
4
Mesir Kuno dapat dibaca baik dari kanan ke kiri ataupun dari kiri ke kanan. Untuk mengetahui dari arah mana pembacaan harus dimulai, penulis akan menjelaskan pada bab pembahasan dalam sub bab hasil kebudayaan Mesir Kuno. Salah satu dari aspek kepercayaan Mesir yang paling terkenal adalah pemikiran tentang kehidupan setelah kematian. Mereka percaya bahwa tubuh fisik harus dipertahankan untuk mempersiapkan tempat bagi jiwa mereka untuk menetap setelah kematian. Karena itu, Mumifikasi dilakukan untuk mempertahankan tubuh agar tidak cepat membusuk. Mumi adalah tubuh seseorang atau binatang yang telah diawetkan setelah kematian. Mumi-mumi tersebut adalah orang-orang Mesir yang sanggup membayar untuk proses pengawetan yang mahal. Orang-orang Mesir Kuno percaya bahwa ketika mereka mati, mereka akan melakukan perjalanan ke dunia lain di mana mereka akan memulai kehidupan yang baru, Mereka akan memerlukan semua benda yang mereka gunakan ketika masih hidup, sehingga keluarga mereka akan menaruh semua benda-benda tersebut di dalam makam mereka. Walaupun disebut sebagai ritual yang sederhana, pemakaman dapat menjadi ritual yang rumit jika dikaitkan dengan hubungan manusia yang berada didunia dengan para arwah yang berada di akhirat. Dunia para arwah seringkali disebut sebagai dunia gaib. Manusia menganggap dunia gaib dengan berbagai perasaan dan emosi, seperti takut, cinta, bakti, dan mengerikan. Perasaan-perasaan tadi mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib,
5
yang disebut kelakuan keagamaan atau religious behavior (Koentjaraningrat, 1972:252). Pada budaya masyarakat Mesir Kuno sangat erat dengan dunia gaib ataupun pemujaan pada dewa-dewa, dan pada ritual pemakamannya sangat kental dengan hal-hal mistis dan prosesnya sangat mengerikan. Masyarakat Mesir membayar uang yang sangat banyak untuk mengawetkan tubuh mereka dengan baik. Orang-orang Mesir yang miskin dikuburkan di dalam pasir sedangkan orang-orang Mesir yang kaya dikuburkan di dalam makam. Orang-orang Mesir dikubur bersama-sama dengan harta benda mereka dan dinding makam dilukis tentang kehidupan orang yang telah meninggal. Dalam Kerajaan Mesir Tua dan Menengah, rajaraja Mesir dimakamkan dalam piramida. Orang-orang Mesir kuno awal menguburkan orang-orang mati di dalam lubang kecil di padang pasir. Panas dan kekeringan, pasir berfungsi untuk mengeringkan tubuh dengan cepat, menciptakan mumi yang natural. Kemudian, orang-orang Mesir Kuno mulai mengubur orang mati dalam peti mati untuk menjaga jenazahnya dari binatang-binatang liar di padang pasir. Namun, mereka menyadari bahwa tubuh yang ditaruh dalam peti mati membusuk ketika tidak terkena pasir gurun yang panas dan kering. Lalu, orang-orang Mesir kuno mengembangkan sebuah metode pengawetan tubuh sehingga jenazah dapat lebih bertahan lama. Proses ini meliputi pembalseman mayat, kemudian pembungkusan dan penguburan jenazah. Organ-organ dalam tubuh orang mati dikeluarkan dalam prosesnya. Hal ini disebabkan
6
organ-organ dalam adalah yang paling cepat terurai. Hati tidak dikeluarkan dari dalam tubuh karena hati adalah pusat dari intelegensia dan perasaan, dan orang tersebut akan membutuhkannya dalam kehidupan yang akan datang. Dahulu, organ-organ dalam yang dikeluarkan lalu dimasukkan ke dalam guci. Sekarang kita menyebut proses ini adalah proses mumifikasi. Kehidupan sehari-hari pada Mesir kuno berlangsung disekitar Sungai Nil dan tanahnya yang subur disekitar aliran sungai. Banjir tahunan dari Sungai Nil menyuburkan tanah bisa menghasilkan panen yang baik dan kemakmuran bagi penduduknya. Sungai Nil memiliki panjang 6695 kilometer dan menjadi sungai terpanjang di dunia. Kata ‘Nil’ berasal dari bahasa Yunani yang berarti lembah. Sekarang, sekitar 95% populasi Mesir masih tinggal di lembah Nil. Kayu sulit didapatkan di Mesir sehingga orang-orang Mesir membuat rumah mereka dari batu bata lumpur yang dikeringkan. Rumah-rumah memiliki beberapa kamar dan jendela ditutup dengan tirai untuk mencegah lalat dan debu. Selama musim panas, banyak orang tidur di atas atap supaya merasa sejuk. Mereka menanam sendiri sebagian dari makanan mereka dan menukar sebagian makanan dan barang yang tidak mereka produksi dengan desa lain. Sebagian besar masyarakat Mesir kuno bekerja sebagai buruh sawah, petani, dan pengrajin. Orang-orang Mesir kuno memiliki cara yang unik dalam menggambar orang, Mereka memiliki norma sendiri dan telah ditetapkan sejak zaman Kerajaan Tua. Seniman-seniman Mesir menggunakan grid untuk membantu mereka menggambar orang. Mereka menggambar kepala, mata, dan kaki
7
dalam posisi seperti dilihat dari samping. Mereka menggambar pundak dan dada seperti dilihat dari depan. Gambar-gambar seperti ini dapat ditemukan di dalam makam dan bangunan. Lukisan Mesir pada dasarnya didedikasikan untuk orang yang telah mati. Banyak gambar yang menunjukkan perjalanan panjang sebelum kematian. Aspek lain yang penting dari lukisan Mesir adalah penggambaran binatang. Warna primer yang digunakan dalam lukisan adalah merah, hijau, biru, emas, dan hitam. Salah satu dari pekerjaan seni dan arsitektur terbesar di Mesir Kuno adalah piramida. Piramida adalah sebuah struktur batu bata kuno berbentuk piramid yang terletak di Mesir. Terdapat 138 buah piramida yang ditemukan di Mesir. Sebagian besar dibangun sebagai makam untuk para Fir’aun dan permaisuri mereka pada periode Kerajaan Tua dan Kerajaan Pertengahan. Piramida Mesir paling awal ditemukan di Saggara, barat laut Memphis. Paling awal diantaranya adalah piramida Dioser yang dibangun selama dinasti ketiga. Piramida ini dan kompleks sekitarnya dirancang oleh seorang arsitek bernama Imhotep. Piramida-piramida ini pada umumnya dianggap sebagai struktur monumental tertua di dunia yang dibangun dari batu yang dihias. Piramida Mesir yang paling terkenal adalah piramida yang ditemukan di Giza. Giza terletak di pinggir kota Kairo. Beberapa dari piramida Giza dihitung sebagai struktur terbesar yang pernah dibangun. Pada masa dinasti awal dalam sejarah Mesir, orang-orang penting dimakamkan di dalam struktur yang berbentuk seperti bangku yang dikenal sebagai mastaba. Piramida kedua yang didokumentasikan dalam sejarah
8
diatributkan kepada Imhotep. Imhotep adalah arsitek yang pertama kali menyusun gagasan untuk menaruh mastaba di atasnya satu sama lain, menciptakan sebuah bangunan yang terdiri dari langkah-langkah menurun dalam ukuran menuju puncaknya. Hasilnya adalah piramida susun Djoser yang didesain sebagai tangga raksasa untuk jiwa Fir’aun yang meninggal sehingga mereka dapat menuju surga. Prestasi Imhotep yang sangat penting menjadikannya sebagai dewa bagi masyarakat Mesir. Pembangunan piramida yang paling produktif terjadi pada saat pemerintahan terbesar Fir’aun. Pada saat inilah piramida yang paling terkenal, yaitu piramida Giza dan sekitarnya dibuat. Semakin berjalannya waktu, otoritas menjadi kurang terpusat, kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya yang diperlukan untuk pembangunan skala besar menurun, kemudian piramida lebih kecil, dibangun dengan kurang baik, seringkali dibangun dengan terburu-buru. Penulis mengambil judul “Kajian Historis Budaya Pemakaman Pada Masyarakat Mesir Kuno (2630-1070 SM)” karena pemakaman di Mesir Kuno sangat unik dan menarik, hal yang menarik dalam penelitian ini yaitu Proses Pengawetan Jenazah yang dilakukan oleh masyarakat Mesir Kuno, mengapa mayat-mayat yang diawetkan pada zaman Mesir Kuno bisa bertahan hingga begitu lama bahkan beratus-ratus tahun, dan disinilah penulis tertarik untuk menelitinya.
9
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, dapat ditarik rumusan masalah, yaitu : 1. Bagaimana Budaya pemakaman pada masyarakat Mesir Kuno ? 2. Bagaimana cara mengawetkan mayat pada masyarakat Mesir Kuno ? C. Tujuan Penelitaian Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan Budaya pemakaman pada masyarakat Mesir Kuno. 2. Mendeskripsikan cara mengawetkan mayat pada masyarakat Mesir Kuno. D. Batasan Masalah Penelitian ini akan membahas mengenai Kajian Historis Budaya Pemakaman Pada Masyarakat Mesir Kuno, batasan masalah dari kajian ini yaitu pada masa Mesir Kuno banyak dilakuakan ritual-ritual kebudayaan dan khususnya pada budaya pemakaman pada masyarakat Mesir Kuno. Penulis memfokuskan penelitian ini pada budaya pemakaman yang meliputi cara mengawetkan dan memumikan jenazah serta membatasi dengan tahun yaitu pada tahun 2630-1070 SM. E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini semoga pembaca mendapat pengetahuan baru tentang budaya Mesir Kuno, khususnya tentang budaya pemakaman di
10
masyarakat Mesir Kuno yang mana didalam budaya pemakaman Mesir Kuno banyak sekali perbedaan dari pada pemakaman pada umumnya. Semisal pada budaya pemakaman masyarakat Indonesia. Proses pemakaman di Mesir Kuno juga sangat lama, karena banyak sekali ritual yang dilakukan. F. Tinjauan Pustaka Adapun karya ilmiah berupa buku, jurnal ataupun skripsi tentang ritual pemakaman, belum banyak diangkat sebagai bahan penelitian. Tetapi penulis menemukan beberapa penelitian dan karya ilmiah berupa buku, jurnal ataupun skripsi yang memiliki kesamaan tema dengan penulis. Sebagai berikut skripsi yang ditulis oleh Andi Karina Deapati (Universitas Indonesia: 2009) dengan judul “Ruang dan Ritual Kematian Hubungan Upacara dan Arsitektur Kelompok Etnis Toraja”. Perbedaan dengan skripsi penulis yaitu penulis lebih mengedapankan tentang kebudayaan tradisi pemakaman. Sedangakan penelitian sebelumnya lebih condong dalam bidang arsitek. Makalah yang ditulis oleh Anis Dhamayanti dan Nur Fariza (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2013) yang berjudul “Agama Mesir Kuno”. Perbedaan dengan skripsi penulis yaitu penulis lebih mengedepankan tentang kebudayaan tradisi pemakaman. Sedangkan makalah diatas lebih membahas tentang agama yang ada pada masa Mesir Kuno. Skripsi yang ditulis oleh Claudia Yuliani Kurnia (Universitas Indonesia: 2011) yang berjudul “Pengaruh Ajaran Budha dan Konfusianisme Terhadap Tata Cara dan Makna Ritual Pemakaman dan Peringatan Arwah
11
dalam Masyarakat Korea”. Persamaan penulis dengan Tinjaun pustaka diatas sama-sama membahas tentang ritual pemakaman. Akan tetapi penulis lebih menjelaskan tentang proses pemakaman, sedangkan tinjauan pustaka diatas lebih pada pengaruh ajaran suatu agama dan tata cara ritual atau lebih pada bentuk untuk melakukan ritual pemakaman. Skripsi yang ditulis oleh Miftah Rahmatullah
(UIN Syarif
Hidayatullah: 2009) yang berjudul “Bisnis Pemakaman Dalam Prespektif Islam” (Studi Komparatif antara TPU Pondok Gede dan TPU Pondok Rangon). Persamaan penulis dengan Tinjaun pustaka diatas sama-sama membahas tentang pemakaman. Akan tetapi tinjauan diatas sangat berbeda karena dikaji dari sisi Bisnis ataupun dari segi ekonomi dan lebih membahas pada transaksi yaitu tentang pembelian tanah untuk makam, biaya dalam proses pemakamannya itu sendiri seperti, jasa penggali kubur, jasa ambulance, jasa kremasi, membeli peti , membeli kain kafan dan lain sebagainya. Sedangkan penulis lebih membahas budaya pemakaman khususnya pada masyarakat Mesir Kuno. Artikel yang ditulis oleh Ansaar (Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar) yang berjudul tentang “Rapasan: Upacara Pemakaman Bagi Kasta Tana’ Bulaan Di Tana Toraja”. (Rapasan: Funeral Ritual For Tana’ Bulaan Caste In Tana Toraja). Tinjauan Pustaka diatas menjelaskan tentang pelaksanaan upacara Rapasan sebagai salah satu upacara pemakaman pada tingkat yang paling besar dan ramai di Tana Toraja. Persamaan Tinjauan Pustaka diatas dengan penelitian penulis yaitu sama-sama membahas tentang
12
upacara pemakaman yang mana teori yang digunakan hampir sama yaitu teori budaya. Perbedaan Tinjauan Pustaka diatas dengan penelitian penulis yaitu tempat yang di teliti dan kebudayaannya juga berbeda. G. Landasan Teori 1. Teori Historis Menurut Baverley Southgate (1996:87) pengertian sejarah dapat didefinisikan sebagai “studi tentang peristiwa di masa lampau.”Dengan demikian, sejarah merupakan peristiwa faktual di masa lampau, bukan kisah fiktif apalagi rekayasa. Definisi menurut Baverley Southgate merupakan pemahaman paling sederhana. Pengertian sejarah menurut Baverley menghendaki pemahaman obyektif terhadap fakta-fakta historis. Metode penulisannya menggunakan narasi historis dan tidak dibenarkan secara analitis (analisis sejarah). Pembelajaran mengenai sejarah dikategorikan sebagai bagian dari Ilmu budaya (Humaniora). Akan tetapi di saat sekarang ini sejarah lebih sering dikategorikan sebagai Ilmu sosial, terutama bila menyangkut peruntutan sejarah secara kronologis. Menurut Abdurahman (2007:14) sejarah berasal dari bahasa Arab “syajarah”, yang artinya pohon dalam bahasa asing lainnya istilah sejarah disebut histore (Prancis), geschichte (Jerman), histoire / geschiedemis (Belanda) dan history (Inggris). Sejarah adalah sebuah ilmu yang berusaha menemukan, mengungkapkan, serta memahami nilai dan makna budaya yang
13
terkandung dalam peristiwa-peristiwa masa lampau (Abdurahman, 2007:14). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan sejarah adalah riwayat kejadian masa lampau yang benar-benar terjadi atau riwayat asal usul keturunan terutama untuk raja-raja yang memerintah. Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan, berarti mempelajari dan menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh orang-perorang, keluarga, dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah melingkupi pengetahuan akan kejadiankejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis. Jadi berdasarkan beberapa referensi di atas peneliti menyimpulkan sejarah merupakan suatu ilmu yang berfungsi mempelajari, menemukan dan mengungkap kejadian yang berhubungan dengan manusia pada masa lampau. 2. Teori Budaya Pada awalnya, konsep kebudayaan yang benar-benar jelas yang pertama kalinya di perkenalkan oleh Sir Edward Brnett Taylor. Seorang ahli Antropologi Inggris pada tahun 1871, mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lain-lain. Pada waktu itu, banyak sekali definisi mengenai kebudayaan baik dari para ahli antropologi, sosiologi, filsafat, sejarah dan kesusastraan. Kebudayaan menurut EB Taylor (1871:53) adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta
14
kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan menurut Robert H Lowie adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. Menurut Koentjaraningrat (2000:181), kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Dalam Koentjaraningrat (2003:74), J.J Honingmann mengatakan bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yaitu : a. Ideas Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.
15
b. Activities Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa. c. Artifacts Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Contohnya : candi, bangunan, baju, kain, komputer dll. Sedangkan
dalam
Koentjaraningrat
(2003:81)
kebudayaan menurut C. Kluckhon, antara lain : 1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan 3. Organisasi sosial 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. Sistem mata pencarian hidup 6. Sistem religi 7. Kesenian
terdapat
tujuh
unsur
16
Kebudayaan, sebagai suatu pengetahuan yang dipelajari orang sebagai anggota dari suatu kelompok, tidak dapat diamati secara langsung. Jika kita ingin menemukan hal yang diketahui orang maka kita harus menyelami alam pikir mereka, dimana-mana setiap orang mempelajari kebudayaan mereka dengan mengamati orang lain, mendengarkan mereka, kemudian membuat suatu kesimpulan. Maka disinilah peran seorang etnografer meleakukan proses yang sama yaitu dengan memahami hal yang dilihat dan didengarkan untuk menyimbolkan hal yang diketahui orang dimana hal ini meliputi pemikiran atas kenyataan. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat sebuah kesimpulan budaya dari tiga sumber sehingga hal ini menjadi dasar adanya saling keterkaitan yang sangat kuat tentang etnografi, dan kebudayaan itu sendiri yaitu: a. Dari hal yang dikatakan orang b. Dari cara orang bertindak, dan c. Dari berbagai artefak yang digunakan orang. 2.1 Fungsi Kebudayaan Mendasari, mendukung, dan mengisi masyarakat dengan nilai-nilai hidup untuk dapat bertahan, menggerakan serta membawa masyarakat kepada taraf hidup tertentu : a. Hidup lebih baik b. Lebih manusiawi c. Berperi kemanusiaan
17
2.2 Unsur-unsur Kebudayaan 1. Peralatan dan perlengkapan hidup (pakaian, perumahan, alat-alat produksi, transportasi). 2. Mata
pencaharian
hidup
dan sistem
ekonomi
(pertanian,
peternakan, sistem produksi, distribusi ). 3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, perkawinan). 4. Bahasa. 5. Kesenian. 6. Sistem pengetahuan. 7. Religi. 2.3 Ciri dan Wujud Kebudayaan 1. Wujud kebudayaan a. Ide : tingkah laku dalam tata hidup. b. Produk : sebagai ekspresi pribadi. c. Sarana hidup. d. Nilai dalam bentuk lahir. 2. Ciri kebudayaan a. Bersifat menyeluruh. b. Berkembang dalam ruang / bidang geografis tertentu. c. Berpusat pada perwujudan nilai-nilai tertentu. 2.4 Sifat Kebudayaan 1. Beraneka ragam.
18
2. Diteruskan dan diajarkan. 3. Dapat dijabarkan : a). Biologi. b). Psikologi. c). Sosiologi : manusia sebagai pembentuk kebudayaan. 4. Berstruktur terbagi atas item-item. 5. Mempunyai nilai. 6. Statis dan dinamis. 7. Terbagi pada bidang dan aspek. Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis saja, ia selalu berubah. Tanpa adanya “gangguan” dari kebudayaan lain atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar, akan ada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan memperkenalkan variasi-variasi baru dalam tingkah laku yang akhirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut.
19
H. Sumber Data dan Data a. Sumber Data Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data di bedakan menjadi dua, yaitu: (1). data primer dan, (2). data sekunder. Data primer adalah data yang dibuat oleh peneliti dengan maksud khusus untuk menyelesaikan permasalahan yang akan menjadi bahan penelitian. Sedangkan data sekunder yaitu data yang sudah dikumpulkan sebagai tambahan dalam menyelesikan masalah yang dihadapi sebagai acuan penelitian. Data yangmerupakan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaaan (Library Research), baik berupa buku, jurnal, dokumen, majalah, dan makalah, serta data-data yang berasal dari internet. Sumber primer dari penelitian ini adalah buku ”The Mind Of Egypt And Meani” karya Jan Assmann, buku ”Encyclopedia Of The Archaeology Of Ancient Egypt” karya Kathryn A. Band, buku ”The Ancient Egyptians for Dummies” karya Charlotte Booth, lalu buku ”Views of Ancient Egypt Since Napoleon Bonaparte” karya David Jeffreys. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku ”Dunia Arab Masyarakat, Budaya dan Negara” karya Halim Barakat, buku tentang ”Metode Penelitian Budaya” karya Suwandi Endraswara, buku tentang ”Teori Budaya” karya Sulasman dan Gumilar dan berupa jurnal, skripsi, artikel , dan makalah yang berkaitan tentang ritual, upacara pemakaman secara umum dan pemakaman pada masa Mesir Kuno.
20
b. Data Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas), yang harus dicari, dikumpulkan, dan dipilih oleh peneliti. Data dapat berwujud angka-angka, perkataan-perkataan, kalimat-kalimat, wacana-wacana,
gambar-gambar/foto-foto,
rekaman-rekaman,
catatan-
catatan, arsip-arsip, dokumen-dokumen, buku-buku (Subroto, 1992:34). Data yang dikumpulkan berasal dari penelitian pustaka, yaitu proses mencari, menelusuri, memilih data yang relevan dengan topik bahasan dan menganalisa. Dalam penelitian ini data yang dikaji tentang kajian historis budaya pemakaman pada masyarakat mesir kuno yang ada disana. I.
Metode Penelitian Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam suatu metode. Jadi metode penelitian adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan yang terdapat pada penelitian. 1. Penelitian Kualitatif Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Peneltitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dalam situasi yang wajar dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif yang berdasar pada filsafat fenomenologi yang mengutamakan penghayatan.
21
Metode ini berusaha memahai pola perilaku dan interaksi sosial antar manusia dalam situasi tertentu. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan memahami realitas sosial, yaitu melihat dunia dari apa adanya, bukan dunia yang seharusnya, maka seorang peneliti kualitatif haruslah orang yang memiliki sifat open minded. Karenanya, melakukan penelitian kualitatif dengan baik dan benar bearti telah memiliki jendela untuk memahami dunia psikologi dan realitas sosial. Dalam penelitian sosial, masalah penelitian, tema, topik, dan judul penelitian berbeda secara kualitatif maupun kuantitatif. Baik substansial maupun materil kedua penelitian itu berbeda berdasarkan filosofis dan metedologis. Masalah kuantitatif umum memiliki wilayah yang luas, tingkat variasi yang kompleks namun berlokasi dipermukaan. Akan tetapi masalahmasalah kualitatif berwilayah pada ruang yang sempit dengan tingkat variasi yang rendah namun memiliki kedalaman bahasa yang tak terbatas. Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Penelitian kualitatif, adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, penelitian harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang
22
tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan. Adapun pengertian penelitian kuliatatif dapat dilihat dari beberapa teori berikut ini: a) Creswell (dalam Herdiansyah, 2010:8), menyebutkan: “Qualitaive research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analizes words, report detailed views of information, and conducts the study in a natural setting”. Penelitian Kualitatif adalah proses penyelidikan dan pemahaman berdasarkan tradisi metodologi yang berbeda dari penyelidikan yang mengeksplorasi masalah sosial atau manusia. Penelitian ini membangun, menggambar holistik secara kompleks, menganalisis kata, melaporkan informasi secara tepat, dan melakukan penelitian dalam pengaturan alam. b) Meleong, mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah, yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti (Herdiansyah, 2010:9). c) Penelitian kualitaif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau
23
keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif (Saryono, 2010:41). d)
Sugiyono (2011:15), menyimpulkan bahwa metode penelitian
kulitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. 2. Penelitian Kuantitatif Penelitian kuantitatif, menurut Robert Donmoyer (dalam Given, 2008: 713)
adalah
pendekatan-pendekatan
terhadap
kajian
empiris
untuk
mengumpulkan, menganalisa, dan menampilkan data dalam bentuk numerik dari pada naratif. Menurut Cooper & Schindler (2006:229), riset kuantitatif mencoba melakukan pengukuran yang akurat terhadap sesuatu. Penelitian kuantitatif sering dipandang sebagai antitesis atau lawan dari penelitian kualitatif, walau sebenarnya pembedaan kualitatif-kuantitatif tersebut agak menyesatkan. Donmoyer beralasan, banyak peneliti kuantitatif tertarik mempelajari aspekaspek kualitatif dari fenomena. Mereka melakukan kuantifikasi gradasi kualitas menjadi skala-skala numerik yang memungkinkan analisis statistik.
24
Pelabelan kuantitatif dan kualitataif juga menyesatkan karena para peneliti kualitatif tidak bisa sama sekali menghindari kuantifikasi. Misalnya ketika mereka menggunakan istilah kadang-kadang, sering, jarang, atau tidak pernah, sebenarnya mereka telah melakukan semacam kuantifikasi dalam bentuk yang kurang tepat. Lebih jauh lagi, ada peneliti kualitatif yang bergerak melampaui bentuk kuantifikasi primitif dengan menyebarkan kuesioner dan melaporkan hasil penelitian dalam bentuk statistik deskriptif. Data numerik ini dipakai dalam penelitian kualitatif sebagai bagian dari triangulasi atas temuan-temuan kualitatif dan/atau untuk menentukan apakah hasil wawancara mendalam konsisten dengan pandangan mereka yang tidak diwawancarai karena alasan lamanya waktu dan banyaknya tenaga yang dikeluarkan. 3. Penelitian Deskriptif Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Menurut Whintney (1960:37), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajarai masalah-masalah dalam masyarakat serta tatacara yang berlaku dalam
25
masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam metode deskriptif, peneliti bisa saja membandingkan fenomenafenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti mengadakan klasifikasi, seerta penelitian terhadap fenomenafenomena dengan menetapkan suatu setandar atau suatu norma tertentu sehingga banyak ahli menamakan metode deskriptif ini dengan nama survei normatif (normative survey). Dengan metode deskriptif ini juga diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Karenanya, metode deskriptif juga dinamakan studi status. Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau setandarsetandar, sehingga penelitian deskriptif ini disebut juga survei normatif. Dalam metode deskriptif dapat diteliti masalah normatif bersama-sama dengan masalah setatus dan sekaligus membuat perbandingan-perbandingan antar fenomena. Studi demikian dinamakan secara umum sebagai studi atau penelitian deskriptif. Prespektif waktu yang dijangkau dalam penelitian deskriptif, adalah waktu sekarang, atau sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan responden.
26
J.
Sistematika Penulisan Secara garis besar penelitian ini terdiri dari tiga bab yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu bab satu yang berupa pendahuluan, bab dua berisi tentang pembahasan dan bab tiga berisi tentang penutup. Masing masing bab memiliki sub bab yang saling berkaitan satu sama lain. Bab I merupakan bab yang berisi pendahuluan dengan sub bab berupa latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, sumber data dan data, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II merupakan bab yang berisi pembahasan dengan sub bab yang menjelaskan mengenai Kajian Historis Budaya Pemakaman Pada Masyarakat Mesir Kuno (2630-1070 SM). Bab III merupakan bab yang berisi penutup dengan sub bab kesimpulan dan saran. Kesimpulan adalah hasil yang telah didapat dari peneliti dan saran yang ditujukan untuk peneliti dan pembaca.