BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Tidak dipungkiri lagi bahwa hidup sejahtera merupakan dambaan semua orang. Hakikat sejahtera kerap diartikan oleh kebanyakan orang sebagai muara tujuan hidup, dimana sebagian besar kebutuhan hidupnya terpenuhi. Ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar bagi kehidupan makhluk yang disebut manusia. Karenanya, kemiskinan yang saat ini masih menjadi permasalahan utama bangsa ini harus segera diatasi, mengingat begitu pentingnya ketercapaian hidup sejahtera bagi masyarakat yang pada akhirnya diharapkan mampu mengantarkan ke kondisi yang memiliki harga diri jauh lebih baik, tidak mengemis, bahkan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma, seperti mencuri yang justru akan menimbulkan bahaya dalam upaya pemenuhan kebutuhan. “Tidak ada yang gratis di dunia ini.” Begitulah ungkapan yang sering terdengar di tengah semakin sulitnya kondisi ekonomi masyarakat. Uang seakan sudah menjadi motor utama penggerak kehidupan. Tanpa uang, manusia tidak dapat melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan untuk mendapatkannya harus dengan bekerja. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah jumlah lapangan kerja yang tersedia telah cukup mampu menampung para pencari kerja, mengingat sampai saat ini masih banyak jumlah angkatan kerja yang tidak tertampung oleh lapangan kerja yang tersedia. Dan persoalan pun akan terus berkembang dan semakin kompleks. Diantaranya yang paling penting adalah isu kelayakan kerja
1
(Decent Work). Pertanyaan yang sering muncul adalah sudahkah pemberi lapangan pekerjaan menerapkan prinsip-prinsip kerja layak bagi para pekerjanya. Mengingat saat ini masih sering dijumpai persoalan-persoalan yang menyangkut isu kelayakan kerja, seperti eksploitasi besar-besaran tenaga kerja, jam kerja yang melebihi batas standar, pemutusan hubungan kerja sepihak, pemberian upah yang tidak memadai, kurangnya situasi aman dan nyaman saat bekerja, dan lain sebagainya. Belum semua orang yang bekerja mengerti konsep kerja layak yang sebenarnya. Bahkan mereka memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai konsep kerja layak tersebut. Ada kalanya orang berpendapat bahwa kerja layak adalah yang upahnya cukup digunakan untuk membeli kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Ada pula yang berpendapat bahwa kerja layak adalah lebih pada persoalan perlakuan terhadap dirinya saat bekerja. Apakah kondisi kerja yang diterima telah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat kondisi pekerja di Indonesia yang bermacam-macam. Seperti yang telah diketahui bahwa kondisi pekerja yang beragam, terutama kondisi fisik, telah memunculkan istilah yang mampu melekat kuat dalam pikiran masyarakat di dunia usaha. Istilah tersebut yakni pekerja “normal” dengan kelengkapan fisik dan pekerja dengan keterbatasan fisik (difabel). Salah satu alasan peneliti memilih judul penelitian di atas adalah berawal dari ketertarikan terhadap kondisi pekerja difabel, khususnya penyandang tuna daksa yang tetap memilih bekerja dengan kondisi keterbatasan fisik yang dimilikinya. Pekerja penyandang tuna daksa yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok lemah ini dituntut mampu bersaing di dunia kerja jika ingin tetap dapat memenuhi kebutuhannya. Sedangkan fakta di
2
lapangan berbicara bahwa tidak sedikit sektor lapangan kerja, baik formal maupun informal yang kurang menginginkan tenaga mereka karena seringkali kurang memenuhi kriteria-kriteria yang diajukan, terlebih bahwa kriteria yang diajukan menekankan pada kesehatan dan kelengkapan jasmani. Stigma sosial yang telah melekat dalam masyarakat yang menganggap bahwa pekerja penyandang tuna daksa kurang memiliki potensi diri dalam bekerja menyebabkan sulitnya meraih sektor lapangan kerja yang diinginkan. Pihak penyedia kerja lebih memprioritaskan calon pekerja yang memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani. Jika demikian yang terjadi, lantas kemana lagi mereka harus mencari biaya hidup. Tentunya sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, kita tidak mungkin sampai hati melihat dan membiarkan mereka terpaksa mencari penghidupan dengan jalan mengemis atau mengamen, walaupun saat ini tengah menjadi fenomena dalam masyarakat bahwa sebagian dari mereka ada yang lebih memilih cara tersebut daripada mendapatkan nafkah dari bekerja. Sebagai respon atas kondisi di atas, saat ini banyak LSM yang didirikan dengan
tujuan
utama
meningkatkan
kemampuan
kaum
difabel.
Program
pemberdayaan seringkali diusung sebagai wacana dan tujuan utama dalam rangka meningkatkan kapasitas kaum difabel. Kemandirian untuk tidak selalu bergantung dari belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga non pemerintah ini. Kota Surakarta adalah salah satu kota yang memiliki cukup banyak yayasan penampung difabel. Diantaranya adalah Yayasan Sosial Budi Insani, Yayasan Asuhan Anak Tuna (YAAT), Yayasan Sosial Setya Dharma, Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara, dan sebagainya. Secara umum, kegiatan yang diselenggarakan hampir sama, yaitu
3
pemberian pelatihan dan kursus keterampilan sebagai bekal untuk terjun di dunia kerja. Di samping semakin menjamurnya pusat rehabilitasi bagi kaum difabel, yang tak kalah menarik adalah berdirinya berbagai Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang memperkerjakan kaum difabel, khususnya penyandang tuna daksa. Salah satunya adalah Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan yang beralamat di Jalan Kyai Mojo No.4 RT 04 RW 23 Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta ini berdiri sejak tahun 2010. Dikarenakan faktor keterbatasan ruang, maka kegiatan industri dilakukan di lokasi yang berbeda, yaitu di Jalan Sampangan RT 03 RW 22 Semanggi, Pasar Kliwon, Surakarta. Walaupun sifat kepemilikannya perseorangan, namun pada awal pendirian industri kerajinan ini turut dibantu oleh pemerintah melalui PNPM Mandiri, seperti pemberian alat-alat produksi tenun lidi dan pengadaan pelatihan keterampilan di bidang kerajinan tangan. Awal tujuan didirikannya UMKM yang bergerak dalam bidang industri kerajinan ini didorong oleh rasa keprihatinan direktur Rumah Lidi Handicraft terhadap kaum difabel yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Diharapkan dengan adanya Rumah Lidi Handicraft bisa menampung calon pekerja dari kaum difabel, khususnya penyandang tuna daksa yang memang membutuhkan pekerjaan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa para pencari kerja bukan difabel pun bisa diterima untuk bekerja di industri kerajinan ini. Secara spesifik, industri kerajinan ini bergerak di bidang usaha pembuatan tas dan perlengkapan rumah tangga lainnya dari bahan baku utama lidi, yang mana bahan baku lidi didatangkan langsung dari Jawa Barat dan Lampung sebagai daerah pemasok
4
utama bahan baku. Hingga kini, pemasarannya tidak hanya di Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya, namun sudah merambah sampai Palembang, Batam, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Walaupun usahanya masih berskala kecil, namun sangat menarik jika diteliti karena Rumah Lidi Handicraft seolah-olah menjadi “penyelamat” kehidupan perekonomian, khususnya bagi kaum penyandang tuna daksa ditengah sulitnya mencari pekerjaan. Kehadirannya sebagai sektor lapangan kerja informal memiliki arti strategis sebagai katup pengaman pengangguran, terutama bagi para pekerja penyandang tuna daksa. Jika dihubungkan dengan konsep kerja layak, Organisasi Buruh Internasional (ILO) sebagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa tengah aktif mempromosikan standar kerja layak. Mengingat saat ini potensi ekonomi Indonesia dengan pasar domestik tengah menjadi daya tarik utama bagi investor global. Globalisasi membuat persaingan di pasar kerja semakin ketat dan berakibat meningkatkan tekanan terhadap pekerja domestik. Imbasnya, penguatan pasar kerja domestik pun menjadi satu kebutuhan. Penciptaan lapangan kerja inklusif, hubungan industrial yang harmonis, dan perlindungan sosial sebagai bentuk program pekerjaan layak nasional semestinya dapat diwujudkan. Konsep kerja layak sering dimaknai berbeda oleh para pekerja di masing-masing sektor lapangan pekerjaan dimana mereka bekerja. Tidak terkecuali dengan yang dialami pekerja penyandang tuna daksa di sektor industri kerajinan. Mereka berhak menilai apakah kondisi kerja yang diterima telah memenuhi indikator kelayakan kerja sesuai dengan pemahaman mereka mengenai konsep kerja layak. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk memilih judul penelitian: “Pemaknaan Kerja Layak Oleh
5
Pekerja Penyandang Tuna Daksa di Industri Kerajinan Rumah Lidi Handicraft Semanggi, Pasar Kliwon, Surakarta.” 1. Orisinalitas Pertanyaan yang muncul dari kondisi ini adalah bagaimanakah para pekerja penyandang tuna daksa memaknai kerja layak itu sendiri. Kondisi lingkungan kerja yang seringkali tidak memenuhi standar kenyamanan pekerja tentunya sangat bertentangan dengan hakikat kerja layak yang telah ditetapkan. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian yang mendalam terkait dengan pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa, mengingat setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda mengenai konsep tersebut. Terlebih jika membandingkan pemahaman konsep kerja layak antara pekerja “normal” dengan yang memiliki keterbatasan fisik. Perbedaannya pun pasti akan sangat menyolok. Bisa jadi pekerja dengan kondisi normal menilai suatu kondisi kerja yang diterima sudah dirasakan layak. Namun, di sisi lain kondisi tersebut belum tentu dapat dikatakan telah memenuhi standar kelayakan kerja sesuai dengan yang diharapkan pekerja penyandang tuna daksa. Terkait dengan orisinalitas penelitian, sejauh ini sudah banyak penelitian yang dilakukan, khususnya yang mengangkat tema kaum difabel. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Dodi Taresa (2006), Fisipol UGM, Jurusan Ilmu Sosiatri, yang berjudul “Eksistensi Penyandang Cacat dalam Masyarakat (Persepsi Masyarakat Terhadap Penyandang Autis)“ yang dilakukan di Yogyakarta. Fokus penelitian ini menekankan pada masalah mengenai kecacatan itu sendiri, mengenai penyandang autis beserta sosialisasi mereka dan juga masalah-masalah yang mungkin timbul. Masalah yang lebih spesifik adalah mengenai persepsi masyarakat tentang penyandang
6
cacat yang mempengaruhi eksistensi penyandang cacat dalam menjalani kehidupannya dalam bermasyarakat, sehingga sudah sangat berbeda dengan fokus kajian peneliti yang mengangkat isu pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Selanjutnya, penelitian Marlina Nur Hayati yang berjudul “Efektifitas Rehabilitasi Penyandang Cacat dalam Usahanya Meningkatkan Kemandirian Bagi Para Penyandang Cacat: Studi Kasus Tentang Upaya Peningkatan Keterampilan di Pusat Rehabilitasi Yakkum di Desa Besi, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.” Sudah sangat jelas bahwa fokus penelitiannya adalah tentang seberapa efektif upaya rehabilitasi dalam meningkatkan kemandirian para penyandang cacat. Selain itu, penelitian lain adalah karya Puraneori Sukma Sakti yang berjudul “Kerja Layak dalam Perspektif Penyandang Cacat Tuna Daksa di Industri Kerajinan: Studi Pemaknaan Kerja Layak oleh Pekerja Penyandang Cacat Tuna Daksa di Mandiri Craft, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.” Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah disebutkan, penelitian ini memiliki kesamaan fokus kajian, dimana meneliti tentang pemberian makna kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa di lingkup industri kerajinan. Yang berbeda adalah lokasi penelitian, dimana penelitian sebelumnya mengambil lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan peneliti memilih lokasi di Surakarta. Perbedaan lainnya adalah asal mula berdirinya industri kerajinan, dimana Mandiri Craft didirikan oleh komunitas penyandang tuna daksa dan perekrutan pekerja didasarkan dari kalangan penyandang tuna daksa pula. Sedangkan Rumah Lidi Handicraft yang tergolong dalam jenis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tidak hanya memperkerjakan penyandang tuna daksa semata, namun juga dari pekerja
7
yang memiliki kelengkapan fisik, bahkan anak-anak jalanan pun pernah direkrut untuk bekerja di sana. Jadi, sifat perekrutan kerjanya lebih terbuka untuk umum. Pendirinya pun bukan berasal dari kelompok difabel. Perbedaan lainnya adalah para pekerja penyandang tuna daksa di Rumah Lidi Handicraft tidak diharuskan bekerja di pabrik, akan tetapi diperkenankan bekerja di rumah masing-masing. Walaupun pekerjanya terdiri dari kaum penyandang tuna daksa dan pekerja “normal”, namun peneliti membatasi obyek penelitian dengan hanya mengambil para pekerja penyandang tuna daksa sebagai unit analisa utama. Walaupun tema dan obyek kajian sama dengan penelitian sebelumnya, namun pertimbangan peneliti untuk memilih fokus kajian tersebut adalah pemahaman dan pemberian makna kerja layak yang berbeda oleh pekerja penyandang tuna daksa. Hasil penelitian sebelumnya mengatakan bahwa kondisi kerja layak di lokasi penelitian belum sesuai dengan harapan pekerja. Hal ini terlihat dari pemberian upah yang rendah, sistem perekrutan calon pekerja yang seringkali masih menggunakan sistem kekerabatan, dan temuan lapangan tentang aspirasi pekerja yang tidak tersalurkan karena tidak adanya serikat pekerja. Walaupun esensi temuan lapangan peneliti nyatanya hampir sama dengan hasil temuan pada penelitian sebelumnya, namun hal ini tidak mengurangi tujuan awal peneliti untuk mengkaji mengenai pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Hal ini justru dapat memberikan kesimpulan terkait pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa yang bekerja di industri kerajinan. Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan dapat memberi tambahan referensi terkait pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang mengangkat tema serupa.
8
2.
Keterkaitan dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan sebuah jurusan yang
dikembangkan sebagai jawaban atas tuntutan-tuntutan sosial untuk menjawab permasalahan-permasalahan sosial, dimana fokus kajiannya berkaitan dengan pembangunan sosial dan kebijakan sosial yang tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, konsep pembangunan sosial adalah suatu usaha untuk menciptakan hubungan yang seimbang antara sumber daya hidup (resources) dengan kebutuhan hidup masyarakat (needs), sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Ada 3 konsentrasi yang dipelajari di dalam jurusan ini, yakni kebijakan sosial (Social Policy), Corporate Social Responsibility (CSR), dan pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment). Jika dihubungkan dengan fokus judul penelitian, maka pemberdayaan masyarakat menjadi tema besar dalam penelitian ini. Mengingat penyelenggaraan Rumah Lidi Handicraft tidak lepas dari tujuan guna menaungi sebagian besar pekerja penyandang tuna daksa untuk memberdayakan mereka dalam bidang ekonomi. Dan isu kelayakan kerja menarik untuk diperbincangkan mengingat bentuk kegiatan pemberdayaan yang dilakukan mengarah pada sektor ekonomi informal yang berorientasi profit. Berangkat dari konsep pemberdayaan yang menyatakan bahwa tujuan utama pemberdayaan adalah mengubah kondisi masyarakat dari yang sebelumnya kurang bahkan tidak berdaya (powerless) menuju ke suatu kondisi yang lebih berdaya (powerfull), maka
sangat sesuai dengan fokus penelitian karena obyek utama
penelitian adalah pekerja penyandang tuna daksa. Penyandang tuna daksa yang sangat
9
rentan terhadap permasalahan sosial yang mungkin terjadi saat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya diharapkan menjadi lebih berdaya dan memiliki kapasitas serta kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan hadirnya Rumah Lidi Handicraft. Menurut peneliti, penelitian tentang pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa perlu dilakukan terlebih dahulu agar penerapan prinsip-prinsip kerja layak benar-benar sesuai dengan harapan, keinginan, dan kondisi pekerja, terutama pekerja penyandang tuna daksa. 3.
Aktualitas Kelayakan kerja menjadi salah satu isu sentral dalam upaya penciptaan
hubungan kerja yang saling menguntungkan antara pekerja dengan majikan. Kerja layak yang sering berjalan beriringan dengan isu jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan sosial yang harus didapatkan masyarakat, termasuk pekerja. Aksi unjuk rasa
pekerja
yang
kerap
terjadi
selama
ini
mengindikasikan
bahwa
pengimplementasian prinsip-prinsip kerja layak, seperti kesetaraan kesempatan dalam mendapatkan lapangan kerja, pemenuhan upah yang sesuai standar ketentuan, hubungan kerja yang harmonis antara pekerja dengan majikan, serta penciptaan perlindungan sosial bagi pekerja belum diterapkan secara maksimal. Belum lama ini Organisasi Buruh Internasional (ILO), pemerintah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan pimpinan serikat buruh meluncurkan Program Pekerjaan Layak untuk Indonesia periode 2012-2015 yang menekankan penciptaan lapangan kerja inklusif, hubungan industrial yang harmonis, serta penciptaan perlindungan sosial. Tidak terkecuali bagi penyandang tuna daksa yang sama-sama berhak memperoleh pekerjaan yang layak. Berbagai aksi unjuk rasa yang menuntut
10
persamaan hak untuk memperoleh kelayakan kerja bagi penyandang tuna daksa akhirakhir ini sering dijumpai di berbagai daerah. Hal ini merupakan wujud ketidakpuasan pekerja terkait penerapan kerja layak yang kurang sesuai dengan kondisi pekerja di tempat kerja. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menjawab indikatorindikator kerja layak yang bagaimanakah yang sesuai dengan karakteristik pekerja di Indonesia sebagai negara berkembang. Pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa menjadi langkah awal untuk memahami lebih detail tentang kondisi kerja yang diharapkan. Perolehan hasil penelitian yang memaparkan pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa diharapkan bisa dijadikan rumusan awal terkait dengan pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan prinsipprinsip kerja layak.
B. Latar Belakang Masalah Saat ini, isu kerja layak (Decent Work) marak diperbincangkan banyak pihak setelah makin kompleksnya permasalahan yang terjadi dalam dunia kerja. Kondisi kerja yang dianggap tidak layak oleh para pekerja tidak jarang membuahkan aksi unjuk rasa yang saat ini sering dijumpai di berbagai daerah. Padahal, kelayakan kerja sudah menjadi agenda utama ILO yang dinilai sudah cukup memperhatikan masalah kelayakan kerja. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana pihak pemberi lapangan kerja menerapkan prinsip-prinsip kerja layak sesuai dengan yang telah diagendakan ILO tersebut.
11
Minimnya jumlah lapangan kerja yang tersedia yang tidak mampu menampung semua pencari kerja menjadi salah satu pemicu perlakuan sewenang-wenang majikan terhadap pekerja. Kondisi ini sepintas mengindikasikan bahwa majikan sebagai penyedia lapangan kerja selalu berada di posisi yang lebih diunggulkan, sehingga selalu menjadi pihak yang dibutuhkan para pencari kerja. Akibatnya adalah muncul eksploitasi tenaga kerja demi profit sebesar-besarnya yang kerapkali kurang memperhatikan prinsip-prinsip kerja layak bagi para pekerjanya. Di sisi lain, kurangnya jumlah lapangan kerja yang tersedia mengakibatkan membludaknya jumlah pengangguran di Indonesia. Walaupun data yang tersedia saat ini menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia menurun, namun jumlahnya masih cukup besar. Menurut data Bappenas tahun 2012, jumlah pengangguran di triwulan III-12 berkurang sebanyak 460 ribu, dari 7,70 juta pada tahun 2011 menjadi 7,24 juta orang sampai bulan Agustus 2012. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun dari 6,56% (2011) menjadi 6,14% (2012). Menurunnya TPT diikuti dengan membaiknya kesempatan kerja formal, yang bertambah sebanyak 2,67 juta dan kesempatan kerja informal berkurang 1,54 juta. Tingkat pengangguran usia muda di tiap jenjang pendidikan juga mengalami penurunan. Seperti diketahui bahwa pada tahun 20012005, daya serap kesempatan kerja baru jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja baru, sehingga jumlah pengangguran meningkat. Baru pada tahun 2006 mulai menunjukkan perbaikan, dan hingga tahun 2012, kesempatan kerja baru lebih besar daripada jumlah angkatan kerja baru, sehingga jumlah pengangguran terbuka menurun dengan tingkat 6,14%. Walaupun TPT usia muda sudah menurun,
12
namun jumlahnya masih terlampau besar, yaitu lebih dari 5,3 juta, sehingga mimpi untuk meraih kesejahteraan masih dirasa sulit untuk dicapai.
Grafik 1.1 TPT Usia Muda Tahun 2005-2012
Sumber: data Bappenas, 2005-2012
13
Bagan 1.1 Jumlah Penganggur Usia Muda Menurut Tingkat Pendidikan 2500 2000
2007 2012
1500 1000 500 0 SD
SMP
SMA
SMK
Diploma Universitas
Sumber: data Bappenas, 2007-2012
Walaupun perolehan data di atas secara sepintas mengindikasikan bahwa jumlah pengangguran dari rentang tahun 2007 ke tahun 2012 menurun, namun pemerataan kesempatan kerja untuk semua belum terealisasi dengan baik. Rendahnya tingkat pendidikan serta tidak meratanya sektor lapangan pekerjaan yang diminati menjadi salah satu faktor penyebab ketidakmerataan kesempatan kerja. Tingginya persentase jumlah penganggur berpendidikan SD dan SMP menunjukkan fenomena penganggur usia muda didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Tren peralihan pekerja dari sektor informal ke sektor formal juga berdampak pada ketidakmerataan sektor lapangan kerja yang dimasuki. Sehingga, syarat masuk kerja ke sektor formal pun jauh lebih ketat. Akibatnya, jumlah pengangguran semakin membludak. 14
Sebagaimana telah diketahui bahwa negara telah mengatur pemerataan kesempatan kerja bagi semua dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “tiaptiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan pasal 28D ayat 2 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja,” isu Decent Work seakan-akan menjadi isu sentral saat berbicara tentang ketenagakerjaan. Decent Work juga telah menjadi salah satu prioritas agenda kerja ILO. Menurutnya, agenda pekerjaan layak perlu diterapkan di berbagai negara dalam upaya penciptaan kondisi kerja yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak, yaitu majikan dan pekerja atau buruh. Agenda kerja layak merupakan pendekatan terpadu untuk mengejar tujuan pekerjaan penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua pada tingkat global, regional, nasional, dan lokal. Dalam hal ini, tujuan pekerjaan penuh dan produktif memiliki pengertian pencapaian target pemenuhan barang dan jasa sebagai hasil produksi yang bermutu dan berkualitas. Sedangkan pekerjaan yang layak untuk semua berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja selama bekerja sesuai prinsipprinsip kelayakan kerja. Pemenuhan kelayakan kerja mencakup kesetaraan dalam memperoleh kesempatan kerja, pemberian hak-hak di tempat kerja, perlindungan sosial, pemberian upah, dan dialog sosial (ILO Decent Work Agenda, 2011). Berbicara mengenai kemajemukan pekerja di Indonesia, pekerja dapat dikategorikan menjadi pekerja yang memiliki kelengkapan fisik (pekerja normal) dan pekerja yang memiliki keterbatasan fisik (pekerja difabel). Jika dikaitkan dengan kesetaraan dalam mendapatkan pekerjaan, kaum difabel pun semestinya mempunyai
15
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesempatan kerja. Karena selain yang utama untuk memenuhi kebutuhan hidup, bekerja juga dijadikan sebagai penentu identitas seseorang dalam masyarakat. Orang yang bekerja tentunya lebih dihargai daripada yang tidak bekerja. Sesuai dengan kutipan sebagai berikut, ”setiap hari kita selalu diingatkan bahwa kerja, bagi semua orang, menentukan eksistensi dari manusia tersebut. Kerja adalah cara untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar. Namun, kerja juga merupakan kegiatan dimana individual mengakui identitas mereka, baik untuk diri mereka sendiri dan orang-orang di sekeliling mereka. Hal ini sangatlah penting bagi diri mereka, kesejahteraan keluarga, dan stabilitas masyarakat” (Somavia, ILO Director General, June 2001). Selama ini, masih banyak kaum difabel yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan kesempatan kerja. Perekrutan tenaga kerja difabel seolah-olah masih menjadi hal langka dalam dunia kerja. Keterbatasan fisik dijadikan alasan utama mengapa kaum difabel seringkali disingkiri oleh pihak penyedia kerja. Walaupun dalam kenyataannya tidak jarang ditemui kaum difabel yang justru memiliki potensi diri di atas rata-rata pekerja “normal”. Namun, kemampuan dan potensi tersebut seringkali tertutupi oleh keterbatasan fisik yang dimiliki. WHO memperkirakan sekitar 15% dari populasi dunia (7 miliar jiwa) hidup dengan berbagai bentuk keterbatasan fisik, dimana 2-4% diantaranya mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Perkiraan jumlah kaum difabel di seluruh dunia ini meningkat karena menuanya populasi dunia dan penyebaran penyakit kronis yang cukup cepat, serta peningkatan dalam metodologi yang digunakan untuk mengukur derajat ketidakmampuan fisik. Meskipun banyak diantara mereka yang
16
bekerja dan mampu berbaur dengan masyarakat, namun kebanyakan dari kaum difabel masih hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih terperinci lagi, jumlah difabel di Indonesia menunjukkan angka yang cukup signifikan.
Tabel 1.1 Jumlah Penyandang Difabel di Beberapa Provinsi Tahun 2011 Provinsi
Jumlah
Jawa Barat
130.324
Jawa Tengah
236.304
DI Yogyakarta
30.887
Jawa Timur
179.344
Bali
18.861
Sulawesi Selatan
82.170
Sumber: Data Kemensos RI, 2011 Di samping Jawa Barat dan Jawa Timur, Jawa Tengah ternyata juga memiliki jumlah difabel cukup tinggi. Tingginya angka difabel tersebut turut mempengaruhi tingginya angka pengangguran dari kalangan difabel, tidak terkecuali yang terjadi di Surakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar kaum difabel sulit untuk memperoleh pekerjaan, dan yang terjadi pada akhirnya adalah sebagian besar dari mereka hanya bekerja serabutan untuk tetap dapat menyambung hidup. Ironisnya, sebagian besar dari mereka yang berkeluarga sudah memiliki anak yang tidak jarang dari mereka tidak bersekolah atau putus sekolah lantaran ketiadaan biaya.
17
Sebenarnya tidak sedikit dari kaum difabel yang memiliki keterampilan dan kemampuan kendati memiliki keterbatasan fisik. Keterampilan dan kemampuan tersebut seringkali didapat dari sebuah panti atau pusat rehabilitasi yang ada di Surakarta. Namun, di sisi lain, tidak banyak lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga mereka sehingga tidak jarang sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk mengemis atau mengamen di jalanan (Solopos, 17 Mei 2011).
Tabel 1.2 Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Tahun 2007 Kota Surakarta No
Jenis PMKS – Difabel
Laki-Laki
Perempuan
1
Tuna Daksa
337
205
2
Tuna Rungu Wicara
115
99
3
Tuna Netra
124
139
4
Tuna Mental Raterdasi
109
95
5
Tuna Mental Eks Psikotik
141
104
6
Tuna Ganda
54
33
7
Tuna Bibir Sumbing
17
14
Total
897
689
Sumber: Dinsosnaker Kota Surakarta, 2007
Dominasi penyandang tuna daksa dibanding dengan penyandang jenis difabel lainnya turut mempersulit kesempatan memasuki sektor lapangan kerja. Terlebih lagi pada sektor lapangan kerja formal yang kurang begitu berminat merekrut pekerja 18
difabel. Hal ini tentu mengakibatkan kurang terserapnya tenaga kerja penyandang difabel secara optimal. Bahkan sebagian besar dari mereka hanya sebagai pengangguran. Tingginya jumlah pengangguran kaum difabel di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa pemerataan kesempatan kerja belum cukup dinikmati oleh semua kalangan difabel. Kesetaraan dalam memperoleh pekerjaan bagi kaum difabel seakan dirasa masih sulit didapat padahal telah banyak peraturan dan undangundang yang dibuat pemerintah untuk menangani persoalan tersebut. Kemajuan yang ditunjukkan Indonesia dalam melibatkan kaum difabel dapat dilihat dari upaya negara saat menandatangani Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau United Nation Convention on the Rights of Person with Disabilities (UNCRPD) dan
pembuatan Rencana Aksi Nasional untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi difabel di Indonesia (2004-2013), serta meratifikasi Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan). Langkah awal untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 159 mengenai Rehabilitasi dan Pelatihan Keterampilan bagi Penyandang Disabilitas juga telah dilakukan. Namun kenyataannya, akses pilihan pekerjaan untuk kaum difabel masih belum dapat terealisasikan. Padahal Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau United Nation Convention on the Rights of Person with Disabilities (UNCRPD) tahun 2007 telah bertujuan untuk mempromosikan, melindungi, dan memastikan para difabel dapat menikmati secara penuh dan setara semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta mempromosikan penghargaan terhadap harkat dan martabat kaum difabel. Konvensi ini menandai sebuah pergeseran paradigma dalam perilaku dan pendekatan terhadap difabel. Kaum difabel tidak dilihat
19
sebagai obyek kegiatan amal, perlakuan medis, dan perlindungan sosial, namun dilihat sebagai manusia yang memiliki hak yang mampu mendapatkan hak-hak itu serta membuat keputusan terhadap hidup mereka sesuai dengan keinginan dan ijin yang mereka berikan seperti halnya anggota masyarakat lainnya. Selain berpedoman pada Konvensi ILO, Indonesia juga telah mengatur hak-hak bagi kaum difabel dalam memperoleh kesempatan kerja. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1997 Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Pasal 5 yang berbunyi “Setiap warga penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Dalam hal ini, aspek yang dimaksud meliputi aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan keamanan, olahraga, rekreasi, dan informasi. Dari kutipan pasal tersebut sudah jelas tersirat bahwa kaum difabel memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya dalam segala aspek kehidupan tanpa terkecuali, termasuk ketenagakerjaan. Penyandang disabilitas memiliki kesamaan kesempatan untuk mendapat pekerjaan, sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Pernyataan ini lebih tegas lagi diperkuat dalam Pasal 14 Undang-Undang No.4 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa “Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat di perusahaannya, dan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, pendidikan dan kemampuannya yang jumlahnya sesuai dengan jumlah karyawan dan atau kualifikasi perusahaan.” Lebih lanjut, pasal ini menjelaskan bahwa perusahaan berkewajiban untuk memperkerjakan sedikitnya 1 orang penyandang cacat yang memenuhi syarat dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan untuk setiap 100 orang
20
karyawan. Dari penjelasan tersebut sudah jelas terlihat bahwa siapapun berhak memperoleh kesempatan kerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tak terkecuali bagi kaum difabel.
Tabel 1.3 Jumlah Tenaga Kerja Difabel Tahun 2010 No
Jenis PMKS-Difabel
Jumlah
1
Tuna Netra
2.137.923
2
Tuna Daksa
1.852.866
3
Tuna Rungu
1.567.810
4
Tuna Mental
712.641
5
Tuna Kronis
855.169
Total
7.126.409
Sumber: Data Kemenakertrans, 2010
Negara juga telah memberikan sanksi yang tegas sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 berupa kurungan maksimal enam bulan atau denda maksimal Rp. 200 juta bagi yang melanggar pasal tersebut. Hal ini cukup mengindikasikan bahwa difabel juga memiliki hak yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Pemberlakuan sanksi tersebut ditujukan sebagai upaya antisipasi terjadinya diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan bagi semua kalangan masyarakat. Jika dipelajari lebih jauh, sebenarnya terdapat berbagai kendala dan hambatan bagi kaum difabel dalam mengakses lapangan pekerjaan. Hambatan tersebut dapat
21
berasal dari dalam diri difabel (faktor internal) dan dari luar diri difabel (faktor eksternal). Faktor internal berarti hambatan tersebut berasal dari dalam diri difabel sendiri, seperti rasa tidak percaya diri yang berlebihan saat bersaing untuk mendapatkan kesempatan kerja dengan orang “normal” maupun sikap pasrah dan tergantung belas kasihan orang lain. Hal inilah yang menyebabkan kaum difabel sulit berkembang dalam rangka mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik. Sedangkan faktor eksternal dapat berupa minimnya kesempatan kerja yang tersedia bagi kaum difabel, sehingga mengalami kesulitan dalam mengakses pekerjaan. Kaum difabel yang memiliki keterbatasan fisik sudah semestinya mendapat perlindungan dari semua pihak. Hanya untuk bertahan hidup pun terasa sulit karena sebagian besar penyedia lapangan pekerjaan tidak bersedia memperkerjakan mereka. Oleh karena itu, berdirilah salah satu sektor informal yang bergerak di industri kerajinan yang dinamai Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan ini berdiri pada tahun 2010 dan bergerak di bidang usaha pembuatan tas dan perlengkapan rumah tangga lainnya, seperti taplak meja, tempat tissu, tempat lampu hias, boks dokumen, kaligrafi, dan lain sebagainya yang berbahan baku lidi. Awalnya, industri kerajinan ini bernama Arsy Handicraft. Namun, untuk alasan agar lebih komersial dan lebih menarik minat konsumen melalui namanya, maka industri kerajinan ini berganti nama menjadi Rumah Lidi Handicraft. Head Office industri kerajinan ini beralamat di Jalan Kyai Mojo No.4 RT 04 RW 23 Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta. Sedangkan kegiatan industri dilakukan di tempat berbeda, yaitu dengan menyewa salah satu tempat di Jalan Sampangan RT 03 RW 22 Semanggi, Pasar
22
Kliwon, Surakarta. Hal ini dilakukan karena keterbatasan ruang dan lahan di Head Office. Bapak Syahrir Rozie selaku pemilik dan pimpinan Rumah Lidi Handicraft merasa prihatin terhadap nasib kaum difabel, terutama penyandang tuna daksa yang jumlahnya lebih dominan dibandingkan dengan jenis penyandang tuna lainnya yang sulit mendapatkan pekerjaan. Sektor UMKM ini tidak hanya memperkerjakan penyandang tuna daksa saja, namun pekerja dengan kondisi “normal” pun diperkenankan bekerja. Bahkan, anak-anak jalanan juga diperbolehkan bekerja di sana. Uniknya, pekerja dari kalangan penyandang tuna daksa diperbolehkan bekerja di rumah masing-masing. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pekerja penyandang tuna daksa dalam bekerja. Untuk masalah pengantaran bahan baku pembuatan produk kerajinan dan penjemputan hasil produk, pihak Rumah Lidi Handicraft sendiri yang melakukan antar jemput ke rumah pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, para pekerja penyandang tuna daksa tidak merasa kerepotan dan terbantu dalam melakukan aktivitas kerjanya karena sudah cukup difasilitasi oleh pihak Rumah Lidi Handicraft. Kehadiran Rumah Lidi Handicraft sebagai salah satu jenis UMKM mampu sedikit membantu permasalahan ekonomi yang dialami penyandang tuna daksa pada umumnya. Di samping bermotif ekonomi, penyelenggaraan industri kerajinan ini tidak terlepas dari motif sosial. Rumah Lidi Handicraft merupakan salah satu sektor informal yang berperan sebagai katup pengaman pengangguran bagi penyandang tuna daksa. Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki pertumbuhan penduduk cukup tinggi tentunya berbanding lurus dengan peningkatan pertambahan jumlah
23
angkatan kerja. Persoalan krusial sampai saat ini adalah tidak sebandingnya jumlah lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah angkatan kerja, sehingga jumlah pengangguran membludak. Peran sektor informal disini adalah sebagai salah satu alternatif penyedia lapangan kerja yang menampung tenaga kerja tanpa membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu yang seringkali menyulitkan para pencari kerja, seperti yang diberlakukan di sektor formal, misalnya tingkat pendidikan dan keterampilan kerja yang harus dan mutlak dipenuhi. Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang memudahkan para pencari kerja memasuki sektor informal dan semakin mengukuhkan kehadirannya sebagai penyangga terhadap kelebihan jumlah tenaga kerja, khususnya bagi para penyandang tuna daksa. Pemberdayaan sektor informal di bidang UMKM merupakan bagian dari pemberdayaan perekonomian rakyat guna pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Dalam beberapa hal, sektor informal lebih dapat beradaptasi dan tidak terganggu oleh manajemen operasional yang kaku. Dalam periode krisis perekonomian nasional, sektor informal yang bersifat adaptif dan lentur masih tetap dapat bertahan, bahkan mampu mengembangkan peluang-peluang usaha dibandingkan dengan perusahaanperusahaan besar. Sektor informal mampu menjadi alternatif bagi pencari kerja di saat sektor formal sulit dimasuki dan kesempatan mendapatkan pekerjaannya pun semakin terbatas. Hal senada terlihat pada fenomena pekerja penyandang tuna daksa yang lebih mendapat tempat di sektor UMKM, yaitu Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan ini memfasilitasi dan menampung para pencari kerja, tidak terkecuali penyandang tuna daksa yang dalam kenyataannya sulit memperoleh pekerjaan. Dengan bekerja, mereka
24
akan mendapatkan penghasilan yang dapat meningkatkan taraf hidup. Dan pada akhirnya, diharapkan dapat memberikan kontribusi peningkatan pendapatan daerah dan nasional. Melihat begitu vitalnya fungsi sektor usaha informal, maka semestinya pemerintah mempunyai andil besar dalam upaya peningkatan jumlah dan eksistensi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di tengah semakin ketatnya persaingan globalisasi yang mendunia. Walaupun kemudahan bekerja sudah diperoleh para pekerja penyandang tuna daksa di Rumah Lidi Handicraft, yaitu dengan sistem kerja di rumah masing-masing pekerja penyandang tuna daksa, tentunya masih ada persoalan lain yang berhubungan dengan kelayakan kerja, seperti sejauh mana pihak Rumah Lidi Handicraft menerapkan prinsip-prinsip kerja layak sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang telah ada. Penelitian yang memiliki fokus kajian mengenai perspektif pekerja penyandang tuna daksa tentang makna kerja layak perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh para pekerja penyandang tuna daksa memahami dan memaknai konsep kerja layak, sehingga mereka mampu menilai apakah hak-hak yang semestinya mereka terima sudah benar-benar didapat atau belum di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft, tempat mereka bekerja. Isu kerja layak telah menjadi salah satu sorotan utama bagi organisasi internasional yang menangani bidang perburuhan dan tenaga kerja. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pekerja difabel pun juga berhak menikmati kondisi kerja layak selama bekerja. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua pekerja difabel mendapatkan perlakuan yang baik dari majikannya. Banyak majikan yang masih
25
belum tahu bagaimana cara memperlakukan pekerjanya. Dan akhirnya yang timbul adalah eksploitasi di tempat kerja. Fenomena eksploitasi tenaga kerja yang saat ini seakan-akan telah menjadi pemandangan biasa bagi semua orang tentunya dikarenakan adanya human error, salah satunya adalah yang berasal dari majikan. Pemahaman yang minim terkait pemenuhan kerja layak bagi pekerja menjadi faktor utama penyebab timbulnya tindakan
sewenang-wenang
majikan
terhadap
para
pekerjanya.
Kurangnya
pemahaman tentang prinsip-prinsip kerja layak yang benar serta minimnya kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip kerja layak menjadikan eksploitasi kerja kian menjamur dalam sebuah hubungan kerja. Kerja layak yang tengah menjadi isu global nyatanya belum mampu dipahami secara maksimal oleh semua pihak, baik majikan maupun pekerja. Jika berbicara dari perspektif pekerja, terutama pekerja difabel, kurangnya pengetahuan terkait prinsipprinsip kerja layak seringkali menjadikan diri mereka tidak sadar akan eksploitasi yang dilakukan oleh majikan mereka. Jika menilik pada Reader Kit ILO Tentang Penanganan Pekerja Difabel di Tempat Kerja, pekerja difabel harus mendapat perlakuan khusus melihat kondisi mereka yang sedikit berbeda dengan orang pada umumnya. Dan seringkali yang terjadi di banyak lokasi kerja adalah prinsip-prinsip kerja layak tersebut kurang dapat diimplementasikan oleh pihak penyelenggara kerja, sehingga yang terjadi sebenarnya adalah kondisi kerja kurang layak. Namun, karena minimnya pemahaman pekerja difabel tentang prinsip-prinsip tersebut, maka kondisi kerja yang kurang layak tersebut seolah-olah telah dianggap layak oleh pekerja difabel karena kurangnya pengetahuan tentang kerja layak bagi difabel.
26
Oleh karena itu, peneliti mengambil fokus kajian pemaknaan kerja layak pekerja difabel, khususnya pekerja penyandang tuna daksa karena ingin mengetahui pemaknaan kerja layak dari perspektif pekerja penyandang tuna daksa. Dalam memaknai kerja layak, terkadang terdapat pemahaman yang berbeda antara pihak penyelenggara kerja dengan pekerja. Dan hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan di lokasi kerja jika tidak mengacu pada prinsip-prinsip kerja layak seperti yang telah dirumuskan ILO. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberi gambaran kondisi kerja, khususnya di sektor informal melalui fokus kajian pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, didapat indikator kerja layak yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pekerja penyandang tuna daksa yang bekerja di sektor informal.
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft? 2. Bagaimana kondisi kerja layak para pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft?
27
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan operasional Tujuan dilakukannya penelitian dengan fokus kajian mengenai pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, dimana Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan telah lama mengkaji implementasi kebijakan perlindungan sosial yang erat hubungannya dengan isu kerja layak di samping perlindungan sosial dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini adalah kesejahteraan para pekerja. b. Tujuan substansial Tujuan substansial dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa berdasarkan pada kondisi kerja yang selama ini diperoleh di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. 2. Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan: a. Dapat memberikan gambaran mengenai kondisi kerja para pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft, Semanggi, Pasar Kliwon, Surakarta.
28
b. Dapat mengetahui hasil pemaknaan oleh para pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan, sehingga akan didapat rumusan awal mengenai prinsipprinsip kerja layak yang benar-benar sesuai dengan kondisi para pekerja penyandang tuna daksa. c. Dapat memberi kontribusi positif bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam membuat regulasi terkait prinsip kerja layak yang benar-benar relevan dengan kebutuhan para pekerja penyandang tuna daksa di lokasi kerja. d. Dapat menjadi tambahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang mengangkat tema serupa, yakni pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan.
E. Tinjauan Teoritik 1. Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead mengembangkan teori atau konsep interaksionisme simbolik yang intinya adalah bahwa dalam interaksionisme simbolik, sebuah simbol menjadi ide dasarnya. Simbol merupakan konsep yang membedakan antara manusia dengan binatang. Simbol dapat diartikan sebagai media yang terbangun dari sebuah interaksi yang dapat mempengaruhi respon (tanggapan). Simbol ini muncul akibat dari kebutuhan setiap individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Dalam proses interaksi tersebut pasti ada suatu tindakan yang diawali dengan pemikiran. Mead berpendapat
bahwa bukan pikiran
yang pertama kali
muncul,
melainkan
masyarakatlah yang terlebih dulu muncul dan baru diikuti pemikiran yang muncul dalam diri masyarakat tersebut.
29
Analisa Mead mencerminkan fakta bahwa masyarakat atau yang lebih umum disebut kehidupan sosial menempati prioritas dalam analisanya. Individu yang berpikir dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok sosial. Kelompok sosial hadir lebih dulu dan mengarah pada perkembangan kondisi mental sadar diri. Begitu pula yang terjadi dalam industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft. Kelompok sosial yang dimaksud merupakan kelompok pekerja, khususnya pekerja penyandang tuna daksa yang bekerja di tempat yang sama, yaitu di Rumah Lidi Handicraft yang selanjutnya akan mampu berpikir dan memberi makna terkait kerja layak berdasarkan kondisi kerja yang selama ini mereka peroleh. Interaksionisme simbolik tertarik bagaimana manusia menggunakan simbolsimbol yang merepresentasikan apa yang dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya dan juga pengaruh yang ditimbulkan atas penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku yang terlihat dalam interaksi. Orang menciptakan makna bersama melalui interaksinya, dan bagi mereka makna itulah yang menjadi realitanya (Suyanto & Sutinah, 2004: 180). Dalam teori ini, manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol, dan yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Makna merupakan produk dari interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Pada dasarnya, simbol merupakan hal yang penting dalam interaksi antar individu. Simbol dalam dunia kerja, seperti yang ada di Rumah Lidi Handicraft adalah segala bentuk perlakuan serta hubungan yang terjalin antara majikan dengan pekerja. Simbol tersebut dapat berupa pemenuhan fasilitas kerja, pemberian upah, hubungan yang terjalin di tempat kerja, serta kondisi yang nampak di Rumah Lidi Handicraft.
30
Simbol-simbol tersebut akan dapat dimaknai oleh pekerja, terutama pekerja penyandang tuna daksa dalam kaitannya dengan perwujudan kondisi kerja yang layak. Sifat khas dari interaksionisme simbolik menunjuk kepada interaksi manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi, atau dengan berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. Jadi, dalam proses interaksi manusia itu bukan suatu proses dimana adanya stimulus secara otomatis dan langsung menimbulkan tanggapan atau respon, tetapi adanya stimulus yang diterima dan direspon yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses interpretasi oleh aktor. Dan proses interpretasi inilah merupakan proses berpikir yang merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki manusia (Ritzer, 1980: 61). Berangkat dari konsep di atas, penelitian dengan fokus pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa memiliki kemiripan dalam kerangka berpikir. Pemaknaan kerja layak timbul karena adanya interaksi antara pekerja dengan kondisi lingkungan tempat mereka bekerja. Interaksi tersebut menjadi faktor utama yang mempengaruhi pemberian makna kerja layak berdasarkan penilaian dan pemahaman subyektif pekerja penyandang tuna daksa. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa interaksi antar individu yang diantarai oleh interpretasi yang pada akhirnya menghasilkan respon, hal ini sesuai jika dianalogikan dengan tahap pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Mula-mula interaksi terbangun di lokasi kerja. Interaksi dilakukan antar pekerja dengan pengurus Rumah Lidi Handicraft.
31
Interaksi yang berlangsung seiring dengan berjalannya waktu tersebut tentu meninggalkan kesan bagi pekerja dan pengurus di Rumah Lidi Handicraft. Kondisi kerja yang dirasakan para pekerja tersebut tentunya sangat mempengaruhi hasil pemaknaan kerja layak, terutama oleh pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, pada tahap interpretasi inilah pemberian makna dilakukan oleh pekerja penyandang tuna daksa berdasarkan kondisi kerja yang dirasakan selama bekerja di industri kerajinan. Dan pada akhirnya, respon yang diberikan berupa penilaian apakah kondisi kerja layak di Rumah Lidi Handicraft yang diharapkan oleh pekerja penyandang tuna daksa sudah didapatkan atau belum. Proses interpretasi yang menjadi penengah antara stimulus dengan respon menempati posisi kunci dalam interaksionisme simbolik, terlebih jika fokus penelitian yang dilakukan menekankan pada pemberian makna kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Sudah jelas bahwa proses interpretasi adalah proses berpikir yang merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki manusia. Begitu pula dengan pemberian makna kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa yang cukup membuktikan bahwa para pekerja penyandang tuna daksa memiliki kemampuan berpikir untuk menanggapi kondisi kerja layak yang diperoleh dan dirasakan di lokasi kerja. Jika dikaitkan dengan kondisi di Rumah Lidi Handicraft, penyampaian simbol yang menjadi inti pemikiran Mead terlihat di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft. Di industri kerajinan ini, simbol diartikan sebagai bentuk perilaku dan fenomena yang nampak dalam hubungan kerja di Rumah Lidi Handicraft, seperti pemenuhan fasilitas kerja yang menunjang aktivitas bekerja, pemenuhan upah yang
32
memadai, maupun kondisi psikis kerja yang tercipta antara majikan dengan pekerja di tempat kerja. Simbol inilah yang menjadi unsur utama penentu pemaknaan kerja layak yang dilakukan oleh pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft. 2. Pekerja Difabel (Different Ability Worker) Sebagian besar orang menyebut kaum difabel dengan sebutan penyandang cacat. Hingga saat ini pun, istilah penyandang cacat lebih sering digunakan dalam masyarakat. Padahal, di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta), cacat diartikan sebagai: (1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak); (2) lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak atau kurang sempurna. Kata cacat selalu diasosiasikan dengan atribut-atribut yang negatif, sehingga istilah penyandang cacat cenderung membentuk opini publik bahwa orang-orang yang hidup dengan kecacatan patut dikasihani, tidak terhormat, tidak bermartabat, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangat
bertentangan
dengan
tujuan
Konvensi
ILO
yang
mempromosikan
penghormatan atas martabat kaum difabel dan melindungi serta menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai manusia. Dalam The International Classification of Impairment, Disability and Handicap, WHO mendefinisikan tiga aspek kecacatan, yaitu impairment, disability, dan handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis, atau anatomis (Any loss or abnormality of psychological, physiological, or anatomical structure or function). Disability adalah suatu
33
keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat dari suatu impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia (Any restriction or lack resulting from an impairment of ability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being). Handicap adalah suatu kerugian, bagi seorang individu tertentu, sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal, tergantung pada usia, jenis kelamin, faktor-faktor sosial atau budaya (A disadvantage, for a given individual, resulting from an impairment or disability, that limits or prevents the fulfillment of a rule that is normal, depending on age, sex, social and cultural factors). Definisi tersebut menunjukkan bahwa disability hanyalah salah satu dari tiga aspek kecacatan tersebut. Sementara impairment merupakan aspek kecacatan pada level organ tubuh, dan handicap merupakan aspek yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak terkait langsung dengan kecacatan, disability merupakan aspek kecacatan pada level keberfungsian individu. Lebih jelasnya, impairment merupakan kondisi kelainan, misalnya orang yang mengalami gangguan indera atau kelainan tubuh atau mental. Akibat dari kelainan tersebut, contohnya seseorang menjadi tidak bisa melihat atau mengalami kesulitan dalam bergerak, sehingga mengalami apa yang disebut disability.
Akan tetapi,
kelainan tersebut akan tertutupi bila menggunakan alat tertentu, sehingga orang tersebut menjadi “normal” dan hanya dikatakan sebagai orang yang mengalami “kelainan”, bukan disebut disability. Sedangkan handicap merupakan kondisi
34
seseorang yang terhalang berdasarkan impairment-nya, seperti tidak bisa mengakses tangga gedung, dan lain sebagainya. Tahun 2001 lalu, WHO telah merevisi konsep di atas dengan sebutan International Classification of Functioning Disability and Health (ICF). Pada konsep yang baru ini, impairment bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi fokus dalam menilai keberfungsian kemampuan seseorang. Ada dua komponen utama yang perlu dipelajari dalam memahami masalah penyandang disabilitas, yaitu functioning (keberfungsian)
dan
disability
(ketidakmampuan).
Bagian
pertama
meliputi
keberfungsian badan atau anatomi dan struktur serta aktivitas dan partisipasi. Sedangkan bagian kedua terdiri dari faktor-faktor kontekstual, seperti faktor lingkungan dan faktor yang sifatnya personal. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1, penyandang cacat didefinisikan sebagai “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik; b) penyandang cacat mental; c) penyandang cacat fisik dan mental.” Macam-macam kecacatan terdiri dari: 1) Cacat fisik, adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah: a) cacat kaki, b) cacat punggung, c) cacat tangan, d) cacat jari, e) cacat leher, f) cacat netra, g) cacat rungu, h) cacat wicara, i) cacat raba (rasa), j) cacat pembawaan.
35
Cacat tubuh memiliki banyak istilah, salah satunya adalah tuna daksa. Kata “tuna” berarti kurang atau rugi, sedangkan daksa berarti tubuh. Sehingga tuna daksa ditujukan bagi mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna. Cacat tubuh dapat digolongkan sebagai berikut: a.
Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir dan cacat tidak sejak lahir, disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau perang.
b.
Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai dan lengan; cacat tulang, sendi, otot pada tungkai dan lengan, cacat tulang punggung, celebral palsy, cacat lain yang termasuk pada cacat tubuh orthopedi, paraplegia.
2) Cacat mental, adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi mental, b) gangguan psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organik dan epilepsi. 3) Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus (Demartoto, 2005: 10). Ideologi kenormalan menyatakan bahwa seseorang disebut normal apabila orang tersebut mempunyai organ tubuh lengkap dan berfungsi dengan baik. Seseorang yang mengalami ketidakberfungsian organ tubuh, kehilangan salah satu atau lebih organ yang dimilikinya, maka orang tersebut kerap disebut sebagai seorang yang tidak normal. Ideologi kenormalan yang menganut paham kesempurnaan organ tubuh dan berfungsi dengan baik ini sampai mengakar sedemikian kuat dalam alam pikir manusia sampai sekarang karena cara pandang semacam ini sudah terlanjur terkonstruksi ketika melihat orang mengalami cacat tubuh. Anggapan orang normal yang menilai penyandang cacat sebagai kelompok lemah dan tidak berdaya secara
36
tidak langsung telah memposisikan penyandang cacat lebih rendah dari orang normal yang memiliki kelengkapan secara fisik dan dapat berfungsi dengan baik. Berdasarkan data yang telah ada, jumlah penyandang tuna daksa pun jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis disabilitas lainnya. Jumlah yang besar ini dipengaruhi oleh banyaknya variasi penyebab timbulnya tuna daksa, misalnya kecacatan yang dibawa sejak lahir, akibat kecelakaan, maupun terkena musibah yang tidak jarang menyebabkan seseorang terpaksa menjadi penyandang tuna daksa. Penggunaan kata difabel merupakan kependekan dari “different ability” yang berarti seseorang dengan kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan dengan disable atau disabilitas yang saat ini istilah tersebut masih kerap digunakan sebagian besar orang. Padahal, bila diterjemahkan, disable berarti kecacatan. Bahkan, tidak jarang pula istilah penyandang cacat masih begitu melekat dalam masyarakat. Sehingga, penggunaan istilah difabel sangat dianjurkan dalam kehidupan dengan maksud untuk memperhalus kata atau istilah yang digunakan sebelumnya. Namun, yang lebih penting dari itu adalah dapat merubah persepsi dan pemahaman masyarakat bahwa seorang yang memiliki sebutan difabel hanyalah sebagai seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik, namun tetap mampu melakukan aktivitas walaupun dengan cara dan pencapaian yang berbeda. Pekerja difabel merupakan penggabungan dari dua asal kata. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa pengertian difabel adalah setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental ( Pasal
37
1 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 1997 ). Sedangkan pengertian pekerja adalah menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pekerja difabel merupakan setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian pekerja difabel juga dijelaskan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: KEP-205/MEN/1999 Tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat, yaitu tenaga kerja yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, namun mampu melakukan kegiatan secara selayaknya, serta mempunyai bakat, minat, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagai pekerja, tentunya kaum difabel memiliki hak-hak khusus yang semestinya didapatkan di lokasi kerja. Perlindungan hukum berupa regulasi-regulasi yang memihak pada kaum difabel seharusnya benar-benar dapat diterapkan karena pekerja difabel merupakan kelompok lemah yang memang sudah semestinya dilindungi oleh semua pihak, terutama dalam dunia ketenagakerjaan. Selain itu, perlindungan sosial yang berkaitan langsung dengan keamanan dan keselamatan pekerja difabel menjadi komponen utama bagi para penyedia lapangan kerja untuk memperlakukan para pekerjanya, dalam hal ini adalah pekerja difabel secara baik dan manusiawi.
38
3. Makna Kerja Layak Oleh Pekerja Penyandang Tuna Daksa Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2005: 619), kata makna diartikan sebagai: (i) arti, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Jika seseorang mengatakan sesuatu, terdapat tiga unsur, yaitu: name, sense, dan thing. Soal makna terdapat dalam sense, dan ada hubungan timbal balik antara name dengan pengertian sense. Apabila seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu yang diacu, dan apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia segera dapat mengatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dan pengertian itulah yang disebut makna. Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut, yakni suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban dengan kondisi tertentu. Aspek-aspek makna dalam semantik (Mansoer Pateda, 2001 dalam Sakti, 2012: 78), yakni: -
Pengertian (sense) atau tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan lawan bicara mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama.
-
Nilai rasa (feeling), hal ini berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan. Setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai hubungan dengan perasaan.
-
Nada (tone), adalah sikap pembicara terhadap lawan bicara, artinya hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.
39
-
Maksud (intention), yaitu maksud yang diinginkan baik senang atau tidak senang atau bersifat deklarasi, imperatif, persuasi, pedagogis, rekreasi atau politik. Aspek-aspek tersebut tentunya membantu peneliti dalam menemukan makna kerja layak berdasarkan perspektif pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft. Kerja layak merupakan tujuan utama ILO yang diwujudkan untuk semua orang
tanpa terkecuali. Sudah sejak lama ILO mempromosikan pengembangan keterampilan dan kesempatan kerja bagi para difabel dengan berdasarkan prinsip kesetaraan kesempatan, perlakuan yang sama, mengarusutamakannya ke dalam rehabilitasi keterampilan dan program pelayanan pekerjaan dan pelibatan masyarakat. Prinsip nondiskriminasi semakin ditekankan karena isu difabel dilihat sebagai isu hak asasi manusia. ILO berupaya mencapai tujuan ini melalui promosi standar tenaga kerja, advokasi, pengembangan pengetahuan dalam pelatihan dan memperkerjakan para difabel, serta memberikan pelayanan kerja sama teknis dan kemitraan. Kelayakan kerja menjadi isu sentral saat berbicara mengenai ketenagakerjaan. Tidak mengherankan jika Decent Work menjadi tuntutan utama para pekerja di seluruh dunia karena terkait dengan keamanan dan kenyamanan yang selayaknya didapat sewaktu bekerja. Ratifikasi Konvensi ILO No.111 Mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) dan Konvensi ILO No.159 Mengenai Rehabilitasi dan Pelatihan Keterampilan bagi Penyandang Disabilitas menjadi bukti bahwa kaum difabel sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan yang layak di segala aspek kehidupan dan penghidupan.
40
Mempelajari tentang kelayakan kerja, tidak akan pernah lepas dari definisi kerja layak itu sendiri. Menurut ILO, pekerjaan yang layak melibatkan kesempatan untuk pekerjaan yang protektif dan memberikan pendapatan yang adil, keamanan di tempat kerja, dan perlindungan sosial bagi keluarga, prospek yang lebih baik untuk pengembangan mengekspresikan
pribadi
dan
keprihatinan
kebebasan
integrasi
sosial
mereka,
mengatur
dan
bagi
orang
untuk
berpartisipasi
dalam
pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan kesetaraan kesempatan dan perlakuan bagi semua laki-laki dan perempuan. Ada berbagai aturan yang telah ditetapkan ILO terkait dengan isu kelayakan kerja untuk para difabel (Reader Kit ILO: Menangani Disabilitas di Tempat Kerja, 2011 Sesi Ke-277 dalam Sakti, 2012: 21), diantaranya: 1. Memastikan bahwa para penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama di tempat kerja. Hal ini berarti tidak ada diskriminasi kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas berhak diberi ruang untuk mengakses lapangan kerja seperti hak yang didapat oleh orang lain pada umumnya. Pihak penyedia lapangan kerja tidak boleh membedakan antara pencari kerja “normal” dengan pencari kerja difabel. 2. Memberikan perlindungan sosial yang berfungsi sebagai pengaman bagi pekerja penyandang disabilitas, terutama pada saat berada di lokasi kerja. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Konvensi ILO No.102 Tahun 1952 Mengenai (Standar Minimal) Jaminan Sosial yang menyatakan
41
bahwa para pekerja berhak mendapatkan jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan lain-lain.
3. Mempromosikan tempat kerja yang aman, mudah diakses, dan sehat. Tempat kerja yang aman dan nyaman menjadi salah satu faktor dapat terpenuhinya indikator kerja layak. Selain itu, kemudahan akses ke tempat kerja menjadi hal penting yang perlu diperhatikan oleh pihak penyedia lapangan kerja bagi pekerjanya dari kalangan penyandang disabilitas. 4. Memaksimalkan pemberian apresiasi (upah) terhadap kontribusi yang dapat diberikan oleh pekerja penyandang disabilitas. Pekerja penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan upah yang sesuai dengan standar minimal berdasarkan kontribusi yang diberikan oleh pekerja penyandang disabilitas. 5. Tata kelola dan dialog sosial (Social dialogue) Memastikan
adanya
serikat
pekerja
penyandang
disabillitas
dan
membangun jalinan yang baik pada interaksi atau komunikasi antara pekerja penyandang disabilitas dengan pihak pengurus (perusahaan) serta pemerintah. 6. Pemberian dukungan dan penyesuaian yang sewajarnya Dukungan dan penyesuaian yang sewajarnya menjadi bagian dari Prinsip Umum Non-Diskriminasi Pasal 2 UNCRPD. Dukungan dan penyesuaian yang sewajarnya harus diberikan kepada para penyandang disabilitas dan dijabarkan sebagai modifikasi dan penyesuaian yang dibutuhkan dan tepat
42
tidak memaksakan beban yang berlebihan atau yang tidak dapat dilakukan, dimana dibutuhkan pada kasus tertentu, untuk memastikan penyandang disabilitas dapat menikmati atau menjalankan kebebasan dan hak asasi manusia mereka secara setara dengan orang lain. Misalnya, penyesuaian yang sewajarnya bisa berupa perubahan fisik di tempat kerja, memodifikasi jadwal (jam) kerja, atau memodifikasi kebijakan di tempat kerja. Penyesuaian yang sewajarnya tidak mengharuskan melakukan penurunan kinerja atau menghilangkan fungsi-fungsi penting dari pekerjaan seseorang. Dalam hal kesetaraan mendapatkan lapangan kerja, Rumah Lidi Handicraft berusaha menjalankan fungsinya. Sektor UMKM ini memberikan kesetaraan kesempatan kerja bagi kaum difabel, terutama penyandang tuna daksa dengan tujuan lebih memberdayakan mereka dalam bidang ekonomi. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa semua penyandang difabel memiliki kesetaraan dalam memperoleh pekerjaan beserta hak-haknya di tempat kerja, hal ini nampaknya sedikit berbeda dengan kondisi yang ada di Rumah Lidi Handicraft. Perekrutan tenaga kerja lebih diperuntukkan bagi penyandang tuna daksa karena jenis penyandang inilah yang paling memungkinkan melakukan pekerjaan yang ada di Rumah Lidi Handicraft. Mengingat kegiatan industri berkaitan dengan produksi pembuatan tas dan perlengkapan rumah tangga lainnya yang berbahan baku lidi, terlebih para pekerja penyandang tuna daksa diberikan tugas dalam hal pengerjaan menenun lidi yang sudah tentu menggunakan alat-alat berat.
Selain itu, jumlah penyandang tuna daksa di
Surakarta yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penyandang tuna lainnya sehingga perekrutan tenaga kerja penyandang tuna daksa lebih mudah dilakukan.
43
Antara pekerja yang satu dengan pekerja yang lain tentunya memiliki perbedaan dalam memaknai kerja layak itu sendiri. Terlebih jika membandingkan antara pekerja “normal” dengan pekerja yang memiliki keterbatasan fisik (difabel). Pekerja dengan keterbatasan fisik pasti membutuhkan kondisi
kerja yang lebih
nyaman dan aman dibandingkan dengan pekerja “normal”. Hal ini tentu mempengaruhi pemaknaan kerja layak di lokasi kerja. Selain itu, perbedaan latar belakang antara pekerja penyandang tuna daksa yang satu dengan yang lain turut mempengaruhi pemaknaan kerja layak. Perbedaan upah yang diterima antara pekerja penyandang tuna daksa yang berperan sebagai pengurus dengan pekerja penyandang tuna daksa yang bekerja harian di bidang produksi nyatanya mempengaruhi hasil pemaknaan kerja layak. Selain itu, latar belakang pendidikan dan lama bekerja pekerja penyandang tuna daksa yang berbeda-beda juga mempengaruhi hasil pemaknaan kerja layak di Rumah Lidi Handicraft.
44