1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bentuk pemerintahan indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan, dan tentu saja perubahan ini tidak lahir secara alamiah. Berbagai macam peristiwa besar muncul demi lahirnya perubahan pemerintahan yang kelak akan membawa bangsa indonesia lebih baik ke depan. Perdebatanperdebatan tentang formasi terbaik dalam mendesain bentuk pemerintahan ideal dalam konteks Negara Republik Indonesia pun berlangsung sangat panjang. Terutama dalam perdebatan tentang hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Bentuk sistem negara kesatuan ini pada awalnya menyepakati dua model
hubungan
pemerintahan
yang
dapat
menghubungkan
antara
pemerintah pusat dan daerah. model pertama atau yang diistilahkan sentralisasi adalah menempatkan segala urusan, tugas, fungsi, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Model kedua adalah desentralisasi, dimana urusan, tugas, fungsi dan wewenang pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah.
pemerintahan
diserahkan
seluas-seluasnya
kepada
2
Selama 32 tahun kepemimpinan presiden soeharto, indonesia mengenakan
jubah
pemerintahan
yang
sentralistik,
sebuah
desain
pemerintahan yang memposisikan pemerintah pusat sebagai satu-satunya pemangku kebijakan pembangunan di indonesia, pemerintah pusat menjadi superior dan pemerintah daerah inferior. Pemerintah pusat kemudian menjadikan daerah sebagai objek yang dimana perubahan daerah ditentukan oleh pusat. Tentunya hal ini mengakibatkan ketimpangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah, baik itu ketimpangan ekonomi, politik, pendidikan, dan lain-lain. Pemerintah daerah kemudian terbiasa disuap oleh pemerintah pusat yang berefek pada tidak kreatifnya pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Belum lagi berbagai masalah yang timbul di daerah yang sulit teratasi karena menunggu keputusan dari pusat. Seiring dengan makin menuanya indonesia maka niscaya pulalah akan lahir perubahan, di tahun 1998 orde barupun runtuh setelah berkuasa selama 32 tahun dan indonesia memasuki babak baru yang dikenal dengan zaman reformasi. Reformasi kemudian membawa nafas baru dalam tubuh bangsa indonesia terutama dalam aspek politik pemerintahan. Sistem pemerintahan yang terpusat kemudian perlahan mengalami perubahan menjadi pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, lebih lanjut hal ini menjadi salah satu mainstream perubahan dalam sistem pemerintahan indonesia. Hal ini terbukti dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun
3
1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian direvisi oleh UndangUndang No. 32 tahun 2004,. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menitikberatkan pada pelaksanaan asas desentralisasi. Daerah kabupaten/ kota kemudian menjadi titik pusat otonomi daerah sedangkan pemerintah provinsi bertindak sebagai koordinator dan wakil pemerintah pusat di daerah. Efek dari asas desentralisasi yang diterapkan di daerah diharapkan mampu menciptakan pemerataan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan terus mengalami peningkatan, serta munculnya partisipasi masyarakat dalam menghidupkan ruang-ruang demokratisasi yang terberangus selama periode orde baru, hidupnya potensi dan budaya-budaya lokal yang kemudian akan menopang
daerah
dalam
merealisasikan
pembangunannya.
Hal
ini
dijabarkan dalam undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah sehingga memberi peluang terhadap daerah agar lebih leluasa mengatur dan melaksanakan pembangunan sesuai potensi dan keinginan masyarakat. Namun bukan berarti daerah mendapat kewenangan yang tanpa batas atau sebebas-bebasnya, negara indonesia adalah negara kesatuan yang mewajibkan tidak adanya keterpisahan dalam sistem kenegaraannya. Oleh
4
karena itu pemerintah pusat tetap memiliki tanggung jawab untuk mengontrol mekanisme pemerintahan yang berlaku di daerah otonom. Oleh sebab itu ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah : 1) Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum apabila daerah tidak
mampu
menjalankan
otonominya
setelah
melalui
fasilitasi
pemberdayaan; 2) Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom; 3) Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (sub¬ordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif; 4) Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif
5
ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang di desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD untuk melaksanakannya sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat. Dari penjelasan di atas tentunya desentralisasi dalam hal pengelolaan keuangan daerah juga merupakan salah satu aspek penting dalam otonomi daerah. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara propinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah. Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk hubungan diantara berbagai macam hubungan pemerintah pusat dan daerah, namum permasalahan perimbangan keuangan seringkali menjadi topik hangat yang patut diperbincangkan. Persoalannya seputar daerah yang merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat dalam hal pembagian keuangan. Daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang melimpah ruah menginginkan anggaran yang besar juga sesuai dengan penghasilan yang disumbangkan daerahnya. Muncullah berbagai tudingan miring bahwa pemerintah pusat menguras kekayaan pemerintah daerah. Uraian tersebut jelas memberikan indikasi bahwa masalah hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah masalah yang krusial
6
dan kesalahan dalam penanganannya dapat menyeret pemerintah dalam maslaah besar. Di Indonesia hal ini menjadi isu penting karena adanya ketidakpuasan terhadap penanganan masalah perimbangan keuangan ini. Undang-undang no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang dijabarkan dalam PP no 55 tahun 2005 tentang
dana
perimbangan
menegaskan
adanya
pembagian
dana
perimbangan yang adil, demokratis dan merata terhadap daerah-daerah di Indonesia demi menopang kinerja pemerintah daerah dalam menyukseskan pembangun daerah, dalam hal ini kota Makassar sebagai salah satu kota besar di Indonesia merupakan pun tak luput dari apa yang coba didiskusikan sebelumnya tentang dana perimbangan. Atas dasar hubungan pemerintah pusat dan daerah yang adil dan demokratis maka dalam rangka penyusunan skripsi penulis memilih judul “analisis hubungan pemerintah pusat dan daerah ; studi kasus perimbangan keuangan kota Makassar”
7
1.2. Rumusan Masalah Dari uraian di atas maka penulis berusaha mencermati hal-hal penting yang kemudian layak untuk diteliti, maka dari itu penulis menetukan rumusan masalah berupa: a. Bagaimana hubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota makassar? b. Kendala-kendala apa saja yang muncul dalam hubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota makassar? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk
mengetahui
hubungan
perimbangan
keuangan
antara
pemerintah pusat dan pemerintah kota makassar 2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang muncul dalam hubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota makassar. 1.3.2. Kegunaan Penelitian 1.
penelitian ini diharapkan menjadi bahan studi perbandingan bagi penelitian selanjutnya dan menjadi salah satu sumbangsih pemikiran ilmiah dalam melengkapi kajian-kajian yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan menyangkut hubungan
8
pemerintah pusat dan daerah, terkhusus tentang perimbangan keuangan 2.
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para pembuat kebijakan yang menetukan nasib daerah serta kepada masyarakat guna terwujudnya masyarakat yang partisipatif.
1.4. Kerangka Konseptual Pada bagian ini penulis akan menjelaskan konsep-konsep mengenai masalah yang akan diteliti serta fokus pembahasan dalam penelitian. 1.4.1. Konsep Pemerintah Pemerintah menurut Montesquie (dalam Budiarjo, 1986 : 151) adalah “Seluruh lembaga Negara yang bisa dikenal dengan nama Trias Politica baik itu legislative (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undangundang), maupun yudikatif (mengawasi pelaksanaan undang-undang)”. Dalam hal ini para ahli pemerintahan telah menemukan fungsi utama pemerintahan yaitu sebagai fungsi pengaturan (regulation) dan fungsi pelayanan (services). Suatu negara bagaimana pun bentuknya dan seberapa luas pun wilayahnya tidak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan secara terus-menerus Secara etimologis Inu Kencana Syafiie, 2001: 43-44, menuliskan bahwa istilah pemerintahan berasal dari akar kata perintah yang kemudian mendapatkan imbuhan (pe-dan-an). Jika kata perintah mendapat awalan pemaka hasilnya adalah kata pemerintah yang tidak lain adalah badan atau
9
organ elit yang melakukan pekerjaan mengatur dan mengurus dalam suatu negara. Dan jika kata pemerintah mendapat akhiran –an menjadi kata pemerintahan yang berarti perihal, cara, perbuatan, atau urusan dari badan yang berkuasa dan memiliki legitimilasi tersebut dalam kata dasar perintah terdapat unsur-unsur penting yang terkandung yaitu (1) Terdapat dua pihak, yaitu pihak yang memerintah disebut pemerintah dan pihak yang diperintah disebut rakyat. (2) Pihak yang memerintah memiliki kewenangan dan legitimilasi untuk mengatur dan mengurus rakyat. (3) Pihak yang diperintah memiliki keharusan untuk taat kepada pemerintah yang sah. (4) Antara pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah terdapat hubungan timbal balik baik secara vertikal maupun secara horizontal. Lebih lanjut kita dapat mengamati defenisi pemerintah oleh para ahli, Inu Kencana Syafiie, 2001: 21-23 menuliskan pandangan para ahli tentang hal tersebut: menurut W. S. Sayre, pemerintah adalah sebagai organisasi dari negara, yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya. Sedangkan menurut C. F. Strong menilai bahwa pemerintah dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memeli-hara kedamaian dan keamanan negara, kedalam dan keluar. Oleh karena itu, pertama, harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan
untuk
mengendalikan
angkatan
perang,
kedua,
harus
mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuat undang-undang, ketiga, harus memiliki kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan negara
10
dalam
menyelenggarakan
peraturan,
hal
tersebut
dalam
rangka
penyelenggaraan kepentingan negara. Tidak jauh berbeda dengan hal tersebut,.
Wilson
menyatakan
pemerintahan
itu
adalah
suatu
pengorgansasian kekuatan, tidak selalu berhubungan dengan organisasi kekuatan angkatan bersenjata, tetapi dua atau sekelompok orang dari sekian banyak kelompok orang yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk mewujudkan maksud dan tujuan mereka, dengan hal-hal yang memberikan keterangan bagi urusan-urusan umum kemasyarakatan dan menyangkut halhal orang-orang yang terikat di dalamnya. Meminjam defenisi pemerintah dari Bayu Suryaningrat (1992:10) bahwa pemerintah bisa diartikan sebagai badan tertinggi yang memerintah suatu wilayah. Bisa dikatakan bahwa institusi atau individu maupun kelompok yang diberi kepercayaan oleh penduduk setempat untuk memerintah pada suatu wilayah bisa dikatakan sebagai pemerintah. Pemerintah merupakan suatu gejala yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yaitu hubungan antara manusia dengan setiap kelompok termasuk dalam keluarga. Masyarakat sebagai suatu gabungan dari sistem sosial, akan senantiasa menyangkut dengan unsur-unsur pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti keselamatan, istirahat, pakaian dan makanan. Dalam memenuhi kebutuhan dasar itu, manusia perlu bekerja sama dan berkelompok dengan orang lain; dan bagi kebutuhan sekunder maka diperlukan bahasa untuk berkomunikasi menurut makna yang disepakati
11
bersama, dan institusi sosial yang berlaku sebagai kontrol dalam aktivitas dan mengembangkan
masyarakat.
Kebutuhan
sekunder
tersebut
adalah
kebutuhan untuk bekerjasama, menyelesaikan konflik, dan interaksi antar sesama warga masyarakat. Dengan timbulnya kebutuhan dasar dan sekunder tersebut maka terbentuk pula institusi sosial yang dapat memberi pedoman melakukan kontrol
dan
mempersatukan
(integrasi)
anggota
masyarakat.
Untuk
membentuk institusi-institusi tersebut, masyarakat membuat kesepakatan atau perjanjian diantara mereka, yang menurut Rosseau adalah konflik kontrak sosial (social contract). Adanya kontrak sosial tersebut selanjutnya melahirkan kekuasan dan institusi pemerintahan. Uraian tersebut menjelaskan juga bahwa suatu pemerintahan hadir karena adanya suatu komitmen bersama yang terjadi. Adanya suatu komitmen bersama yang terjadi antara pemerintah dengan rakyatnya sebagai pihak yang diperintah dalam suatu posisi dan peran, yang mana komitmen tersebut hanya dapat dipegang apabila rakyat dapat merasa bahwa pemerintah itu memang diperlukan untuk melindungi, memberdayakan dan mensejahterakan rakyat. Ndraha (2000 : 70) mengatakan bahwa pemerintah memegang pertanggungjawaban atas kepentingan rakyat. Lebih lanjut Ndraha juga mengatakan bahwa pemerintah adalah semua beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau menjual alat pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan layanan civil. Mengenai rasa aman
12
pemerintah juga wajib menciptakan suasana tersebut. Rakyat sebagai yang diperintah yang telah memberikan mandatnya memerlukan kehidupan harmonis dan aman, sehingga pemerintah menjadi wajib dalam menciptakan kondisi harmonis tersebut. 1.4.2. Konsep perimbangan keuangan Aturan keuangan pusat dan daerah, pada satu sisi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, di sisi lain juga untuk memfasilitasi proses pembangunan daerah dengan dimaksudkan agar terjadi keadilan dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan nasional dan bagi kepentingan daerah. Undang-undang dasar Negara Republik Indonesiatahun 1945 telah mengamanatkan
diselenggarakannya
otonomi
seluas-luasnya
dalam
klerangkan Negara kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, Perlu pengaturan secara adil dan selaras mengenai hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Ketentuan Umum UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
13
Dana perimbangan ini terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN (UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 10 tentang Dana Perimbangan) a. Dana Bagi Hasil. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu. Dana Bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil dari pajak meliputi pajak bumi dan bangunan, penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan pajak penghasilan. Dan dana bagi hasil dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi (UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pasal 11 tentang dana bagi hasil) b. Dana Alokasi Umum (DAU). DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal suatu daerah, yang merupakan selisih dari kebutuhan daerah dan potensi daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah
14
yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal (Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah) DAU untuk daerah propinsi dan daerah kabupaten ditetapkan masingmasing 10% dan 90% dari DAU. DAU bagi masing-masing propinsi dan kabupaten dihitung berdasarkan perkalian dari jumlah DAU bagi seluruh daerah, dengan bobot daerah yang bersangkutan dibagi dengan jumlah masing-masing bobot seluruh daerah di seluruh Indonesia (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 183) c.
Dana Alokasi Khusus (DAK).
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang tentunya merupakan urusan daerah dan sesuai dengan skala prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah (Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah). Adapun beberapa macam sektor atau kegiatan pemerintah daerah yang tidak dapat dibiayai dari DAK adalah dana administrasi, biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan pegawai
15
daerah dan lain-lain biaya umum sejenis di atas (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 188). 1.4.3. Tujuan Perimbangan Keuangan Hubungan keuangan pusat dan daerah berusaha mewujudkan sebuah tatanan pemerintahan yang baik menuju clean goverment dan good governance Perimbangan keuangan daerah merupakan suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan efisien dlam rangka pendanaan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang termaktub dalam UU no 32 tahun 2204, UU No 33 tahun 2004 dan PP No 55 tahun 2005. Mempertimbangkan hal-hal tersebut maka hubungan perimbangan keuangan dapat terlaksana dengan baik dengan adanya mekanisme yang jelas dalam hal pembagian dana perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
1.4.4. Sejarah hubungan keuangan pusat dan daerah Ditinjau dalam aspek historis hubungan keuangan pusat dan daerah bias ditarik alur kesejarahannya dari awal mula penerapan system desentralisasi oleh pemerintah hindia belanda, sekitaran tahun 1820-an pemerintah hindia belanda menerapkan system desentralisasi-sentralisasi
16
pemerintahan dengan adanya daerah-daerah administrative yang diatur secara hirarkis mulai dari gewest, afdeling, district, dan onderdistrict. Pada tahun 1903 pemerintah hindia belanda menetapkan Undang-undang desentralisasi yang memungkinkan adanya daerah otonom (gewest) untuk mengurus keuangannya sendiri. Namun daerah-daerah yang dijadikan daerah otonom, struktur pemerintahannya tetap diisi oleh orang-orang belanda hingga tahun 1922. Ketika jepang masuk pada tahun 1942, konsep yang dipakai oleh pemrintah belanda dihapuskan dan diganti dengan system sentralistik. Dimana pada saat itu Indonesia dipecah menjadi tiga bagian sumatera, jawa dan Madura, serta darah lain. Pemerintah jepang hanya membuat sebuah system syu sangi kai yaitu parlemen yang dipilih oleh daerah tapi wewenangnya hanya sebatas mendegarkan perintah dari gubernur jenderal (saikosikikan). Di era kemerdekaan dijelaskan dalam pasal 18 undang-undang dasar 1945 bahwa Indonesia terbagi dalam daerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi. Selanjutnya berbagai macam peraturan perundangan muncul untuk menjelaskan tentang otonomi daerah dan daerah otonom seperti : -
Undang-Undang nomor 22 tahun 1948 tentang otonomi material, yaitu pemerintah pusat menentukan kewajiban apa saja yang diberikan kepada daerah.
17
-
UU No 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun Undang –undang ini lebih menitik beratkan pada cara penyerahan sebagian penerimaan pajak pusat kepada daerah.
-
UU No. 1 tahun 1957 yang menjelaskan tentang otonomi riil, yaitu urusan rumah tangga diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
-
UU No. 18 tahun 1965 yang membagi wilayah RI ke dalam daerahdaerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri melalui sistem otonomi riil dan seluas-luasnya
-
UU No. 5 tahun 1974 yang merupakan perubahan dari otonomi riil menuju otonomi nyata dan bertanggung jawab. Yang diteruskan dengan PP No 45 tahun 1992 tentang penyelenggaraan otonomi daerah pada daerah tingkat II.
-
UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
-
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang secara yuridis mengganti UU No 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.
18
Berikut alur pikir dalam penelitian: -Undang-undang 32 tahun
2004 - Undang-undang 33 tahun 2004 -PP No 55 Tahun 2005
Perimbangan keuangan pusat dan daerah DBH, DAU, DAK
Pemerintah pusat
1.superioritas pemerintah pusat 2.kualitas layanan public yang tidak sinergis dengan dana perimbangan
Pemerintah kota Makassar
Masalah-masalah yang timbul -variabel perhitungan besaran dana perimbangan -profesionalisme penentuan kebijakan mengenai dana perimbangan -multipersepsi tetang orientasi dana perimbangan -sistem yang rentan mafia anggaran
19
1.5. METODE PENELITIAN 1.5.1. Lokasi Penelitian Berdasarkan pada judul penelitian, maka penelitian dilaksanakan di Kota Makassar, dengan pertimbangan bahwa Makassar terkadang dianggap sebagai pusat dari Indonesia timur yang secara potensial memungkinkan lahirnya masalah dalam hal perimbangan keuangan. Penelitian kurang lebih berpusat di Pemerintah kota Makassar dan dinas-dinas terkait serta DPRD kota Makassar, yang penulis anggap kedua institusi tersebut merupakan pihak berwenang dalam hal penelitian ini. 1.5.2. Tipe dan Dasar Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan
untuk
memberikan
gambaran
atau
penjelasan
tentang
permasalahan penelitian. Dengan Teknik yang digunakan dalam penelitian adalah Teknik observasi melalui wawancara dengan mengumpulkan data dari informan atau menemukan ruang lingkup dan lokus tertentu sebagai sampel yang dianggap representatif. Penelitian ini bersifat terbuka artinya masalah penelitian sebagaimana telah disajikan didepan bersifat fleksibel sesuai dengan proses kerja yang terjadi di lapangan. Sehingga fokus penelitiannya pun berubah guna menyesuaikan dengan masalah penelitian yang berubah.
20
1.5.3. Informan dan Teknik Pengambilan Data a. Sumber data Untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti, ada dua sumber data yang digunakan yaitu : 1. Data primer Data yang diperoleh dari hasil : 1. Teknik interview atau wawancara yaitu melakukan wawancara baik secara mendalam maupun secara bebas kepada informan yang dianggap tahu tentang permasalahan penelitian 2. Teknik
observasi
yaitu
dengan
melakukan
pengamatan
langsung untuk mengumpulkan data dan informasi tentang permasalahan dalam penelitian. 2. Data sekunder Data diperolah melalui studi pustaka yaitu mengambil data dari sejumlah buku, literatur maupun perundang-undangan yang berkenaan dengan penelitian ini.
b. Informan
Informan merupakan pihak yang dapat memberikan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan fokus penelitian (Abdullah;2003).
21
Adapun informan yang memberikan data dan atau informasi yang tepat dan akurat di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Walikota Makassar, Ir H Ilham Arief Sirajuddin SE, MM - Kasubag anggaran pemerintah kota Makassar, sadly SE - Tim asistensi menteri keuangan bidang desentralisasi fiskal Abd Hamid Paddu - Direktur dana perimbangan DJPK, Drs Pramudjo M Soc Sc - DPRD kota Makassar bagian anggaran -
Haidar Majid S.sos (koordinator)
-
Hamzah Dorahing SE.Ak M.Si
-
Irwan S.T
-
Mujiburahman B S.Sos
-
H.Hasanuddin leo S.E M.Si
c. Teknik Pengumpulan Data -
Wawancara : Penggunaan metode ini ditujukan untuk menggali informasi secara lebih mendalam terkait dengan masalah penelitian. Terkait penelitian, Peneliti dan informan/responden berhadapan langsung untuk mendapatkan data yang dapat menjelaskan
permasalahan
penelitian.
Untuk
membuat
wawancara lebih terarah maka peneliti menyusun suatu pedoman
22
wawancara yang berisi butir-butir pertanyaan terkait masalah penelitian. - Observasi : Dilakukan dengan cara melihat secara langsung tentang permasalahan yang berhubungan dengan variabel penelitian dan melakukan pencatatan atas hasil observasi. Sesuai dengan jenisnya, peneliti memilih observasi dengan partisipasi terbatas, yaitu peneliti hanya terbatas pada aktivitas objek yang mendukung data penelitian. - Studi kepustakaan (library research) : Melakukan peninjauan terhadap
konsep-konsep,
serta
dokumen-dokumen
yang
berhubungan dengan penelitian. Data yang diperoleh dari studi kepustakaan ini adalah data sekunder 1.5.4. Analisis Data Di dalam penelitian ini, untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan dan diseleksi digunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif yaitu data-data yang telah dihimpun dan dikumpulkan baik primer
maupun
sekunder
selanjutnya
disusun,
dianalisis,
diinterpretasikan untuk kemudian dapat diambil kesimpulan sebagai jawaban masalah yang diteliti.
23
Teknik diatas menurut Miles dan Hubermen (1992), diterapkan melalui 3 alur sebagai berikut : a. Reduksi Data Reduksi
data
pemerhatian
adalah
pada
proses
pemilihan,
penyederhanaan,
pemusatan
pengabstrakan,
dan
transformasi data kasar yang diperoleh dari catatan lapangan. Cara mereduksinya dengan meringkas, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, dan menulis memo sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan b. Penyajian Data Penyajian data dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, misalnya dituangkan dalam berbagai jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Kesemuanya itu dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak. c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Penarikan kesimpulan adalah kegiatan mencari arti, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan juga diverifikasi, yaitu pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalis selama penyimpulan, tinjauan ulang pada
24
catatan lapangan atau meminta respon atau komentar kepada responden yang telah dijaring datanya untuk membaca kesimpulan yang telah disimpulkan peneliti, kekokohannya, dan kecocokannya. 1.6.
Defenisi operasional Untuk memudahkan penelitian ini maka penulis menggunakan
defenisi operasional sebagai acuan dalam melaksanakan penelitian. Perimbangan keuangan adalah pembagian dana APBN kepada daerah yang bertujuan untuk pembiayaan kepentingan daerah dalam rangka menyukseskan otonomi daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Ketentuan Umum UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi,
dengan
mempertimbangkan
potensi,
kondisi,
dan
kebutuhan daerah. Indikator-indikator yang digunakan dalam membahas masalah tersebut seperti: 1. Tingkat ketergantungan pemerintah kota Makassar terhadap besaran dana perimbangan
25
2. Besaran dana perimbangan kota Makassar dalam bentuk DBH, DAU dan DAK. 3. Alokasi dana perimbangan yang digunakan oleh daerah 4. Keseimbangan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perihal perimbangan keuangan.
26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka merupakan panduan penulisan dalam aspek konseptual dan teoritis. 2.1.
Pengertian Analisis
Analisis yang dimaksud menurut kerlinger adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja untuk mengetahui sesuatu atas sebuah fenomena Menurut Adam Smith analisis adalah sebuah usaha yang menyangkut tentang kajian sesuatu sampai ke akar-akarnya. Matthew B. Miles dan Michael Huberman (1992:16-21) mengatakan: “Bahwa analisis merupakan sebuah aktivitas yang paling tidak terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan verifikasi” a. Reduksi data. Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerderhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis yang dibutuhkan , reduksi data bukan hal yang terpisah dari analisis, ia merupakan bagian dari analisis. Selama pengumpulan data berlangsung terjadi tahap reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo). Reduksi data tidak lain adalah proses transformasi yang berlanjut terus sebelum dan sesudah data, pilihan-pilihan tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang
27
meringkas bagian-bagian yang tersebar, cerita-cerita apa yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analisis. Reduksi data merupakan sebuah bentuk analisis menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan,
membuang
yang
tidak
perlu,
dan
mengorganisi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan di verifikasi. b. Penyajian Data. Alur kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. “Penyajian“ dapat dibatasi sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara utama bagi analisis yang valid. Penyajianpenyajian informasi yang dapat meliputi jenis matriks, grafiks, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk pady dan mudah diraih, dengan demikian seorang analis dapat melihat apa yang terjadi, dan menentukan apakah yang menraik kesimpulan yang benar atau terus melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang dikiaskan oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin berguna. c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi. Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpuan data, seorang penganilisis mulai mencari arti benda-benda mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,
28
konfigurisi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi. Kesimpulankesimpulan itu ditangani dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah ada, mula-mula belum jelas, namun meningkat lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan “final” mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan yang tersedia, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang dilakukan, kecakapan analisis, dan tuntutan-tuntutan pemberi dana, tetapi seringkali kesimpulan itu telah dirumuskan
sebelumnya
sejak
awal,
sekalipun
analisis
menyatakan
melanjutkannya “secara induktif”. Makna-makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohannya. Yakni merurpakan validitasnya. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan ilmu-ilmu analisis, aktivitas analisis kemudian memiliki ragam metode-metode, alat-alat yang mampu mendukung dan mewujudkan upaya verifikasi yang valid. 2.2.
Pemerintahan dengan konsep otonomi daerah
Pemerintah menurut kamus bahasa Indonesia adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undangundang di wilayah tertentu. Menurut Loggeman dalam tulisannya ” Het staatsrecht derzelfregerenda Gemenschappe ” istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atas
29
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan terbatas yang harus dipertanggung jawabkan. Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua unsur: a. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus dilaksanakan serta kewenangan untuk melaksanakannya b. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian itu. Pemberian kekuasaan dalam istilah otonomi dalam arti bertanggung jawab atas pengaturan dan pengurusan pemerintahan daerah mempunyai sifat mendorong atau memberikan perangsangan untuk berusaha menumbuh dan mengembangkan keinginan sendiri, sifat itu membangkitkan otoaktivitas dan
mempertinggi
harga
diri
dalam
arti
yang
sebaik-baiknya
(Syafruddin,1984;6). Otonomi daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri oleh satuan organisasi pemerintahan di daerah. Otonomi yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah inilah yang disebut dengan otonomi daerah (Garna,2000:246) Pengertian otonomi daerah mengandung beberapa segi:
30
Pertama, bahwa otonomi daerah bukan skema kedaulatan daerah dalam konteks Negara federa. Otonomi dalam rangka undang-undang 1945 pasal 18 yang menyebutkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar klan kecil dengan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyaratan dalam sistem pemerintahan Negara klan hak asal usul dalam Negara yang bersifat istimewa. Kedua, kebijakan otonomi lebih merupakan perubahan dalam tatanan susunan kekuasaan, termasuk di dalam perubahan dalam prinsip kerja pemerintah dimana daerah mendapatkan kemenangan untuk mengatur urusan daerahnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian otonomi mempunyai arti adanya skema otonmi dipandang sebagai pendekatan baru dalam menjalankan pembangunan. Pendekatan baru ini tentunya membutuhkan bukti praktis dimana kekuasaan pusat memberikan kepercayaan penuh kepada daerah untuk mensejahtrakan rakyatnya dengan tetap menjaga integrasi bangsa. Ketiga, prose politik yang dijalankan orde baru yang tidak memberikan harga kepada partisipasi masyarakat telah dengan seksama menunjukkan bagaimana akibat dari elitesmi politk tersebut. Akibat dari sesuatu yang dimaksud tersebut bukan sesuatu yang harus ditanggung oleh elit melainkan oleh masyarakat. Dari ketiga segi tersebut dinyatakan bahwa otonomi daerah
31
pada dasarnya adalah sebuah koreksi terhadap struktur kekuasaan yang semula lebih berakar keatas menjadi model baru yang berorentasi ke bawah. (Alexandar,2000:1-2) Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan, Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam
Ikatan
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
(Widjaja,2001:243). Ada beberapa prinsip otonomi daerah yang dijadikan prinsip dalam penyelenggaraan pemerintah daerah,yaitu: a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilakasanakan berdasarkan aspek demokratis, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
32
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas. d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatakan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten/kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan, kawasan perumahan , kawasan perkebunan,
kawasan
kehutanan,
kawasan
industri,
kawasan
perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom. f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi legislatif daerah, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. g. Pelaksanaan atas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepala daerah, tetapi juga dari pemerintah daerah kepada pemerintah desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana. Serta sumber daya manusia dan kewajiban melaporkan
33
pelaksanaan
dan
mempertanggungjawabkan
kepada
yang
menugaskan (Masyukur,2001:21).
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan amanat pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, landasan pemberian otonomi kepada daerah dan pembentukan Daerah Otonom adalah Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 18 yang berbunyi “ Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang
dan
mengingati
dasar
permusyawaratan
dalam
sistem
pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 18, ditetapkan antara lain: 1. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. 2. Di daerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka semua menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. 3. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
34
Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa UUD 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Selain itu, otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa fak tor yaitu: -
Keragaman bangsa Indonesia denga sifat-sifat istimewa pada berbagai golongan, tidak memungkinkan pemerintahan dilakukan secara seragam.
-
Wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau dan luas dengan segala
pembawaan
masing-masing,
memerlukan
cara-cara
penyelengaraan yang sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat dari berbagai pulau tersebut. -
Desa dan berbagai persekutuan hukum merupakan salah satu sendi yang ingin dipertahankan dalam susunan pemerintahan Negara.
-
Pancasila
dan
UUD
1945
menghendaki
suatu
susunan
pemerintahan yang demokratis. Desentralisasi adalah salah satu cara mewujudkan tatanan demokratis tersebut -
Efisiensi dan efektifitas merupakan salah satu ukuran keberhasilan organisasi. Republic Indonesia yang luas dengan penduduk yang banyak dan beragam memerlukan pemerintahan Negara yang
35
menjamin
efisiensi
dan
efektivitas.
Dengan
membagi-bagi
penyelengaraan pemerintahan dalam satuan-satuan yang lebih kecil (desentralisasi), erfisiensi danefektivitas tersebut akan mudah tercapai. Mengingat bahwa sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan runtuhnya pemerintahan Orde baru, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum menunjukkan hal yang berarti. Padahal beberapa undangundang tentang pemerintahan daerah telah ditetapkan dan berlaku silih berganti akan tetapi pelaksanaan otonomi daerah belum efektif. Oleh sebab itu, pada era reformasi dibuat undang-undang baru mengenai, yaitu UndangUndang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah (Mudrajat Kuncoro, 2004: 6). Pada tahun 2004 UU No. 22 Th. 1999 disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan UU No. 25 Th. 1999 disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004. Menurut Ketentuan Umum UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
36
2.2.1. Prinsip otonomi daerah Menurut Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah pusat diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip
bahwa
untuk
menangani
urusan
pemerintahan
dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 168).
37
penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antara daerah dengan pemerintah pusat., artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan tujuan negara (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 168). Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah pusat wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien
38
dan efektif (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 169). 2.2.2. Titik Berat Otonomi Daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanan pembangunan, maka titik berat otonomi daerah diletakan pada Daerah Tingkat II atau Kabupaten, dengan dasar pertimbangan : pertama, dari dimensi politik, kabupeten dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan
sehingga
resiko
gerakan
separatisme
dan
peluang
berkembangnya aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dari dimensi administratif, penyelenggaraan dan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih efektif. Ketiga, kabupaten adalah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga kabupatenlah yang lebih tahu kebutuhan potensi rakyat di daerahnya. Pada gilirannya, yang terakhir ini dapat meningkatkan pertanggung jawaban daerah kepada masyarakat. Atas dasar itulah prinsip otonomi yang dianut, yaitu yaitu otonomi nyata dan bertanggung jawab diharapkan dapat lebih mudah direalisasikan (Mudrajad Kuncoro, 2004: 3). 2.3.
Jenis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sebagai satu kesatuan organisasi, Pemerintah mengenal adanya hubungan kerja kedinasan ( formal ) antara unit yang satu dengan yang lain.
39
Hubungan-hubungan kerja dapat digolongkan menjadi dua jenis hubungan pokok:
a. Hubungan Kerja Hierarkis (vertical)
Hubungan kerja hierarkis yang bersifat vertical adalah hubungan kerja timbal balik antara atasan dengan bawahannya dari tingkat pejabat tertinggi secara berjenjang sampai ke tingkat pejabat paling bawah. Dalam jenis hubungan vertical ini terdapat hubungan perintah dan tanggung jawab sesuai dengan tugas dan batas wewenang masing-masing.
b. Hubungan Kerja Fungsional (horizontal)
Hubungan kerja fungsional pada pokoknya bersifat horizontal dan merupakan hubungan kerja sama antara dua atau lebih unit organisasi/ pejabat yang mempunyai kedudukan pada eselon yang setingkat. Hubungan fungsional merupakan keharusan dalam tiap organisasi besar dan modern, demi terwujudnya kerja sama yang harmonis sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.
Dalam proses penyelenggaraan otonomi daerah ada tiga asas yang diberlakukan yaitu:
1. Asas desentralisasi
40
Desentralisasi adalah suatu istilah yang luas dan selalu menyangkut persoalan kekuatan, biasnya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan di daerah. Dalam Encyclopedia of the social science,
desntralisasi
adalah
penyerahan
wewenang
dari
tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Baik yang menyangkut bidang ekskutif, legiskatif, yudikatif ataupun administrative. Istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin “de” berarti lepas dan “centrum”
berarti
pusat.
Desentralisasi
merupakan
lawan
kata
dari
sentralisasi sebab kata “de” bermaksud menolak. Berdasarkan asla perkataanya
desentralisasi
berarti
melepaskan
dari
pusat
(koesoemahatinadja, 1979: 14)
Menurut joeniarto, asas desentralisasi adalah asas yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah Negara ke pemerintah local untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri yang biasa disebut swatantra atau otonomi.
Amrah muslimin berpendapat bahwa desentralisasi berarti pelimpahan kewenangan-kewenangan oleh pemerintah pusat pada badan-badan otonom (swatantra) yang berada di daerah-daerah. (amrah muslimin, 1986:42)
41
Dalam suatu Negara kesatuan dengan asas desentralisasi, terdapat daerah-daerah yang pemerintah daerahnya diberi wewenang mengatur rumah tangga daerahnya itu, yang biasa disebut swatantra atau otonomi (Solly Lubis M, 1982: 152)
Tujuan utama desentralisasi pemerintahan adalah adanya proses pendemokrasian di daerah, oleh karena itu di daerah juga didirikan dewan perwakilan
rakyat
daerah
(DPRD)
agar
proses
penyelenggaraan
pemerintahan di daerah dapat dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah.
Jika dikaji dalam sudut pandang peraturan perundang-undangan maka asas desentralisasi mempunyai makna:
-
Penyerahan wewenang perundang-undangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah atas inisiatif dan menurut kebijaksanaan sendiri.
-
Pelimpahan wewenang perundang-undangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah menurut garis kebijaksanaan dari pemerintah pusat.
2. Asas dekonsentrasi
42
Menurut jeniarto, asas dekonsentrasi adalah asas pemeberian wewenang dari pemerintah pusat kepada alat-alat perlengkapan bawahan untuk menyelenggarakan urusan-urusannya yang terdapat d daerah. Asas dekonsentrasi ilawankan dengan asas konsentrasi yaitu suatu asas yang menyelenggarakan segala macam urusan Negara hanya oleh perlengkapan pemerintahan pusat yang berkedudukan di pusat pemerintahan Negara saja.
Amrah muslim mengemukaka bahwa dekonsntrasi adalah pelimpahan kewengangan dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat bawahan dalam lingkungan administrasi sentral, yang menjalankan pemerintahan atas nama pemerintah pusat.
Bagir manan mengemukakan bahwa dekonsentrasi merupakan mekanisme pemerintahan untuk menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah (bagir manan (1994:160)
3. Tugas pembantuan
Tugas pembantuan dapat berupa tindakan mengatur urusan di daerah baik berupa urusan eksekutif maupun urusan legilslatif untuk mempertanggun jawabkan kepada yang menugaskan (irawan soepto: 1990:117)
Perbedaan tugas pembantuan dan rumah tangga sendiri adalah urusannya bukan menjadi urursan rumah tangga sendiri, melainkan
43
merupakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah tingkat atas (joeniarto: 1992 :18)
Menurut amrah muslim istilah medebewind (tugas pembantuan) mengandung arti kewenangan pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Kewenangan ini mengenai tugas melaksanakan sendiri (zelf uitvoering) atas biaya dan tanggung jawab terakhir dari pemerintah tingkat atas yang bersangkutan.
Bagir manan mengatakan bahwa pada dasarnya tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
Daerah
terikat
melaksanakan
peraturan
perundang-undangan
termasuk yang diperintahkan atau diminta dalam rangka tugas pembantuan.
Sjachran basah menyatakan bahwa pada hakikatnya asas tugas pembantuan adalah menjalankan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkat derajatnya dari pihak lain secara bebas. Bebas dalam arti bahwa
terdapat
kemungkinan
untuk
mengadakan
peraturan
yang
mengkhususkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkat derajatnya, supaya sesuai dengan keadaan nyata di daerah-daerah sendiri (sjachran basah,1997:31)
44
Dalam perspektif otonomi daerah hari ini, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terbagi tiga yaitu
1. Hubungan dalam bidang kewenangan
Hubungan
dalam
bidang
kewenangan
berkaitan
dengan
cara
pembagian urusan penyelengaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. cara penentuan ini mencerminkan suatu bentuk otonomi luas atau otonomi terbatas.
Digolongkan sebagai otonomi terbatas jikalau memenuhi ketentuan berikut
-
Urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula
-
Apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
-
System hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
45
Sedangkan dalam penyelengaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat, otonomi luas bias saja bertolak belakang dengan prinsip Negara kesatuan republik Indonesia dimana dalam system Negara kita ada beberapa urusan pemerintahan yang tidak bisa didesentralisasikan, dalam UU no 32 tahun 2004 dijelaskan urusan-urusan pemerintahan yang tidak bisa dilimpahkan ke daerah -
Politik luar negeri, adalah urusan pengangkatan pejabat diplomatic dan menunjuk warga Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian
dengan
Negara
lain,
menetapkan
kebijakan
perdagangan luar negeri, dan sebagainya. -
Pertahanan, misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan Negara atau sebagian Negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan system pertahanan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap warga Negara, dan sebagainya.
-
Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak
46
setiap orang yang melanggar hukum Negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya menggangu keamanan Negara, dan sebagainya. -
Moneter dan fiscal nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter/fiscal, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya.
-
Yustisi,
misalnya
mendirikan
lembaga
pemasyarakatan,
menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesty, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berlaku secara nasional. -
Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberi hak pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.
Dalam bentuk lain juga ada pembagian urursan pemerintahan yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian terdapat pembagian urusan dalam hal yang sama, untuk mewujudkan hal itu ditentukan berbagai macam kriteria
47
a. Kriteria
eksternalitas,
kriteria
ini
menggunakan
pendekatan
dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Dampaknya dilihat dari skala daerah, provinsi sampai nasional. b. Kriteria akuntabilitas, Kriteria ini menggunakan pendekatan bahwa dalam urusan pemerintahan tertentu harus dlaksanakan oleh bagian yang memiliki kedekatan lebih langsung terhadap urusan tersebut sehingga akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat akan lebih terjamin. c. Kriteria Efisiensi, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersediannya sumber daya
(personal,
dana,
dan
peralatan)
untuk
mendapatkan
ketetapan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu. Ukuran daya guna dan hasil guna didasari oleh besarnya manfaat yang diraskan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang dihadapi. d. Keserasian hubungan, bahwa pengelolaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling bergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan system dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. 2. Hubungan dalam bentuk pembinaan dan pengawasan
48
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah didasarkan pada prinsip permusyawaratan yang dilakukan oleh masyarakat daerah sehingga prinsip demokratisasi harus dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Sebgaimana yang tertuang dalam pasil 1 (2) Undang-Undang No 32 tahun 2004 “pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerntah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”
Dalam artian bahwa setiap kebijakan mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah harus beradarkan pada aspirasi yang dikehendaki masyarakat, sesuai dengan prinsip otonomi sehingga setiap keinginan masyarakat bisa terpenuhi. Selain
pemberlakuan
asas
desentralisasi
penyelenggaraan
pemerintahan di daerah pun berprinsip pada asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Seiring dengan pemberlakuan asas-asas tersebut, pemerintah memberlakukan
sistem
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah dan/atau Gubernur selaku wakil pemerintah pusat yang ada
49
di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah, meliputi: -
koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan. Yang dilakukan secara berkala pada tingkat nasional, regional atau provinsi.
-
pemberian
pedoman
dan
standar
pelaksanaan
urusan
pemerintahan. Hal ini mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan -
pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
-
pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah,anggota dewan perwakilan rakyat daerah, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan masyarakat secara umum.
-
Perencanaan,
penelitian,
pengembangan,
pemantauan,
dan
evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Dilaksanakan secara berkala dengan bekerjasma dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Selanjutnya pemerintah pusat melakukan pengawasan dalam rangka menjamin keutuhan Negara republik Indonesia. Fungsi pengawasan ini sangat penting dalam rangka menjamin terlaksananya kebijaksanaan
50
pemerintah dan rencana pembangunan pada umumnya. Dalam organisasi pemerintah pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin: -
Keserasian antara penyelenggaraan pemerintah oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat
-
Kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna
Dalam model pengawasan pemerintah dikenal ada tiga model yang kerap kali digunakan yaitu pengawasan umum, pengawasan previntif dan pengawasan represif. a. Pengawasan umum Pengawasan umum adalah pengawasan pemerintah pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pengawasan umum ini meliputi bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peraltan, pembangunan, perumahan daerah, serta bidang yayasan dan lain-lain ditetapkan oleh menteri dalam negeri. b. Pengawasan preventif Pengawasan preventif mengharuskan setiap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu berlaku sesudah mendapatkan pengesahan dari menteri dalam negeri bagi peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tingkat I, dan oleh gubernur bagi peraturan
51
daerah dan keputusan kepala daerah tingkat II. Hal-hal yang membutuhakn pengesahan adalah: -
Menetapkan ketentuan-ketentuan yang menyangkut rakyat dan mengandung perintah, larangan, keharusan berbuat sesuatu yang ditujukan langsung kepada rakyat.
-
Mengadakan ancaman pidana berupa denda atau hukuman kurungan atas pelanggaran tertentu.
-
Memberikan bahan kepada rakyat (pajak, retribusi daerah)
-
Mengadakan utang piutang, menanggung pinjaman, mengadakan perusahaan daerah, menetapkan dan mengubah APBD, mengatur gaji pegawai.
c. Pengawasan represif Pengawasan represif menyangkut penangguhan atau pembatalan peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang tingkatnya lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang terhadap semua peraturan daerah dan keputusan kepala daerah. 3. hubungan perimbangan keuangan dalam aspek hubungan perimbangan keuangan secara rinci dibahas di bab V.
52
2.4. Bentuk-bentuk Hubungan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam era otonomi daerah ini, bentuk hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah terdiri dari dari: o Desentralisasi; o Dekonsentrasi dan tugas pembantuan; dan o Pinjaman daerah. 2.4.1. Desentralisasi Fiskal Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Dari sisi keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari APBN ke daerah dari tahun ke tahun.. Dengan kata lain, sekitar sekitar 25% belanja Pemerintah Pusat ditransfer untuk dikelola oleh Pemerintah Daerah. Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan
53
mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut: -
Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement
-
SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat
-
Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah
Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke Daerah melalui Dana Perimbangan telah menyebabkan berkurangnya porsi dana yang dikelola Pemerintah Pusat, sebaliknya porsi dana yang menjadi tanggung jawab Daerah melalui APBD meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga disertai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut.
54
Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggungjawab Daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada. Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas maka pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi
dan
tugas
pembantuan.
Pembiayaan
penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan azas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan. Selanjutnya
dalam
rangka
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pelayanan kepada masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, kepada Daerah
diberikan
kewenangan
untuk
memungut
pajak/retribusi
(tax
assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi
55
umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. 2.4.2. Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Selain dana perimbangan sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan desentralisasi, bentuk lain hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah adalah dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jika dana perimbangan bisa diartikan sebagai “block grant” atau transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dimana penggunaannya sepenuhnya diserahkan ke Pemerintah Daerah, bentuk hubungan yang terakhir ini masih didominsasi oleh Pemerintah Pusat. Dalam hubungan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Pemerintah Pusat ikut campur tangan langsung atas penggunaannya. Hubungan ini bisa dikatakan semacam “joint venture” antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Bentuk “joint venture” itu secara umum sama antara dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perbedaannya adalah pada rekan kerja Pemerintah Pusa a. Dekonsentrasi
56
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di propinsi. Dalam pelaksanaanya, instansi yang melaksanakan adalah dinas propinsi sebagai perangkat Pemerintah Daerah Propinsi. Latar belakang adanya dekon ini karena ada kegiatan-kegiatan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat yang harus dilakukan di daerah. Otonomi daerah “mengharuskan” Pemerintah Pusat menyerahkan tugas-tugas kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain seperti diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU 22/1999. Karena Pemerintah Pusat sudah tidak mempunyai instansi vertikal di daerah maka wewenang melaksanakan kegiatan tersebut dilimpahkan ke daerah. Sesuai dengan pengertiannya, karena wewenang tersebut sebenarnya merupakan wewenang Pemerintah Pusat, maka pendanaan atas pelaksanaan wewenang tersebut merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat dan dengan sendirinya bersumber dari APBN. Sebagai konsekuensinya, jika dikemudian hari kegiatan menghasilkan pendapatan maka pendapatan itu menjadi hak Pemerintah Pusat dan dipertanggungjawabkan melalui APBN. Penugasan Pemerintah Pusat yang dilimpahkan melalui dekonsentrasi antara lain fasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antar Daerah dalam wilayah kerjanya, penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan
57
ketertiban umum, pembinaan penyelenggaraan tugas-tugas umum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan sebagainya. Dalam
perkembangannya,
hingga
saat
ini
bentuk
hubungan
dekonsentrasi ini belum dapat benar-benar dilaksanakan. Pemerintah Pusat melalui departemen teknis masih melakukan kewenangannya dengan apa yang disebut Unit Pelaksana Teknis/UPT yang ada di daerah. Alasan untuk “memaklumi” hal tersebut memang ada di antara dua hal ini, yaitu daerah yang masih belum siap atau ketidaksiapan departemen teknis untuk menyerahkan wewenang itu. b. Tugas pembantuan Walaupun terpisah, bisa dikatakan bahwa bentuk hubungan tugas pembantuan mirip dengan dekonsentrasi, hanya yang menjadi sasaran Pemerintah Pusat ini adalah Pemerintah Daerah dan Desa serta sifatnya bukan pelimpahan kewenangan tapi penugasan. Disamping itu, pihak yang memberikan tugas pembantuan tidak terbatas dari Pemerintah Pusat tapi bisa berasal dari tingkatan pemerintah di atasnya seperti dari Pemerintah Propinsi ke Kabupaten atau Kabupaten ke Desa. Dalam hal kewenangan yang dilaksanakan oleh Pemda/Desa berasal dari Pemerintah Pusat, maka dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan dimaksud berasal dari APBN. Sebagai akibatnya, bilamana ada pendapatan yang berasal dari kegiatan tersebut, maka pendapatan itu juga harus mengalir ke Pemerintah Pusat.
58
Seperti halnya dengan dekonsentrasi, pelaksanaan tugas pembantuan hingga saat ini belum berjalan sesuai dengan amanat PP 106/2000 2.4.3. Pinjaman Daerah Bentuk hubungan yang terakhir ini berbeda dengan dua bentuk di atas dalam hal sumber pembiayaannya. Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan
dengan
penyediaan
prasarana
yang
dapat
menghasilkan
(pengeluaran modal), Daerah dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan dan melalui Pusat. Sumber pinjaman bisa berasal dari sumber di luar keuangan negara, yaitu jika pinjaman berasal dari lembaga swasta atau masyarakat langsung. Penggunaan : prasarana yang akan menjadi aset Daerah. Selain memberikan manfaat bagi pelayanan umum, diharapkan aset itu juga dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman. -
Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas Daerah yang sifatnya hanya untuk membantu likuiditas.
59
Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman)
dalam
kerangka
desentralisasi
fiskal
saat
ini
merupakan
permasalahan yang mendesak dan perlu segera diselesaikan, mengingat halhal berikut : -
Sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri untuk Pemerintah Daerah telah ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena mekanisme-nya belum diatur secara jelas;
-
Sebagian proyek-proyek pinjaman sedang berjalan (on-going);
-
Mekanisme
untuk
repayment/disbursement
terhadap
pokok
pinjaman, bunga dan resiko terhadap perubahan nilai kurs (foreign ex-change risk) belum diatur secara rinci; -
Jaminan terhadap pinjaman daerah masih belum jelas
-
Akuntabilitas terhadap pemanfaatan pinjaman daerah belum jelas.
Guna penyelesaian permasalahan on-lending, Pemerintah segera mengantisipasi dengan mengambil langkah-langkah penyelesaian berikut: a. Merumuskan kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri dalam kerangka desentralisasi fiskal; dan b. Menyusun “mapping” kapasitas Daerah untuk melakukan pinjaman. Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, bersama Ditjen Anggaran dan Ditjen Lembaga Keuangan sedang melakukan pembahasan dengan instansi-instansi terkait
60
guna merumuskan kebijakan mengenai on-lending, dan menyampaikan konsep kebijakan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk mendapat penetapan.
61
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Keadaan
Geografi,
kependudukan,
Sosial,
Ekonomi
dan
Pemerintahan Kota Makassar 3.1.1 Keadaan Geografis
Kota Makassar dari 1971 hingga 1999 secara resmi dikenal sebagai Ujung Pandang adalah sebuah kotamadya dan sekaligus ibu kota provinsi Sulawesi Selatan.Kota ini adalah kota terbesar di kawasan Indonesia timur dengan titik kordinat pada5°8′S 119°25′E / 5.133°LS 119.417°BT di pesisir barat daya pulau Sulawesi berhadapan dengan Selat Makassar
Makassar berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah barat, Kabupaten Kepulauan Pangkajene di sebelah utara, Kabupaten Maros di sebelah timur dan Kabupaten Gowa di sebelah selatan.
Jumlah kecamatan di kota Makassar sebanyak 14 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Diantara kecamatan tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya. Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis Makassar, memberi penjelasan bahwa secara geografis, kota Makassar
62
memang sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi maupun politik. Dari sisi ekonomi, Makassar menjadi simpul jasa distribusi yang tentunya akan lebih efisien dibandingkan daerah lain. Memang selama ini kebijakan makro pemerintah yang seolah-olah menjadikan Surabaya sebagai home base pengelolaan produk-produk draft kawasan Timur Indonesia, membuat Makassar kurang dikembangkan secara optimal. Padahal dengan mengembangkan Makassar, otomatis akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan Timur Indonesia dan percepatan pembangunan. Dengan demikian, dilihat dari sisi letak dan kondisi geografis - Makassar memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah lain di kawasan Timur Indonesia. Saat ini Kota Makassar dijadikan inti pengembangan wilayah terpadu Mamminasata.
Kota dengan ciri khas kemacetannya sebagian besar dikarenakan oleh kendaran umum (pete-pete) ini tergolong salah satu kota terbesar di Indonesia dari aspek pembangunannya. Sebut saja beberapa mega proyek yang berhasil dirampungkan kota Makassar dalam kurun waktu satu dekade ini bandara internasional hasanuddin, kalla tower, menara bosowa, fajar graha pena, tolreformasi, fly over, anjungan pantai losari semakin mempertegas simbolitas kota Makassar sebagai kota metropolitan. Tidak berhenti sampai disitu kota ini terus mencanangkan berbagai mega proyek yang akan semakin memajukan kota makasar.
63
Secara demografis kota Makassar dihuni oleh berbagai suku bangsa yang menetap di kota ini. Suku yang signifikan jumlahnya di kota Makassar adalah suku Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Buton, Jawa, dan Tionghoa. Namun demgam heterogennya suku bangsa yang bermukim di kota ini justru semakin menjadikan kota yang dikenal dengan massakan khas seperti Makanan seperti Coto Makassar, Palubutung, Pisang Ijo, Sop Saudara dan Sop Konro ini berkembang.
Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Kota Makassar terdiri dari tanah inceptisol dan tanah ultisol. Jenis tanah inceptisol terdapat hampir di seluruh wilayah Kota Makassar, merupakan tanah yang tergolong sebagai tanah muda dengan tingkat perkembangan lemah yang dicirikan oleh horison penciri kambik. Tanah ini terbentuk dari berbagai macam bahan induk, yaitu aluvium (fluviatil dan marin), batu pasir, batu liat, dan batu gamping. Penyebaran tanah ini terutama di daerah dataran antara perbukitan, tanggul sungai, rawa belakang sungai, dataran aluvial, sebagian dataran struktural berelief datar, landform struktural/ tektonik, dan dataran/ perbukitan volkanik. Kadang-kadang berada pada kondisi tergenang untuk selang waktu yang cukup lama pada kedalaman 40 sampai 50 cm. Tanah Inceptisol memiliki horison cambic pada horison B yang dicirikan dengan adanya kandungan liat yang belum terbentuk dengan baik akibat proses basah kering dan proses penghanyutan pada lapisan tanah.
64
Jenis tanah ultisol merupakan tanah berwarna kemerahan yang banyak mengandung lapisan tanah liat dan bersifat asam. Warna tersebut terjadi akibat kandungan logam – terutama besi dan aluminium – yang teroksidasi (weathered soil). Umum terdapat di wilayah tropis pada hutan hujan, secara alamiah cocok untuk kultivasi atau penanaman hutan. Selain itu juga merupakan material yang stabil digunakan dalam konstruksi bangunan.
Tanah ultisol berkembang dari batuan sedimen masam (batupasir dan batuliat) dan sedikit dari batuan volkano tua. Penyebaran utama terdapat pada landform tektonik/struktural dengan relief datar hingga berbukit dan bergunung. Tanah yang mempunyai horison argilik atau kandik dan memiliki kejenuhan basa sebesar kurang dari 35 persen pada ke dalaman 125 cm atau lebih di bawah batas atas horison argilik atau kandik. Tanah ini telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi translokasi liat pada bahan induk yang umumnya terdiri dari bahan kaya aluminium silika dengan iklim basah. Sifat-sifat utamanya men-cerminkan kondisi telah mengalami pencucian intensif, diantaranya miskin unsur hara N, P, dan K, sangat masam sampai masam, miskin bahan organik, lapisan bawah kaya aluminimum (Al), dan peka terhadap erosi.
Parameter yang menentukan persebaran jenis tanah di wilayah Kota Makassar adalah jenis batuan, iklim, dan geomorfologi lokal, sehingga
65
perkembangannya ditentukan oleh tingkat pelapukan batuan pada kawasan tersebut. Kualitas tanah mempunyai pengaruh yang besar terhadap intensitas penggunaan lahannya. Tanah-tanah yang sudah berkembang horizonnya akan semakin intensif dipergunakan, terutama untuk kegiatan budidaya. Sedangkan kawasan-kawasan yang mempunyai perkembangan lapisan tanahnya masih tipis bisa dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya. Penentuan kualitas
tanah
dan
penyebarannya
ini
akan
sangat
berarti
dalam
pengembangan wilayah di Makassar, karena wilayah Makassar terdiri dari laut, dataran rendah dan dataran tinggi, sehingga perlu dibuatkan prioritasprioritas penggunaan lahan yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan intensitas pemanfaatannya. Dari fakta di lapangan terlihat bahwa pada wilayah perkotaan seperti Kota Makassar sudah jarang terdapat lahan kosong milik negara atau lahanlahan mentah lainnya. Maka akan lebih mengena jika lahan yang ada dikategorikan berdasarkan kriteria-kriteria yang mengarah pada trend dan visualisasi psikologis dari area-area yang ada dan membaginya dalam bentuk tipologi kawasan, dibanding metode tradisional yang hanya mengandalkan pengkategorian pada visual lahan yang masih kosong, ada vegetasi, atau terbangun. Sehingga bila dilihat berdasarkan keadaan litologi, topografi, jenis tanah, iklim dan vegetasi yang ada, Kota Makassar direkomendasikan sebagian besar untuk kawasan pengembangan budidaya karena tidak ada syarat yang memenuhi sebagai kawasan lindung. Mencermati pembagian
66
lahan dalam wilayah Makassar dibagi dengan peruntukan kawasan sebagai berikut, Kawasan Mantap 38 %, Kawasan Peralihan 11 %, dan Kawasan Dinamis 51 %. Wilayah daratan Kota Makassar dirinci menurut kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut : Luas Wilayah Menurut Kecamatan Di Kota Makassar Kode
Kecamatan
Wilayah
Luas
Persentase terhadap luas
area(km2)
Kota Makassar(%)
(1)
(2)
(3)
(4)
010
MARISO
1,82
1,04
020
MAMAJANG
2,25
1,28
030
TAMALATE
20,21
11,50
031
RAPPOCINI
9,23
5,25
040
MAKASSAR
2,52
1,43
050
UJUNG
2,63
1,50
060
PANDANG
1,99
1,13
070
WAJO
2,10
1,19
080
BONTOALA
5,94
3,38
090
UJUNG TANAH
5,83
3,32
100
TALLO
17,05
9,70
110
PANAKKUKANG
24,14
13,73
101
MANGGALA
48,22
27,43
111
BIRINGKANAYA
31,84
18,11
7371
MAKASSAR
175,77
100,00
Sumber : Makassar dalam angka tahun 2010.
67
Dari gambaran selintas mengenai kondisi geografis Kota Makassar, memberikan penjelasan bahwa secara geografis , Kota Makassar memang sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi maupun politik. Dari sisi ekonomi, Makassar menjadi simpul jasa distribusi yang tentunya akan lebih efisien dibandingakan daerah lain. Memang selama ini kebijakan makro Pemerintah yang seolah-olah menjadikan Surabaya homebase pengelolaan produk-produk draft kawasan timur Indonesia, membuat Makassar kurang dikembangkan secara optimal, padahal dengan mengembangkan Makassar, otomatis akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan percepatan pembangunan dikawasan timur indinesia. Terlebih kedepannya berbagai proyek pembangunan Kota akan dilakukan guna menciptakan pembangunan nasional khususnya dikawasan timur Indonesia. Dengan demikan, dilihat dari sisi letak geografis Kota Makassar memiliki keunggulan komparatif dibandingkan derngan daerah lain yang ada dikawasan timur Indonesia.
68
3.1.2 Kondisi kependudukan Kota Makassar Penduduk Kota Makassar tahun 2009 tercatat sebanyak 1.272.349 jiwa yang terdiri dari 610.270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Sementara itu jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2008 tercatat sebanyak 1.253.656 jiwa Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin Rasio jenis kelamin penduduk Kota Makassar yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 92 penduduk laki-laki Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan, menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi diwilayah kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 154.464 atau sekitar 12,14 persen dari total penduduk, disusul kecamatan Rappocini sebanyak 145.090 jiwa (11,40 persen). Kecamatan Panakkukang sebanyak 136.555 jiwa (10,73 persen), dan yang terendah adalah kecamatan Ujung Pandang sebanyak 29.064 jiwa (2,28 persen). Ditinjau dari kepadatan penduduk kecamatan Makassar adalah terpadat yaitu 33.390 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso (30.457 jiwa per km persegi), kecamatan Bontoala (29.872 jiwa per km persegi). Sedang kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah yaitu sekitar 2.709 jiwa per km persegi, kemudian kecamatan Tamalanrea 2.841 jiwa per km persegi), Manggala (4.163 jiwa per km persegi), kecamatan Ujung Tanah (8.266 jiwa per km persegi), kecamatan Panakkukang 8.009 jiwa per km persegi.
69
Wilayah-wilayah yang kepadatan penduduknya masih rendah tersebut masih memungkinkan untuk pengembangan daerah pemukiman terutama di 3 (tiga) kecamatan yaitu Biringkanaya, Tamalanrea, Manggala. jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan di kota makassar 2008-2009
Persebaran Penduduk Kota MakassarKode Wilayah
Kecamatan
Laju Pertumbuhan Penduduk 2008
Laju Pertumbuhan Penduduk 2009
Laju Pertumbuhan Penduduk 20002009
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
10
Mariso
54.616
55.431
0,93
020
Mamajang
60.394
61.294
0,45
030
Tamalate
152.197
154.464
2,08
031
Rappocini
142.958
145.090
1,62
040
Makassar
82.907
84.143
0,54
050
Ujung pandang
28.637
29.064
0,51
060
Wajo
35.011
35.533
0,45
070
Bontoala
61.809
62.731
1,09
080
Ujung tanah
48.382
49.103
1,21
090
Tallo
135.315
137.333
1,94
100
Panakkukang
134.548
136.555
1,09
101
Manggala
99.008
100.484
2,98
110
Biringkanaya
128.731
130.651
3,57
111
Tamalanrea
89.143
90.473
1,15
7371
Makassar
1.253.656
1.272.349
1,63
Sumber : Makassar dalam angka 2010
70
Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin diKota Makassar pada tahun 2009.
Kelompok Umur
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
0–4
67.309
56.306
123.615
5-9
63.494
66.162
129.656
10 – 14
61.488
56.040
117.528
15 – 19
60.285
72.389
132.674
20 – 24
66.806
87.280
154.086
25 – 29
56.272
71.356
127.628
30 – 34
55.521
56.561
112.082
35 – 39
45.491
52.304
97.795
40 – 44
37.014
29.526
66.540
45 – 49
25.729
29.164
54.893
50 – 54
18.456
24.183
42.639
55 – 59
15.296
19.563
34.859
60 – 64
18.558
17.179
35.737
65+
18.551
24.066
42.617
Jumlah/Total
610.270
662.079
1.272.349
Sumber : Makassar dalam angka tahun 2010
71
3.1.3 Kondisi Perekonomian Masyarakat di kota Makassar Sejalan dengan perkembangan Kota Makassar, kegiatan ekonomi juga semakin pesat ini ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan perdagangan yang sekarang telah mencapai 14.584 unit usaha yang terdiri dari 1.460 perdagangan besar, 5.550 perdagangan menengah dan 7.574 perdagangan kecil. Kemudian terdapat 21 industri besar dan 40 industri sedang yang terkonsentrasi di kecamatan Biringkanaya dan konsentrasi industri besar kedua terdapat di kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Panakkukang masing-masing 5 unit. Sementara itu kawasan perdagangan utama Kota Makassar terdapat di Pasar Sentral (Makassar Mall) sebagai pusat dan wilayah Panakkukang dan Daya sebagai sub pusat pelayanan selain itu terdapat 4 Mall (Mall Ratu Indah, Mall panakkukang, Makassar town square, Makassar trade center) dan kawasan perdagangan Somba Opu, sedangkan JI. Jend. Sudirman, jl. DR. Ratulangi cenderung untuk berubah menjadi kawasan perdagangan. Perdagangan kota Makassar tergolong maju. Pusat-pusat perniagaan dari
pasar-pasar
tradisional, pasar
grosir
sampai
mall-mall modern
berkembang pesat. Sektor perdagangan terkait erat dengan sektor industri dan transportasi. Untuk mengantisipasi perkembangan industri dan tata kota, pemda telah menyediakan lahan untuk kawasan industri seluas 200 hektar dengan nama PT Kawasan Industry Makassar (KIMA).
72
Selain dari jumlah industri yang ada diKota Makassar pembangunan ekonomi yang selama ini mengalami kemajuan yang signifikan dapat disorot dengan menggunakan indikator ekonomi makro terutama dari produk domestik regional bruto(PDRB) dan pertumbuhan ekonomi, kenaikan PDRB menunjukkan bahwa produktif.
perekonomian
Kota
Makassar berjalan
dengan
73
3.2.
Visi dan Misi kota Makassar
Visi merupakan atau bentuk masa depan yang diharapkan. Rumusan visi mencerminkan kebutuhan yang fundamental dan sekaligus merefleksikan dinamika pembangunan dari berbagai aspek. Dalam konteks itu Pemerintah Kota Makassar tahun 2010, sesuai rencana pembangunan jangka menengah daerah Kota Makassar (RPJMD) tahun 2005 - 2010 (PERDA No. 9 Tahun 2006) dengan rumusan: ”Terwujudnya Makassar Sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan Yang Bermartabat Dan Manusiawi”.
Berdasarkan
visi
Pemerintah
Kota
Makassar
tersebut
pada
hakekatnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya visi Kota Makassar kedepan, maka dirumuskan misi Kota Makassar tahun 2010 sebagai berikut : 1. Mengembangkan kultur maritim dengan dukungan infrastruktur bagi kepentingan lokal, regional, nasional dan internasional; 2. Mendorong tumbuhnya pusat-pusat perniagaan melalui optimalisasi potensi lokal; 3. Mendorong peningkatan kualitas manusia melalui pemerataan pelayaan
pendidikan,
peningkatan
derajat
kesehatan
dan
kesejahteraan masyarakat; 4.
Mengembangkan apresiasi budaya dan pengamalan nilai-nilai agama berbasis kemajemukan masyarakat;
74
5.
Mengembangkan sistem Pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, melalui peningkatan profesionalisme aparatur;
6. Mendorong terciptanya stabilitas, kenyamanan dan tertib lingkungan 7. Peningkatan infrastruktur Kota dan pelayanan publik.
.
75
3.3 Institusi-institusi pemerintahan 3.3.1 Pemerintah kota Makassar Dibawah tampuk kepemimpinan bapak Ir. H. M. Ilham Arief Sirajuddin dan Drs. H. Supomo Guntur MM yang berhasil memenangkan pemilu di tahun 2008. Struktur pemerintahan kota Makassar tidak banyak berubah. Satuan kerja perangkat daerah yang bertugas menyokong kinerja seluruhnya berjumlah 37 SKPD. 1. Badan pendidikan dan Pelatihan mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana, membina, menyiapkan bahan perumusan teknis penyelenggaraan
pendidikan
dan
pelatihan,
Prajabatan,
dan
pelaksanaan koordinasi dengan unit kerja terkait 2. Badan
Keluarga
Berencana
mempunyai
tugas
melaksanakan
koordinasi lintas sektor terkait dalam pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi serta jaminan ketersediaan alat kontrasepsi. 3. Badan lingkungan hidup mempunyai tugas menyiapkan bahan kebijakan teknis kelayakan dokumen lingkungan, upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan dan pengendalian teknis penerapan rencana pengelolaan lingkungan hidup serta laporan hasil penilaian dokumen amdal. 4. Badan
perencanaan
menyusun
rencana
menganalisa
pembangunan kerja,
program
daerah
menyiapkan
pembangunan
mempunyai
bahan, bidang
mengolah
tugas dan
perindustrian,
76
perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, penanaman modal, pertambangan dan energi. 5. Badan kepegawaian daerah mempunyai tugas menyusun rencana kerja, melakukan pengumpulan bahan penyusunan perencanaan formasi pegawai dan menyusun laporan dibidang kepegawaian 6. Badan pemberdayaan Masyarakat mempunyai tugas menyusun rencana
dan
melakukan
pemberdayaan
kemasyarakatan
di
Kecamatan dan Kelurahan serta menyusun laporan pelaksanaan tugas. 7. Dinas kelautan, perikanan, pertanian, dan peternakan mempunyai tugas melaksanakan pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil serta
perlindungan,
pengawasan
dan
pemanfaatan
potensi
sumberdaya perairan, pembinaan dan pengembangan produksi dan usaha perikanan serta pembinaan kelembagaan dan kemitraan usaha budidaya perikanan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan, pengelolaan, pengolahan hasil dan pembinaan data pemasaran pada bidang pertanian. pembinaan dan pengembangan, pengelolaan hasil dan tata pemasaran pada bidang peternakan. 8. Dinas
kependudukan
dan
catatan
sipil
mempunyai
tugas
melaksanakan pembinaan dan peningkatan pelayanan administrasi kependudukan Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing.
77
9. Dinas Kesehatan mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, kesehatan khusus, farmasi, perbekalan kesehatan, pengawasan obat, dan makanan. 10. Dinas koperasi dan usaha kecil dan menengah mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan, manajemen dan usaha koperasi serta pembinaan dan pengembangan usaha kecil dan menengah dibidang industri pertanian, industri non pertanian, perdagangan aneka usaha sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 11. Dinas pekerjaan umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis di bidang pembangunan, pemeliharaan serta pengawasan & penelitian pengelolaan perumahan, pembinaan terhadap pengusaha, pengembang
perumahan,
dan
pengawasan
dan
penertiban
penghunian rumah dinas, serta pembangunan, gedung, rumah dinas, prasarana
umum
milik
pemerintah
serta
menyelenggarakan
pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan serta rencana tahunan pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar. 12. Dinas
pemadam
kebakaran
dan
penanggulangan
bencana
melaksanakan operasional dibidang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran dan alam, memberi pertolongan, membina peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakarandan alam sesuai wilayah kerja.
78
13. Dinas pemuda dan olahraga mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan pemberdayaan kelembagaan pemuda serta menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan serta pemberdayaan kelembagaan dalam pembangunan sarana olahraga. 14. Dinas pendapatan daerah mempunyai tugas melaksanakan pelayanan administrasi,
pendataan,
penetapan,
keberatan,
penagihan,
pembukuan, verifikasi dan pelaporan Pajak Hotel, Pajak Hiburan, Pajak Restoran Pajak Parkir Pajak Reklame dan Retribusi Daerah serta melaksanakan tugas pokok mengendalikan, merencanakan, merumuskan serta melakukan pengembangan, evaluasi, pengendalian dan pelaporan serta audit pajak dan retribusi. 15. Dinas pendidikan bertugas melaksanakan rencana kerja program dan pengembangan kurikulum pendidikan TK, SD, SMP dan SMA menilai dan menetapkan izin operasi pendidikan, menata kebutuhan tenaga pendidik
dan
kependidikan
serta
melaksanakan
pembinaan
peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan dan penguatan mutu pendidikan. 16. Dinas Perhubungan mempunyai tugas menyiapkan pembinaan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan kota, jalan propinsi dan nasional yang berada di kota Makassar serta pemeliharaan prasarana lalu lintas yang ada di Kota Makassar, melakukan kajian lalu lintas terhadap suatu pengembangan kawasan Kota Makassar sesuai
79
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melakukan pengelolaan angkutan orang, angkutan barang, angkutan orang bersifat khusus, angkutan barang bersifat khusus, dan angkutan laut yang seluruhnya berada di dalam wilayah Kota Makassar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku 17. Dinas pertamanan dan kebersihan mempunyai tugas melaksanakan pembangunan dan pemeliharaan taman, tata keindahan taman (dekorasi) kota serta pembibitan dan pengembangan tanaman serta perencanaan,
pembangunan,
pengembangan
dan
evaluasi
pengelolaan kawasan penghijauan kota. 18. Dinas sosial mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pengendalian bantuan, pemberian bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial termasuk pengendalian daerah rawan bencana dan daerah kumuh, bantuan kepada masyarakat fakir miskin serta bantuan kepada korban bencana alam dan sosial serta pelayanan kepada orang terlantar serta melaksanakan
pembinaan
dan
pelayanan
terhadap
Organisasi
Sosial/LSM dan anak terlantar, pengendalian dan penertiban usaha pengumpulan melaksanakan
sumbangan pembinaan
sosial dan
dan
undian
pemahaman
berhadiah
serta
pelestarian
nilai
kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta kesetiakawanan sosial.
80
19. Dinas tenaga kerja mempunyai tugas menyusun konsep kebijakan, menyusun
rencana
mengarahkan,
operasional,
menyelenggarakan,
mengkoordinasikan, mengevaluasi,
membina, melaporkan
penyusunan rencana tenaga kerja, penyebarluasan informasi pasar kerja, pelaksanaan penempatan tenaga kerja. 20. Dinas kebudayaan dan pariwisata mempunyai tugas melaksanakan program/kegiatan di bidang kebudayaan, kesenian dan perfilman, kajian sejarah dan nilai tradisonal serta melaksanakan pengembangan usaha pariwisata, penyelenggaraan sarana pariwisata, obyek wisata, dan perjalanan wisata. 21. Dinas komunikasi dan informatika mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pengumpulan/pengolahan data informasi, aplikasi dan telematika
dalam
rangka
penyusunan
perumusan
bidang
pengembangan informasi, aplikasi dan telematika. 22. Dinas perindustrian, perdagangan dan penanaman modal mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan usaha industri, melaksanakan pembinaan dan pengembangan sarana dan usaha perdagangan, pendaftaran perusahaan serta penyuluhan terhadap Pedagang Kaki Lima (PK-5), melaksanakan pengkajian, penelitian dan promosi potensi daerah, penyusunan profil investasi daerah serta melakukan kerjasama antar daerah dalam dan luar negeri .
81
23. Dinas tata ruang dan bangunan mempunyai tugas melaksanakan perumusan
kebijakan
pengembangan
kota
teknis dan
perencanaan
melaksanakan
penataan
perumusan
dan
kebijakan
pengendalian tata letak bangunan dan tanah. 24. Inspektorat
mempunyai
tugas
mengawasi
pemerintah
dalam
melaksanakan tugas dalam beberapa bidang seperti pembangunan, pemeintahan, keuangan dan kemasyarakatan 25. Kantor arsip, pepustakaan dan pengolahan data mempunyai tugas mengatur tata kelola pengasrispan data sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. 26. Kantor kesatuan bangsa mempunyai tugas memberikan penyuluhanpenyuluhan kepada masyarakat agar tidak terjadi disintegrasi, kriminalitas serta usaha antisipasi terhadap bencana alam. 27. Kantor ketahanan pangan melaksanakan pemantauan, pendistribusian pangan, peningkatan mutu pangan dan gizi masyarakat. 28. Kantor pemberdayaan perempuan mempunyai tugas menyusun rencana,
program,
kelembagaan
perempuan
dan
anak,
serta
pemahaman dan pengetahuan tentang pengarusutamaan perempuan dan anak 29. Kantor pelayanan administrasi perizinan mempunyai tugas memproses penerbitan izin yang telah mendapat rekomendasi dari instansi teknis.
82
30. Kantor kecamatan mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan penyelenggaraan pembinaan ideologi negara dan kesatuan bangsa, pembinaan kerukunan hidup beragama, pengkoordinasian kegiatan instansi pemerintah, pembinaan administrasi kelurahan, serta pembinaan
administrasi
kependudukan
serta
penyelenggaraan
pembinaan ketentraman dan ketertiban serta kemasyarakatan, 31. Pelaksana harian badan narkotika mempunyai tugas menyusun rencana, menyiapkan bahan pembinaan, pemantauan pengawasan dan pengendalian, peningkatan partisipasi masyarakat, fasilitasi pembentukan lembaga masyarakat serta melaksanakan monitoring, evaluasi dan pelaporan dibidang pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). 32. Rumah
sakit
umum
daerah
mempunyai
tugas
merencanakan
membina, menyusun standar dan mengkoordinasi memantau dan mengevaluasi seluruh kegiatan dibibang pelayanan medik. 33. Satuan
polisi
pengendalian
pamong
praja
operasional
mempunyai
tugas
penyelenggaraan
melaksanakan
ketentraman
dan
ketertiban umum, penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota serta kegiatan pengamanan dan pengawalan. 34. Sekretariat daerah dimana di dalamnya termuat asisten I yang mengurusi tentang bidang pemerintahan, asisten II mengurusi tentang bidang perekonomian, pembangunan dan social, asisten III mengurusi
83
bidang tentang keuangan dan asset, asisten IV mengurusi bidang tentang administrasi umum 35. Sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah mempunyai tugas melaksanakan penyiapan fasilitas rapat, fasilitas perjalanan dinas, surat menyurat, penyusunan kepegawaian Sekretariat DPRD serta menyiapkan
pembinaan
pengembangan
humas,
keprotokolan,
penerimaan aspirasi serta penyiapan dan penyebarluasan informasi. 36. Sekretariat korps pegawai republik Indonesia (KORPRI) mempunyai tugas
menyusun
rencana,
melaksanakan
ketatausahaan,
kepegawaian dan ketatalaksanaan, melakukan kerjasama.
3.3.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar
Jumlah anggota DPRD Kota Makassar tahun 2009 sebanyak 50 orang merupakan wakil dari 7 fraksi, 7 orang adalah perempuan, hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan telah diperhitungkan untuk menduduki jabatan legislatif sekalipun porsinya masih relatif kecil sebesar 14 %. Dalam menjalankan tugasnya DPRD Kota Makassar pada tahun 2009 telah menghasilkan 17 peraturan daerah, 33 keputusan dewan dan 29 keputusan pimpinan dewan (MDA).
DPRD mempunyai tugas dan wewenang :
84
1. Membentuk peraturan daerah bersama Walikota.
2. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD yang diajukan oleh Walikota;
3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD;
4. Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Walikota dan/atau Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
5.
Memilih Wakil Walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil
Walikota;
6. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
7. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
8. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
85
9. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
10.
Mengupayakan
terlaksananya
kewajiban
daerah
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
11. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
Badan Anggaran
1. Badan Anggaran merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. 2. Anggota Badan Anggaran diusulkan oleh masing-masing fraksi dengan mempertimbangkan keanggotaannya dalam tiap-tiap komisi dan paling banyak ½ (setengah) dari jumlah anggota DPRD. 3. Ketua dan wakil ketua DPRD karena jabatannya adalah pimpinan Badan Anggaran merangkap anggota. 4. Susunan keanggotaan, ketua dan wakil ketua Badan Anggaran ditetapkan dalam rapat paripurna.
86
5. Sekretaris DPRD karena
jabatannya
adalah sekretaris Badan
Anggaran bukan sebagai anggota. 6. Penempatan
anggota
DPRD
dalam
Badan
Anggaran
dan
perpindahannya ke alat kelengkapan DPRD lainnya didasarkan atas usul fraksi dan dapat dilakukan setiap awal tahun anggaran.
Badan Anggaran mempunyai tugas :
1. Memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD, kepada
Walikota
dalam
mempersiapkan
rancangan
anggaran
pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkan APBD. 2. Melakukan konsultasi yang dapat diwakili oleh anggotanya kepada komisi terkait untuk memperoleh masukan dalam rangka pembahasan rancangan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara. 3. Memberikan
saran
dan
pendapat
kepada
Walikota
dalam
mempersiapkan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. 4. Melakukan penyempurnaan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban
87
pelaksanaan APBD berdasarkan hasil evaluasi gubernur bersama tim anggaran pemerintah daerah. 5. Melakukan pembahasan bersama tim anggaran pemerintah daerah terhadap rancangan kebijakan umum APBD serta rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara yang disampaikan oleh Walikota. 6. Memberikan saran kepada pimpinan DPRD dalam penyusunan anggaran belanja DPRD.
Penelitian ini dilakukan di badan anggaran DPRD kota Makassar. Berikut nama-nama anggota badan anggaran
No.
Nama
Asal Parpol
Jabatan
1.
Haidar Majid S.sos
PAN
Kordinator badan anggaran
2.
Rafiuddin Kasude
Golkar
Anggota badan anggaran
3.
Erik Horas
Gerindra
Anggota badan anggaran
4.
H.Hasanuddin leo S.E M.Si
PDK
Anggota badan anggaran
5.
Irwan S.T
PKS
Anggota badan anggaran
6.
Hamzah Dorahing SE.Ak M.Si
PPP
Anggota badan anggaran
7.
Ir Farouk M Betta MM
Golkar
Anggota badan anggaran
3.3.3 Direktorat jenderal perimbangan keuangan
Dibentuk sesuai amanat Pasal 18A UUD 1945, Pasal 2d, 2e dan 2f Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004, dan Pasal 2 Undang Undang Nomor
88
33 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah merupakan hal yang penting dan strategis dalam rangka pengelolaan keuangan negara. Hal tersebut mengingat peta pengelolaan keuangan mengikuti kewenangan yang telah diserahkan kepada daerah dimana jumlah dana yang disalurkan ke daerah melalui pos Belanja Untuk Daerah dalam APBN cenderung meningkat setiap tahunnya.
Sampai dengan saat ini, tidak ada unit kerja di lingkungan Pemerintah Pusat yang ditugaskan menangani secara khusus pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara terpadu.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Departemen Keuangan merupakan pengabungan dari beberapa unit eselon II dari Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional (BAPPEKI) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2006 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia. Dengan
terbentuknya
unit
baru
tersebut
diharapkan
kebijakan
dan
standarisasi teknis di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dapat lebih focus dan terarah sejalan dengan skenario (road map) yang telah dicanangkan.
89
Tugas Pokok "Merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah" fungsi :
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Pelaksanaan kebijakan di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
Wewenang :
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
90
Menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, pemantauan, analisis, dan evaluasi di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Menyiapkan
perumusan
kebijakan,
koordinasi
dan
fasilitasi,
perhitungan alokasi, standardisasi, bimbingan teknis, pemantauan dan evaluasi di bidang belanja untuk daerah (Dana Perimbangan dan Dana Otonomi khusus).
Menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi di bidang pinjaman, hibah dan kapasitas daerah
Menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi pendanaan daerah serta penyelenggaraan informasi keuangan daerah.
Memberikan pelayanan teknis dan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
91
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini diuraikan hasil penelitian yang didapatkan penulis selama melakukan penelitian di berbagai instansi dan stackholder yang berkaitan dengan hubungan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah di kota Makassar. 4.1. Pola Hubungan Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota Makassar 4.1.1. Kondisi normatif Hubungan perimbangan keuangan Dalam menganalisis pola hubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal ini sebaiknya dimulai dari halhal normatif yang menjadi landasan proses perimbangan keuangan ini. Sejak berdirinya sistem otonomi daerah pada tahun 2001, Negara Indonesia hingga kini masih terus berproses mencari bentuk hubungan antara pemerintah di daerah dan pemerintah pusat demi menjaga stabilitas nasional, demikian pun dalam bidang keuangan. Untuk mengatasi hal itu pemerintah mendeklarasikan UU no 33 tahun 2004 yang kemudian mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peristilahan tentang dana perimbangan pusat dan daerah merupakan kondekuensi logis dari suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan efisien dalam rangka pendanaan
92
desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang termaktub dalam UU no 32 tahun 2004, UU No 33 tahun 2004 dan PP No 55 tahun 2005. Asas desentralisasi yang memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri mengindikasikan adanya dua pihak yang akan saling berhubungan. Dalam UU no 33 tahun 2004 dirincikan bahwa dana perimbangan keuangan terbagi menjadi tiga bagian yaitu dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana aloksi khusus. a. Dana bagi hasil Dana bagi hasil terbagi dalam dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan dengan ketentuan bahwa penerimaan Negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi dengan imbangan 10 % untuk pemerintah pusat dan 90 % untuk daerah, dana untuk daerah yang dimaksud kemudian dibagi menjadi -
16,2 % untuk provinsi yang bersangkutan
-
64, 8 % untuk daerah yang bersangkutan
-
9 % untuk biaya pemungutan
Kemudian dana 10 % pemerintah pusat dialokasikan lagi oleh pemerintah pusat sebesar 6,5 % ke seluruh kabupaten dalam rangka pemerataam dan 3,5 % kepada daerah yang mampu melebihi target.
93
Dana bagi hasil bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dengan ketentuan imbangan 20 % untuk pemerintah pusat dan 80 % untuk daerah. Selanjutnya dana 80 % tersebut dibagi menjadi 16 % untuk provinsi dan 64 % untuk daerah bersangkutan. Dana bagi hasil PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 dengan ketentuan 20 % dialokasikan ke daerah dan 80 % ke pemerintah pusat. 20 % dana ke pemerintah daerah di bagi menjadi 60 % untuk kabupaten dan 40% ke provinsi. Dana
bagi
hasil
yang
diterima
pemerintah
pusat
kemudian
dialokasikan kembali sebesar 20 % dengan rincian : -
8 % untuk provinsi
-
12 % untuk daerah yang berada dalam provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan 8,4 % untuk daerah tempat wajib pajak terdaftar dan 3,6 % dibagi secara sama rata.
Serta dana bagi hasil dari penerimaan sumber daya alam yang terbagi dalam bidang kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan petambangan panas bumi. Untuk dana bagi hasil sumber daya alam kehutanan terbagi tiga menjadi -
Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) dengan imbangan 20 %
94
untuk pusat dan 80 % untuk daerah, dimana dana 80 % tadi dibagi menjadi 16 % untuk provinsi dan 64 % untuk daerah penghasil -
Penerimaan kehutanan yang berasal dari provisi sumber daya hutan (PSDH) dengan imbangan 20 % untuk pusat dan 80 % untuk daerah. Dana 80 % kemudian dibagi menjadi 16 % untuk provinsi, 32 % untuk daerah penghasil dan 32 % dibagi
secara
merata
di
daerah
dalam
provinsi
bersangkutan. -
Penerimaan kehutanan dari dana reboisasi sebesar 40 % langsung diberikan kepada daerah yang bersangkutan.
Untuk dana bagi hasil sumber daya alam pertambangan umum terbagi dua yaitu : -
Dana bagi hasil yang berasal dari iuran tetap (land rent) dengan pembagian 20 % untuk pusat dan 80 % untuk daerah, dimana 16 % dana tersebut dialokasikan untuk provinsi dan 64 % untuk daerah penghasil. Untuk iuran tetap bagi pertambangan yang berda dalam wilayah provinsi, maka provinsi mendapat 80 %.
-
Dana bagi hasil dari iuran ekplorasi dan ekploitasi sebesar 20 % untuk pusat dan 80 % untuk daerah, dengan
95
perimbangan dana 80 % yang diterima daerah terbagi menjadi 16 % untk provinsi, 32 % untuk daerah penghasil dan 32 % lainnya dibagi secara merata di daerah dalam provinsi yang bersangkutan. Untuk iuran eksploitasi dan eksplorasi yang dimiliki oleh provinsi, provinsi mendapat 80 % dengan pembagian 26 % untuk provinsi dan 54 % untuk kabupaten kota dalam provinsi. Dana bagi hasil untuk sumber daya perikanan dibagikan secara nasional sebesar 80 % untuk daerah dan 20 % untuk pusat, dimana dana tersebut bersumber dari pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil perikanan. DBH perikanan sebesar 80 % dibagi secara merata ke seluruh daerah. Dana bagi hasil sumber daya alam pertambangan minyak bumi yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah 84,5 % untuk pemerintah dan 15,5 % untuk daerah dengan rincian: Dana bagi hasil 15, 5 % disisihkan 0,5 % untuk anggaran pendidikan dasar dengan pembagian 0,1% untuk provinsi dan 0,2 % untuk daerah penghasil serta 0,2 % dibagi secara merata. Selanjutnya dana bagi hasil sebesar 15 % dibagi dengan rincian pembagian -
3 % dialokasian untuk provinsi
96
-
6 % untuk daerah penghasil
-
6 % untuk seluruh daerah dalam provinsi yang bersangkutan dan dibagikan secara merata.
Untuk dana bagi hasil pertambangan minyak bumi di wilayah provinsi, dana 15,5 % hasil pembagian dengan pemerintah pusat di alokasikan kembali ke seluruh daerah secara merata sebesar 10 % dan 0,5 % tetap digunakan untuk anggaran pendidikan dasar. Keuntungan Negara yang berasal dari hasil pertambangan gas bumi juga diatur mekanisme pembagiannya setelah dikurang pajak dan komponen lainnya, dana bagi hasil sector pertambangan gas bumi sebesar 69,5 % untuk pemerintah pusat dan 30,5 % untuk daerah. Seperti halnya dana pertambangan minyak bumi dan 0,5 % dari dana bagi hasil wajib dialokasikan ke sektor pendidikan dasar dengan model pembagian yang sama. Selanjutnya 30 % dana bagi hasil dibagi dengan rincian : -
6 % dibagikan untuk provinsi
-
12 % dibagikan untuk daerah penghasil
-
12 % dibagikan secara merata di seluruh daerah dalam provinsi.
Untuk dana pertambagan gas bumi di wilayah provinsi, provinsi mendapat pembagian sebesar 30,5 persen dengan ketentuan bahwa 20 %
97
dari dana tersebut dialokasikan ke seluruh daerah dalam provinsi secara merata. Yang terakhir adalah dana bagi hasil sumber daya alam pertambangan panas bumi dimana pendapatan dana bagi hasilnya yang berasal dari setoran untuk pemerintah serta iuran tetap dan produksi dengan rician pembagian 20 % untuk pemerintah dan 80 % untuk daerah Dana 80 % kemudian dibagi dengan : -
16 % untuk provinsi
-
32 % untuk kabupaten atau kota penghasil serta
-
32 % untuk seluruh daerah yang berada dalam provinsi yang bersangkutan.
98
Dana bagi hasil pemerintah kota Makassar yahun 2009-2010
No
Tahun Anggaran
Uraian Bagi hasil pajak dan
1.
Ket
2009
2010
2009 Rp. 134.544.283.000
2011 Rp.178.160.825.000
Dipenda
bukan pajak 1.1.
Bagi hasil dari pajak
Rp. 132.700.443.000
Rp.176.354.985.000
Dipenda
1.1.1.
Bagi hasil dari PBB
Rp. 56.533.134.000
Rp. 84.629.731.000
Dipenda
1.1.2.
Bagi hasil dari BPHBT
Rp.43.667.309.000
Rp.50.042.371.000
Dipenda
1.1.3.
Bagi hasil dari PPh
Rp. 32.500.000.000
Rp.41.682.883.000
Dipenda
Bagi hasil bukan pajak
Rp. 1.843.840.000
Rp. 1.805.840.000
Bag. 1.2
keuangan Iuran
ekplorasi
dan
1.2.1.
Bag. Rp. 1.557.840.000
Rp.1.557.840.000
ekploitasi
Keuangan
Penerimaan pungutan 1.2.2.
Bag. Rp. 248.000.000
hasil perikanan
Rp. 248.000.000 Keuangan
b. Dana Alokasi Umum Seperti yang telah penulis jelaskan di bab awal tentang dana alokasi umum, dana alokasi umum menjadi poin penting yang ada dalam mekanisme perimbangan keuangan, untuk daerah kota Makassar diantara tiga aspek
99
yang menjadi bagian dari dana perimbangan, dana alokasi umum merupakan alokasi terbesar yang didapat oleh pemerintah kota Makassar.
Tahun Anggaran No
1.
Uraian
Dana alokasi umum
Ket 2009
2010
2009 Rp. 647.299.704.000
2011 Rp.644.266.427.000
Bag. Keuangan
Pada dasarnya DAU ini merupakan bentuk alokasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat agar terjadi pemerataan fiscal antara daerah yang ada, atau untuk menghindari lahirnya ketimpangan perekonomian antara daerah yang satu dan daerah yang lain. Dalam pengaanggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat tiap tahun dalam APBN mengharuskan adanya alokasi sebesar 26 % untuk DAU ke seluruh provinsi dan kotamadya/kabupaten di Indonesia. Dengan proporsi DAU antara provinsi dan daerah sebesar 90 % untuk daerah dan 10 % untuk provinsi. Dalam perumusan jumlah alokasi DAU per daerah. Penghitungan jumlah DAU berada pada otoritas menteri keuangan dibantu oleh Dewan penasehat otonomi daerah (DPOD) yang kemudian hasil dari rancangan penghitungan DAU tersebut dijadikan rujukan dalam RAPBN. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiscal dan alokasi dasar. Celah fiscal yang dimaksud adalah perbedaan antara kebutuhan fiscal
100
dan kapasitas fiscal suatu daerah atau kebutuhan fiscal dikurangi kapasitas fiscal. Sedangkan alokasi dasar yang dimaksud adalah penghitungan alokasi yang biasanya dihitung dari jumlah gaji pegawai negeri suatu daerah. Kapasitas fiscal daerah merupakan penjumlah dari pendapatan asli daerah dengan dana bagi hasil. Kapasitas fiscal = PAD + DBH
PAD : pendapatan asli daerah DBH : Dana bagi hasil Kebutuhan fiscal merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, infrastruktur, dan pengentasan kemiskinan. Kementrian keuangan mengukur kebutuhan pendanaan publik dengan beberapa indikator: -
Jumlah penduduk merupakan variabel penilaian dalam penetuan kuantitias dan kualitas yang akan diterapkan dalam bentuk layanan publik.
-
Luas wilayah, dalam hal ini luas wilayah menjadi acuan untuk menetukan tingkat kebutuhan suatu daerah akan sarana prasarana publik.
101
-
Indeks kemahalan konstruksi merupakan analisis geografis suatu
daerah
yang
mempengaruhi
harga
persediaan
prasarana fisik. -
Produk domestic regional bruto per kapita dijadikan indicator untuk mengukur aktivitas perekonomian yang dihitung dengan melihat total seluruh output produksi suatu daerah.
-
Human development indeks, variabel ini mencerminkan tingkat kalitas hidup masyarakat ditinjau dari sisi pendidikan dan kesehatan.
Analisis tersebut kemudian dijadikan acuan untuk menetukan tingkat kebutuhan fiscal suatu daerah dengan mengukur total belanja daerah dengan indeks factor-faktor tersebut.
Kebutuhan fiscal = Total belanja daerah x(
1+
1
: bobot indeks jumlah penduduk
2
: bobot indeks luas wilayah
3
: bobot indeks kemahalan konstruksi
4
: bobot indeks PDRB per kapita
5
bobot indeks HDI
2+ 3+
4+
5)
Secara sederhana rumusan yang digunakan dalam pengalokasian DAU adalah
102
DAU = CF + AD DAU : Dana alokasi umum CF
: Celah fiscal (kebutuhan fiscal – kapasitas fiscal)
AD
: Alokasi Dasar
c. Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus merupakan alokasi pemerintah pusat kepada daerah yang bersifat khusus dikarenakan kegiatan daerah tersebut juga menjadi skala prioritas pembangunan nasional dalam berbagai bidang seperti layanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan pariwisata,
budaya,
agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Setiap tahunnya kementrian keuangan dan kementrian perencanaan pembangunan mengeluarkan daftar daerah yang akan menerima dana alokasi khusus. Pemilihan daerah yang mendapatkan dana alokasi khusus. Penentuan daerah yang akan menerima DAK harus memenuhi Kriteria umum, khusus dan teknis. -
Kriteria umum merupakan kemampuan fiskal daerah yang dihitung dari pengurangan penerimaan APBD
dengan
belanja PNS daerah. Semakin rendah kemampuan fiscal suatu daerah maka semakin besar peluang menerima alokasi DAK.
103
-
Kriteria khusus merupakan penilaian dari kekhususan yang dimiliki suatu daerah seperti daerah otonomi khusus, daerah perbatasan dengan Negara lain, daerah rawan bencana, daerah pariwisata, dan daerah ketahanan pangan.
-
Kriteria teknis merupakan kriteria yang disediakan oleh kementerian-kementerian
yang
bersentuhan
langsung
wilayah kerjanya dengan alokasi dana DAK. Dana alokasi pemerintah kota Makassar tahun 2009-2010
No
Tahun Anggaran
Alokasi DAK
Ket
2009
2010
1.
Pendidikan
Rp. 11.926.000.000 2009
Rp. 29.522.300.000 2011
Bag anggaran
2.
Kesehatan
Rp. 7.414.000.000
Rp. 4.916.900.000
Bag. Anggaran
3.
Pekerjaan Umum
Rp 15.560.000.000
Rp. 10.284.500.000
Bag Anggaran
4.
BKKBN
Rp. 1.064.000.000
Rp. 1.030.000.000
Bag Anggaran
5.
RSD Daya
Rp. 1.218.000.000
-
Bag Anggaran
6.
Kelautan
Rp. 4.654.000.000
-
Bag Anggaran
7.
Perindag
Rp. 513.000.000
-
Bag Anggaran
Rp. 802.000.000
-
Bag Anggaran
Rp.43.151.000.000
Rp. 45.753.700.000
Bag Anggaran
8.
Kebersihan Pertamanan Total
dan
104
4.1.2. Analisis kondisi objektif hubungan perimbangan keuangan a. Superioritas Pemerintah Pusat paham demokrasi mulai masuk dan menjamur di Indonesia sejak runtuhnya rezim orde baru, rakyat Indonesia bak memasuki sebuah fase sejarah baru yang lebih baik. Segala macam bentuk penguasaan terpusat dan otoritarianisme kemudian ditolak. Dalam proyeksi perkembangan demokratisasi di republik Indonesia, Negara ini menerapkan sistem otonomi daerah dengan asas desentralisasi. Dalam berbagai urusan memang nafas desentralisasi itu mulai terasa efeknya, Namun ditinjau dari model hubungan keuangan yang telah ditetapkan, Nampak sangat jelas bahwa pemerintah daerah terkesan pasif dalam proses ini. Pemerintah pusat terkesan masih mendikte pemerintah daerah dalam pembagian dana perimbangan. Penetapan pembagian Dana bagi hasil oleh pemerintah pusat terkesan sangat sentralistik. Sejalan dengan itu sadly S.E (kasubag anggara pemkot Makassar) menyatakan bahwa tiap tahun daerah harus menunggu pembagian dana perimbangan dari pusat. Sebagaimana yang diungkapkannya “dana perimbangan itu otoritas pemerintah pusat, penyusunan APBD saja harus menunggu hasil dari APBN. terkait dana perimbangan biasanya pemerintah daerah tinggal terima jadi” Terkadang akrab ditelinga para akademisi politik pemerintahan bahwa desentralisasi di Indonesia hanya desentralisasi administratif. Partisipasi
105
daerah
penghasil dalam menetukan
hasil usahanya
belum mampu
diakomodasi oleh pemerintah pusat. Hal ini diamini oleh salah satu anggota tim asistensi menteri keuangan bidang desentralisasi fiskal Abd Hamid Paddu, beliau menjelaskan bahwa pemerintah pusat juga mengalami kesulitan menggiring arah desentralisasi ini kea rah desentralisasi fiskal, ketakutan akan terbangunnya arogansi daerah yang membuat yang membuat kebijakan desentralisasi fiskal berjalan sangat lambat. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa “dalam kebijakan desentralisasi fiscal tidak otomatis menciptakan perkembangan pembangunan, pengentasan kemiskinan, atau perluasan lapangan kerja. Hal ini harus ditopang dengan infrastruktur yang memadai untuk membuka akses pelayanan publik dan konektivitas pemerintahan. Oleh karena itu ruang berkreasi dan berinovasi di daerah sebenarnya harus dioptimalkan, dengan memanfaatkan sumber daya yang fokus pada sector yang memberikan dampak optimal pada daerah” Superioritas pemerintah pusat dalam pola hubungan perimbangan keuangan ini mengindikasikan hal berbeda dari khittah otonomi daerah yang telah digadang-gadang sebagai semangat pembaharuan di era reformasi. Dekonstruksi pola pemerintahan yang dibangun sejak tahun 2001 dengan lahirnya system otonomi daerah tidak mengalir sampai ke ruang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Otonomi daerah dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia perlu diperbincangkan dan diluruskan kembali
106
b. Dana perimbangan dan layanan publik Pemerintah pada hakikatnya adalah membawa orang-orang yang diperintah menuju pada suatu keadaan yang lebih baik. Dengan logika awal bahwa pemerintah dituntut untuk mampu melayani masyarakat yang telah melegitimasi mereka. Meningkatnya dana perimbangan dari tahun ke tahun yang diterima daerah secara sederhana pasti berefek pada peningkatan kualitas layanan publik, dengan asumsi bahwa tersedianya cukup dana yang bisa dialokasikan untuk membangun infrasstruktur pelayanan publik. Sebagaimana alasan pokok dari pelaksanaan desentralisasi adalah memenuhi tujuan demokratisasi dan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Artinya kebijakan desentralisasi ini dimaksudkan untuk menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang demokratis dan memberikan pelayanan masyarakat yang jauh lebih baik dengan muara utama demi terwujudnya kesehteraan rakyat. Hal ini dijelaskan oleh Hamzah Doharing SE.Ak M.Si salah satu anggota badan aggaran di DPRD Makassar dari Partai Persatuan pembangunan (PPP) “dana perimbangan itu seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, yang saya maksud disini adalah peningkatan kualitas pelayanan publik, setidaknya masyarakat Makassar merasakan langsung hasil dari dana perimbangan. Apalagi kan ini dana perimbangan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
107
Saat ini beberapa sektor layanan publik masih sangat lemah, misalnya saja air bersih dan jalan raya. Jadi menurut saya akan lebih baik jika orientasi dari alokasi dana perimbangan itu diterapkan ke hal yang lebih riil” Nampaknya memang upaya merealisasikan berbagai syarat agar daerah terlihat demokratis dan berhasil menerapkan otonomi daerah lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan memenuhi kesejahteraan rakyat melalui pelayanan publik yang sebenarnya adalah salah satu indicator masyarakat yang demokratis dan sejahtera. Peningkatan
jumlah
dana
perimbangan
dari
tahun
ke
tahun
menandakan tingginya tingkat kebergantungan pemerintah kota Makassar terhadap dana perimbagnan, namun hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas publik, pembahasan tentang dana perimbangan masih terfokus pada perdebatan jumlah transfer dana ke daerah. Dana perimbangan kota Makassar 2009-2010 No
Tahun anggaran
Dana perimbangan kota Makassar
Ket
1.
2007
Rp. 701. 452. 339.000
Direktorat jenderal perimbangan keuangan
2.
2008
Rp. 789.251.884.195
Direktorat jenderal perimbangan keuangan
3.
2009
Rp.824.994. 987.000
Direktorat jenderal perimbangan keuangan
4.
2010
Rp. 868.180.952.000
Direktorat jenderal perimbangan keuangan
5.
2011
Rp.915.051.790.000
Direktorat jenderal perimbangan keuangan
108
Secara taktis pemerintah kota Makassar sulit mengembangkan infrastruktur pelayanan publik walaupun dengan pundi-pundi dana yang mencapai ratusan milyar, pembagian anggara dana terhadap belanja pegawai yang memakan alokasi besar merupakan kendala yang tidak bisa diselesaikan pemerintah kota Makassar, pilihannya adalah sektor pelayanan publik dikorbankan demi memenuhi alokasi anggaran belanja pegawai. Alokasi dana belanja pegawai kota Makassar 2008-2011 No
Tahun
Belanja pegawai
Belanja modal
Ket
2.
2008
Rp. 622.133.925.000
Rp. 185.705.181.000
Bag keuangan
3.
2009
Rp. 700.509.945.000
Rp. 197.180.578.000
Bag keuangan
4.
2010
Rp. 817.605.927.000
Rp. 176.732.080.000
Bag keuangan
5.
2011
Rp.915.617.031.000
Rp. 188.424.014.000
Bag keuangan
Dari tabel di atas Nampak jelas alokasi besar yang dianggarkan pemerintah kota Makassar untuk belanja pegawai, meskipun pengembangan kapasitas aparatur pemerintahan sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kualitas layanan publik namun tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai
maka
kinerja
masyarakat secara nyata.
pemerintah
tetap
tidak
mampu
menyentuh
109
4.2. Kendala-kendala yang muncul dalam hubungan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Penetapan Undang-undang No 33 tahun 2004 tentang hubungan perimbangan
keuangan
antara
pemerintah
pusat
dan
daerah
telah
memberikan koridor tersendiri terkait pengaturan jumlah dana perimbangan, walapun desain baru tentang model system penganggaran pemerintah pusat ke daerah telah ditetapkan, kendala-kendala dalam pelaksanaan sistem ini senantiasa muncul tiap tahunnya. Di bagian ini penulis akan menjelaskan tentang kendala yang dihadapi pemerintah daerah terkait sistem perimbangan tersebut berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis. a. Standarisasi penghitungan Dalam penjelasan tentang pola perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di bagian awal bab ini telah dipaparkan bahwa segala hal yang menyangkut jumlah dana perimbangan yang akan di transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah telah ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan perhitungan yang jelas. Dengan kata lain telah ada standarisasi yang dijadikan patokan oleh pemerintah pusat dalam hal ini kementrian keuangan untuk mengkalkulasi jumlah dana perimbangan yang diterima per daerah.
110
Tingkat keobjektifan standarisasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat adalah kendala awal mengenai hubungan dana perimbangan. Dari penentuan dana alokasi umum sebuah daerah dimana pemerintah pusat harus menentukan terlebih dahulu bobot kebutuhan daerah seperti jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pengembangan manusia, tingkat Produk domestik regional bruto per kapita, serta indeks kemahalan konstruksi. Carut-marut seputar kisruh dana bagi hasil banyak dikarenakan persoalan variabel yang digunakan pemerintah pusat dalam menetukan alokasi dana bagi hasil di daerah yang dianggap oleh pemerintah daerah terkadang tidak adil. Rumitnya mekanisme perhitungan yang harus dilakukan setiap tahunnya oleh pemerintah pusat dalam menetukan standarisasi perhitungan jumlah dana perimbangan suatu daerah mengindikasikan bahwa tingkat keabsahan data secara objektif dari pemerintah pusat menghadirkan kendala tersendiri dalam konteks hubungan ini. Jumlah daerah di Indonesia yang mencapai 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota semakin memperkuat argumen penulis bahwa tingkat keobjektifan data yang dihasilkan oleh pemerintah pusat bisa saja tidak merepresentasikan kondisi sebuah daerah, yang tentunya akan berpengaruh pada besaran jumlah dana perimbangan yang dialokasikan ke daerah tersebut.
111
Menurut anggota DPRD kota Makassar Mujiburahman B S.Sos dari partai demokrasi kebangsaan menyatakan bahwa persoalan perimbangan keuangan yang berlaku di Indonesia harus disertai dengan sikap profesional agar tidak terjadi ketimpangan alokasi dana perimbangan, sistem yang berlaku saat ini telah memberikan peluang kepada daerah untuk dapat memprediksi besaran dana perimbangan yang mereka dapat. b. Profesionalisme kebijakan dana perimbangan Ibarat sebuah manajemen organisasi, demi menjaga kondusifitas organisasi maka profesionalisme menjadi sebuah tuntutan utama. Kendala yang seringkali dihadapi oleh pemerintah kota Makassar dalam menjalankan fungsinya adalah adanya kebijakan dari pemerintah pusat yang menghambat kinerja daerah. Walikota Makassar, Ir H Ilham Arief Sirajuddin SE, MM mencontohkan dengan kebijakan pusat untuk menaikkan gaji pegawai negeri sipil. “terjadi peningkatan DAU pada tahun 2009 sebesar Rp. 647.299.704.000,00 dan penurunan di tahun 2010 sebanyak Rp 644.266.427.000,00. DAU diberikan berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan daerah yang dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung berdasarkan variabelvariabel yang ditetapkan undang-undang sedangkan perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil yang diterima daerah. Sementara Alokasi Dasar dihitung berdasarkan gaji PNS daerah. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar DAU diperuntukkan untuk membiayai kebutuhan gaji Pegawai Negeri Sipil pemerintah daerah Kota Makassar.
112
Menurunnya alokasi anggaran untuk membiayai kegiatan lainnya disebabkan adanya kebijakan Pemerintah pusat untuk menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil tanpa diikuti dengan adanya peningkatan DAU” Jikalau kebaikan desentralisai diikuti dengan peningkatan mobilitas sumber daya dan pengurangan tekanan atas keuangan pusat, peningkatan akuntabilitas, dan peningkatan ketanggapan dan tanggung jawab secara umum maka desentralisasi akan menjadi sesuatu yang berharga. kemudian fenomena lain yang menjadikan kendala besar dalam sistem perimbangan keuangan ini adalah keterlambatan penganggaran dana perimbangan dari pemerintah pusat yang mengakibatkan mandeknya roda pemerintahan di daerah. Seringkali santer terdengar setiap tahunnya bahwa dana anggaran salah satu sektor belum cair, sehingga beberapa rencana kerja menjadi terbengkalai. Rumitnya proses penganggaran yang dilakukan pemerintah pusat seringkali menjadi sebab dari semua rentetan kemandekan pelayanan publik di daerah, sebut saja salah proyek pembangunan jalan lingkar (ring road) di kota Makassar yang terhenti karena mandeknya anggaran dana dari pusat. Kendatipun setiap tahunnya masing-masing daerah telah melaporkan proyeksi
dana perimbangan yang akan mereka terima hal yang serupa
tetapsaja terjadi. Komite pemantauan pelaksanaan otonomi daerah (KPPOD) melalui manajer penelitiaannya sigit murwito menegaskan bahwa pemerintah pusat
113
hingga kini belum belum berhasil mengatasi keterlambatan penyaluran dana perimbangan, penetapan anggaran yang melibatkan banyak departemen memperpanjang proses penetepan penganggaran dana perimbangan hal ini justru makin diperparah dengan hadirnya kisruh dana bagi hasil yang dikarenakan persoalan variabel yang digunakan pemerintah pusat dalam mengklaim besaran bagi hasil. c. Paradigma kapitalisasi dana perimbangan Hadirnya mekanisme desentralisasi menghadirkan juga bentukan lain. Kuatnya integritas kedaerahan menjadi salah satu efek dari desentralisasi yang tidak sehat, akibatnya muncul kondisi seolah-olah bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah dua kutub yang saling tarik-menarik kepentingan. Pemerintah pusat mempersepsikan bahwa tuntutan daerah yang berlebihan mengindikasikan potensi disintegritas, daerah pun demikian. Rumitnya prosedur penganggaran oleh pemerintah pusat dianggap bentukan eksploitasi terhadap daerah. Paradigma yang menjelaskan bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah di bidang keuangan itu atas dasar “kuasa komersial”. Posisi pemerintah pusat sebagai penanam investasi dan memberikan pekerjaan
kepada
daerah
untuk
menimbulkan prasangka-prasangka
mengelola bahwa
investasinya.
Sehingga
pemerintah pusat sengaja
114
mengekspolitasi daerah dengan mengeruk potensi daerah dengan dana bagi hasil lebih besar ke pusat dibandingkan ke daerah. Menurut Drs Pramudjo M Soc Sc selaku direktur dana perimbangan direktorat jenderal perimbangan keuangan (DJPK), tujuan pembangunan nasional yang berkeadilan dan menciptakan kesejahteraan rakyat mesti senantiasa menjadi semangat bagi para
pelaku pemerintahan
baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dengan koridor tujuan yang sama maka berbagai polemik seputar dana perimbangan bisa diatasi. Selain itu kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah pusat dari awal pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiscal terhadap daerah-daerah di Indonesia lama-kelamaan mulai teratasi. Proses bertahap dalam sebuah bangsa yang sedang membangun demokrasinya penting untuk dilewati demi menjadi sebuah bangsa yang kuat. Kelemahan yang dihadirkan oleh paradigma kapitalisasi ini adalah: -
Kurang harmonisnya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
-
Hilangnya
kepercayaan
daerah
terhadap
kebijakan
pemerintah pusat. -
Pola
pelaksanaan
kebijakan
pemerintah
yang
terhambat -
Konflik antar daerah persoalan pembagian pajak.
-
Pelayanan publik tidak lagi efektif dan efisien.
akan
115
d. Politisasi dana perimbangan Pemerintah pusat yang mengalami berbagai macam kendala dalam mewujudkan
sistem
perimbangan
keuangan
yang
adil,
demokratis,
proporsional, dan transparan. Harus kembali mengatasi kendala lain yang juga mengganggu kinerja pemerintah pusat. Dalam penyusunan APBN, seluruh struktur pemerintahan Negara yang berada di wilayah kerja eksekutif akan membuat proyeksi anggaran kerja mereka yang kemudian disatukan menjadi RAPBN, proses selanjutnya adalah penetapan di sidang paripurna DPR RI. Dianatara seluruh jumlah APBN Indonesia setidaknya 25 % adalah dana perimbangan. Anggota DPRD kota Makassar dari komisi C Mujiburahman B S.Sos menyatakan bahwa: “terkadang kan ada fenomena tidak sesuainya anggaran dana perimbangan dari pusat dengan ekspektasi daerah, oleh karena itu beberapa kepala daerah biasanya melakukan pendekatan ke pusat untuk merealisasikan proyeksi anggarannya. Sebenarnya tindakan itu wajar saja terjadi mengingat ruang kreasi daerah yang tidak terlalu besar dalam penentuan dana perimbangan. Kemudian dengan model penetapan anggaran dana perimbangan yang mengikut di rapat paripurna DPR RI,hal itu yang membuat persoalan dana perimbangan masuk ke domain politik, juga tidak tertutup kemungkinan bermainnya mafia anggaran disitu, tetapi anda harus melakukan investigasi yang jauh lebih komperhensif untuk membuktikan itu” System penganggaran yang dibuat oleh pemerintah ini memang telah menciptakan ruang atau peluang dimana setiap kebijakan anggaran selalu bisa dipolitisasi, problematika klasik yang tetap hidup di Negara ini.
116
Sulit membuktikan para pelaku mafia anggaran, namun dari praktek dan realitas yang terjadi dapat ditarik kesimpulan bahwa politisasi dana perimbangan memang eksis, dan hal ini menurut penulis merupakan kendala yang paling sulit diatasi oleh pemerintah pusat mengingat lahir tarik-menarik kepentingan ketika persoalan dana perimbangan masuk ke senayan. Direktorat jenderal perimbangan keuangan sebagai sebuah lembaga yang dibentuk khusus oleh pemerintah pusat untuk mengatasi persoalanpersoalan yang muncul selama berjalannya mekanisme perimbangan keuangan ini pun akan sulit mengatasi masalah ini.
117
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab IV telah diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terkhusus di kota Makassar, disamping itu dikemukakan pula masalah atau kendala apa saja yang mempengaruhi mekanisme perimbangan keuangan. Dalam bab ini penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan serta saran-saran yang terkait dengan hasil penelitian mengenai perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. 5.1. kesimpulan Kesimpulan yang dapat penulis tarik selama melakukan penelitian adalah: 1. Kebijakan Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah Kota Makassar dapat dilihat dengan indikator : -
Besarnya jumlah pegawai negeri daerah yang dimiliki oleh kota Makassar yang menyebabkan pemerintah kota Makassar harus mengalokasikan sebagaian besar APBD ke sektor belanja pegawai.
-
Rendahnya PAD yang dimiliki oleh kota Makassar dikarenakan kurang luasnya ruang kreatifitas yang dimiliki oleh daerah dalam mengeksplorasi sumber dayanya.
118
-
Minimnya kualitas layanan publik seperti air bersih, jalanan baik dan lampu jalan yang menyebabkan tidak tersentuhnya masyarakat dengan pemerintah.
2. Sistem
perimbangan
keuangan
yang
diterapkan
masih
meninggalkan beberapa celah seperti: -
Seringnya terjadi keterlambatan pencairan dana perimbangan dikarenakan rumitnya sistem yang digunakan dalam penetapan anggaran.
-
Subjektifnya standarisasi peniliaian yang ditentukan oleh pemerintah pusat sebagai bahan indikator penentuan besaran jumlah dana perimbangan.
-
Tingginya dana bagi hasil terhadap pusat di beberapa sektor yang tentunya masih merugikan daerah penghasil.
-
Tidak adanya mekanisme yang dimiliki oleh daerah ketika daerah merasa keberatan dengan besaran dana perimbangan daerah yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat
-
Sistem penganggaran yang digunakan masih rentan terhadap munculnya mafia anggaran yang tentunya akan menyebabkan tidak proporsionalnya kebijakan terhadap dana perimbangan.
119
5. 2. Saran Dengan memperhatikan hubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota Makassar serta mempertimbangkan kendala-kendala yang muncul selama proses perimbangan ini berlangsung, maka penulis bermaksud memberikan beberapa saran seperti : 1. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah seyogiyanya mendapatkan ruang yang cukup optimal dalam mengeksplorasi sumber daya yang mereka miliki demi kelancaran dan kemandirian daerah. Hal ini tentu saja dapat membantu pemerintah pusat dalam hal pelaksanaan ekonomi nasional. Fenomena daerah yang masih bergantung dengan pusat dapat diminimalisir serta mengurangi subsidi pusat ke daerah. 2. perubahan
mendasar
pada
sistem
penganggaran
dana
perimbangan yang selalu berbasis pada kebutuhan daerah menjadi berbasis pada kinerja daerah. Penghitungan alokasi dasar dana perimbangan yang selalu berbasis pada kebutuhan daerah semakin membuat daerah tidak produktif dan tidak kompetitif, daerah-daerah justru malah semakin bergantung
dengan
anggaran
dari
pusat,
terbukti
dengan
fenomena dana perimbangan yang dari tahun ke tahun semakin meningkat.
120
Alokasi yang berbasis pada kinerja akan memaksa daerah untuk jauh
lebih
produktif
dalam
rangka
menjalankan
roda
pemerintahannya, serta jauh lebih kompetitif mengingat apa yang diberikan pusat berlandaskan pada apa yang telah dilakukan oleh sebuah daerah.
121
DAFTAR PUSTAKA Bratakusumah dan Solihin (2002), Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bird, Richard M dan Francois Vailancourt (2000), desentralisasi fiskal di Negara-Negara berkembang, gramedia pustaka utama. Jakarta. MacAndrews, Colin dan Ichlasul Amal (2000). Hubungan pusat-daerah dalam pembangunan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soejito, Irawan (1990) hubungan pemerintah pusat dan daerah. Rineka cipta. Jakarta/. Yani, Ahmad (2008), hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Raja Grafindo Persada. Jakarta Suryaningrat,Bayu (1992), Mengenal Ilmu Pemerintahan, PT. Rineka Cipta, Jakarta Robert A. Dahl (1994). Analisis Politik Moderen. Bumi Aksara. Jakarta Syarifin, Pipin (2006), pemerintahan daerah di Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung Rosidin, Utang (2010), otonomi daerah dan desentralisasi, CV pustaka setia Bandung Kencana, Syafiie Inu (2005), Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT Refika Aditama Ndraha,Talidziduhu (2003) ,Kybernology 1 (Ilmu Pemerintahan Baru), PT. Rineka Cipta, Jakarta. Abdullah, Rozali (2000) pelaksanaan otonomi luas dan isu federalism sebagai suatu alternatif Raja Grafindo Persada. Jakarta Syamsuddin, Haris (2007). Desentralisasi dan otonomi daerah, LIPI Press. Jakarta Kuncoro, Mudrajad (2004), otonomi dan pembangunan daerah, erlangga, Jakarta
122
Ilyas, Baharuddin, (2002). Metodologi Penelitian untuk Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi. Andira Publisher. Makassar. Suyanto, Bagong, Sutinah (2005). Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Cet Ke- 2. Kencana. Jakarta Moleong, Lexy J (1995) metode penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya. Bandung.
Dokumen-Dokumen Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang system pemerintahan daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah PP Nomor 55 tahun 2005 tentang dana perimbangan
Situs Internet www.makassarkota.go.id www.djpk.depkeu.go.id