BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk sosial perlu melakukan hubungan dengan manusia lainnya, hubungan yang dilakukan adalah melalui hubungan pergaulan biasa maupun melalui hubungan yang didasarkan pada hukum. Perkembangan jaman yang semakin cepat membawa manusia untuk lebih berpikir cepat, praktis, dan kritis. Cara berpikir membawa perkembangan pada ilmu pengetahuan dan juga dalam praktek ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu pengetahuan seperti ekonomi, hukum, teknik, dan lain sebagainya berkembang dan juga saling mengisi. Dapat diambil contoh dalam kegiatan ekonomi seperti kegiatan perdagangan berkaitan dengan praktek dari pada ilmu
hukum.
perkembangan
Perkembangan
ilmu
hukum
erat
kaitannya
dengan
masyarakat, hal ini suatu yang wajar karena hukum
didasarkan pada norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang berdasarkan gejala-gejala yang hidup di sekitar masyarakat. Gejala-gejala yang hidup dan terjadi di masyarakat tersebut kemudian dirumuskan menjadi suatu normanorma hukum dan sering kali terjadi suatu norma belum selesai dirumuskan maka timbul gejala-gejala lain sehingga dapat dikatakan perkembangan ilmu hukum seakan tertinggal dari perkembangan masyarakat. Perkembangan suatu ilmu pengetahuan membawa dampak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan lainnya disertai dengan perkembangan
1
2
pembangunan di segala bidang kehidupan masyarakat yang tengah giat dilaksanakan. Titik beratnya adalah pembangunan dibidang ekonomi dengan sasaran
utama
terwujudnya
kemampuan dan kekuatan
struktur
ekonomi
seimbang,
mencakup
industri yang maju juga didukung pula oleh
kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh untuk mencapai tujuan perekonomian, namun proses pembangunan ekonomi yang ditopang oleh sistem represi dan ketertutupan telah melumpuhkan berbagai institusi strategi seperti sistem hukum dan peradilan untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan. Pembangunan ekonomi haruslah didukung oleh pembangunan hukum karena antara keduanya saling menunjang, di mana pembangunan ekonomi hanya dapat tercapai apabila ada kepastian hukum. Antara hukum dan ekonomi merupakan dua sistem dari sistem kemasyarakatan yang saling berinteraksi satu sama lain.1Berdasarkan konsep ini, maka kesiapan materi hukum harus di satu pihak diarahkan pada mempersiapkan masyarakat untuk menjadi pelaku ekonomi yang utam termasuk hubungan-hubungan ekonomi global. Pada saat ini, yang terpenting adalah kesiapan aturan hukum yang dapat lebih memberdayakan masyarakat/pelaku usaha agar menjadi pelaku ekonomi yang mandiri, mampu bersaing dengan pelaku ekonomi lain.2
1
Dhaniswara K. Harjono, 2007, Hukum Penanaman Modal Tinjauan Terhadap UndangUndang Nomor. 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 91. 2 Bagir Manan, 1998, Pembangunan dan Pembangungan Ekonomi Nasional dalam Globalisasi, Makalahpada Seminar Tentang Pendekatan Ekonomi dalam Pengembangan Sistem Hukum Nasional dalam Rangka Globalisasi,Bandung, Tanggal 30 April
3
Hukum sangat penting sebagai motor penggerak modernisasi masyarakat, hal tersebut mengandung pengertian bahwa pengaturan hukum sangat diperlukan bagi kehidupan masyarakat disegala bidang, dengan demikian pengaturan hukum dibidang ekonomi dan dalam pertumbuhan sektor ekonomi itu merupakan gejala yang saling mempengaruhi dan melengkapi. Untuk mendukung hal tersebut, kemampuan dan peranan dunia usaha nasional perlu ditingkatkan agar tumbuh dan berkembang. Perlu ditingkatkannya suatu iklim yang mendorong kerjasama yang serasi antara usaha besar, menengah dan kecil berdasarkan semangat kekeluargaan yang saling menunjang dan saling menguntungkan dalam dunia perdagangan baik didalam negeri maupun antara negara atau warga negara antar negara.Di dalam perdagangan dipergunakan perjanjian dalam melakukan transaksi dagang dan tentunya menggunakan hukum perikatan atau perjanjian, perjanjian-perjanjian antara lain dalam bidang-bidang keagenan, distributor, lisensi dan juga Franchise.
Dalam hukum perjanjian di mana dengan
adanya kebebasan berkontrak maka setiap subyek hukum dapat melakukan atau membuat suatu perjanjian tentang hal apa saja asalkan tidak melanggar ketentuan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tentunya mengikat para pihak, suatu perjanjian memberikan hak pada suatu pihak untuk menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
4
Bisnis waralaba pada dasarnya adalah sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen di lain hal juga merupakan suatu cara melakukan kerjasama dibidang bisnis perdagangan antara dua atau lebih pegusaha, pihak yang satu akan bertindak sebagai Franchisor (pemilik merek dagang) dan pihak yang lain bertindak sebagai Franchisee, yang berhak mengoperasikan usaha dengan merek dagang Franchisor di wilayah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu pula. Sebaliknya suatu imbalan tertentu akan dibayarkan oleh Franchisee kepada Franchisor sehubungan dengan hal tersebut. Pemberi waralaba adalah badan usaha perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki, sedangkan penerima waralaba adalah badan usaha/perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba. Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan bagi para waralaba, karena dapat dialihkan pemanfaatannya atau penggunaannya kepada pihak lain (penerima waralaba) yang didasarkan pada diperolehnya ijin dari pemberi waralaba. Pada prinsipnya Franchise berkenaan dengan pemberian izin pemakaian merek, di mana didalamnya termasuk juga pemberian bantuan operasional dari Franchisor, pemberian izin ini tidak terlalu beda dengan lisensi.
5
Maraknya bisnis waralaba di Indonesia melatar belakangi berdirinya AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Organisasi ini didirikan oleh beberapa perusahaan pemberi waralaba, AFI juga didirikan atas prakarsa pemerintah dan ILO (International Labour Organization) yang mempunyai tujuan antara lain:3 1. menjadi wadah bagi para pebisnis waralaba untuk meningkatkan usaha, profesionalisme, dan etika 2. menjadi pusat informasi waralaba 3. memberi masukan kepada pemerintah mengembangkan UKM menjadi usaha-usaha waralaba. Perkembangan bisnis waralaba (Franchise) di Indonesia tergolong sangat prospektif karena potensi pasarnya sangat besar. Hal ini tercermin dari besarnya jumlah penduduk Indonesia yang pada 2010 telah mencapai 238 juta jiwa, dengan pendapatan per kapita diperkirakan mencapai 3000 dollar AS pada akhir tahun 2010. Disamping itu kondisi perekonomian makro di Indonesia juga tergolong baik dengan pertumbuhan ekonomi 2010 di perkirakan mencapai 5,5% - 6%, dan pada tahun 2011 diperkirakan dapat tumbuh 6% - 6,5%. Indonesia saat ini masuk dalam jajaran negara elit G-20 dan menempati urutan ke 16 dengan cadangan devisa mencapai 93 miliar dollar AS. Tahun 2011, cadangan devisa Indonesia diperkirakan dapat menembus angka 100 miliar dollar AS (atau sekitar Rp 1.000 triliun). Data Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) menunjukkan omset waralaba di 3
hal. 9.
Pietra Sarosa, 2004, Mewaralabakan Usaha Anda, Elex Media Komputindo, Jakarta,
6
Indonesia pada tahun 2007 mencapai angka Rp 81 triliun.Pada 2008, terjadi peningkatan 15 persen menjadi Rp 93 triliun. Pada tahun 2009, omset wralaba naik lima persen menjadi Rp 95 triliun. Hingga akhir 2010, omset waralaba di Indonesia baik lokal maupun asing berbentuk Franchise maupun Business Opportunity diperkirakan mencapai Rp 114,64 triliun. Jumlah tersebut naik 20 persen dibandingkan perolehan tahun 2009.Menurut data AFI, sampai dengan saat ini (Agustus 2010) jumlah waralaba di Indonesia mencapai 1.010 perusahaan. Padahal lima tahun silam baru ada 336 perusahaan waralaba di Indonesia baik asing maupun lokal.4 Perjanjian menurut rumusan pasal 1313 KUHPerdata didefinisikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba keduanya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu.perjanjianFranchise merupakan salah satu bentuk perjanjian yang terdapat di luar KHUPerdata atau biasa disebut degan kontrak innominaat atau termasuk dalam bentuk perjanjian tak bernama. Timbulnya kontrak ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.Kontrak innominaat merupakan kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan bersifat khusus.Artinya bahwa kontrak innominaat ini berlaku terhadap peraturan yang bersifat khusus sebagaimana yang tercantum dalam berbagai peraturan perundangan yang 4
Harian Kompas, Bisnis Dan Keungan, “Waralaba: Potensinya pada jumlah penduduk”, URL: www.kompas.com, diakses tanggal 28 Desember 2015
7
mengaturnya. Dari aspek atau segi pengaturannya, kontrak ini dapat digolongkan menjadi 3 macam:5 1. kontrak innominaat yang telah diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk Undang-Undang dan atau telah diatur dalam pasal-pasal tersendiri 2. kontrak innominaat yang telah diatur dalam peraturan pemerintah 3. kontrakinnominaat yang belum ada Undang-Undangnya di Indonesia. Landasan hukum tentang waralaba di Indonesia pertama kali di cantumkan dalam UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil pada Bab tentang Kemitraan.Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan dilaksanakan dan disertai pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia dan teknologi. Pada pasal 27 UU No. 9 tahun 1995 tertulis bahwa; Kemitraan dilaksanakan dengan pola: a. Inti Plasma b. Sub Kontrak c. Dagang Umum d. Waralaba e. Keagenan, dan f. Bentuk-bentuk lain
5
Salim, H.S., 2005, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 4.
8
Dalam Penjelasan UU No. 9 tahun 1995 Pasal 27 (d) memberi definisi bahwa: Pola waralaba adalah hubungan kemitraan yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. Usaha waralaba atau Franchise dan peluang bisnis kian marak, hal itu terlihat dari banyaknya jumlah pengusaha yang menawarkan bisnisnya secara waralaba serta tingginya minat pasar.Munculnya peluang-peluang bisnis yang ditawarkan dalam bentuk waralaba itu lebih dipicu kelonggaran aturan pemerintah yang mengatur sistem bisnis atas dasar waralaba. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 tahun 1997 yang kemudian implementasinya dituangkan dalam SK Menperindag No. 259 tahun 1997. Yang kemudian Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang waralaba mencabut ketentuan sebelumnya yaitu PP No. 16 tahun 1997.Penjelasan umum Peraturan Pemerintah ini menerangkan bahwa dalam rangka meningkatkan pembinaan usaha dengan waralaba di seluruh Indonesia maka perlu mendorong pengusaha nasional terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai pemberi waralaba nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan di luar negeri khususnya produk dalam negeri.Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha pemberi waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparasi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang dan atau jasa dengan waralaba.Disamping itu
9
pemerintah dapat memantau dan menyusun data waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang di waralabakan.Untuk itu, pemberi waralaba sebelum sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran waralaba kepada pemerintah dan calon penerima waralaba. Di sisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian waralaba, penerima waralaba harus menyampaikan perjanjian ke pemerintah. Peraturan pemerintah ini diharapkan dapat memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi pemberi waralaba dan penerima waralaba dalam memasarkan produknya. Lahirnya PP terbaru ini dipastikan mampu mengerm pertumbuhan peluang bisnis yang mengatasnamakan waralaba.Sebab setiap bisnis waralaba harus bisa memenuhi syarat dan membuktikan profitabilitas dan keunikan usahanya serta ciri khas usahanya sudah berjalan dan sukses.Terlebih lagi untuk pewaralaba, harus memberikan bimbingan dan pelatihan pemasaran yang berkesinambungan.keberadaan PP No. 42 tahun 2007 adalah filter untuk membatasi maraknya peluang bisnis atau waralaba yang pengaturan usahanya belum terbukti. Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang waralaba berlaku efektif mulai tanggal 24 Juli 2008, perusahaan yang telah memenuhi ketentuan tentang criteria waralaba dapat melakukan pendaftaran usaha waralabanya. Bagi pihak pewaralaba (Franchisor) mempunyai kewajiban melakukan pendaftaran prospektus penawaran waralaba, sedangkan bagi terwaralaba (Franchisee) mempunyai kewajiban melakukan pendaftaran
10
perjanjian waralabanya sesuai dengan Permendagri No. 12 tahun 2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Peterbitan STPUW. Perjanjian waralaba berisi namadan alamat para pihak, jenis Hak Kekayaan Intelektual, kegiatan usaha, hak dan kewajiban, bantuan dan fasilitas, wilayah usaha, jangka waktu, kepemilikan, penyelesaian sengketa dan tata cara perpanjangan. Pewaralaba diharuskan untuk membuat prospektus berisi data identitas, legalitas usaha, sejarah kegiatan usaha, struktur organisasi, laporan keuangan dua tahun terakhir, jumlah tempat usaha, daftar penerima waralaba, hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba. Saat ini hukum yang secara langsung mengatur tentang waralaba di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah RI No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba
serta
Peraturan
Menteri
Perdagangan
RI
Nomor
31/M-
DAG/PER/2008 tentang Penyelengaraan Waralaba. PP No. 42 tahun 2007 diterbitkan untuk menggantikan aturan sebelumnya yaitu PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba. Pelaksanaan PP No. 42 tahun 2007 selanjutnya diatur dalam Permendag RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 yang mulai berlaku 12 Agustus
2008.
Permendag 31/M-DAG/PER/8/2008
diterbitkan
untuk
menggantikan aturan lama yaitu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW).
11
Perkembangan hukum perjanjian saat ini diwarnai oleh semakin tipisnya tabir pemisah antara dua sistem hukum besar yaitu Common Law dan Civil Law.Dinamika hubungan bisnis yang melibatkan para pelaku bisnis antara Negara telah membawa dampak perkembangan hukum kontrak perjanjian yang mengadopsi asas-asas universal yang dikembangkan dalam praktek kebiasaan.6 Perkembangan hukum positif di Indonesia senantiasa sarat dengan terjadinya proses impor sistem hukum sejak jaman penjajahan, kemerdekaan
hingga
era
globalisasi.
Setidaknya
di
tandai
dengan
berkembangnya tradisi hukum eropa di Indonesia sampai saat ini, sementara tumbuh desakan untuk mengakomodasi nilai dan norma lokal maupun pengaruh hukum yang berkarakter Common Law. Hal ini berlaku juga dalam pengaturan tentang Franchise (waralaba). Kerjasama bisnis dengan model waralaba merupakan kerjasama yang dilandaskan pada asas kepercayaan dan transparansi.Franchisor harus percaya akan kemampuan Franchisee dalam mengelola gerainya. Sebaliknya Franchisee juga percaya bahwa bisnis yang dikembangkan Franchisor betulbetul
bisnis
yang
prospektif
da
menguntungkan.Dalam
mekanisme
operasionalnya, kedua belah pihak juga harus percaya bahwa masing-masing memiliki itikad baik untuk bekerjasama dan berbagai keuntungan maupun resiko.Namun kepercayaan dan itikad baik tersebut memerlukan instrumen hukum
untuk
melindungi
hak-hak baik
pihak
Franchisor
maupun
Franchisee.Perlu ada kekuatan hukum untuk memaksa kedua belah pihak 6
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian – Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, hal. 7-8.
12
tetap menyeimbangkan hak dan kewajiban masing-masing. Kebutuhan utama para pelaku bisnis waralaba adalah perlindungan terhadap hak-hak para pemainnya.Di AS misalnya, ada Uniform Franchising Offering Circular (UFOC) yang disahkan oleh International Franchising Association.UFOCberisi 23 item yang menyangkut keterbukaan, seperti sejarah dan pengalaman perusahaan, faktor finansial (biaya-biaya yang diperlukan untuk menjadi Franchisee), hak dan kewajiban kedua belah pihak, laporan keungan, yang telah diaudit, daftar Franchisee, dokumen kontrak, bukti
transaksi,
serta
informasi-informasi
lain
diantaranya
program
pembiayaan, teritori, merek dagang, dan provisi transfer, serta perpanjangan kerjasama. Substansi UFOC ini kemudian menjadi acuan Franchise Disclosure Document di Indonesia yang di tuangkan dalam bentuk Prospektus Penawaran Waralaba. Substansi dari Franchise Disclosure Document adalah perlunya tranparansi atau keterbukaan dari pihak Franchisor agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dalam perjanjian waralaba. Sebelum mengikat diri dalam suatu kontrak kerjasama dengan Franchisor, seorang Franchisee harus tahu segala informasi mengenai perusahaan Franchisor, mencakup segala aspek yang dapat mempengaruhi kerjasama tersebut di masa depan. Disclosure Agreement yang tertuang dalam prospektus penawaran waralaba ini tentunya membawa akibat hukum bagi para pihak dalam waralaba, baik bagi Franchisor maupun bagi Franchisee.Akibat hukum yang timbul berkaitan erat dengan aspek kerahasiaan dari pihak Franchisor, karena harus
13
disampaikan kepada calon investor, aspek kerahasiaan dari Prospektus Penawaran Waralaba tentu sulit dipertahankan.Itu sebabnya, Franchisor harus menjaga keseimbangan antara transparansi dan kerahasiaan. Keseimbangan yang dimaksud disini adalah keseimbangan pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara adil. Hakikat suatu perjanjian adalah mewujudkan pertukaran hak dan kewajiban secara adil. Dengan demikian ketidakseimbangan hasil dapat diterima sebagai sesuatu yang adil apabila proses pertukaran hak dan kewajiban berlangsung secara proposional. Makna asas proporsionalitas adalah asas yang mengatur pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan proporsi atau bagiannya, yang meliputi seluruh proses kontrak, baik pada tahapan pra kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak/perjanjian tersebut. Merujuk pada PP No. 42 Tahun 2007 mengatur bahwa prospektus penawaran waralaba merupakan kewajiban pemberi waralaba terhadap penerima waralaba serta mewajibkan pemberi waralaba untuk mendaftarkan prospektus penawaran waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelitinya lebih lanjut tentang Prospektus Penawaran Waralaba dalam perjanjian waralaba dan menuangkannya kedalam bentuk skripsi yang berjudul “PengaturanProspektus WaralabaDalamPerjanjianWaralaba”
Penawaran
14
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkanlatarbelakangyang
dikemukakandi
atas,
maka
permasalahanpokok dalampenulisanskripsiinidirumuskansebagaiberikut: 1. Bagaimanakah penjabaran prospektus penawaran waralaba dalam perjanjian waralaba? 2. Bagaimanakah pengaturan Franchise Disclosure Document (FDD) dalam prospektus penawaran waralaba?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenai materi yang diatur di dalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut: 1. membahas mengenai pengeritian Franchise Disclosure Document (FDD). 2. membahas mengenai pengertian Uniform Franchising Offering Circular (UFOC). 3. membahas mengenai pengertian Prospektus Penawaran Waralaba. 4. membahas mengenai asas-asas pada penawaran waralaba. 5. membahas mengenai pengertian Disclosure Agreement.
15
1.4. Orisinalitas Penelitian Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum, baik di Universitas Udayana maupun di Perguruan Tinggi lain. 2. skripsi ini merupakan hasil gagasan, ide, pemikiran, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dari Tim Pembimbing. 3. dalam Skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain; kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan maupun daftar pustaka. 4. adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan pembahasan yang berkaitan dengan waralaba yang sudah ada sebelumnya, yaitu sebagai berikut: Tabel 1: Karya Tulis Terdahulu
JUDUL
RUMUSAN
RUMUSAN
MASALAH 1
MASALAH 2
PENULIS
Perlindungan Hukum
Krisyalia
Bagaimana
Bagaimana
Bagi Pelaku Usaha
Wahyu
pelaksanaan
perlindungan
Waralaba
Sari
perjanjian
hukum bagi para
(Universitas
waralaba dalam
pihak dalam
Diponegoro, Tahun
praktek?
pelaksanaan
2009)
perjanjian waralaba?
16
Akibat Hukum
Djarot
Apakah perjanjian
Apakah akibat
Perjanjian Waralaba
Pribadi
waralaba yang
hukum dari
Yang Dilakukan Saat
dilakukan pada
perjanjian
Proses Pendaftaran
saat masih
waralaba tersebut
Merek
dilakukan
bilamana ditolak
(Fakultas Hukum
pendaftaran
pendaftaran
Universitas Narotama
mereknya
mereknya?
Surabaya,Tahun 2011)
mempunyai kekuatan mengikat?
Fungsi Prospektus
Fisiliya
Apakah Asas-
Apakah Fungsi
Penawaran Waralaba
Aricka
Asas Yang
Prospektus
Dalam Perjanjian
Yuliyarsih
Terkandung
Penawaran
Waralaba Di
Dalam Prospektus
Waralaba Dalam
Indonesia
Penawaran
Perjanjian
(Fakultas Hukum
Waralaba?
Waralaba Di
Universitas Jember, Tahun 2013)
Indonesia?
17
1.5. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sesuatu yang berguna untuk menentukan hasil apa yang diperoleh, dan pada penulisan suatu karya ilmiah haruslah mempunyai tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma ilmu sebagai proses (sience as a process). Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing.Tujuan khusus (het doel in het onderzoek) mendalami permalasahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan penelitian. Penjelasan lebih lanjut mengenai tujuan umum dan khusus dari pembuatan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.5.1. Tujuan Umum 1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran dalam suatu karya ilmiah secara tertulis. 2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. 3. Untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan hukum. 4. Untuk menambah perkembangan kepribadian diri mahasiswa dalam kehidupan masyarakat. 5. Pembulatan studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dan jumlah beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum.
18
1.5.2. Tujuan Khusus Dalam mengambil pembahasan permasalahan, penulis mempunyai beberapa tujuan khusus, sebagai berikut: 1. untuk mengkaji dan menganalisis fungsi prospektus penawaran waralaba dalam perjanjian waralaba di Indonesia beserta asas-asas yang terkandung dalam Prospektus penawaran waralaba 2. untuk
mengkaji
dan
menganalisis
pemaknaan
Franchise
Disclosure Document dalam peraturan tentang waralaba di Indonesia.
1.6. Manfaat Penelitian Dalam suatu penelitian, terdapat manfaat penelitian. Selain bermanfaat bagi penulis, diharapkan juga bisa bermanfaat bagi semua pihak dan tentunya mempunyai manfaat yang dianggap positif. Manfaat penelitian dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis. Adapun penjelasan sebagai berikut: 1.6.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, adapun manfaat teoritik dari penelitian ini yang ingin dicapai adalah agar penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam studi hukum di bidang waralaba secara lebih mendalam serta memperkaya dan menambah wawasan ilmiah dalam khasanah ilmu hukum khususnya hukum bisnis. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi dan menghasilkan suatu penjelasan tentang pengertian dari prospektus penawaran waralaba dalam sebuah perjanjian beserta fungsi dan tujuannya, sehingga
19
pengaturanserta keberadaan prospektus penawaran waralaba tersebut dapat jauh lebih di angkat dan di perkenalkan dalam wawasan luas. 1.6.2 Manfaat Praktis Dari segi praktis, berguna sebagai upaya yang dapat diperoleh langsung manfaatnya, seperti peningkatan keahlian meneliti dan keterampilan menulis, sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu masalah hukum, acuan pengambilan keputusan yuridis, bacaan baru bagi penelitian ilmu hukum,7 serta dapat menjadi pedoman memahami tentang perbedaan antara prospektus penawaran waralaba, Franchise Disclosure Document, Uniform Franchising Offering Circular, know-how system, Disclosure Agreement dalam perjanjian waralaba.
1.7. Landasan Teoritis Setiap pelaku bisnis dalam pandangan klasik hanya digambarkan sebagai pihak yang selalu berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kegiatan bisnis yang dilaksanakannya. Namun, dalam dunia bisnis dewasa ini yang telah berkembang secara pesat, para pelaku bisnis tidak lagi hanya berusaha untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Setiap pelaku bisnis tersebut juga akan selalu berusaha untuk melindungi esksistensi bisnisnya. Hal tersebut mereka lakukan dengan cara mengembangkan dan melindungi format bisnis yang telah berhasil mereka hasilkan. Format yang seringkali digunakan oleh para
7
Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 66.
20
pelaku bisnis untuk memperoleh laba dan sekaligus melindungi pengaturan bisnisnya adalah waralaba (Franchise). Waralaba adalah terjemahan bebas dari kata Franchise dimana merujuk pada PP No. 42 tahun 2007 tentang waralaba dalam pasal 1 angka 1 menyebutkan definisi waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Usaha waralaba atau Franchise dan peluang bisnis kian marak, fenomena bermunculannya peluang-peluang bisnis yang ditawarkan dalam bentuk waralaba dipicu kelonggaran aturan pemerintah dan peluang bisnis kian marak, fenomena bermunculannya peluang-peluang bisnis yang ditawarkan dalam bentuk waralaba dipicu kelonggaran aturan pemerintah yang mengatur sistem bisnis atas dasar waralaba. PP No. 42 tahun 2007 tentang waralaba mampu mengerem pertumbuhan peluang bisnis yang mengatasnamakan waralaba, waralaba harus bisa memenuhi syarat dan membuktikan profitabilitas dan keunikan usahanya serta contoh khas usahanya sudah berjalan dan sukses. Pewaralaba juga harus memberikan bimbingan dan pelatihan pemasaran yang berkesinambungan.Berdasarkan pengertian waralaba dalam pasal 1 angka 1 PP No. 42 tahun 2007 tersebut nampak jelas bahwa waralaba dilaksanakan berdasarkan sebuah kontrak waralaba. Keberhasilan dalam bisnis antara lain ditentukan oleh struktur kontrak atau perjanjian yang ideal seharusnya mampu mewadahi pertukaran kepentingan para
21
pihak secara fair dan adil (proposional). Fase penting yang harus dilalui para pihak dalam proses pembentukan kontrak perjanjian adalah negoisasi pada waktu penawaran. Negoisasi awal saat penawaran dalam perjanjian merupakan perwujudan penerapan atas proporsionalitas menuju tahapan pembentukan kontrak perjanjian. Salah satu hal yang unik dalam Franchise adalah di satu pihak banyak hal-hal yang dimiliki oleh pihak Franchisor yang harus dirahasiakan, seperti formula resep makanan misalnya, tetapi di lain pihak Franchisor dibebankan kewajiban Disclosure mengenai hal-hal tertentu yang harus dibukanya kepada pihak Franchisee atau calon Franchisee. Seringkali hal-hal yang perlu di Disclosure ini dituangkan dalam suatu dokumen yang disebut dengan istilah prospektus.Di negara-negara yang perkembangan bisnisnya sudah mantap, terdapat guidelines tertentu tentang hal-hal yang harus di Disclosure atau terhadap isi prospektus tersebut. Keberhasilan suatu kerjasama Franchise di tentukan pada saat-saat awal, ketika calon Franchisee menjajaki waralaba mana yang akan dia beli. Di Amerika Serikat, pemerintah mengharuskan pemberi waralaba menyiapkan suatu Disclosure Statement atau secara resmi dinamakan Uniform Franchise Offering Circular (UFOC) atau Prospektus. Dalam prospektus tersebut, pemberi waralaba harus menyajikan informasi tentang topik-topik Disclosure Statement, antara lain mengenai sejarah litigasi dan kebangkrutan, identitas para direktur dan para eksekutif, informasi finansial, identifikasi segala produk yang harus dibeli pemegang ijin waralaba sebagai persyaratan yang ditentukan pemilik, dan
22
siapakah yang menjadi pemasok untuk memenuhi pembelian tersebut.8Apa yang diterapkan di Amerika Serikat tersebut, diterapkan di Indonesia dalam bentuk Prospektus Penawaran Waralaba. Prospektus Penawaran Waralaba adalah dokumen tertulis yang menurut PP No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba merupakan kewajiban pemberi waralaba kepada penerima waralaba yang harus diberikan pada saat melakukan penawaran waralaba. Disclosure pada tahap awal pembelian hak waralaba juga dikenal dengan istilah FOC (Franchising Offering Circular). FOC merupakan Disclosure Document yang diberikan oleh Franchisor kepada kandidat Franchisee yang telah terkualifikasi, sebelum ia memutuskan penandatanganan perjanjian waralaba. FOC berisi fakta-fakta finansial maupum non finansial berkaitan dengan Franchisor dan para Franchisee yang ada saat ini dan yang telah berhenti.Untuk melindungi investor (calon Franchisee), FOC harus dipelajari oleh calon Franchisee paling tidak selama 10 hari.Dalam waktu ini Franchisor tidak diijinkan untuk mempengaruhi dan calon Franchisee belum diijinkan untuk menandatangani perjanjian waralabanya. Prospektus Penawaran Waralaba adalah dokumen tertulis yang menurut PP No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba, harus didaftarkan oleh pewaralaba (dalam bahasa hukum disebut Pemberi Waralaba) ke pejabat yang akan menangani pendaftaran waralaba. Prospektus ini bukan sekedar persyaratan legal untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagai pemberi waralaba.Dokumen ini harus mampu pula berperan sebagai sarana pendukung 8
Imam Sjahputra Tunggal, 2005, Franchising: Konsep dan kasus, Harvarindo, Jakarta, hal. 26-28.
23
upaya pemasaran waralaba, karena harus diserahkan pula kepada calon investor sebelum penandatanganan Perjanjian Waralaba.Berkenaan dengan prospektus ini, pewaralaba juga wajib memberi waktu yang cukup (diperkirakan minimal sekitar 7 atau 10 hari) bagi calon investor untuk mempelajari prospektus tersebut. Disclosure Agreement yang tertuang dalam Prospektus Penawaran Waralaba ini tentunya membawa akibat hukum bagi para pihak dalam waralaba, baik bagi Franchisor maupun bagi Franchisee.Akibat hukum yang timbul berkaitan erat dengan aspek kerahasiaan dari pihak Franchisor.Akibat hukum lainnya adalah apakah pengaturan tentang kewajiban Disclosure dalam waralaba di Indonesia telah dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak dalam waralaba.Karena harus disampaikan kepada calon investor, aspek kerahasiaan dari Prospektus Penawaran Waralaba tentu sulit dipertahankan.Itu sebabnya, Franchisor harus menjaga keseimbangan antara transparansi dan kerahasiaan. Keseimbangan yang dimaksud disini adalah keseimbangan pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair sesuai dengan proporsinya masing-masing pihak dalam perjanjian waralaba (Asas Proposional). Asas Proporsionalitas dalam kontrak atau perjanjian diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proposi atau bagiannya. Proporsionalitas pembagian hak dan kewajiban ini yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase pra kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas proporsionalitas tidak
24
mempermasalahkan keseimbangan/kesamaan hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak.9
1.8. Metode Penelitian Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis.10 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jelas menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.11 Dalam penelitian hukum, seorang peneliti hukum dapat melakukan aktivitas-aktivitas untuk mengungkapkan kebenaran hukum yang dilakukannya secara terencana, metodologis, sistematis, dan konsisten. Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian ini akan diawali dari teknik pengumpulan data sampai dengan teknik
analisis
data, dengan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut:
9
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian – Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, hal. 29. 10 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hal. 44. 11 Ibid.
25
1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa penelitian hukum normatif mencakup: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.12 Pendekatan normatif ini digunakan untuk menelaah ketentuanketentuan yang berkaitan dengan perjanjian waralaba yang di dalamnya terdapat prospektus penawaran waralaba sebagai salah satu ketentuan atau syarat yang di perlukan dalam mendirikan dan/atau mengadakan sebuah kegiatan bisnis waralaba (franchise) yang mana dalam hal ini terkait dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Perdagangan, dan sejumlah pengaturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan Waralaba (franchise). 1.8.2 Jenis Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, pendekatanpendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah: a. pendekatankasus (the cases approach); b. pendekatanperundang-undangan (the statute approach); d. pendekatan analisis konsep hukum (analitical&conseptual approach); f. pendekatan sejarah ( historical approach); g. pendekatan perbandingan (comperative approach).
12
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 153.
26
Dalam karya tulis, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini,13pendekatan sejarah (historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan dari materi yang diteliti,14 Pendekatan fakta (the fact approach) digunakan berdasarkan pada fakta atau kenyataan aktual yang terjadi dalam masyarakat. Pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan. 1.8.3. Bahan Hukum Dalam skripsi ini bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mengkaji bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, adapun penjelasan mengenai bahan-bahan hukum tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bahan Hukum Primer Menurut Peter Mahmud Marzuki: “Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas.”15 Suatu penelitian normatif itu sumber datanya adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan hukum, yang merupakan hasil penelitian dan pengelolaan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya
13
Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif,Bayumedia Publishing, Malang, hal. 302. 14 Mukti Fajar,op.cit, h.189. 15 Peter Mahmud Marzuki, op., cit., hal 141.
27
disediakan diperpustakaan, atau milik pribadi.16 Data sekunder itu sendiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.17 Sumber bahan hukum primer adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru muktahir, ataupun perngertian baru tentang fakta-fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan ide.18 Kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah : a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b) Peraturan Perundang-Undangan, yakni Undang-Undang atau Peraturan yang setara. Yaitu: 1) Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. 2004-2009 2) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba 3) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. 4) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor
31/M-DAG/PER/8/2008
tentang
penyelenggaraan waralaba. 5) The Uniform Franchise Offering Circular Guidelines (UFOC) atau Franchise Disclosure Document (FDD) 16
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 65. 17 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 118. 18 Ibid.
28
2. Bahan Hukum Sekunder Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder menurut Peter Mahmud Marzuki adalah: “…berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.”19 Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum yang berupa buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer), pendapat para sarjana, maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang di pergunakan dalam pembuatan skripsi ini yakni studi kepustakaan (study document). Teknik studi kepustakaan (study document) bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus diperiksa ulang validitas dan realibilitasnya,
19
Ibid.
29
sebab hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian.20 Penelusuran bahanbahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui media internet.21Kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Teknik ini dilakukan dengan cara mencari, menginventarisasi, dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang terkait. Selain itu juga dilakukan penghimpunan data melalui penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1.8.5. Teknik Analisis Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.22 Adapun teknik pengolahan bahan yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.23 Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara detail dari penjelasan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.24
20
21
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, op.cit, hal. 68.
Mukti Fajar, op.cit, hal. 160. Ibid, hal. 183. 23 Rony Hnitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, cet. II, Ghalia Indo, Jakarta, Hal. 93. 24 Ibid. 22
1
1