BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan
bertentangan
dengan
narkotika peraturan
merupakan
perbuatan
perundangan-undangan.
yang
Saat
ini
penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang akhirnya merugikan kader-kader penerus bangsa. Penyalahgunaan narkotika tidak terlepas dari sistem hukum positif yang berlaku di negara Indonesia. Sistem hukum positif yang berlaku di negara Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini terlihat dalam efektifnya pelaksanaan sanksi pidana. Dalam Undangundang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Selanjutnya disingkat Undang-undang Narkotika) terdapat beberapa sanksi, seperti sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, maupun sanksi pidana denda yang penerapannya dilakukan secara kumulatif. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia semakin meningkat dan sulit diberantas, Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat bahwa pengguna NARKOBA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya) di Indonesia sekitar 3,2 juta orang, atau sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk negeri ini. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8.000 orang 1
menggunakan narkotika dengan alat bantu berupa jarum suntik, dan 60 persennya terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap tahun karena menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain. Dari hasil pengamatan perkembangan meningkatnya penyalahgunaan narkotika dalam hal ini perlu dilakukan upaya pencegahan dan mengurangi tindak kejahatan penyalahgunaan narkotika tersebut, yang tidak terlepas dari peranan hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang tugasnya mengadili tersangka atau terdakwa. Yang dimaksud dengan mengadili adalah: “Serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak pada sidang PENGADILAN dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana,
yaitu
memeriksa
dengan
berdasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Pada tahap ini tersangka dituntut, diperiksa dan diadili oleh hakim dinamakan terdakwa”. Untuk
mengambil
keputusan,
hakim
harus
mempunyai
pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap putusan hakim merupakan salah satu dari ketiga kemungkinan sebagai berikut: 1) Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu pemidanaan terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah dilakukan dan perbuatan itu adalah
2
suatu tindak pidana menurut hukum dan keyakinan cukup dibuktikan. 2) Putusan bebas, yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti. 3) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu jika kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana. Putusan hakim merupakan putusan yang isinya menjatuhkan hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan tersebut dapat dijalankan. Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar supaya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dapat dilaksanakan, misalnya apabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya segera dikeluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda, agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam
rumah
Lembaga
Pemasyarakatan
dan
sebagainya.
Hasil
keputusan hakim tersebut dapat menimbulkan dampak yang sangat luas bagi masyarakat. Hal tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap perkembangan kasus penyalahgunaan narkotika yang tidak berkurang bahkan semakin
3
meningkat di beberapa daerah pada umumnya dan di Daerah Istimewa Yogyakarta
pada
khususnya.
Dengan
peningkatan
jumlah
penyalahgunaan narkotika yang dari tahun ke tahun semakin meningkat, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak”. B.
Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah
pertimbangan
hukum
oleh
hakim
dalam
memutuskan perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak khususnya pada Putusan No.142/Pid.B/2011/PN Malili? 2. Apakah hakim dapat menjatuhkan hukuman di bawah ancaman minimal sebagaimana Pasal 111, 112, dan 114 UU Nomor 35 tahun 2009?
C.
Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak khususnya pada Putusan No.142/Pid.B/2011/PN Malili. 2. Untuk mengetahui apakah hakim dapat menjatuhkan hukuman di bawah ancaman minimal sebagaimana Pasal 111, 112, dan 114 UU Nomor 35 tahun 2009.
4
BAB II TINJUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
1. Pengertian Tindak Pidana Hukum Pidana Belanda memakai istilah Strafbaar Feit. Kadangkadang juga delict yang berasal dari kata Latin delictum. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu Strafbaar Feit. Moeljatno dan Ruslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana meskipun tidak untuk menerjemahkan Strafbaar Feit itu. Sedangkan Utrecht
menyalin istilah Strafbaar Feit
menjadi peristiwa
pidana (Andi Hamzah, 2005: 95). Di negeri Belanda dipakai istilah feit dengan alasan istilah itu tidak meliputi hanya perbuatan (handelen), tetapi juga pengabaian (nalaten). Pemakaian istilah feit pun disana dikritik oleh Van der Hoeven, karena katanya yang dapat dipidana ialah pembuat, bukan feit itu. Senada dengan
itu,
Van
Hamel
mengusulkan
istilah
straafwaardig
feit
(straafwaardig artinya patut dipidana). Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa mengatakan istilah delict kurang dipersengketakan, karena hanya istilah Strafbaar Feit itu telah biasa dipakai (Andi Hamzah, 2005: 96). Dalam istilah hukum pidana, diartikan sebagai delik/peristiwa pidana/perbuatan pidana. Tindak Pidana menurut
Simon merupakan
perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan mana 5
dilakukan
oleh
seseorang
yang
dipertanggungjawabkan,
dapat
disyaratkan kepada si pelaku (C.S.T. Kansil, 1995:106). Moeljatno
mengatakan,
bahwa
perbuatan
pidana
itu
dapat
dipersamakan dengan criminal act (istilah yang dipakai di Hukum Pidana Negara Anglo Saxon), jadi berbeda dengan Strafbaar Feit, yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana. Menurut beliau, criminal act itu berarti kelakuan dan akibat, yang disebut juga actus reus (Andi Hamzah, 2005: 96). Oleh karena itu penulis akan memakai istilah delik yang umumnya dipakai dalam penulisan skripsi hukum ini. Menurut Adami Chazawi (2002:33) dalam bukunya “Pelajaran Hukum Pidana Bagian I” yang mengutip pandangan dari para pakar hukum tentang tindak pidana, menjelaskan pengertian straafbaar feit dan istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah:
Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Th 1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirjono Prodjodikoro (lihat buku Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia). Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya R. Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana”, H.J van Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana”. Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-undang Dasar Sementara tahun 1950 (baca Pasal 14 ayat (1). Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delicum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud 6
dengan strafbaar feit,. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentukan Undang-undang dalam Undang-undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (baca Pasal 3). Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-Azas Hukum Pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada 6 istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit (Belanda). Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Dari 7 istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan ”feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya. Untuk kata “baar” ada 2 istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat. Secara literlijk bisa kita terima. Sedangkan untuk kata feit digunakan 4 istilah, yakni tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk, feit memang lebih pas untuk diterjemahkan dengan perbuatan.
Kata
pelanggaran
telah
lazim
digunakan
dalam
perbendaharaan hukum kita untuk mengartikan dari istilah overtreding
7
sebagai lawan dari istilah misdrijiven (kejahatan) terhadap kelompok tindak pidana masing-masing dalam buku III dan buku II KUHP. Sedangkan untuk kata “peristiwa”, menggambarkan pengertian yang lebih luas dari perkataan perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seseorang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam hukum pidana. Baru menjadi penting dalam hukum pidana, apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif). Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam aturan perundang-undangan kita, walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang positif atau negatif (nalaten). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan
aktif
artinya
suatu
bentuk
perbuatan
yang
untuk
mewujudkannya diperlukan/ disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP). Sedangkan perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP). 8
Sedangkan istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada kaitannya dengan istilah strafbaar feit, karena istilah ini berasal dari kata delicticum (Latin), yang juga dipergunakan dalam perbendaharaan hukum Belanda: delict, namun isi pengertiannya tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaar feit. Secara umum istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan ilmu hukum kita, misalnya istilah materieele feit atau formeele feit (feiten een formeele omschrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana formil). Demikian juga istilah feit dalam banyak rumusan norma-norma tertentu dalam WvS (Belanda) demikian
juga WvS
(Nedherland
Indie/Hindia Belanda), misalnya Pasal 1,Pasal 44,Pasal 48,Pasal 63,Pasal 64 KUHP, selalu diterjemahkan oleh para ahli hukum kita dengan perbuatan,
dan
tidak
dengan
tindakan
atau
peristiwa
maupun
pelanggaran. Istilah perbuatan pidana ini pernah juga digunakan oleh pembentuk Undang-undang dalam UU No. 1/Drt/1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kesatuan Acara Pengadilan Sipil (baca Pasal 5). Moeljatno (1983: 54) menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai berikut: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.
9
Menurut Sudarto (1990:2), ”Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime atau vertrechten atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis”. Adapun istilah perbuatan pidana lebih cepat, alasannya adalah: Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu: pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu. 2. Pengertian Tindak Pidana Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman,
baik
sintetis
maupun
semisintesis,
yang
dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pada dasarnya narkotika merupakan zat atau obat yang 10
sangat bermanfaat dan diperlukan bagi pengobatan penyakit tertentu. Narkotika juga sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu kesehatan dan ilmu pengetahuan. Namun disamping fungsi-fungsi positif itu, narkotika juga mempunyai dampak negatif apabila disalahgunakan tanpa pengawasan
yang
ketat,
yaitu
menyebabkan
berkembangnya
penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang mempunyai daya pengrusak generasi yang sangat besar. Bahaya narkotika dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara, serta dapat merugikan diri sendiri, keluarga, teman, dan lingkungan masyarakat tanpa mengenal
strata
ekonomi
seseorang.
Peredaran
gelap
dan
penyalahgunaan narkotika adalah masalah yang besar yakni dapat mengganggu kehidupan sosial, ekonomi dan politik nasional maupun dunia internasional. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Tindak Pidana adalah: Perbuatan pidana atau perbuatan kejahatan. 1. Pompe mengemukakan dua gambaran yaitu : Gambaran teoritis: suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (tata hukum; norma), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Dalam gambaran teoritis ini unsur-unsur peristiwa pidana adalah: suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum (onrechtmating
11
atau wederrechtelijk) dan suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld van de overtreder te wijten). Dan unsur ketiga adalah suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar). 2. Gambaran menurut hukum positif: suatu peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan oleh suatu peristiwa yang menyebabkan hukuman. Undang-undang sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana. Ditambahkan, bahwa unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid) maupun unsur bersalah (schuld) bukanlah unsur mutlak suatu peristiwa pidana. Pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara kedua gambaran ini. Teori berpegangan pada asas: tidak dapat dijatuhkan hukuman apabila tidak ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum dan ada kesalahan. Sedangkan hukum positif berpegangan kepada: tiada kesalahan tanpa suatu kelakuan yang melawan hukum (erberstaat geenheid). Tiada hukuman tanpa kesalahan. Asas ini merupakan dasar dari baik hukum positif maupun teori. Simons memberikan batasan: Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan, yang oleh hukum diancam dengan hukuman, melawan hukum, berhubungan
dengan
kesalahan,
dilakukan
oleh
seorang
yang
bertanggungjawab (een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon). Pengertian Kejahatan menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya “Ilmu Jiwa Kejahatan” dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain :
12
1. Segi Yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarnya diancam dengan sanksi ; 2. Segi Kriminologis, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku didalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat. 3. Segi Psikologis, yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melawan hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.
Dari beberapa definisi kejahatan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Undangundang dan terhadap perbuatannya dapat dikenakan sanksi. Jadi, Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika. dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
dan ketentuan-
ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut, antara lain dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
BAB V tentang Peredaran Narkotika Pasal 32 s/d 40
BAB VII tentang Pengobatan dan Rehabilitasi Pasal 44 s/d 51
BAB VIII tentang Pembinaan dan Pengawasan Pasal 52 s/d 56
BAB IX tentang Peran Serta Masyarakat Pasal 57 s/d 59
BAB X tentang Pemusnahan Pasal 60 s/d 62
13
BAB XI Tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pasal 63 s/d 77
BAB XII Tentang Ketentuan Pidana Pasal 78 s/d 100
3. Pengertian Anak Anak jika ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian „‟Anak‟‟ di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarigheid / inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). Maka bertitik tolok kepada aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak. (Lilik Mulyadi, 2005:3) Secara umum peraturan perundang-undangan di berbagai negara terutama pada pendekatan usia tidak ada keseragaman perumusan tentang anak. Kaitannya dengan itu maka Suryana Hamid (Arif Gosita, 2004:21) menguraikan bahwa di Amerika, batas umur anak 8 (delapan) sampai 18 (delapan belas) tahun. Di Australia disebut anak apabila berumur minimal 8 (delapan) tahun dan maksimal 16 (enam belas) tahun, di Inggris batas umur anak 12 (dua belas) tahun dan maksimal 16 (enam belas) tahun sedangkan di Belanda yang disebut anak adalah apabila umur antara 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun, demikian juga di Srilangka, Jepang, Korea, Filipina, Malaysia dan Singapura. 14
Selanjutnya Task Force on Juvenile Delinquency Prevention menentukan bahwa batas umur anak yang bisa dipertanggung jawabkan menurut hukum pidana adalah berumur 10 (sepuluh) sampai 18 (delapan belas) tahun. Resolusi PBB Nomor 40/30 tentang Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice, menentukan batas umur anak adalah 7 sampai 18 tahun (Paulus Hasisuprapto, 1997: 37). Sedangkan bila bertitik tolak dari laporan penelitian Katayen H Cama (Lilik Mulyadi, 2005:16) batas umur minimal bervariasi dari umur 7-15 tahun. Hal ini dipertegas dengan redaksional sebagai berikut: Bahwa dalam tahun 1953 berdasarkan laporan Katayen H. Cama. Hakim Pengadilan Anak Bombay, India yang mengadakan research untuk Departemen Sosial dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atas permintaan Social Commison dari Economic and Social Council menyatakan, bahwa: Di Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di bawah usia 7 tahun dianggap tidak melakukan kejahatan; Di Jepang, tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak kurang dari 14 tahun tidak dapat dihukum Di Filipina, anak-anak di bawah 9 tahun, dan di Muangthai anakanak di bawah 7 tahun tidak dapat dipertanggung jawabkan secara kriminal. Di Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di antara umur 7 tahun dan di bawah 12 tahun dan Filipina seorang anak di antara umur 9 tahun dan di bawah 15 tahun tidak dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, apabila ia pada waktu melakukannya belum dapat menghayati bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Sedangkan untuk batasan umur maksimal 18 (delapan belas) tahun dirasakan
cukup
representatif
dengan
kebanyakan
hukum
positif
Indonesia (UU 1/1974, UU 12/1995, UU 3/1997) serta juga identik pada ketentuan umur di 27 Negara Bagian Amerika Serikat, kemudian Negara Kamboja, Taiwan, Iran serta sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Convention 15
on the Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) dari Sidang Majelis Umum PBB yang diterima tanggal 20 November 1989 dan di Indonesia disahkan dengan Keputusan Presiden RI Nomor: 36 Tahun 1990 (LNRI Tahun 1990 Nomor 57) tanggal 25 Agustus 1990. Berbagai batas umur seperti diuraikan di atas, nampak ada kesamaan antara negara-negara yakni disebut anak apabila batas minimal berumur 7 (tujuh) tahun dan batas maksimal 18 (delapan belas) tahun, walaupun demikian ada juga negara yang mematok usia anak terendah 6 (enam) tahun dan tertinggi 20 (dua puluh) tahun, seperti Iran dan Srilangka. Perbedaan ini dapat saja terjadi karena adanya perbedaan pandangan yang disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat dari negara tersebut. Mendefinisikan anak dalam konteks hukum Indonesia amat sulit karena peraturan atau perundang-undangan yang berkaitan dengan status anak memberikan batasan umur yang berbeda-beda. Tidak seragamnya defenisi anak ini juga menimbulkan kesulitan dalam penerapan hukum anak. (Ds. Dewi dan Fatahillah A.Syukur, 2010:8)
16
Tabel 1. Perbedaan Definisi Anak di Indonesia No. Peraturan / Undang- Undang
Batasan Umur Anak
1
Kitab Undang-Undang Hukum Belum berusia 16 tahun dan belum Pidana pernah menikah.
2
Kitab Undang-Undang Hukum Belum mencapai 21 tahun dan belum Perdata menikah.
3
Undang-Undang No.1 Tahun Berusia 16 tahun bagi perempuan dan 1974 tentang Perkawinan 19 tahun bagi pria.
4
Undang-Undang No. 4 Tahun Belum mencapai 21 tahun dan belum 1979 tentang Kesejahteraan menikah. Anak
5
Undang-Undang No. 3 Tahun Anak Nakal adalah yang telah 1997 tentang Pengadilan Anak mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
6
Undang-Undang No. 39 Tahun Di bawah 18 tahun dan belum pernah 1999 tentang Hak Asasi menikah, termasuk anak yang masih Manusia dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
7
Undang-Undang No. 23 Tahun Belum berusia 18 tahun, termasuk 2002 tentang Perlindungan anak yang masih dalam kandungan. Anak
8
PUTUSAN MAHKAMAH Batas usia minimum 12 tahun tetapi KONSTITUSI UNDANG- belum mencapai 18 tahun dan belum UNDANG NOMOR 3 TAHUN pernah menikah. 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK (NOMOR 1/PUU-VIII/2010) Sesuai dengan yurisdiksi penanganan anak yang mengalami
permasalah hukum, maka batasan umur anak yang dipakai untuk saat ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Nomor 1/PUU-VIII/2010), yaitu anak yang batas usia minimum 12 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah. 17
B.
Pidana Dan Pemidanaan
1. Pengertian Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:1) istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana. Menurut Andi Hamzah (2008:27) ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya. Menurut Satochid Kartanegara (1995:275) bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang 18
ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut: 1) Jiwa manusia (leven); 2) Keutuhan tubuh manusia (lyf); 3) Kehormatan seseorang (eer); 4) Kesusilaan (zede); 5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid); 6) Harta benda/kekayaan (vermogen). Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli: Menurut van Hamel (P. A. F. Lamintang, 1984:34): “een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.” (artinya: suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni sematamata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.)
19
Menurut Simons (P. A. F. Lamintang, 1984:35): “Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” (artinya: suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.) Menurut Sudarto (Muliadi dan Barda Nawawi Arief, 2005:2) “Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.” Menurut Roeslan Saleh (2008:3) “Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.” Menurut Ted Honderich (Muhammad Taufik Makarao, 2005:18): Punishment is an authority‟s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence. (artinya: pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman [sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan] yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran). Menurut Alf Ross (Muhammad Taufik Makarao, 2005:19): Punishment is that social response which: a) Occurs where there is a violation of legal rule; b) Is imposed and carried out by authorized persons and behalf of the legal order to which violated rules belongs; c) Involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasent; d) Expres disapproval of the violater. (pidana adalah tanggung jawab sosial yang: a) terdapat pelanggaran terhadap aturan hukum; b) dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak yang berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum; c) merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; d) perwujudan pencelaan terhadap pelanggar).
20
Berdasarkan
beberapa
pengertian
(definisi)
pidana
yang
dikemukakan oleh para ahli, Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:4), menyimpulkan bahwa pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan; 2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); 3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Menurut P.A.F. Lamintang (1984:36) bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.
21
Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:9) menyebutkan, ternyata tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa, diantaranya adalah: Menurut Hulsman (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005:9): Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde reopen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni: untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia. Menurut G.P. Hoefnagels(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005:10): Hoefnagels tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (censure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering). Pendapatnya ini bertolak dari pidana, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh Polisi sampai vonis dijatuhkan. Jadi Hoefnagels melihatnya secara empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu. Keseluruhan proses pidana itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan) merupakan suatu pidana. Berdasarkan berbagai pandangan para ahli tentang arti pidana, tidak dapat dipungkiri bahwa nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsur yang memang ada dalam suatu pidana. Menurut Sahetapy (Muhari Agus Santoso, 2002:25) bahwa dalam pengertian pidana terkandung unsur penderitaan tidaklah disangkal. Penderitaan dalam konteks membebaskan harus dilihat sebagai obat untuk dibebaskan dari dosa dan kesalahan. Jadi penderitaan sebagai akibat pidana merupakan kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. 22
H.L. Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:156) dalam bukunya "The limits of criminal sanction", akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut: 1) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it); 2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm); 3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan 'penjamin yang utama/ terbaik' dan suatu ketika merupakan 'pengancam yang utama' dari kebebasan manusia. la merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener).
23
Hak negara untuk menjatuhkan pidana yang berupa pengenaan nestapa (derita) yang diberikan dengan sengaja kepada pelaku tindak pidana itu mendapat tanggapan yang berbeda, pada satu pihak penjatuhan pidana tersebut dipandang sebagai suatu hal yang tidak dapat dibenarkan dan di pihak lain ada pula yang berpandangan bahwa penjatuhan pidana itu dapat dibenarkan (diterima). Keberatan terhadap pengenaan pidana ini menurut Jan Remmelink (2003:595) didasarkan kepada: 1) Keberatan religius Leo Tolstoi, seorang filsuf Rusia misalnya, berpendapat bahwa kita tidak mungkin menghukum dengan nurani bersih. Mereka yakin bahwa orang-orang jahat jangan dilawan atau ditolak, orang-orang seperti itu yang membenci kita justru harus dikasihi. 2) Keberatan biologis Kewenanangan untuk menghukum juga ditolak dari pandangan fatalis-materialistis, yang menyebutkan bahwa kiranya merupakan kekeliruan untuk memandang perilaku manusia sebagai tindakan yang bersumber dari kehendak bebas sehingga mereka dianggap harus bertanggung jawab. Fenomena kesadaran dan juga karena itu kehendak harus dipandang sebagai produk sampingan proses fisiologi otak manusia, dan hanya seolah-olah muncul dari kemampuan manusia menimbang untung-rugi dan memilih antara baik dan buruk. Beranjak dari pandangan di atas, maka gagasan pertanggungjawaban harus ditolak dan pidana dianggap suatu campur tangan yang buruk. 24
3) Kategori ketiga mempertanyakan kewenangan negara untuk menghukum, karena negara sendiri yang secara langsung maupun tidak menetapkan syarat-syarat atau batasan tentang kriminalitas. Keberatan ini diajukan oleh Thomas Morus (filsuf Inggris) kepada raja Hendrik 2. Pengertian dan Tujuan Pemidanaan Yang dimaksud dengan pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seorang terdakwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto (1997 : 36): Penghukuman berasal dari kata dasar hukum , sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berschen) menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu maka tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya yaitu penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali bersinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Menurut M. Sholehuddin (2004:58) tujuan pemidanaan harus sesuai dengan
politik
hukum
pidana
dimana
harus
diarahkan
kepada
perlindungan masyarakat dari kesejahtraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/ negara, korban, dan pelaku. M. Sholehuddin (2004:59) mengemukakan sifat-sifat dari unsur pidana berdasarkan atas tujuan pemidanaan tersebut, yaitu : 1. Kemanusiaan,
dalam
artian
bahwa
pemidanaan
tersebut
menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. 25
2. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. 3. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun masyarakat). Tujuan
pemidanaan
dalam
hubungannya
dengan
usaha
penaggulangan kejahatan korporasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penanggulangan kejahatan korporasi yang dilakukan secara integratif melalui kebijakan penal dengan menggunakan sarana hukum pidana dan penanggulangan kejahatan korporasi melalui kebijakan non penal dengan menggunakan sarana selain hukum pidana (Andi Abu Ayyub Saleh, tanpa tahun : 10-18). Sementara itu menurut Muladi (2004:11) tujuan pemidanaan haruslah bersifat integratif, yaitu : 1.
Perlindungan masyarakat;
2.
Memelihara solidaritas mayarakat;
3.
Pencegahan (umum dan khusus);
4.
Pengimbalan/pengimbangan.
Dalam masalah pemidanaan dikenal ada dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman Wetboek van Strafrecht (W. v. S) Belanda sampai dengan sekarang yang diatur dalam KUHP, yaitu : 26
1. Bahwa orang dipenjara harus menjalani pidananya dalam tembok penjara. Ia harus di asingkan dari masyarakat ramai dan terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka yang bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan di belakang tembok penjara. 2. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi. Berkaitan dengan pemidanaan, maka muncullah teori-teori mengenai hal tersebut : a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien) Teori
pembalasan
mengatakan
bahwa
pidana
tidaklah
bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31). b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (doeltheorien) Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu 27
kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan. Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi). Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen (Wirjono Projdodikoro, 2003:26), terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral. Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi. c. Teori Gabungan (verenigingstheorien) Disamping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, 28
mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut adalah (Hermien Hadiati Koeswadji, 1995 : 1112): Kelemahan teori absolut : 1)
Dapat
menimbulkan
ketidakadilan.
Misalnya
pada
pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana
mati,
melainkan
harus
dipertimbangkan
berdasarkan alat-alat bukti yang ada. 2)
Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?
Kelemahan teori tujuan : 1)
Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
2)
Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
29
3)
Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan
munculnya
teori
gabungan
ini,
maka
terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe (Andi Hamzah, 2005 : 36). Pompe menyatakan : Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum. Van Bemmelan pun menganut teori gabungan (Andi Hamzah, 2005 : 36) sebagai berikut : Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat. Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
30
terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan (Andi Hamzah, 2005 : 37). Teori gabungan yang kedua yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat. Menurut Vos (Andi Hamzah, 2005 : 37) ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.”
31
3. Jenis-jenis Pidana a. Menurut KUHP Pasal 10 Pidana terdiri dari beberapa jenis, yaitu : Jenis - Jenis Pidana KUHP (UU No. 1/1946)
R-KUHP (2008)
Bab II Buku I Pasal 10
Bab III Buku I Pasal 65
A. Hukuman/Pidana Pokok : A. Pidana Pokok : Hukuman mati (death 1. Pidana penjara penalty/capital punisment) 2. Pidana tutupan 1. Hukuman penjara 3. Pidana pengawasan 2. Hukuman kurungan 4. Pidana denda 3. Hukuman denda 5. Pidana kerja sosial 4. Hukuman tutupan (khusus utk perbuatan yang patut dihormati) UU No. 20/1946 Menurut KUHP Pasal 10 B. Pidana Tambahan : B.Hukuman/Pidana Tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang2. Perampasan barang-barang barangtertentu tertentu 3. dan/atau tagihan 3. Pengumuman putusan hakim 4. Pengumuman putusan hakim 5. Pembayaran ganti kerugian 6. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat Hukum pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni : 1)
Pidana Pokok a)
Pidana mati
b)
Pidana penjara
c)
Pidana kurungan 32
Pidana denda
d) 2)
Pidana Tambahan a)
Pencabutan hak-hak tertentu
b)
Perampasan barang-barang tertentu
c)
Pengumuman putusan hakim
Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok , dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali
bagi
kejahatan-kejahatan
sebagaimana
tersebut
dalam
ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan. Menurut Tolib Setiady (2010:77) perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut : a. Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan). b. Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini
33
dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan). c.
Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut : 1)
Pidana Pokok
a) Pidana Mati Sebagai mana yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHP yaitu: “pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri‟. Di dalam negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP. Pidana mati juga tercantum dalam Pasal 6, 9, 10, 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati
34
juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, 9, 10, dan 14). Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan Fiat Eksekusi dari
Presiden
(Kepala
Negara) berupa
penolakan
grasi
walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan : 1)
Jika
pidana
pelaksanaan dijalankan
mati dijatuhkan dari
selama
pidana 30
oleh
mati
hari
Pengadilan
tersebut
terhitung
tidak
mulai
maka boleh
hari-hari
berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana. 2)
Jika terpidana dalam tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera
35
tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini. 3)
Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim. Dengan demikian pelaksanaan pidana mati harus dengan
Keputusan
Presiden
sekalipun
terpidana
menolak
untuk
memohon pengampunan atau grasi dari Presiden. Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.
36
b) Pidana Penjara Menurut A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah (Tolib Setiady, 2010:91) menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan. Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal satu hari sampai penjara seumur hidup. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Roeslan Saleh (Tolib Setiady, 2010:92) bahwa: Pidana penjara adalah pidana utama dari pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu. Pidana seumur hidup biasanya tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur hidup atau penjara dua puluh tahun). Sedangkan P. A .F. Lamintang (1988:69) menyatakan bahwa: Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain. 37
Masih banyak hak-hak kewarganegaraan lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Hamzah (Tolib Setiady, 2010 : 92) yaitu : Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti : 1) Hak untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-undang Pemilu). Di negara liberalpun demikian pula. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur. 2) Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik. 3) Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan. Dalam hal ini telah diperaktikkan pengendoran dalam batasbatas tertentu. 4) Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris, dan lain-lain). 5) Hak untuk mengadakan asuransi hidup. 6) Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata. 7) Hak untuk kawin. Meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka. 8) Beberapa hak sipil yang lain. c) Pidana Kurungan Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara,
keduanya
kemerdekaan.
merupakan
Pidana
kurungan
jenis pidana
perampasan
membatasi
kemerdekaan
bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga kemasyarakatan. 38
Pidana
kurungan
jangka
waktunya
lebih
ringan
dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa : “Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”. Menurut Vos (A. Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, 2006: 289) pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu : 1) Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delic culpa dan beberapa delic dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan. 2) Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.
39
d) Pidana Denda Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Menurut P.A.F. Lamintang (1984:69) bahwa : Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatankejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama. Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Sebagai mana telah dinyatakan oleh Van Hattum (Tolib Setiady, 2010:104) bahwa : Hal mana disebabkan karena pembentuk undang-undang telah menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku-pelaku dari tindak-tindak pidana yang sifatnya ringan saja. Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
40
2)
Pidana Tambahan Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barangbarang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus. Menurut
Hermin
Hadiati
Koeswati
(1995:45)
bahwa
ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah : 1)
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2)
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3)
Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberap perbuatan pidana tertentu.
4)
Walaupun
diancamkan
secara
tegas
di
dalam
perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana
tambahan
ini
adalah
fakultatif.
Artinya,
diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.
41
Pidana tambahan sebenarnya bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering sifat pidananya hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi. a) Pencabutan Hak-hak Tertentu Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah : 1)
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2)
Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3)
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)
Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan,
hak
menjadi
wali,
wali
pengawas,
pengampu atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri; 5)
Hak
menjalankan
kekuasaan
bapak,
menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6)
Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1) KUHP
mengatur
bahwa
hakim
menentukan
lamanya
pencabutan hak sebagai berikut :
42
1)
Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2)
Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3)
Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu. b) Perampasan Barang-barang Tertentu Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda.
Ketentuan
mengenai
perampasan
barang-barang
tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu : 1)
Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan
atau
yang
sengaja
dipergunakan
untuk
melakukan kejahatan, dapat dirampas; 2)
Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat 43
juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang; 3)
Perampasan
dapat
dilakukan
terhadap
orang
yang
bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Perampasan
atas
barang-barang
yang
tidak
disita
sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barangbarang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan. c) Pengumuan Putusan Hakim Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa: “Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim han ya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”. Pidana
tambahan
pengumuman
putusan
hakim
ini
dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila 44
secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu. Di dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam dengan pidana tambahan ini yaitu terhadap kejahatan-kejahatan : 1)
Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barangbarang keperluan Angkatan Perang dalam waktu perang.
2)
Penjualan,
penawaran,
barang-barang
yang
penyerahan, membahayakan
membagikan jiwa
atau
kesehatan dengan sengaja atau karena alpa. 3)
Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati.
4)
Penggelapan.
5)
Penipuan.
6)
Tindakan merugikan pemiutang.
b. Menurut UU Pengadilan Anak Jenis-jenis pidana menurut KUHP dan Undang-undang pengadilan anak tidak terlalu jauh berbeda dengan pidana pokok dan pidana tambahan yang sama-sama di miliki dari keduanya ini dapat kita lihat Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No 3 Tahun 1997 Bab III Pasal 23 poin ke 2 mengatur mengenai jenis-jenis pidana terhadap anak, yaitu :
45
1) Pidana penjara; Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. 2) Pidana kurungan; Sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 27 Undang Undang Pengadilan Anak No 3 Tahun 1997 Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. 3) Pidana denda; Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari. 4) Pidana pengawasan. Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Apabila 46
terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah
pengawasan
Jaksa
dan
bimbingan
Pembimbing
kemasyarakatan.
Ketentuan mengenai pidana Pengawasan Pidana pengawasan yang diatur dalam Pasal 30 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 pada prinsipnya sama dengan konsep pidana bersyarat. Pidana Pengawasan ini merupakan jenis sanksi baru yang diperkenalkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 untuk perkaraperkara pidana anak. Permasalahan yang muncul adalah mengingat KUHP tidak mengenal
pidana pengawasan, maka Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997
seharusnya mengatur pula mengenai aturan
pelaksanaannya (strafmodus). Kenyataannya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sama sekali tidak mengaturkan aturan pelaksanaan dari pidana pengawasan ini, sehingga ekses yang muncul adalah kesulitan dalam menerapkan pidana pengawasan ini untuk perkara anak karena tidak ada aturan pelaksananya. Dari beberapa catatan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak belum cukup memberikan jaminan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa dalam beberapa hal (pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat) KUHP lebih memberikan jaminan perlindungan bagi anak.
47
Dengan adanya beberapa kelemahan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, wajar kiranya jika aparat penegak hukum
dalam
menangani
perkara
anak
seringkali
keliru
dalam
menafsirkan dan menerapkan undang-undang, sehingga pada tataran praktek yang muncul adalah ketidakadilan bagi anak. Demi menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum,
degradasi
mental
dan
penurunan
semangat
(discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi
yang dapat
menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar, maka dalam menangani masalah hukum dari anakanak yang telah melakukan perilaku yang menyimpang, para penegak hukum perlu memahami bahwa: (a) anak yang melakukan tindak pidana (juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang penjahat, namun harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.(Muladi, 1992:115), pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan. (b) Kesejahteraan anak dalam hal ini harus dijadikan guiding factor dalam penegakan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana. Selain jenis-jenis pidana di atas dalam Undang-undang pengadilan anak juga di atur mengenai pidana bersyarat, Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud ditentukan syarat umum dan syarat 48
khusus.
Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.
Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusa hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum.Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun. Selama menjalankan masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.
Ketentuan mengenai Pidana bersyarat. Berdasarkan prinsip “lex specialis derogat lege generalis” (aturan
khusus akan menyimpangi aturan umum). Ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 (sebagai lex specialis) akan menyimpangi (berlaku) ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14 a hingga 14 f KUHP (sebagai lex generalis). Padahal jika dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih melindungi kepentingan anak sebagai pelaku daripada Pasal 29 Undang-undang Peradilan Anak terkait dengan pidana bersyarat. Beberapa permasalahan (kelemahan) yang terdapat dalam formulasi 49
Pasal 29 tersebut adalah sebagai berikut: sebagai bentuk non-custodial measures dan strafmodus, pidana bersyarat yang diberlakukan bagi anak hanya untuk pidana penjara saja (tidak diperkenankan untuk pidana lainnya, semisal kurungan, denda dan pidana tambahan lainnya). Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP yang mensyaratkan pidana bersyarat untuk pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun atau pidana kurungan (Pasal 14 a ayat (1)), dan denda (Pasal 14 a ayat (2)). Dari 2 (dua) ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk memperoleh pidana bersyarat bagi orang dewasa lebih besar daripada kesempatan bagi anak. Ini jelas sangat diskriminatif, padahal prinsip yang seharusnya melandasi setiap ketentuan untuk anak adalah “Prinsip Kepentingan Terbaik Anak”. Sungguh tidak realistis kiranya jika kesempatan untuk mendapatkan pidana bersyarat bagi anak yang seharusnya lebih besar, menjadi lebih kecil dibandingkan orang dewasa. Dengan tidak diaturnya ketentuan pidana bersyarat untuk pidana kurungan, denda dan pidana tambahan, maka otomatis ketentuan mengenai hal itu kembali lagi harus mengacu pada ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP (kecuali pidana bersyarat dalam hal pidana penjara), padahal dalam hal ini KUHP tidak mengenal pembayaran ganti rugi sebagai pidana tambahan. Sehingga tetap saja tidak ada pidana bersyarat untuk pidana tambahan “ Pembayaran Ganti Rugi”. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa
50
perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
C.
Pertimbangan Hakim Dalam Mejatuhkan Putusan Putusan hakim merupakan putusan yang isinya menjatuhkan
hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan tersebut dapat dijalankan. Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar supaya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dapat dilaksanakan, misalnya apabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya segera dikeluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda, agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam
rumah
Lembaga
Pemasyarakatan
dan
sebagainya.
Hasil
keputusan hakim tersebut dapat menimbulkan dampak yang sangat luas bagi masyarakat. Untuk mengambil keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap putusan hakim merupakan salah satu dari ketiga kemungkinan sebagai berikut: 1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu pemidanaan terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah dilakukan dan perbuatan itu adalah 51
suatu tindak pidana menurut hukum dan keyakinan cukup dibuktikan. 2. Putusan bebas, yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti. 3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu jika kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana. Dalam memutuskan suatu perkara pidana, hakim harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar dalam suatu putusan. Faktorfaktor yang menjadi bahan pertimbangan yang diambil oleh hakim untuk memutuskan suatu perkara yang berdasarkan Pasal 51 Rancangan KUHPidana tahun 1999-2000 antara lain:Kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana dan sebagainya. Selain itu hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa sebagaimana yang terdapat pada rancangan KUHP baru yaitu Pasal 124 dan Pasal 126. Keputusan dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung dengan pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Keputusan yang dianggap tidak tepat, akan menimbulkan reaksi kontroversial sebab kebenaran dalam hal ini sifatnya relatif tergantung dari mana memandangnya.
52
Pasal 25 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut memuat pula pasal dijadikan dasar untuk mengadili. Berdasarkan Pasal 25 tersebut, maka dalam membuat suatu keputusan, hakim harus mempunyai alasan dan dasar putusan serta juga harus memuat pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk mengambil suatu alasan dan dasar suatu putusan, hakim terlebih dahulu harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan terdakwa. Pasal 51 dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru menyebutkan bahwa faktor-faktor yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam mengambil keputusan adalah kesalahan terdakwa, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana dan lain- lainnya. Menurut Leden Marpaung (1992:406) putusan adalah: Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tulisan atau lisan. Ada juga yang mengartikan putusan sama dengan vonis tetap. Rumusan- rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat dari penerjemah ahli bahasa yang bukan ahli hukum. Dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah. Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan seperti interlocutoire, yaitu keputusan antara atau keputusan sela. Preparatoire yaitu keputusan
53
pendahuluan atau keputusan persiapan. Keputusan provisionele yaitu keputusan untuk sementara. Negara Indonesia menganut asas “the persuasive of presedent” yang menurut asas ini hakim diberi kebebasan dalam memutuskan suatu perkara tanpa terikat dengan keputusan hakim terdahulu seperti yang dianut oleh negara yang menganut asas “the binding force of presedent” sehingga seorang hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan keyakinannya. Namun kebebasan itu tidak mutlak adanya, karena keputusan yang diambil harus konstitusional tidak sewenang-wenang dan berdasarkan alat bukti yang sah. Kekuasaan kehakiman yang merdeka yang mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari campur tangan pihak-pihak dan kekuasaan
Negara
kecuali
ditentukan
lain
oleh
Undang-undang.
Kebebasan yang dimiliki hakim dalam mengambil keputusan sering menimbulkan
disparitas.
Disparitas
pidana
yang
terjadi
dalam
pengambilan keputusan terjadi karena salah satu sebabnya adalah hakim di Indonesia tidak terikat dengan Yurisprudensi.
D.
Tindakan Bagi Anak Nakal Menurut Undang–Undang Pengadilan Anak Pengertian Anak Nakal Anak nakal adalah anak yang telah mencapai
usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah yang melakukan perbuatan melanggar hukum yang berlaku dan hukum yang hidup dalam masyarakat. 54
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak nakal adalah : 1) Anak yang melakukan tindak pidana, atau 2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dijelaskan dalam Pasal 24 Undang-undang Pengadilan anak no 3 tahun 1997 bahwa tindakan terhadap anak, yaitu : Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh; b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu: 1) Teori ”retributive” (yang dikenal pula dengan teori absolut, atau teori pembalasan). Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan penderitaan
55
yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan. Artinya, mereka telah mencari dasar pembenaran dari pidana pada kejahatan, yakni sebagai suatu akibat yang wajar, yang timbul dari setiap kejahatan. 2) Teori ”utilitarian” (disebut juga teori relatif, atau teori tujuan atau doeltheori). Menurut pandangan dari teori utilitarian, pemidanaan itu harus dilihat dari segi manfaatnya. Artinya, pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka seperti pada teori retributif, melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu, teori utilitarian melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke depan (forwad looking), yakni pada perbaikan para pelanggar hukum (terpidana) di masa yang akan datang. 3) Teoriintegratif (atau dikenal dengan sebutan teori gabungan). Teori
ini
didasarkan
pada
tujuan
pembalasan
dan
mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut. Atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.
56
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penyusunan skripsi ini, maka penulis melakukan penelitian dengan memilih lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Malili.
B.
Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri atas: -
Bahan hukum primer, terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.
-
Bahan hukum sekunder, yang diperoleh dari RUU KUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Dokumendokumen Hukum (salinan putusan) tentang perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, buku ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, televisi, internet, dan sumber lain yang berhubungan dengan skripsi ini.
57
-
Bahan hukum tersier, yang terdiri dari Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, dan Bahasa lain yang berhubungan dengan skripsi ini.
C.
Teknik Pengumpulan Data Cara-cara yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penyusunan skripsi ini adalah:
Studi Pustaka Studi pustaka ini diperoleh dengan cara mempelajari kitab peraturan
perundang-undangan,
buku-buku
ilmiah,
jurnal,
majalah, surat kabar, berita televisi, dan bahan-bahan lain yang dapat dijadikan sebagai data yang mendukung penyusunan skripsi ini.
Wawancara langsung dengan narasumber yang dilakukan untuk melengkapi dan menguatkan data-data yang diperoleh yaitu dengan melakukan wawancara dengan Majelis Hakim.
D.
Analisis Data Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan metode analisis
secara kualitatif yaitu data yang sudah terkumpul akan diseleksi dan diolah berdasarkan kualitasnya yang relevan dengan tujuan dan permasalahan penelitian sehingga didapatkan suatu gambaran tentang penjatuhan
putusan
oleh
hakim
terhadap
pelaku
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika.
58
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Andi Hamzah, 2005. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yarsif Watampone. Arif Gosita, 2004. Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), Bhuana Ilmu Populer, Jakarta C.S.T. Kansil, 1995. Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika. Hartono Hadisoeprapto, 1999, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta. J.M. van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian Umum. Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,) Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Lilik Mulyadi, 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya, Bandar Maju, Jakarta. Muhammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,Yogyakarta, Kreasi Wacana. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Paulus Hasisuprapto, 1997, Juvenile Deliquency, (pemahaman dan penanggulangannya), Citra Aditya Bakti, Bandung. Paulus Hadisuprapto, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak. Satochid Kartanegara, 1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V. 59
Soedjono Dirjosisworo, 1990, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung. Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, cetakan kedua, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Website : rethacuaemlive.blogspot.com, 2009, Artikel: Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia, di unduh dari http://dunianarkoba.blogspot.com/2009/03/jumlah-pengguna-narkoba-diindonesia.html www.djpp.depkumham.go.id/ usupress.usu.ac.id
60