BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Globalisasi tidak dapat dipungkiri menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi. Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang teknologi informasi dan komunikasi. Pesatnya perkembangan dibidang teknologi informasi daan dan telekounikasi tersebut dapat dilihat dengan lahirnya berbagai media, beragam fasilitas serta beragam jasa dengan bermacam variasi. Hal ini juga berdampak pada pada seluruh sektor kehidupan, perubahan sosial, ekonomi, budaya, moalitas, bahkan dibidang hukum. 1 Perubahan ini menjadikan dunia menjadi tanpa batas (borderless). Pemanfaatan teknologi informasi selain memberikan dampak positif tentu pada sisi lainnya dapat memberikan dampak negatif. Dampak positif dan negatif dari pemanfaatan teknologi informasi selayaknya dua sisi sebuah koin yang harus dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Maknanya terhadap sisi positif, tentu dapat dimanfaatkan untuk melakukan pembangunan dan mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. 2 Perkembangan teknologi informasi apabila dipandang dari sisi negatifnya, yaitu “adanya globalisasi kejahatan” dan meningkatnya kuantitas serta kualitas (modus operandi) tindak pidanda di berbagai Negara dan antarnegara.
1
Dikdik M. Arief Mansur & Dinne Medina Wahyuni, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm 16 2 Kristian dan Yopi Gunawan, Sekelumit tentang Penyadapan dalam Hukum Positif di Indonesia (Bandung: Nuansa Aulia, 2013), hlm 4
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan teknologi informasi pada kenyataannya telah menjadi pedang bermata dua, di satu sisi selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, disisi lain menjadi sarana efektif melakukan perbuatan melawan hukum. 3.Hal ini tentu saja membuka peluang baru atau fasilitas bagi para pelaku kejahatan untuk menggunakannya sebagai instrumen melakukan kejahatan yang berdiensi dan bermodus baru diwilayah penggunaan tekonologi informasi dan komunikasi tersebut. 4 Pada kenyataanya globalisasi yang ditandai dengan pergerakan yang sangat cepat oleh manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan komunikasi, perdagangan dan modal, tentu harus diwaspadai efek negatifnya yaitu adanya “globalisasi kehajatan”. 5 Namun, perkembangan hukum sebagai salah satu instrumen untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan atau tindak pidana berjalan begitu lama dan tidak sanggup menandingi dan mengiringinya. Oleh sebab itu, pada hakikatnya globalisasi perlu diiringi dengan pola penegakan hukum (supremsi hukum) yang dilakukan secara signifikan dan berlangsung cepat. 6 Keberadaan hukum didalam masyarakat bertujuan untuk mengatur kepentingan-kepentingan yang timbul dalam masyarakat, sehingga kepentingankepentingan tersebut tidak bertentangan satu sama lain. 7 Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yang menyatakan bahwa “Law is a tool of 3
Ahmad Ramli, Cyber Law dan HAKI-Dalam System Hukum Indoensia, (Bandung: Rafika Aditama), 2004, hlm. 1 4 Djoko Sarwoko, Pembuktian Perkara Pidana Setelah Berlakunya UU NO.11 Tahun 2008 (Undang-Undang ITE), Makalah, 7 September 2009, hlm. 1 5 Nyoman Serikat Putra Jaya, Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum, Makalah: disampaikan pada Matrikulasi Mhasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Tahun 2010, tanggal 18 September 2010. 6 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hlm. 5 7 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime), (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 24
Universitas Sumatera Utara
socil engineering”, yang berarti hukum adalah sarana untuk merekayasa masyarakat. 8 Juga pendapat yang dikemukakan oleh Donald Black dalam bukunya yang berjudul Behavior of Law yang menyatakan bahwa hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah atu negara (law is government social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Dalam rangka mengimbangi dan mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan komunikasi serta perkembangan masyarakat harus pula dilakukan pembaharuan hukum atau yang sering disebut dengan istilah “percepatan hukum” (acceleration of law). 9 Disamping itu, hal yang tidak kalh penting yaitu hukum harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Apabila dilihat dewasa ini, perbuatan pelanggaran atau tindak pidana yang sering kali dilakukan misalnya tindak pidana dibidang ekonomi seperti tindak pidana korupsi, ataupun tindak pidana pencucian uang yang tidak hanya merugikan orang perseorangan tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan kerugian Negara. Selain itu, marak terjadi tindak pidana-tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan transnasional (transnational crime) yang bersifat terorganisasi melibatkan suatu sistem yang sistematis serta unsur-unsurnya yang sangat kondusif. 10 Unsur pertama adalah adanya organisasi kejahatan (criminal group) yang sangat solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis, kepentingan kelompok, maupun kepentingan-kepentingan lain, dengan kode etik
8
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012).
9
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 10 Ibid, hlm. 11
hlm. vii 10
Universitas Sumatera Utara
yang jelas. Unsur kedua adalah adanya kelompok pelindung (protector group). Unsur ketiga tentu saja adalah kelompok-kelompok masyarakat yang menikmati hasil kejahatan tersebut. 11 Pencegahan dan penanggulan dari tindak pidana tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan dua langkah yaitu sarana penal maupun non penal atau yang lebih sering disebut dengan kebijakan hukum pidana (criminal policy). Sarana penal merupakan sarana yang dirumuskan secara tegas dalam hukum positif baik yang didalam hukum pidana khusus maupun hukum pidana umum. Pada dasarnya sarana penal memiliki keterbatasan, sehingga disamping sarana penal, dibutuhkan sarana non penal. Untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana yang bersifat transnasional dan teroganisasi, harus pula ditunjang dengan pendekatan-pendekatan lain, misalnya pendekatan nilai, pendekatan budaya dan pendekatan-penekatan administrasi prosedural yang ketat seperti pendekatan budaya hukum, pendidikan hukum, 12 Hal ini disebut sebagai sarana non penal. Hukum pada dasarnya bersifat dinamis dan mengayomi masyrakat, hukum harus dapat menjadi penjag ketertiban, ketentraman, dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi dengan masa depan (forward looking), dan tidak dibangun berdasrkan orientasi kepada masa lampau (backward looking). 13 Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana jenis baru tidak dapat semata-mata
11
Nyoman Serikat Putra jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), hlm. 111 12 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 174. 13 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 6-7
Universitas Sumatera Utara
hanya dilakukan dengan menggunakan hukum tertulis melainkan harus dilakukan pembenahan dan pelatihan atas para aparatur penegak hukum sehingga memiliki kapasitas atau kemampuan untuk melacak dan menindak para pelaku Kecanggihan peralatan yang digunakan untuk melakukan kejahatan atau tindak pidana, membuat para penegk semakin sering menemukan bentuk-bentu tindk pidana baru yang sulit pembuktiannya, namun telah diyakini bahwwa telah terjadi suatu tindak pidana, dikarenkan bukti yang tidak cukup, atau terdapat bukti namun tidk diakui sebagai alat bukti yang sah, sehingga pelaku tindak pidana tersebut sering kali bebas dan jerat hukum. Oleh karena itu, dalam menghadpi tindk pidana semacam ini, pada umumnya aparat penegak hukum biasanya menggunakan
teknik
pengintaian
(surveillance) dan
teknik
penyadapan
(wiretapping). 14 Dalam pengungkapan kasus di Indonesia penegak hukum telah menggunakan tekni penyadapan (wiretapping), hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh kasus sebagai berikut: 1. Perkara tindak pidana korupsi penyuapan terhadap auditor BPK oleh Mulyana W Kusumah (Mantan Anggota KPU) disekitar tahun 2005. 15 2. Perkara tindak pidana korupsi berupa penyuapan terhadap mantan Komisioner KY Irawadi Joenes sebesar rekanan KY sebesar $30 ribu dan 600 juta rupiah dari Fredi Santoso. 16
14
Romli Atmasasmita, Legalitas Penyadapan, diundah dari : http://m.okezone.com. Diakses pada tanggal 3 Maret 2016 15 Lihat:
, diakses tanggal 3 Maret 2016 16 Lihat: , diakses tanggal 3 Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
3. Perkara tindak pidana korupsi penyuapan terhadap Urip Tri Gunawan (Mantan Jaksa) pada tahun 2008 ditangkap setelah bertransaksi dengan Arthalina Suryani alias Ayin dalam kasus dana BLBI yaitu Syamsul Nursalim, dalam kasus tersebut ditemukan dan disita uang sebesar US$ 660.000,-. 17 4. Perkara tindak pidana korupsi berupa penyuapan terhadap Iqbal Komisioner KPU dan supirnya (BR) yang tengh membawa koper hitam yng berisi uang Rp. 500.000.000,00. Uang ini diduga sebagai pemberian dari salah seorang direksi PT First Media Tbk yang juga ditangkap yaitu Billy Sindoro. 18 5. Perkara tindak pidana korupsi konspirasi impor daging sapi dimana Fathanah dan Lutfi Hasan Ismail diduga yang merekayasa kuota impor dengan mempengaruhi menteri Pertanian. 19 6. Perkara tindak pidana korupsi atas nama Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi), ia diduga menerima suap terkait 2 (dua) proses penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah, 20 Beberapa contoh kssus diatas, menggunakan penyadapan didominasi oleh KPK, walupun esungguhnya selain KPK, institusi seperti POLRI, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Berdasarkan fakta-fakta diatas, penggunaan penyadapan dapat menjadi salah satu faktor dalam pengungkapan tindak pidana yang bersifat teroganisir menggunakan
teknologi
alat
telokomuniasi
dan
informasi
yang
sulit
pembuktiannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Indriyanto Senoadji bahwa 17
Lihat:
Universitas Sumatera Utara
dalam penegkan hukum, intersepsi (penyadapan) merupakan sarana teknologi yang ampuh dalam mengungkapkan kejahatan sistemik sepertihalnya tindak pidana korupsi, narkotika, hak asasi manusia maupun interstate crime lainnya. 21 Sehingga penyadapan yang dilakukan oleh penegak hukum dapat digunakan menjadi sebuah alat bukti untuk membuktikan suatu tindak pidana di pengadilan. Namun, penyadapan (wiretapping) bagaikan dua sisi pisau yang tajam, menurut Raz pisau yang tajam tersebut memiliki sifat yang baik dan buruk yaitu pisau yang tajam bisa dipakai untuk mengiris sayuran, namun pisau tersebut dapat mengiris manusia. 22 Distu sisi penyadapan sebagai alat pendeteksi dan pengungkap kasus, tetapi disisi lain memiliki kecenderungan yang berbahaya atas pernghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya ha katas privasi. 23 Penggunaan penyadapan yang melanggar hak asasi manusia di Indonesia salah satunya terjadi dalam peristiwa tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas perintah Antasari Azhar (Ketua KPK pada waktu itu) terhadap Nasruddin Zulkarnaen dan Rani Juliani atas dasar kedua orang tersebut diduga sering meneror pimpinan KPK pada saat itu yakni Antasari Azhar beserta isitrinya. 24 Dengan kewenangannya, Antasari Azhar memerintahkan tim penyelidik KPK untuk melakukan tindakan penyadapan terhadap nomor telepon Nasrudin Zulkarnaen, Rani Juliani dan stafnya Ina Susanti. Namun dalam tindakan penyadapan tersebut juga tidak terungkap
21
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009),
hlm. 489 22
Joseph Raz, The Rule of Law and Its Virtue, in the Athority of Lawc (Oxford: Clarendon Press, 1979), hlm. 225-226 23 Reda Manthovani, Penyadapan vs Privasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2015), hlm. 7 24 Ibid., hlm. 6
Universitas Sumatera Utara
tuduhan Antasari Azhar tersebut. 25 Oleh karena itu, penyadapan rawan dengan penyalahgunaan terlebih ketika aturan hukum yang melandasinya tidak sesuai dengan prinsip penghormtan hak asasi manusia, sehingga menurut Raz diperlukan moralitas untuk menggunakan sesuatu instrument hukum sesuai dengan peruntukkanya. 26 Kecenderungan penyalahgunaan penyadapan besar dapat terjadi oleh karena sifat kerahasiaan dari penyadapan tersebut dan penyadapan merupakan instrusionon somebody’s privacy, walaupu secara fisik dan nyata tidak akan pernah terlihat apa yang di instrusi dan diambil oleh aparat penegak hukum kecuali rekaman kegiatan kehidupan privasi dan percakapan individu.27 Perlindungan terhadap hak privasi maka negara wajib membrikan perlindungan perlindungan warga negaranya dari segala gangguan dan pelanggaraan atas hak privasi mereka, hal sesuai dengan pasal 12 Universal Declaration of Human Right (UUDHR) tahun 1948 dan Pasal 17 International Convenant on Civil Political Right (ICCPR) tahun 1966, UUD 1945, dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia. Penyadapan dapat menjadi salah satu cara baru yang merupakan cara luar biasa dalam memberantas tindak pidana jenis baru yang sulit untuk pembuktiannya,
namun
dilihat
secara
konseptual
maupun
dari
bentuk
pelaksaannya masih menimbulkan kontroversi yang alot dikalangan praktisi hukum maupun dikalangan akademisi. Apabila melihat praktinya, penyadapan yang dilakukan oleh penegak hukum dikhawatirkan akan menderogasi atau
25
Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1429/K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010 jo. Putusan No. 117 PK/PID/2011 tanggal 13 Pebruari 2012. 26 Joseph Raz., Op.cit. hlm. 225-226 27 Reda Manthovani, iOp. Cit., hlm. 9
Universitas Sumatera Utara
menyampingkan atau bahkan meniadakan sama sekali hak asasi manusia, tepatnya hak akan informasi pribadi dari individu yang disadap. Sehingga apabila tindakan penyadapan dilaksanakan secara bebas dan tidak ada aturan yang tegas mengenai hal ini tau tidak ada lembaga yang mengawasi tindakan penyadapan dikhawatirkan akan melangar hak asasi manusia. Oleh karena itu, penulis tertarik membuat suatu Skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis Terhadap Alat Bukti Penyadapan di tinjau dari Hak Asasi Manusia”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penuli paparkan sebelumnya, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain: 1. Bagaimana kebijakan hukum pidana didalam pengaturan penyadapan di dalam hukum positif di Indonesia? 2. Bagaiaman konsep perlindungan terhadap hak asasi manusia di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia? 3. Bagaimaa kedudukan alat bukti penyadapan di tinjau dari hak asasi manusia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini antara lain:
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk mengetahui bahwa pembaharuan hukum pidana telah dilakukan dengan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai tindakan penyadapan. 2. Untuk mengetahui konsep perlindungan hak asasi manusia yang diakui melalui asas-asas hukum acara pidana yang ada di Indonesia. 3. Untuk mengetahui kedudukan alat bukti penyadapan yang ditinjau dari hak asasi manusia. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Secara teoritis, kiranya melalui penulisan skripsi ini mampu mengisi ruang kosong dalaram ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan substansi penulisan skripsi ini, hingga pada akhirnya skripsi ini memberikan sumbangsih berarti bagi perkembangan ilmu pengeetahun pada hukum pidana, hak asasi manusia, khususnya dalam memperoleh alat bukti yang menghormati hak asasi manusia. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenaii alat butki penyadapan, sistem peradilan pidana dan perlidungan terhadap hak asasi manusia. 2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini adalah supaya penegak hukum dapat menghormati hak asasi manusia dalam menggunakan teknik penyadapan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan hukum yang dapat merugikan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penulisan Untuk mengetahuii orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul “Kajian Yuridis Terhadap Alat Bukti Penyadapan di tinjau dari Hak Asasi Manusia” maka terlebih dahulu dilakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 08 Maret 2016 yang menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama” dan tidak terlihat adanya keterkaitan. Surat dari Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Dr. M. Hamdan, SH.H., M.H (Ketua Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan oleh penulis, karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul skripsi lain yang terdapat di lingkungan Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media
Universitas Sumatera Utara
elektronik. Oleh karena itu, Penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Alat bukti Terdapat dua istilah yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan terkadang orang sering sulit untuk memberikan perbedaaannya yakni istilah barang bukti dan alat bukti. Barang bukti adalah barang-barang baik yang berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang dapat dijadikan alat bukti dan fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa ataupun saksi dipersidangan guna mempertebal keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa. 28 Definis lain menurut Nicolas Simanjuntak barang bukti adalah benda-benda, kertas, uang, alat, y1ang dipakai, materi, zat, warna, dan sebagainya, baik sebagai data maupun sebagai benda itu sendiri apa adanya untuk menjadi bahan terhadap data dan keterangan yang telah dibuat dalam berita acara. Barang dan atau benda itu sendiri bukan alat bukti, tetapi segala surat dan keterangan menjelaskan tentang apa dan bagaimana barang itulah yang menjadi alat-alat bukti hukum. Oleh sebab itu, barang-barang bukti harus diamankan, dijaga, dan dirawat agar tetap berada seperti apa adanya pada saat peristiwa pidana terjadi. 29 Sementara itu alat bukti, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya
28
Hari Sasangka dan lilly Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 11 29 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 262
Universitas Sumatera Utara
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. 30 Jadi barang bukti bukanlah alat bukti, melainkan barang yang digunakan saat melakukan suatu tindak pidana dapat berubah menjadi alat bukti apabila termasuk di dalam kualifikasi sebgaimana pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP bahwa yang termsuk alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Sementara alat butki di dalam hukum acara perdata diatur didalam Pasal 284RBg/164 HIR yang terdiri atas: a. Bukti tulisan atau surat; b. Bukti dengan saksi-saksi; c. Persangkaan-persangkaan; d. Pengakuan; e. sumpah Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti yang dipaparkan sebelumnya berdampak terhadap adanya perkembangan tindak pidana baru. Namun, adanya tindak pidana baru tersebut ternyata sangat sulit untuk dibuktikan, sehingga diperlukan alat bukti yang dapat membuktikan tindak pidana 30
Darwan Prints, Hukum Acara (suatu pengantar), (Jakarta: Yayasan LBH, 1989), hlm.
106
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), telah menjadikan alat bukti elektronik diakui dan diterima sebagai alat bukti yang sah. Sehinnga alat bukti elektronik ini dipandang sebagai perluasan dari alat bukti yang telah ada dalam hukum acara di Indonesia. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2. Pengertian Penyadapan Terdapat berbagai istilah penyebutan penyadapan, yakni Wiretapping, Intersepsi, dan Electronic Surveillance. Penyadapan merupakan terjemahan dari wiretapping yang menurut Black’s Law Dictionary sebagai: “electronic or mechanical eavesdropping usually done by law enforcement officers under court order, to listen to private conversation”. 31 Berdasarkan pengertian diatas, maka wiretapping di sebut juga sebagai electronic atau mechanical eavesdropping. Sementara itu, eavesdropping dipahami sebagai tindakan mencuri dengar (listening) dari para pihak yang berbicara secara verbal, secara manual maupun dengan menggunakan alat tertentu. 32 Sehubungan dengan pengertian wiretapping diatas, pemahaman yang sama juga ditemukan dalam kamus online the free dictionary yaitu :”a form electronic eavesdropping accomplished by seizing or overhearing comunnicatio by means of a concealed recording or listening device connected to the transmission line. Wiretapping is a particular form electronic surveillance that monitors telephonic 31
Terjemahan bebas “menguping secara mekanik dan elektronik yang biasanya dilakukan oleh aparat penegeak hukum berdasarkan perintah pengadilan untuk mendengarkan percakapan secara pribadi”. Garner. Bryan A. Black’s Law Dcotopnary, (editor in Chief). (ST Paul: West Group, Eight Edition, 2004), hlm. 1631 32 Reda Manthovani, Op. Cit, hlm. 13
Universitas Sumatera Utara
and telegraphiv communication,
33
yang terbagi atas 3 (tiga) jenis tindakan
electronic surveillance yaitu: wiretapping, bugging dan videotaping. Surveillance yaitu : “close observation or listening of a person or place in the hope of gathering evidence” atau bagian dari electronic surveillance. Surveillance yaitu : “close observation or listening of a person or place in the hope of gathering evidence” atau observing or listening to person activities usually in a secretive or unobtrusive manner with the aid of electronic devices such as cameras, microphones, tape recorder or wiretaps. 34 Sedangkan pengertian electronic surveillance dalam Blacks Law Dictionary diartikan sama dengan eavesdropping yaitu “The act of secretly listening to private conversation of others without their consent” 35 dan metode tindakan mendengarkan percakapan rahasia dalam Blacks law Dictionary dikatakan juga sebagai wiretapping (“to covertly receive or listen to (a communication). The term usually refers to covert reception by a law enforcement agency see wiretapping”). 36 Definisi wiretapping dan electronic surveillance di atas, adanya suatu titik temu yang sama yaitu kegiatan mendengarkan suatu percakapan secara rahasia dilakukan oleh aparat penegak hukum. 37 Apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yaitu “penyadapan”, adapun pengertian “penyadapan” adalah 33
Terjemahan bebas sebuah bentuk mendengarkan percakapan secara elektronik melalui pembekuan atau mendengarkan percakapan dengan cara merekam secara tersembunyi atau mendengar melalui peralatan yang terhubung kepada jalur transmisi. Wiretapping adalah sebuah bentuk khusus dari electronic surveillance yang memonitor komunikasi telephonic dan telegrap. Lihat http://www.thefreedictionary.com/wiretapping 34 Terjmehan bebas: mengobservasi atau mendengarkan terhadap orang-orang atau aktivitas yang biasa dilakukan dengan cara rahasia atau tidak diketahui dengan bantuan peralatan lektronik seperti kamera, microphone, tape recorder atau wiretapping. Lihat http://www.thefreedictionary.com/electronic surveillance 35 Ibid, hlm. 551 36 Terjemahan bebas: “menerima atau mendengarkan secara rahasia atas suatu percakapan. Terminologi yang biasanya mengacu pada penerimaan tertutup/rahasia oleh instansi aparat penegak hukum:. Hlm. 827 37 Reda Manthovani, Op. Cit, hlm 15
Universitas Sumatera Utara
mendengarkan (merekam) informasi (rahsia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. 38 Walaupun memiliki pengertian yang sama namun electronic surveillance dianggap sebagai tindakan yang lebih luas cakupannya dan wiretapping malah dianggap sebagai salah satu bentuk atau bagian dari electronic surveillance disamping bugging dan videotaping. 3. Perlindungan Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan melekat dengan jati diri manusia secara universal. 39 Oleh karena itu, menelaah Hak Asasi Manusia, menurut Todung Mulya Lubis sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan sejauh mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan. 40 Siapapun manusia berhak memiliki hak tersebut. Artinya, disamping keabsahan terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh dimengerti, dipahami dan bertanggungjawab untuk memeliharanya. Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu “keistemewaan” yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan “keistemewaan” yang dimilikinya. Juga, adanya suatu kewajiban pada seseorang berarti bahwa diminta daripadanya suatu sikap yang sesuai dengan “keistemewaan” yang ada pada orang lain. 41 Dalam sejarah perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indoensia, memasukkan norma HAM kedalam Undang-Undang Dasar Negara Republik 38
Ibid, hlm 15 Campbell menyatakan …. Human right are based on the affirmation of human equality. Lihat Tom Campbell, “Human Right and the Partial Eclipse of Justice”, dalam Arenf Soeteman, “Pluralisme and Law, (London: Luwer Academi Publishers, 2001). Hlm. 63 40 Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 14 41 Lihat William Chang, “HAM dan KAM di Indoensia”, dalam Kompas, edisi 9 Desember 2004 39
Universitas Sumatera Utara
Indonesia (UUD NRI) merupakan sebuah perjuangan yang panjang. Pada awal negara ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara para pendiri negara dan perancang konstitusi tentang perlu/tidaknya HAM dimasukkan kedalam UUD NRI. Pertentangan tersebut ditimbulkan antara kubu M. Yamin disatu pihak, dengan kubu Soepomo dan Soekarno di pihak lain. Dalam pandangan Soepoo HAM sangat identik dengan idiologi liberal-individual, dengan demikian sangat tidak cocok dengan karakter masyarakat Indonesia. Soepomo tidak pernah membayangkan kalau negara yang berasaskan kekeluargaan akan terjadi konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya karena negara atau pemerintahan merupakan satu kesatuan, antara pemerintah dengan rakyat adalah tubuh yang sama. 42 M. Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang mereka rancang. 43 Hasilnya dari pertengan tersebut dicapai kompromi untuk memasukkan beberapa prinsip HAM ke dalam UUD NRI. Seiring dengan perkembangan perjalanan sejarah di dunia internasional instrument-instrumen semakin berkembang dalam berbagai konvensi dan konvenannya. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu norma standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya dengan negara-negara barat. Dengan kekuatan ekonomi yang besar dan ketergantungan negara-negara dunia ketiga yang non komunis kepada bantuan ekonomi barat, menimbulkan dominasi
42
Lihat perdebatan seputar sidang-sidang BPUPKI dalam “Risalah Sidang BPUPKI” terbitan Sekneg tahun 1997 43 Ibid
Universitas Sumatera Utara
negara barat dan standar barat dalam penilaian terhadap pelaksanaan HAM dunia terutama negara dunia ketiga. 44 Isu HAM kemudian dijadikan isu internasional atau isu global. Hal ini tak jarang menimbulkan konflik antara negara Barat dengan negara-negara dunia ketiga. Dengan mengetengahkan konsep keanekaragaman budaya, negara-negara non barat mencoba membendung dominasi standar Barat dalam menilai perlindungan HAM di dunia. Dominasi standar barat dalam penilaian terhadap HAM membawa impilkasi besar terhadap Indonesia pasca rezim Soeharto yang selama berkuasa dianggap refresif dalam mempertahankan kekuasaaanya. Hal ini telah menimbulkan berbagai pelanggaran HAM sepanjang perjalanan orde baru. 45 Setelah berakhirnya rezim Soeharto, pemerintahan Habibie yang masih muda harus mendapat tekanan politik baiik dari dalam maupun internasional. Hal ini agaknya mendorong pemerintahan Habibie meratifikasi berbagai instrument HAM internasional dan menerbitkan Undang-Undang Nomoe 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan juga Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia . F. Metode Penelitian Melengkapi
penulisan
skripsi
ini
agar
tujuannya
dapat
dipertanggungjawabkan maka digunakan metode penulisan, lalu melakukan penelitian dengan cara-cara yang telah ditentukan. 1. Jenis Penelitian
44
H. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Impliksinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 11 45 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dari peraturan atau undang-undang yang ada dan berbagai literature yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dan dapat membantu memperkuat teori lama atau membuat teori baru Pendekatan penlitian dalam skripsi ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach).46 Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani 47 3. Data dan Sumber Data Sumber penelitian ini diambil penulis melalui data sekunder. Data sekunder ini adalah bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan. Terutama dari bukubuku dan literatur yang sudah ada yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan hukum yang mengikat dan mengatur berdasarkan peraturan perundang-undangan b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku dan literature lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini. 46
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta: Kencana 2014), hlm.
47
Ibid
33
Universitas Sumatera Utara
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum 4. Pendekatan (Approach) Hasil dari suatu penelitian hukum normatif agar lebih baik adanya perlu melakukan pendekatan dalam setiap analisisnya. 48 Peneliti dalam hal ini melakukan pendekatan Perundang-Undangan (statute Approach). Peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. 49 Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 50 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis ini adalah dengan pengumpulan data melalui studi pustaka, dimana penulis memperoleh data atau bahan-bahan yang ada dengan cara mengumpulkan dan membahasnya melalui bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. 6. Analisa Data Data sekunder yang telah diperoleh kemudian diangkat secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menerik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
48
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hlm 184 49 Ibid, hlm. 185 50 Peter Mahmud, Op. Cit, hlm. 93
Universitas Sumatera Utara
G. Sistematika Penulisan Dalam suatu karya ilmiah atau pun penulisan skripsi sistematika penulisan sangat diperlukan. Ini bertujuan untuk mempermudah para pembaca memahami isi dari karya ilmiah. Sistematika ini sendiri memberikan gambaran singkat mengenai karya ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini, berisi tentang pendahuluan dan latar belakang bagaimna penulis mengambil topic atau judul yang akan dibahas di bab berikutnya oleh penulis. Bab ini terdiri dari rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI DALAM PENGATURAN PENYADAPAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Bab ini, menguraikan tentang kebiajakan hukum pidana didalam pengaturan penyadapan dalam hukum positif di Indonesia. BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA DI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Bab ini, menguraikan tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia didalam sistem peradilan pidana di Indonesia BAB IV KEDUDUKAN ALAT BUKTI PENYADAPAN DI TINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA Bab ini, menguraikan tentang kedudukan alat bukti penyadapan yang di tinjau dari perlndungan hak asasi manusia
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP Bab ini, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran atas permasalahan yang dikemukakan. Dalam hal ini penulis skripsi memberikan jawaban terhadap alat bukti penyadapan yang melanggar hak asasi manusia.
Universitas Sumatera Utara