Rasional Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (khususnya teknologi informasi) semakin mempercepat proses globalisasi. Perkembangan dan percepatan ini memacu dinamika masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Bagi masyarakat yang tidak siap menghadapi perubahan ini, dimungkinkan akan mempengaruhi ketegangan mental, ketergantungan budaya, sosial politik, ekonomi, keamanan, bahkan mungkin ideologi. Globalisasi juga akan memacu persaingan hidup yang teramat ketat, baik antar negara/bangsa, propinsi, Kecamatan, kecamatan, bahkan antar sekolah dan perorangan. Proses ini akan terus bergilir keseluruh penjuru dan aspek kehidupan; dan akan sulit dibendung. Menenggarai sejumlah hal dari akibat proses menyatunya dunia (globalisasi), seperti cepatnya perkembangan IPTEK, derasnya diffusi informasi dan
budaya ke
tengah masyarakat akan menimbulkan sejumlah konflik peran dan harapan, karena hidup akan penuh dengan tantangan dan kompetisi. Era ini memerlukan anak-anak bangsa yang terdidik melalui layanan yang sangat memadai tanpa memandang ras, golongan, jenis kelamin, usia, tingkatan sosial-ekonomi, etnis maupun agama; sehingga mereka dapat mandiri dan bertanggungjawab, memiliki keimanan dan ketaqwaan, sensitiveness, serta rancage. Inilah dasar-dasar yang dapat digunakan sebagai landasan Pendidikan Untuk Semua (PUS).
1
Jika muncul pertanyaan “mengapa harus repot dengan persoalan di atas”?, jawabnya karena secara politis negara dan bangsa kita telah terikat kesepakatan (komitmen) dengan dunia internasional untuk ikut dalam pergaulan global dengan segala konsekuensinya. Artinya kita tidak mungkin mengisolasi dan melepaskan diri dari dinamisnya dunia internasional. Oleh karena itu salah satu sektor yang akan menerima konsekuensi ini adalah “pendidikan”. Artinya pendidikan baik sebagai kebijakan maupun pada tataran praksis ditantang untuk mempersiapkan layanan bagi siapapun warga bangsa ini, karena pendidikan bukan hanya hak dasar tetapi juga adalah kewajiban dasar. Pendidikan adalah hak dan wajib bagi semua sehingga setiap individu memiliki ketahanan diri, menguasai keunggulan komparatif, mandiri, siap bersaing (kompetitif), siap melakukan pergaulan pada lingkungannya bahkan pada tingkat global, tanpa harus meninggalkan akar budaya, agama, dan karakteristik potensial bangsa. Implikasinya adalah
bagaimana
pendidikan
itu
diposisikan
sebagai
upaya
untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi anak bangsa yang dapat beradaptasi dengan segala dinamika peradaban dan memberikan peluang bagi semua untuk memperoleh pendidikan pada jalur, jenjang maupun setiap jenisnya. Beberapa pendapat para pakar seperti Jules Simon, Herbart Spencer, Sully, Pestalozzy, John Dewey, MJ. Langeveld, William Chendler Buglei, Ki Hajar Dewantara, dan sebagainya dalam mendefinisikan pendidikan sangatlah beragam. Keberagaman dalam mendefinisikan tentunya dapat dimaklumi bahkan suatu keniscayaan mengingat berbedanya latar belakang mereka dan orientasi atau tujuan yang dimaksud. Bahkan pada tataran perbedaaan ideologis (pemahaman mendasar) yang dianutnya akan menentukan corak pemikirannya. Pemahaman mereka yang menganut ideologi kapitalisme-sekuler dipastikan berbeda dengan mereka yang menggunakan faham
2
sosialis dan keduanya secara diametral akan berbeda pula dengan yang menggunakan ideologi perspektif agama (Islam, misalnya). Walaupun demikian, dalam satu sisi mendasar semuanya sepakat bahwa objek pendidikan itu adalah manusia dan memiliki tujuan yang jelas menurut sudut pandang ideologi yang dianutnya. Pendidikan adalah suatu usaha secara sengaja untuk mempersiapkan peserta didik dengan menumbuhkan kekuatan kepribadiannya, jasmani maupun rohani dengan menggunakan alat-alat pendidikan yang baik agar kelak menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat dan lingkungannya serta dapat hidup bahagia. Secara spesifik, pendidikan merupakan upaya sadar, terstruktur serta sistematis untuk mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba Tuhan dan khalifah dimuka bumi. Suksesnya misi dan penciptaan manusia ini pada saatnya nanti akan terwujud apa yang dinamakan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. SDM berkualitas mi salah satunya dicirikan oleh tingginya taraf pemikiran, lahirnya manusia yang produktif, kreatif dan sarat dengan berbagai inovasi ditopang oleh tingginya keterampilan dan keahlian yang dimiliki sehingga mampu berkompetisi dalam lapangan kehidupan modern yang serba mengglobal. Dan hanya SDM yang berkualitaslah yang karena sifatnya mampu menjawab pertanyaan pokok dan mendasar masalah simpul yang sangat besar dan seputar pertanyaan dari manakah asal manusia dan kehidupan in, mau kemana manusia dan kehidupan setelah ini ?, dan untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?. Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya terlepas dari jawabannya benar atau salah?. Selanjutnya ia akan berjalan di dunia ini dengan „landasan‟ tersebut, berbuat dengan standar dan nilai yang berdasarkan „landasan‟ tersebut. Berekonomi dan berbudaya
3
berdasarkan „landasan‟ tersebut, bahkan ia akan mengajak orang lain dengan „landasan‟ tersebut. Tentu saja bila jawaban di atas benar, maka „landasan‟ dimana ia berpijak akan benar pula. Inilah yang secara hakiki dikatakan SDM berkualitas. Berangkat dan pemikiran di atas, maka pendidikan dan proses pembelajaran yang baik dalam mencetak SDM berkualitas sangat besar peranannya. Sumbangan pendidikan terhadap peningkatan sumber daya manusia tentunya tidak perlu diperdebatkan lagi. Sejarah membuktikan tidak ada satupun bangsa dan negara di dunia mi yang mampu mencapai kemajuan dan mengemban peradaban tinggi dengan mengabaikan pembangunan pendidikan. Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar manusia dan dianggap sebagai bagian dan proses sosial dalam membangun perubahan-perubahan mendasar. Hanya saja suatu perubahan itu terjadi kearah mana, maka itu sangat ditentukan oleh model sistem pendidikan apa yang digunakan dan berlandaskan kepada ideologi apa dasar pendidikan itu dibangun. Berkenaan dengan hal itu, tentu saja mi merupakan langkah awal dan mendasar jika ingin membicarakan masalah pendidikan. Ketidakpahaman terhadap tujuan sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai „kelinci percobaan‟. Masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai materialistik misalnya, hanya akan menghasilkan sumber daya manusia (peserta didik) yang berpikir sebatas profit oriented bahkan dapat menjelma menjadi sosok manusia economic animal yang tidak lain hanya mencari kepuasan materi sebagai pemenuhan kebutuhan napsu jasmani semata namun gagal dalam menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh. Pendidikan menjadi tanggung jawab kolektif, yakni keluarga/orang tua, masyarakat dan pemerintah (negara) maupun pemerintah daerah, yang harus memberikan pengaruh positif kepada peserta didik sehingga arah dan
4
tujuan pendidikan dapat dicapai secara bersama-sama. Selintas nampak terjadi pembagian tugas untuk masing-masing pihak di atas. Keluarga berdasarkan UU. No. 20 Tahun 2003 pasal 7 ayat 1 dan 2 mempunyai hak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan anaknya serta berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Keluarga sebagai wadah dan madrasah pertama yang memberikan kontribusi besar dalam pendidikan generasi pada faktanya banyak sekali yang tidak menyadari betapa pentingnya peran mereka sebagai pendidik. Pada prinsipnya mereka memiliki tujuan melahirkan generasi berkualitas akan tetapi tidak punya suatu pola baku yang selaras dengan tujuan mereka sehingga lahirlah generasi-generasi yang tidak sesuai dengan apa yang mereka citacitakan. Misalnya saja keluarga/orang tua mana yang menginginkan anaknya terjebak dalam tidak kriminal, narkoba, tawuran, kenakalan remaja, pergaulan bebas dan prilaku dekadensi moral sejenis lainnya. Akan tetapi kenapa banyak orang tua yang tidak selektif terhadap tontonan anak serta prilaku anak yang serba boleh dan „bebas nilai‟ yang diduga sebagai pemicu terjadinya hal-hal di atas?. Keterlibatan masyarakat
dalam penanganan generasinya diminta untuk
mendukung tercapainya tujuan pendidikan, karena masyarakat adalah ”madrasah besar” dimana anak belajar, kemudian pihak-pihak yang sering bersentuhan dan atau peduli dengan pendidikan, misalnya media massa diminta untuk mendukung penanaman nilai moral dan etika, dunia usaha dan orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi diminta untuk memberikan dukungan. Peran masyarakat dalam bentuk usaha-usaha mendirikan yayasan-yayasan atau lembaga pendidikan, pemberian beasiswa atau pun menjadi orang tua asuh pada kenyataannya tidak bisa menjamin pemerataan pendidikan bagi semua kalangan dan menghasilkan produk pendidikan seperti yang diharapkan.
5
Kecenderungan menguatnya ide materialisme yang telah menyentuh setiap aspek kehidupan tidak terkecuali dunia pendidikan membuat masyarakat atau kalangan swasta yang melibatkan din dalam pendirian sekolah-sekolah swasta justru melakukan komersialisasi yang akhirnya pendidikan menjadi komoditas ekonomi dan barang mahal. Pemerintah (negara) merupakan institusi yang paling bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Untuk bisa mencapai tujuan pendidikan, maka negara (Pemerintah/Pemerintah Daerah) sejatinya mengejawantahkan tanggungjawabnya untuk menyelenggarakan pendidikan yang tidak hanya untuk meratakan daya tampung; tetapi lebih dari itu mendorong lembaga pendidikan yang bermutu. Pendidikan secara filosofis adalah harus menetapkan kearah mana anak-anak bangsa akan di bawa?, pendidikan sebagaimana pengertiannya merupakan upaya sadar yang terstruktur, terprogram dan sistematis bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kepribadian tinggi dan menguasai ilmu kehidupan (termasuk sains teknologi dan keahlian) yang memadai. Pendidikan yang ”membuahkan ilmu” yang akan menjadi sarana utama manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun setelah kehidupan dunianya berakhir seperti ucapan berikut mi : “Barang siapa ingin memperoleh kecukupan dunia hendaklah dengan ilmu, barang siapa ingin mendapatkan kebahagiaan akhirat hendaklah dengan ilmu dan barang siapa ingin mendapatkan keduanya hendaklah juga dengan ilmu” (Al-Hadits). Itulah salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang juga dikenal Tokoh Pendidik, sebagaimana Robert L. Gullick. Jr dalam bukunya Muhammad, The Educator menyatakan “Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing man usia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu
6
revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang... Hanya konsep pendidikan yang paling dangkalah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena dari sudut pragmatis- seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik “. 1.1
Potret Buram Kualitas Pendidikan Kondisi dan iklim pendidikan di Dunia, khususnya pada negara-negara dunia ke-tiga
(the rest) selalu berhadapan dengan sejumlah masalah yang tidak kunjung usai. Sejumlah permasalahan pendidikan di negara berkembang (developing countries) seperti tingginya angka buta aksara, ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang jauh dan memadai bahkan sangat buruk, tingkat aksesibilitas rendah yang disebabkan oleh daya beli dan daya jangkau dimana anak berdomisili jauh dari tempat layanan pendidikan; hal ini mengakibatkan anakanak bangsa ini menjadi tidak punya pilihan kecuali tidak sekolah atau tidak melanjutkan sekolah. Selain itu sistem tata kelola pada tingkat pembuat kebijakan di Pusat dan kaitannya dengan tata kelola pada tingkat daerah terkadang
memiliki kendala yang tidak jarang
mengakibatkan rendahnya pemahaman filosofi, visi, misi, dan tujuan yang diusung oleh sistem pendidikan yang telah dikembangkan; hal ini dimaklumi karena sistem pemerintahan bergeser dari sentralistik ke desentralistik atau yang dikenal dengan otonomi daerah. Pendidikan pada era otonomi daerah adalah menjadi urusan wajib (obligatory function), sehingga daerah dapat menentukan sendiri kebijakannya dan yang tidak jarang adalah lepas dari benang merah kebijakan nasional. Selain itu orientasi pembangunan pendidikan seringkali tidak berpijak kepada penyelesaian permasalahan yang dihadapi, bahkan seringkali melupakan fakta yang ada di masyarakat; sebagai contoh data tentang angka buta aksara tidak jelas, data layanan pendidikan nonformal tidak jelas, data layanan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak
7
jelas, hal ini menggambarkan bahwa betapa kita perlu untuk meningkatkan atau memulai lebih cermat dan bijak untuk membuat kebijakan pengelolaan pendidikan, karena filosofi otonomi daerah salah satunya adalah untuk mendekatkan pelayanan bagi masyarakat sasaran. Persoalan lainnya adalah pendidikan dihadapkan kepada bagaimana mampu membekali anak-anak bangsa ini untuk memiliki sejumlah kompetensi yang memadai dalam bentuk kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan anak mampu hidup dengan kemampuan dirinya dan lebih dari itu dapat membantu orang lain. Perempuan atau anak-anak perempuan usia sekolah yang memiliki kecenderungan memarjinalkan diri untuk tidak mengakses pendidikan dan/atau tidak didorong untuk mengakses pendidikan karena berbagai alasan adalah sesuatu keniscayaan manakala tidak ditata dengan baik, sistematis, terprogram, sehingga Batam akan turut serta mengimplementasikan kesepakatan dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (PUS) dan memiliki keberpihakan terhadap kaum perempuan. Persoalan lainnya adalah mengenai mutu dan pencitraan publik serta akuntabilitas terhadap publik tentang bagaimana layanan pendidikan terhadap masyarakat itu tidak terkesan asal menggugurkan kewajiban. Perkembangan dunia bahkan persaingan pada tingkat lokal dan regional bahkan antar sekolah kiranya perlu menjadi perhatian, karena ditenggarai bahwa anak-anak bangsa masih rendah rendahnya penguasaannya terhadap IPTEK dan rekayasa teknologi, krisis moral dan etika, sekolah dan komunitasnya seringkali kesulitan memperoleh sarana pengembangan pendidikan dalam peningkatan mutu, guru yang tidak sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang menjadi tanggungjawabnya; adalah hal-hal yang akan semakin memperburuk pencitraan sekolah bagi publik. Hal lainnya adalah terdapat kecenderungan kesulitan guru dalam mengembangkan kurikulum (KTSP) bahkan menerjemahkannya ke dalam rencana-rencana teknis untuk pembelajaran di kelas Ironisnya segala daya upaya yang ditempuh dan diterapkan para pemegang kebijakan pendidikan tidak jarang mengalami hambatan dan kegagalan,
8
sekalipun program dan model yang dianggap unggulan telah diadopsi dan dilatihkan kepada para pelaku pendidikan (para pendidik maupun tenaga kependidikan). Terlepas dari pemahaman yang akan membentuk karakter sumber daya manusia yang akan diembannya kelak, kunci sukses pembangunan kualitas manusia, bangunan pokoknya lebih banyak ditentukan oleh sejauhmana keberhasilan pembangunan dibidang pendidikan. Sejauh ini banyak negara-negara besar dan maju dalam membangun bangsanya
melalui
dukungan kuat para pengambil kebijakan, elit politik, para pakar yang visioner dan memiliki wawasan ke depan disertai komitmen untuk merealisasikan visi, misi, tujuan dan program dengan meletakan pendidikan ke posisi yang strategis untuk menuju kemajuan bangsanya, ternyata menjadi kunci dalam mengangkat mutu pendidikan bangsa dan negara bersangkutan. Banyak fakta bahwa mutu pendidikan pada suatu bangsa yang baik selalu diikuti dengan perbaikan berbagai aspek kehidupan. Contoh jelas seperti Inggris di bawah Panglima Angkatan Perang Jenderal Winston Churchill ketika menghadapi situasi sulit menghadapi invasi militer Nazi Jerman ke Eropa, yang bersikukuh mempertahankan anggaran pendidikan sementara dipihak lain elit politik diparlemen mengusulkan agar diambil kebijakan untuk mengalihkan anggaran sektor pendidikan ke sektor militer guna membiayai perang. Suara lantang sang Jenderal “Urusan perang adalah tanggung jawab saya, bukan tanggung jawab parlemen” dianggap sebagai sikap negarawan yang visioner, punya wawasan ke depan dalam menghantarkan negaranya menuju kejayaan. Tidak mengherankan akibat sikap dan keputusannya, kini Inggris menjadi kiblatnya Eropa. Mutu pendidikannya terkenal baik dan sumber daya manusianya andal di berbagai bidang. Keteladanan pemimpin Inggris, juga ditemukan pada jiwa pemimpin besar di negaranegara maju saat ini. Misalnya Jepang, ketika negaranya luluh lantah akibat bom atom di Hirosyima dan Nagasaki, ucapan pertama yang keluar dan mulut Sang Kaisar tidak lain adalah
9
pertanyaan “Berapa jumlah guru yang masih hidup?” adalah sebuah perkataan „magis‟ betapa berharganya membangun negara dengan pendidikan sebagai kuncinya. Demikian pula Amerika dan Jerman yang kini menjelma menjadi sosok adi daya tidak lain karena para pemimpinnya telah meletakan pendidikan sebagai aspek terpenting yang menjadikan prioritas utama di dalam membangun bangsa dan negara. Dengan mencermati perjalanan berharga dan perjalanan suatu bangsa maka tidak salah jika negara-negara yang baru merdeka dalam hitungan puluh tahun mengadopsi strategi pembangunan bangsa mereka dan negara-negara tersebut. Hal ini merupakan keniscayaan yang sulit terbantahkan karena mereka terbukti sukses dalam membangun dunia pendidikan. Negara-negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Singapura, Malaysia begitu mengawali pembangunan bangsanya sudah melihat pendidikan sebagai faktor strategis, sehingga mereka menganggap sangat strategis untuk memposisikan pendidikan menjadi prioritas utama program pembangunan negaranya, bahkan Vietnam sebagai salah satu negara yang relatif baru merdeka, telah mampu melampui mutu pendidikan Indonesia yang sudah lebih da 60 tahun menikmati kemerdekaannya. Persoalan berikutnya adalah bagaimana dengan fakta pendidikan di Indonesia yang implikasinya akan dirasakan sampai level daerah?. Sungguh disayangkan, dengan tidak mengabaikan beberapa keberhasilan dunia pendidikan, ternyata bangsa ini lebih banyak dihadapkan pada potret buram produk pendidikan sumber daya manusia baik dilingkungan keluarga, masyarakat maupun sebagai bangsa suatu negara. Berbicara persoalan mutu, maka pendidikan di Indonesia nampaknya masih harus terus dipacu dan diupayakan agar tidak terjadi gap (kesenjangan) yang berkepajangan tentang disvaritas mutu antar daerah, antar sekolah yang mengakibatkan terjadinya krisis mutu pendidikan secara menyeluruh di tiap daerah dan sekolah. Beberapa fakta berikut akan nampak bagaimana masih carut marutnya dunia pendidikan terungkap meskipun tidak seluruhnya benar, yang tidak terbantahkan adalah
10
merosotnya mutu sumber daya manusia selalu terkait erat dengan pendidikan. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia yang kerap membuat gerah di tingkat elit pemimpin. Peringkat pembangunan manusia yang tiap tahun dilansir UNDP yang menunjukkan komposisi peringkat pencapaian pendidikan (dua komponen yaitu angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), kesehatan dan penghasilan (daya beli) masyarakat selalu menunjukkan trend menurun. Generasi narkoba pun kini telah menjelma menjadi sosok hantu yang menakutkan, tawuran antar pelajar, gang pelajar adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan bahkan menakutkan bagi perkembangan generasi tumpuan bangsa ini. Persoalannya apakah hanya lembaga pendidikan yang menjadi tumpuan tudingan ?, nampaknya sangat tidak adil karena persoalan yang dibawa dan menjadi dorongan bagi anak dimungkinkan karena faktor keluarga, ketimpangan sosial ekonomi, lingkungan yang selalu merangsang untuk hidup konsumtif dan tidak konstruktif atau mungkin banyak orang yang masih anti kemapanan. Ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk terus berupaya dengan baik dan sistematis, tidak gradual dan asal-asalan. Kondisi-pun diperparah oleh limbah budaya barat yang berbentuk sensate-culture yaitu yang budaya berhubungan dengan sikap hedonistik dengan orientasi gaya hidup hura-hura, gaya hidup konsumeristik, cinta mode, pergaulan bebas, induvidualistik, kebebasan yang kebiasan (salah arah) yang lepas dan kendali agama dengan tampilan generasi yang permissive dan anarkis. Pendidikan Untuk Semua (PUS) adalah gerakan yang tidak hanya berorientasi pada bagaimana anak bisa mengakses pendidikan, tetapi jauh dari itu bahwa ini untuk kepentingan lebih jauh agar anak-anak bangsa laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh kemampuan setidaknya untuk kepentingan mempertahankan hidup dirinya dan/atau dapat membantu orang lain. Sangat menarik dan mungkin akan menjadi suatu kegembiraan ketika tuntutan PGRI tentang anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
11
Siapa yang harus memiliki kegemiraan, tentunya masyarakat yang berharap bahwa pendidikan akan menjadi baik, tidak membebani rakyat, guru sejahtera, pendidikan menjadi meningkat layanannya dan berujung dengan meningkatnya mutu pendidikan seperti yang diharapkan. Namun apakah perangkat di Pusat maupun di daerah telah siap dengan besaran anggaran ini ?, akankah dapat menyelesaikan permasalahan pendidikan sebagaimana diurai di atas ?, fisik sekolah buruk terutama SD, sarana pembelajaran sangat tidak memadai dan tidak merata, sebaran guru tidak merata, kualifikasi dan kompetensi guru tidak jelas, sistem karier tidak jelas karena mereka adalah pegawai daerah dan keputusan berada ditangan penguasa. Banyak hal yang penting dibenahi manakala pendidikan dengan anggaran yang mulai membaik, para pengambil kebijakan pendidikan di daerah akan menjadi kunci keberhasilan ini; kuncinya adalah perencanaan yang komprehensif dan berbasis permasalahan yang jelas di masyarakat, kembangkan secara sistematis dan strategis, senergis, dan kembangkan kolegalitas dengan stakeholders serta masyarakat pada umumnya. Selain itu lakukan pemetaan terhadap jumlah maupun
kualifikasi dan kompetensi guru sehingga dapat mempermudah rencana untuk
pengembangan akademik maupun administratifnya.
1.2
Kerangka Aksi Dakar Sebagai Cakrawala Baru Memasuki era milenium ketiga atau yang dikenal juga sebagai ”era globalisasi”,
tatanan hidup semakin terbuka dan batas-batasnya semakin imajiner sehingga arus informasi semakin sulit dibendung mestinya dipandang bukan hanya sebagai tantangan, tetapi sebagai jalan membuka peluang baru di dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengembangan sistem pendidikan saat mi perlu dibangun dengan multi dimensi, yakni pada tataran regional, nasional, maupun global. Sistem pendidikan nasional pun tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan dan
12
peluang bagi kehidupan dalam zona regional, nasional, dan global. Kondisi seperti ini tentunya memerlukan anak-anak bangsa berkualitas yang harus mampu berkomparasi dan berkompetisi dengan anak-anak bangsa lain di dunia ini. Anak-anak bangsa yang berkualitas yang mampu berkomparasi dan berkompetisi dihasilkan oleh pendidikan yang baik baik sistem maupun pelaksanaannya. Untuk itulah menjadi tugas kita semua untuk berpartisipasi aktif dalam mendukung dan mendorong pendidikan nasional di daerah menjadi lebih baik; sehingga dapat mengembangkan identitas peserta didik yang bangga menjadi anak bangsa (Indonesia} yang berbudaya. Pendidikan memang
bukan hanya bertujuan menghasilkan
manusia yang pintar yang terdidik tetapi yang lebih penting ialah manusia yang terdidik dan berbudaya - educated and civilized human being- (Didi Turmudi, 2002). Pendidikan diyakini merupakan upaya strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Ketika ini diberikan pembenaran maka pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak, yakni pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, bahkan individu. Selain itu pendidikan tidak saja merupakan kewajiban bagi setiap orang, tetapi juga merupakan hak dasar bagi semua orang tanpa memandang ras, golongan, jenis kelamin, usia, dan social ekonomi. Artinya pendidikan hakekatnya adalah “untuk semua”. Pendidikan untuk semua (PUS) secara internasional disebut dengan “Edukation For All (EFA)” adalah suatu gerakan internasional yang secara sistematis peduli akan pentingnya semua orang untuk memperoleh pendidikan dan layanan perawatan sejak dini, hatam pendidikan dasar, memiliki kecakapan hidup (life skill), tuntas buta aksara, pendidikan berkeadilan gender, dan mengembangkan pendidikan bermutu untuk semua. Gerakan ini merupakan bentuk kesadaran warga dunia, bahwa masih banyak anak-anak bangsa dan warga dunia yang belum tersentuh bahkan tidak dapat mengakses hal-hal yang disebutkan di atas;
13
terutama di negara-negara berkembang dengan jumlah penduduk besar (baca: salah satunya Indonesia). Gerakan pendidikan untuk semua (PUS) secara sistematis telah menjalani perjalanan panjang, yakni sejak tahun 1987 (Konferensi Asia Fasifik) hingga pertemuan Dakar (World Education Forum) tahun 2000 dan menghasilkan kesepakatan yang disebut “ THE DAKAR FREMWORK FOR ACTION”
berisi tentang 6 (enam) program yakni: (1) memperbaiki,
memperluas perawatan dan pendidikan anak usia dini (PADU); (2) penuntasan pendidikan dasar menjelang tahun 2015 terutama anak perempuan dan etnis minoritas; (3) penjaminan kebutuhan belajar bagi “generasi muda” dan “orang dewasa” melalui pendidikan kecakapan hidup (life skill); (4) menurunkan angka buta aksara (50% menjelang tahun 2015 terutama perempuan) melalui pendidikan dasar dan berkelanjutan untuk semua orang dewasa; (5) menghapus “disparitas” gender pada pendidikan dasar dan menengah (menjelang tahun 2015 terutama perempuan); dan (6) memberikan pendidikan bermutu dan memiliki keungulan. Kesepakatan ini yang selanjutnya dikenal dengan “KESEPAKATAN DAKAR” dan telah menjadi komitmen internasional, termasuk Indonesia untuk melaksanakannya. “Kesepakatan Dakar” bagi Indonesia adalah pengejawantahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu, Departemen Pendidikan Nasional RI sejak tahun 2002 menjadikan program ini sebagai “gerakan” yang secara serempak dan sistematis harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah, melalui Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan dinas teknis yang relevan; serta menggunakan struktur dan mekanisme yang telah ada dalam rangka efektivitas dan efisiensi; dan menurut beberapa kesepakatan antara daerah dan pemerintah pusat (Depdiknas, Bapeda/Bappeda dan Dinas Pendidikan Provinsi/ Kecamatan) telah menentukan penjadwalan secara bertahap yakni menjelang tahun 2009 dan menjelang tahun 2015, melalui
14
penyusunan analisis situasi dan kondisi (ASK) serta penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) pendidikan untuk semua (PUS). Bagi Indonesia menjadi penting, tidak hanya disebabkan IPM di tingkat dunia itu berperingkat terendah, tetapi secara factual masalah ini adalah sebuah kenyataan yang harus diselesaikan sesuai dengan amanat undang-undang. Kota Batam dengan segala potensi dan masalahnya terutama terkait dengan sector pendidikan akan menjadi tidak berbeda dengan daerah lain. Oleh karena itu, selain mengusung program secara nasional, kota Batam menganggap penting untuk segera melakukan Penyusunan Analisis Situasi dan Kondisi (ASK) dan menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) pendidikan untuk semua (PUS) sebagai upaya menyelesaikan secara bertahap persoalanpersoalan pendidikan baik menyangkut aksesibilitas maupun peningkatan mutu pendidikan, karena persoalan ini akan memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap “pencitraan” Kota Batam dalam hal Indek Pembagunan Manusia (IPM) yang seringkali menjadi takaran bagi kemajuan daerah. Kegiatan analisis situasi dan kondisi pendidikan untuk semua dimaksudkan untuk dapat memberi gambaran tentang bagaimana “Peta Pendidikan” kota Batam terkait dengan: PADU, Pendidikan Dasar, Life Skill, Pendidikan Berkeadilan Gender, Keaksaraan Fungsional, dan Mutu Pendidikan. Selain itu kegiatan ini dimaksudkan untuk menjadi dasar menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Pendidikan Untuk Semua (PUS) bagi 6 (enam) komponen tersebut di atas, yang nantinya akan menjadi “kerangka dasar” perumusan kebijakan strategis tentang implementasi “Gerakan Pendidikan Untuk Semua” dan pengembangan langkahlangkah operasional yang akan lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh banyak pihak, baik para pengambil kebijakan, stakeholders maupun masyarakat yang menjadi sasaran. Hal tersebut juga bertujuan untuk menggalang dukungan dan peran serta aktif dari semua pihak
15
sehingga persoalan-persoalan pendidikan tidak hanya menjadi wacana dan menjadi tanggung jawab bersama, dan secara bersama juga melakukan upaya-upaya “solutif”. Lahirnya kesepakatan-kesepakatan tingkat regional dan dunia dan serangkaian pertemuan tingkat tinggi antara lain Program Asia Pasifik tentang Pendidikan untuk Semua pada awal tahun 1987, Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien, Thailand dalam bulan Maret 1990, Statement Salamanca pada tahun 1991, Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pendidikan untuk Semua Sembilan Negara Berkembang Berpenduduk Besar, di New Delhi, India, 12-16 Desember 1993, kemudian Pertemuan 9 Menteri Pendidikan E-9 di Jenewa, Swiss tanggal 3-8 Oktober 1994. Partisipasi Indonesia dilanjutkan di JakartaDenpasar, Indonesia pada awal bulan Oktober 1995, lalu di Islamabad, Pakistan dalam bulan September 1997, kemudian di Recife, Brazil tanggal 31 Januari s.d. 2 Februari 2000 dan yang terakhir di Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tanggal 26-28 April 2000. Forum Pendidikan Dunia di Dakar itu telah berhasil menyusun Kerangka Tindakan Dakar yang memuat kesepakatan tentang apa, mengapa dan bagaimana pendidikan untuk semua dilaksanakan. Kerangka Aksi Dakar, Pendidikan Untuk Semua (PUS) yang lebih difokuskan bagi negara-negara miskin dan sedang berkembang, merupakan salah satu upaya penguatan terhadap komitmen urgensitas pembangunan pendidikan disuatu negara, sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan pembangunan secara utuh dan menyeluruh. Indonesia yang turut berperan aktif dalam membangun komitmen kolektif antar negara di dunia, perlu ditindakianjuti serta mendapat dukungan dan pemerintah dan berbagai komponen masyarakat. Sebagaimana dituangkan dalam buku Pendidikan untuk Semua Persiapan Kerja Nasional Pedoman setiap Negara Pentingnya pendidikan, baik inheren maupun terlihat bukanlah suatu jaminan bahwa akan diterimanya derajat dukungan politik tingkat tinggi arah dukungan sosial
16
berbasis luas yang akan menguntungkan perwujudan PUS. Kerangka Aksi Dakar adalah sangat tegas mengenai hal mi. Kemauan politik dan kepemimpinan nasional yang lebih kuat diperlukan untuk pelaksanaan rencana nasional yang mangkus dan berhasil di setiap negara yang bersangkutan‟. Kepedulian ml hendaklah diterima dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang mengatur upaya PUS nasional; akan diperlukan lebih daripada sekedar dukungan menteri-menteri dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Apa bentuk dukungan yang diusahakan dan kepemimpinan politik nasional?. Dukungan juga diperlukan dan setiap tingkat masyarakat untuk meraih mi, ma/ca setiap langkah yang mungkin hendaklah diambil untuk membuat pendidikan untuk semua menjadi isu utama perdebatan dan pemikiran. Hal itu memerlukan upaya yang menarik hati orang tua, komunitas, majikan, kaum profesional pendidikan dan peserta didik sendini. Hal itu juga akan berarti mengerahkan mere/ca yang membentuk, memperbaiki dan menyebarkan pendapat umum: media, kaum intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat yang dari semua bidang, suksesnya program PUS diantaranya diperlukan dukungan politik dan sosial. Kesepakatan Dakar yang diimplementasikan dalam Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education For All (EFA) dan gerakan mi merupakan suatu upaya jangka panjang yaitu 2002-2015. PUS meliputi 6 (enam) komponen pokok dalam membangun dunia pendidikan. Ke-enam komponen pokok tersebut mencakup: 1) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 2) Pendidikan Dasar 3) Life Skill (Kecakapan Hidup) 4) Pendidikan Berkeadilan Gender 5) Keaksaraan Fungsional 6) Mutu Pendidikan
17
Pada dasarnya enam komponen yang telah disepakati dalam konvensi Dakar telah dilaksanakan pelaksana pendidikan yaitu keluarga, masyarakat dan pemerintah hanya saja rentetan persoalan yang menyertainya menyebabkan program-program di atas banyak menemui hambatan bahkan dalam skala parsial dapat dikatakan gagal. PUS sendiri merupakan satu upaya pemaduan langkah serta penyatuan persepsi terhadap berbagai kegiatan yang meliputi enam komponen di atas, sehingga akan terjadi kesatupaduan dan kesamaan persepsi dalam pembangunan pendidikan nasional dan daerah secara lebih khusus lagi. Selanjutnya dengan berpedoman pada pokok pikiran diatas, perlu disusun sebuah Rencana Aksi Daerah (RAD) yang menyangkut ke-enam komponen tadi. Dalam penyusunan RAD mi perlu melibatkan semua komponen yang terkait yang di dalamnya mencakup stakeholders dan masyarakat luas dan yang penting pihak pemerintah. Sehingga dengan melibatkan semua unsur yang terkait tersebut akan menghasilkan suatu dokumen dan komitmen bersama yang dapat dijadikan rujukan untuk pengambilan kebijakan pembangunan pendidikan di daerah. Hanya saja dalam menyusun RAD di atas, diantaranya harus mengacu kepada Analisis Situasi dan Kondisi Pendidikan Untuk Semua (PUS) Daerah yang sebelumnya harus sudah tersusun dan dapat disajikan. Dan sinilah penyusunan dan pelaksanaan program-program yang disepakati dalam Rencana Aksi Daerah disesuaikan dengan situasi, kondisi serta kemampuan daerah dengan memperhatikan berbagai kaidah yang terdapat di daerah terutama lagi faktor kekuatan, kelemahan, kesempatan dan peluang perlu menjadi standar prioritas program.
18