BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini adalah mengenai persepsi masyarakat terhadap pendidikan formal di Desa Parbutaran Kecamatan Bosar Maligas Kabupaten Simalungun. Pendidikan adalah situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sedangkan para ahli psikologi memandang pendidikan adalah pengaruh orang dewasa terhadap anak yang belum dewasa agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap
hubungan-hubungan
dan
tugas-tugas
sosialnya
dalam
bermasyarakat1. Di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia. Lemahnya sumber daya manusia (SDM) hasil pendidikan juga mengakibatkan lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor ekonomi yang merosot secara signifikan2 di tahun 1998. Namun saat negara-negara ASEAN3 lainnya pulih, Indonesia masih belum mampu
1
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran (Alpabeta, Bandung 2009), hal 1 Sesuatu atau hal yang berarti, sifatnya penting, dan patut diperhatikan 3 Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah organisasi geopolitik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 melaluiDeklarasi Bangkok oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. 2
Universitas Sumatera Utara
melakukan recovery dengan baik. Dody Heriawan Priatmoko, dengan mengutip pernyataan Schutz dan Solow, menegaskan bahwa pendidikan merupakan
faktor
penting
dalam
pertumbuhan
ekonomi4
melalui
peningkatan kualitas SDM. Hal ini dapat dilihat pada negara Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pendidikan5. Sistem pendidikan Jepang yang baik telah menghasilkan manusiamanusia berkualitas sehingga walaupun hancur setelah kekalahan dalam Perang Dunia II, mereka dapat cepat bangkit maju dan bersaing dengan negara yang mengalahkannya dalam perang. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari negeri matahari terbit ini, dimana kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan adalah karena tingginya kualitas SDM-nya. Keadaan Indonesia berbeda jauh sekali dengan negara-negara tersebut6. Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) tahun 2000 tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia ( Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia di Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan
4
Proses perubahan kondisi perekonomian suatu Negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. 5 Dede Rosyada, Paradigama Pendidikan Demokratis (Kencana, Jakarta 2004), hal 1 6 Ibid
Universitas Sumatera Utara
ke-102 pada tahun 1996, ke-97 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999, dan menurun ke urutan 112 pada tahun 20007. Saat ini telah terjadi ketidakmerataan mutu pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Di satu kondisi, orang tua berusaha keras mendaftarkan anaknya di sekolah terbaik, disisi lain masih banyak orang tua yang tak acuh terhadap dunia pendidikan. Ditambah lagi adanya perbedaan antara fasilitas pendidikan di daerah kota dan di daerah pedesaan . Fasilitas pendidikan yang lebih baik dan lebih lengkap di wilayah perkotaan menyebabkan orang perkotaan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Banyaknya anak yang putus sekolah disebabkan karena masalah ekonomi. Tingkat pendidikan rumah tangga miskin ternyata jauh lebih rendah dari rumah tangga bukan miskin. Rasio partisipasi dan rasio tamat dari setiap tingkat pendidikan (SD, SMP, SMA, Akademi, dan Universitas) didalam penduduk miskin selalu lebih rendah dibanding pada penduduk bukan miskin. Untuk tingkat SD, rasio partisipasi dan rasio tamat dari penduduk miskin sebesar 90%, sedangkan penduduk bukan miskin sebesar 93,4%. Untuk tingkat SMP, penduduk miskin sebesar 53,5% ,sedangkan penduduk bukan miskin sebesar 64,55%. Untuk tingkat SMA, penduduk miskin adalah 21,2%, sedangkan bukan miskin adalah 42,7%. Untuk tingkat akademi, penduduk miskin sebesar 14,4%, sedangkan penduduk bukan miskin sebesar 23,1%, dan untuk tingkat universitas, penduduk miskin 23,1%,
7
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sedangkan penduduk bukan miskin sebesar 25,5%8. Di sini terlihat bahwa lebih tinggi tingkat pendidikan, lebih rendah rasio partisipasi dan rasio tamat belajar.
Tingkat
pendidikan
penduduk
miskin
lebih
rendah
bila
dibandingkan penduduk bukan miskin. Walaupun ada juga penduduk miskin yang menamatkan sampai jenjang SMA, Diploma dan universitas, akan tetapi penduduk miskin lebih banyak hanya menamatkan sekolah sampai jenjang SD dan SMP. Sekalipun kemiskinan berpengaruh besar terhadap anak-anak yang tidak
bersekolah,
kemiskinan
bukanlah
satu-satunya
faktor
yang
berpengaruh. Dalyono mengatakan: “Rendahnya minat orang tua terhadap pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya faktor pribadi (tingkat kesadaran), faktor ekonomi, faktor sosial budaya (social cultur), dan faktor letak geografis sekolah. Faktor sosial budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa persepsi/pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan. Peserta didik selalu melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang negatif dan salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Peserta didik yang bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh dengan mereka9.
Rendahnya minat orang tua akan pendidikan bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, akan tetapi faktor sosial budaya dan letak geografis juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh. Lingkungan sosial budaya adalah semua orang yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan
8
Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia (Rineka Cipta, jakarta, 2002) hal 19 9 http://hmpfuntan.wordpress.com/2013/02/11/rendahnya-tingkat-mutu-pendidikan-didaerah-pedesaan/ (diakses tanggal 16 September 2013)
Universitas Sumatera Utara
anak. Pengaruh sosial tersebut dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung, seperti terjadi di dalam pergaulan anak sehari-hari dengan teman sebayanya atau orang lain. Ketika si anak bergaul dengan temannya, maka si anak pun akan terikut dengan temannya. Pengaruh secara tidak langsung dapat terjadi melalui jalur informasi, seperti radio atau televisi. Letak geografis daerah pedesaan membuat akses pendidikan sulit untuk dijangkau. Pada umumnya hanya ada SD dan SMP, sehingga apabila ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi si anak harus menempuh jarak jauh atau menyewa rumah/kamar didaerah tersebut yan tentunya lebih banyak membutuhkan biaya. Akan tetapi, ada juga beberapa daerah yang terpencil bahkan tidak ada SD, sehingga anak harus menempuh jarak
yang jauh.
Berbeda
dengan
daerah
perkotaan
yang letak
SD,SMP,SMA, Diploma, dan universitas yang saling berdekatan sehingga memudahkan anak di perkotaan untuk mengenyam pendidikan dengan jarak yang relatif dekat. Anak-anak yang dibesarkan di kota pola pikirnya berbeda dengan anak di desa. Pada umumnya anak yang tinggal di kota lebih bersikap aktif, bila dibandingkan dengan anak desa yang selalu bersikap statis. Banyak fasilitas yang memang mendukung untuk anak yang berada di perkotaan lebih bersikap aktif yaitu adanya tempat les. Sedangkan kalau di desa jarang ada tempat les. Ditambah lagi fasilitas yang disediakan di sekolah yang berada di perkotaan lebih lengkap dibandingkan dengan sekolah yang berada di desa seperti laboratorium, dan fasilitas untuk kegiatan olahraga.
Universitas Sumatera Utara
Ada pendapat masyarakat yang memandang bahwa menyekolahkan anak hanya akan menambah pengangguran. Hal ini disebabkan oleh para lulusan sekolah yang belum mampu memenuhi dunia kerja. Sekolah adalah salah satu tempat yang bukan hanya berfungsi untuk memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat untuk seseorang bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Gunawan mengatakan bahwa: “Sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat berperan dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota masyarakat yang bermakna bagi masyarakatnya.” Melalui pendidikan formal akan terbentuk kepribadian seseorang yang diukur dari perkembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor seperti terdapat dalam teori Bloom10.
Konsep taksonomi bloom mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah (kawasan atau domain). Ketiga ranah yang dimaksud, yaitu : pertama, ranah kognitif (cognitive domain) meliputi fungsi memproses informasi, pengetahuan dan keahlian mentalitas. Ranah ini berisi perilakuperilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Kedua, ranah afektif (affective domain) meliputi fungsi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan. Domain ini berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Ketiga, ranah psikomotorik (psyomotor domain) berkaitan dengan fungsi manipulatif dan kemampuan fisik. Kawasan ini berisi perilaku-perilaku yang menekankan
10
http://tarmizi.wordpress.com/2010/03/01/faktor-sosial-budaya-penyebab-rendahnyaminat-terhadap-pendidikan/ (diakses tanggal 16 September 2013)
Universitas Sumatera Utara
aspek keterampilan motorik, seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin11. Masyarakat yang tidak menyadari pentingnya pendidikan formal akan menjadi masyarakat yang minim pengetahuan, kurang keterampilan, dan kurang keahlian. Mereka akan menjadi masyarakat yang tertinggal dan terbelakang. Dalam persaingan, mereka akan kalah bersaing dengan masyarakat lain yang pendidikannya sudah maju, terlebih-lebih bersaing pada era globalisasi dan informasi pada saat ini. Yang akan terjadi di kemudian hari, anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan formal akan menjadi beban bagi masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ketentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan atau pengalaman intelektualnya, serta tidak memiliki keterampilan yang menopang kehidupan sehari-hari12. Hal ini juga terjadi di Desa Parbutaran, terlihat dari rendahnya persentase anak-anak yang menamatkan sekolah tingkat SMA sebesar 12,49%, Diploma sebesar 1,12 %, dan Universitas sebesar 0,59% . Dari hasil observasi sementara rendahnya tingkat pendidikan di Desa Parbutaran bukan hanya disebabkan karena masalah ekonomi melainkan karena sebagian besar masyarakat di Desa Parbutaran beranggapan pendidikan di sekolah bukanlah hal penting yang harus dinomorsatukan. Oleh karena itu peneliti pun tertarik untuk meneliti tentang “Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kecamatan Bosar Maligas Kabupaten Simalungun. 11 12
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
1.2
Tinjauan Pustaka Kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan yang diperoleh
manusia
melaui
proses
belajar,
yang
mereka
gunakan
untuk
menginterpretasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Asumsinya adalah bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian, perilaku dan emosi. Karena itu, objek kajiannya bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara fenomena material tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind) manusia (Spradley dalam Amiruddin: 1997). Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Ciri-ciri masyarakat adalah (1) interaksi antar warga-warganya; (2) adat-istiadat, norma, hukum, dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga Negara kota atau desa; (3) kontinuitas waktu; (4) dan rasa identitas kuat yang mengikat semua warga. Dengan memeperhatikan ciri-ciri tersebut maka secara khusus dapat dirumuskan definisi mengenai masyarakat yaitu masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama13.
13
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi revisi (Rineka Cipta, Jakarta 2009), hal 116
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan adalah sebenarnya proses pembudayaan. Tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya tidak ada suatu proses kebudayaan tanpa pendidikan. Proses pendidikan hanya dapat terjadi di dalam hubungan antar manusia didalam suatu masyarakat. Proses pendidikan merupakan suatu proses dan sekaligus suatu kata benda. Pendidikan sebagai suatu proses merupakan suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik di dalam suatu masyarakat. Pendidikan adalah suatu proses menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Inilah pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan14. Proses pendidikan senantiasa berlangsung bagi setiap manusia, baik yang masih bersekolah maupun tidak, yang berusia muda maupun tidak, yang perempuan maupun tidak. Menurut Yustina Rostiawati, pendidikan adalah: Suatu proses mendidik seseorang manusia menjadi manusia yang dapat menghargai martabat setiap manusia baik perempuan maupun laki-laki. Implikasinya, seseorang manusia yang terdidik akan berusaha untuk senantiasa memperluas cakrawala wawasannya, memperdalam pengetahuannya, dan berisikan adil terhadap manusia lain tanpa memperhatikan jender, ras maupun etnis. Pendidikan bukan suatu proses pengolahan masukan (input) menjadi luaran (output) yang efektif, efisien, dan sikap pakai untuk dunia kerja dan kebutuhan pasar. Dengan kata lain, sistem pendidikan dan proses pendidikan tidak sama dengan sistem dan proses produksi dalam pabrik (Yayasan Toyota dan astra, 2004 : 438).
14
Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia ( PT Remaja Rosdakarya, Bandung,1999), hal 7
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan adalah suatu proses mendidik seseorang agar menjadi pribadi yang lebih baik. Seseorang yang berpendidikan bukan hanya saja lebih memperdalam ilmu pengetahuannya, akan tetapi juga harus lebih bisa menghargai orang lain. Pendidikan tidak seperti pabrik produksi yang mengolah dari barang mentah menjadi barang jadi/siap pakai. Pendidikan belum tentu menjamin seseorang akan mendapatkan pekerjaan kalau tidak diimbangi dengan keterampilan. Pendidikan
membantu
dan
memberdayakan
manusia
untuk
membangun daya kekuatan yang kreatif, dan mampu melakukan sesuatu. Salah satu aspek individual dari pemberdayaan adalah agar manusia memiliki kemampuan berpikir, menguasai ilmu penegetahuan dan tekhnologi, mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan membangun berbagai keterampilan. Pendidikan juga membantu dan memberdayakan manusia untuk membangun kekuatan bersama, solidaritas atas
dasar
komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan persoalan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, pendidikan juga memberdayakan manusia untuk membangun komunitas, memperkuat hubungan antar manusia15. Pendidikan merupakan sarana paling strategis untuk meningkatkan kualitas manusia. Artinya, melalui pendidikan, kualitas manusia dapat ditingkatkan. Dengan kualitas meningkat, produktivitas individual manusia pun akan meningkat pula. Selanjutnya, jika secara individual produktivitas manusia meningkat maka secara komunal produktivitas bangsa akan
15
Tonny Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia (Kompas, Jakarta, 2004) hal 420
Universitas Sumatera Utara
meningkat. Bahwa untuk meningkatkan produktivitas bangsa, diperlukan dana besar memang demikian hukum ekonominya16. Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan17. Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai makhluk bio-sosial18.
16
Ibid http://fikrienas.wordpress.com/budaya-dan-pendidikan/ 18 Ibid 17
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi
dirinya
untuk
meiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara19. Selanjutnya menurut Poerbakawatja Harahap (1981), pendidikan adalah “…usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya…orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang tua yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik misalnya guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan, kepala-kepala asrama dan sebagainya20.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan21. Makna dan tujuan dari pendidikan adalah untuk memerdekakan, membudayakan, dan memanusiakan manusia termasuk di dalamnya proses sosialisasi nilai-nilai transenden dan kultural yang diharapkan dapat senantiasa membantu manusia dalam proses menjadi manusia (on the process of becoming human), seperti diungkapkan oleh Sastrapratedja. Fuad
19
UU Sistem Pendidikan Nasional (Pustaka Pelajar, Yogyakarta2005) Muhibbinsyah. Psikologi Pendidikan (PT Rosdakarya, Bandung 2010), hal 11 21 Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan edisi revisi (Rineka Cipta, Jakarta 2005), hal 33 20
Universitas Sumatera Utara
Hassan lebih lanjut mengungkapkan, manusia tidak akan pernah berhenti berproses melalui pendidikan yang bukan hanya terbatas sebagai sistem persekolahan dalam pendidikan formal, melainkan juga di dalam arti dan makna yang lebih luas. ( Yayasan Toyota dan Astra, 2004: 438) Secara tradisional, pendidikan dipandang sebagai kegiatan yang bertujuan, sebagai jalan menuju pencapaian tujuan yang terletak di luar proses pendidikan adalah untuk membantu mencapai kehidupan yang baik, kebahagiaan, keadaan yang final. Bukan hanya pendidikan yang menjadi penopang upaya mencapai tujuan itu. Anggapan bahwa pendidikan adalah cara atau alat menyebabkan diaturnya unsur-unsur pendidikan mengikuti arus zaman dan tempat ini, seperti kini pendidikan dianggap sebagai cara mencapai penyesuaian sosial, mencapai profesi yang memadai, atau mencapai kepemimpinan dalam masyarakat22. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal. Pendidikan formal (PF) yang sering disebut pendidikan persekolahan berupa jenjang pendidikan yang telah baku. Mulai dari jenjang sekolah dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi (PT). Pendidikan taman kanak-kanak masih dipandang sebagai pengelompokkan belajar yang menjembatani anak dalam suasana hidup dalam keluarga dan di sekolah dasar. Biasa juga disebut pendidikan prasekolah dasar (Pra-Elementary School). Menurut UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, dinyatakan setiap warga Negara diwajibkan mengikuti pendidikan
22
Paulo Freire, dkk, Menggugat Pendidikan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1998), hal 491
Universitas Sumatera Utara
formal minimal sampai tamat SMP23. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur keluarga dan lingkungan. Sekolah adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Sekolah adalah media sosialisasi yang lebih luas dari keluarga. Sekolah mempunyai potensi yang pengaruhnya cukup besar dalam pembentukan sikap dan perilaku seorang anak, serta mempersiapkannya untuk penguasaan peranan-peranan baru di kemudian hari di kala anak atau orang tidak lagi menggantungkan hidupnya pada orang tua atau keluarganya (J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2010: 94). Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia pendidikan, faktor budaya menjadi faktor yang menentukan keberhasilan. Faktor budaya ini berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa paradigma atau persepsi/cara pandang. Persepsi dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang terhadap objek dan situasi lingkungannya. Manusia akan selalu dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya, tingkah laku dan cara berfikir untuk menanggapi sesuatu peristiwa yang terjadi dilingkungannya. Istilah persepsi sering disebut juga dengan pandangan, gambaran, sebab dalam persepsi terdapat tanggapan seseorang mengenai satu hal atau objek. Persepsi mempunyai banyak pengertian, menurut Leavit persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas persepsi adalah pandangan atau 23
Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan edisi revisi (Rineka Cipta, Jakarta 2005), hal 76
Universitas Sumatera Utara
pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi menurut Desiserato adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan24. Menurut Moskowitz dan Ogel persepsi merupakan proses integrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktifitas yang integrated dalam diri individu25. Persepsi menurut Fielman adalah proses konstruktif ketika kita menerima stimulus yang ada dan berusaha memahami situasi. Sedangkan menurut Morgan, persepsi mengacu pada carakerja, suara, rasa, selera, atau bau. Dengan kata lain, persepsi dapat didefinisikan apa pun yang dialami oleh seseorang. Persepsi adalah proses pengolahan informasi dari lingkungan yang berupa stimulus, yang diterima melalui alat indera dan diteruskan ke otak untuk diseleksi, diorganisasikan sehingga menimbulkan penafsiran atau penginterpretasian yang berupa penilaian dari penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Persepsi merupakan hasil interaksi antara dunia luar individu (lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai penghubung, dan dinterpretasikan oleh sistem syaraf di otak26.
24
http://www.psychologymania.com/2011/08/pengertian-persepsi.html?m=1 tanggal 5 september 25 Ibid 26 Ibid
(diakses
Universitas Sumatera Utara
Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Sebaliknya alat untuk memahami adalah kesadaran27. Secara umum menurut Sondang P.Siagian ada 3 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu: 1.
Faktor pelaku persepsi yaitu diri orang yang bersangkutan sendiri. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapan.
2.
Faktor sasaran persepsi yaitu sasaran itu mungkin berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Dengan perkataan lain, gerakan, suara, ukuran, tindak tanduk dan ciri-ciri lain dari sasaran persepsi turut menentukan cara pandang orang yang melihatnya.
3.
Faktor situasi persepsi yaitu persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana persepsi itu timbul perlu pula mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam penumbuhan persepsi seseorang28.
27 28
Ibid Sondang P.Siagian, Teori Motivasi dan Aplikasinya (PT Rineka Cipta, Jakarta 1995), hal 101
Universitas Sumatera Utara
1.3 Rumusan Masalah Penelitian ini akan dilakukan di Desa Parbutaran Kecamatan Bosar Maligas Kabupaten Simalungun. Alasan peneliti memilih Desa Parbutaran karena tingkat pendidikan yang rendah29. Berdasarkan observasi sementara tingkat pendidikan yang rendah disebabkan faktor ekonomi dan persepsi anak ataupun orang tua yang menganggap sekolah tidak menjamin masa depan. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah ada maka yang menjadi pokok permasalahan penelitian adalah “Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan formal”. Pokok permasalahn tersebut akan dirumuskan dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana persepsi masyarakat Desa Parbutaran terhadap pendidikan formal.
2.
Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi anak-anak Desa Parbutaran sekolah/tidak melanjutkan sekolah.
3.
Adakah hubungan antara persepsi orang tua terhadap pendidikan formal dengan minat anak untuk bersekolah.
29
Indikator tingkat pendidikan terdiri dari jenjang pendidikan. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik
Universitas Sumatera Utara
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspsi
masyarakat Desa Parbutaran terhadap pendidikan formal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara praktis maupun akademis. Secara praktis, penelitian ini dapat memberi masukan bagi mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Secara akademis, dapat juga bermanfaat untuk menambah wawasan dan kepustakaan di bidang Antropologi ataupun ilmuilmu pendidikan yang berhubungan dengan penelitian ini.
1.5
Metode Penelitian
1.5.1
Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Menurut Moleong (2005:6) penenlitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena apa yang yang terjadi dan dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode kualitatif yaitu berupa pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan. Dengan tahapan penelitian pra lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan diakhiri dengan tahap penelitian laporan penelitian peneliti. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi etnografi. Penelitian studi etnografi adalah studi yang berupa tulisan atau laporan tentang suku
Universitas Sumatera Utara
bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atau hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun30.
Tekhnik Pengumpulan Data
1.5.2 1.5.2.1
Observasi
Observasi adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejolak (tindakan atau peristiwa atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian dengan cara mengamati). Dengan observasi kita dapat memperoleh gambaran tentang kehidupan sosial dan budaya yang sukar untuk diketahui dengan metode lainnya. Peneliti mengawali terlebih dahulu dengan observasi. Dalam hal ini, peneliti mencoba untuk mengamati saja, yakni dengan mengamati tanpa ikut terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti. Melihat aktifitas dan gambaran pendidikan masyarakat desa Parbutaran. Selanjutnya, peneliti akan melakukan observasi partisipasi (participant observation) yang artinya metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan dimana observer atau peneliti benar-benar melihat dalam keseharian informan (Bungin, 2007).
30
(Spradley dalam Amiruddin: 1997).
Universitas Sumatera Utara
1.5.2.2
Wawancara
Wawancara mendalam (indepth interview) merupakan metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan
atau
tanpa
menggunakan
wawancara
(interview
guide),
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama.
Dengan
demikian,
kekhasan
wawancara
mendalam
adalah
keterlibatannya dalam kehidupan informan. Dengan metode ini, peneliti akan menggunakan pedoman wawancara. Peneliti berusaha menjalin rapport31dengan informan. Pengembangan rapport dilakukan dengan cara hidup beradaptasi dan mengikuti kegiatan sehari-hari masyarakat di Desa Parbutaran dan menjalin hubungan yang baik dengan penduduk setempat sehingga ketika melakukan wawancara, data yang diperoleh benar-benar atau mendekati fakta yang sesungguhnya. Hasil-hasil wawancara akan dicatat dalam catatan lapangan untuk memudahkan pemahaman akan disertakan foto, rekaman suara dan video yang berkaitan dengan masalah penelitian. Pada tulisan ini, peneliti akan membedakan antara informan kunci dan informan
biasa.
Informan
kunci
adalah
orang-orang
memahami
permasalahan yang diteliti dan yang menjadi fokus peneliti yang meliputi keluarga yang anaknya tidak bersekolah atau bersekolah sampai jenjang SD 31
Rapport adalah hubungan antara peneliti dan subjek yang sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah anatara keduanya.
Universitas Sumatera Utara
atau SMP . Informan biasa sebagai pembanding meliputi keluarga yang anaknya bersekolah sampai SMA, PT dan guru sekolah di Desa Parbutaran.
1.5.2.3
Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki keterkaitan fungsi sebagai salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, data sekunder dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan sebagai tekhnik oengumpulan data selanjutnya, dimaksudkan peneliti sebagai suatu sarana pendukung untuk mencari dan mengumpulkan data dari beberapa buku, jurnal, majalah, Koran dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah penelitian guna lebih menambah pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian.
Universitas Sumatera Utara
1.6
PENGALAMAN PENELITIAN Awal mula peneliti melakukan wawancara adalah dengan salah
seorang teman peneliti sendiri. Setelah informan bersedia diwawancarai, peneliti
pun
tidak
mebuang-buang
waktu
untuk
langsung
mewawancarainya. Diawal wawancara kami pun tertawa-tawa kecil karena tidak biasa melakukan tanya jawab seperti itu. Butuh waktu sekitar 5 menit untuk menetralkan suasana. Akhirnya peneliti pun mulai mewawancarainya dan informan pun mulai terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan peneliti. Setelah peneliti mewawancarainya kami pun pulang kerumah masingmasing karena hari sudah sore. Tidak kalah sulitnya dengan awal mula peneliti melakukan wawancara pertama, wawancara selanjutnya kepada informan-informan yang telah peneliti tentukan pun lumayan sulit. Walaupun sudah peneliti jelaskan maksud wawancara peneliti akan tetapi ada beberapa informan yang beranggapan akan menerima uang setelah diwawancarai. Ditambah lagi terkadang informan kurang mengerti maksud dari pertanyaan peneliti, sehingga peneliti harus bertanya dengan kalimat yang lebih dimengerti oleh informan. Ada perbedaan ketika peneliti bertanya kepada informan yang hanya tamat SD dengan informan yang SMA, D3 dan S1. Kalau bertanya kepada yang tamat SD biasanya peneliti harus mengulang-ulang dengan kalimat yang lebih sederhana, sedangkan kalau bertanya kepada yang tamat SMA, D3 dan S1 biasanya peneliti hanya bertanya sekali atau 2 kali.
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan informan tidak terlalu sulit untuk peneliti dikarenakan penelitian ini di desa peneliti sendiri, sehingga peneliti sudah bisa menetapkan informan sesuai kebutuhan informan. Walaupun lokasi penelitian ini di desa peneliti sendiri akan tetapi bukan berarti peneliti tidak mengalami kesulitan saat mewawancarai informan. Ada beberapa informan yang peneliti pilih akan tetapi tidak mau untuk diwawancarai sehingga peneliti harus mencari informan lain. Biasanya informan yang tidak mau diwawancarai adalah anak muda yang hanya tamat SD atau SMP. Ada rasa malu yang peneliti tangkap dari penolakan mereka. Mereka mungkin malu karena hanya tamat SD atau SMP. Selain itu, mereka juga takut tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti karena dalam pikiran mereka wawancara ini berhubungan dengan pelajaran, padahal sudah peneliti jelaskan diawal bahwa pertanyaan-pertanyaannya tidak berhubungan dengan pelajaran melainkan pendapat mereka yang terlepas dari benar atau salah. Ada sebagian informan yang memang teman peneliti sendiri, sehingga ketika peneliti mewawancarai mereka peneliti dapat langsung menangkap apa yang mereka rasakan. Rasa cemburu itu sudah pasti. Rasa sedih lebih pasti karena terlihat dari sorotan mata maupun cara mereka menjawab. Mereka cemburu dan sedih dikarenakan peneliti bisa kuliah sedangkan mereka hanya bisa menamatkan SMP, seperti yang pernah mereka ucapkan pada peneliti. Sehingga terkadang peneliti mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menyegarkan suasana. Bukan hanya itu saja, ketika peneliti mewawancarai beberapa orang tua yang hanya tamat SD atau tidak pernah sekolah, tidak jarang peneliti
Universitas Sumatera Utara
garuk-garuk kepala. Sakit kepala, bingung, itulah yang terkadang peneliti rasakan. Ketika ditanya mereka terkadang hanya menjawab gak ada uang, menggeleng, mengangguk, dan bahkan tertawa. Sungguh membutuhkan kesabaran ekstra untuk memperoleh data dari mereka. Berbeda dengan informan yang tamat jenjang SMA, D3, S1, informan yang tergolong di kategori ini lebih mudah untuk diwawancarai dan lebih mudah untuk menjawab pertanyaan yang peneliti berikan. Dari wawancara yang peneliti lakukan setidaknya peneliti bisa memahami sesuatu yaitu memang pendidikan seseorang mempengaruhi seseorang itu untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara