BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan diartikan sebagai usaha atau kegiatan untuk mengembangkan potensi dan ketrampilan. Di antaranya meliputi, pengajaran keahlian khusus, pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi. Di era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan. Situasi pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel akan lebih terarah, sehingga sebuah generasi dapat memfungsikan dirinya secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Salah satu permasalahan di dunia pendidikan adalah anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai macam informasi yang tidak disertai pemahaman informasi untuk menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dengan model seperti ini masih mengacu pada teori Tabula rasa dari John Locke yang menyebutkan bahwa pikiran seorang anak adalah seperti kertas kosong yang putih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Berdasarkan asumsi sejenisnya, banyak guru 1
2
melaksanakan kegiatan belajar-mengajar sebagai berikut : (1) memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, (2) mengisi botol kosong dengan pengetahuan, (3) mengotak-atik siswa, (4) memacu siswa dalam kompetensi bagaikan ayam aduan. Banyak guru masih menganggap paradigma lama ini sebagai satu-satunya alternatif. Mereka mengajar dengan metode ceramah dan mengharapkan siswa duduk, diam, dengar, catat, dan hafal (3DCH) (Wina Sanjaya 2009:111). Sementara itu basis kualitas output atau keluaran dari pendidikan ditentukan oleh bagaimana proses yang terjadi pada saat pembelajaran di dalam kelas. Di lihat dari kinerja pengajar dan tanggapan atau respon peserta didik, hasil pembelajaran bisa dirasakan efeknya. Dalam kegiatan belajar mengajar peserta didik atau siswa harus aktif berbuat. Dengan kata lain, bahwa dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung seperti apa yang diharapkan. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar untuk mengubah paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) ke pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Paradigma proses pembelajaran seharusnya tidak lagi menjadi wahana mengajar (teaching), tetapi lebih diarahkan sebagai wahana belajar (learning), karena pembelajaran
merupakan
proses
pendewasaan.
Pembelajaran
harus
lebih
menyenangkan, mengasyikan, mencerdaskan peserta didik, dimana guru mampu
3
mengembangkan pola pikir siswa. Guru tidak hanya mengajar untuk mencapai hasil tertentu, dengan kata lain guru tidak hanya menjadi seorang tutor saja, tetapi juga sebagai fasilitator. Pembelajaran tidak semata-mata kegiatan proses mentransfer ilmu. Tetapi hakikat pembelajaran yang sebenarnya adalah siswa dapat mengungkap kembali hubungan antara materi yang diperoleh dengan pengembangan potensi yang dimiliki. Misalnya saja, pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang diarahkan untuk mengembangkan sikap dan nilai-nilai kehidupan sebagai bekal untuk dapat bertindak dan berperilaku di masyarakat sesuai norma-norma atau sistem yang berlaku. Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang bertujuan membentuk karakter warga negara. Menurut pendapat Nu’man Soemantri (2001:159) dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan IPS. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah salah satu mata pelajaran di sekolah yang menekankan pada pola pengembangan pengetahuan dan ketrampilan kewarganegaraan setiap individu. Tetapi kenyataan di lapangan mata pelajaran
4
Pendidikan Kewarganegaraan lebih ditekankan pada dampak instruksional yang hanya berorientasi pada dimensi kognitif tingkat rendah yaitu dibebani dengan hafalan-hafalan konsep. Padahal pengembangan ketrampilan kewarganegaraan sangat penting dan diperlukan oleh setiap siswa agar dapat diterapkan sehingga terbentuk warga negara yang berwawasan luas, efektif dan bertanggung jawab. Selain itu pengelolaan kelas yang belum mampu menciptakan suasana kondusif produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa melalui pelibatan secara proaktif dan interaktif, baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun diluar kelas sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (Sunarso dkk, 2006:2). Hasil Riset yang dilakukan Rahmawati (2008) menunjukkan uji perbedaan ratarata dengan uji t untuk semua kelompok uji, kecuali uji rata-rata pre-test bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata post-test baik pada kelas yang diajarkan dengan metode P roblem Solving maupun dengan metode ceramah. Secara uji statistik berbeda secara signifikan dengan p-value (Sig) 0,000 < 0,05 level of Significant. Maka H0 ditolak atau Ha diterima. Hal ini menunjukkan bahwa metode Problem Solving lebih baik atau lebih efektif daripada metode ceramah. Berdasar hasil riset di atas, peneliti mempunyai dasar untuk mengungkap kembali hakikat pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Pembelajaran yang kooperatif, aktif dan saling berkesinambungan. Dasar riset yang
5
menunjukkan hasil positif tersebut mendasari bahwa model Problem Based Learning juga dapat digunakan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Hasil pra-observasi dua pertemuan bulan Agustus 2012 pada siswa kelas VII di SMP 16 Yogyakarta menunjukkan masih ada siswa yang kurang berminat dan kurang aktif dalam mengikuti proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Siswa lebih dihadapkan pada situasi pembelajaran dengan metode satu arah yaitu guru merasa sebagai satu-satunya sumber belajar. Proses pembelajaran mata pelajaran Pendidikan meskipun
pada
Kewarganegaraan
dasarnya
guru
berlangsung
menguasai
materi
kurang
menyenangkan
pelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan. Pada saat pembelajaran, siswa kelas VII kurang mendapat peran. Padahal untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selain unsur kognitif, unsur atau dimensi afektif dan psikomotoriknya harus disertakan di dalamnya. Hal ini ditunjukkan dengan masih dominannya metode ceramah yang digunakan pada saat guru mengajar di kelas. Salah satu alternatif yang bisa diterapkan guru untuk meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL), atau sering disebut pembelajaran berbasis masalah. Pertanyaan yang dapat dijawab secara singkat dan tanpa berpikir keras tidak termasuk masalah. Pertanyaan akan menjadi masalah jika menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin. Dalam
6
implementasinya siswa tidak hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui PBL siswa aktif berkelompok, berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkan. Dilihat dari aspek psikologi belajar PBL bersandar kepada psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan semata-mata proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses interaksi secara sadar antara individu dengan lingkungannya. Melalui proses ini sedikit demi sedikit siswa akan berkembang secara utuh. Artinya, perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik melaui penghayatan secara internal akan problema yang dihadapi. (Wina Sanjaya 2009:210). Proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang menggunakan model PBL dimaksudkan agar siswa memperoleh kesempatan yang lebih besar kepada siswa untuk lebih aktif dalam merefleksikan ide serta harapan yang ingin diperolehnya melalui diskusi kelas maupun kelompok. Dengan demikian, peningkatan hasil belajar yang dicapai bukan sekedar hasil dari aspek kognitifnya yaitu dengan menghafal materi, tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik kegiatan nyata (pemecahan kasus) yang dikerjakan siswa saat proses pembelajaran. Hal ini perlu dilakukan di kelas VII SMP N 16 Yogyakarta mengingat bahwa di kelas ini proses pembelajaran masih berpusat pada guru. Berdasar dari pemaparan di atas,
7
maka peneliti menganggap penting untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Model Problem Based Learning (PBL) Terhadap Aktivitas Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Siswa Klas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pra observasi yang dilakukan di SMP Negeri 16 Yogyakarta di kelas VII, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaran cenderung masih didominasi dengan metode ceramah, sehingga siswa kurang aktif untuk mengikuti proses pembelajaran.
2.
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan masih terpusat pada guru.
3.
Suasana pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan kurang aktif dan menyenangkan.
4.
Model Problem Based Learning perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh terhadap aktivitas siswa di SMP Negeri 16 Yogyakarta.
8
C. Pembatasan Masalah Berangkat dari identifikasi masalah di atas serta adanya keterbatasan kemampuan baik dari aspek intern dan eksetrn, maka penelitian ini difokuskan pada beberapa aspek saja, yaitu : 1.
Pengaruh model Problem Based Learning (PBL) terhadap aktivitas belajar siswa kelas VII pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 16 Yogyakarta.
2.
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam menerapkan model Problem Based Learning (PBL) di kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta.
D. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1.
Adakah pengaruh model PBL terhadap aktivitas belajar siswa dibandingkan dengan metode ceramah pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan kelas VII dibandingkan dengan metode ceramah?
2.
Apa sajakah faktor-faktor yang menjadi kendala dalam menggunakan model PBL dalam pembelajaran PKn di kelas VII SMP N 16 Yogyakarta?
9
E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1.
Pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas VII di SMPN 16 Yogyakarta menggunakan model Problem Based Learning dibandingkan dengan metode ceramah.
2.
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam menggunakan model Problem Based Learning.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat : 1.
Secara Teoritis. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mengetahui pengaruh
model Problem Based Learning (PBL) terhadap aktivitas siswa dibandingkan dengan metode ceramah pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Sangat bermanfaat sebagai salah satu acuan bagi guru dalam mengembangkan model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. 2.
Secara Praktis. Dari aspek praktis, tentu penelitian ini memiliki banyak manfaat, di
antaranya adalah dapat memberikan alternatif model pembelajaran yang lebih inovatif. Dengan menggunakan model pembelajaran yang variatif, guru sebagai pendidik dapat memberikan materi pelajaran PKn dalam satu kesatuan yang
10
menarik dan lengkap. Dengan menggunakan model PBL, dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran PKn.
G. Definisi Operasional Penelitian. Dalam hal ini dijelaskan definisi operasional yang digunakan untuk menghindari kekeliruan maksud dan tujuan yang dicapai. Definisi tersebut antara lain : 1.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi. Fokus dari mata pelajaran Pkn adalah membentuk warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hakhak dan kewajiban sesuai amanat dalam Pancasila dan UUD 1945.
2.
Model pembelajaran Problem Based Learning adalah suatu cara penyampaian pembelajaran secara sistematis dan logis. Berawal dari sebuah masalah sebagai pemicu diarahkan kemampuan anak didik untuk berpikir kritis, berkomunikasi, mencari dan mengolah data.
3.
Aktivitas belajar merupakan prinsip atau asas yang sangat penting dalam interaksi pembelajaran sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku.
4.
Metode ceramah adalah metode pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada
11
sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. 5.
Metode
pembelajaran
diskusi
adalah
metode
pembelajaran
yang
menghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Tujuan metode ini adalah untuk memecahkan suatu permasalahan, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami pengetahuan siswa, serta untuk membuat suatu keputusan.