1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pencapaian prestasi yang maksimal dalam olahraga dapat dilakukan oleh seseorang dengan cara berlatih serta melalui suatu proses latihan yang terprogram, tersusun, sistematis, dilakukan secara berulang-ulang, dan makin hari makin bertambah beban latihannya sesuai dengan prinsip latihan. Dalam setiap program latihan, ada beberapa aspek utama yang perlu mendapat perhatian untuk dibina. Ada empat aspek latihan yang perlu diperhatikan dan dilatih secara seksama oleh atlet, yaitu (a) latihan fisik, (b) latihan teknik, (c) latihan taktik, dan (d) latihan mental (Harsono, 2005). Selain itu, kondisi fisik juga merupakan salah satu syarat penting dalam meningkatkan prestasi seseorang atlet, dan bahkan sebagai keperluan yang sangat mendasar untuk meraih prestasi olahraga, sebab seorang atlet tidak dapat melangkah sampai ke puncak prestasi bila tidak didukung oleh kondisi fisik yang baik (Suhendro, 1999). Pembinaan kondisi fisik merupakan pembinaan awal dan sebagai dasar pokok dalam mengikuti pelatihan olahraga untuk mencapai suatu prestasi (Yusuf Hadisasmita dan Aip Syarifuddin, 1996).Pembinaan kondisi fisik adalah pembinaan awal dan sebagai dasar pokok dalam mengikuti pelatihan olahraga prestasi, maka kapan awal pembinaan tersebut perlu diberikan haruslah pada saat yang tepat
2
pula.Faktor usia atau umur akan menjadi suatu perhatian di dalam memberikan pembinaan kondisi fisik. Otot-otot tubuh akan mengalami suatu perkembangan dan juga akan berhenti berkembang sesuai dengan masanya. Jangan sampai pembinaan kondisi fisik diberikan dimana otot-otot tubuh sudah berhenti berkembang maupun sebaliknya sehingga efek dari pembinaan itu sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali atau akan menimbulkan cedera. Faktor umur dalam rangka pembinaan kondisi fisik tersebut sangat penting diperhitungkan. Kecenderungan peningkatan kemampuan fisik, masa adolesensi merupakan saat yang paling tepat untuk meningkatkan kemampuan fisik yang optimal(Sugiyanto, 1993). Adolesensi atau remaja adalah individu-individu yang berusia 10 sampai 18 tahun untuk perempuan dan 12 sampai 20 tahun untuk laki-laki.Pada masa adolesensi perkembangan kemampuan fisik yang menonjol adalah kekuatan, kecepatan, dan ketahanan kardiorespirasi. Kekuatan meningkat sejalan dengan perkembangan jaringan otot yang cepat, kecepatan berkembang sejalan dengan peningkatan jaringan otot-otot dan ukuran memanjang pada tulang-tulang rangka yang berperan sebagai organ penggerak tubuh dan ketahanan kardiorespirasi berkembang sejalan dengan perkembangan besarnya rongga dada. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka untuk meningkatkan kondisi fisik secara optimal melalui pelatihan fisik sangat tepat diberikan pada masa adolesensi atau ketika anak tersebut duduk di bangku tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Anak-anak tingkat SMP sudah pantas diberikan pelatihan kondisi
3
fisik karena kemampuan fisik sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sehingga prestasi optimal yang diharapkan dapat tercapai. SMP Negeri 3 Sukawati adalah sebuah lembaga pendidikan yang terletak di Desa Batubulan Kangin.Selain prestasi siswa-siswinya yang membanggakan dalam teori seperti science, dan seni, siswa-siswi SMP Negeri 3 Sukawati juga memiliki prestasi yang membanggakan dalam bidang olahraga.Ini terbukti dengan ikut sertanya siswa SMP Negeri 1 Sukawati dalam beberapa pertandingan di bidang olahraga yang diadakan baik tingkat kecamatan, tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi. Menurut pengamatan yang dilakukan pada tanggal 23 Juli 2012, adapun prestasi dalam bidang olahraga yang diperoleh dari catatan prestasi non akademik SMP 3 Sukawati yaitu: Juara II tingkat provinsi dalam cabang olahraga tenis meja pada tahun 2008. Juara III tingkat kabupaten dalam cabang olahraga pencak silat kelas H (57-60 kg) putra pada tahun 2008.Juara II tingkat kecamatan dalam cabang olahraga voli pada tahun 2012.Dari kesekian prestasi olahraga yang ada, cabang olahraga yang lain khususnya dalam cabang olahraga atletikbelum mampu memberikan kontribusi prestasi yang maksimal. Rendahnya prestasi siswa ini khususnya dalam cabang olahraga atletik disebabkan oleh kurangnya pembinaan kondisi fisik. Seperti yang diketahui pencapaian prestasi yang optimal akan dapat dicapai dengan dimilikinya kondisi fisik yang prima dan kondisi fisik yang prima tersebut dapat dimiliki dengan dilakukannya pelatihan yang mengarah pada kondisi fisik.Pelatihan olahraga yang diberikanmasih umum dan monoton seperti: lari keliling lapangan, sprint dan lari bolak-balik. Hal
4
tersebut secara tidak langsung berdampak pada rendahnya prestasi olahraga di SMP N 3 Sukawati dalam cabang olahraga atletik. Pelatihan
kondisi
fisik
dapat
memegang
peranan
penting
untuk
mempertahankan dan mencapai prestasi yang optimal. Unsur-unsur kondisi fisik yang berpengaruh yaitu daya tahan jantung, pernafasan, dan peredaran darah daya tahan otot, kecepatan, kelincahan, kekuatan, kelentukan persendian, dan daya ledak (Lutan et al, 1991).Seorang atlet yang memiliki taktik dan teknik yang baik tidak akan dapat menunjukan penampilan terbaiknya sepanjang pertandingan/perlombaan tanpa didukung oleh kemampuan fisik yang prima terutama kekuatan dan kecepatan yang berupa kekuatan kontraksi otot dan kecepatan rangsangan syaraf. Kekuatan dan kecepatan yang berupa kekuatan kontraksi otot dan kecepatan rangsangan syaraf tersebut sangat erat kaitannya dengan daya ledak.Daya ledak otot tungkai adalah kemampuan berkontraksi otot tungkai dalam waktu yang singkat. Daya ledak merupakan komponen yang penting untuk melakukan aktivitas yang berat seperti : melempar, memukul, melompat, dan sebagainya. Jadi semua usaha maksimal yang eksplosif bergantung secara langsung pada daya ledak. Daya ledak dapat diperoleh melalui suatu pelatihan yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual.Ada banyak macam pelatihan yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan kondisi fisik, salah satunya yaitu pelatihan pliometrik.Pelatihan ini sudah banyak digunakan oleh para pembina ataupun pelatih.Pengakuan pliometrik sebagai teknik yang bermanfaat terutama datang dari
5
Rusia dan Eropa Timur dalam cabang olahraga atletik yang diawali pada pertengahan tahun 1960-an. Pendukung pertama pliometrik adalah Yuri Veroshanki, pelatih berkebangsaan Rusia yang memiliki prestasi melatih atlet-atlet lompat telah menjadi legendaris.Veroshanki melakukan eksperimen dengan metode lompat yang mendalam (depth jump) dan shock sebagai teknik pliometrik untuk meningkatkan kemampuan reaktif atlet.Suatu aspek penting dari konseptualisasi Veroshanski tentang pliometrik adalah pendapatnya bahwa latihan pliometrik membantu mengembangkan seluruh sistem neuromuscular untuk gerakan-gerakan power, tidak hanya jaringan yang berkontraksi (Furqon dan Doewes, 2002). Pliometrik adalah pelatihan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan poweryang ditandai dengan kontraksi-kontraksi otot yang kuat sebagai respon terhadap pembebanan yang cepat dan dinamis, atau peregangan otot-otot yang terlibat (Furqon dan Dowes, 2002).Pelatihan pliometrikmerupakan salah satu usaha yang ditujukan untuk mengembangkan daya ledak eksplosif (Nala, 2011). Ada beberapa jenis pelatihan pliometrik, tetapi dalam penelitian ini diterapkan pelatihan
pliometrikalternate
leg
bound
dan
double
leg
bound,
untuk
mengembangkan power tungkai dan pinggul, mengubah kerja flexsor dan ekstensor paha
dan
pinggul,
khususnya
gluteals,
hamstrings,quadriceps,
dan
gastrocnemius(Furqon dan Doewes, 2002). Kelebihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bound yakni: 1) sangat mudah untuk dilakukan, 2) kemungkinan cedera lebih kecil karena tidak ada body contact dengan alat-alat olahraga, 3) dapat dilakukan di tempat yang rata, di luar ataupun di dalam gedung dengan syarat cukup
6
leluasa,
4)
memerlukan
koordinasi
gerak
tubuh,
sehingga
sampel
dapat
mengkoordinasikan gerak tubuhnya secara maksimal terutama pada otot tungkai, 5) tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak, dan 6) tidak memerlukan petugas pelaksana yang terlalu banyak. Diperlukan suatu solusi yang mampu meningkatkan kualitas olahraga di SMP Negeri3 Sukawati, salah satunya adalah memberikan pelatihan fisik dengan menggunakan pendekatan objektif yang berbasiskan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS).Peran IPTEKS dalam bidang olahraga telah terbukti memberikan kontribusi yang cukup besar. Pelatihan fisik yang teratur, sistematik dan berkesinambungan yang dituangkan dalam suatu program pelatihan, akan dapat meningkatkan kemampuan fisik(Yusuf Hadisasmita dan Aip Syarifuddin, 1996). Dari uraian di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul “Pelatihan PliometrikAlternate Leg Bound Lebih Meningkatkan Daya Ledak Otot Tungkai Daripada Double Leg BoundPada Siswa Putra Kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati Tahun Pelajaran 2012/2013”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Apakah pelatihanpliometrikalternate leg bounddapat meningkatkan daya ledak otot tungkai pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati tahun pelajaran 2012/2013?
7
2.
Apakah pelatihanpliometrikdouble leg bound dapat meningkatkan daya ledakotot tungkai pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati tahun pelajaran 2012/2013?
3.
Apakah pelatihan pliometrik alternate leg bound lebih meningkatkan daya ledak otot tungkai daripada double leg bound pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati tahun pelajaran 2012/2013?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.3.1
Tujuan Umum Untuk menemukan metode pelatihan yang menghasilkan daya ledak otot
tungkai yang paling baik di antara ke dua tipe pelatihan yang diterapkan. 1.3.2
Tujuan Khusus 1.
Untuk mengetahuipeningkatan daya ledak otot tungkai pada pelatihan pliometrikalternate leg bound terhadap siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati tahun pelajaran 2012/2013.
2.
Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot tungkai pada pelatihan pliometrikdouble leg bound terhadap siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati tahun pelajaran 2012/2013.
3.
Untuk mengetahui pelatihan pliometrikalternate leg bound lebih meningkatkan daya ledak otot tungkai daripada double leg
8
boundpada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati tahun pelajaran 2012/2013.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: 1.
Secara teoritis : pengembangan teori dan wawasan pembina, pelatih, guru olahraga, serta atlet untuk memperoleh konsep ilmiah tentang metode pelatihan dalam meningkatkan daya ledak otot tungkai.
2.
Manfaat praktis : dipergunakan sebagai acuan oleh pembina, pelatih, guru olahraga dan atlet untuk diterapkan di lapangan dalam meningkatkan daya ledak otot tungkai, sebagai bahan perbandingan dalam memberikan pelatihan untuk meningkatkan daya ledak otot tungkai serta menunjang peningkatan prestasi olahraga, dan bagi peneliti merupakan informasi ilmiah untuk kepentinganpenelitian berikutnya.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Prestasi Usaha mencapai prestasi merupakan usaha yang multikomplek yang melibatkan banyak faktor baik internal maupun eksternal.Kualitas latihan merupakan penopang utama tercapainya prestasi olahraga sedangkan, kualitas latihan itu sendiri ditopang oleh faktor internal yakni kemampuan atlet (bakat dan motivasi) serta faktor eksternal meliputi pengetahuan dan kepribadian pelatih, fasilitas, pemanfaatan hasil riset dan pertandingan (Djoko Pekik Irianto, 2002). 1. Faktor Internal Faktor internal merupakan pendukung utama tercapainya prestasi olahragawan, sebab faktor ini memberikan dorongan yang lebih stabil dan kuat yang muncul dari dalam diri olahragawan itu sendiri, yang meliputi: a. Bakat : potensial seseorang yang dibawa sejak lahir. b. Motivasi : dorongan untuk meraih prestasi, baik intrinsik maupun ekstrinsik. 2. Faktor eksternal Faktor eksternal merupakan penguat yang berpengaruh terhadap kualitas latihan yang selanjutnya akan mempengaruhi prestasi. Faktor tersebut meliputi: a. Kemampuan dan kepribadian pelatih Kemampuan baik yang berupa pengetahuan, keterampilan cabang olahraga maupun cara melatih yang efektif mutlak untuk dikuasai oleh setiap pelatih.
10
Demikian juga dengan sikap dan kepribadian, sebab pelatih adalah figur panutan bagi setiap atletnya. b. Fasilitas Untuk menunjang prestasi diperlukan dukungan fasilitas baik fisik maupun non fisik. Fasilitas fisik antara lain: peralatan, dana, teknologi, organisasi, manajemen. Fasilitas non fisik meliputi: perhatian, motivasi, suasana yang kondusif. c. Hasil riset Temuan ilmu-ilmu terbaru biasanya melalui kegiatan riset, demikian halnya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan metodologi latihan.Untuk itu pelatih maupun olahragawan dituntut untuk memiliki kemampuan untuk membaca dan menerapkan hasil-hasil riset.Hasil-hasil riset tersebut dapat ditemukan pada buku-buku referensi, jurnal maupun internet. d. Pertandingan Pertandingan/kompetisi merupakan muara dari pembinaan prestasi, dengan kompetisi dapat dipergunakan sarana mengevaluasi hasil latihan serta meningkatkan kematangan bertanding olahragawannya.
2.2 Daya Ledak 2.2.1
Pengertian daya ledak Daya ledak adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan
cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat (Nala, 2011).
11
Daya ledak juga merupakan hasil kali antara kekuatan dan kecepatan (Sukadiyanto, 2005). Daya ledak dipengaruhi oleh kekuatan dan kecepatan yang berupa kekuatan kontraksi otot dan kecepatan rangsangan syaraf. Usaha untuk meningkatkan daya ledak dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan atau titik beratnya pada kekuatan, meningkatkan kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan atau titik beratnya pada kecepatan, serta meningkatkan keduanya sekaligus, kekuatan dan kecepatan dilatih secara simultan. Daya ledak ini sering pula disebut kekuatan eksplosif, ditandai adanya gerakan atau perubahan yang tiba-tiba yang cepat dimana tubuh terdorong ke atas atau vertikal baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun meloncat (dua kaki menapak) atau ke depan (horisontal, lari cepat, lompat jauh) dengan mengerahkan kekuatan otot maksimal. Daya ledak merupakan komponen yang penting untuk melakukan aktivitas yang berat seperti : melempar, memukul, melompat, dan sebagainya. Jadi semua usaha maksimal yang eksplosif bergantung secara langsung pada daya ledak. Sesuai dengan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa ada dua komponen penting dalam daya ledak, yaitu kekuatan otot dan kecepatan kontraksi otot dalam mengerahkan tenaga maksimal untuk mengatasi tahanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa daya ledak adalah kemampuan otot untuk mengatasi tahanan dalam waktu singkat. Daya ledak sesuai spesifikasinya dibagi menjadi 4 yakni : 1) daya ledak explosif (explosive power), 2) daya ledak cepat (speed power), 3) daya ledak kuat (strength power), dan 4) daya ledak tahan lama (endurance power) (Nala, 2011).
12
Ditinjau dari beban yang dihadapi, daya ledak dibedakan menjadi : 1) daya ledak absolut, kekuatan digunakan untuk mengatasi suatu beban luar yang maksimum, 2) daya ledak relatif, kekuatan yang digunakan untuk mengatasi beban dalam berupa berat badan sendiri (Berger, 2002). Bila ditinjau dari kesesuaian macam/jenis gerakan dibedakan menjadi : 1) daya ledak asiklik adalah daya ledak yang dihasilkan dari suatu gerakan tertentu dalam waktu yang singkat, cabang olahraga yang melibatkan daya ledak ini adalah : lempar dan melompat dalam atletik, unsur-unsur gerakan dalam olahraga senam, beladiri, permainan dan loncat indah, 2) daya ledak siklik adalah daya ledak yang dihasilkan oleh kinerja gerakan berturutturut yang sama atau berulang-ulang yang dilakukan dalam waktu tertentu,cabang olahraga yang melibatkan daya ledak ini adalah : lari cepat, bersepeda, renang dan sejenisnya (Bompa, 1999).Dalam penelitian ini yang diukur adalah daya ledak otot tungkai dengan menggunakan tes lompat jauh tanpa awalan (standing broad jump). 2.2.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya ledak Pada umumnya daya ledak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal(Berger, 2002). Faktor internal adalah sesuatu yang telah ada dalam tubuh manusia dan cenderung bersifat menetap, misalnya : genetik, umur, jenis kelamin, tingkat kesegaran jasmani sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan kelelahan, motivasi, suhu dan kelembaban relatif udara. Faktor-faktor tersebut diuraikan sebagai berikut : 1. Genetik.Bayi lahir dengan membawa sifat-sifat yang menurun dari orang tuanya. Faktor bawaan ini menentukan potensi perkembangan maksimum yang mungkin
13
bisa dicapai dan sifat penampilan fisik setelah mencapai kedewasaan (Sugiyanto, 1993).Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan ikut berperan dalam penampilan fisik. Karakteristik pembawaan atau genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang-cabang olahraga tertentu seperti proporsi tubuh, karakter psikologis, otot merah dan otot putih, suku, sering terjadi pertimbangan untuk pemilihan atlet (Baley, 1990). 2. Umur.Peningkatan kekuatan otot berkaitan dengan pertambahan umur, dimensi anatomis, diameter otot, kematangan seksual (Astrand dan Rodhal, 2003). Kekuatan otot pada pubertas mencapai 70-80% dan mencapai puncaknya pada usia 25-30 tahun, selanjutnya mengalami penurunan secara bertahap dengan pertambahan usia. Setelah usia 30 tahun, seseorang akan kehilangan 3-5% jaringan otot total setiap 10 tahun. Kekuatan otot pada usia 65 tahun hanya tinggal 65-70% (Suharto et al, 2005). 3. Jenis kelamin. Laki-laki dan wanita secara biologis memang sudah berbeda. Oleh sebab itu terhadap mereka hendaknya diberikan perlakuan pelatihan yang berbeda pula. Anak wanita akan diberikan pelatihan dengan cara pemberian tipe pelatihan dan intensitas beban yang lebih ringan dibandingkan dengan anak laki-laki. Beberapa perbedaan tersebut antara lain mengenai : 1) denyut nadi, pada waktu istirahat frekuensi denyut nadi atau jantung laki-laki akan sama dengan denyut nadi atau jantung wanita. Tetapi setelah melakukan aktivitas 50% dari kemampuan konsumsi oksigen maksimumnya, ternyata denyut nadi wanita lebih tinggi dari laki-laki. Frekuensi denyut nadi wanita menjadi 140 denyut permenit,
14
sedangkan laki-laki hanya menjadi 130 denyut permenit. Tetapi pada pemberian aktivitas maksimum tidak menunjukkan perbedaan kenaikan frekuensi denyut nadi yang bermakna (Berger, 2002), 2) kekuatan otot, pada umur 10-12 tahun kekuatan otot laki-laki lebih kuat sedikit dari wanita. Setelah umur mereka meningkat, kekuatan otot laki-laki semakin jauh meningkat dibandingkan dengan wanita. Keadaan ini disebabkan terutama oleh adanya perbedaan pertumbuhan dan aktivitas fisik dari wanita yang kurang. Pengaruh hormon testoteron pada laki-laki yang memacu pertumbuhan tulang dan otot. Pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot atas bagian tubuh, yakni dada bahu dan lengan pada laki-laki dua kali kekuatan otot wanita. Sedangkan otot tubuh bagian bawah, pinggul dan tungkai hanya berbeda sepertiganya (Bompa, 2005). 4. Tingkat kesegaran jasmani. Kesegaran jasmani, adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan pekerjaan sehari-hari secara efektif dan efisien dalam jangka waktu relatif lama tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan (Suharto et al, 2005). Tingkat kesegaran jasmani dapat diketahui dengan melakukan tes lari aerobik 2,4 km. 5. Kelelahan. Lelah merupakan tanda yang paling baik untuk berhenti bergerak atau berolahraga. Kelelahan merupakan tanda bahwa otot-otot sudah tidak mampu untuk berkontraksi lagi. Kelelahan otot adalah ketidakmampuan otot untuk mempertahankan tenaga yang diperlukan atau yang diharapkan (Yusuf Hadisasmita dan Aip Syarifuddin, 1996). Ketidakmampuan otot ini untuk berkontraksi, dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti : 1) sistem syaraf sudah
15
tidak mampu lagi untuk mengirimkan rangsangan (impuls) ke otot-otot yang bersangkutan, 2) Pada pertemuan antara ujung syaraf dengan otot (neuromuscular junction) terjadi hambatan sehingga rangsangan dari syaraf ke otot tidak dapat diteruskan, 3) proses mekanisme kontraksi tidak dapat menghasilkan tenaga untuk berkontraksi, 4) sistem syaraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang belakang tidak mampu lagi untuk menimbulkan rangsangan maupun menghantarkan rangsangan. Pada olahragawan, kelelahan yang terjadi adalah akibat gangguan pada neuromuscular junction, kelelahan mekanisme kontraksi otot, dan kelelahan pada susunan syaraf pusat (Nala, 1998). 6. Motivasi. Motivasi olahraga adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri individu yang menimbulkan kegiatan pelatihan, menjamin kelangsungan pelatihan dan memberi arah pada kegiatan pelatihan untuk mencapai tujuannya. Nilai pencapaian (achievement scores) dalam keolahragaan dapat menjadi perangsang bagi anak untuk meningkatkan kemampuannya ke arah yang lebih tinggi (Yusuf Hadisasmita dan Aip Syarifuddin, 1996). Umumnya setiap anak akan senang apabila mengetahui statusnya pada waktu itu, dan ini akan dapat merangsang anak untuk berlatih lebih giat lagi. Mereka akan mengetahui tentang kedudukannya dan dapat membandingkan dengan teman-temannya. 7. Suhu dan kelembaban relatif udara. Suhu lingkungan yang terlalu ekstrim (dingin atau panas) akan mempengaruhi aktivitas kerja otot. Pelatihan yang dilakukan pada suhu yang sangat panas dapat menyebabkan atlet mengalami dehidrasi, sebaliknya pelatihan yang dilakukan pada suhu yang sangat dingin akan
16
menyebabkan atlet sulit mempertahankan suhu tubuh sehingga dapat mengalami kram. Pada umumnya orang Indonesia beraklimatisasi pada suhu tropis 29°C 30°C dengan kelembaban relatif bervariasi antara 85% - 95%. 2.2.3
Cara meningkatkan daya ledak Daya ledak memiliki dua komponen penting yaitu kekuatan otot dan
kecepatan kontraksi otot dalam mengerahkan tenaga maksimal untuk mengatasi tahanan maka, cara untuk meningkatkan daya ledak tidak terlepas dari pengembangan kedua unsur tersebut melalui : 1. Meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan Pelatihan daya ledak yang menitik beratkan pelatihan kekuatan, intensitas pembebanan pelatihan, adalah submaksimal dengan kecepatan kontraksi otot antara 7-10 detik dan pengulangan 8-10 kali. Dengan meningkatnya kekuatan otot maka secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap daya ledak otot, karena otot yang memiliki kekuatan yang besar memungkinkan untuk memiliki daya ledak yang besar pula. 2. Meningkatkan kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan Cara memilih pelatihan kecepatan yang tepat perlu diidentifikasi berbagai tuntutan kecepatan, yaitu mengulang-ulang jarak tertentu dengan kecepatan maksimal, meningkatkan dari waktu ke waktu dengan jarak yang sama, menempuh jarak tertentu dengan kecepatan yang ditentukan, intensitas submaksimal dan maksimal, jumlah volume antara 10-16 repetisi, dengan jumlah set 3-4, kecepatan dilatih setiap hari atau 3 kali seminggu (Lutan, 2000).
17
3. Meningkatkan kekuatan dan kecepatan secara bersama-sama Pelatihan kekuatan dan kecepatan yang diberikan secara bersama-sama dengan pembebanan 70% - 80% akan memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap irama dinamis dari gerakan jika dibandingkan dengan pelatihan kekuatan saja (Harsono, 2005). 4. Pelatihan pliometrik Pliometrik adalah menambah ukuran, ukuran daya ledak otot (Nala, 2011).Selain itu pliometrikdapat diartikan sebagai suatu pelatihan yang mempunyai ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat yang merupakan respon dari pembebanan dinamis atau regangan yang cepat dari otot-otot yang terlibat(Furqon dan Dowes, 2002). Dari keempat cara pelatihan daya ledak yang dikemukakan di atas, pelatihan pliometrik perlu ditelusuri karena cara pelatihan ini yang biasa digunakan oleh pelatih
pada
berbagai
tingkatan
pembinaan.
Selain
itu
pelatihan
pliometrikmemakai prinsip peregangan-pemendekan melalui sistem syaraf otot, sehingga tidak mengganggu koordinasi dari gerakan-gerakan bagian tubuh lainnya karena koordinasi dari gerakan ditentukan oleh peranan sistem syaraf. 2.2.4
Sistem energi daya ledak Energi merupakan prasyarat penting untuk suatu unjuk kerja fisik selama
berlatih dan bertanding. Energi diubah dari bahan makanan pada sel otot ke dalam ikatan energi yang tinggi dikenal dengan AdenosinTri Phosphat (ATP) yang disimpan dalam sel otot, ATP terdiri dari satu molekul adenosin dan tiga molekul phosphat.
18
Energi dibutuhkan untuk kontraksi otot, dibebaskan dengan merubah ATP bertenaga tinggi ke ADP + P (AdenosinDi Phosphat + Phosphat) (Mathews dan Foz dalam Bompa, 2010). Persediaan ATP dalam sel sangat terbatas, walaupun begitu suplai ATP harus tetap berkesinambungan diganti lagi untuk memudahkan aktivitas fisik secara berkelanjutan (Bompa, 1986). Penyediaan ATP dapat diganti melalui ketiga sistem energi tergantung dari jenis kegiatan yang dilakukan. Ketiga sistem tersebut adalah (1) Sistem ATP-PC, (2) sistem asam laktat dan (3) sistem O2 atau oksigen. Kedua sistem pertama, mengganti ATP dengan sistem tanpa oksigen dan dikenal sebagai sistem anaerobik, sedangkan sistem ketiga menghasilkan ATP melalui bantuan O2 atau lebih dikenal dengan sistem aerobik (Bompa, 2010). Olahdaya anaerobik dan aerobik adalah mekanisme penyediaan daya (energi, tenaga) untuk mewujudkan gerak (Santosa Giriwijoyo dan Dikdik Zafar Sidik, 2010). Olahdaya anaerobik langsung mewujudkan gerak dan merupakan kemampuan endogen ES Primer dalam hal ini otot. Olahdaya aerobik, juga dilaksanakan oleh ESI, tetapi intensitas dan durasi kelangsungannya tergantung pada kemampuan fungsional ES-II dalam memasok O2, artinya tanpa peran serta ES-II olahdaya aerobik tidak mungkin terlaksana dan aktivitas gerak ES-I akan segera terhenti. Makin tinggi kemampuan fungsional ES-II makin tegar kelangsungan penampilan ES-I. Olahdaya anaerobik dan aerobik harus dalam keadaan seimbang. Ketidakmampuan olahdaya aerobik mengimbangi olahdaya anaerobik akan menyebabkan menumpuknya “zat kelelahan” yang akan menghambat olahdaya anaerobik yang
19
terlalu besar, sehingga olahdaya anaerobik menurun, menuju kepada terjadinya keseimbangan baru dengan olahdaya aerobik. Dengan demikian semua bentuk aktivitas tubuh atau olahraga, bahkan juga selama istirahat memerlukan olahdaya anaerobik maupun olahdaya aerobik yang secara keseluruhan harus selalu seimbang. 1.
Sistem Anaerobik a.
Sistem ATP-PC Creatin phosphat (CP) atau phospocreatin yang tersimpan dalam sel otot,
selanjutnya dipecah menjadi creatin dan phosphat. Proses ini menghasilkan energi yang dipakai untuk mensintesis ADP + P menjadi ATP dan selanjutkan diubah sekali lagi menjadi ADP + P yang menyebabkan terjadinya pelepasan energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot. Sistem ini berlangsung selama 8 – 10 detik. b. Sistem Asam Laktat Sistem ini dilakukan dengan memecah glikogen yang disimpan dalam sel otot dan hati, dibanding dengan PC, sistem ini melepaskan energi untuk mensintesis ATP ke ADP + P. Sistem ini dapat berlangsung selama 40 detik. Dengan tidak adanya oksigen selama pemecahan glikogen secara bersamaan terbentuk asam laktat dapat menyebabkan terjadinya kelelahan. 2.
Sistem Aerobik Sistem aerobik memerlukan kira-kira dua menit untuk memulai memproduksi
energi dalam mensintesis ATP dari ADP + P. Denyut jantung dan nafas harus ditingkatan secara memadai untuk membawa sejumlah oksigen yang dibutuhkan sel
20
otot, sehingga glikogen dapat dipecah melalui hadirnya oksigen. Walaupun glikogen merupakan sumber energi yang di pakai meresintesis ATP pada kedua sistem (sistem asam laktat dan aerobik), tetapi dengan sistem aerobik akan memecah glikogen berdasarkan hadirnya oksigen dan sekaligus menghasilkan sedikit bahkan tidak sama sekali asam laktatnya, hal ini memungkinkan seseorang dapat meneruskan pelatihan yang lebih lama. Sistem aerobik merupakan sumber energi utama untuk aktivitas olahraga yang berjangka waktu 2 menit atau bahkan sampai 2 – 3 jam. Kerja lama yang lebih dari 2 – 3 jam, akan mengakibatkan pemecahan lemak dan protein untuk menggantikan cadangan ATP selama cadangan glikogen telah mendekati habis. Dari penjelasan sistem pembentukan energi tersebut maka pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg boundbanyak menggunakan sistem energi anaerobikasam laktat karena dalam pelaksanaannya berlangsung selama 40 detik. 2.2.5
Pengukuran daya ledak Ada dua macam konsep pengukuran power yaitu : athletic power
measurement dan work power measurement. Pada pengukuran athletic power measurement, force, dan velocity tidak diukur, yang diukur hanya hasil yang dinyatakan dengan satuan jarak (cm, inchi, kaki), misalnya : standing broad jump test,
vertical
jump
test.
Sedangkan
pada
pengukuran
work
power
measurementdilakukan berdasarkan perhitungan dari kerja per satuan waktu, misalnya : vertical power jump, vertical arm pull.
21
Untuk mengevaluasi perubahan daya ledak otot tungkai akibat dari pelatihan yang diberikan, pada penelitian ini digunakan tes alternate leg bound dan double leg bound yang masing-masing tes dilakukan sebanyak 3 kali, setelah sampel melakukan tes ini diambil satu nilai terbaik dan kedua hasil tes dijumlahkan kemudian hasil tersebut dibagi dua.
2.3 Pelatihan Fisik 2.3.1
Pengertian pelatihan Pelatihan adalah suatu latihan yang terprogram secara sistematis yang
dilakukan secara berulang-ulang dan kian hari jumlah beban pelatihannya kian bertambah secara bertahap (Kanca, 2004). Pelatihan merupakan suatu gerakan fisik atau aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang (repetitif) dalam jangka waktu (durasi) lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual, yang bertujuan untuk memperbaiki sistem serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal (Nala, 2011). Kata pelatihan(training) mempunyai hubungan yang erat dengan kata pelatih (coach). Pelatihan adalah suatu proses pemberian pola, aturan dan pengertian untuk belajar dalam kondisi yang baik(Yusuf Hadisasmita dan Syarifuddin, 1996). Pelatihan merupakan salah satu kunci tercapainya prestasi individu.
22
Jadi pelatihan adalah adalah suatu proses aktivitas fisik serta mental dengan waktu yang lama dan terprogram untuk meningkatkan kemampuan fungsional tubuh agar dapat tercapai tujuan tertentu. Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki kemampuan teknik dan penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan dalam bidang olahraga spesialisasinya (Nala, 2011).Agar pelatihan olahraga mencapai hasil yang maksimal, harus memiliki prinsip latihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak terkait, terutama pelatih dan atlet, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit untuk mencapai hasil yang maksimal. Prinsip pelatihan merupakan suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif, yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan(Nala, 2011). Ada tujuh prinsip dasar pelatihan, antara lain(Kanca, 2004): 1. Prinsip Beban Berlebih (The Overload Principle) Prinsip beban berlebih pada dasarnya untuk mendapatkan efek pelatihan yang baik, organ tubuh harus mendapatkan pembebanan melebihi beban dari biasanya diterima dari aktivitas kehidupan sehari-hari.Beban yang diberikan bersifat individual dan pada dasarnya diberi beban mendekati beban sub maksimal sampai beban maksimalnya.Pada pelatihan ini yang dimaksud beban berlebih adalah organ tubuh mendapatkan pembebanan melebihi beban dari biasanya dari aktivitas sehari-hari. Dalam penelitian ini beban yang diberikan adalah pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bound.
23
2. Prinsip Tahanan Bertambah (The Principle of Progressive Resistance) Agar prinsip beban berlebih memiliki efek yang positif, maka harus mengikuti prinsip tahanan bertambah sebab keduanya mempunyai hubungan yang erat.Peningkatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan beban, set, repetisi, maupun lamanya latihan. Dalam pelatihan ini tahanan bertambah yang dimaksud adalah pada setiap jenjang waktu mengalami peningkatan beban yang telah ditentukan dalam pelatihan ini. 3. Prinsip Latihan Beraturan (The Principle of Arrangement of Exercise) Latihan dimulai dari kelompok otot yang besar kemudian baru kepada kelompok otot-otot yang lebih kecil sebab otot besar lebih mudah pelaksanaannya.Tidak boleh melakukan latihan secara berurutan kepada kelompok otot yang sama, berikan senggang waktu yang cukup untuk periode pemulihan.Dalam pelatihan ini latihan beraturan yang dimaksud adalah latihan dimulai dari otot-otot bagian tungkai. Karena di bagian tungkai terdapat beberapa otot besar yang nantinya sangat berpengaruh terhadap pelatihan. Pada setiap pelatihan akan diberikan pelatihan pemanasan dan latihan inti dengan pengaturan waktu latihan 3 kali seminggu. 4. Prinsip Kekhususan (The Principle ofSpesificity) Prinsip spesifisitas meliputi spesifisitas individual dan spesifisitas cabang olahraga yang dilatihkan.Bentuk pelatihan dan beban pelatihan fisik yang diberikan harus sesuai dengan jenis olahraga yang dilatihkan. Dalam pelatihan yang dimaksud kekhususan adalah pelatihan yang diberikan adalah pelatihan
24
pliometrikalternate leg bound dan double leg boundyang sangat berguna untuk meningkatkan unsur-unsur kecabangan olahraga pada umumnya dan pelatihan ini pada khususnya. Disamping itu pemanasan yang diberikan mengarah dan mengkhusus pada pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bound. 5. Prinsip Individu (The Principle of Individuality) Pada dasarnya setiap individu memiliki fisik dan karakter yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya, untuk itu faktor individu harus juga diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Dalam pelatihan ini yang dimaksud prinsip individu adalah setiap individu yang memiliki fisik dan karakter berbeda nantinya dapat menyesuaikan pelatihan yang ada dimana setiap individu tersebut akan mencapai hasil maksimal. 6. Prinsip Pulih Asal (The Principle of Reversibility) Hasil dari peningkatan kualitas fisik sebagai akibat dari latihan yang bersifat reversibel, artinya kualitas fisik yang telah diperoleh melalui hasil latihan akan menurun kembali jika tidak melakukan latihan dalam kurun waktu tertentu, untuk itu kesinambungan suatu latihan mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam pelatihan ini prinsip pulih asal yang dimaksud adalah jangka waktu istirahat tidak boleh terlalu lama karena otot yang terlebih awal dilatih dapat kembali ke asal sebelum pembebanan yang akan mengakibatkan pelatihan tidak berjalan dengan baik.
25
7. Prinsip Periodisasi Pada olahraga prestasi program pelatihan harus dilakukan secara periodik sesuai dengan kebutuhan pertandingan (perlombaan).Aspek periode pelatihan yang harus diperhatikan adalah bobot persiapan fisik, teknik, dan psikis.Dalam pelatihan ini prinsip periodisasi yang dimaksud adalah pelatihan fisik dengan unsur daya ledak seperti gerakan atau perubahan yang tiba-tiba yang cepat dimana tubuh terdorong ke atas atau vertikal baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun meloncat (dua kaki menapak) atau ke depan (horisontal) dengan mengerahkan kekuatan otot maksimal. 2.3.2
Sistematika pelatihan Untuk menghindari terjadinya cedera pada saat melaksanakan suatu pelatihan
serta mampu menghasilkan manfaat yang maksimal, maka pelatihan tersebut harus dilakukan sesuai dengan sistematika pelatihan (Kanca, 1992). 1. Pelatihan pemanasan (warming-up) Untuk mencegah timbulnya cedera, diperlukan pemanasan yang sangat optimal.Pemanasan sangat perlu dilakukan oleh setiap atlet baik sebelum berlatih (pra-latihan) maupun sebelum bertanding (pra-pertandingan) (Nala, 1998). Secara umum pemanasan dapat dibagi 2 macam yaitu : a.
Pemanasan statis Pemanasan statis terlebih dahulu dilakukan sebelum melakukan pelatihan
inti, manfaat dari pelatihan ini bertujuan untuk (Kanca, 1990) :
26
1) Meningkatkan kelenturan (elastisitas) otot-otot, sendi, dan menambah mutu gerakan. 2) Mengurangi ketegangan otot dan membantu tubuh merasa rileks, serta mencegah terjadinya cedera. 3) Meningkatkan kesiapan tubuh dalam menerima pelatihan, serta melancarkan sirkulasi darah. Peregangan otot merupakan aktivitas yang pertama dilakukan dalam periode pemanasan dan mutlak dilakukan oleh seorang pelatih dan atlet. Gerakan dalam peregangan ini tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, memantul-mantul, meledak-ledak, tetapi perlahan-lahan untuk menghindari cedera. Akhir dari usaha peregangan otot pada satu sendi posisinya dipertahankan selama 20 - 30 detik (Nala, 1998).Dalam pelatihan ini pemanasan statis yang akan diberikan diawali dengan peregangan otot bagian leher yang diteruskan dengan peregangan otot tangan. Selanjutnya peregangan statis dilakukan pada otot tubuh yang dilanjutkan ke otot tungkai. Peregangan otot ini memerlukan waktu 10 menit sebelum pemanasan
dinamis.
Pemanasan
statis
ini
nantinya
akan
mendukung
pelatihanpliometrikalternate leg bound dan double leg bound. b.
Pemanasan dinamis Pemanasan dinamis merupakan lanjutan dari pemanasan statis dengan lebih
banyak gerakan dengan penghitungan lebih lama. Dengan pemanasan dinamis terjadi peningkatan intensitas secara progresif, menaikkan kapasitas kerja organ tubuh serta fungsi saraf, diikuti pula oleh proses metabolik lebih cepat. Akibat
27
pemanasan ini aliran darah meningkat suhu tubuh naik, yang berguna untuk merangsang pusat pernapasan untuk meningkatkan pemasukan oksigen kepada sel otot dan organ tubuh lainnya. Pelatihan pemanasan harus melibatkan kelompok otot utama, khususnya yang langsung menyangkut kecabangan olahraga yang bersangkutan. Lama waktu melakukan pemanasan untuk menggerakkan seluruh otot tubuh berkisar antara 20 - 30 menit dimana 5 menit terakhir dipergunakan untuk pemanasan khusus sesuai dengan aktivitas yang dilakukan (Nala, 1998). Dalam penelitian ini lamanya pemanasan dinamis yang akan diberikan yaitu 10 menit setelah pemanasan statis. Pemanasan pelatihan
ini
adalah
pemanasan
dinamis yang yang
akan dilakukan dalam
mengarah
pada
pelatihan
pliometrikalternate leg bound dan double leg bound seperti gerakan atau perubahan yang tiba-tiba yang cepat dimana tubuh terdorong ke atas atau vertikal baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun meloncat (dua kaki menapak) atau ke depan (horisontal) dengan mengerahkan kekuatan otot maksimal. 2. Pelatihan Inti (main exercise) Fase terakhir dari latihan pemanasan adalah suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan cabang olahraga (Kanca, 1992). Pelatihanpliometrikalternate leg bound dan double leg boundmengembangkan power otot-otot tungkai dan pinggul, khususnya gluteals, hamstring, quadriceps, dan gastrocnemius. Otot - otot lengan dan bahu secara tidak langsung juga terlibat.Teknik latihan ini yakni sampelmelakukan gerakan
28
atau perubahan yang tiba-tiba yang cepat dimana tubuh terdorong ke atas atau vertikal baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun meloncat (dua kaki menapak) atau ke depan (horisontal) dengan mengerahkan kekuatan otot. Pelatihan ini dilakukan kurang lebih 60 menit. 3. Pelatihan Pendinginan (cooling - down) Pendinginan dilakukan setelah melakukan pelatihan atau aktifitas fisik lainnya.Dengan melakukan pelatihan pendinginan, derajat keasaman (pH) darah menurun lebih cepat, sehingga kelelahan akibat dari pada pelatihan cepat hilang (Nala, 1998). Lamanya pendinginan tergantung cepatnya asam laktat dirubah, maka lama waktu dibutuhkan untuk pendinginan adalah 10-30 menit (Power dalam Nala, 1998). Pendinginan yang akan diberikan dalam pelatihan ini adalah pendinginan yang umumnya melibatkan otot-otot dalam pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg boundyaitu melemaskan seluruh otot-otot terutama pada bagian tungkai, ini bertujuan mengurangi kemungkinan cedera setelah melakukan pelatihan.Lamanya pendinginan pada pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg boundadalah selama 20 menit. 2.3.3
Intensitas pelatihan Intensitas pelatihan perlu mendapatkan perhatian khusus.Karena intensitas
pelatihan merupakan jatah pelatihan yang harus dilakukan oleh seorang atlet sesuai dengan program latihan yang dilakukan.Dimana peningkatan kualitas fisik sangat dipengaruhi oleh ketepatan intensitas pelatihan.
29
Untuk mengetahui cukup tidaknya intensitas pelatihan dapat dilakukan dengan menghitung denyut nadi pada waktu pelatihan (Nala, 1998).Berdasarkan persentasi denyut nadi, kualitas suatu intensitas dari suatu aktifitas dapat ditentukan. Intensitas pelatihan dapat diukur dengan berbagai cara, yang paling mudah adalah dengan mengukur denyut jantung (heart rate).MHR (maksimum heart rate) dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: MHR = 220 – umur (dalam tahun) (Kanca, 2006) Apabila intensitas suatu pelatihan diambil berdasarkan denyut nadi maka, dapat diukur dengan menggunakan dalil yang terlihat pada Tabel 2.1 berikut : Tabel 2.1 Intensitas Suatu Pelatihan Berdasarkan Denyut Nadi (Nala,1998)
Denyut Nadi Maksimal
: 220 - Umur
Denyut Nadi Optimal
: (220 - Umur) - 10
Denyut Nadi Minimal
: ¾ x (220 - Umur )
Yang paling baik adalah nadi latihan optimal (Samsudin, 2008). Maka, dalam pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bound digunakan denyut nadi optimal (DNO). Tingkat intensitas dari yang terendah sampai tertinggi terlihat pada Tabel 2.2berikut :
30
Tabel 2.2 Tingkat Intensitas Dari yang Terendah Sampai Tertinggi (Harsono, 1993)
No
Kemampuan Maksimal
Intensitas
1
30%-50%
Rendah
2
51%-60%
Intermedium
3
61%-75%
Medium
4
76%-85%
Sub maksimal
5
86%-100%
Maksimal
6
101%-105%
Super maksimal
Pelatihan yang baik, diusahakan mengikuti petunjuk bahwa denyut nadi waktu latihan hendaknya tidak berada di bawah denyut nadi minimal, karena hasil latihan akan kurang baik, artinya efek latihan tidak terlalu nyata. Sedangkan apabila latihan terlalu berat, yaitu intensitas lebih dari denyut nadi maksimal akan membahayakan tubuh. Intensitas latihan yang terbaik untuk dipilih dalam pelatihan adalah intensitas optimal (Nala, 1998). Intensitas pelatihan dengan patokan denyut nadi optimal sangat sesuai diberikan pada anak-anak, karena tidak akan membahayakan tubuh dan sesuai kemampuan anak-anak. Dengan memperhatikan zona latihan berdasarkan tingkat denyut nadi tersebut, seseorang yang akan melakukan program pelatihan berdasarkan intensitas pelatihan yang dipilih serta umur orang bersangkutan, dapat memperhitungkan jenis pelatihan yang dilakukan termasuk dalam zona latihan dengan denyut nadi terendah, sedang,
31
tinggi, atau maksimal. Dalam penelitian ini intensitas pelatihan yang digunakan adalah 61% sampai dengan 75% denyut nadi optimal karena dalam penelitian ini mengunakan sampel yang masih pemula dalam aktivitas olahraga dan bukan atlet. Serta dengan intensitas tersebut tidak akan membahayakan bagi tubuh, karena tergolong dalam intensitas latihan yang medium. 2.3.4
Frekuensi dan lamanya pelatihan Frekuensi pelatihan adalah berapa kali seseorang melakukan pelatihan yang
intensitas dalam satu minggunya (Sajoto, 1995).Jumlah pelatihan sebanyak 3 kali per minggu adalah jumlah beban pelatihan yang sesuai bagi pemula, dengan pengertian bahwa pelatihan tiga kali per minggu terjadi peningkatan yang berarti tanpa menimbulkan kelelahan yang kronis serta memberikan peningkatan yang cukup berarti (Kanca, 1992).Frekuensi 3 kali perminggu sama baiknya dengan lima kali perminggu, dengan catatan jeda antara 2 latihan tidak melebihi 2 hari (Nusdwinuringtyas, 2009). Berdasarkan hal tersebut maka, pelatihan yang dilakukan dalam penelitian ini selama 3 kali seminggu(selasa, kamis, dan sabtu) untuk meningkatkan daya ledak otot tungkai. Lamanya pelatihan adalah sampai berapa minggu atau berapa bulan program tersebut dijalankan sehingga atlet memperoleh kondisi yang diharapkan (Sajoto, 1995).Peningkatan otot rangka akan nampak apabila dilakukan pelatihan minimal 4-6 minggu, waktu jumlah set yaitu 1 set akan memperlihatkan hasil yang memadai (Kanca, 1990). Berdasarkan uraian di atas, maka waktu pelatihan pada penelitian ini
32
adalah enam minggu atau selama 18 kali pelatihan dengan frekuensi pelatihan 3 kali seminggu dimana tidak termasuk tes awal (pre-test) dan tes akhir (post test).
2.4 Pliometrik 2.4.1
Pengertian pliometrik Pliometrikadalah latihan-latihan atau ulangan yang bertujuan menghubungkan
gerakan kecepatan dan kekuatan untuk menghasilkan gerakan-gerakan eksplosif. Istilah ini sering digunakan dalam menghubungkan gerakan lompat yang berulangulang atau latihan reflek regang untuk menghasilkan reaksi yang eksplosif (Syaranamual, 2008). Kata pliometrikberasal dari bahasa Yunani yang akar katanya plio dan metrik(Nala, 2011).Plio bermakna tambah atau lagi.Metrik berarti ukuran.Dengan demikian pliometrik diartikan sebagai menambah ukuran, ukuran daya ledak otot.Pelatihan pliometrik merupakan salah satu usaha yang ditujukan untuk mengembangkan daya ledak eksplosif dan kecepatan reaksi.Pengembangan ini tercipta sebagi akibat adanya perbaikan pada reaksi sistem saraf pusat serta kekuatan untuk meredam goncangan keseimbangan pendaratan sewaktu kaki berpijak dilantai dari melompat. Pliometrik
berasal
dari
bahasa
Yunani
“Pleyheuin”
yang
berarti
“memperbesar” atau “meningkatkan”, atau dari akar kata bahasa Yunani plio dan metrik yang masing–masing berarti lebih banyak dan ukuran. Pliometrik adalah suatu pelatihan yang mempunyai ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat yang
33
merupakan respon dari pembebanan dinamis atau regangan yang cepat dari otot-otot yang terlibat(Furqon dan Dowes, 2002).Pliometrik dapat dijelaskan sebagai bentuk kombinasi pelatihan isometrik dan isotonik yang mempergunakan pembebanan dinamis, yang terjadi secara mendadak sebelum otot berkontraksi kembali, atau pelatihan yang memungkinkan otot untuk mencapai kekuatan maksimal dalam waktu sesingkat mungkin. 2.4.2
Cara kerja pelatihan pliometrik Cara kerja pliometrik disebut dengan “reflek peregangan” (stretch
reflek).Alat-alat atau reflek polos dan reflek regangan itu merupakan komponenkomponen utama dari kontrol keseluruhan sistem saraf terhadap gerakan tubuh. Pada saat melakukan gerakan reaktif ekplosif, otot-otot mengalami peregangan yang cepat sebagai akibat adanya beban yang digunakan pada otot-otot tersebut (chu dalam Furqon dan Dowes, 2002). Pelatihan pliometrik diperkirakan dapat menstimulus berbagai perubahan dalam sistem neuromuskular, memperbesar kemampuan kelompok-kelompok otot untuk memberikan respon lebih cepat dan lebih kuat terhadap perubahan-perubahan yang ringan dan cepat pada panjang otot. Salah satu ciri penting pelatihan pliometrik adalah pengkondisian sistem neuromuskular sehingga memungkinkan untuk terjadi perubahan-perubahan arah yang lebih cepat dan lebih kuat sesingkat mungkin dalam artian tidak memerlukan waktu yang lama (Furqon dan Doewes, 2002).
34
2.4.3
Pedoman dan pelaksanaan pelatihan pliometrik Dalam pelaksanaanya, pliometrik dilakukan berdasarkan atas tiga kelompok
otot dasar, yaitu : 1) tungkai dan pinggul, 2) kelompok otot bagian tengah tubuh (otot perut, punggung), dan 3) kelompok otot dada, bahu dan lengan (Nala, 2011). Dalam pelatihan pliometrik ada pedoman-pedoman khusus yang harus diperhatikan agar pelatihan dapat berlangsung secara tepat dan efektif (Furqon dan Dowes, 2002). 1. Pemanasan dan Pendinginan Kelentukan dibutuhkan dalam pelatihan pliometrik, maka semua latihan harus diikuti dengan metode pemanasan dan pendinginan yang tepat dan memadai.Jogging, lari peregangan dan kalistenik sederhana merupakan aktivitas yang dianjurkan sebelum dan sesudah latihan. 2. Intensitas Tinggi Intensitas
merupakan
faktor
penting
dalam
melaksanakan
pliometrik.Kecepatan pelaksanaan dengan kerja maksimal sangat penting untuk memperoleh efek pelatihan yang optimal.Kecepatan peregangan otot lebih penting daripada besarnya peregangan.Respon reflek yang dicapai makin besar jika otot diberi beban yang cepat.Pelatihan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan intensif, maka penting untuk diberikan kesempatan beristirahat yang cukup diantara serangkaian pelatihan yang terus menerus. 3. Beban Lebih yang Progresif Program pelatihan pliometrik harus diberikan beban lebih resitif, temporal dan spatial.Beban lebih memaksa otot-otot bekerja pada intensitas yang tinggi.Beban
35
lebih yang tepat ditentukan dengan mengontrol ketinggian turun atau jatuhnya individu, beban yang digunakan, dan jarak tempuh.Beban yang lebih tidak tepat dapat mengganggu keefektifan pelatihan atau bahkan menyebabkan cedera.Beban yang melampaui tuntutan beban lebih yang resitif dari gerakan-gerakan pliometriktertentu dapat meningkatkan kekuatan tetapi tidak selalu meningkatkan daya ledak (power eksplosif). 4. Memaksimalkan Gaya atau Meminimalkan Waktu Baik gaya maupun kecepatan gerak sangat penting dalam pelatihan pliometrik. Dalam berbagai hal, titik beratnya adalah kecepatan dimana suatu aksi tertentu dapat dilakukan. Misalnya dalam nomor tolak peluru, sasaran utama adalah menggunakan gaya maksimum selama gerak menolak. Makin cepat rangkaian reaksi yang dilakukan, makin besar gaya yang dihasilkan dan makin jauh jarak yang dicapai. 5. Lakukan Sejumlah Ulangan Biasanya banyak ulangan atau repetisi berkisar antara 8 sampai 10 kali, dengan makin sedikit ulangan untuk rangkaian yang lebih berat dan lebih banyak ulangan untuk latihan-latihan yang lebih ringan. Berbagai kajian mengisyaratkan 6 sampai 10 set untuk sebagian besar pelatihan, dan ada yang menyarankan 3 sampai 6 set, terutama untuk latihan-latihan lompat yang lebih berat. Banyaknya set, ulangan, dan periode istirahat yang disarankan adalah berdasarkan pengalaman mengajar dan menjadi contoh dalam pelatihan pliometrik.
36
6. Istirahat yang Cukup Periode istirahat 1-2 menit di sela-sela set biasanya sudah memadai untuk sistem neuromuskuler yang mendapat tekanan karena pelatihan pliometrik untuk kembali pulih. Periode istirahat yang cukup juga penting untuk pemulihan yang semestinya untuk otot, ligamen, dan tendon.Pada dasarnya jangan mendahului pliometrik, terutama latihan-latihan lompat dan gerakan-gerakan kaki lainnya, dengan latihan berat pada tubuh bagian bawah. 7. Bangun Landasan yang Kuat Terlebih Dahulu Dasar atau landasan kekuatan penting dan bermanfaat dalam pliometrik.Maka dari itu suatu program pelatihan beban harus dirancang untuk mendukung, dan bukannya menghambat pengembangan daya ledak (power).Salah satu penerapannya, jika melakukan pelatihan kekuatan dan fleksibilitas otot perut dan otot punggung bagian bawah disarankan selama beberapa minggu sebelum melakukan gerakangerakan skiiping, swinging dan latihan-latihan untuk togok yang serupa. 8. Program Pelatihan Individualisasi Untuk memperoleh hasil yang terbaik, tentunya program pelatihan pliometrikdapat diindividualisasikan, berarti harus tahu apa yang dapat dilakukan oleh setiap atlet dan seberapa banyak pelatihan yang dapat membawa manfaat. Bidang pelatihan olahraga lain, mengindividualisasikan program pelatihan pliometrik lebih merupakan suatu seni daripada pengetahuan. Intensitas dan jumlah beban lebih merupakan dua variabel penting.
37
2.4.4
Jenis-jenis gerakan pliometrik Gerakan pliometrikdirancang untuk menggerakkan otot pinggul dan tungkai,
dan gerakan otot khusus yang dipengaruhi oleh bounding, hopping, leaping, skipping dan ricochet. Adapun pola atau model pelatihan pliometrik (Furqon dan Dowes, 2002) terdiri dari: 1. Bounding Bounding menekankan pada loncatan untuk mencapai ketinggian maksimum dan juga jarak horisontal.Bounding dilakukan baik dengan dua kaki atau dengan cara bergantian.
Gambar 2.1 Model pelatihan pliometrik bounding (Furqon dan Doewes, 2002) 2. Hopping Hopping terutama menekankan pada loncatan untuk mencapai ketinggian maksimum ke arah vertikal dan kecepatan maksimum gerakan kaki.Hopping dilakukan dengan dua atau satu kaki.
38
Gambar 2.2 Model pelatihan pliometrik hopping (Furqon dan Doewes, 2002) 3. Jumping Mencapai ketinggian maksimum diperlukan dalam jumping, sedangkan kecepatan pelaksanaan merupakan faktor kedua, dan jarak horisontal tidak diperlukan pada jumping. Jumping dapat dilakukan dengan satu atau dua kaki.
Gambar 2.3 Model pelatihan pliometrik jumping (Furqon dan Doewes, 2002) 4. Leaping Leaping adalah suatu latihan kerja tunggal yang menekankan jarak horisontal dan ketinggian maksimum.Leaping dilakukan dengan dua atau satu kaki.
39
Gambar 2.4 Model pelatihan pliometrik leaping (Furqon dan Doewes, 2002) 5. Skipping Skipping dilakukan dengan cara melangkah-meloncat secara bergantian (alternatif hop-step) yang menekankan ketinggian dan jarak horisontal.
Gambar 2.5 Model pelatihan pliometrik skipping (Furqon dan Doewes, 2002) 6. Ricochet Ricochet semata-mata menekankan pada tingkat kecepatan tungkai dan gerakan kaki, meminimalkan jarak vertikal dan horisontal yang memberikan kecepatan pelaksanaan yang lebih tinggi.
40
Gambar 2.6 Model pelatihan pliometrik ricochet (Furqon dan Doewes, 2002) Dalam penelitian ini yang lebih ditekankan pada jenis bounding sebagai bagian dari pelatihan pliometrik. Adapun pelaksanaan pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bound adalah sebagai berikut : a. Pelatihan Pliometrik Alternate Leg Bound Dalam
pelatihanini
yang
dikembangkan
yaitu
power
tungkai
dan
pinggul.Dengan mengubah kedua tungkai khususnya kerja flexsor dan extensor paha dan pinggul. Teknik pelatihan ini menggunakan salah satu kaki kanan ataupun kiri, yang menolak dari belakang dan kaki lainnya diangkat sejauh mungkin ke depan serta mengayunkan kedua lengan dari depan ke belakang.
41
Gambar 2.7 Rangkaian gerakan pliometrikalternate leg bound (Furqon dan Doewes, 2002) Posisi Awal
: Ambillah sikap berdiri yang enak dengan posisi kaki agak di depan untuk memulai melangkah, lengan rileks di samping badan.
Pelaksanaan
: Mulailah dengan tolakan tungkai belakang, gerakkan lutut ke atas dan usahakan lompatan sejauh mungkin ke depan sebelummendarat. Bentangkan kaki dengan cepat, ayunkan kedua lengan.Ulangi rangkaian dengan menggunakan kaki lain saat mendarat.
b. PelatihanPliometrik Double Leg Bound Dalam pelatihan ini yang dikembangkan yaitu power otot-otot tungkai dan pinggul, khususnya gluteals, hamstring, quadriceps, dan gastrocnemius. Otot - otot lengan dan bahu secara tidak langsung juga terlibat.Pelatihan ini memiliki aplikasi yang luas untuk berbagai cabang olahraga yang melibatkan lompat/loncat, lari, angkat besi, dan renang. Yang membedakan pelatihan pliometrik alternate leg bound dan double leg boundyakni teknik pelatihan pliometrik alternate leg bound menggunakan
42
salah satu kaki kanan ataupun kiri, yang menolak dari belakang dan kaki lainnya diangkat sejauh mungkin ke depan serta mengayunkan kedua lengan dari depan ke belakang sedangkan pelatihan pliometrikdouble leg boundteknik pelatihannya meloncat ke atas kemudian mendarat sejauh-jauhnya ke depan dengan menggunakan dua kaki serta mengayunkan kedua lengan dari atas ke bawah.
Gambar 2.8 Rangkaian gerakan pliometrikdouble leg bound (Furqon dan Doewes, 2002)
Posisi Awal
: Mulailah dengan posisi half-squat. Lengan berada di samping badan, bahu condong kedepan dan melebihi posisi lutut.
Pelaksanaan
: Loncatlah ke depan, menggunakan ekstensi pingul dan gerakan lengan untuk mendorong ke depan. Usahakan mencapai jarak maksimum ke depan dengan posisi tubuh tegak. Setelah mendarat kembali lagi ke posisi awal dan memulai bounding berikutnya.
43
2.5 Kajian Anatomi dan Fisiologi Pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bound merupakan suatu pelatihan yang banyak melibatkan otot tungkai.Untuk merubah gerakan yang tiba-tiba dan cepat dimana tubuh terdorong ke depan sejauh-jauhnya baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun meloncat (dua kaki menapak) dengan mengerahkan kekuatan otot tungkai secara maksimal. Diperlukan sistem gerak yang mendukung gerakan tersebut diantaranya otot-otot rangka. Otot-otot tubuh merupakan alat, energi yang tersimpan secara kimiawi diubah menjadi pekerjaan mekanik (Yusuf Hadisasmita dan Aip Syarifuddin, 1996). Otot-otot yang terlibat diantaranya adalah otot-otot rangka bagian tungkai. Otot-otot tungkai merupakan anggota gerak bagian bawah yang dapat dibedakan atas otot pangkal paha, otot tungkai atas, otot tungkai bawah dan otot kaki (lihat gambar 2.3). Otot tungkai atas terdiri dari kumpulan beberapa otot. Pada bagian depan terdapat sartorius, otot vastus lateralis, otot vatusmedialis, otot rektus femoralis, otot adductor longus, otot pectineus, otot tensor fascia latae dan otot glueteus maksimus (AnthonydanThibodeu, 2006). Otot tungkai memiliki kesamaan sifat dengan otot-otot rangka (Anthony dan Thibodeu, 2006) yaitu: 1. Dipengaruhi oleh jenis stimuli (rangsangan) yang sama serta menimbulkan potensi aksi segera setelah distimuli.
44
2. Kekuatan kontraksinya (dalam batas-batas fisiologis) tergantung dari panjang semula. 3. Mempunyai kemampuan untuk mempertahankan tonus otot dan akan hipertropi (membesar atau menebal) sebagai akibat dari latihan yang ditingkatkan. Otot rangka memperlihatkan kemampuan berubah atau plastisitas yang besar dalammemberi respon terhadap berbagai bentuk pelatihan (Cahyani Sudarsono, 2009).Beberapa unit organ tubuh akan mengalami perubahan akibat dilakukan pelatihan (Nala, 1998). Perubahan tersebut berupa efek latihan. Efeknya pada otot terutama terjadi pada unit (saraf dan otot), sinkronisasi, pelatihan silang dan sebagainya. Pelatihan juga menyebabkan peningkatan terhadap kontrol otot fleksor dan ekstensor selama gerakan yang cepat. Dengan latihan yang teratur, maka otot rangka menjadi lebih tebal, dan elastis. Sesuai aktivitasnya, perubahan adaptif jangka panjang dapat terjadi pada serat otot, yang memungkinkan untuk berespon secara lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada otot (Giri Wiarto, 2013). Otot skeletal memiliki plastisitas yang tinggi. Ada dua jenis perubahan yang bisa diinduksi di serat otot, yaitu perubahan dalam kapasitas sintesis ATP dan perubahan diameternya. Latihan ketahanan akan meningkatkan potensi oksidatif otot, sedangkan latihan kekuatan meningkatkan diameter myofibrilar otot. Pertambahan panjang otot rangka biasanya dihasilkan dari penambahan sarkomer pada serat otot, terutama daerah myotendinus junction. Jika
45
unit tendon otot teregang, sarkomer tambahan ditambahkan secara khas pada daerah tersebut. Perubahan pada massa otot akan tampak bila berlatih dengan beban luar, sedangkan perubahan pada kecepatan otot akan tampak apabila dilatih dengan beban yang ringan-ringan saja tetapi dengan kecepatan tinggi (Hari Setijono et al, 2001). Pada latihan dengan beban luar hasilnya perubahan massa otot akan tampak menonjol, sedangkan latihan kecepatan massa otot relatif tak tampak perubahannya. Pertambahan massa otot bukanlah disebabkan sel otot bertambah banyak tetapi disebabkan oleh bertambahnya serabut halus otot (myofibril) sehingga sel otot bertambah besar hal tersebut disebut hipertropi otot. Berdasarkan hal diatas, pelatihan pliometrikalternate leg bounddan double leg bound dapat meningkatkan daya ledakkarena pelatihan ini banyak melibatkan otot tungkai. Dimana kemampuan otot akan meningkat akibat dari suatu pelatihandengan pembebanan yang meningkat.
46
Gambar 2.9Komponen otot tungkai A. tampak depan, B.tampak belakang (Anthony dan Thibodeau, 2006)
47
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan permasalahan dan kajian teoritis, seperti yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting dalam program latihan. Program pelatihan pliometrik alternate leg bound dan double leg boundharus dilakukan secara sistematis, terencana, terarah, teratur dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini komponen kondisi fisik yang diberikan pelatihan adalah daya ledak (power). Hal tersebut didasarkan dari cabang-cabang olahraga yang ada, daya ledak sangat banyak terlibat di dalam pelaksanaannya.Dalam praktek olahraga, daya ledak sangat bermanfaat khususnya pada nomor perlombaan maupun pertandingandalam hal melompat, meloncat, melempar, menendang, dan lain sebagainya.Jadi untuk memperoleh daya ledak yang baik diperlukan suatu pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan otot, terutama otot tungkai. Ada banyak macam pelatihan yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan kondisi fisik, salah satunya yaitu pelatihan pliometrik.Pelatihan ini sudah banyak digunakan oleh para pembina ataupun pelatih. Pliometrik adalah pelatihan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan poweryang ditandai dengan kontraksi-kontraksi otot yang kuat sebagai respon terhadap pembebanan yang cepat dan dinamis, atau peregangan otot-otot yang
48
terlibat.Pelatihan pliometrik merupakan salah satu usaha yang ditujukan untuk mengembangkan daya ledak eksplosif. Dalam penelitian ini diterapkan pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bound, untuk mengembangkan power tungkai dan pinggul, mengubah kerja
flexsor
dan
hamstrings,quadriceps,
ekstensor dan
paha
dan
pinggul,
gastrocnemius.Teknik
khususnya latihan
gluteals,
ini
yakni
sampelmelakukan gerakan atau perubahan yang tiba-tiba yang cepat dimana tubuh terdorong sejauh-jauhnya ke depan baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun meloncat (dua kaki menapak) dengan mengerahkan kekuatan otot tungkai secara maksimal. Penelitian ini menggunakan dua model pelatihan pliometrik yaitu pelatihan pliometrikalternate leg bound dan pelatihan double leg bound yang bertujuan untuk meningkatkan daya ledak (power). Pelatihan ini dilakukan selama enam minggu atau 18 kali pelatihan dengan frekuensi pelatihan 3 kali seminggu dimana tidak termasuk tes awal (pre-test) dan tes akhir (post test). Keberhasilan pelatihan pliometrikalternate leg bound dan pelatihan double leg boundini juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain : genetik, jenis kelamin, tingkat kesegaran jasmani, dan kelelahan sedangkan faktor eksternal yaitu: motivasi, suhu dan kelembaban relatif udara.
49
3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat kerangka konsep dalam bentuk bagan sebagai berikut :
Faktor Eksternal : - motivasi - suhu - kelembaban relatif udara
Faktor Pelatihan : - pliometrikalternate leg bound - pliometrik double leg bound
Daya Ledak Otot Tungkai
Faktor Internal : - genetik - jenis kelamin - tingkat kesegaran jasmani - kelelahan Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Pelatihan pliometrik merupakan salah satu usaha yang ditujukan untuk mengembangkan daya ledak eksplosif. Pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bound,dapat mengembangkan power tungkai dan pinggul, mengubah kerja flexsor dan ekstensor paha dan pinggul, khususnya gluteals, hamstrings,quadriceps, dan gastrocnemius.Teknik pelatihan pliometrik alternate leg bound yaitu dengan menggunakan salah satu kaki kanan ataupun kiri, yang menolak dari belakang dan kaki lainnya diangkat sejauh mungkin ke depan serta mengayunkan kedua lengan dari depan ke belakang sedangkan pelatihan pliometrikdouble leg boundteknik
50
pelatihannya meloncat kemudian mendarat sejauh-jauhya ke depan dengan menggunakan dua kaki serta mengayunkan kedua lengan dari atas ke bawah. Penelitian ini menggunakan dua model pelatihan pliometrik yaitu pelatihan pliometrik alternate leg bound dan pelatihan double leg bound yang bertujuan untuk meningkatkan daya ledak (power). Pelatihan ini dilakukan selama enam minggu atau 18 kali pelatihan dengan frekuensi pelatihan 3 kali seminggu (selasa, kamis, dan sabtu) dimana tidak termasuk tes awal (pre-test) dan tes akhir (post test). Keberhasilan pelatihan pliometrik alternate leg bound dan pelatihan double leg boundini juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain : genetik, jenis kelamin, tingkat kesegaran jasmani, dan kelelahan sedangkan faktor eksternal yaitu: motivasi, suhu dan kelembaban relatif udara.
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka konsep di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai jawaban sementara dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Pelatihan pliometrikalternate leg bound dapat meningkatkan daya ledak otot tungkai pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati. 2. Pelatihanpliometrik double leg bound dapat meningkatkan daya ledak otot tungkai pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati. 3. Pelatihan pliometrik alternate leg bound lebih meningkatkan daya ledak otot tungkai daripada double leg bound pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati.
51
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian yang digunakan adalahrandomized the pretest-postestcontrol group design(Pocock, 2008).Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : 1
P0
O2
O P
R
S
RA
O3 5
O
P1 P2
O4 O6
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan : P = Populasi R = Random S = Sampel RA = Random Alokasi 1 O = Observasi kelompok 1 (kontrol) sebelum pelatihan O2 = Observasi kelompok 1 (kontrol) sesudah 6 minggu tanpa perlakuan pelatihan pliometrikalternate leg bounddan double leg boundtetapi diberikan latihan menendang bola O3 = Observasi kelompok 2 (perlakuan alternate leg bound) sebelum pelatihan O4 = Observasi kelompok 2 (perlakuan alternate leg bound) sesudah 6 minggu pelatihan 5 O = Observasi kelompok 3 (perlakuan double leg bound) sebelum pelatihan O6 = Observasi kelompok 3 (perlakuan double leg bound) sesudah 6 minggu pelatihan
52
P0 P1 P2
= Tanpa perlakuan pelatihan pliometrikalternate leg bounddan double leg boundtetapi diberikan latihan menendang bola = Pelatihan pliometrikalternate leg bound = Pelatihan pliometrik double leg bound
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi
penelitian
yaitu
SMP
Negeri
3
Sukawati
dan
pelatihan
pliometrikalternate leg bound dan double leg bounddilaksanakan di lapangan SMP Negeri 3 Sukawati. SMP Negeri 3 Sukawati terletak di Kecamatan Sukawati tepatnya di desa Batubulan Kangin. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati tahun pelajaran 2012/2013. Waktu penelitian selama 6 minggu pada pukul 16.00 - 18.00 Wita.
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi penelitian adalah seluruh siswa putrakelas VII SMP Negeri 3 Sukawati yang berjumlah 152 orang. 4.3.2 Sampel Sampel diambil dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria yang ditetapkan untuk dapat dipilih sebagai sampel adalah sebagai berikut : a.Kriteria inklusi Kriteria sampel inklusi adalah : 1. Jenis kelamin laki-laki.
53
2. Siswa kelas VII. 3. Indeks massa tubuh, kategori normal yaitu 18 - 25. 4. Kebugaran fisik dengan kategori sedang. 5. Berbadan sehat dan tidak cacat, berdasarkan pemeriksaan dokter. 6. Bersedia sebagai subjek penelitian dari awal sampai selesai, dengan menandatangani surat persetujuan kesediaan sebagai sampel. b. Kriteria eksklusi Kriteria sampel eksklusi adalah : 1. Ada riwayat patah tulang. 2. Berdomisili di luar Batubulan Kangin dan sekitarnya. c. Kriteria drop out Kriteria drop outadalah : 1. Subjek sakit, cedera, sehingga tidak bisa mengikuti pelatihan. 2. Dua kali berturut-turut tidak mengikuti pelatihan. 3. Menarik diri dari subjek penelitian. 4.3.3
Besar sampel
Besarnya sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini berdasarkan asumsi yang diperoleh dari penelitian pendahuluan terhadap 10 orang siswa. Berdasarkan hasil tes terhadap 10 orang siswa tersebut didapatkan rata-rata 2,60. Harapan peningkatan daya ledak otot tungkai setelah pelatihan sebesar 20%. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam rumus Pocock (2008) sebagai berikut :
54
n =
2 2 x f (α,β) ( 2 - 1 ) 2
Keterangan n
= besar sampel
α
= 0,05
β
= 0,1
μ1
= Rata-rata sebelum pelatihan
μ2
= Asumsi rata-rata setelah pelatihan
f (α,β)
= Nilai yang ada pada tabel
δ
= 0,25 (nilai standar deviasi)
=
2 2 x f (α,β) ( 2 - 1 ) 2
n
=
2 (0,25) 2 x 10,5 (1,97 - 1,64) 2
n
= 11,93 dibulatkan menjadi 12 orang
n
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut maka diperoleh nilai n = 11,93, dibulatkan menjadi 12orang. Untuk menjaga sampel yang gagal atau droup out maka ditambah lagi 20 % dari sampel yang diperoleh maka menjadi 14orang pada satu kelompok (tiga kelompok x 14 orang =42 orang). 4.3.4
Teknik penentuan sampel Penentuan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Mengadakan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati berdasarkan kriteria inklusi.
55
2. Mengadakan pemilihan besar sampel sebanyak 42 orang siswa secara acak sederhana dari subjek yang terpilih tersebut. 3. Melakukan pembagian kelompok sebanyak tiga kelompok dengan masing-masing kelompok sejumlah 14 orang. Pembagian kelompok dilakukan dengan cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok 1 tanpa pelatihan, kelompok 2 menerima pelatihan pliometrikalternate leg bound, dan kelompok 3 menerima pelatihan pliometrikdouble leg bound.
4.4 Variabel Penelitian Berdasarkan fungsi dan peranannya, variabel penelitian dapat diklasifikasikan menjadi : 1.
Variabel bebas: pelatihanpliometrikalternate leg bounddan double leg bound.
2.
Variabel tergantung: daya ledak otot tungkai.
3.
Variabel kontrol: jenis kelamin, indeks massa tubuh, dan kesegaran jasmani.
4.
Variabel rambang: kelelahan, motivasi, suhu, dan kelembaban relatif.
4.5 Definisi Operasional Variabel 1.
Pelatihan pliometrikalternate leg bound adalah pelatihan melompat dengan menggunakan salah satu kaki kanan ataupun kiri yang menolak dari belakang dan kaki lainnya mendarat ke depan sejauh-jauhnya serta
56
mengayunkan kedua lengan dari depan ke belakang, dengan pencapaian jauhnya lompatan dinyatakan dalam meter. 2.
Pelatihan pliometrikdouble leg bound adalah pelatihan meloncat kemudian mendarat sejauh-jauhnya ke depan dengan menggunakan dua kaki serta mengayunkan kedua lengan dari atas ke bawah, dengan pencapaian jauhnya loncatan dinyatakan dalam meter.
3.
Daya ledak otot tungkai adalah kemampuan melompat atau meloncat sejauhjauhnya ke depan dalam waktu yang singkat, dengan pencapaian lompatan atau loncatan yang dinyatakan dalam meter.
4.
Jenis kelamin adalah laki-laki yaitu jenis kelamin yang terlihat dari penampakan luar dan yang tertulis dalam administrasi sekolah.
5.
Berat badan adalah berat badan dengan menggunakan pakaian seminimal mungkin yang diukur dengan timbangan berat badan dalam satuan kg dengan tingkat ketelitian 0,1 kg. Dalam penelitian ini pengukuran berat badan menggunakan timbangan badan elektronik merek Magic buatan USA dengan ketelitian 0,1 kg gaya dan batas ukur 120 kg sebelum dan setelah perlakuan.
6.
Tinggi badan adalah tinggi badan yang diukur dari dasar telapak kaki sampai vertex (ubun-ubun), diukur dengan sikap berdiri tegak dan sikap bersiap, pandangan lurus ke depan dengan tumit, punggung dan belakang kepala posisinya lurus. Dalam penelitian ini pengukuran tinggi badan menggunakan anthropometer merek Antiochdengan tingkat ketelitian 0,1 cm.
57
7.
Kelelahan adalah tanda bahwa otot-otot sudah tidak mampu untuk berkontraksi lagi.
8.
Motivasi adalah keinginan dari dalam diri individu untuk melakukan suatu aktivitas untuk tujuan tertentu.
9.
Suhuadalah temperatur sekitar lapangan yaitu suhu kering dan suhu basah dalam derajat Celcius.
10. Kelembaban relatif adalah persentase uap air dalam udara yang diukur dengan higrometer elektronik digital merek Extech buatan Jerman dengan ketelitian 1%.
4.6
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Timbangan
berat
badan
kilogram merek Magic buatan USA, untuk
mengukur berat badan dalam satuan kg gaya dengan ketelitian 0,1 kg. 2.
Antropometer alat merek merek Antioch buatan USA, untuk mengukur tinggi badandalam satuan cm dengan ketelitian 0,1 cm.
3.
Stopwacth digital merek Seiko buatan Cina, untuk mengukur waktu tempuh lari 2,4 km, lama pelatihan dan lama waktu istirahat tiap set dengan ketelitian 0,01 menit
4.
Norma penilaian tes lari 2,4 km Cooper, untuk mengetahui status kebugaran fisik orang coba.
5.
Peluit merek Fox buatan Canada.
58
6.
Meteran merek Xelco, untuk mengukur jarak lompatan dalam satuan meter dengan bilangan desimal dua angka di belakang koma.
7.
Thermometer elektronik digitalmerek Extech buatan Jerman, untuk mengukur suhu kering dan suhu basah lingkungan dalam satuan °C dengan ketelitian 0,1°C.
8.
Higrometer elektronik digital merek Extech, untuk mengukur kelembaban relatif udara dengan ketelitian 1%.
9.
Bendera sebagai tanda batas lintasan.
10. Formulir pencatatan hasil tes dan alat-alat tulis untuk mencatat data. 11. Alat-alat dokumentasi untuk mendokumentasikan jalannya penelitian.
4.7
Prosedur Pengukuran Pelaksanaan pengukuran daya ledak otot tungkai dengan tes alternate leg
bound dan double leg bound dapat dijelaskan sebagai sebagai berikut: 1.
Sampel berdiri di belakang garis batas, kedua kaki sejajar, lutut ditekuk dan kedua lengan ke belakang.
2.
Tanpa menggunakan awalan, salah satu kaki kanan ataupun kiri menolak dari belakang dan kaki lainnya melompat sejauh-jauhnya ke depan serta diikuti ayunan lengan dari depan ke belakang (melakukan gerakan alternate leg bound), gerakan ini dilakukan sebanyak 3 kali. Setelah itu sampel melakukan tes berikutnya dengan cara kedua kaki menolak sekuatkuatnya secara bersamaan dan meloncat sejauh-jauhnyake depan serta
59
diikuti ayunan lengan dari atas ke bawah (melakukan gerakan doubleleg bound), gerakan ini dilakukan sebanyak 3 kali. 3.
Jarak lompatan dihitung dari garis batas sampai dengan batas terdekat bagian anggota tubuh yang mendarat.
4.
Sampel diberikan kesempatan melakukan tes alternate leg bound dan double leg boundsebanyak dua kali dengan cara berselang, yaitu seluruh sampel penelitian terlebih dahulu menyelesaikan tes I, kemudian dilanjutkan dengan tes II.
5.
Data yang digunakan adalah jarak lompatan dan loncatan yang paling jauh dari dua kali kesempatan tes tersebut.
6.
Hasil pengukuran tersebut adalah tes pertama ditambah tes kedua kemudian dibagi dua.
4.8
Prosedur Penelitian Langkah – langkah yang diambil dalam proedur penelitian ini adalah sebagai
berikut : 1.
Mempersiapkan surat ijin penelitian menggunakan siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati sebagai sampel penelitian.
2.
Pengambilan
biodata
siswa putra kelas VIISMP Negeri 3 Sukawati
dilanjutkan dengan pengukuran tinggi badan dan berat badan. 3.
Pemeriksaan kesehatan oleh dokter.
60
4.
Sampel melakukan tes awal (pre test) dengan melakukan tes alternate leg bound dan double leg bound yang masing-masing tes dilakukan sebanyak 3 kali, hasil tes yang digunakan adalah hasil tes yang terjauh, kedua hasil tesdijumlahkan kemudian hasil tersebut dibagi dua, jarak lompatan dan loncatan dinyatakan dalam meter.
4.
Pemberian pelatihan pliometrikalternate leg bound dan double leg bounddengan5 set, dengan 12 repetisi, istirahat antar set 2 menit, frekuensi pelatihan 3 kali seminggu dan lama pelatihan 6 minggu (Selasa, Kamis dan Sabtu).
5.
Setelah 6 minggu pelatihan sampel melakukan tes akhir (post test) yakni tes alternate leg bound dan double leg bound yang masing-masing tes dilakukan sebanyak 3 kali, hasil tes yang digunakan adalah hasil tes yang terjauh, kedua hasil tes dijumlahkan kemudian hasil tersebut dibagi dua, jarak lompatan dan loncatan dinyatakan dalam meter.
4.9
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah – langkah sebagai berikut : 1.
Uji normalitas data dengan Saphiro-Wilkdari tiap kelompok.
2.
Uji beda antar kelompok dengan uji t-paired.
3.
Uji homogenitas data dengan anova satu arah untuk menguji perbedaan sebelum dan sesudah pelatihan tiap kelompok.
4.
Taraf signifikan dipilih 0,05.
61
4.10
Kelemahan Penelitian Ada beberapa kelemahan dan keterbatasan pada penelitian yang akan dapat
memberikan pengaruh pada hasil penelitian dan sukar untuk diatasi yang meliputi: a. Kondisi subyek selama diluar penelitian ini sulit dipantau, dalam hal ini diasumsikan sama, karena sebelumnya penelitian ini dimulai sudah dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas berlebihan dan mengkonsumsi makanan dan minuman sembarangan. b. Kondisi lingkungan lapangan sekolah yang berhubungan dengan suhu, kelembaban relatif, kebisingan dan lain-lain yang sulit diperkirakan seperti : hujan. c. Subyek penelitian yang digunakan berjenis kelamin laki-laki. .
62
4.11
Alur Penelitian Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Tes Awal Melakukan gerakan alternate leg bound&double leg bound masing-masing 3 kali. Gerakan ini dilakukan 2 kali dengan cara berselang
Tes Awal Melakukan gerakan alternate leg bound&double leg bound masing-masing 3 kali. Gerakan ini dilakukan 2 kali dengan cara berselang
Tes Awal Melakukan gerakan alternate leg bound&double leg bound masing-masing 3 kali. Gerakan ini dilakukan 2 kali dengan cara berselang
Tanpa perlakuan ALB & DLB, tetapi diberikan latihan menendang bola selama 6 minggu
Perlakuan pliometrik ALB selama 6 minggu
Perlakuan pliometrik DLB selama 6 minggu
Tes Akhir Melakukan gerakan alternate leg bound&double leg bound masing-masing 3 kali. Gerakan ini dilakukan 2 kali dengan cara berselang
Tes Akhir Melakukan gerakan alternate leg bound&double leg bound masing-masing 3 kali. Gerakan ini dilakukan 2 kali dengan cara berselang
Tes Akhir Melakukan gerakan alternate leg bound&double leg bound masing-masing 3 kali. Gerakan ini dilakukan 2 kali dengan cara berselang
Analisis Data
Penyusunan Laporan Gambar 4.2 Alur Penelitian
63
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik sampel penelitian merupakan ukuran kondisi dari sampel penelitian itu sendiri. Karakteristik sampel penelitian dianalisis untuk mengetahui pengaruh karakteristik sampel terhadap hasil penelitian. Hasil analisis beda antara karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil Analisis Beda Antara Karakteristik Sampel Penelitian Beda Variabel UM1 - UM2 UM1 - UM3 UM2 - UM3 BB1 - BB2 BB2 - BB3 BB1 - BB3 TB1 - TB2 TB1 - TB3 TB2 - TB3 IMT1 - IMT2 IMT1 - IMT3 IMT2 - IMT3 KF1 - KF2 KF1 - KF3 KF2 - KF3
Rerata 0,14 0,21 0,07 0,86 -0,93 -0,07 -0,36 0,00 0,36 0,47 -0,02 -0,48 -0,03 -0,02 0,01
Keterangan : BB
= Berat Badan
IMT
= Indeks Massa Tubuh
SB 0,77 0,70 0,83 3,03 2,97 2,84 7,24 4,87 6,86 2,31 1,84 2,26 0,14 0,15 0,03
t 0,69 1,15 0,32 1,06 -1,17 -0,09 -0,18 0,00 0,19 0,75 -0,03 -0,80 -0,93 -0,60 1,20
p 0,50 0,27 0,75 0,31 0,26 0,93 0,86 1,00 0,85 0,46 0,98 0,44 0,37 0,56 0,25
64
KF
= Kebugaran Fisik
SB
= Simpang Baku
TB
= Tinggi Badan
UM
= Umur
Berdasarkan hasil analisis beda antara karakteristik sampel penelitian memperlihatkan bahwa berat badan, indeks massa tubuh, kebugaran fisik, tinggi badan, dan umur dari ketiga kelompok sebelum pelatihan tidak terdapat perbedaan yang bermakna dimana dari hasil analisis nilai p lebih besar dari 0,05 (p>0,05), yang berarti bahwa karakteristik sampel penelitian tidak berpengaruh pada hasil penelitian. Dengan demikian anggota sampel yang berjumlah 42 orang siswa yang terbagi dalam tiga kelompok, masing-masing memiliki karakteristik fisik dan kemampuan yang sama.
5.2 Uji Normalitas Variabel 5.2.1 Hasil uji normalitas semua variabel Untuk menyelesaikan masalah berdasarkan uji normalitas adalah bertujuan untuk uji selanjutnya.Hasil Uji Normalitas Semua Variabel dapat dilihat pada Tabel 5.2.
65
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Semua Variabel Variabel KontrolALBPre KontrolALBPost KontrolDLBPre KontrolDLBPost KLP2ALBPre KLP2ALBPost KLP2DLBPre KLP2DLBPost KLP3ALBPre KLP3ALBPost KLP3DLBPre KLP3DLBPost
N 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
Rerata 2,78 2,91 2,55 2,63 2,79 3,47 2,57 3,14 2,76 3,14 2,60 2,84
SB 0,09 0,11 0,08 0,09 0,10 0,11 0,09 0,08 0,12 0,09 0,09 0,12
p 1,00 1,00 0,91 0,97 0,77 0,94 0,82 0,98 0,99 0,87 0,99 0,47
Berdasarkan hasil uji normalitas semua variabel memperlihatkan bahwa semua kelompok memiliki nilai p lebih dari 0,05 (p > 0,05), yang berarti data berdistribusi normaldan selanjutnya dapat diuji dengan uji parametrik. 5.2.2 Hasil uji beda variabel sebelum dan setelah pelatihan Hasil uji variabel sebelum dan setelah pelatihan dilakukan adalah untuk mendapatkan hasil yang berbeda dan bermakna dalam penelitian, yang selanjutnya akan dilakukan analisis perbandingan antara variabel untuk menentukan hasil terbaik. Hasil analisis uji beda antara kelompok sebelum dan setelah pelatihan dapat dilihat pada Tabel 5.3.
66
Tabel 5.3 Hasil Analisis Uji Beda Antara Kelompok Sebelum dan Setelah Pelatihan Variabel
N
KontrolALB KontrolDLB KLP2ALB KLP2DLB KLP3ALB KLP3DLB
14 14 14 14 14 14
Pre Rerata 2,78 2,55 2,79 2,57 2,76 2,60
SB 0,09 0,08 0,10 0,09 0,12 0,09
Post Rerata 2,91 2,63 3,47 3,14 3,14 2,84
SB 0,11 0,09 0,11 0,08 0,09 0,12
Beda
t
p
0,14 0,09 0,68 0,57 0,38 0,24
-14,15 -10,57 -23,39 -25,83 -22,27 -12,67
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Berdasarkananalisis uji beda antara kelompok sebelum dan setelah pelatihan memperlihatkan bahwa p lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05), yang berarti bahwa beda antara kelompok sebelum dan setelah pelatihan berbeda dan bermakna.
5.3 Uji Normalitas Pada Masing-Masing Kelompok 5.3.1 Hasil uji normalitas pada masing-masing kelompok Hasil uji normalitas pada masing-masing kelompok dicari untuk mendapatkan uji selanjutnya.Hasil uji normalitas pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Hasil Uji Normalitas Pada Masing-Masing Kelompok Variabel SelisihALBKontrol SelisihDLBKontrol SelisihALBKLP2 SelisihDLBKLP2 SelisihALBKLP3 SelisihDLBKLP3
N 14 14 14 14 14 14
Rerata 0,14 0,09 0,68 0,57 0,38 0,24
SB 0,04 0,03 0,11 0,08 0,07 0,11
p 0,83 0,76 0,99 0,81 1,00 0,98
67
Berdasarkan
hasil
uji
normalitas
pada
masing-masing
kelompok
memperlihatkan bahwa semua variabel memiliki nilai p lebih dari 0,05 (p > 0,05), yang berarti bahwa semua variabel berdistribusi normal. Dengan demikian semua variabel dapat diuji dengan uji parametrik. 5.3.2 Hasil analisis uji beda berdasarkan pelatihan Hasil analisis uji beda berdasarkan pelatihan dicari berdasarkan data sebelumnya untuk melakukan uji berikutnya.Hasil analisis uji beda berdasarkan pelatihan dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Hasil Analisis Uji Beda Kelompok Berdasarkan Pelatihan Variabel KLP Kontrol KLP ALB KLP DLB
N 14 14 14
Pre Rerata SB 0,14 0,04 0,68 0,11 0,38 0,07
Post Rerata SB 0,09 0,03 0,57 0,08 0,24 0,11
Beda
t
p
0,05 0,11 0,14
13,93 2,73 6,87
0,00 0,01 0,00
Berdasarkan hasil analisis uji beda berdasarkan pelatihan memperlihatkan bahwa semua variabel uji berbeda bermakna dengan p lebih kecil dari 0,05 (p <0,05). Artinya semua variabel dapat dilakukan uji berikutnya yaitu uji antara kelompok.
5.4 Hasil Analisis Uji Antara Kelompok 5.4.1 Hasil uji normalitas gain scorepada semuakelompok Hasil uji normalitas gain scoredicari untuk mendapatkan uji selanjutnya.Hasil uji normalitas gain score dapat dilihat pada Tabel 5.6.
68
Tabel 5.6 Hasil Uji Normalitas Gain Score Pada Semua Kelompok Variabel
N
Rerata
SB
p
Gain Score KLP Kontrol
14
0,11
0,03
0,99
Gain Score KLP ALB
14
0,62
0,06
0,70
Gain Score KLP DLB
14
0,31
0,09
0,98
Berdasarkan uji normalitas gain score memperlihatkan bahwa semua variabel berbeda bermakna dengan p lebih besar dari 0,05 (p >0,05), ini berarti bahwa gain score pada semua kelompok dapat diuji dengan uji parametrik. 5.4.2 Hasil analisis uji homogenitasgain score masing-masing kelompok Hasil analisis uji homogenitasgain score masing-masing kelompok dicari untuk mendapatkan beda pada masing-masing kelompok. Hasil analisis uji homogenitasgain score masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Hasil Analisis Uji Homogenitas Gain ScoreMasing-masing Kelompok Levene Statistic
df1
df2
Sig.
6,66
2
39
0,00
Berdasarkan hasil uji homogenitas gain score masing-masing kelompok memperlihatkan bahwa semua kelompok tidak homogen (berbeda). 5.4.3 Hasil analisis uji beda antarkelompok Hasil uji beda antar kelompok dicari untuk mendapatkan besar selisih antar kelompok sehingga mendapatkan selisih terbesar.Hasil uji beda antara kelompok dapat dilihat pada Tabel 5.8.
69
Tabel 5.8 Hasil Analisis Uji Antar Kelompok
Gain Score KLP ALB
Gain Score KLP Kontrol
Beda Antar KLP 0,51
Gain Score KLP ALB
Gain Score KLP DLB
0,31
50%
0,00
Gain Score KLP DLB
Gain Score KLP Kontrol
0,20
64%
0,00
Variabel
Variabel
Berdasarkan
hasil
uji
bedaantar
kelompok
Perbandingan
p
82%
0,00
memperlihatkan
bahwa
perbandingan antar kelompok menghasilkan nilai terbesar pada kelompok 2 dengan perbandingan sebagai berikut: 1.
Kelompok ALB dengan kelompok Kontrol adalah 82%
2.
Kelompok ALB dengan kelompok DLB adalah 50%, dan
3.
Kelompok DLB dengan Kelompok Kontrol adalah 64% Dengan demikian maka kelompok ALB memiliki nilai terbesar dalam
penelitian ini, yang berarti bahwa pelatihan pliometrik alternate leg bound lebih baik daripada pelatihan pliometrik double leg bound dan kelompok kontrol.
70
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Pelatihan Pliometrik Alternate Leg Bound Meningkatkan Daya Ledak Otot Tungkai Berdasarkan hasil rerata daya ledak kelompok 2 (pelatihan pliometrik alternateleg bound) didapatkan data rerata hasil lompatan sebelum pelatihan 2,79 meter dan sesudah pelatihan 3,47 meter. Dari hasil analisis data, uji beda antar kelompok pelatihan pliometrik alternate leg bound dengan kelompok kontrol, diperoleh perbandingan 82% dengan nilai p = 0,00 sehingga dapat dikatakan 0,00 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan pliometrik alternate leg bound dapat meningkatkan daya ledak otot tungkai pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati secara sangat bermakna. Pelatihan fisik yang diterapkan secara teratur dan terukur dengan takaran dan waktu yang cukup, akan menyebabkan perubahan fisiologis yang mengarah pada kemampuan menghasilkan energi yang lebih besar dan memperbaiki penampilan fisik. Jenis pelatihan fisik yang diberikan secara tepat dan kuat, akan memberikan perubahan yang meliputi peningkatan subtrak anaerobik seperti ATP-PC, kreatin dan glikogen serta peningkatan pada jumlah dan aktivitas enzim (Mc Ardle et al, 2010). Pengaruh pelatihan yang teratur akan menyebabkan terjadinya hipertropi fisiologi otot, ini terjadi dikarenakan jumlah miofibril, ukuran miofibril, kepadatan
71
pembuluh darah kapiler, saraf, tendon, ligamen, dan jumlah kontraktil terutama kontraktil protein miosin meningkat secara proposional (Fox and Richard, 1992). Pelatihan yang diterapkan pada subjek penelitian merupakan model pelatihan pliometrik. Pelatihan pliometrik merupakan salah satu model pelatihan yang paling efektif untuk meningkatkan daya ledak otot (Nala, 2002). Pelatihan pliometrik ditujukan untuk mengembangkan daya ledak eksplosif dan kecepatan reaksi, serta ditujukan kepada tiga kelompok otot besar dalam tubuh yakni: kelompok otot tungkai dan pinggul, kelompok otot bagian tengah tubuh, dan kelompok otot dada, bahu serta lengan (Bompa, 2005). Pelatihan yang diterapkan juga menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap kontrol fleksor dan ekstensor anggota gerak bawah, hal ini dapat dilihat dari hasil sesudah pelatihan lebih besar dibandingkan sebelum pelatihan. Gerakan lompatan awalan menunjukkan aktivitas yang tinggi, hal ini terjadi karena dibutuhkan untuk menarik (ekstensi) tungkai bawah pada sendi lutut. Selain itu otot tungkai atas mendapat tambahan tugas, yaitu menjaga agar pada waktu terjadi pergantian gerakan ekstensor dan fleksor harus berjalan secara mulus. Hal ini sangat menunjang pada hasil atau jarak lompatan. Tipe gerakan pelatihan pada anggota gerak bawah yang dilakukan secara berulang-ulang, secara fisiologis akan menyebabkan terjadinya proses pembentukan refleks bersyarat, belajar bergerak serta penghafalan gerak (Nala, 2002). Sehingga pada saat melakukan lompatan setelah pelatihan (post test), tingkat fleksibilitas, kekuatan otot dan kecepatan kontraksi otot sudah lebih besar dibandingkan sebelum pelatihan. Fleksibilitas yang tinggi pada sendi anggota gerak
72
bawah setelah pelatihan, mengakibatkan tungkai atas yang diangkat saat melompat dan meloncat akan lebih tinggi dan akhirnya akan memperpanjang jarak lompatan, dan ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil daya ledak.
6.2 Pelatihan Pliometrik Double Leg Bound Meningkatkan Daya Ledak Otot Tungkai Berdasarkan hasil rerata daya ledak kelompok 3 (pelatihan pliometrik double leg bound) didapatkan data rerata hasil loncatan sebelum pelatihan 2,60meter dan sesudah pelatihan 2,84 meter. Berdasarkan hasil uji beda antar kelompok pelatihan pliometrik doubleleg bound dengan kelompok alternate leg bound, diperoleh perbandingan 50% dengan nilai p = 0,00 sehingga dapat dikatakan 0,00 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan pliometrik doubleleg bound dapat meningkatkan daya ledak otot tungkai pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati secara sangat bermakna. Dilihat dari analisis gerakan, adanya kontraksi pada otot dimana akan terjadi perubahan panjang otot dan gerak pada persendian atau beberapa sendi. Disamping itu juga adanya irama gerakan yaitu loncatan ke depan. Pada saat pelatihan terjadi pemendekan otot dan pemanjangan otot, dengan demikian pelatihan double leg bounddapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan tungkai sehingga berpengaruh terhadap daya ledak. Peningkatan daya ledak otot dapat terjadi akibat membaiknya respon reseptor dalam otot, yaitu respon dari muscle spindle dan apparatus golgi(Bompa, 1999). Muscle spindle adalah reseptor yang mengirim sinyal tentang
73
kecepatan regangan otot dan panjang otot sedangkan apparatus golgiadalah reseptor sensoris yang mengirimkan informasi tentang tegangan otot. Selain itu, terjadinya peningkatan hasil daya ledak pada masing-masing kelompok diakibatkan oleh pelatihan yang diterapkan selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu. Pelatihan yang diberikan dalam jangka waktu 6-8 minggu akan memperoleh hasil yang konstan, dimana tubuh telah teradaptasi dengan pelatihan tersebut (Nala, 2002). Pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu sesuai untuk pemula dan akan menghasilkan peningkatan yang berarti (Fox and Mathews, 1993). Pelatihan fisik yang dilakukan secara sistematis, teratur dan berkesinambungan akan dapat meningkatkan kemampuan fisik secara nyata (Astrand dan Rodahl, 2003).
6.3 PelatihanPliometrik Alternate Leg BoundLebih Meningkatkan Daya Ledak Otot Tungkai Daripada Double Leg Bound Berdasarkan analisis uji antar kelompok, beda antar gain score kelompok ALB dengan gain scorekelompok kontrol0,51 dengan perbandingan 82%, beda antar gain
scorekelompok
ALB
dengan
gain
scorekelompok
DLB0,31
dengan
perbandingan 50%, dan beda antar gain scorekelompok DLB dengan gain score kelompok kontrol0,20 dengan perbandingan 64%. Dengan demikian maka kelompok ALB memiliki nilai terbesar dalam penelitian ini, yang berarti bahwa pelatihan pliometrik alternate leg bound lebih baik daripada pelatihan pliometrik double leg bound dan kelompok kontrol.
74
Berdasarkan hasil analisis data uji lanjut least significant difference (LSD) didapat nilai p mean difference kelompok alternate leg bound dengankelompok double leg bound = 0,000 < 0,05, berarti terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok alternate leg bound dengan kelompok double leg bound maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan alternate leg bound lebih meningkatkan daya ledak daripada pelatihan double leg bound secara sangat bermakna. Sehingga dapat disimpulkan hipotesis penelitian (Ha) yang menyatakan terdapat perbedaan yang bermakna antara pelatihan pliometrik altenate leg bound dan double leg bound terhadap daya ledak diterima. Regangan tungkai yang semakin panjang akan mempunyai daya dorong atau tolakan yang sebesar-besarnya saat kaki diluruskan (Soedarminto, 2000). Ditinjau dari gerakannya pelatihan pliometrik alternate leg bound regangan tungkainya lebih panjang sehingga mempunyai daya dorong atau tolakan yang sebesar-besarnya saat kaki diluruskan jika dibandingkan dengan pelatihan pliometrik doubleleg bound. Selain itu, pelatihan pliometrik alternate leg boundmemiliki beban yang lebih berat dibandingkan pelatihan pliometrik double leg bound karena saat menolak menggunakan satu kaki sehingga pelatihan pliometrik alternate leg bound lebih menyeluruh pengaruhnya pada tungkai, baik tungkai bagian atas dan tungkai bagian bawah dikarenakan pelatihan pliometrik alternate leg bound membutuhkan tolakan ke atas dan ke depan dalam satu kali loncatan. Sebaliknya pelatihan pliometrik double leg bound berpengaruh, tetapi lebih pada tungkai bagian bawah dikarenakan tolakan
75
tungkai lebih cenderung melakukan gerakan loncat ke atas sehingga lebih berpengaruh pada tungkai bagian bawah (Dinata, 2007). Pada penelitian ini beda antar gain score kelompok ALB dengan gain scorekelompok kontrolperbandingannya 82%, beda antar gain score kelompok ALB dengan gain scorekelompok DLBperbandingannya 50%, dan beda antar gain scorekelompok DLB dengan gain score kelompok kontrolperbandingannya 64%. Dilihat dari peningkatan yang dicapai oleh kelompokpelatihan pliometrik alternate leg bound dan kelompok pelatihan pliometrik doubleleg bound lebih baik dibandingkan dengan penelitian lain seperti pelatihan single hop dan double hopyanghanya mengalami peningkatan untuk pelatihan single hopmeningkat sebesar 7,76% sedangkan double hop 5,73% terhadap daya ledak (Satia Graha, 2001).
76
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Simpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat dibuat simpulan pelatihan pliometrik alternate leg bound lebih meningkatkan daya ledak otot tungkai daripada double leg bound dalam meningkatkan daya ledak pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Sukawati.
7.2.
Saran Berdasarkan simpulan penelitian, disarankan bagi pelaku olahraga (pembina
olahraga, pelatih olahraga, guru olahraga dan atlet) disarankan untuk menggunakan pelatihan pliometrik alternate leg bounddibandingkanpelatihan pliometrik double leg boundsebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan daya ledak.
77
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Catherine Parker and Gary A. Thibodeau. 2006. Textbook of Anatomy and Physiology. USA: Elsevier. Astrand, P.O. and K. Rodhal. 2003. Textbook of Work Physiology, Physiological Bases of Exercise Human Kinetics. UK: Kinetics, Stanningley. Bakta, I. M. 1997. Diktat Mata Kuliah Metodelogi Penelitian. Denpasar: Program Studi Ergonomi dan Fisiologi Olahraga Universitas Udayana. Baley, J.A. 1990. Pedoman Atlet, Tehnik Peningkatan Ketangkasan dan Stamina. Semarang: Dahara Prize. Berger,
B. G. and Weinberg R. S. 2002. Foundation of Psychology.Morgantown, WV: Fitness Information Technology.
Exercise
Bompa, Tudor O. 1999. Theory and Methodology of Training : The Key to Athletic Performance. Auckland New Zealand: Human Kinetics. Bompa, Tudor O. 2005. Periodization Training for Sport. Auckland New Zealand: Human Kinetics. Bompa, Tudor O. 2010.Power Training for Sport: Plyometrics for Maximum Power Development. New York: Mosaic Press. Cahyani Sudarsono, Nani. 2009. Pengaruh Latihan Terhadap Kerja Otot. [Cited 2013 Jan. 01]. Available from: URL:http:/www.staff.ui.ac.id/internal/material/pdf). Cooper, K.H. 2001. Sehat Tanpa Obat, 4 Langkah Revolusi Antioksidan. Terjemahan. Bandung: Kaifa. Dahlan, S.M. 2004. Statistik Untuk Kedokteran. Jakarta: PT. Arkan.
78
Dinata, D.A. 2007. Pengaruh Latihan Single Multiple Jump dan Double MultipleJump Terhadap Hasil Tendangan Jauh Dalam Permainan Sepak Bola Pada Siswa Ekstra Kurikuler Sepak Bola SMA Negeri 8 Semarang Tahun 2006/2007. Semarang: UNES. Skripsi.[Cited 2013 Mei 25]. Available from: URL: http:/www.digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/index/assoc/hash7dd7/75f9 1b55.dir/doc.pdf). Fox,E.L and Richard W. Bower. 1992. Sport Physiology. New York: CBS College Publising. Fox, E.L., and D.K. Mathews. 1993. The Physiological Basis for Exercise and Sport. Philadelphia: Saunders College Publishing. Furqon, H. dan Muchsin Doewes.2002. Pliometrik Untuk Meningkatkan Power. Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. Giriwijoyo, Santosa dan Dikdik Zafar Sidik. 2010. Ilmu Faal Olahraga. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Graha, Ali. 2001. Pengaruh Latihan Pliometrik Single Hop dan Double Leg Hop Terhadap Daya Ledak Otot Tungkai dan Waktu Tempuh Pelari Gawang 110 Meter. Yogyakarta: UNY. Skripsi.[Cited 2013 Mei 25]. Available from: URL:http:/www.staff.uny.ac.id/sites/default/files/Or./research.pdf). Hadisasmita, Yusuf dan Aip Syarifuddin. 1996. Ilmu Kepelatihan Dasar. Jakarta: Depdiknas. Harsono. 1993. Prinsip-Prinsip Pelatihan Fisik. Jakarta: Koni Pusat. Harsono et al. 2005. Manusia dan Olahraga. ITB: Bandung. Kanca, I Nyoman. 1990. Pengaruh Latihan Acceleration Sprint dan Latihan Hollow Sprint Tehadap Power dan Speed. Semarang. Tesis. Kanca, I Nyoman.1992. Memilih dan Membina Atlet agar Lebih Berprestasi. Makalah Seminar Sehari KONI Kabupaten Buleleng. Kanca, I Nyoman. 2004. Peningkatan Kondisi Fisik dan Mental Atlet. Singaraja Disampaikan Pada Seminar Pengembangan Model Pembinaan Olahraga TNI/POLRI.
79
Kanca, I Nyoman. 2006. Metodelogi Penelitian Keolahragaan. Singaraja: Jurusan Ilmu Keolahragaan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Keolahragaan UNDIKSHA Singaraja. Lutan, Rusli et al. 1991. Manusia dan Olahraga. Bandung: ITB dan FPOK/IKIP Bandung. Lutan, Rusli et al. 2000. Dasar-Dasar Kepelatihan. Jakarta: Depdikbud. Mc. Ardle et al. 2010. Exercise Physiology Energy, Nutrition, and Human Perfomance. Philadephia: Lea and Febiger. Nala. 1992. Kumpulan Tulisan Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga Nasional Indonesia Daerah Bali. Nala. 1998. Kebugaran Fisik. Monograf yang diperbanyak oleh Yayasan Ilmu Faal Widya Laksana. Denpasar. Nala,. 2002. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar : Komite Olahraga Nasional Indonesia Daerah Bali. Nala. 2011. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: Udayana University Press. Nusdwinuringtyas, Nury. 2009.Menakar Denyut Jantung - Menakar Bugar. [Cited 2013 Jan. 01]. Available from: URL:http:/www.wikimu.com/news/displaynews. Pekik, Djoko Irianto. 2002. Dasar-dasar Kepelatihan. Yogyakarta: Perpustakaan FIK Universitas Yogyakarta. Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials A Pratical Approach. New York: A Willey Medical Publication. Sajoto, M. 1995. Pembinaan Kondisi Fisik Dalam Olahraga. Semarang: IKIP Semarang Press. Samsudin, Toki. 2008. Denyut Nadi. [Cited 2010 Jun. 01]. Available from: URL:http:/www.hilyatul.multiply.com.journal/item. Setijono, Hariet al. 2001. Instruktur Fitnes. Surabaya: UNESA University Press. Soedarminto. 2000. Kinesiologi. Surakarta: UNS Press.
80
Sugiyanto. 1993. Pertumbuhan dan Perkembangan. Bandung. Suharto et al. 2005. Petunjuk Teknis Pengukuran Kebugaran Jasmani. Jakarta. Suhendro, 1999. Proyek Pengembangan Lembaga Tinggi Tenaga Kependidikan. Jakarta. Sukadiyanto. 2005. Pengantar Teori dan Metodologi Melatih Fisik. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Syaranamual, Jusak. 2008. Konsep Dasar Pelatihan Conditioning Dalam Olahraga. [Cited 2013 Jan. 01]. Available from: URL:http:/www.koni.or.id/jurnal. Wiarto, Giri. 2013. Fisiologi dan Olah Raga. Yogyakarta: Graha Ilmu.