BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sejarah koperasi di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah koperasi di dunia. Sejarah lahirnya koperasi di dunia untuk pertama kalinya disebabkan oleh karena bergulirnya Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri di Inggris sebenarnya dimulai bukan pada saat terjadi penemuan mesin industri pertama kali, yaitu mesin pintal oleh R. Hargreaves pada tahun 1764 melainkan telah dimulai dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang mendalam dan kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang teknik dan perekonomian yang dilakukan pada abad ke-16 dan abad ke-17. Khusus pembahasan pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang perekonomian bahwa pemikiran-pemikiran dan kegiatankegiatan ilmiah di bidang perkonomian tersebut termasuk pula mencakup gagasan dasar berkoperasi. Gagasan dasar berkoperasi tersebut untuk pertama kali dicetuskan dalam bentuk pamflet pada tahun 1759 di Inggris. Yang mencetuskan gagasan dasar berkoperasi tersebut adalah seorang keturunan Belanda, yang bernama Pieter Corneliszoon Plockboy dengan gagasan yang berjudul Self Supporting Colony dan seorang berkebangsaan Inggris, yang bernama John Beller dengan gagasan yang berjudul Society of Friends. 1
2
Pamflet tersebut berisi anjuran dan ajakan untuk menyatukan konsumen dan petani dalam satu perkumpulan dengan rasa secara sukarela, berdasarkan demokrasi, dengan persamaan derajat, self help1 dan mutual aid2 dimana tujuannya yang utama pada waktu itu adalah untuk meniadakan tengkulak. Pemikiran inilah yang merupakan benih untuk mewujudkan koperasi. Tepat pada tanggal 12 Desember 1844, terdapat koperasi modern yang pertama kali didirikan dimana koperasi tersebut adalah koperasi Rochdale yang terletak di Inggris. Pendirian koperasi Rochdale tersebut diilhami oleh pemikiran Robert Owen. Walaupun pendirian koperasi Rochdale tersebut diilhami oleh pemikiran Robert Owen, koperasi Rochdale tidaklah diketuai oleh Robert Owen melainkan oleh Charles Howard. Lebih dari separuh pendiri koperasi Rochdale adalah penganut aliran sosialisme owen (Owenite Socialist) yang memiliki latar belakang berbeda-beda, diantaranya ada politikus, buruh, dan pemuka agama. Para
pendiri
koperasi
Rochdale
tersebut
berusaha
untuk
menyatukan ide-ide mereka ke dalam satu pemikiran yang utuh sehingga pemikiran inilah yang kemudian menjadi prinsip-prinsip atau sendi-sendi
1
Self help is the act of helping or improving yourself without relying on anyone else. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bahwa self help adalah tindakan untuk menolong diri sendiri tanpa melanggar kepentingan orang lain. Lihat Anonim, Tanpa Tahun, “Definisi Self Help”, URL:http://m.artikata.com/arti-293960-selfhelp.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2016. 2 Mutual aid is arrangements made between nations to assist each other. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mutual aid adalah persetujuan di antara bangsa-bangsa untuk memberikan pertolongan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan pertolongan. Lihat Anonim, Tanpa Tahun, “Mutual Aid”, URL:http://www.bahasaindonesia.net/mutual-aid, diakses pada tanggal 31 Mei 2016.
3
dasar koperasi.3 Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar koperasi tersebut diantaranya adalah koperasi sebagai landasan kegiatan usaha sebagai protes terhadap kemelaratan, ketidakadilan, dan terhadap tidak adanya kesamaan hak. Koperasi ini menumbuhkan kerja sama di antara sesama anggotanya sehingga tujuan utamanya adalah saling tolong menolong. Selanjutnya pada tahun 1896 di London, Inggris terbentuklah International Cooperative Alliance (selanjutnya disebut ICA) dimana dengan terbentuknya ICA tersebut maka koperasi telah menjadi suatu gerakan internasional. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi disebut juga sebagai the third way atau jalan ketiga. Istilah the third way tersebut dipopulerkan oleh seorang sosiolog Inggris, yaitu Anthony Giddens dimana Beliau menyatakan bahwa koperasi pada hakikatnya merupakan sistem ekonomi yang berkedudukan sebagai penengah antara sistem ekonomi kapitalisme4 dan sistem ekonomi sosialisme5. Koperasi
sebagai
suatu
sistem
ekonomi
bertujuan
untuk
memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
3
Ima Suwandi, 1982, Koperasi : Organisasi Ekonomi Yang Berwatak Sosial, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, h. 23 4 Sistem ekonomi Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang percaya bahwa modal merupakan sumber utama untuk dapat menjalankan sistem ekonomi. Dengan demikian semua proses dalam kehidupan manusia bersumber dari pengelolaan modal baik itu modal milik perorangan, milik sekelompok masyarakat, maupun milik perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini berarti dalam semua aktivitas kehidupan ekonomi membutuhkan modal. Dalam mengelola sumber-sumber ekonomi maka pemilik modal berupaya untuk mengakselerasi perkembangan modalnya dengan cara berusaha seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimal. 5 Sistem ekonomi Sosialisme adalah sistem ekonomi yang menegaskan bahwa modal merupakan milik bersama dari seluruh anggota masyarakat atau milik negara yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Kepemilikan bersama atas modal atau kepemilikan modal oleh negara tersebut dimaksudkan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakat dengan cara bekerja sama sedangkan hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama dan distribusi hasil kerja tersebut berdasarkan atas prestasi kerja yang telah diberikan.
4
umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur. Hal ini sesuai dengan landasan konstitusionalitas Indonesia, yaitu UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Mengingat sistem pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan UUD NRI 1945 yang antara lain disebutkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka dan pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), serta tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)6, maka bertumpu pada apa yang ditegaskan dalam UUD NRI 1945 tersebut makna adanya koperasi tercantum dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut disebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan juga asas demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat sehingga dengan demikian kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran beberapa pihak. Kemudian, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasiaan 6
Sri Woelan Azis, 1981, Aspek-Aspek Hukum KUD Dalam Gerak Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, h. 1.
5
(selanjutnya disebut UU Perkoperasian tahun 1992) dinyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Merujuk pada bunyi ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasiaan tahun 1992 tersebut bahwa koperasi berperan sebagai badan usaha yang berperan untuk memperbaiki tingkat kehidupan ekonomi orang-orang yang ekomoninya lemah dimana dalam konteks ini koperasi menganut prinsip democratic member control.7 Prinsip ini meletakkan dasar bahwa koperasi adalah organisasi demokratis yang dikontrol oleh anggotanya yang aktif berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan dan membuat keputusan.8 Jadi jelaslah, bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan dari orang-orang
secara
bersama-sama
bergotong
royong
berdasarkan
persamaan kerja untuk memajukan kepentingan perekonomian anggota dan masyarakat umum.9 Berarti koperasi benar-benar merupakan pendemokrasian yang harus menjamin bahwa koperasi adalah milik anggota sendiri dan diatur sesuai keinginan para anggota karena hak tertinggi dalam koperasi ditentukan oleh rapat anggota. Oleh karena
7 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar dan Nanda Maulisa Benemay, 2005, Hukum Koperasi Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 23. 8 Ibid. 9 Arifinal Chaniago, Tanpa Tahun, Pendidikan Perkoperasiaan Indonesia, Cet. II, Angkasa, Bandung, h. 15.
6
demikian, dalam menjalankan usahanya koperasi Indonesia tidak boleh meninggalkan asasnya, yaitu asas kekeluargaan dan asas gotong royong.10 Dalam Pasal 7 UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan bahwa “Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dengan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar”. Anggaran dasar adalah keseluruhan aturan yang mengatur secara langsung kehidupan koperasi dan hubungan antara koperasi dengan para anggotanya.11 Dalam batas-batas yang diberikan berdasarkan undang-undang, anggaran dasar dapat dianggap sebagai peraturan intern koperasi yang mengikat alat perlengkapan (organ) koperasi dan para anggotanya. Dalam ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan juga ketentuan mengenai anggaran dasar. Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkoperasiaan tahun 1992 memuat daftar nama pendiri, nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta bidang usaha, ketentuan mengenai keanggotaan, ketentuan mengenai pengelolaan, ketentuan mengenai permodalan, ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya, ketentuan mengenai pembagaian sisa hasil usaha, dan ketentuan mengenai sanksi.12 Dalam pengelolaan koperasi,
tidak menutup kemungkinan
pengurus koperasi melakukan tindakan-tindakan yang digolongkan sebagai tindakan yang melampaui anggaran dasar. Hal tersebut disebabkan 10 Sagimun MD, 1983, Koperasi Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tanpa Kota Penerbit, h. 57. 11 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Koperasi, Alumni, Bandung, h. 40. 12 Suhardi, Moh. Taufik Makarao, dan Fauziah, 2012, Hukum Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Cet. I, Kademia, Jakarta, h. 39-40.
7
karena pengurus merupakan organ koperasi yang bertanggung jawab secara penuh dalam melakukan pengelolaan usaha koperasi. Tindakan melampaui anggaran dasar tersebut sejenis dengan tindakan ultra vires yang pada umumnya dikenal dalam lingkup badan hukum Perseroan Terbatas. Sebenarnya istilah ultra vires ini pada awalnya dikenal dalam sistem hukum common law. Hal ini tercermin dalam kasus Ashbury Railway Carriage and Iron Company, Limited v. Riche yang terjadi di Inggris.13 Pada kasus tersebut, anggaran dasar (memorandum of association) Ashbury Railway Carriage and Iron Company, Limited v. Riche yang didirikan berdasarkan Company Act 1862 menyebutkan bahwa perusahaan Ashbury Railway Carriage and Iron Company tersebut adalah perusahaan yang menjalankan usaha dalam bidang pembuatan dan penjualan gerbong barang dan gerbong penumpang, meminjamkan dan atau menyewakan gerbong barang dan gerbong penumpang serta segala sesuatu yang berkaitan dengan bisnis pembuatan, penjualan, dan penyewaan gerbong.14 Merujuk pada anggaran dasar Ashbury Railway Carriage and Iron Company, Limited v. Riche tersebut, ternyata direksi perusahaan membuat kontrak dengan Hector Riche yang isinya antara lain untuk membiayai
13
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111. 14 Johnny Ibrahim, 2011, “Doktrin Ultra Vires dan Konsekuensi Penerapannya Terhadap Badan Hukum Privat”, Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, h. 245, URL: http://www.fh.unsoed.ac.id>fileku>JDHvol112011, diakses pada tanggal 23 November 2015.
8
pembangunan jaringan rel kereta api di Belgia. Dalam anggaran dasar tidak disebutkan mengenai pelaksanaan bisnis berupa pekerjaan kontraktor mechanical engineering di negara luar sehingga The House Of Lords dalam putusannya meletakkan dasar bahwa tindakan direksi tersebut dianggap ultra vires.15 Sesudah putusan tersebut, maka selanjutnya pelaksanaan konsep ultra vires lebih diperlonggar. Seperti yang dikutip dari Raghvendra Singh Raghuvanshi16, dalam jurnalnya yang berjudul “Doctrin of Ultra Vires In Company Law” mengemukakan bahwa : “a company incorporated under the Company Act has power to carry out the object set out in the objects clause of its memorandum and also everything that is reasonably necesary to enable it to carry those objects”. Hal tersebut menegaskan bahwa perusahaan memiliki kewenangan menjalankan apa yang diatur dalam anggaran dasar serta melakukan segala sesuatu yang mendukung tercapainya tujuan perusahaan. Bertumpu pada istilah ultra vires tersebut memunculkan persoalan bahwa apakah tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dapat dikatakan sebagai tindakan ultra vires dan bagaimana sikap
15
Ibid, sebagaimana yang disebutkan dalam putusan The House Of Lords yang menegaskan bahwa ultra vires is ought to be reasonable and not reasonable understood and applied and whatever may fairly be regarded as incidental to, or consequental upon, those things which the legislature has authorized, ought not to be held, by judicial construction, to be ultra vires. 16 Raghvendra Singh Raghuvanshi, 2009, “Doctrin of Ultra Vires In Company Law”, National Law Institute University Bhopal, India, h. 5, URL: http://apjlsg.com/article-aspx?c6b62, diakses pada tanggal 29 Mei 2016.
9
yang dapat diupayakan atas tindakan tersebut. Berdasarkan isu hukum tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Akibat Hukum Tindakan Pengurus Koperasi yang Melampaui Anggaran Dasar”. 1.2
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, dapat diuraikan rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar ? 2. Bagaimana akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar ?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah sangat berkaitan dengan latar belakang masalah.
Bahwa
tujuan
dari
adanya
rumusan
masalah
adalah
menggambarkan luasnya cakupan lingkup masalah yang akan dilakukan penelitian serta dibuat untuk mengemukakan batas area penelitian. Pada umumnya,
ruang
lingkup
masalah
digunakan
untuk
membatasi
pembahasan, yaitu hanya sebatas pada permasalahan yang sudah ditetapkan. Adapun ruang lingkup masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut. 1. Pada rumusan masalah pertama, ruang lingkup masalahnya adalah mengenai istilah hukum apa yang dapat digunakan untuk menyebut tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar. Dalam hal
10
untuk menyebut tindakan tersebut maka dilakukan studi perbandingan terhadap istilah ultra vires yang secara umum dikenal dalam lingkup badan hukum Perseroan Terbatas. Di samping itu, untuk memperdalam pengetahuan perbandingan
tentang
ultra
terhadap
vires
istilah
maka
dilakukan
perbuatan
pula
melawan
studi hukum
(onrechtmatigedaad) karena dua istilah tersebut memiliki kemiripan. Selain itu, dicari dasar hukum penerapan tindakan melampaui anggaran dasar yang tertuang dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 dan anggaran dasar dari salah satu koperasi, yaitu Koperasi Karangasem Membangun (selanjutnya disebut KKM). 2. Pada rumusan masalah kedua, ruang lingkup masalahnya adalah tindakan apa yang dapat diambil oleh rapat anggota atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar. Dalam hal ini, dilakukan studi perbandingan terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT tahun 2007) yang mencakup tindakan apa yang dapat diambil oleh Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) atas tindakan direksi yang melampaui anggaran dasar yang kemudian diterapkan juga pada badan hukum koperasi. Digunakan pula Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) dan doktrin sebagai landasan untuk memberikan penegasan terhadap batas-batas tindakan yang dapat dilakukan atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar.
11
1.4
Orisinalitas Penelitian Pencantuman orisinalitas penelitian dalam suatu karya ilmiah dimaksudkan sebagai upaya melakukan pemecahan masalah yang hendak diteliti belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu. Apabila permasalahannya mirip maka harus ditegaskan perbedaan penelitiannya dengan penelitian terdahulu. Adapun pembahasan karya ilmiah terdahulu tentang koperasi yang dijadikan sebagai pembanding dalam rangka upaya penunjukkan orisinalitas penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Skripsi atas nama Shinta Octavia, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penelitian pada tahun 2012 dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anggota Koperasi Simpan Pinjam Atas Tindakan Melawan Hukum Di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat Dan Pengelolaan Divestasi”. Terdapat tiga rumusan masalah dalam penelitian tersebut. 1. Bagaimana pengaturan Peraturan Perundang-undangan terkait dengan perlindungan hukum bagi anggota koperasi simpan pinjam atas tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi ? 2. Bagaimana peran pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap koperasi dalam menentukan rate bunga pada koperasi simpan pinjam pada saat ini ? 3. Apakah diperlukan pengawasan dari lembaga keuangan terkait dalam mengawasi dan mengatasi tindakan melawan hukum di
12
bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi terhadap anggota koperasi simpan pinjam ? b. Skripsi atas nama M. Faruq Sulaiman, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penelitian pada tahun 2012 dengan judul “Perbandingan Kedudukan dan Tanggung Jawab Hukum Pengurus Pada Koperasi dan Perseroan Terbatas (Studi Kasus : Koperasi Komunika dan PT Bakrie Telecom Tbk)”. Terdapat tiga rumusan masalah dalam penelitian tersebut. 1. Bagaimanakah karakteristik dan kedudukan pengurus koperasi dan perseroan terbatas dalam perannya sebagai pengurus dalam suatu badan usaha ? 2. Bagaimanakah tugas, wewenang, dan tanggung jawab hukum bagi pengurus koperasi dan perseroan terbatas serta hubungannya dengan pengembangan usaha di tengah persaingan di dunia bisnis ? 3. Bagaimanakah hubungan hirarkis antara kedudukan dan tanggung jawab hukum pengurus koperasi dan perseroan terbatas dengan organ atau perangkat organisasi dalam koperasi dan perseroan terbatas dalam praktek ? c. Skripsi atas nama Andre Makadao, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, penelitian pada tahun 2013 dengan judul “Aspek Hukum Pertanggungjawaban Pengurus Dalam Pengelolaan Keuangan dan Manajemen Koperasi”. Terdapat dua rumusan masalah dalam penelitian tersebut.
13
1. Bagaimanakah ketentuan hukum mengenai pendirian koperasi ? 2. Bagaimana
bentuk
pertanggungjawaban
pengurus
dalam
pengelolaan keuangan maupun manajemen koperasi ? 1.5
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan rumusan kalimat yang menunjukkan adanya hasil yang diperoleh setelah penelitian selesai dilakukan. Rumusan tujuan mengungkapkan keinginan peneliti untuk memperoleh jawaban atas permasalahan penelitian yang diajukan. Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum (het doel van het onderzoek) mengandung uraian secara garis besar tentang upaya peneliti dalam rangka pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma ilmu sebagai proses (science as a process) agar pembahasan mengenai bidang obyeknya masing-masing tidak pernah final dalam penggalian kebenarannya.17 Tujuan khusus (het doel in het onderzoek) mengandung uraian tentang upaya peneliti membahas rumusan masalah yang terdapat dalam pembahasan rumusan permasalahan penelitian. Selanjutnya tujuan umum dan tujuan khusus tersebut akan dirumuskan sebagai berikut.
1.5.1 Tujuan umum a.
Agar dapat menunjang pendidikan dan pengetahuan masyarakat di bidang hukum, terutama dalam bidang hukum bisnis yang secara khusus membahas tentang koperasi ;
17
Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 75.
14
b.
Agar dapat dijadikan referensi tambahan bagi mahasiswa-mahasiswa lain yang ingin melakukan penelitian seputar koperasi.
1.5.2 Tujuan khusus a.
Untuk mengetahui konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar.
b.
Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar.
1.6
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian merupakan dampak dari pencapaian tujuannya. Terdapat dua konsep manfaat penelitian, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan praktis. Selanjutnya akan dibahas lebih rinci mengenai manfaat teoritis dan praktis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1.6.1 Manfaat teoritis a. Sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya dalam ilmu hukum perdata dan hukum bisnis tentang koperasi ; b. Menambah kepustakaan ilmu hukum, khususnya dalam ilmu hukum perdata dan hukum bisnis tentang koperasi. 1.6.2 Manfaat praktis a. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat bagi instansi terkait sebagai bahan acuan untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan perundang-undangan tentang koperasi agar terdapat uraian yang lebih rinci mengenai tindakan melampaui anggaran dasar.
15
b. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya mahasiswa sebagai bahan bacaan yang dapat dijadikan referensi dalam melakukan penelitian mengenai koperasi. 1.7
Landasan Teoritis Menurut Edgar Bodenheimer18, pada intinya konsep merupakan suatu instrumen penting dan tidak dapat dihindari penggunaannya dalam rangka untuk memberikan solusi-solusi pemecahan masalah-masalah hukum. Edgar Bodenheimer19 pada intinya mengatakan pula bahwa tanpa teknik pembatasan buah pikiran, kita tidak dapat berpikir secara jernih dan rasional ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan hukum dan tanpa konsep pula kita tidak dapat menempatkan pikiran kita pada hukum dalam kata-kata dan berkomunikasi kepada orang lain dengan cara yang dimengerti. Oleh karena demikian, bertumpu pada pemaparan Edgar Bodenheimer mengenai konsep tersebut bahwa salah satu cara yang seringkali digunakan untuk menjelaskan konsep adalah memberi definisi.20 Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 tidak terdapat definisi secara eksplisit tentang pembahasan tindakan melampaui anggaran dasar. Dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) huruf c UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan bahwa pengurus berwenang melakukan tindakan-tindakan dan 18
Edgar Bodenheimer, 1962, Jurisprudence, The Philosophy and Method of The Law, Harvard University Press, Cambridge-Massachusetts, h. 327 mengemukakan.... concepts are necessary and indispensable for the solutions of legal problems. Without circumscribed technical notions, we could not think clearly and rationally about legal questions. Without concepts, we could not put our thoughts on the law into words and communicate them to others in an intelligible fashion. 19 Ibid. 20 Putu Sudarma Sumadi, 2008, Pengantar Hukum Investasi, Cet. I, Pustaka Sutra, Bandung, h. 1.
16
upaya-upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan-keputusan rapat anggota. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Perkoperasiaan tahun 1992 tersebut maka sebenarnya secara implisit UU Perkoperasiaan tahun 1992 mengatur bahwa pengurus koperasi tidak boleh melakukan tindakan di luar apa yang diamanatkan oleh UU Perkoperasiaan tahun 1992 dan anggaran dasar. Dikatakan tidak boleh melakukan tindakan di luar anggaran dasar karena atas dasar pertimbangan bahwa anggaran dasar merupakan “undang-undang” dari sebuah koperasi dimana dalam penyusunannya berpedoman pada UU Perkoperasiaan tahun 1992. Status “undang-undang” itu diperoleh setelah koperasi mendapat pengesahan badan hukum dari pemerintah. Sehubungan dengan pengesahan badan hukum koperasi dilakukan oleh pemerintah maka yang menjadi persoalan adalah siapakah yang dimaksud dengan pemerintah ? Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 tidak terdapat penjelasan mengenai siapakah yang dimaksud dengan pemerintah namun demikian bukan berarti tidak dapat dirumuskan siapa yang dimaksud dengan pemerintah tersebut. Mengawali pembahasannya, dalam hal ini patut diketahui penjelasan Pasal 33 UUD NRI 1945 dimana dalam ketentuan penjelasan tersebut koperasi disebut sebagai soko guru perekonomian nasional. Hal ini berarti koperasi dapat diartikan sebagai pilar atau penyangga utama perekonomian. Dengan demikian koperasi diperankan dan difungsikan
17
sebagai pilar utama dalam sistem perekonomian nasional. Oleh karena demikian, maka pendirian koperasi harus diprioritaskan dan dipermudah dimana hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pengesahan badan hukum koperasi cukup dilaksanakan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota tempat badan hukum koperasi didirikan. Dalam hal ini patut diketahui konsep wewenang. Seperti yang dikutip dari S.F Marbun21, wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Secara teoritik, terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Wewenang atribusi adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundangundangan dimana wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.22 Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh dari badan atau organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi merupakan pelimpahan dari wewenang atribusi yang diberikan oleh pemberi wewenang (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris).23 Setelah terjadi pelimpahan maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan bersifat tidak dapat
21
S.F Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154-155. 22 Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Laksbang, Yogyakarta, h. 66. 23 I Gusti Made Agus Mega Putra, 2016, “Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara Dalam Proses Lelang Jabatan Terkait Sistem Merit Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Kekhususan Hukum Pemerintahan, Denpasar, h. 14.
18
ditarik kembali oleh delegans. Wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahannya.24 Setelah terjadi pelimpahan kepada penerima mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat (mandans) dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan kembali oleh mandans. Patut ditinjau ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah tahun 2014). Dalam pasal tersebut diberikan definisi tentang tugas pembantuan, yaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Bahwa sebelum tanggal 8 April 2016 pengesahan badan hukum koperasi dilakukan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota tempat badan hukum koperasi didirikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam huruf b poin menimbang Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 123 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan dalam Rangka Pengesahan 24 I Gusti Made Triantaka, 2016, “Pengaturan Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang Batas Waktu Penetapannya Tidak Ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Kekhususan Hukum Pemerintahan, Denpasar, h. 16.
19
Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar dan Pembubaran Koperasi Pada Propinsi dan Kabupaten/Kota dimana disebutkan : bahwa untuk efektifitas dan efisiensi pemberian pelayanan pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf a, Menteri dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat yang secara teknis bertanggung jawab dalam bidang perkoperasiaan di tingkat Propinsi/DI dan Kabupaten/Kota Kemudian dalam poin memutuskan bagian pertama dan kedua disebutkan sebagai berikut. Pertama : Menunjuk Gubernur sebagai pejabat yang berwenang untuk dan atas nama Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai penyelenggara tugas pembantuan dalam rangka pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi primer dan koperasi sekunder yang anggotanya berdomisili lebih dari satu Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi/DI yang bersangkutan. Kedua : Menunjuk Bupati/Walikota sebagai pejabat yang berwenang untuk dan atas nama Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai penyelenggara tugas pembantuan dalam rangka pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi primer dan koperasi sekunder yang anggotanya berdomisili di wilayah Kabupetan/Kota yang bersangkutan. Dengan
bertumpu
pada
ketentuan
poin
menimbang
dan
memutuskan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dipetik makna bahwa Gubernur, Bupati atau Walikota mendapatkan pelimpahan wewenang dari Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia (selanjutnya disebut Menkop dan UKM RI) untuk melaksanakan tugas pembantuan dalam hal memberikan pengesahan badan hukum koperasi. Apabila berpedoman pada cara-cara mendapatkan wewenang secara teoritik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya maka
20
Gubernur, Bupati atau Walikota bertindak sebagai delegataris (penerima wewenang) dan Menkop dan UKM RI bertindak sebagai delegans (pemberi wewenang). Namun mulai tanggal 8 April 2016 sesuai dengan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2015 tentang Kelembagaan Koperasi (selanjutnya disebut Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015), pengesahan badan hukum koperasi dilaksanakan oleh Menkop dan UKM RI. Dalam Pasal 45 Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 disebutkan sebagai berikut. (1) Menteri mendelegasikan pengesahan Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar, Penggabungan, Peleburan, Pembagian, dan Pembubaran Koperasi kepada Deputi Bidang Kelembagaan. (2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan sistem elektronik. Bertumpu pada ketentuan pada Pasal 45 Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 tersebut bahwa sudah jelas terlihat bahwa Deputi Bidang Kelembagaan diberikan pelimpahan wewenang (delegasi) oleh Menkop dan UKM RI untuk melakukan pengesahan badan hukum koperasi. Di samping itu, sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Notaris Indonesia membuat suatu terobosan dalam pengesahan badan hukum koperasi
21
dimana pengesahan badan hukum koperasi dilakukan secara elektronik.25 Untuk memperoleh layanan elektronik tersebut, Notaris pembuat Akta Pendirian Koperasi yang sudah terdaftar di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia mengakses laman website sisminbhkop.id dengan melakukan registrasi secara online. Selanjutnya adalah pembahasan mengenai konsep tindakan melampaui anggaran dasar. Konsep tindakan melampaui anggaran dasar dapat dibandingkan dengan istilah ultra vires. Bahwa ultra vires berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “beyond the power” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai melampaui kewenangan.26 Pemahaman secara akademis tentang ultra vires dapat ditinjau dari apa yang dikemukakan oleh I.P.M Ranuhandoko dimana Beliau menyebutkan bahwa ultra vires adalah bertindak melebihi wewenangnya.27 Disebutkan pula dalam Martin Basiang bahwa ultra vires adalah tindakan yang dilakukan yang berada di luar wewenang yang diberikan.28 Kemudian seperti yang dikutip dari Johnny Ibrahim29, misalnya dituliskan oleh Timothy Endicott, yaitu “ultra vires means beyond (the
Dina Ariyanti, 2016, “Pengesahan Akta Pendirian Koperasi Sekarang Bisa Lewat Online”, URL:http://m.detik.com/finance/read/2016/04/15/123312/3188743/4/pengesahan-aktapendirian-koperasi-sekarang-bisa-lewat-online, diakses pada tanggal 31 Mei 2016. 26 Johnny Ibrahim, op.cit, h. 243. 27 I.P.M Ranuhandoko, 2008, Terminologi Hukum, Cet. V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 522. 28 Martin Basiang, 2009, The Contemporary Law Dictionary, Cet. I, Red and White Publishing, Tanpa Kota Penerbit, h. 442. 29 Johnny Ibrahim, loc.cit, dikutip dari Timothy Endicott, 2003, “Constitutional Logic”, University of Toronto Law Journal No. 53, h. 201. 25
22
agency) legal powers”. Kemudian, Frank Mack30 mengartikan ultra vires sebagai berikut. The term ultra vires in its proper sense act or transaction on the part of corporation which although not unlawfull or contrary to public policy if done or executed by an individual, is jet beyond the legitimate powers of the corporation as they are defined by the statute under which it is formed or which are applicable or by its charter or incorporation papers. Black’s Law Dictionary mendefinisikan tentang ultra vires adalah sebagai berikut. “Unauthorized ; beyond the scope of power allowed or granted by a corporate charter or by law”31 Sehubungan dengan definisi ultra vires menurut Black’s Law Dictionary tersebut di atas bahwa dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pula mengenai definisi extra vires yaitu see ultra vires. Oleh karena demikian maka tidak perlu untuk diperdebatkan antara ultra vires dan extra vires karena dua istilah tersebut memiliki maknya yang sama, yaitu melampaui kewenangan.32 Secara klasik bahwa tindakan yang dilakukan melampaui maksud dan tujuan adalah batal dan tidak dapat dikuatkan atau disahkan. Hal tersebut berarti bahwa maksud dan tujuan menentukan batas kewenangan
Frank Mack, Tanpa Tahun, “The Law on Ultra Vires Acts and Contracts of Private Corporations”, URL:http://epublications.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgiarticle=4163, diakses pada tanggal 23 November 2015. 31 Bryan A. Garner et.al, (eds), 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, Law Prose Inc, Dallas, Texas, h. 1662. 32 Ibid. 30
23
bertindak berbeda dengan prinsip fiduciary duty.33 Oleh karena demikian, maksud dari ultra vires ini adalah bukan bertindak di luar kewenangannya tetapi bertindak di luar hal yang diperbolehkan oleh anggaran dasar berkenaan dengan maksud dan tujuan badan hukum yang dalam pembahasan ini adalah mencakup badan hukum perusahaan (koperasi). Oleh karena berdasarkan ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992, koperasi dinyatakan sebagai badan usaha yang berbadan hukum maka koperasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai badan hukum. Menurut Meyers terdapat empat kriteria suatu badan usaha dapat dinyatakan sebagai badan hukum, yaitu sebagai berikut. a.
b.
c.
d.
Terkumpulnya menjadi satu hak-hak subyektif untuk suatu tujuan tertentu dengan cara yang demikian sehingga kekayaan yang bertujuan itu dapat dijadikan obyek tuntutan hutang-hutang tertentu. Harus ada kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja. Meskipun kepentingan itu tak terletak pada orang-orang tertentu namun kepentingan itu harus stabil, artinya tak terikat pada suatu waktu yang pendek saja tetapi untuk jangka waktu yang lama. Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri yang tidak saja untuk obyek tuntutan tetapi juga yang dapat dianggap oleh hukum sebagai upaya pemeliharaan kepentingan-kepentingan tertentu yang terpisah dari kepentingan anggota-anggotanya.34
Merujuk pada doktrin dari Meyers tersebut maka salah satu dampak dari adanya tindakan melampaui anggaran dasar dari pengurus koperasi adalah dapat timbul tuntutan perdata yang diajukan oleh pihak-pihak yang dirugikan. 33 Dwi Suryahartati, Tanpa Tahun, “Doktrin Ultra Vires (Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas)”, Jurnal Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, h. 118, URL:http//:www.online-journal.unja.ac.id, diakses pada tanggal 23 November 2015. 34 Chidir Ali, 1975, Badan Hukum (Recht Persoon), Alumni, Bandung, h. 53-54.
24
Pandangan tradisional tentang ultra vires pada prinsipnya memandang bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum, yaitu batal demi hukum (null and void). Oleh karena itu, berdasarkan pandangan tradisional ini maka tindakan ultra vires tersebut tidak dapat disahkan melalui rapat anggota. Pandangan secara tradisional juga menyediakan upaya-upaya hukum yang merupakan akibat hukum tindakan ultra vires antara lain sebagai berikut. a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya, b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires tersebut, c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.35 . Dalam perjalanan sejarahnya, konsep tradisional ultra vires mengalami modifikasi. Hal ini terjadi sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat. Sebagai akibat dari modifikasi tersebut bahwa adanya tindakan ultra vires tidak selamanya mutlak tanggung jawab dari petugas yang melakukannya. Pandangan tersebut menunjukkan perkembangan doktrin ultra vires dari tradisional menuju ke arah yang luwes.
35
Munir Fuady, op. cit, h. 130.
25
1.8
Metode Penelitian Menurut Morris L. Cohen, “Legal Research is the process of finding the law that governs activities in human society” dimana pendapat Morris L. Cohen tersebut diartikan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know how dalam ilmu hukum bukan sekadar know about.36 Sebagai kegiatan know how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan masalah yang dihadapi.37
1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan atas dasar adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian dalam skripsi ini didasarkan pada alasan apakah tindakan melampaui anggaran dasar oleh pengurus koperasi dapat dikatakan sebagai tindakan ultra vires serta bagaimana sikap yang dapat diambil oleh rapat anggota atas tindakan melampaui anggaran dasar tersebut. 1.8.2 Jenis pendekatan Penelitian hukum umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan, yaitu pendekatan kasus (case approach), pendekatan perundang-undangan 36 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Cet. VIII, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 57 dan 60, dikutip dari Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 1992, Legal Research, West Publishing Company, St. Paul Minn, h. 1. 37 Ibid.
26
(statute approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach), pendekatan frasa (words and phrase approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Dari tujuh jenis pendekatan dalam penelitian hukum tersebut maka jenis pendekatan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach). Statute Approach adalah pendekatan dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyelesaikan isu hukum yang sedang dibahas akibat kekosongan atau kekaburan norma hukum. Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 belum terdapat ketentuan mengenai perlindungan hukum kepada pihak ketiga atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar. Analitical and Conceptual Approach adalah pendekatan dengan berdasarkan pada konsep-konsep hukum. Untuk menentukan konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar maka penulis melakukan analisis konsep ultra vires dan konsep perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dalam rangka untuk memperdalam pembahasan. Comparative Approach adalah pendekatan dengan tujuan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Dalam hal ini,
27
dilakukan perbandingan terhadap konsep perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang berasal dari sistem hukum civil law dengan konsep ultra vires yang berasal dari sistem hukum common law. Di samping itu, digunakan pula UUPT tahun 2007 sebagai bahan perbandingan untuk menemukan upaya apa yang dapat diambil oleh RUPS atas tindakan direksi yang melampaui anggaran dasar dimana hal ini bertujuan agar dapat diperoleh jawaban terhadap upaya apa yang dapat diambil oleh rapat anggota atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar. 1.8.3 Sumber bahan hukum Sumber bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum dimana perwujudan asas dan kaidah hukum dapat berupa peraturan perundang-undangan dalam arti luas, Perjanjian Internasional, Konvensi Ketatangeraan, Putusan Pengadilan, Keputusan Tata Usaha Negara, dan Hukum Adat (tertulis dan tidak tertulis). Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tersier), dan internet dengan menyebut nama situsnya. Penelitian pada skripsi ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dimana bahan hukum primernya terdiri dari UUD
28
NRI 1945, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasiaan, UU Perkoperasiaan tahun 1992, Undang-Undang Nomor Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998, UUPT tahun 2007, UU Pemerintahan Daerah tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1994 tentang Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan, Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Rapat Anggota Koperasi. Kemudian, bahan hukum sekundernya terdiri dari buku-buku yang membahas mengenai koperasi, Perseroan Terbatas, dasar-dasar ilmu hukum, perjanjian, konsep wewenang, dan karya tulis hukum (skripsi). Juga digunakan kamus-kamus hukum (Oxford Dictionary of Law, Black’s Law Dictionary, dan The Contemporary Law Dictionary) dan Kamus Terjemahan Bahasa Inggris-Indonesia, doktrin atau pandangan para sarjana hukum sesuai dengan pembahasan permasalahan serta internet dengan menyebutkan secara jelas situsnya. Di samping menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, penelitian pada skripsi ini juga menggunakan data penunjang untuk memperdalam pembahasan. Data penunjang dalam penelitian
29
normatif berupa hasil wawancara mendalam dari tokoh-tokoh kunci (key person) bidang hukum. Tokoh-tokoh kunci tersebut adalah pihak-pihak yang kompeten dalam bidang perkoperasiaan. 1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen dilakukan dengan cara mencari, menginventarisasi, dan mempelajari peraturan perundangundangan yang terkait dan juga selain itu dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum sekunder ditambah dengan data yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkoperasiaan sebagai penunjang pembahasan masalah. 1.8.5 Teknik analisis bahan hukum Dalam penelitian hukum, untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul terdapat beberapa teknik analisis bahan hukum. Teknik tersebut diantaranya adalah teknik deskripsi, teknik interpretasi, teknik konstruksi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, dan teknik sistematisasi. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, teknik konstruksi, dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis dengan menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik evaluasi adalah teknik berupa penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
30
tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi adalah teknik atas dasar penilaian yang harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Teknik konstruksi adalah adalah teknik yang dilakukan dengan menggunakan analogi dan pembalikan proposisi. Teknik sistematisasi adalah teknik yang berupaya mencari hubungan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.