BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah desa sebagai level pemerintahan terendah, sejatinya dalam era otonomi daerah memiliki kedudukan dan peran yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat perdesaan. M eskipun faktanya pemerintah desa lebih banyak menangani persoalan administrasi, namun fungsinya dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan kurang terdengar. Pemerintah sendiri seperti double standar dalam melihat pemerintah desa. Di satu pihak pemerintah mendorong agar kedudukan pemerintah desa lebih kuat, tapi di pihak lain, dalam pelaksanaan program pembangunan, perannya seringkali dipinggirkan. Banyak program pemberdayaan
masyarakat
yang
dikelola
kementerian/lembaga
melakukan
langsung (top down) ke m asyarakat melalui skema BLM (Bantuan Langsung M asyarakat). Biasanya pemerintah desa baru dilibatkan bila ada masalah yang ditemui. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan aparat desa di lapangan. Sepertinya berbagai pihak di pusat masih belum rela memberikan kewenangan kepada pemerintah desa sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi di atas menjadikan alasan perlunya memperkuat desa dan pemerintah desa. Beberapa upaya langkah strategis yang telah dilakukan antara lain dengan disyahkannya U ndang-Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa (Kementerian Dalam Negeri) pada tanggal 15 Januari 2014. Salah satu program
1
yang sedang gencar diprom osikan oleh Kementerian Dalam Negeri adalah Badan Usaha M ilik Desa (BUM Des), namun setelah diterbitkannya UU Desa penamaan BUM Des berubah menjadi BUM Desa. Sesuai U ndang-undang N omor 06 Tahun 2014 tentang Desa, dalam bab X diatur juga mengenai BUM Desa. Bahwa Desa dapat mendirikan Badan U saha M ilik Desa yang disebut dengan BUM Desa. BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum dan memiliki kesempatan untuk mengelola aset desa seperti: pasar, kawasan pariwisata, air bersih, dan listrik perdesaan. Dengan adanya BUM Desa di desa perekonomian
desa.
BUM
Desa
diharapkan sebagai penggerak
didirikan
dengan
kesepakatan
melalui
M usyawarah Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa. Tujuan pembentukan BUM Desa adalah untuk memperkuat kelembagaan perekonomian desa, BUM Desa juga menjadi jembatan penghubung antara pemerintah desa dengan masyarakat dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat dan mengelola potensi desa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan
untuk:
pengembangan
usaha;
dan
Pembangunan
Desa,
pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Badan usaha ini merupakan lembaga ekonom i baru dan perlu landasan hukum yang kuat. U ntuk itu perlu adanya peranan pemerintah dalam melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat desa melalui pemerintah provinsi
2
dan/atau pemerintah kabupaten tentang arti penting BUM Desa bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. M elalui pemerintah desa masyarakat dimotivasi, disadarkan dan dipersiapkan untuk membangun kehidupannya sendiri. Pemerintah memfasilitasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan lainnya yang dapat memperlancar pendirian BUM Desa. Sebagaimanan disebutkan dalam Pasal 90 Bab X U U Desa No 6 Tahun 2014 bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan : a. memberikan hibah dan/atau akses permodalan; b. melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan c. memprioritaskan BUM Des. Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu ditekankan. BUM Desa sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUM Desa dapat beragam di setiap desa di Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya yang dimiliki masing -masing desa. Pengaturan lebih lanjut tentang BUM Desa diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Jika kelembagaan ekonomi kuat serta ditopang kebijakan yang memadai, maka pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan distribusi aset kepada rakyat secara luas akan mampu menanggulangi berbagai permasalahan ekonomi di pedesaan. Keberadaan sebuah institusi seperti BUM
Desa
tidak lepas dari
keberhasilan dan kegagalan. Salah satu faktor penentu keberhasilan/kegagalan
3
organisasi adalah faktor Sumber Daya M anusia (SDM ). Keunggulan mutu bersaing suatu organisasi sangat ditentukan oleh m utu S DM -nya. Penanganan SDM harus dilakukan secara menyeluruh dalam kerangka sistem pengelolaan SDM yang bersifat strategic, integrated, interrelated dan united. Organisasi sangat membutuhkan SDM yang kompeten, memiliki kompetensi tertentu yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya.
Begitu
juga halnya dengan BUM Desa, dengan adanya pengurus dalam mengelola BUM Desa yang berkompeten. Selain itu, m odal sosial juga dianggap sebagai hal yang penting untuk mengembangkan ekonomi suatu masyar akat. Pada tataran perkembangan pedesaan keberadaan jaringan yang kuat dari organisasi tingkat bawah
(grassroots)
masyarakat
sama
pentingnya
sebagaimana
layaknya
perkembangan industri fisik dan teknologi. Elemen modal sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan dapat berkembang di suatu komunitas. Demikian juga, keberhasilan kolaborasi dalam suatu usaha seperti unit-unit usaha yang ada di BUM Desa akan membangun hubungan-hubungan dan kepercayaan yang pada gilirannya akan memfasilitasi ikatan-ikatan pada masa depan di bidang lain. Nilai gotong royong, tolong menolong, yang merupakan bagian dari modal sosial yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat telah semakin tipis, begitu juga dengan nilai kemandirian, kerja keras, yang pernah meny atu dalam kehidupan masyarakat. Kilas balik kehidupan masyarakat kita dalam memenuhi kebutuhan seperti halnya pembangunan sarana ibadah, sekolah, balai umum, pasar, dan berbagai sarana kehidupan lainnya merupakan bukti dari
4
kemandirian dan kerja keras masyarakat itu sendiri. A kan tetapi, nilai-nilai sosial seperti itu, sekarang jarang terlihat lagi sebagai bagian dari denyut jantung masyarakat kita saat ini (Kamarni, 2009). Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari m odal sosial (social capital) yang dianggap sebagai hal yang penting untuk mengembangkan ekonomi suatu masyarakat. Pada tataran perkembangan pedesaan keberadaan jaringan yang kuat dari organisasi
tingkat bawah
(grassroots)
masyarakat
sama
pentingnya
sebagaimana layaknya perkembangan industri fisik dan teknologi. Elemen modal sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan dapat berkembang di suatu komunitas. Demikian juga, keberhasilan kolaborasi dalam suatu usaha seperti unit-unit usaha yang ada di BUM Desa akan membangun hubungan-hubungan dan kepercayaan yang pada gilirannya akan memfasilitasi ikatan -ikatan pada masa depan di bidang lain. Eksistensi BUM Desa dari mulai sejak didirikannya sampai saat ini tidak terlepas dari peran nilai-nilai sosial yang dimiliki yang sejalan dengan modal sosial yang ada di masyarakat. M enurut Putnam (1993a:169) dalam Field (2010:6) modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Eksistensi dan peranan lembaga keuangan di pedesaan (rural financial institution) tidak selamanya tergantung pada kekuatan eksternal (pemerintah), tetapi dapat ditumbuhkembangkan oleh kekuatan internal. Kekuatan itu berakar dari nilai-nilai modal sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat pedesaan.
5
Beragamnya lembaga keuangan di pedesaan, seperti lembaga keuangan formal (LKF), informal (LKI), dan semi formal (LKSF) memberikan ruang gerak yang luas untuk menganalisis bagaimana potensi modal sosial dan pe ranannya terhadap eksistensi dan peranan lembaga keuangan yang ada di pedesaan . Hal terpenting yang harus disadari adalah bagaimana pembangunan modal sosial, sebagai kunci utama bagi pembangunan berkelanjutan, dapat sepenuhnya dilaksanakan, sehingga tercapai masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Banyak bukti menunjukkan bahwa masyarakat yang makmur adalah masyarakat yang modal sosialnya tinggi, yaitu tercermin dari kehidupan sosialnya yang harmonis, saling memberi, ada kebersamaan dan saling percaya serta terdapat tingkat toleransi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Fukuyama (2001) percaya bahwa keunggulan suatu masyarakat dan negara yang dapat survive dalam abad ke-21, adalah ditentukan oleh faktor social capital (modal sosial) yang tinggi, yaitu high trust society. Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah masyarakat yang mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik vertikal maupun horizontal), serta saling memberi. Selanjutnya dikatakan bahwa hal ini bisa terw ujud kalau mas ing-masing individu dan golongan masyarakat menjunjung tinggi rasa saling hormat, kebersamaan, toleransi, kejujuran dan menjalankan kewajibannya. Grootaert (2001) menyatakan bahwa perkembangan ekonomi yang terjadi pada level individu, rumah tangga, bahkan negara tidak selalu bisa dijelaskan dari faktor-faktor input berupa tenaga kerja, sumberdaya lahan, dan kapital fisik belaka. M odal sosial (social capital) telah menjadi salah satu variabel yang
6
dipertimbangkan sebagai penjelas semenjak beberapa dekade ter akhir ini. Pada level makro, modal sosial terbukti memiliki peran pada kemajuan ekonomi yang dicapai sekelompok masyarakat. Karena itu, pemahaman terhadap modal sosial yang dimiliki masyarakat sangat perlu karena dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan pembangunan dan desain program yang akan diimplementasikan. M odal sosial terdiri atas tiga komponen, yaitu kepercayaan ( trust), norma (social norm) dan jaringan (network). Grootaert (2001) menyebutkan bahwa, keberadaan institusi dan asosiasi lokal merupakan bahan yang menentukan kuat atau lemahnya jaringan sosial di masyarakat bersangkutan. Banyak riset membuktikan
bahwa
asosiasi
lokal
berperan
dalam
kegiatan
program
pembangunan, yang berjalan melalui 3 mekanisme yaitu: wadah untuk berbagi informasi
antar
anggota,
mengurangi
peluang
perilaku
oportunis,
dan
memfasilitasi pembuatan keputusan kolektif. Juga disebutkan bahwa, pada level komunitas, asosiasi lokal memiliki kesejajaran dengan modal sosial, mes kipun kedua hal ini tidak sinonim secara timbal balik. Penelitian Grootaert (2001) ini bertujuan mempelajari
kondisi keanggotaan masyarakat
pedesaaan
dalam
organisasi-organisasi, serta mempelajari derajat keefektifan partisipasi masyarakat dalam asosiasi. Keterlibatan dan partisipasi dalam institusi lokal ini merupakan indikator utama untuk memahami modal sosial yang dimiliki masyarakat bersangkutan. BUM Desa merupakan institusi lokal yang ada di desa yang memiliki ragam bentuk sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing desa. BUM Desa dapat beragam di setiap desa di Indonesia.
7
Di Indonesia, di beberapa Kabupaten telah banyak desa yang mempunyai BUM Desa, ada yang secara mandiri mengembangkan potensi ekonomi desa yang sudah ada, ada juga yang sedikit dipaksakan oleh Pemerintah Kabupaten setempat dengan diberikan stimulan permodalan awal dari APBD Kabupaten melalui dana hibah dengan status dana milik masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUM Desa, Seperti di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan semua desa telah membentuk BUM Desa dengan stimulan permodalan awal dari APBD Kabupaten melalui dana hibah sebesar 10.000.000,- per desa dengan status dana milik masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUM Desa. Demikian juga di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Provinsi Riau, pembentukan BUM Des a di 151 desa dengan diberikan stimulan dana dari APBD Kabupaten dan APBD Provinsi, yang saat ini menjadi percontohan terbaik se Indonesia adalah BUM Des a Bangun Jaya, Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu. Sama halnya dengan Kabupaten Bandung Jawa Barat, 267 desa telah mendirikan BUM Desa dengan stimulan dana dari Pemerintah Kabupaten. Tetapi saat ini hanya 84 BUM Desa yang berkembang dengan baik. Penyebabnya antara lain adala h tidak dikelolanya BUM Desa secara professional. Begitu halnya dengan Kabupaten M ajalengka, semua desa yang ada di Kabupaten tersebut sudah mendirikan BUM Desa. Namun pembentukan BUM Desa tersebut atas prakarsa pemerintah setempat, karena ada kebijakan Gubernur Jawa Barat untuk desa peradaban. Dimana desa diberikan dana 1 M ilyar dan salah satu diperuntukan untuk dana stimulan modal BUM Des a. Di Kabupaten Gunung kidul, salah satu Kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, kebijakan dari pemerintah kabupaten yang
8
berkaitan
dengan BUM Desa dalam hal pembinaan hanya bersifat pendampingan tanpa di sertai penyertaan pendampingan modal. Akibat tidak adanya penyertaan modal dari pemerintah, masyarakat berinisiatif untuk mendirikan BUM Desa melalui swadaya seperti yang di anjurkan oleh pemerintah. Kebutuhan bersama masyarakat Gunungkidul akan jasa lembaga simpan pinjam direalisasikan dengan membangun BUM Desa. U ntuk menjalankan kegiatan rutin BUM Desa berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip BUM Desa sehingga mampu menjaga eksistensinya sampai saat ini yang memberikan kontribusi baik secara makro bagi masyarakat sekitar secara umum dan secara mikro bagi anggotanya. Kepercayaan
sebagai
dasar
dalam
me mberikan
pinjaman
kepada
anggotanya membuat BUM Desa sebagai lembaga non bank yang bebeda dengan lembaga bank pada umumnya. Kepercayaan yang dibangun dijadikan menjadi salah satu lembaga non bank bagi masyarakat Gunungkidul pada umumnya dan kepada anggota nya secara khusus. Untuk melihat bagaimana perkembangan dan dinamika BUM Desa sebagai salah satu tonggak penguatan kelembagaan perekonomian desa, penulis melakukan penelitan di dua desa di Kabupaten Gunungkidul yaitu Desa Karangrejek dan Desa Bleberan. Keberhasilan
Desa Karangrejek dalam
pengelolaan BUM Desa menarik perhatian peneliti untuk membandingkan pengelolaan BUM Desa yang ada di Desa B leberan Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul yang juga berhasil dalam pengelolaan BUM Desa serta berpotensi untuk meningkatkan Pendapatan A sli Desa Bleberan, sehingga terbentuknya
9
BUM Desa yang pada awalnya mengelola unit usaha Pengelola Air Bersih di desa ini dengan didukung potensi sumber mata air dan aspek pasar yang memadai, serta adanya SDM pengelola telah berkembang dan mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan masyarakat. Di Desa Karangrejek Kecamatan Wonosari, BUM Desa yang dibentuk dengan memberdayakan dan mengembangkan aset Lembaga Ekonomi Desa yang ada tanpa stimulan dana dari APBD Kabupaten dan APBD Provinsi. Selain itu, Desa Karangrejek juga memanfaatkan nilai asset dari Departemen PU dalam Program Pengembangan Air Tanah (P2AT) di tahun 2007.
Jenis usaha yang dikembangkan di Desa Karangrejek adalah pengelolaan air bersih yang saat ini asetnya sudah mencapai 1 M ilyar dan pengelolaan simpan pinjam. D i Desa Karangrejek secara swadaya masyarakat menggali sum ur untuk kebutuhan air bersih, untuk minum, mandi dan cuci. Permasalahan yang sering tiba bilamana musim kemarau panjang, biasa dipastikan seluruh sumur gali kering, sehingga kembali lagi mengambil air hanya ke sungai, atau sumur pompa. Diawali dari kesulitan untuk m endapatkan air bersih, di masa Pemerintah Orde Baru ada program untuk Pembuatan sumur gali untuk tanaman sayur di ladang pertanian, sumur dalam melalui Program Pengembangan A ir Tanah (P2A T) baik untuk irigasi maupun untuk air minum.
Walaupun dihadapkan dengan banyak tantangan eksternal maupun internal, BUM Desa Karangrejek mampu bertahan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan asset awal dari PU sebesar Rp. 1.056.065.444 serta bantuan dari APBDes sebesar 10 juta telah menunjukkan perkembangan pendapatan dan
10
mampu berkontribusi B UM Desa pada PA Des serta perkembangan pemasangan sambungan rumah sebagaimanan dapat dilihat pada Tabel 1.1, 1.2 dan 1.3 dibawah ini. Tabel 1.1 Perkem bangan Aset/M odal BUM Desa Karangrejak Didasarkan Atas Swadaya M asyarakat Tahun
Swadaya
Jum lah
2008
345.308.550
345.308.550
2009
202.571.450
547.880.000
2010
127.217.894
675.097.894
2011
75.750.000
750.847.894
JM H
750.847.894
Sumber : Desa Karangrejek Tabel 1.2 Perkem bangan Pendapatan Dan Kontr ibusi Pada PADes Tahun
Pendapatan Biaya Operasional
Dana Pem upukan/ Cadangan
PADes
2008
167.032.665
88.374.590
78.658.075
9.716.515
2009
227.018.374
123.828.204
103.190.170
20.638.034
2010
272.268.832
148.510.272
123.758.560
24.751.712
2011
343.098.122
187.144.430
155.953.692
31.190.738
Sumber : Desa Karangrejek Tabel 1.3 Perkem bangan Pem asangan Sam bungan Baru PAB Desa Karangrejek Tahun
Pem asangan
Jum lah Total
2008
465
465
2009
117
582
2010
119
701
20111
98
799
Sumber : Desa Karangrejek
11
Di desa Karangrejek dalam m endirikan
lembaga kredit desa (LKD)
memanfaatkan m odal hibah dari pemerintah, seperti IDT, UED, UED.SP, Aset dari LPM D Sendiri (dana BANDES.) dan Perguliran program program dirjen cipta karya, dep. PU PPKL, yang kemudian dijadikan sebagai modal awal dalam pengelolaan unit usaha kredit mikro. Sebagaimana terlihat pada tabel 1.4 di bawah ini. Tabel 1.4 Sum ber M odal UKM Karangrejek KET.
S.D. 2005
UED.
2010
2011
JUM LAH
1.000.000
0
0
1.000.000
950.000
0
0
950.000
IDT
12.224.440
0
0
12.224.440
APBDes.
9.800.000
PENGEM B
11.525.560
0
0
21.325.560
PPKL (PU)
0
59.000.000
27.500.000
86.500.000
PAB.TK
0
55.514.000
2.000.000
57.514.000
PEM KAB.
0
0
0
0
PH.III
0
0
0
0
35.500.000
114.514.000
29.500.000
179.514.000
UED.SP.
JUM LAH
Sumber : Desa Karangrejek
Terbentuknya
B UM
Desa
di
Desa
Bleberan
Kecamatan
memanfaatkan dana pusat PKPS BBM sebesar Rp. 250.000.000
Playen,
ditahun 2007.
Kemudian dari hasil musyawarah pemerintahan desa dan masyarakat adanya kemauan untuk mengembangkan BUM Desa. Berawal dari sebuah keprihatinan dengan Pendapatan Asli Desa (PADes) Bleberan yang rata -rata per tahun hanya Rp.1.000.000,-
sehingga
ada
keinginan
dari
masyarakat
setempat
untuk
melakukan perubahan untuk bisa meningkatkan pendapatan asli desa. Selain itu
12
juga adanya keprihatinan warga masyarakat tentang kesulitan akan air bersih. Dengan bermodalkan optimisme masyarakat, adanya potensi yang dapat di kelola sebagai sumber mata air, adanya sumber daya manusia sebagai pengelola dan mereka menganggap ini sebagai peluang usaha untuk peningkatan pendapatan desa (PADes).
Pada tahun 2007 BUM Desa yang ada di Desa Bleberan (saat itu belum BUM Desa) mendapat dana pusat PKPS BBM sebesar Rp. 250.000.000 yang di pergunakan untuk pembangunan jaringan perpipaan dan bak resorvoar serta generator, kemudian ada penawaran program tentang BUM Desa kepada BPD, LPM D. Pada awalnya memang susah memberikan pengertian tentang BUM Desa kepada BPD dan LPM D karena pada tahun 2007 belum adanya peraturan pemerintah dan juga Perda yang mengatur tentang BUM Desa sehingga banyak pertentangan. Dan baru ditetapkan peraturan Kepala Desa, namun masih bersifat mengatur tentang kepengurusan, pengelolaan air bersih. Untuk penentuan jenis usaha Desa Bleberan dengan melihat potensi alam (sumber mata air) dan potensi masyarakat maka sebagai awal kegiatan BUM Desa adalah mengelola Unit Pengelolaan Air Bersih (PAB). D ibentuk karena adanya kebutuhan air bersih, disetiap musim kemarau mengalami kekurangan air bersih, bahkan per kk 1 s/d 5 tengki per bulan @ Rp. 100.000.-, tersedianya sumber mata air, fasilitas pemerintah PKPS BBM , dan yang terpenting adalah menyiapkan kebutuhan air baku kepada masyarakat. Kedua, Unit Pengelolaan UED SP dibentuk karena masyarakat kesulitan dalam mengakses perbankan karena lumayan jauh, kemudian prosedur yang
13
cukup sulit, sehingga di perlukan untuk mendekatkan kepada masyarakat sebuah LKM , maka dibentuklah kegiatan simpan pinjam baik untuk masyarakat Desa Bleberan dan juga masyarakat se-kec. Playen sebagai Unit kegiatan BUM Desa. Di bawah ini dapat dilihat pada tabel 1.5 perkembangan pendapatan BUM Desa Bleberan dari dua unit kegiatan, yaitu pengelolaan air bersih dan pengelolaan UED SP. Tabel 1.5 Pendapatan BUM Desa Bleberan Tahun
Pendapatan
2007
84,643,520
2008
Biaya oprasional
Dana pem upukan & cadangan
PADes
36,235,944
44,288,376
0
117,838,650
42,361,404.5
51,775,050.25
4,740,439
2009
110,494,340
38,705,853.5
47,307,496.5
4,896,208
2010
122,500,000
41,090,683.5
50,221,946.5
4,213,000
Sumber : Desa Bleberan
Desa Karangrejek dan Desa Bleberan, selain sama -sama mengembangkan Badan Usaha M ilik Desa, Kedua desa juga banyak memiliki potensi yang bisa dikembangkan sehingga menjadi peluang untuk mengembangakan BUM Desa. Diantaranya potensi sumber daya manusia yang produktif, potensi budaya lokal setempat, potensi sumber daya alamnya.
Dari pemaparan diatas, penulis ingin melihat lebih jauh bagaimana dinamika dan perkembangan BUM Desa di kedua desa di Gunungkidul tersebut. Dinamika dan perkembangan tersebut akan dituliskan dalam thesis ini yang berjudul, “Peranan M odal Sosial dalam Pengelolaan BUM Desa di Desa Karangrejek dan Desa Bleberan, Kabupaten Gunung kidul.”
14
B. Perumusan Masalah
Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dinamika modal sosial yang dimiliki masyarakat D esa Karangrejek dan Desa Bleberan dalam pengelolaan BUM Desa. 2. Bagaimanakah kontribusi dan peranan modal sosial terhadap pengelolaan BUM Desa Desa Karangrejek dan Desa Bleberan.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika modal sosial yang dimiliki masyarakat Desa Karangrejek dan Desa Bleberan dalam pengelolaan BUM Desa serta mengetahui kontribusi dan peranan modal sosial terhadap pengelolaan BUM Desa Desa Karangrejek dan Desa Bleberan.
D. Manfaat Penelitian
Selanjutnya manfaat yang diharapkan dari kajian dan penelitian ini adalah sebagai berikut a. Bagi mahasiswa : diharapkan penelitian ini bisa menjadi referensi akademik tentang modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa dan bisa mnejadi tonggak awal untuk penelitian tentang modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa b. Dengan adanya penelitian ini menjadi salah satu sumber informasi dan masukan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan dalam menumbuhkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
15
c. Bagi BUM Desa : bisa menjadi masukan terhadap upaya menumbuhkan modal sosial di desa, meningkatkan kualitas pelayanan dan sumber daya serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. E. KERANGKA TEORI E.1. Konsep Modal Sosial Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan (Berutu, 2002: 9) dalam Simarmata (2009: 1). Potensi ini terkadang terlupakan begitu saja
oleh kelompok masyarakat sehingga
tidak dapat
difungsionalisasikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok masyarakat yang menyadari akan potensi-potensi sosial budaya yang dim ilikinya, sehingga potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan kelompok masyarakat itu sendiri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka. M odal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat. Fukuyama (2002) dalam Simarmata (2009: 22), menjelaskan social capital secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau normanorma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika
16
anggota-anggota kelompok itu mengharapkan para anggota yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Hal yang sama juga digambarkan oleh Grootaert (1999) dalam Kamarni (2009: 3), bahwa semakin meningkatnya stock social capital, meningkat pula ex post kesejahteraan masyarakat (net benefit) sebagai hasil meningkatnya jumlah transaksi, joint venture, output, kualitas hidup, kualitas lingkungan dan kemudahan lainnya yang dinikmati oleh penduduk. M enurut Franscis Fukuyama ada tiga bentuk modal sosial yakni kepercayaan atau trust, norma-norma atau norms dan jaringan-jaringan atau networks (Syahyuti, 2006). a. Kepercayaan (Trust) Kepercayaan (trust) merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditujukan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan
norma-norma
yang
dianut
bersama.
Kepercayaan
sosial
merupakan penerapan pemahaman ini. Dalam masyarakat yan g memiliki kepercayaan tinggi, aturan sosial cenderu ng positif, hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. A danya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga -lembaga sosial yang kokoh. M odal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis. Kerusakan m odal sosial akan menimbulkan anomi dan perilaku anti sosial.(Suharto, 2008). M odal sosial (social capital) adalah kapabilitas yang
17
muncul dari kepercayaan umum dalam sebuah masyarakat atau bagian -bagian tertentu darinya. b. Norm a (norm) Norma merupakan kumpulan aturan, nilai, harapan dan tujuan yang dipatuhi, diikuti dan dijalankan bersama oleh anggota masyarakat pada intitas tertentu. Norma-norma ini bisa timbul dari agama, dari kaidah-kaidah moral atau budaya maupun standar lain yang dapat saja m erupakan kesepakatan bersama seperti kode etik professional. Norma-norma ini biasanya melembaga dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakatnya. Norma dapat berupa pra-kondisi maupun dari kepercayaan sosial (Hasbullah, 2006:111). c. Jaringan (Network) Jaringan merupakan wadah suatu produk interaksi antar manusi. M odal sosial yang memiliki wadah yang memfasilitasi interaksi tersebut, biasany berupa jaringan-jaringan kerjasam a antar manusia. Jaringan inilah yang berfungsi sebagai wadah terjadinya komunikasi dan interaksi yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan terjadinya kerja sama. M asyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Ruang bertemu dan saling berkenalan dengan orang lain. M ereka kemudian membangun relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal. Jaringan jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta dapat mengambil manfaat dari partisipasinya itu.
18
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya dasar terbentuknya modal sosial adalah rasa percaya (trust). Kepercayaan (trust) menjadi pengikat masyarakat. Pada masyarakat Low T rust’ ikatan kelembagaan /institusi diikat oleh keanggotaan dalam keluarga. Karena dalam ikatan keluarga trust tidak perlu dipermasalahkan. Anggota keluarga adalah bagian diri sendiri. Selain i ni pada kelompok multi etnik, kepercayaan antar anggota etnik yang sama lebih mudah berkembang
daripada
antar
etnik.
Fukuyama
berpendapat
bahwa
trust
berkolaborasi dengan pertumbuhan ekonomi (Fukuyama, 2008:26). Putnam (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekon omis sangat berkorelasi dengan kehadiran m odal sosial. Pertum buhan ekonomi suatu masyarakat akan baik apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarakat : 1. Hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakatnya. 2. Adanya para pemimpin yang jujur dan egal iter yang memperlakukan dirinya sebagai bagian dari masyarakat buakan sebagai penbgausa 3. Adanya rasa saling percaya dan kerjasama di antara unsur masyarakat. E.2. Konsep Kelembagaan Kelembagaan
(institution)
menurut
U phoff
(1986:8-9)
merupakan
kompleksitas norma dan pola perilaku yang berorientasi pada tujuan bernilai sosial tertentu secara kolektif. Kelembagaan dapat berwujud organisasi seperti pengadilan dan bukan organisasi seperti hukum. Dengan demikian kelembagaan menurut U phoff (1986) berhubungan dengan pola-pola tindakan individu dalam ruang hidupnya. Dalam kaitannya dengan ini, kelembagaan ditentukan pula oleh tingkatan pengambilan keputusan
19
dalam masyarakat, mulai dari individu hingga internasional (Uphoff, 1986:11). Tingkatan pengambilan keputusan terpenting untuk pembangunan pedesaan berada pada level lokalitas sehingga kemudian ia mengajukan kelembagaan lokal sebagai alternatif pembangunan ( local institution development-LID). Yang dimaksud dengan kelembagaan level lokal adalah level lokalitas (atau setingkat kota kecamatan di Indonesia), level komunitas (seperti desa di Indonesia), dan level grup (seperti kelompok rumah tangga/rukun tetangga di Indonesia). Jadi
institusi
lokal
merupakan
asosiasi
komunitas
setempat
yang
bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat (Esman dan Uphoff, 1982:9), seperti rukun tetangga, arisan , kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya. Yang jelas institusi ini memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang (cross-cutting affiliation) dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki pada posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komu nitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (social capital).
20
Institusi lokal ternyata mampu menjadi bingkai etika komunitas lokal (Santoso, 2002: 6). Institusi lokal pada dasarnya adalah regulasi perilaku kolektif, di mana sandarannya adalah etika sosial, sehingga institusi lokal mampu menghasilkan kemampuan mengatur diri sendiri dari kacamata normatif.
Pada bagian lain U phoff menjelaskan argumentasi pentingnya kelembagaan lokal untuk mengelola sumberdaya alam dan membangun pedesaan (Uphoff, 1992, 2001). Rasionalisasi bagi kelembagaan lokal itu adalah sebagai berikut: 1. Kelembagaan di level lokal penting untuk memobilisasi sumberdaya dan mengatur penggunaannya dengan suatu pandangan jangka panjang terhadap pemeliharaan dan aktivitas produktif. 2. Sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara paling efisien dan berkelanjutan karena menggunakan sistem pengetahuan spesifik lokal. 3. Perubahan status sumber daya dapat dipantau secara lebih cepat dengan biaya rendah. 4. Bila kelembagaan lokal tidak mampu menyelesaikan konflik manajemen sumberdaya maka penyelesaiannya dapat diserahkan pada level yang lebih tinggi. 5. Perilaku
orang-orang
dikondisikan
oleh
norma-norma
dan
konsensus
komunitas. 6. Institusi menodorong orang-orang untuk menggunakan cara pandang jangka panjang melalui harapan-harapan dan basis kerjasama antar-individu yang berkepentingan.
21
M enurut sektornya (U phoff, 1986) kelembagaan lokal merupakan suatu kontinum antara sektor publik (public sector) dan sektor privat (privat sector) (Uphoff, 1986: 4-5). Di tengah-tengahnya terdapat sektor antara yang bersifat sukarela (voluntary sector) yakni dicirikan oleh ciri-ciri publik dan privat. Urutan kontinum itu adalah administrasi lokal (local administration); pemerintahan lokal (local
government);
organisasi
sosial
berbasis
keanggotaan
(membership
organizations) meliputi organisasi dengan tugas jamak, tugas spesifik, dan sesuai kebutuhan anggota; koperasi (cooperatives); organisasi bergerak bidang jasa (services organizations); dan bisnis privat (private business). Urutan pertama dan kedua adalah kelembagaan sektor publik, urutan ketiga dan keempat sektor sukarela, sedangkan urutan klima dan keenam adalah sektor privat. Badan usaha m ilik desa sebaga i salah satu kelembagaan (institusi) ekonomi desa yang dibentuk didasarkan atas modal sosial merupakan perwujudan dari adanya hubungan interaksi sosial masyarakat setempat untuk meningkatkan perekonomian desa berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. M enurut Bardhan (1993), kelembagaan (institusi) akan lebih akurat bila didefenisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan (convention), dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi soaial. North (1994) memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia ( hum an devised) untuk membangun struktur interaksi ekonomi, politik dan sosial. M elalui rentetan sejarah, kelembagaan yang dapat meminimalisasi perilaku manusia yang menyimpang ketidakpastian
telah
berhasil
menciptakan
ketertiban
dan
mengurangi
dalam melakukan pertukaran (exchange). Coleman (1988)
22
menegaskan bahwa modal sosial dapat berw ujud pada tiga bentuk. Pertama kewajiban (obligations) dan harapan (expectations) yang tergantung pada kepercayaan (trustworthiness) pada lingkungan sosial. Kedua, kapasitas informasi yang mengalir dari struktur sosial untuk menyediakan basis tindakan, dan ketiga, kehadiran norma yang didampingi dengan sanksi efektif. E.3. Sosial Kapital dalam Pengemban gan Kelembagaan M odal sosial dapat diartikan sebagai karakteristik dari hubungan antar individu dalam suatu organisasi sosial maupun dengan individu diluar organisasi yang dapat berwujud kepercayaan sosial, norma dan jaringan sosial yang memungkinkan setiap individu yang ada di dalamnya untuk melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. M odal sosial yang terbentuk di masyarakat dapat memiliki bentuk yang beraneka ragam, baik itu berupa organisasi maupun nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Wujud nyata dari modal sosial yang terjadi di masyarakat tidak dapat dilepaskan dari sistem budaya yang di masyarakat itu sendiri. Hermawati dan Handari (2003) dalam Ambara (2009: 4) mengungkapkan bentuk -bentuk modal sosial yang berkembang di masyarakat sebagai : hubungan sos ial, adat dan nilai budaya lokal, toleransi, kesediaan untuk mendengar, kejujuran, lokal dan pengetahuan lokal,
kearifan
jaringan sosial dan kepemimpinan sosial,
kepercayaan, kebersamaan dan kesetiaan, tanggung jawab sosial, partisipasi masyarakat, dan kemandirian.
23
1. Kepercayaan (Trust) Kepercayaan adalah rasa percaya yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk saling berhubungan. Ada tiga hal inti yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu: (1) H ubungan antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam hubungan tersebut adalah institusi, yang dalam hal ini diwakili oleh orang. Seseorang percaya pada institusi tertentu untuk kepentingannya, karena orang orang dalam institusi itu bertindak. (2) H arapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak. (3) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud. Dengan ketiga dasar tersebut kepercayaan dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial (Lawang, 2004: 46). Percaya berarti seseorang memiliki kerelaan menerima segala resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya berdasarkan pada keyakinan bahwa orang lain akan melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bertindak saling
menguntungkan.
Percaya
yaitu
menerima
dan
mengabaikan
kemungkinan bahwa sesuatu akan tidak benar (Casson dan G odley dalam Vipriyanti 2007 :23). Rasa percaya merupakan dasar dari perilaku moral dimana modal sosial dibangun. M oralitas mengarahkan bagi kerjasama dan koordinasi sosial dari semua aktivitas sehingga manusia dapat hidup bersama dan berinteraksi satu
24
sama
lain.
Sepanjang
kekeluargaan
maka
adanya
akan
rasa
percaya,
terbangun
perilaku
prinsip-prinsip
dan
hubungan
resiproksitas
dan
pertukaran. Sebagai alat untuk membangun hubungan, rasa percaya dapat menekan biaya-biaya transaksi yang muncul dalam proses kontak, kontrak dan kontrol. Dengan demikian semua orang tentunya akan lebih menyukai hubungan yang didasari oleh rasa saling percaya dibandingkan dengan hubungan yang oportunistik. Rasa percaya akan mempermudah terbentuknya kerjasama. Semakin kuat rasa percaya pada orang lain sema kin kuat juga kerjasama yang terjadi diantara mereka. Kepercayaan sosial muncul dari hubungan yang bersumber pada norma resiprositas dan jaringan kerja dari keterkaitan warga negara. Dengan adanya rasa saling percaya, tidak dibutuhkan aktivitas monitoring terhadap perilaku orang lain agar orang tersebut berperilaku sesuai dengan yang kita inginkan. Kepercayaan dapat dibangun, akan tetapi dapat juga hancur. Demikian juga kepercayaan tidak dapat ditum buhkan oleh salah satu sumber saja, tetapi seringkali
tum buh
(Williamson
dalam
berdasarkan
pada
Vipriyanti,
2007).
hubungan Rasa
teman
percaya
dan
keluarga
ditentukan
oleh
homogenitas, komposisi populasi dan tingkat keberagaman. Rasa percaya yang tinggi ditemukan pada wilayah dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat kebergaman yang rendah. Hasbullah (2006:9), menyatakan bahwa berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling percaya mempercayai yang tinggi akan meningkatkan
25
partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Ketiadaan rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang berbagai masalah sosial yang serius. M asyarakat yang kurang memiliki rasa saling percaya akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu apa yang diberikan oleh pemerintah dan pihak -pihak lain. Jika rasa saling mempercayai sudah lemah, maka yang akan terjadi adalah sikap-sikap yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku, kriminalitas akan meningkat, tindakan-tindaka n destruktif dan anarkhis gampang mencuat, kekerasan dan kerusuhan massa akan cepat tersulut. Kurangnya rasa saling percaya juga membuat masyarakat cenderung pasif, sendiri-sendiri dan pada akhirnya muncul perasaan keterisolasian diri. Pada situasi yang de mikian masyarakat akan gampang terserang berbagai penyakit kejiwaan seperti kecemasan, putus asa, dan kemungkinan akan melekukan tindakan -tindakan yang fatal bagi dirinya maupun bagi orang lain. 2. Jaringan (Network) M odal sosial tidak hanya dibangun oleh sat u orang, tetapi oleh kemampuan suatu kelompok untuk bersosialisasi dan berinteraksi. Kuat lemahnya modal so sial sangat tergantung oleh kapasitas yang dimiliki oleh suatu kelompok untuk membangun sejumlah asosiasi dan jaringan yang solid.
26
Jaringan-jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Dalam menjalin interaksi dengan sesamanya, masyarakat memiliki karakteristik hubungan yang didasarkan atas prinsip kesamaan, kebebasan, kesukarelaan,
dan
keadaban.
Kemampuan
anggota -anggota
kelompok/
masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergitas akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok (Hasbullah, 2006: 9). Jaringan merupakan sumber pengetahuan yang menjadi dasar dalam pembentukan kepercayaan. Lawang (2004: 63) mengungkapkan bahwa jaringan menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan pengetasan masalah dapat berjalan secara efisien dan efektif. Berdasarkan tinjauan hubungan sosial yang membentuk jaringan so sial dalam suatu masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut: 1.
Jaringan kekuasaan, dimana hubungan sosial yang terbentuk bermuata n kepentingan kekuasaan.
2.
Jaringan kepentingan, dimana hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan sosial yang bermuatan kepentingan.
3.
Jaringan perasaan, dimana jaringan sosial yang terbentuk atas dasar hubungan sosial yang bermuatan peran.
M asing-masing jenis jaringan sosial tersebut memiliki logika -situasional yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya (Agusyanto, 2007: 34 -35).
27
Jaringan kepentingan terbentuk oleh hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus. Bila tujuan yang spesifik atau konkrit, seperti untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa sudah dicapai oleh pelaku, hubungan kepentingan itupun tidak dilanjutkan lagi. Struktur sosial yang muncul dari jaringan sosial tipe ini bersifat sementara dan terus berubah ubah, ruang bagi tindakan dan interaksipun lebih didasarkan pada tujuan relasional. Sebaliknya jika tujuan tersebut tidak konkret dan spesifik atau hampir selalu berulang setiap saat, struktur yang tebentuk relatif stabil atau permanen (Agusyanto, 2007: 35). Dasgupta
dan
Serageldin
(2002)
dalam
Vipriyanti
(2007:
24),
mengansumsikan bahwa setiap orang mampu berinteraksi dengan orang lain tanpa harus memilih. Tetapi sesungguhnya, setiap orang memiliki pola tertentu dalam berinteraksi, melakukan pilihan dengan siapa berin teraksi dan dengan alasan tertentu. Jaringan kerja pada awalnya merupakan sistem dari saluran komunikasi
(system
of
comm unication chanel)
untuk melindungi dan
mengembangkan hubungan interpersonal. M embangun saluran komunikasi ini membutuhkan biaya yang dikenal dengan biaya transaksi. Keinginan untuk bergabung dengan orang lain, sebagian disebabkan oleh adanya nilai-nilai bersama. Jaringan kerja juga berperan dalam membangun koalisi dan koordinasi. Secara umum dikatakan bahwa keputusan melakukan investasi dalam saluran tertentu disebabkan oleh adanya konstribusi saluran tersebut terhadap kesejahteraan ekonom i individu.
28
Jaringan kerja menekankan pada pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal antar manusia dan hubungan inter dan antar asosiasi tersebut. Granovetter dalam Vipriyanti (2007: 25), menyatakan bahwa ikatan inter masyarakat (strong ties) diperlukan untuk memberikan identitas pada keluarga dan masyarakat serta tujuan bersama. Pandangan ini juga menganggap bahwa tanpa ikatan antar masyarakat (weak ties) yang menghubungkan berbagai asosiasi sosial, maka ikatan horizontal yang kuat akan menjadi dasar untuk mewujudkan keinginan kelompok yang terbatas. Lawang dalam S uparman (2012: 41-42), mengatakan jaringan sosial apapun harus diukur dengan fungsi ekonomi dan fungsi kesejahteraan sosial sekaligus. Fungsi ekonom i menunjuk pada produktifitas, efisiensi dan efektifitas yang tinggi, sedangkan fungsi sosial menunjuk pad a dampak partisipatif, kebersamaan yang diperoleh dari suatu pertumbuhan ekonomi. Jaringan sosial seperti itu sajalah yang disebut sebagai kapital sosial. Jadi, jaringan teroris, narkoba dan perampok, biarpun mendatangkan untung bagi mereka yang masuk dalam jaringan tersebut, tetap merupakan ancaman bagi masyarakat secara keseluruhan, sehingga jaringan seperti itu bukan merupakan kapital sosial. 3. Norma (Share Value) Norma tidak
dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan, kalau
struktur jaringan itu terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antar dua orang. Sifat norma adalah muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan (Blau dan Fukuyama) dalam Suparman (2012:44), artinya kalau dalam
29
pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu norma yang muncul bukan hanya satu pertukaran saja. Kalau dari beberapa kali pertukaran prinsip saling menguntungkan dipegang teguh, maka dari situlah muncul norma dalam bentuk kewajiban sosial, yang intinya membuat kedua belah pihak merasa diuntungkan dari pertukaran, dengan demikian hubungan pertukaran itu dipelihara (Blau, dalam Lawang, 2004) dalam Suparman (2012:44). Lawang dalam Suparman (2012: 45), mengatakan norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Kalau struktur jaringan itu terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih, sifat norma kurang lebih sebagai berikut: 1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya kalau pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu, norma yang muncul disini, bukan sekali jadi melalui satu pertukaran saja. Norma muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan ini dipegang terus menerus menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus dipelihara. 2. Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma ini yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak, akan diberi sanksi negative yang sangat keras jaringan yang terbina lama dan
30
menjamin
keuntungan
kedua
belah
pihak
secara
merata,
akan
memunculkan norma keadilan, dan akan melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sanksi yang keras juga.
Secara nyata dalam keseharian, apabila dicermati se cara mendalam, semua perilaku aktivitas sosial-ekonomi warga masyarakat lokal melekat dalam jaringan hubungan-hubungan sosialnya. Sosial kapital dan kepercayaan (trust) dapat membuat dan memungkinkan transaksi-transaksi ekonomi menjadi lebih efisien dengan memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang terkait untuk bisa (1) mengakses lebih banyak informasi, (2) memungkinkan mereka untuk saling mengkoordinasikan
kegiatan
untuk
kepentingan
bersama,
dan
(3)
dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan opportunistic behavior melalui transaksitransaksi yang terjadi berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang.
Di Indonesia, studi tentang sosial kapital secara formal masih merupakan hal yang baru. Namun meskipun secara eksplisit belum menggunakan terminologi sosial kapital, sebenarnya telah ada beberapa studi terutama berupa kajian tentang hubungan kerjasama saling menguntungkan antar warga masyarakat di daerah pedesaan yang pada esensinya memiliki keterkaitan erat dengan sosial kapital. M empertimbangkan simpulan sementara bahwa elemen utama so sial kapital terdiri dari norm s, reciprocity, trust, dan network, maka sebenarnya hal tersebut secara historis bukan merupakan fenomena baru dan asing bagi masyarakat di Indonesia dan hal tersebut lebih berakar kuat dan terinstitusikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di daerah pedesaan. Semangat dan implementasi dari
31
kemauan untuk saling bekerjasama dalam upaya memenuhi kepentingan sosial dan kepentingan individu atau personal telah termanivestasikan dalam berbagai bentuk aktivitas bersama yang secara umum dikenal dengan kegiatan “ saling tolong-menolong” atau secara luas terwadahi dalam tradisi “gotong royong”. Tradisi gotong royong memiliki aturan main yang disepakati bersama (norm), menghargai prinsip timbal-balik dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dan dalam waktu tertentu akan menerima kompensasi/ reward sebagai suatu bentuk dari sistem resiprositas (reciprocity), ada saling kepercayaan antar pelaku bahwa masing-masing akan mematuhi semua bentuk aturan main yang telah disepakati (trust), serta kegiatan kerjasama tersebut diikat kuat oleh hubungan-hubungan spesifik antara
lain mencakup kekerabatan
(kinship),
pertetanggaan (neighborship) dan pertemanan (friendship) sehingga semakin menguatkan jaringan antar pelaku (network).
Tradisi gotong royong secara nyata telah melembaga dan mengakar kuat, ini diw ujudkan dalam berbagai aktivitas keseharian masyarakat Indonesia. Khususnya di pedesaan Jawa, praktek gotong royong walaupun cenderung mengalami penurunan baik dari sudut pandang lingkup aktifitas maupun jumlah orang yang terlibat, namun secara umum masih mendapatkan apresiasi positif oleh warga masyarakat. Hal ini nampaknya juga dipengaruhi oleh salah satu karakteristik khusus yaitu keeratan hubungan sosial yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Salah seorang peneliti terkemuka tentang masyarakat pedesaan Scott (1976) dalam Subejo (2008: 4) telah mengkategorikan masyarakat pedesaan Jawa sebagai
32
salah satu dari masyarakat pedesaan di dunia yang memiliki tradisi communitarian paling kuat.
Studi-studi yang terkait dengan so sial kapital di pedesaan Indonesia dan secara khusus di pedesaan Jawa umumnya masih dilakukan secara parsial da ri setiap elemen sosial kapital. S tudi lanjut yang lebih mendalam akan menjadi lebih komprehensif jika mampu mencakup semua aspek atau elemen sosial kapital yang dipraktekkan oleh warga masyarakat dalam berbagai aktifitas sosial dan ekonomi. Beberapa aspek kajian tentang elemen so sial kapital di pedesaan Indonesia khususnya di pedesaan Jawa oleh Iwamo dan S ubejo (2004 :5) telah digambarkan dalam suatu struktur. Eleman-elemen dasar tersebut antara mencakup institusi lokal yang memiliki fungsi pelayanan sosia l, kelompok sim pan pinjam berotasi/arisan, jaring pengaman sosial tradisional lainya, sistem pewarisan yang seimbang, sistem penyakapan dan bagi hasil serta pelayanan pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat. M elalui kajian elemen seperti tersebut akan da pat ditunjukkan peranan masing-masing elemen serta saling keterkaitan antar elemen yang memungkinkan masing-masing pihak terkait dalam kerjasama memperoleh optimal gain serta secara makro mampu memacu pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat lokal. Selain mengkaji masing-masing elemen so sial kapitalyang terpraktekkan di daerah pedesaan, nampaknya masih ada unsur lain yang tidak kalah pentingnya dan layak mendapatkan perhatian lebih intens yaitu “proses” kerjasama itu sendiri.
33
Tiga kata kunci dalam pembangunan pedesaan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu penguatan kelembagaan lokal, membangkitkan kapital sosial, dan mendinamiskan teknologi dan pendanaan. Pengembangan kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat elemen masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan ef isien dalam melaksanakan
pembangunan.
Kapital
sosial
mampu
mengembangkan
kelembagaan bahkan “melembagakan lembaga yang belum melembaga” namun kelembagaan belum tentu akan dapat menciptakan kapital sosial.
Begitu juga dengan BUM Desa, jika dalam pengelolaan BUM Desa adanya tiga komponen penting dalam kapital sosial tidak menutup kemungkinan dalam pengelolaannya akan berhasil. Jika tiga elemen itu saling melengkapi dimana adanya kepercayaan masyarakat kepada pengurus-pengurus BUM Desa dan unit-unit usahanya akan mampu menggerakkan BUM Desa. Di dalam BUM Desa pun adanya AD/ART BUM Desa sehingga adanya kejelasan aturan dalam setiap unit-unit usaha, seperti pembagian hasil usaha. Begitu juga dengan adanya jejaring bias dilakukan dalam pengembangan unit-unit usaha BUM a atau dalam hal penambahan modal BUM Desa.
Pembentukannya, BUM Desa dibangun atas prakarsa masyarakat serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif dan partisipatif. Selain itu, yang terpenting juga adalah pengelolaannya dilakukan secara pr ofesional dan mandiri.
34
BUM Desa
sebagai badan hukum, tentunya dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUM Desa dapat beragam di setiap desa di Indonesia.
Belajar dari pengalaman masa lalu, satu pendekatan baru yang diharapkan mampu menstim ulus dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan adalah melalui pendirian kelembagaan ekonomi yang dikelola
sepenuhnya
oleh
masyarakat desa, harus didasarkan pada keinginan masyarakat desa yang berangkat dari adanya potensi yang jika dikelola dengan tepat akan menimbulkan permintaan di pasar. Agar keberadaan lembaga ekonomi ini tidak dikuasai oleh kelompok tertentu yang memiliki modal besar di pedesaan. M aka kepemilikan lembaga itu oleh desa dan dikontrol bersama di mana tujuan utamanya untuk meningkatkan standar hidup ekonomi masyarakat.
Terdapat 7 (tujuh) ciri utama yang membedakan BUM Desa dengan lembaga ekonomi komersial pada umumnya yaitu:
1. Badan usaha ini dim iliki oleh desa dan dikelola secara bersama secara gotong royong; 2. M odal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%) melalui penyertaan modal (saham atau andil); 3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal (local wisdom);
35
4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi pasar; 5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa ( village policy); 6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes; 7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD, anggota).
BUM Desa sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal usaha BUM Desa harus bersumber dari masyarakat. M eskipun demikian, tidak menutup kemungkinan BUM Desa dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga. Ini sesuai dengan peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat penting untuk
mempersiapkan
pendirian
BUM
Desa,
karena
implikasinya
akan
bersentuhan dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (P erda) maupun Peraturan Desa (Perdes).
Ada empat peluang yang dapat diraih terkait BUM Desa. Pertama, Pemda berkewajiban dan berkeinginan untuk mewujudkan pemerintahan desa yang kuat di mana ekonomi kerakyatan berperan penting. Peran ekonom i kerakyatan seb agai ujung tombak kekuatan desa di masa depan ini ditopang BUM Desa dengan
36
memperkuat usaha-usaha kecil di pedesaan. Kedua munculnya program -program donor yang memfasilitasi berkembangnya BUM
Desa melalui dukungan
pendampingan yang handal. Ketiga, menekan arus Urbanisasi di Indonesia karena BUM Desa mampu menciptakan kesempatan kerja dan yang terpenting. Keempat, banyaknya unit usaha BUM Desa yang strategis dan memiliki keunggulan maupun potensi untuk berkembang dan berhasil. Dengan demikian, BUM Desa bisa meningkatkan kesejahteraan warga.
Kerangka teori yang di jelaskan di atas, akan penulis gunakan dalam melakukan analisa terhadap peranan modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa di Desa Karangrejek dan Desa Bleberan, Kabupaten Gunungkidul.
37