1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam menciptakan siswa-siswa yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap ilmiah. Pembelajaran IPA diarahkan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya merupakan penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berimplikasi pada kegiatan pembelajaran IPA di sekolah. Pembelajaran IPA haruslah memuat hakikat sains yang terdiri dari produk, proses dan sikap. Hakikat sains terdiri dari tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Ketiga komponen tersebut menjadi suatu keutuhan dalam proses belajar mengajar. Hendaknya guru dapat memberi pemahaman bagi siswa apa makna dari hakikat-hakikat pembelajaran IPA. Samatowa (2006) menjelaskan bahwa dalam suatu pembelajaran guru tidak dapat memisahkan konten dalam suatu kegiatan belajar. Sejalan dengan itu, Firman dan Widodo (2007) menjelaskan bahwa seorang guru sains dituntut untuk mempunyai gambaran yang jelas dan tepat tentang apa itu sains, sebab keyakinan tentang sains akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana seorang guru mengajarkan sains.
2
Pembelajaran IPA akan sangat bermakna ketika proses pembelajaran itu dimengerti dan dipahami oleh siswa, apa sebenarnya dari hakikat pembelajaran IPA tersebut. Pemahaman siswa terhadap konsep-konsep IPA, fenomena dan peristiwa-peristiwa alam dapat diamati di sekitar lingkungannya, melalui proses percobaan. Kegiatan proses tersebut menjadikan siswa memiliki sikap saintis dalam diri siswa secara berkelanjutan. Sikap saintis/ilmiah harus dipupuk dari sejak awal agar menjadikan mereka sebagai saintis yang sejati. Pada saat siswa melakukan proses inkuiri, siswa dituntut untuk dapat bersikap jujur, terbuka, dan memiliki rasa tanggung jawab. Penanaman nilai ini harus dipahami dan menjadi dasar dalam bersikap siswa pada kehidupan sehari-harinya. Artinya, ketiga unsur dari hakikat sains tersebut menjadi suatu keutuhan dalam proses pembelajaran IPA. Dari hasil observasi yang peneliti lakukan bahwa selama ini pembelajaran IPA di Sekolah Dasar cenderung lebih bersifat teoretis dan terkesan terpisah dari kehidupan nyata siswa dengan menitikberatkan pada bagaimana menghabiskan materi pelajaran dari buku teks. Pembelajaran IPA juga belum menggunakan pendekatan, model dan metode yang bervariasi dan inovatif. Guru cenderung menggunakan metode ceramah dan metode hafalan, sehingga siswa menjadi pasif dalam proses pembelajaran. Mereka hanya mendengar, menulis, dan menghafal apa yang diterangkan dan diperintahkan oleh gurunya. Artinya bahwa proses pembelajaran IPA, masih menitikberatkan pada pemahaman konsep siswa saja. Siswa tidak diarahkan untuk memahami pembelajaran seutuhnya yaitu sebagai produk, proses, dan sikap ilmiah siswa sehingga siswa kurang memahami esensi
3
pembelajaran IPA itu sendiri. Pemahaman terhadap hakikat sains sering terabaikan oleh guru dalam mengajarkan pembelajaran IPA. Guru merasa bahwa pemahaman terhadap hakikat sains kepada siswa tidak terlalu penting untuk dijelaskan, yang terpenting bagaimana siswa tersebut mampu menerapkan kegiatan metode ilmiah tersebut. Sehingga ketika siswa dilibatkan pada masalah yang berbeda dalam kehidupan nyata, mereka tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Karena siswa tersebut tidak memahami esensi/hakikat sains yang selama ini telah mereka pelajari di sekolah. Betapa pentingnya pemahaman hakikat sains diberikan kepada siswa. Sebagai guru hendaknya mampu memberikan penguasaan konsep dan pemahaman hakikat sains, serta mampu menerapkan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan keterampilan proses, sikap ilmiah secara tepat dan benar. Selanjutnya Firman dan Widodo (2007) menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran IPA bukanlah sekedar agar siswa menguasai konten/materi IPA. Kita tidak menginginkan anak-anak kita menjadi perpustakaan berjalan. Pelajaran IPA hendaknya menjadi wahana untuk mendidik anak-anak sehingga menjadi manusia, menguasai materi/konten IPA hanyalah sebagian kecil tujuan pelajaran IPA, hal yang lebih penting adalah agar melalui IPA anak-anak dapat berkembang menjadi manusia yang seutuhnya. Menguasai konsep bukanlah tujuan akhir. Sebaliknya IPA digunakan untuk mendidik anak-anak agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang seutuhnya. Untuk menjawab permasalahan yang terjadi, diperlukan upaya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran IPA agar dapat meningkatkan penguasaan
4
konsep siswa dan pemahaman hakikat sains siswa yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah siswa. Salah satu alternatif pembelajaran IPA yang diduga dapat meningkatkan penguasaan konsep dan pemahaman hakikat sains siswa adalah pembelajaran inkuiri terbimbing. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006) menyatakan bahwa pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkembangkan kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Hamalik (2004) menyatakan bahwa dalam inkuiri, seseorang bertindak sebagai seorang ilmuwan (scientist), melakukan eksperimen, dan mampu melakukan proses mental berinkuiri (pembelajaran inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar). Siswa berperan untuk menemukan sendiri konsep materi pelajaran. Guru berperan membimbing dan bertindak sebagai agen perubahan, fasilitator, motivator bagi siswanya. Khususnya di lingkungan sekolah dasar, membutuhkan bimbingan yang lebih intensif kepada siswa dalam menerapkan proses pembelajaran inkuiri. Oleh sebab itu untuk Sekolah Dasar sebaiknya menggunakan inkuiri terbimbing. Firman dan Widodo (2007) menjelaskan bahwa karena kemampuan untuk melakukan inkuri yang “sungguhan” masih belum memadai, maka biasanya yang digunakan disekolah adalah inkuri terbimbing
5
(guided inquiry). Melalui inkuiri terbimbing guru memberi bimbingan dan arahan kepada siswa sehingga siswa dapat melakukan kegiatan penyelidikan. Berkenaan dengan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar, dari hasil penelitian menunjukkan pembelajaran IPA inkuiri memiliki keunggulan dalam meningkatkan berbagai kemampuan penting yang harus dimiliki siswa. Penelitian yang dilakukan Hermita (2008) disimpulan bahwa penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing secara signifikan dapat lebih meningkatkan pemahaman konsep pesawat sederhana dibandingkan penggunaan model pembelajaran konvensional. Jannah (2009) menyatakan bahwa guru yang memiliki penguasaan konsep inkuiri yang sangat baik dalam mengkomunikasikan akan dapat memunculkan aspek ini dengan baik pula dalam pembelajaran. Dengan adanya pengetahuan dan pemahaman yang jelas serta diikuti oleh praktek yang baik maka akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kemampuan inkuiri. Sejalan dengan itu Adi Putra (2009) menjelaskan bahwa pemahaman guru terhadap hakikat pembelajaran IPA meningkat seiring dengan dilakukannya program peer coaching terhadap guru. Dari paparan di atas, terlihat pembelajaran inkuiri terbimbing sangat penting untuk dilakukan dalam proses pembelajaran IPA. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh National Science Education Standards Amerika Serikat (NSES, 2000) bahwa standar dalam pembelajaran IPA adalah terjadi suatu perubahan penekanan pada proses pembelajaran yaitu penekanan dalam materi, sifat sains dan strategi yang merangsang dan mengimplementasikan inkuiri dalam
6
pembelajaran. Dengan demikian, guru diharapkan mampu mengaplikasikan inkuiri pada setiap proses pembelajaran IPA. Sedangkan
dalam
penelitian
yang
dilakukan
Susilawati
(2009)
menjelaskan bahwa guru belum memahami hakikat sains seutuhnya. Masih rendahnya pemahaman hakikat sains oleh guru, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : (1) Kurangnya pemahaman konsep hakikat sains yang dimiliki guru, hal ini disebabkan guru tidak memperoleh pengetahuan yang jelas tentang hakikat sains, (2) Latar belakang pendidikan guru yang mayoritas non sains, (3) Keikutsertaan guru dalam berbagai kegiatan akademik, yang pada umumnya mengikuti kegiatan akademik secara umum (4) Motivasi untuk belajar (5) Beban mengajar dan kesibukan guru yang terlalu banyak karena guru Sekolah Dasar merupakan guru wali kelas yang mengajarkan semua mata pelajaran kepada siswa kecuali agama dan olahraga. Sehingga guru tidak seutuhnya memahami hakikat sains karena harus memahami konsep mata pelajaran yang lainnya. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pembelajaran IPA akan menghambat ketercapaian tujuan pembelajaran IPA. Hakikat sains merupakan pondasi yang terpenting pada tujuan pembelajaran IPA. Ketika guru tidak memahami hakikat sains, maka akan sulit untuk mencapai tujuan tersebut. Demikian juga kemampuan pemahaman hakikat sains siswa akan sangat berpengaruh untuk ketercapaian tujuan pembelajaran IPA. Apabila siswa tidak memahami hakikat pembelajaran IPA maka akan sulit bagi mereka untuk memaknai dari setiap proses pembelajaran IPA yang mereka lakukan. Oleh sebab
7
itu, pentingnya pemberian pemahaman hakikat sains bagi siswa, agar kebermaknaan belajar IPA dapat dirasakan oleh mereka. Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan, orientasi hakikat sains diarahkan kepada guru-guru, dan siswa sangat jarang tersentuh dengan kemampuan pemahaman hakikat sains ini. Hal ini mendeskripsikan bahwa ketika esensi dari pembelajaran IPA tersebut dilupakan maka pembelajaran yang diharapkan tentu tidak akan tercapai. Konsep sifat-sifat cahaya merupakan salah satu Standar Kompetensi Dasar yang harus dipelajari oleh siswa kelas V pada semester genap. Pada konsep sifatsifat cahaya, siswa diarahkan untuk dapat memahami sifat-sifat cahaya dan mampu membuat sebuah karya atau model. Kompetensi Dasar konsep sifat-sifat cahaya dapat mengarahkan siswa untuk berperan aktif dan menumbuhkan rasa ingin tahu siswa. Pada materi ini, pengembangan kemampuan berinkuiri siswa dapat dilakukan. Siswa dapat menjelajahi setiap konsep-konsep sifat-sifat cahaya melalui langkah-langkah pembelajaran inkuiri yang dapat mengembangkan siswa kepada kemampuan menguasai konsep sifat-sifat cahaya dan memahami hakikat sains secara lebih bermakna. Konsep sifat-sifat cahaya sangat cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran inkuiri terbimbing. Dalam penjabaran konsep sifat-sifat cahaya menjelaskan sifat-sifat cahaya yang dapat dilakukan melalui proses percobaan atau pengamatan langsung oleh siswa. Hal ini dapat mendorong kemampuan siswa untuk memahami hakikat sains secara utuh. Jannah (2009) dalam hasil analisisnya menunjukkan bahwa kemampuan guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Negri (MIN) dalam menyajikan materi cahaya pada saat melaksanakan
8
pembelajaran melalui pembelajaran berbasis inkuiri termasuk dalam kategori baik. Pembelajaran IPA berbasis inkuiri pada materi cahaya menjadikan pembelajaran IPA menyenangkan dan tidak membosankan bagi siswa MIN. Untuk memperoleh gambaran apakah pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan penguasaan konsep dan pemahaman hakikat sains siswa dalam pembelajaran di kelas, maka sangat penting dilakukan suatu penelitian. Berdasarkan pernyataan di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Penerapan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Pemahaman Hakikat Sains Siswa Sekolah Dasar”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah Penerapan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dapat Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Pemahaman Hakikat Sains Siswa Kelas V Sekolah Dasar” Adapun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses pelaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing pada kelas V Sekolah Dasar? 2. Adakah perbedaan peningkatan penguasaan konsep antara siswa yang mendapatkan
pembelajaran
inkuiri
terbimbing
dengan
siswa
yang
mendapatkan pembelajaran konvensional pada kelas V Sekolah Dasar? 3. Adakah perbedaan peningkatan pemahaman hakikat sains antara siswa yang mendapatkan
pembelajaran
inkuiri
terbimbing
dengan
siswa
mendapatkan pembelajaran konvensional pada kelas V Sekolah Dasar?
yang
9
C. Pembatasan Masalah Agar permasalahan di dalam penelitian ini tidak meluas, penelitian ini dibatasi pada penguasaan konsep yang diteliti dengan penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu materi “Sifat-Sifat Cahaya” pada pelajaran IPA Kelas V semester 2 yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya.
D. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing pada kelas V Sekolah Dasar 2. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan penguasaan konsep antara siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional pada kelas V Sekolah Dasar 3. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan pemahaman hakikat sains antara siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional pada kelas V Sekolah Dasar
E. Definisi Operasional Variabel 1. Pembelajaran inkuiri terbimbing adalah pembelajaran dengan proses penyelidikan/penemuan yang memiliki langkah-langkah kerja ilmiah untuk membentuk karakteristik saintis dan sikap ilmiah siswa yang dilakukan melalui bimbingan guru. Langkah-langkah tersebut adalah: merumuskan
10
masalah; mengajukan hipotesis; merencanakan dan melaksanakan suatu penyelidikan sederhana; pengumpulan data dengan menggunakan peralatan dan
cara-cara
yang
tepat
untuk
mengumpulkan,
menganalisis
dan
menginterprestasikan data; membuktikan hipotesis dengan mengembangkan deskripsi, penjelasan, model –model dengan menggunakan fakta-fakta yang ada, dan menjelaskan hubungan antara fakta-fakta dan penjelasan; mengkomunikasikan langkah-langkah dan hasil penyelidikan 2. Penguasaan konsep IPA adalah kemampuan kognitif siswa dalam menguasai konsep-konsep IPA melalui suatu fenomena, kejadian, obyek, atau kegiatan yang terkait dengan materi IPA yaitu pada sifat-sifat cahaya. Indikator penguasaan
konsep
terdiri
dari:
pengetahuan
hafalan,
pemahaman
/komprehensi, penerapan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Bloom (dalam Purwanto, 1988) membagi tingkat kemampuan atau tipe hasil belajar yang termasuk aspek kognitif menjadi enam, yaitu: pengetahuan hafalan, pemahaman /komprehensi, penerapan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Penguasaan konsep IPA siswa diukur melalui tes pilihan ganda penguasan konsep sifat-sifat cahaya, yaitu tes sebelum dan sesudah pembelajaran. 3. Pemahaman hakikat sains diartikan sebagai kemampuan pemaknaan terhadap produk, proses dan sikap yang dikembangkan dalam IPA. Khususnya pemaknaan siswa terhadap pembelajaran IPA sebagai sebuah kegiatan pembelajaran di kelas. Pemahaman hakikat sains siswa diukur melalui tes pilihan ganda pemahaman hakikat sains, yaitu tes sebelum dan sesudah pembelajaran.
11
Indikator sains sebagai produk dalam pembelajaran yaitu: (a) Ilmu pengetahuan berlandaskan pada fakta empiris, (b) Teori yang lebih tepat daripada teori sebelumnya dapat mengubah ilmu pengetahuan (c) Pengetahuan ilmiah didasarkan pada bukti eksperimental, (d) Ilmu pengetahuan adalah suatu usaha untuk menjelaskan gejala, (e) Ilmu pengetahuan berlandaskan pada argumentasi yang logis, (f) Ilmu pengetahuan bersifat objektif, (g) Ilmu pengetahuan dibangun oleh apa yang telah ada sebelumnya, (h) Produk sains berupa hukum, teori, fakta, konsep dan prinsip, (i) Ilmu pengetahuan berperan penting dalam teknologi. Indikator sains sebagai proses adalah: (a) Pengetahuan ilmiah bersifat sementara (b) Ilmu pengetahuan harus dapat diuji, (c) Pengetahuan ilmiah berdasarkan pada pengamatan, (d) Metode ilmiah merupakan cara untuk melakukan
penyelidikan
meliputi
merumuskan
masalah,
mengajukan
hipotesis, membuktikan hipotesis dan membuat kesimpulan, (e)
Ilmu
pengetahuan yang diuji menjadi kerangka berfikir bagi ilmu pengetahuan Indikator sains sebagai sikap ilmiah adalah: (a) Ilmuwan tidak pernah puas terhadap ilmu pengetahuan, (b) Ilmu pengetahuan bersifat konsisten, (c) Ilmuwan harus terbuka pada ide baru, (d) Ilmuwan bersifat jujur, (e) Ilmu pengetahuan menjadi bagian dari tradisi intelektual, (f) Ilmuwan harus bertanggung jawab terhadap keilmuwannya
12
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi guru dalam memperbaiki proses dan hasil pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dalam upaya meningkatkan kualitas belajar siswa. Adapun manfaat lain dari penelitian ini yaitu: 1. Bagi kepala sekolah, agar menjadi pertimbangan guna memfasilitisasi guru dalam menerapkan pembelajaran inkuiri terbimbing untuk meningkatkan penguasaan konsep dan pemahaman hakikat sains siswa. 2. Bagi guru, untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang penerapan inkuiri terbimbing di dalam kelas, sehingga dapat menambah wawasan guru untuk melaksanakan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dalam rangka mengembangkan dan menanamkan sikap-sikap positif pada siswa terkait dengan belajar melalui proses berinkuiri. 3. Bagi siswa, melalui penggunaan pembelajaran inkuiri terbimbing ini lebih dapat meningkatkan motivasi belajar, mengembangkan kemampuan berinkuiri dan memiliki sikap ilmiah sehingga mampu memecahkan permasalahanpermasalahan sederhana yang dihadapinya. 4. Bagi peneliti lain, temuan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk kegiatan penelitian lebih lanjut.
G. Asumsi Anggapan dasar atau asumsi adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti harus dirumuskan secara jelas. Faedahnya adalah (Arikunto:2006):
13
1. Untuk memperkuat permasalahan 2. Membantu peneliti dalam memperjelas menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan data, instrumen pengumpulan data. Asumsi atau anggapan dasar yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Motivasi belajar siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda. 2. Aktivitas siswa di luar sekolah pada kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak berbeda. 3. Minat siswa dalam mempelajari materi konsep sifat-sifat cahaya pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda.
H. Hipotesis Penelitian H01
Tidak terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep yang
=
signifikan antara siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional
Ha1
=
Terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep yang signifikan
antara siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
14
H02
=
Tidak terdapat perbedaan peningkatan pemahaman hakikat sains yang
signifikan antara siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional Ha2
=
Terdapat perbedaan peningkatan pemahaman hakikat sains yang
signifikan antara siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah eksperimen semu (Quasi Experimental Design) dengan disain matching pretest-posttest control group design. Terdapat dua kelas penelitian yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perbedaan antara kedua kelas tersebut adalah perlakuan dalam proses pembelajaran, pada kelas eksperimen menggunakan pembelajaran inkuiri terbimbing, sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Data yang digunakan dalam penelitian yaitu tes penguasaan konsep dan tes pemahaman hakikat sains, RPP dan LKS sebagai perangkat pembelajaran inkuiri terbimbing, dan lembar observasi keterlaksanaan model, angket respon siswa, dan pedoman wawancara guru sebagai instrumen pelengkap.
G. Lokasi dan Sampel Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas V seluruh SDN yang berlokasi di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh Provinsi Aceh. Sampel ditetapkan pada 4 Sekolah Dasar. Pengambilan sampel penelitian ini didasarkan
15
pada data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh yaitu nilai Ujian Standar Badan Nasional (USBN) mata pelajaran IPA di setiap Sekolah Dasar Kecamatan Baiturrahman yang ditetapkan pada tingkatan sedang. Pengelompokkan sampel terdiri atas 2 kelas eksperimen (SD 3, SD 33) dan 2 kelas kontrol (SD 22, dan SD 5).