BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Krisis energi menjadi topik yang banyak dibahas beberapa tahun ini
mengingat kondisi persediaan energi fosil tak terbaharui seperti minyak bumi yang semakin menipis. Sejalan dengan itu juga munculnya isu global warming yang salah satu akibatnya adalah peningkatan suhu dunia. Sebelas dari duabelas tahun terakhir menunjukkan tahun - tahun terpanas sejak 1850. Rata – rata suhu udara global telah meningkat setidaknya 0,74 derajat C selama abad 20 dimana dampaknya paling terasa di daratan dibanding di lautan (Data UNEP, 2007). Peningkatan suhu ini memberikan dampak terhadap penambahan pemanfaatan energi untuk kepentingan kenyamanan bangunan. Di seluruh belahan bumi, bangunan menempati peringkat tertinggi sebagai pengkonsumsi energi tertinggi dan penghasil gas penyebab efek glasshouse terbesar pula (Carrilho da Graça, dkk, 2002). Hal tersebut didukung oleh data pada tahun 2007 bahwa konsumsi energi yang terbesar adalah berasal dari bangunan seperti yang ditunjukkan di dalam Gambar 1. Sementara, berdasar laporan IEA yang terbaru, bangunan saat ini mencapai 40% dari konsumsi energi primer di sebagian besar negara, dan juga merupakan sumber signifikan dari emisi karbon dioksida. IEA telah mengidentifikasi sektor bangunan sebagai salah satu yang paling hemat biaya sektor untuk mengurangi konsumsi energi. Selain itu, dengan mengurangi permintaan energi secara keseluruhan, meningkatkan efisiensi
1
energi di gedung-gedung secara signifikan dapat mengurangi karbon dioksida (CO2) dari sektor bangunan.
Gambar 1. Diagram Konsumsi Energi Dunia Tahun 2007 Sumber: IEA, 2009 (Missaoui and Mourtada, 2010) Seperti yang dikutip dari laporan IEA, bahwa penggunaan energi global di sektor rumah tangga meningkat antara tahun 1990 dan 2005 sebesar 19% mencapai 82 EJ. Rumah tangga adalah satu-satunya pengguna akhir utama sektor mana peningkatan konsumsi energi sejak tahun 1990 telah lebih besar di negaranegara OECD (+22%) daripada di negara non-OECD (+18%). Listrik dan gas alam adalah komoditas energi utama yang digunakan di negara-negara OECD, menyediakan 72% dari kebutuhan energi total rumah tangga pada tahun 2005. Penggunaan listrik telah meningkat pesat di negaranegara, sebagian besar disebabkan oleh peningkatan penetrasi dari peralatan yang berbeda. Dalam negara non-OECD, energi terbarukan (biomassa kebanyakan tradisional) tetap komoditas akuntansi energi dominan untuk 59% dari penggunaan energi final, namun sahamnya menurun. Namun, penggunaan listrik meskipun akuntansi hanya pangsa 10% pada tahun 2005 - adalah jauh komoditas
2
energi paling cepat berkembang, penggunaannya meningkat 140% sejak tahun 1990,13 Di district heating Rusia tetap penting di sektor rumah tangga dengan pangsa 48%. Sebagai akibat dari peningkatan konsumsi energi final dan perubahan bauran energi global, rumah tangga emisi CO2 meningkat antara tahun 1990 dan 2005 sebesar 21% mencapai 4,5 Gt CO2. Ini sedikit lebih besar dari peningkatan penggunaan energi final, menyiratkan intensitas CO2 meningkat dari bauran energi rumah tangga. Meneliti emisi rumah tangga atas dasar per kapita mengungkapkan bahwa pada tahun 2005 emisi rata-rata global adalah 0,7 ton CO2 per orang, luas sama seperti pada tahun 1990. Namun, ada perbedaan besar antara negara-negara. Per kapita emisi CO2 di negara-negara OECD yang ratarata lebih dari lima kali lebih tinggi daripada di negara-negara non-OECD. Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh kombinasi penggunaan energi rumah tangga yang lebih rendah per kapita di negara-negara non-OECD dan intensitas karbon yang lebih rendah dari bauran energi, karena bagian yang besar dari energi terbarukan. Seperti yang telah banyak diketahui secara umum, sumber energi fosil di bumi memiliki keterbatasan. Tingginya konsumsi energi tersebut yang tanpa diimbangi suatu proses timbal balik yang memadai, dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan bumi dalam mendukung kehidupan di atasnya. Selain itu, tingginya konsumsi energi akan berbanding lurus dengan besarnya emisi gas buangan berupa CO2 yang akan berpengaruh besar terhadap pemanas global. Krisis energi dunia yang diikuti dengan konsekuensi pemanas global tersebut
3
menimbulkan semakin tingginya kesadaran akan konsep building energy efficiency. satu kebutuhan penghuni bangunan yang cukup banyak membutuhkan energi fosil adalah mencapai kenyamanan termal. Di dalam tulisannya, Spielvogel (1979) menjelaskan bahwa kebutuhan energi terbesar yang oleh bangunan hunian digunakan untuk climate control. Spielvogel juga memberikan contoh besarnya kebutuhan energi yang dikonsumsi oleh sebuah bangunan shopping mall seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. fungsi bangunan Tabel 1. Konsumsi energi di sebuah shopping mall Energy Usage in a Shopping Mall BTU/ft2/year Auto center 74,000 Department store 114,000 Department store 102,000 Variety store 100,000 Restaurant 409,000 Bank 131,000 Drug store 129,000 Food market 205,000 Dry cleaner 688,000 Book store 104,000 Doughnut store 326,000 Sumber: Spielvogel, 1979
Oleh karena itu, kualitas termal suatu bangunan dan kondisi kerasnya cuaca menjadi pengaruh yang sangat utama terhadap pemanfaatan energi. Sementara, konsumsi energi oleh bangunan non-hunian diperuntukkan bagi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat lebih kompleks. Secara garis besar, kebutuhan tersebut adalah berasal dari:
4
a. sistem climate control yang dipakai b. pendistribusian energi c. jam operasional d. kualitas termal bangunan Fakta yang terjadi di Indonesia pun tidak berbeda. Suprapto (1992) dalam Majalah “Konstruksi dalam Standar Perancangan Konservasi Energi pada Bangunan Gedung” menyatakan bahwa dari hasil-hasil studi dan kegiatan audit energi yang telah dilakukan oleh berbagai instansi seperti Ditjen Listrik dan Pengembangan Energi (1982-1983), Direktorat Tata Bangunan, Dirjen Cipta Karya (1984), Puslitbang Fisika Terapan – LIPI (1985), dan ITB (1985), diperoleh rentang distribusi pemakaian energi spesifik sesuai dengan jenis penggunaan bangunan seperti yang dapat dilihat di Tabel 2. Tabel 2. Rentang Distribusi Pemakaian Energi Rentang Distribusi Pemakaian Energi Spesifik Dalam persen (%) Sistem pendingin udara
55 – 65
Sistem pencahayaan buatan
12 – 17
Lift dan escalator
10 -15
Peralatan lainnya
9 - 13
Sumber: Suprapto, 1992 Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa penggunaan energi terbesar adalah sistem pendingin udara, yakni sebesar 55 – 65% dari keseluruhan energi yang digunakan. Oleh karena itu, apabila berhasil dilakukan penghematan energi
5
terhadap komponen fungsi tersebut, maka akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap konsumsi energi secara keseluruhan. Konsep bangunan dengan efisiensi energi sangat penting karena jika melihat pada penggunaan energi secara global, sektor bangunan sendiri menyerap 45 % dari kebutuhan energi keseluruhan. Pemanfaatan energi dalam bangunan ini khususnya untuk pemanas, pendingin dan pencahayaan bangunan. Konsumsi energi yang terbesar dalam bangunan baik dalam fungsinya sebagai hunian maupun kantor adalah untuk memenuhi kebutuhan akan listrik yang digunakan untuk pencahayaan buatan, pendingin dan pemanas ruang (Mintorogo, 1999). Meski komposisi konsumsi energi mayoritas adalah di antara kedua fungsi ini, namun secara umum yang terbesar adalah kebutuhan listrik. Konsumsi energi terbesar pada sebuah hunian adalah untuk memenuhi kebutuhan akan listrik sejumlah 67,5% dari keseluruhan konsumsi energi. Ini menunjukkan bahwa dalam perencanaan bangunan untuk tujuan efisiensi energi yang paling harus diperhatikan adalah pengaruhnya terhadap penghematan penggunaan energi listrik yang termasuk sebagai purchased energy. Saat ini, penggunaan sistem pengkondisian udara (air conditioning system) dalam bangunan di Indonesia sudah semakin umum dilakukan. Tidak hanya bangunan perkantoran dan komersial, pemakaian AC telah lazim pula di kalangan bangunan hunian. Dengan kondisi iklim di Indonesia yang berupa tropis lembab, di mana intensitas cahaya matahari sangat tinggi, pemakaian AC telah bergeser menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Keuntungan utama dari penggunaan AC adalah cepatnya dicapai suhu ruangan yang diinginkan sehingga
6
kondisi termal yang nyaman pun dapat tercipta dengan cepat pula. Akan tetapi, bila penggunaan sistem pengkondisian udara tersebut tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan dampak pemakaian energi yang tidak baik pula. Semakin besar beban panas yang harus didinginkan, semakin tinggi beban konsumsi energi yang dibutuhkan. Berlaku pula sebaliknya, di mana apabila beban panas yang diterima oleh sistem dapat ditekan seminimal mungkin, maka beban konsumsi energi yang dibutuhkan oleh AC akan semakin kecil. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk menekan kebutuhan energi oleh sistem pendingin udara adalah dengan cara meminimalisasi panas yang berada di dalam ruangan. Terkait dengan beban pengolahan panas yang harus diterima oleh sistem pengkondisian udara, lamanya waktu operasional sistem tersebut juga memberikan pengaruh terhadap konsumsi energi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, adalah cukup penting untuk menjaga suhu di dalam ruangan agar dapat sesejuk dan senyaman mungkin dalam waktu yang relatif panjang.
1.2.
Rumusan Permasalahan Upaya penghematan energi dalam sistem pendinginan bangunan dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu yang cukup dikenal adalah dengan strategi passive cooling. Menurut Givoni (1994), strategi passive cooling dibedakan menjadi empat macam, yakni ventilative cooling, evaporative cooling, radiant cooling, dan ground coupled cooling. Strategi ventilative cooling dibagi menjadi dua yakni daytime ventilation yang telah cukup lazim digunakan pada rumah-rumah tropis dan night ventilative cooling.
7
Night ventilative cooling adalah merupakan salah satu strategi passive cooling yang mengandalkan fungsi thermal mass dan memanfaatkan hembusan angin di malam hari untuk mendinginkan thermal mass tersebut yang menyimpang perolehan panas sepanjang siang hari. Strategi pendinginan ini disebut juga sebagai night flushing ventilation. Cara pendinginan ini bertujuan untuk menurunkan suhu masa bangunan sepanjang malam agar dapat menyerap panas sepanjang siang esoknya. Apabila strategi pendinginan tersebut efektif menyerap perolehan panas di siang hari serta dapat menurunkan temperatur ruangan
maksimal,
maka
dapat
dicapai
efisiensi
penggunaan
sistem
pengkondisian udara di siang hari yang lebih optimal. Sebagai salah satu bentuk dari strategi passive cooling yang memanfaatkan hembusan angin yang dimasukkan ke dalam bangunan, isu strategi night ventilative cooling masih kurang populer dibandingkan dengan daytime ventilation dalam pertimbangan alternatif passive design di Indonesia. Dalam riset-riset terdahulu, strategi ini lebih banyak direkomendasikan untuk bangunan yang berada di iklim yang bersifat hot-dry maupun iklim sub-tropical yang memiliki musim panas yang bersifat panas dan kering. Namun sekitar 10 tahun belakangan, sejumlah riset atas strategi night ventilative cooling dilakukan terhadap kasus-kasus bangunan di daerah beriklim tropis yang bersifat hot-humid seperti Malaysia dan beberapa kota di Israel. Hasil dari riset-riset tersebut menunjukkan bahwa strategi tersebut memiliki kemungkinan untuk berhasil jika diterapkan di daerah dengan iklim tropis yang bersifat hot-humid. Berlandaskan
8
pada hal tersebut di atas, maka penelitian terhadap potensi strategi night ventilative cooling ini dirasakan perlu juga dilakukan di Indonesia.
1.3.
Lingkup Pembahasan Fokus pembahasan adalah pada penerapan strategi night ventilative
cooling dikomparasikan dengan strategi ventilative cooling lain yang lazim digunakan di Indonesia. Dengan mempertimbangkan faktor kondisi iklim dan letak yang strategis, riset ini mengambil kasus lokasi berupa kota Bogor dan dilakukan pada bangunan hipotetik dua lantai dengan fungsi perkantoran. Pembahasan utamanya akan berfokus pada hasil penerapan strategi night ventilative cooling dengan karakter iklim kota Bogor.
1.4.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan
penellitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan strategi night ventilative cooling alami terhadap strategi passive cooling lain yang biasa diterapkan di Indonesia? 2. Bagaimana karakter strategi night ventilative cooling alami jika diterapkan pada bangunan di iklim Kota Bogor? 3. Apakah strategi night ventilative cooling alami dapat efektif apabila diterapkan terhadap bangunan di iklim Kota Bogor?
9
1.5.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah strategi night
ventilative cooling secara alami dapat efektif apabila diterapkan di daerah beriklim tropis basah seperti negara Indonesia dengan melakukan pengamatan terhadap variabel-variabel yang terkait. Dengan demikian, hasil tersebut dapat bermanfaat untuk memperkaya alternatif pilihan strategi passive cooling yang dapat diterapkan di Indonesia.
1.6.
Keaslian Penelitian Keaslian peneltian dimulai dari pembahasan peta penelitian tentang
strategi night ventilative cooling yang pernah dilakukan di dunia.
Tabel 3. Perbandingan penelitian yang pernah dilakukan terhadap night ventilative cooling Tahun - Penulis - Judul
Fokus penelitian
Objek
Metode dan Alat
Percobaan yang terstruktur untuk 1992 - Mohammad Maqsood
mengidentifikasi potensi
Bajwa
peningkatan kenyamanan
“Effectiveness of nocturnal
langsung dan diinduksi teknik
Bangunan hunian.
Predicted Mean Vote
ventilative passive cooling
pendinginan nokturnal konvektif
Kawasan Teluk
sebagai indikator
strategy in the maritime
melalui penggunaan ventilasi
Arab
penentu hasil
desert climate of the Arabian
terkontrol selama periode yang
Gulf region”
telah ditentukan kondisi sekitar
Menggunakan Fanger
penelitian.
yang menguntungkan. 1993 - Baruch Givoni
Evaluasi keberhasilan penerapan
“Effectiveness of mass and
nighttime ventilative cooling pada
night ventilation in lowering
penurunan temperatur ruangan
the indoor daytime
pada siang hari dengan berfokus
temperatures.”
pada variabel mass levels.
10
3 buah bangunan model skala 1:1 Pala, South California, US
Real time experiment dengan bantuan alat sensor thermal yang dihubungkan ke seperangkat komputer
di laboratorium UCLA Evaluasi terhadap penerapan nighttime ventilative cooling pada 2001 - Edna Shaviv
sebuah bangunan apartemen yang
Real time experiment
“Thermal mass and night
tipikal di sebuah kawasan Israel
Bangunan hunian.
dengan menggunakan
ventilation as passive cooling
dengan iklim hot-humid.
Israel.
alat bantu simulasi
design strategy”
Simulasi dilakukan terhadap 4
program.
macam kondisi penghawaan dan 4 level thermal mass 2002 - Guilherme Carrilho da Graca “Simulation of wind driven ventilative cooling systems for an apartment building in Beijing and Shanghai”
Makalah ini menyajikan evaluasi kinerja dari dua strategi passive cooling yakni ventilasi siang hari dan pendinginan malam pada bangunan, generik enam lantai apartemen pinggiran kota di
Metode simulasi Bangunan hunian
menggunakan program
berlantai banyak.
komputer CFD dengan
Beijing dan
indikator kenyamanan
Shanghai
termal berdasar Fanger (PMV)
Beijing dan Shanghai. Analisa cost-benefit terhadap keterkaitan antara hasil penurunan
2003 - Olli Seppanen, dkk “Cost benefit analysis of the night-time ventilative cooling in office building”
temperatur ruangan di siang hari dengan produktivitas kerja para pekerja kantor. Objek analisa adalah berupa data penurunan temperatur ruangan hasil riset penerapan strategi night
Bangunan dengan fungsi perkantoran. Daerah yang memiliki hot summer di US
Content analysis terhadap data-data yang diambil dari hasil riset oleh Kolokotroni, 2001
ventilative cooling. 2006 - Tetsu Kubota “A Field Experiment on the Cooling Effect of Night Ventilation in Malaysian Terraced Houses”
Evaluasi terhadap penerapan
Real-time experiment
strategi night ventilative cooling
Bangunan hunian.
dengan menggunakan
terhadap terraced house di Johor
Malaysia
alat berupa sensor
Bahru, Malaysia
thermal
2010 - Kenneth A. Griffin
Evaluasi terhadap penerapan
“Night Flushing and Thermal
nighttime ventilative cooling pada
Mass Maximizing Natural
tiga buah bangunan yakni the
Bangunan publik.
Ventilation for Energy
Lakeview Terrace Library, the
California, US
Conservation Through
California Science Center, and the
Architectural Features”
Santa Clarita Transit Facility.
11
Metode simulasi program menggunakan IESVE-Pro diikuti serangkaian tes parametrik.
Penelitian terhadap strategi night ventilative cooling secara umum dilakukan dengan basis simulasi yang memanfaatkan perangkat komputer, baik oleh simulasi yang bersifat real-time experiment maupun simulasi yang murni menggunakan aplikasi program komputer. Hasil akhir penelitian-penelitian di atas secara garis besar menggunakan selisih antara temperatur udara di dalam ruangan dengan di luar bangunan (ambient air) sebagai alat ukur keberhasilan penerapan strategi night ventilative cooling. Berdasarkan uraian di atas, posisi penelitian ini berada di dalam kategori penelitian simulasi dengan bangunan hipotetik dengan asumsi data yang bersumber dari standar dan praktek yang ada di lapangan. Pengembangan dari penelitian ini adalah fokus lokasi dilakukan di Indonesia dengan iklim tropis lembab (hot humid) dengan data iklim Kota Bogor.
12