BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting dalam perkembangan individu. Pada saat individu menginjak masa remaja, beberapa unsur dalam dirinya mengalami perubahan. Hurlock (2004: 207) menjelaskan tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Sebagian remaja menurut Hurlock bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan kebebasan, tetapi sering takut bertanggung jawab dan meragukan kemampuan untuk mengatasi tanggung jawab tersebut. Sikap ambivalen remaja terhadap perubahan mengakibatkan banyak remaja terutama pada masa awal tidak menguasai tugas-tugas perkembangan. Hurlock (2004: 213) mengemukakan salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah melakukan penyesuaian sosial. Remaja (siswa) harus memperluas pergaulan sosial dan bergaul secara harmonis baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa dalam berbagai situasi termasuk di lingkungan sekolah. Penyesuaian sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hurlock (1990: 231) mengemukakan “penyesuaian sosial siswa di sekolah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dalam diri siswa maupun dari luar dirinya”. Surya (Sugianto, 2006: 5) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian sosial siswa adalah:
1
1) kondisi jasmaniah, yang meliputi pembawaan, susunan jasmaniah, sistem syaraf, kelenjar otot, kesehatan dan lain-lain, 2) kondisi perkembangan dan kematangan meliputi kematangan sosial, moral, dan emosional, 3) kondisi lingkungan meliputi rumah, sekolah dan masyarakat; 4) penentu budaya (kultur) dan agama, 5) penentu psikologis yang meliputi pengalaman belajar pembiasaan, frustasi dan konflik. Faktor kondisi lingkungan tempat siswa berinteraksi memberikan pengaruh yang besar dibanding faktor yang lainnya. Kondisi lingkungan akan memfasilitasi penyesuaian sosial. Bagi siswa, kondisi lingkungan yang ikut memberikan pengaruh yang cukup besar dalam penyesuaian sosial adalah lingkungan sekolah, karena siswa menghabiskan sebagian waktunya di sekolah. Sekolah sebagai lingkungan sosial tempat siswa mengembangkan hubungan sosial dengan teman sebaya dan orang dewasa, harus
mampu
menciptakan dan memberikan suasana psikologis yang mendorong siswa untuk melakukan penyesuaian sosial. Rifai (1980: 70) mengemukakan dalam fungsi sosialnya, sekolah harus dapat membantu siswa agar memiliki kemampuan penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial siswa di sekolah ditunjukkan melalui hubungan interpersonal yang harmonis dengan teman, guru-guru, staf TU dan karyawan dan keaktifan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu menurut Sugiyanto (2006: 2) sikap penyesuaian sosial yang baik di sekolah juga ditunjukan oleh kepatuhan
2
siswa terhadap tata tertib dan peraturan sekolah sehingga dapat diterima di lingkungannya. Fenomena yang terjadi selama melaksanakan PPL (Program Pengalaman Lapangan) di SMP Pasundan 3 Bandung dan observasi awal pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2007 diketahui, masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial. Sikap dan perilaku yang ditunjukan diantaranya sering menentang guru, tidak masuk sekolah tanpa alasan, terlambat masuk sekolah, tidak mengerjakan PR, mengisolir diri, sulit bekerja sama, mengganggu teman, saling bermusuhan, berkelahi, membolos, melanggar aturan sekolah, dan masih banyak lagi gejala lain yang menunjukan kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian sosial. Hasil tes pencapaian tugas-tugas perkembangan dengan menggunakan ITP (Inventori Tugas Perkembangan) menunjukan siswa SMP Pasundan 3 Bandung memiliki penyesuaian sosial rendah yang ditunjukkan melalui pencapaian kesadaran tanggung jawab dalam butir terendah tugas perkembangan dengan skor (3,20) untuk kelas VII (tujuh), skor (3,34) untuk kelas VIII (delapan) dan skor (3,23) untuk kelas IX (sembilan). Akibat kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian sosial, siswa akan mengalami hambatan dalam belajar. Rakhmat (Setiatin, 2004: 2) berpendapat fenomena-fenomena perilaku negatif di kalangan siswa, jika dibiarkan akan berpengaruh terhadap prestasi belajar, bahkan pada pertumbuhan dan perkembangan diri yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan lain. Siswa yang kurang memiliki kemampuan penyesuaian sosial malas datang ke sekolah,
3
karena sekolah menjadi beban yang berat.
Aturan-aturan dan tugas yang
diberikan di sekolah tidak dapat diterima dan dilakukan sebagaimana mestinya. Apabila berlangsung terus menerus, sekolah terpaksa men-drop out siswa yang bersangkutan. Drop out di sekolah menengah, terutama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus dapat dihindari mengingat SMP termasuk dalam Pendidikan Dasar yang wajib diikuti. Drop out karena kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian sosial dapat diatasi dengan adanya program bimbingan yang tepat. Suherman (1998: 13) mengemukakan aspek yang penting yang harus diperhatikan dalam program bimbingan adalah strategi yang digunakan dalam mewujudkan program. Strategi bimbingan kelompok, menurut Natawidjaja (1987: 32) sangat tepat digunakan untuk mengatasi masalah sosial. Bimbingan kelompok memungkinkan terjadinya pertukaran pemikiran, pengalaman, rencana, dan pemecahan masalah. Oleh karenanya pengemasan program bimbingan untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial di sekolah dipandang tepat dengan menggunakan strategi bimbingan kelompok. Alternatif penyajian bimbingan kelompok adalah melalui dinamika kelompok. Menurut Natawidjaja (1987: 38) dalam dinamika kelompok memungkinkan setiap anggota memperbaiki dan mengembangkan hubungan antar pribadi (interpersonal skill) yang sangat penting dalam penyesuaian sosial. Dinamika kelompok dalam penyajiannya menggunakan beragam teknik, seperti: orientasi, diskusi, pelatihan, terapi, sosiodrama dan permainan. Konselor dapat
4
memilih teknik dinamika kelompok sesuai dengan masalah yang akan diselesaikan. Teknik yang dirasakan tepat untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial siswa di sekolah adalah teknik permainan. Permainan merupakan teknik yang sesuai untuk belajar keterampilan sosial, karena dengan permainan diciptakan suatu suasana santai dan menyenangkan. Suasana yang santai dan menyenangkan membuat seseorang dapat belajar lebih baik. Penelitian Kurniati (2006) membuktikan penggunaan permainan dalam bimbingan dapat mengembangkan keterampilan sosial. Menurut Cremer & Siregar (1993 :17) tingkah laku seseorang dalam permainan sama dengan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengenai cara untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah, merencanakan sesuatu, dan berkomunikasi. Aktivitas dalam permainan menciptakan suatu modeling yang sangat baik bagi proses perkembangan diri. Sutton-Smith (Ride, 2001: 2) mengemukakan permainan merupakan cara yang signifikan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pada permainan terdapat sharing antar sesama anggota kelompok yang dapat mengurangi tekanan, memperoleh dukungan dan membuat perasaan lebih nyaman. Menurut Santrock (1995: 272) permainan meningkatkan afiliasi dengan teman sebaya, mengurangi tekanan, meningkatkan perkembangan kognitif, meningkatkan daya jelajah, dan memberi tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara potensial berbahaya. Terdapat banyak jenis permainan yang dapat digunakan dalam dinamika kelompok. Secara umum kita dapat mengklasifikasikannya ke dalam dua jenis
5
yaitu permainan modern dan permainan tradisional. Permainan modern memerlukan biaya tinggi dan rentan terhadap masalah, telah mengarahkan pada suatu pemikiran untuk lebih memperkenalkan siswa pada jenis permainan tradisional. Permainan
tradisional
memiliki
kelebihan
tersendiri
dibandingkan
permainan modern. Pada permainan tradisional terdapat nilai-nilai yang dapat digali,
baik
ditelaah
dari
sudut
penggunaan
bahasa,
senandung
nyanyian/kakawihan, aktivitas fisik, maupun aktivitas psikis. Permainan tradisional yang sarat dengan nilai-nilai budaya dapat membantu mengembangkan keterampilan sosial (Kurniati, 2006: 47) dan dalam dinamika kelompok dapat diarahkan pada pembentukan perilaku untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial. Berdasarkan informasi dan fenomena yang telah dipaparkan, penelitian menitikberatkan pada penyusunan program bimbingan untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial siswa SMP melalui permainan tradisional dengan judul ”Program Bimbingan Penyesuaian Sosial Melalui Permainan Tradisional”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah a. Batasan Konseptual Pada dasarnya penyesuaian sosial merupakan kebutuhan bagi manusia, karena manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi senantiasa membutuhkan orang lain. Ketika memasuki lingkungan sosial baru, siswa harus memiliki kemampuan penyesuaian sosial. Kemampuan penyesuaian sosial siswa akan berpengaruh pada
6
prestasi dan keberhasilan siswa di sekolah (Surya, 1978: 90). Berikut ini beberapa definisi tentang penyesuaian sosial dari beberapa ahli. 1) Moh. Surya (1990: 142) mengartikan penyesuaian sosial sebagai suatu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial atau penyesuaian dalam hubungan antar manusia. 2) Schneiders (1964: 455) mendefinisikan penyesuaian sosial adalah kemampuan untuk memberikan reaksi secara tepat terhadap realitas-realitas, situasi-situasi, dan hubungan-hubungan sosial, sehingga tuntutan-tuntutan untuk kehidupan sosial dapat dipenuhi dengan cara-cara memuaskan dan dapat diterima. 3) Sugiyanto (2006: 24) mengemukan penyesuaian sosial adalah kemampuan siswa mereaksi kenyataan, situasi, dan hubungan sosial di lingkungan sekolah, mencakup aspek-aspek penghargaan terhadap orang lain (teman sebaya), partisipasi dalam mengikuti pelajaran, kerjasama dengan teman, dan merasa aman berada di lingkungan sekolah. Penyesuaian sosial merupakan bentuk dari penyesuaian diri seseorang. Schneiders (1964: 429) mengemukakan penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian diri. Penyesuaian diri didefinisikan oleh Willis (1994: 43) sebagai kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar. Gerungan (2004: 59-60) mengartikan menyesuaikan diri berarti mengubah diri sendiri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Schneiders (1964: 429) membagi penyesuaian sosial menjadi tiga bagian: penyesuaian sosial di keluarga, penyesuaian sosial di sekolah, dan penyesuaian
7
sosial di masyarakat. Penelitian dibatasi pada penyesuaian sosial di sekolah karena sekolah merupakan lingkungan yang dapat mengembangkan perilaku efektif yang mempengaruhi penyesuaian sosial di keluarga dan masyarakat. Penyesuaian sosial di sekolah penting artinya dalam menunjang keberhasilan akademis atau prestasi belajar siswa. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian diri. Penyesuaian sosial merupakan kemampuan siswa dalam memberikan reaksi secara tepat terhadap kenyataan, situasi, hubungan sosial, sehingga tuntutan-tuntutan sosial di sekolah, seperti penghargaan terhadap orang lain, menaati tata tertib sekolah, partisipasi dalam kegiatan belajar, bekerjasama, dapat dilakukan dengan cara-cara memuaskan dan penerimaan yang baik. Beberapa aktivitas yang menunjukan penyesuaian sosial yang baik menurut Schneiders, (1964: 453) yaitu: 1) penerimaan dan penghargaan terhadap orang yang patut dihormati di sekolah; 2) minat dan berpartisipasi aktif dalam seluruh kegiatan sekolah; 3) melakukan interaksi yang sehat dengan teman sekolah, guru-guru, guru pembimbing, staf tata usaha (TU), maupun karyawan sekolah; 4) mematuhi peraturan sekolah dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab dan; 5) saling membantu dan bekerjasama demi pencapaian tujuan sekolah, baik yang bersifat kurikuler maupun ekstrakurikuler.
8
Penyesuaian sosial dapat dikembangkan melalui program bimbingan. Program bimbingan merupakan pedoman bagi konselor dalam melaksanakan bimbingan di sekolah. Program bimbingan yang bermutu, kegiatan dilaksanakan secara terencana, terorganisasi, dan terkoodinasi selama periode waktu tertentu (Nurihsan, 2005: 3). Program bimbingan dalam penelitian dikemas dalam bimbingan kelompok. Bimbingan kelompok menurut Amti & Marjohan (1992: 105) merupakan bimbingan yang diberikan kepada sekelompok individu dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Bimbingan dengan dinamika kelompok disamping berusaha memecahkan masalah kelompok, juga berusaha membantu individu-individu dengan memanfaatkan suasana yang berkembang dalam kelompok. Beragam teknik dapat digunakan dalam dinamika kelompok, salah satunya adalah melalui permainan. Permainan telah terbukti dapat mengembangkan sejumlah kemampuan fisik maupun psikis. Menurut Schafer & Reid (2001: 7) permainan tidak hanya membuat seseorang senang, tetapi juga dapat mengembangkan pemahaman dan penerimaan sosial. Berikut definisi para ahli mengenai permainan. 1) John W. Santrock (1995: 272) mengartikan permainan (play) sebagai kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. 2) Dockett & Fleer (Kurniati, 2006:48) mendefinisikan permainan sebagai aktivitas bermain yang didalamnya telah memiliki aturan yang jelas dan disepakati bersama.
9
3) Hoorn (Kurniati, 2006: 48) menyatakan games with rules play merupakan permainan yang melibatkan kesetiaan dan komitmen pada aturan-aturan permainan yang ada dan telah disepakati bersama sebelum game (permainan) dilakukan. 4) Sutton-Smith (2001:2) menyatakan: ”games playing is a form of play and is, thereby, a form of amusement and source of enjoyment to the participant”. 5) Steven E Reid (2001: 3) menyatakan: ”games is the actions of the participant are independent, meaning that the outcome of the game depend on the interactions of the players, not on one’s player’s action alone”. Permainan yang dilakukan berbentuk permainan kelompok. Peranan kelompok bagi siswa SMP adalah suatu kebutuhan dalam mengembangkan hubungan sosial, minat dan penerimaaan diri (Hurlock, 2004: 215), sehingga teknik permainan dalam bimbingan sangat tepat dilakukan bagi siswa SMP. Permainan yang digunakan dalam penelitian adalah permainan tradisional. Cooney (Kurniati, 2006:49) menjelaskan Traditional play forms are those activities handed down from one generation to the next and continuosly followed by most people. Artinya permainan tradisional terbentuk dari aktivitas yang diturunkan terus menerus dari satu generasi kegenerasi berikutnya oleh banyak orang. Jenis permainan tradisional yang digunakan dalam penelitian adalah permainan tradisional Jawa Barat. Menurut Kurniati (2006: 48) permainan tradisional Jawa Barat merupakan suatu aktivitas bermain (kaulinan barudak) yang tumbuh berkembang di Jawa Barat, yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan
10
tata nilai kehidupan masyarakat sunda dan diajarkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendekatan bimbingan melalui permainan memberikan pengembangan dalam bimbingan, khususnya sebagai salah satu upaya mengatasi masalah penyesuaian sosial siswa SMP. Melalui permainan, siswa SMP dapat mengembangkan sejumlah keterampilan sosial yang merupakan kemampuan dalam melakukan penyesuaian sosial. Dari batasan konseptual yang telah dipaparkan, penelitian dibatasi pada masalah penyesuaian sosial siswa SMP di sekolah. Penyesuaian sosial merupakan masalah tersulit bagi remaja khususnya remaja SMP. Apabila siswa dapat melakukan penyesuaian sosial di sekolah maka kesempatan meraih prestasi dan kesuksesan akan terbuka lebar. Penelitian yang dilakukan akan menghasilkan desain program bimbingan penyesuaian sosial melalui permainan tradisional untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial pada siswa SMP.
b. Batasan Operasional Berdasarkan paparan konsep di atas, program bimbingan penyesuaian sosial melalui permainan tradisional dibatasi secara operasional sebagai rangkaian kegiatan bimbingan yang terencana, terorganisasi, dan terkoordinasi dalam periode tertentu untuk membantu agar siswa memiliki kemampuan memberikan reaksi yang tepat terhadap tuntutan-tuntutan sosial di sekolah, seperti dapat melakukan hubungan interpersonal dengan teman, guru, guru pembimbing, staf
11
TU, karyawan sekolah, penyesuaian terhadap tata tertib di sekolah, penyesuaian terhadap kelompok belajar dan penyesuaian terhadap kegiatan ekstrakurikuler, yang didesain dalam aktivitas menyenangkan dengan aturan yang telah disepakati bersama, yang tumbuh dan berkembang secara turun menurun di Jawa Barat, yang sarat dengan nilai budaya dan tata nilai kehidupan masayarakat sunda.
2. Rumusan Masalah Sesuai dengan batasan masalah mengenai penyesuaian sosial siswa SMP, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai arahan perumusan masalah dalam penelitian, yaitu: a. Bagaimanakah gambaran umum penyesuaian sosial siswa SMP? b. Bagaimanakah program bimbingan penyesuaian sosial melalui permainan dalam mengatasi masalah penyesuaian sosial siswa SMP? c. Bagaimanakah efektivitas program bimbingan penyesuaian sosial melalui permainan dalam mengatasi masalah penyesuaian sosial siswa SMP?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Mengetahui penyesuaian sosial siswa SMP. 2. Merumuskan program bimbingan penyesuaian sosial melalui permainan tradisional Jawa Barat untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial siswa SMP.
12
3. Mengetahui efektivitas program bimbingan penyesuaian sosial melalui permainan tradisional Jawa Barat untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial siswa SMP.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian memiliki manfaat bagi berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi sekolah, menjadi masukan pada kebijakan untuk membantu siswa menyesuaikan diri dengan baik. 2. Bagi guru pembimbing, diperoleh wawasan dan pengalaman langsung intervensi bimbingan melalui permainan tradisional. 3. Bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan kerangka atau konstruk program mengenai bimbingan melalui permainan dan fokus-fokus telaahan penelitian lebih lanjut pada kajian yang lebih relevan.
E. Asumsi Penelitian Penelitian dilakukan bertitik tolak dari asumsi sebagai berikut: 1. Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock, 2004:213). 2. Penyesuaian sosial merupakan kemampuan untuk memberikan reaksi secara tepat terhadap realitas-realitas, situasi-situasi, dan hubungan-hubungan sosial, sehingga tuntutan-tuntutan untuk kehidupan sosial dapat dipenuhi dengan cara-cara memuaskan dan dapat diterima (Schneiders, 1964: 455).
13
3. Memainkan permainan dapat menjadi pengalaman yang dapat membantu seseorang berdaptasi dengan lingkungan (Sutton-Smith dalam Reid, 2001: 2). 4. Permainan meningkatkan afiliasi dengan teman sebaya, mengurangi tekanan, meningkatkan perkembangan kognitif, meningkatkan daya jelajah, dan memberi tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara potensial berbahaya (John W. santrock, 1995 : 272). 5. Hoorn (Kurniati, 2006: 48) menyatakan games with rules play merupakan permainan melibatkan kesetiaan dan komitmen pada aturan-aturan permainan yang ada dan telah disepakati bersama sebelum game (permainan) dilakukan; 6. Permainan tradisional dapat mengembangkan keterampilan sosial diantaranya keterampilan menyesuaikan diri yang merupakan kemampuan dalam penyesuaian sosial (Euis Kurniati, 2006: 75). 7. Pengembangan program layanan bimbingan dan konseling untuk penyesuaian sosial yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan siswa akan memberikan dampak terhadap aktivitas penyesuaian siswa di lingkungannya (Sugiyanto, 2006: 16-17).
F. Metode Penelitian Penelitian yang dikembangkan adalah penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan penelitian tindakan berkolaborasi (Action Research Collaboration) dengan pertimbangan fungsi pendekatan untuk memperoleh cara dalam melakukan kegiatan secara sistematis guna menyelesaikan masalah penyesuaian sosial siswa SMP. Peneliti bertindak
14
sebagai pemberi tindakan sekaligus bagian dari proses evaluasi terhadap perubahan yang ditampilkan oleh subjek penelitian. Peneliti berkolaborasi bersama guru pembimbing dan wali kelas, yang akan membantu proses penelitian. Guru pembimbing akan membantu pada setiap tahap penelitian, yaitu bersama peneliti melakukan, merumuskan, mengevaluasi program penyesuaian sosial melalui permainan tradisional. Wali kelas membantu dalam observasi perubahan perilaku yang ditampilkan siswa. Kegiatan penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, pertama kaji ulang kondisi objektif lapangan, merupakan upaya memotret kondisi objektif lapangan. Rincian kegiatan yang dilakukan pada tahap pertama adalah: 1) permohonan izin kepada kepala sekolah serta pemberian penjelasan tentang permasalan penelitian dan pendekatan penelitian, 2) menjalin komunikasi dengan guru pembimbing (guru BP/BK) dan wali kelas yang akan berkolaborasi menjadi rekan peneliti dalam melakukan penelitian, 3) bersama guru pembimbing mengidentifikasi siswa yang memiliki penyesuaian sosial rendah dengan tujuan untuk menjaring kasus yang di sekolah, yang dibagi dalam empat tahap, yaitu: a. identifikasi masalah, kegiatan dilakukan dengan penyebaran angket penyesuaian sosial, b. penelusuran latar belakang, yaitu mengetahui latar belakang masalah yang dialami siswa,
15
c. menetapkan
fokus
masalah,
yaitu
menentukan
perilaku
penyesuaian sosial yang akan diberikan perhatian berdasarkan penyebaran angket penyesuaian sosial, d. menandai dan menetapkan siswa yang telah teridentifikasi, e. Membuat komitmen dengan siswa, berupa harapan perubahan perilaku penyesuaian sosial yang akan dicapai. Tahap kedua merupakan penyusunan program intervensi bagi siswa yang memiliki masalah penyesuaian sosial. Dirumuskan berdasarkan hasil pemotretan tahap satu yang telah disesuaikan dengan jenis masalah penyesuaian sosial pada siswa. Rincian kegiatan yang dilakukan adalah : 1) penyusunan program intervensi (permainan tradisional), 2) penyesuaian jenis permainan dengan masalah penyesuaian sosial siswa, 3) menetapkan jenis kegiatan (permainan tradisional) untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial siswa Tahapan Implementasi tindakan penelitian dilakukan dalam tiga siklus. Rancangan prosedur penelitian yang dipilih adalah model Kurt Lewin (Arikunto, 2002: 84) yang menggambarkan skema penelitian dalam model lingkaran yang digambarkan pada gambar 1.1 berikut:
16
Berdasarkan gambar 1.1, setiap siklus terdiri dari empat rangkaian kegiatan yaitu: 1. Perencanaan kegiatan meliputi: a. peneliti membuat perencanaan kegiatan yang akan dilakukan pada setiap siklus. b. membuat dan melengkapi instrumen yang akan digunakan sebagai alat evaluasi. 2. Pelaksanaan tindakan Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap kedua adalah melaksanakan perencanaan yang dibuat pada tahap sebelumnya. 3. Observasi Tahap selanjutnya adalah observasi terhadap tindakan peneliti yang dibantu oleh guru pembimbing sebagai observer tindakan, sehingga dihasilkan sejumlah data yang diperlukan. Observasi dilakukan untuk mengenali, merekam, dan mendokumentasikan semua indikator (baik proses maupun hasil) perubahanperubahan yang terjadi baik sebagai akibat dari tindakan maupun efek samping. Teknik observasi dilakukan melalui studi dokumentasi dan daftar cek. Peneliti melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan secara sadar, kritis, sistematis, dan objektif dengan menggunakan alat pengumpul data yang telah dipersiapkan.
17
4. Refleksi Refleksi dalam penelitian tindakan merupakan upaya untuk mengkaji apa yang telah terjadi setelah melakukan observasi tindakan, apa yang telah dihasilkan, atau yang tidak/belum tuntas pada langkah sebelumnya. Hasil refleksi digunakan untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam upaya mencapai tujuan penelitian. Tahap refleksi merupakan tahapan untuk menganalisis, memaknai, menjelaskan, dan menyimpulkan seluruh tindakan. Kegiatan refleksi dalam penelitian merupakan kegiatan: a. peneliti dengan guru pembimbing melakukan kegiatan menganalisis, memaknai, menerangkan, dan menyimpulkan informasi yang diperoleh selama kegiatan observasi, b. peneliti dan guru pembimbing mempelajari dan mengkaji semua informasi yang diperoleh pada saat kegiatan observasi, maka berdasarkan pengkajian diperoleh ungkapan dan rumusan kesempatan, peluang, perolehan hasil, konsekuensi serta implikasi dari temuan, c. peneliti dan guru pembimbing menjadikan temuan yang diperoleh sebagai dasar pijakan penentuan dan perencanaan tindakan secara berulang pada siklus selanjutnya sampai diperoleh perubahan perilaku yang diharapkan pada diri siswa.
18
G. Kerangka Penelitian
Menjalin komunikasi dan kerjasama dengan mitra peneliti
Analisis Kondisi
Menetapkan fokus permasalahan
Rancangan program intervensi melalui permainan tradisional
Objektif
Implementasi: 1. Perencanaan 2. Tindakan 3. Observasi 4. Refleksi
Identifikasi siswa yang memiliki masalah penyesuaian sosial
Gambar 1.2 Kerangka penelitian
H. Lokasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian adalah SMP Pasundan 3 Bandung yang merupakan salah satu sekolah potensial di Kota Bandung, dimana siswa-siswinya mempunyai potensi yang besar untuk bersaing dalam hal akademik dengan SMP Negeri di kota Bandung. Populasi penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Pasundan 3 Bandung dengan asumsi siswa kelas VIII sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Sampel penelitian lebih difokuskan pada siswa yang memiliki masalah penyesuaian sosial yang dijaring melalui angket penyesuaian sosial.
19
Teknik
pengambilan sampel menggunakan purposive sample atau sampel bertujuan. Sampel bertujuan yaitu cara mengambil subjek didasarkan tujuan tertentu yang berpeluang mengalami masalah penyesuaian sosial (Arikunto, 2002: 117).
20