1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penuaan merupakan proses yang pasti akan dialami oleh semua makhluk hidup termasuk manusia.Proses ini terjadi secara menyeluruh pada sel atau organ tubuhmeliputi perubahan morfologis, penurunan jumlah serta fungsi sel atau organ tersebut sehingga menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat mengganggu kualitas hidup manusia. Kemunduran progresif fungsi dan struktur dari berbagai sistem organ merupakan karakteristik dari proses penuaan tersebutyang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Fontana, 2009). Seiring bertambahnya usia, kerusakan sel atau organ terjadi karena proses penuaan itu sendiri, selain itu juga dapat dipercepat atau diperberat oleh faktor-faktor yang berasal dari luar tubuh. Faktor eksternal yang berpengaruh pada penuaan antara lain pola hidup dan diet yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan. Faktor-faktor lain seperti radikal bebas, hormonal, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, menurunnya imunitas dan faktor genetik digolongkan sebagai faktor internal (Pangkahila, 2007). Paparan masif dari berbagai penyebab penuaan akan mempercepat terjadinya proses penuaan atau lazim disebut sebagai penuaan dini. Dewasa
1
2
ini yang sering dibahas adalah potensi radikal bebas dalam menimbulkan stres oksidatif yang bersifat merusak sel. Stres
oksidatif
merusak
berbagai
organ
termasuk
organ
testis.Penyebab stres oksidatif pada testis yang pernah dilaporkan selain karena penuaan itu sendiri antara lain paparan racun, kemoterapi, radiasi ionisasi, inflamasi (orchitis), varicocele, kriptorkismus, torsio testis, diabetes dan gangguan hormon (Aitken dan Roman, 2008). Kerusakan testis yang berakibat pada penurunan jumlah sel Leydig dan sel Sertoli diyakini berpengaruh pada kadar hormontestosteron dan fertilitas karena sel Leydig berperan dalam steroidogenesis sedangkan sel Sertoli berperan dalam proses spermatogenesis. Jumlah sel Leydig akan mengalami penurunan dengan bertambahnya usia, pada usia 20 tahun jumlah sel Leydig sekitar 700 juta dan berkurang 6-7 juta setiap tahunnya selama proses penuaan (Pangkahila, 2007). Bukan hanya jumlah sel Leydig yang mengalami penurunan akibat proses penuaan (aging)tapi kualitas sel Leydig juga menurun, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah lipid droplet, kristal-kristal, dan vakuola pada sitoplasma sel Leydig (Chen et al., 2009).Sel Leydig di dalam testis bertanggung jawab dalam memproduksi sebagian besar hormon androgen pada pria (>95%), sehingga berkurangnya jumlah sel Leydig merupakan salah satu faktor penyebab turunnya kadar testosteron (Pangkahila, 2007). Defisiensi testosteron pada pria berdampak pada disfungsi seksual,rasa lelah, depresi, perasaan kacau, rasa panas pada malam haridan gangguan
3
fungsi kognitif.Terjadi juga penurunan spermatogenesis, volume sel darah merah, kekuatan dan massa otot, massa tulang dan fungsi imun. Sebaliknya terjadi peningkatan massa lemak dan perubahan komposisi tubuh, risiko penyakit jantung pembuluh darah, gangguan tidur dan kenyamanan hidup, yang secara keseluruhan dapat menurunkan kualitas hidup manusia (Pangkahila, 2007). Sel Sertoli pada mamalia termasuk manusia tidak mengalami proliferasi setelah masa pubertas dan aktivitas mitotik berhenti setelah gelombang pertama spermatogenesis berlangsung (Schulz et al., 2005).Sel Sertoli
pada
mamalia
berperan
penting
dalam
diferensiasi
dan
perkembangan fungsi testis, jumlah sel Sertoli pada testis secara pasti menentukan ukuran testis dan produksi sperma sehingga kerusakan atau penurunan jumlah sel Sertoli otomatis akan menurunkan produksi sperma dan meningkatkan jumlah sperma abnormal sehingga mengakibatkan infertilitas (Schulz et al., 2005). Monosodium glutamate(MSG) adalah garam Glutamat (Glutamic acid)
natrium dari asam
yang digunakan sebagai penyedap rasa dan
dapat dijumpai dalam makanan sehari-hari (Ault, 2004). Komposisinya terdiri dari asam glutamat, sodium, dan air (Alalwani, 2013). HargaMSG
yang
relatif
murah
dan
efektivitasnya
dalam
meningkatkan palatalabilitas makanan membuat masyarakat cenderung memakai MSG secara luas terutama untuk keperluan komersil.
4
Sebelum tahun 1987, WHO menetapkan Acceptable Daily Intake (ADI) untuk MSG yaitu 0-120 mg/kg berat badan namun pada tahun 1987 ketetapan itu dicabut kembali dan tidak ada batasan pasti mengenai penggunaan MSG sehingga konsumsinya meningkat karena produsen makanan maupun konsumen beranggapan MSG aman dikonsumsi berapapun jumlahnya (Jinap dan Hajeb, 2010).Konsumsi MSG/glutamat di United Kingdom sekitar 568 mg/hari, sedangkan di Asia (Jepang dan Korea) sekitar 1,2-1,7 g/hari (Beyreuther et al., 2007). Sementara di Indonesia diperkirakan konsumsi MSG di tahun 2004 sekitar 1.53 g/orang/hari dan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 melaporkan bahwa MSG dikonsumsi oleh 77.8% populasi di Indonesia (Anonim, 2010). Efek merugikanMSGbagi kesehatan dilaporkan meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya minat terhadap MSG sebagai penguat rasa (Ault, 2004). Gejala toksisitas MSGpada hewan percobaan yang dilaporkan adalah timbulnya kelemahan otot, sedangkan pada manusia selain rasa lemah juga terjadi flushing, berkeringat banyak, dizzinessdan sakit kepala (Alalwani, 2014). Sumber lain menyebutkan MSG yang dikonsumsi terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama merupakan salah satu penyebab perubahan
histologis
testis
tikus
yang
ditunjukkan
dengan
perubahan/kerusakan epitel germinal dan sel Leydig sehingga berakibat pada penurunan produksi hormon testosteron (Franca et al., 2006; Suryadi et al., 2007; Nosseir et al., 2012). Hal ini diperkuat dengan penelitian pada tikus jantan yang diberi MSG 4 g/kg berat badan tikus secara intraperitoneal
5
selama 15 hari (jangka pendek) dan 30 hari (jangka panjang) berakibat pada penurunanjumlah sperma yang normal (oligozoospermia) dan kadar vitamin C (Nayanatara et al., 2008). Berdasarkan penelitian Nayanatara maka pada penelitian ini digunakan dosis MSG 4 g/kg berat badan tikus. Ada beberapa dugaan mengenai mekanisme kerja MSG dalam menimbulkan stres oksidatif. Dilaporkan bahwa MSG menimbulkan stres oksidatif pada tikus dengan cara meningkatkan produksi peroksida lipid dan menurunkan reduced glutathione (GSH), superoxide dismutase (SOD)dan catalase(Okwudiri et al., 2012). Dugaan lain adalah MSG menyebabkan penurunan kadar vitamin C sehingga mengakibatkan terjadinya stres oksidatif pada testis tikus (Alalwani, 2014). Berdasarkan
konsep
Anti-aging
Medicine
(AAM),
penuaan
diperlakukan sebagai penyakit yang dapat dicegah, dihambat maupun diobati dengan berbagai cara antara lain dengan pemberian antioksidan atau prekursornya apabila penyebabnya adalah radikal bebas. Selain bermanfaat, penggunaan beberapa antioksidan ternyata dilaporkan dapat menimbulkan toksisitas. Contohnya vitamin C pada kondisikadar besi yang tinggi merupakan mediator potensial dari peroksidasi lipid, berisiko menjadi oksidan yang bersifat toksik dengan mereduksi logam seperti besi pada reaksi Fenton (Wahlqvist, 2013). Pemberian β-Carotene (prekursor vitamin A) sebagai suplemen terisolasi dilaporkan berisiko menimbulkan kanker (Wahlqvist, 2013). Aitken dan Roman bahkan lebih dulu menyatakan bahwa hipervitaminosis vitamin A
6
dapat menstimulasi pembentukan ROS pada sel berbagai organ (Aitken dan Roman, 2008). GSH merupakan antioksidan yang paling banyak terdapat dalam sel mamalia termasuk manusia dan merupakan firstdefense line
dalam
melawan radikal bebas(Ashtiani et al., 2011). Sel dapat mengalami kekurangan GSH pada kondisi stres oksidatif(Keller dan O’Connor, 2010). Selama ini kekurangan GSH dikoreksi dengan suplementasi GSH, Lcystein, N-acetyl cystein (NAC) dan glutation ester namun masing-masing mempunyai kelemahan dan keamanannya dalam jangka panjang belum dipastikan (Keller dan O’Connor, 2010). Dexpanthenol (D-panthenol; D-panthotenyl alcohol; Panthenol; pro vitamin B5) mungkin jarang dikenal oleh praktisi medis pada umumnya, namun sudah lazim digunakan dalam bidang dermatologi/estetika seperti pada mesotherapy dan untuk wound healing. Dexpanthenoladalah analog asam pantotenat dalam alkohol yang akan diubah menjadi asam pantotenat di dalam jaringan. Asam pantotenat terlibat dalam sejumlah reaksi biologis termasuk dalam memproduksi energi, katabolisme asam lemak dan asam amino, sintesis asam lemak, fosfolipid, sphingolipids, kolesterol, sintesis asam amino seperti leusin, arginin, dan methionin, sintesis hormon steroid, sintesis heme dan neurotransmiter asetilkolin (Eidi et al., 2012). Sumber lain menyebutkan bahwa asam pantotenat dan derivatnya diketahui mempunyai peran penting dalam meningkatkan kadar coenzym A
7
(Co A), ATPdanGSHyang berperan besar dalam pertahanan seluler dan sistem perbaikan melawan stres oksidatif dan inflamasi (Altintas et al., 2012). Penelitian terhadap hewan coba membuktikan efek proteksi dari asam pantotenat terhadap jaringan otak setelah cidera reperfusi, selain itu juga memiliki aktivitas hepatoprotektif terhadap sel-sel hati yang rusak oleh karbon tetraklorida (CCL4) dan mampu memperbaiki kerusakan ginjal yang mengalami iskemi (Zakaria et al., 2011; Altintas et al., 2012;Eidi et al., 2012).
Penelitian
untuk menentukan dosis
dan
lama
pemberian
Dexpanthenol menunjukkan bahwa dosis Dexpanthenol yang memberikan respon menghambat pernurunan jumlah sel Leydig dan sel Sertoli pada testis tikus Wistar yang mendapat MSG 4 g/kgBB/ hari per oral secara bermakna adalah 1000 mg/kgBB tikus yang diberikan secara intraperitoneal 2 kali seminggu selama 14 hari (Hartati, 2015). Asam pantotenat di alam dapat ditemukan dalamwhole-grain cereals, legumes, telur, dan daging (Eidi et al., 2012). Penggunaan Dexpanthenol pada beberapa penelitian dilaporkan memiliki kelebihan yaitu mudah diabsorbsi, dapat menembus blood-brain barrier dan tingkat keamanannya yang luas(Norris dan Ringrose, 2008; Altintas et al., 2012; Kanunnikova et al., 2012 ). Penelitian mengenai efektivitas Dexpanthenol dalam menghambat penurunan jumlah sel Leydig dan sel Sertoli akibat stres oksidatif yang disebabkan oleh MSGhingga saat ini belum pernah dilaporkan,baik secara in vitro maupun in vivo.Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis
8
termotivasi untuk meneliti efektivitas Dexpanthenol dalam menghambat penurunan jumlah sel Leydig dan sel Sertoli pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus)galur Wistar yang dipapar MSG. 1.2 Rumusan Masalah 1.
Apakah
pemberian
Dexpanthenol
intraperitonealdapat
menghambat penurunan jumlah sel Leydig pada testis tikus putih(Rattus norvegicus)galur Wistar yang dipaparMonosodium glutamate? 2.
Apakah
pemberian
Dexpanthenol
intraperitonealdapat
menghambat penurunan jumlah sel Sertoli pada testis tikus putih (Rattus norvegicus)galur Wistar yang dipaparMonosodium glutamate? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum Untuk
membuktikanpengaruh
pemberian
Dexpanthenol
intraperitoneal terhadap stres oksidatif pada testis tikus putih(Rattus norvegicus)galur
Wistar
yang
disebabkan
pemberian
Monosodium
glutamate. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Untuk
membuktikan
intraperitoneal
dapat
bahwa
menghambat
pemberian penurunan
Dexpanthenol jumlah
sel
Leydigpada testis tikus putih (Rattus norvegicus)galur Wistar yang dipaparMonosodium glutamate.
9
2.
Untuk
membuktikan
bahwa
pemberian
Dexpanthenol
intraperitoneal dapat menghambat penurunan jumlah sel Sertoli pada testis tikus putih (Rattus norvegicus)galur Wistar yang dipaparMonosodium glutamate. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya mengenai manfaat Dexpanthenol di bidang ilmu Kedokteran. 1.4.2 Manfaat Praktis Memberi informasi pada praktisi medis bahwa Dexpanthenol dapat menjadi kandidat alternatif terapi adjuvant yang aman padagangguan fertilitas akibat kerusakan oksidatif, tentunya setelah melalui clinical trial.