1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Juni 1950, konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan dimulai. Perang ini disebut “perang yang dimandatkan” (proxy war) oleh Amerika Serikat bersama sekutunya yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan negara komunis Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang bekerjasama dengan Uni Soviet. Pada perang ini Korea Utara dan Korea Selatan adalah peserta utama, namun setelah perang benar-benar meletus sejumlah negara sekutu dari masing-masing peserta turut serta dalam peperangan yang menelan korban jiwa hinga ratusan ribu orang. Sekutu utama Korea Selatan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Britania Raya, meskipun banyak negara lain banyak mengirimkan tentara di bawah bendera PBB. Sementara di lain pihak Korea Utara bersekutu dengan Republik Rakyat Tiongkok yang membantu dalam menyediakan kekuatan militer, sedangkan Uni Soviet menyediakan penasihat perang, pilot pesawat, dan juga persenjataan untuk pasukan Tiongkok dan Korea Utara. Pada awal tahun 1950, perwira CIA stasiun Tiongkok, Douglas Mackiernan, menerima ramalan intelijen Tiongkok dan Korea Utara yang meramalkan bahwa tentara Korea Utara akan menyerang ke selatan. Meskipun PBB menerima banyak pesan yang memberitahu bahwa Korea 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Utara akan melakukan invasi, PBB menolak semuanya (Halberstam, 2007 : 343). Dengan alasan membalas provokasi Korea Selatan, Tentara Korea Utara
menyeberangi paralel ke-38, dibantu tembakan artileri, pada
Minggu pada 25 Juni 1959. Tentara Korut mengatakan bahwa pasukan Republik Korea, dibawah pimpinan bandit pengkhianat Shyngman Rhee, telah menyeberangi perbatasan terlebih dahulu, dan mereka akan menangkap serta mengeksekusi Rhee. Pada tahun-tahun sebelumnya kedua Korea telah saling menyerang satu sama lain. Selang beberapa jam kemudian, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengecam invasi Korea Utara terhadap Korea Selatan, melalui Resolusi 82 DK PBB, meskipun Uni Soviet dengan hak vetonya memboikot pertemuan sejak Januari, pada 27 Juni 1950, presiden Truman memerintahkan kepada angkatan udara dan laut AS untuk membantu rezim Korea Selatan. Setelah memperdebatkan masalah ini, DK PBB, pada 27 Juni 1950 menerbitkan resolusi 83 yang merekomedasikan negara anggota memberi bantuan militer kepada Korea Selatan. Ketika menunggu pengumuman fait accompli dari dewan kepada PBB, wakil menteri luar negeri Uni Soviet menuduh Amerika memulai intervensi bersenjata atas nama Korea Selatan. Amerika Serikat secara resmi mendeskripsikan perang ini sebagai aksi polisional karena tidak adanya deklarasi perang secara resmi dari Kongres Amerika Serikat. Perang ini juga dianggap sebagai “perang yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
terlupakan” atau “perang yang tidak diketahui” karena dianggap sebagai urusan PBB yang berakhir dengan kebuntuan. Pihak Korea Selatan biasa menyebut perang ini sebagai perang 6-25 (yuk-i-o jeonjaeng) yang mencerminkan tanggal dimulainya perang pada 25 Juni. Sementara itu, Korea Utara secara resmi menyebutnya choguk haebang chonjaeng (perang pembebasan tanah air). Perang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan Syngman Rhee menolak menandatanginya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Namun secara resmi, perang tersebut belum berakhir sampai dengan saat ini. Ketegangan antar kedua negara masih berlanjut, aksi saling provokasi kerap terjadi dan membuat keadaan semakin memanas. Amerika Serikat selalu menjadi bagian dari setiap ketegangan yang terjadi. Ambisi untuk menguasai dunia menjadikan negara ini yang paling bertanggung jawab atas setiap konflik yang terjadi di dunia, termasuk konflik antara Korea Utara dengan Korea Selatan. Korea Utara bukan negara lemah yang dengan mudah terintimidasi oleh dominasi Amerika. Pada Januari 2016 berbagai media massa ramai memberitakan, seorang pejabat senior Korea Utara Kim Ki Nam, memperingatkan Amerika Serikat dan Korea Selatan tentang kesiapan Korea Utara untuk memulai perang. Pernyataan tersebut dikeluarkan hanya beberapa hari setelah Korea Utara mengklaim sukses melakukan uji coba bom hidrogen pada 6 Januari 2016 (Tempo.co).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
Menyikapi pernyataan pejabat senior Korea Utara tersebut, AS dan pengikutnya menggiring situasi semakin mendekati ambang perang dengan mengatakan mereka telah kembali melakukan siaran dan serangan psikologis di perbatasan, serta membawa bomber strategis. Seperti dilansir dari laman Express.co.id, 9 Januari 2016, Ki Nam menyalahkan Seoul sebagai pihak yang menggiring situasi ke ambang perang setelah menggunakan pengeras suara, menyebarkan pesan dan memprovokasi dengan memutar musik pop di wilayah perbatasan kedua negara. Ia menambahkan bahwa pembicaraan antara Amerika Serikat dan Seoul setelah uji coba bom hidrogen telah memicu ketegangan dan mendorong negara menuju konflik (Halberstam, 2007 : 361). Dua tahun sebelumnya, tepatnya di tahun 2014, Amerika Serikat bersama industri kreatifnya di bidang perfilman kembali menyulut ketegangan yang membuat Korea Utara geram dan mengancam perang kepada Amerika. Sebuah rumah produksi film terkemuka Amerika Serikat (Sony Pictures Entertainment) membuat sebuah film parodi yang sangat menggemparkan dunia. Perusahaan perfilman asal Amerika Serikat tersebut memproduksi sebuah film
yang berjudul “The Interview”. Film tersebut membuat
situasi kedua negara semakin memanas. Pasalnya, dalam film tersebut secara frontal memparodikan sosok pemimpin tertinggi Korea Utara yaitu Kim Jong-Un yang secara internasional diakui sebagai pemimpin dengan karakter diktator. Sempat terjadi kegaduhan yang luar biasa akibat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
pembuatan film tersebut. Tidak tanggung-tanggung, selain banyak kecaman yang kerap kali dilontarkan kepada pihak Amerika Serikat, kecaman bernada serius diucapkan juga oleh seorang juru bicara kementerian luar negeri Korea Utara. Ia mengatakan bahwa, mendistribusi film tersebut merupakan „tindakan perang‟. Selain itu pernyataan yang lebih keras juga dilontarkan oleh juru bicara pemerintah Korea Utara. Seperti dikutip dari kantor berita resmi Korea Utara (KCNA), juru bicara tersebut mengatakan, “membuat dan merilis sebuah film dengan alur cerita yang dimaksudkan untuk melecehkan kepemimpinan tertinggi kami, merupakan tindakan terorisme dan perang yang terang-terangan dan jelas tidak akan dibiarkan”. Sebelum
peluncuran
film
tersebut,
pihak
Sony
Pictures
Entertainment mengaku mendapat serangan dari para peretas yang diduga berasal dari server Korea Utara. Akibatnya film tersebut bocor ke publik sebelum tanggal peluncurannya. Karena menuai banyak reaksi atau kecaman dari berbagai pihak terutama pihak Korea Utara, akhirnya film tersebut ditunda peluncurannya hingga situasi lebih kondusif. Tidak lama kemudian sutradara sekaligus pemeran film The Interview, Seth Rogen akhirnya memutuskan merilis film tersebut bertepatan dengan hari Natal yaitu tanggal 25 Desember 2014. Bioskop independen, The Silent Movie Theatre, memutar penayangan perdana film tersebut pukul 00:30 waktu setempat pada hari Natal.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana Korea Utara menganggap bahwa Amerika Serikat melancarkan komunikasi politik propaganda pada masyarakat dunia tentang pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un, lewat media film The Interview. Hal ini menjelaskan bahwa film sebagai media massa yang memiliki unsur audio dan visual, mampu menciptakan realitas di tengah masyarakat. Secara sadar atau tidak sadar film dibuat dengan melibatkan ideologi atau budaya dimana film itu dibuat.
Sebuah film bisa menjadi sebuah komunikator atau sebagai
perantara dalam komunikasi, hal ini dikarenakan sebuah film bisa berhubungan langsung dengan masyarakat penontonnya. Bahkan dalam era sekarang ini film bisa dibuat untuk segala macam tujuan, terlebih lagi dengan teknologi yang ada membuat film menjadi media yang menarik dan mudah dipahami. Film adalah rangkaian teks dan gambar yang kemudian bersinergi membentuk sebuah narasi atau cerita dan memiliki pesan yang hendak disampaikan, baik pesan moral, religius, sosial bahkan propaganda. Pesan yang ingin disampaikan oleh sebuah film, terlebih dahulu dirancang sesuai dengan tujuan yang hendak disampaikan. Apakah sebuah film ingin merepresentasikan sebuah nilai perjuangan, sebuah pesan dominasi dari tokoh atau dari tema, bahkan sekalipun sangat terlihat tujuan menghiburnya, sebuah film tak lepas dari nilai-nilai yang ingin diangkat oleh si pembuat film.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
Berawal dari sebuah gambar bergerak (motion pictures), pada zamannya film pun dikenal sebagai saluran komunikasi yang bersifat modern. Film terus berkembang dengan kemampuan teknologinya yang menawarkan sebuah pengalaman pribadi dan emosi kepada penontonnya. Meskipun kemajuan teknologi menghasilkan film animasi 3D, film dengan kemasan biasa masih tetap menjadi sebuah saluran komunikasi modern dengan jangkauan luas dan populer, serta memiliki daya pikat yang mempengaruhi khalayaknya. Perlu diingat bahwa sekalipun film merupakan media komunikasi massa, namun apa yang ditampilkan film tidak semata-mata dipindahkan dengan apa adanya dari kenyataan. Pasalnya apa yang ditampilkan film sebagai kenyataan, telah dikonstruk terlebih dahulu layaknya realitas yang sesungguhnya terjadi. Film dijadikan sebagai cerminan mengenai kondisi masyarakat yang ditampilkan. Jadi, gabungan antara audio dan visual yang „memanjakan‟ panca indra membawa penonton benar-benar terbenam dalam situasi yang dimunculkan pada layar. Melalui teknik yang khas film mampu menghadirkan sebuah representasi kenyataan. Salah satu tokoh film, Christian Metz, mencoba membongkar sebuah representasi film melalui hubungan antar tanda dari ke-khas-an teknik dan alur cerita film yang sangat erat dengan pengaruh psikologis. Turner menyatakan, makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, adalah berbeda dengan film sekadar sebagai refleksi dari realitas (Turner, 1999 : 25). Sebagai refleksi dari realitas, film sekadar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
“memindah” realitas tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi dari kebudayaannya. Jika kita melihat dari segi paradigma kritis, sebuah realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang netral dan apa adanya. Ia telah dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi kala itu. Film dengan kekuatan audio-visual, layaknya sebuah teks digunakan sebagai sarana sekaligus media bagi suatu kelompok untuk mengunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain. Istilah representasi merujuk pada bagaimana seseorang atau kelompok tertentu ditampilkan. Dalam film The Interview, pembuat film berusaha menampilkan seorang tokoh parodi dengan metode representasi atau karakterisasi tokoh disesuaikan seolah menyerupai tokoh aslinya. Film The Interview berasal dari sebuah konflik negara yang berkepanjangan. Film ini sangat menarik, tidak hanya kemasan audiovisualnya, tapi tema sentral yang diangkat pun cukup unik. Tema utama tentang sosok Kim Jong-un seorang pemimpin Korea Utara yang bersedia diwawancara di sebuah acara televisi dari Amerika Serikat “The Skylark”, kemudian di tengah alurnya banyak terjadi peristiwa hebat yang menggemparkan dunia karena terbongkarnya kebusukan Kim Jong-un dalam acara televisi tersebut. Tema film ini diangkat disaat ketegangan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
antara AS dan Korea Utara tengah memanas, dengan diluncurkannya film tersebut sudah tentu semakin membuat ketegangan semakin memuncak. Keberanian sutradara Seth Rogen dalam mengangkat tema tersebut itulah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti secara mendalam. Banyaknya perhatian masyarakat dunia terhadap film tersebut dan implikasi terhadap stabilitas pertahanan dan ekonomi kedua negara bahkan dunia, semakin menambah minat peneliti untuk menelitinya. Film sebagai salah satu media komunikasi massa menjadi pilihan peneliti, karena sebuah karya film juga dapat merepresentasikan realitas yang terjadi kala itu. 1.2.
Rumusan Masalah Melalui film The Interview, peneliti berusaha mengungkap bagaimana representasi atau karakterisasi tokoh yang dilakukan terhadap Kim Jong-un. Dalam film tersebut ditampilkan tokoh Kim Jong-un dengan karakter yang arogan dan kejam dalam memimpin sebuah negara. Sutradara berusaha menyampaikan sebuah realitas buatan terkait sifat atau karakter Kim Jong-un kepada penonton. Tentu hal tersebut berdampak pada citra tokoh di kehidupan nyata. Persoalan yang ingin diungkap dalam rumusan masalah penelitian ini
adalah
bagaimana
komunikasi
politik
propaganda
yang
merepresentasikan Kim Jong-un dalam film The Interview melalui struktur filmis yang khas?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
1.3.
Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian Secara
lebih
spesifik
penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
mendapatkan suatu gambaran dan pemahaman mendalam, serta untuk melakukan
analisis
konstruktivis
mengenai
komunikasi
politik
propaganda yang merepresentasikan Kim Jong-un dalam film The Interview dengan menggunakan analisis semiotika Christian Metz 1.3.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: “Untuk mengetahui dan mendapatkan pemahaman bagaimana komunikasi politik propaganda yang merepresentasikan
Kim Jong-un
dalam film The Interview dengan struktur filmis yang khas? 1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam dua hal, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis:
1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam komunikasi massa pada bidang sinematografi. Karena sebuah film digunakan sebagai alat penyebar ideologi dan atau mengkritik nilai-nilai sosial yang terlanggar.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana yang berguna untuk ditelaah bagi para pembuat film, agar dapat mengahsilkan karya yang lebih baik dan berkualitas, juga untuk memberikan rujukan bagaimana membuat film yang sarat muatan makna dan memberi pencerahan. Sedangkan untuk praktisi komunikasi diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran ideal tentang bagaimana membaca makna yang terkandung dalam produk media massa, melalui pendekatan semiotik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/