BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATARBELAKANG Terbitnya UU No. 28 tahun 2000 tentang “Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung”, menjadi inisiator terbentuknya daerah otonom baru di Indonesia. Puncaknya, pada tanggal 9 februari tahun 2001 Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berpusat di Kota Pangkal Pinang disahkan sebagai salah satu propinsi baru di Indonesia. Tindak lanjutnya adalah terbitnya dan UU No. 5 tahun 2003 tentang “Pembagian Daerah Administratif
Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung menjadi 7 Kabupaten”. Peristiwa ini menjadi batu loncatan tumbuh dan berkembangnya pembangunan daerah setempat. Hal ini karena pemanfaatan sumberdaya wilayah setempat menjadi lebih optimal dan berdaya guna, yang sulit terwujud sebelumnya karena status pemerintahan masih sebagai kabupaten di bawah otoritas pemerintah Propinsi Sumatera Selatan. Ketersediaan sumberdaya alam (Natural resources) dibumi yang berjulukan “Negeri Serumpun Sebalai” atau juga dikenal sebagai “Negeri Laskar Pelangi” ini sangat potensial dan menjanjikan dalam usaha peningkatan pertumbuhan dan perkembangan wilayah serta kesejahteraan hidup masyarakatnya. Akan tetapi, kondisi tersebut tentu dapat terwujud jika melalui pengelolaan yang optimal, tepat dan berdaya guna serta berkelanjutan dengan memperhatikan prosedur pengelolaan yang ada atau SOP (Standard Operational Procedure) Sektor perkebunan (lada, karet dan sawit), sektor pertambangan (timah, emas, biji
1
besi, nikel), sektor perikanan (ikan, udang, kepiting, kerang), serta sektor pariwisata (bahari, budaya, sejarah)menjadi sektor unggulan dalam meningkatkan derajat pertumbuhan dan perkembangan wilayah. Dari berbagai potensi sumberdaya yang ada, sektor pariwisata menjadi menarik untuk dikaji secara lebih serius dan mendalam terkait karakteristik dan keunikan objek/atraksi wisatanya, pengelolaannya, dan peranserta masyarakat, pemerintah dan stakeholders terkait lainnya secara lebih khusus dalam usaha pengembangan sektor pariwisata. Akhir-akhir ini, kontribusi positif sektor pariwisata dalam meningkatkan pendapatan dan promosi daerah di Kepulauan Bangka Belitung semakin terlihat dan cukup signifikan serta telah menjadi sektor potensial dan menjanjikan. Hal ini ditandai semakin tumbuh dan berkembangnya infrastruktur wisata, bahkan menjadi inisiator berkembangnya sektor lain yang saling berkorelasi positif seperti industri transportasi, biro perjalanan, akomodasi-hospitality (perhotelan, café/diskotik/bar, restoran, pondok wisata, homestay), dan sektor lainnya. Selain itu, kebijakan pemerintah daerah melalui Disbudpar setempat, kerjasama investor/LSM/NGOs pemerhati pariwisata juga mulai terlihat terkait usaha-usaha mereka dalam pengembangan sektor pariwisata setempat. Fenomena-fenomena di atas sangat terkait erat dengan prospek sektor pariwisata nasional dan internasional yang juga semakin menunjukkan tren positif bahkan menjadi sektor penggerak (leading sector) bagi sektor-sektor lain dibeberapa daerah atau negara melalui berbagai dampak pengganda (multiplier effects) terutama terkait persoalan ekonomi dan promosi daerah.
2
Potensi sektor pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung yang dicerminkan dengan keberadaan objek/atraksi wisatanya (natural and man made/artifisial) cukup potensial untuk dikembangkan baik jenis, bentuk maupun ciri keunikan tradisional khas daerahnya. Salah satunya berupa objek wisata bahari dan pantai yang sejauh ini menjadi destinasi wisata terbesar kegiatan pariwisata didaerah ini. Hal ini erat kaitannya dengan faktor fisik wilayahnya yang secara geografis sebagai wilayah kepulauan sehingga wilayah perairan lebih mendominasi dari keseluruhan luas wilayah ini. Tercatat, dari 81.725 km2 luas wilayahnya, sekitar 65.301 km2 atau sekitar 79,90% merupakan perairan sehingga kawasan pesisir lebih dominan, dan sisanya sekitar 16.424 km2 merupakan daratan yang terdiri dari pulau-pulau dengan jumlah 1.105 buah pulau, dimana termasuk dua buah pulau besar yakni Pulau Bangka dan Belitung. Oleh sebab itu, sangat realistis jika sektor pariwisata khususnya wisata bahari dan kebudayaan khas daerah sangat potensial untuk dikembangkan. Bahkan, telah berperan besar untuk mengerakkan perekonomian daerah dan sebagai leading sector bagi sektor lainnya di Bangka Belitung. Sejak tahun 2004 - 2005, tercatat sekitar 6.200 wisnus dan 424.768 wisman berkunjung ke Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan rata-rata jumlah kunjungan wisata ke Bangka Belitung mencapai angka 76.995 wisatawan per tahun (Sumber : Disbudpar Babel, 2008). Objek wisata bahari yang ada utamanya berupa wisata pantai dan alam bawah laut. Pantai-pantai setempat memiliki tipikal pantai santai yang indah dengan hamparan pasir putih, berkombinasi dengan batuan-batuan besar dan ombak yang tenang sehingga kelihatan sangat eksotis. Dengan panjang garis
3
pantai mencapai 1200 km, tercatat sekitar 24 objek wisata berupa pantai yang cukup dikenal di Bangka Belitung, dengan rincian sekitar 15 objek ada di Pulau Bangka, dan selebihnya di Pulau Belitung. Diantara pantai-pantai tersebut, Pantai Matras dan Parai Tenggiri yang ada di Kampung Wisata Matras, Kelurahan Sinar Baru sejauh ini cukup dikenal bahkan menjadi destinasi wisata utama khususnya di Pulau Bangka (Sumber : Disbudpar Babel, 2008) Kampung Wisata Matras secara administratif terletak di Kelurahan Sinar Baru, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka. Potensi objek/atraksi wisata yang paling dikenal dikawasan ini berupa pantai (Matras, Parai Tenggiri, Batu Bedaun dan Kuala) melalui kegiatan mandi dan surfing, wisata alam bawah laut melalui kegiatan menyelam (diving atau snorkling), serta beraneka ragam biota laut melalui kegiatan memancing (fishing) dengan perahu wisata. Selain itu, terdapat juga atraksi wisaata seperti festival seni-budaya tarian daerah dan musik dambus, festival olahraga motocross dan triathlon, festival kuliner (feskul) seafood dipantai, kontes kicau burung, bazar/pasar murah, festival imlek, phek cun dan juga pesta rakyat (orgen tunggal/band). Berbagai potensi tersebut di atas merupakan anugerah besar karena tidak semua daerah memilikinya sehingga jika dikelola dengan baik dan bijak maka akan dapat meningkatkan derajat pertumbuhan dan perkembangan wilayah terutama terhadap sektor ekonominya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) setempat seperti pajak, retribusi, devisa dan berbagai dampak pengganda (multiplier effects) lainnya. Selain itu, juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat misalnya industri padat karya (lapangan kerja), usaha home industry,
4
kerajinan tangan (handycraft), makanan dan souvenir khas daerah, jasa guide, jasa transportasi, akomodasi-hospitality (hotel/homestay), rumah makan (restoran), penginapan/pondok wisata (homestay) dan lainnya. Salahsatu pendekatan alternatif yang booming akhir-akhir ini, bahkan menjadi salah satu program unggulan kemenparekraf dalam upaya pengembangan sektor pariwisata di kawasan perdesaan adalah melalui konsep desa wisata (rural tourism). Tujuan utama program ini adalah untuk pembangunan perdesaan yang berkelanjutan dari sektor pariwisatanya. Salah satu indikator kunci keberhasilan dalam pengembangan konsep ini adalah adanya keterlibatan atau partisipasi dari masyarakat, pengembangan mutu produk wisata pedesaan serta pembinaan kelompok usaha-usaha setempat. Prinsip-prinsip pengelolaan yang digunakan antara lain : a) pemanfaatan sarana dan prasarana setempat, b) menguntungkan masyarakat setempat, c) berskala kecil untuk memudahkan hubungan timbal balik antar masyarakat setempat, d) melibatkan masyarakat setempat, e) pengembangan produk-produk pedesaan setempat dengan mengutamakan keunikan dan ciri khas desa tersebut. Konsep desa wisata ini ternyata cukup menarik untuk diterapkan di kawasan perdesaan dengan potensi pariwisata yang besar seperti di Kelurahan Sinar Baru ini. Hal ini nampaknya disadari betul oleh pemerintah daerah Kabupaten Bangka melalui Disbudparnya dalam rangka pengelolaan potensi pariwisata yang ada. Puncaknya ketika ditetapkan dan diresmikannya Kampung Wisata Matras pada tanggal 17 Januari tahun 2010 silam oleh H. Yusroni Yazid, SE, selaku Bupati Kabupaten Bangka saat itu (Sumber : www.bangkapos.com).
5
edisi 18 Januari 2010). Sejauh ini, telah dirumuskan rancangan peraturan daerah (perda) terkait penetapan tersebut. Harapannya, perda tersebut dapat segera diresmikan sebagai pedoman dan payung hukum pengembangan Kampung Wisata Matras. Beberapa catatan penting dari dokumen rancangan perda tersebut utamanya terkait tujuan, sasaran dan fungsi dari pengembangan sebuah desa/kampung wisata. a)
Tujuan, antara lain : 1.
berkembangnya lingkungan kehidupan masyarakat desa serta potensi kebudayaan dan wisata yang terdapat pada masing-masing kawasan desa wisata;
2.
terpelihara dan terbinanya secara berkelanjutan tata kehidupan, seni dan budaya masyarakat setempat, dan Kabupaten Bangka umumnya; dan
3.
memanfaatkan potensi lingkungan guna kepentingan budaya, wisata agro dan wisata bahari dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial dilingkungan masyarakat desa;
b) Sasaran, antara lain : 1.
meningkatkan kesadaran masyarakat dan penduduk setempat akan pentingnya penataan dan pemeliharaan lingkungan, sebagai upaya mempertahankan keberadaan potensi kebudayaan dan wisata yang ada;
2.
memberikan dorongan, motivasi dan peluang kepada masyarakat dikawasan desa wisata dan sekitarnya, untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi lingkungan guna kepentingan wisata budaya,
6
wisata agro dan wisata bahari dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat setempat. c)
Fungsi, antara lain : 1.
sebagai sarana informasi;
2.
sebagai saran penelitian dan pengembangan (research and development);
3.
sebagai sarana pengembangan seni-budaya khas daerah;
4.
sebgai sarana edukatif dan rekreatif; dan
5.
sebagai destinasi wisata bagi para wisatawan. Selanjutnya, ternyata konsep desa wisata ini berkorelasi positif dengan
program Bangka Belitung Archipelago 2010 (Babel Archi 2010) yang dicetus Disbudpar Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dan menjadi program unggulan promosi pariwisata setempat. Peresmian ini juga bertepatan dengan kegiatan pertukaran pemuda Indonesia-Australia dalam rangka program AIYEP 2009/2010 yang bertujuan untuk membina hubungan antara partisipan dengan masyarakat setempat agar lebih akrab dan bersahaja sehingga proses transfer of knowledge terkait pariwisata lebih optimal. Dalam sambutannya, H. Yusroni Yazid, SE berharap melalui pengembangan konsep desa/kampung wisata ini, kegiatan pariwisata setempat dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dan menjadi destinasi wisata utama para wisatawan. Selain itu juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat setempat (Sumber: Bangkapos online, 18 Jan 2010). Berbagai program pengembangan dirumuskan bahkan telah terlaksana oleh pemerintah daerah melalui dinas kebudayaan dan pariwisata (Disbudpar)
7
Kabupaten Bangka untuk pengembangan Kampung Wisata Matras ini, baik dari segi fisikal kawasan, finansial dan sosial-budaya seperti perbaikan infrastruktur pariwisata seperti talud, footpath, homestay, koperasi, alat-alat wisata (perahu, alat musik dan kuliner), gazebo, kios dan lainya. Selain itu, berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan kualitas SDM juga dilakukan, misalnya peningkatan softskill kepariwisataan melalui pelatihan pembuatan oleh-oleh/suvenir atau branding and labeling makanan khas daerah, sosialisasi program sadar wisata, serta ditunjuknya Kampung Wisata Matras sebagai tuan rumah berbagai festival olahraga serta senibudaya. Program-program tersebut utamanya dicanangkan melalui program PNPM-Mandiri (Sumber : http://www.bangka.go.id/berita.php?id_berita=844). Agar cita-cita bersama yang ingin dicapai untuk kemajuan Kampung Wisata Matras ini terwujud sehingga destinasi wisata prioritas para wisatawan dalam skala regional, nasional bahkan internasional, maka dalam proses pengembangannya harus memperhatikan, melibatkan dan mampu memberikan peranan yang proporsional kepada masyarakat setempat terutama peranan sebagai subjek pengembangan selaku pemilik sah (host) atmosfir perdesaan (Pigram, 1993). Hal ini bertujuan agar pengembangan aspek-aspekpendukung desa wisata, baik fisik maupun sosial-budaya menjadi tepat sasaran, efektif dan efisien serta berdaya guna dalam meningkatkan kesejateraan hidup masyarakat setempat. Oleh sebab itulah, sangat penting untuk diketahui mengenai karakteristik sosial ekonomi, pengetahuan, persepsi dan partisipasi serta harapan dari masyarakat setempat terhadap pengembangan Kampung Wisata Matras ini. Untuk mengkaji secara lebih mendalam dan terukur terhadap hal-hal tersebut di atas, diperlukan
8
suatu kajian ilmiah atau penelitian yang dalam hal ini judul yang diangkat oleh peneliti adalah “Kajian Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Lokal Kelurahan Sinar Baru terhadap Pengembangan Kampung Wisata Matras di Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka”.
1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN Indikasi kunci keberhasilan pengembangan sebuah kawasan desa/kampung wisata ditentukan oleh minat, motivasi, inisiatif dan partisipasi masyarakat setempat untuk bertindak kreatif, inovatif dan kooperatif dalam mengelola dan menjaga keberlanjutan objek/atraksi wisata setempat (Fegence, 1997). Sejak ditetapkannya Kampung Wisata Matras pada tahun 2010 silam, beberapa faktor kunci keberhasilan di atas dirasa belum optimal. Kurangnya pengetahuan, kesadaran masyarakat serta sosialisasi dari pemda (Disbudpar) terkait programprogram pengembangan menjadikan masyarakat tidak memiliki ide-ide yang visioner terkait usaha-usaha yang harus dilakukan dalam mengelola sektor pariwisata setempat menjadi kendala utama (Woodly, 1992; dalam Ardika, 2007). Selain itu, mindset dan background masyarakat setempat yang bukan pariwisata melainkan dominan terhadap pertambangan (timah) yang dirasa lebih menjanjikan juga menjadi kendala tersendiri. Hal-hal ini menjadikan masyarakat terkesan kurang partisipatif dalam pengembangan Kampung Wisata Matras, padahal partisipasi masyarakat menjadi ciri utama sebuah desa/kampung wisata bahkan menjadi kunci vital keberhasilan pengembangannya. Lebih lanjut, beberapa hasil temuan terkait kajian partisipasi masyarakat misalnya oleh Sukesti Budiarti dan
9
Endang Pujiastuti (tesis), menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan pengembangan dapat dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi dan persepsi mereka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan objek pengembangan, dalam kajian ini persepsi masyarakat
terhadap hal-hal terkait pengembangan
sektor pariwisata di Kampung Wisata Matras. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan difokuskan pada beberapa pertanyaan penelitian, antara lain sebagai berikut : 1. bagaimanakah karakteristik sosial ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap pengembangan Kampung Wisata Matras?; 2. bagaimanakah bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pengembangan Kampung Wisata Matras?; dan 3. bagaimanakah hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan persepsi masyarakat dengan tingkat pertisipasi mereka terhadap pengembangan Kampung Wisata Matras?.
1.3 TUJUAN PENELITIAN Untuk menjawabdari bebrapa rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini antara lain : 1. mengkaji karakteristik sosial ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap pengembangan Kampung Wisata Matras; 2. mengkaji bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pengembangan Kampung Wisata Matras; dan
10
3. mengkaji hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan persepsi masyarakat dengan tingkat partisipasi mereka terhadap pengembangan Kampung Wisata Matras.
1.4 KEGUNAAN PENELITIAN 1. sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi pemda (Disbudpar) dan stakeholders terkait lainnya, terutama sebagai input dalam perumusan perencanaan pengembangan sektor pariwisata di Kampung Wisata Matras; 2. sebagai upaya untuk mengetahui potensi dan permasalahan atau hal-hal yang selama ini menjadi pendukung dan penghambat pengembangan Kampung Wisata Matras; 3. sebagai upaya sosialisasi program kerja atau kebijakan dari pemda kepada masyarakat setempat secara keseluruhan, atau sebagai sumber informasi dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan penelitian selanjutnya yang relevan.
1.5. KEASLIAN PENELITIAN Ada beberapa penelitian yang relevan dengan kajian kali ini, utamanya yang mengkaji tentang partisipasi masyarakat dan hal-hal yang berhubungan bahkan berpengaruh terhadap kemauan berpartisipasi dan tinggi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat (Tabel 1.1). Beberapa penelitian tersebut dilaksanakan pada tahun 2008 – 2011. Ini bertujuan agar hasil yang diperoleh nantinya dapat saling berkaitan dan terintegrasi satu sama lain.
11
Tabel 1.1 : Keaslian penelitian NO
1
2
JUDUL
TUJUAN
METODE
Persepsi masyarakat Desa Merdikorejo terhadap pengembangan Desa Wisata Trumpon dikecamatan Tempel Kabupaten Sleman. (Skripsi) Oleh : Damarjati Wirawan (2008)
1) Mengetahui perencanaan dan pengelolaan yang terkait dengan pengembangan desa wisata trumpon; 2) Mengkaji pengetahuan dan persepsi masyarakat didesa merdikorejo terhadap pengembangan desa wisata trumpon; dan 3) Mengetahui hubungan antara persepsi masyarakat desa merdikorejo terhadap pengembangan desa wisata trumpon dengan tingkat partisipasi masyarakat.
1) Deskriptif kualitatif; 2) Skoring; 3) Analisis Chi-Square (x2); dan 4) Korelasi Spearman’s Rank (rho)
1) Perencanaan deswit trumpon sudah baik, namun pengelolaannya kurang optimal karena kendala komunikasi dan promosi; 2) Masyarakat desa Merdikorejo cenderung berpersepsi baik terhadap pengembangan deswit trumpon; dan 3) Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi masyarakat dengan tingkat partisipasinya, sehingga semakin tinggi tingkat partisipasinya, maka persepsi masyarakat terhadap pengembangan deswit trumpon juga semakin baik.
Persepsi dan peranserta masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional gunung merapi (kasus Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman) (Tesis) Oleh : Dwi Retnowati Narsuka (2009)
1) Mengetahui tingkat pengetahuna masyarakat tentang taman nasional gunung merapi (TNGM) dari segi status penetapan dan pengelolaannya; 2) Mengetahui persepsi dan tingkat peranserta masyarakat desa Umbulharjo dalam pengelolaan TNGM; dan 3) Mengetahui pengaruh tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, ringkat ekonomi serta jarak tempat tinggal dengan batas taman nasional terhadap persepsi dan tingkat peranserta masyarakat desa Umbulharjo dalam pengelolaan TNGM.
1) Tabel frekuensi; 2) Skoring; 3)Crosstab; 4) Analisis peta.
1) Pengetahuan masyarakat desa Umbulharjo terhadap TNGM kategori tinggi, sedangkan persepsinya kategori sedang; 2) Peranserta masyarakat desa Umbulharjo terhadap TNGM pada kategori sedang; dan 3) Tingkat pengetahuan masyarakat berkorelasi positif dengan tingkat persepsi terhadap TNGM, sedangkan tingkat partisipasi dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan jarak tempat tinggal dengan TNGM.
12
HASIL
3
4
5
Persepsi dan partisipasi masyarakat desa sekitar hutan terhadap system PHBM di perum perhutani (kasus di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat)(Tesis) Oleh : Sukesti Budiarti (2011)
1) Mengetahui pelaksanaan kegiatan-kegiatan PHBM di perum perhutani KPH cianjur; 2) Mengetahui persepsi masyarakt terhadap system PHBM dan partisipasi mereka dalam kegiatan PHBM di KPH cianjur; dan 3) Memperoleh informasi mengenai faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat dalam system PHBM.
1) Skoring; 2) Analisis Chi-Square (x2); dan 3) Spearman’s Rank (rho)
1) Sekitar 85,56% masyarakat sekitar hutan memiliki persepsi yang tinggi terhadap kegiatan PHBM, tetapi tingkat partisipasi terhadap PHBM kategori rendah; 2) Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh pengelaman bertani dan jenis pekerjaan, dan luas lahan milik. Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan formal.
Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. (Tesis) Oleh : Endang Pujiastuti (2011)
1) Mengkaji persepsi masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan HTR, 2) Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR, 3) Mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan HTR, 4) Mengukur dan menganalisis hubungan anatara karakt. sosial ekonomi masyarakat dan persepsinya dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan HTR.
1) Deskriptifkualitatif, skoring 2) Regresi logistik berganda 3) Skoring 4) Korelasi Spearman’s Rank
1) Tingkat persepsi masyarakat terhadap ketentuan HTR dikategorikan sedang, dan baru pada tahapan pemberian ijin, 2) Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan HTR masih rendah 3) Tingkat persepsi masyarakat lebih dapat menjelaskan keputusan seseorang untuk berpartisipasi daripada karakt. Sosial ekonomi 4) Persepsi masyarakat berhubungan positif dengan partisipasi.
Kajian persepsi dan partisipasi masyarakat Kampung Matras dan Sekitarnya terhadap pengembangan Kampung Wisata Matras diKecamatan SungailiatKabupate n Bangka. (Skripsi) Oleh : Kaswandi (2013)*
1) Mengkaji karakteristik sosial ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap pengembanganKampung Wisata Matras; 2) Mengkaji bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pengembanganKampung Wisata Matras; dan 3) Mengkaji hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan persepsi masyarakat dengan tingkat partisipasi mereka terhadap pengembangan Kampung Wisata Matras.
1) Deskriptifkualititatif, Skoring; 2) Deskriptifkualititatif, Skoring; Mann-Whitney U Test, 3) Crosstabd, Chi-Square, Spearman’s Rank (rho)
(* Mahasiswa peneliti)
13
-
1.6.TINJAUAN PUSTAKA 2.6.1. Pariwisata dan Industri Pariwisata Banyak sekali batasan tentang pariwisata yang diberikan oleh para pakar, namun belum terdapat kesamaan persepsi tentang batasan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa belum ada suatu batasan yang dapat diterimadan disepakati secara universal oleh semua pihak terkait batasan-batasan yang telah ada. Para pakar pariwisata memberikan batasan pariwisata mendasarkandari sudut pandang, pengalaman sertalatarbelakang pendidikan masing-masing, bahkan literatur-literatur luar negeri sering menggunakan kata travel(perjalanan) sebagai pengganti kata tourism (pariwisata) padahal maksud dari kedua kata ini berbeda meskipun keduanya berhubungan sangat erat (Yoeti, 1997) Oka A. yoeti dalam buku “Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata” memberikan 4 (empat) syarat atau kriteria suatu perjalanan (travel) dikatakan sebagai kegiatan wisata(tourism), yaitu : 1) Perjalan keluar dari tempat kediaman dimana orang itu biasanya tinggal, 2) Waktu perjalanan ≥ 24 jam kecuali excursionist (<24 jam), 3) Tujuannya semata-mata untuk bersenang-senang (to pleasure), bukan mencari nafkah ditempat yang di kunjungi, 4) Uang yang dibawa wisatawan berasal dari tempat asalnya bukan didapat ditempat tujuan atau selama perjalanan wisata. “Tourism as the sum of phenomena and relationship arising from the interaction of tourists, business suppliers, host governments, and host communities in process attracting and hosting these tourists and others visitors”.
14
Inti dari pernyataan ini bahwa pariwisata merupakan suatu fenomena akibat interaksi antara wisatawan, perusahaan sebagai penyedia akomodasi wisata, pemerintah dan masyarakat setempat sebagai tuan rumah dalam menarik dan melayani wisatawan yang berkunjung. Ada 4 (empat) unsur penting yang terkandung dalam pengertian ini, anatara lain : 1)Wisatawan(tourist), 2) Pasar pemasok(business suppliers), 3) Pemerintah (host government), 4) Masyarakat setempat (host communities) dan unsur-unsur inilah yang saling berinteraksi secara integratif dalam membentuk kegiatan pariwisata (McIntosh, 1995). “Tourism as an open system of five elements interacting with broader environments, the human element tourist, three geographical elements: generating region, transit route and destinations region and a economic element, the tourist industri” (McIntosh, 1995) Dari pernyataan di atas, ada 5 (lima) unsur utama yang saling berinteraksi dalam membentuk kegiatan pariwisata, yakni unsur manusia (tourist),unsur geografi (geographical view)yang terdiri dari 3 (tiga) unsur meliputinegara asal wisatawan (generating region), negara transit (transit region), dan negara tujuan (destination region) serta unsur ekonomi berupa industri pariwisata (tourism industry) (Leiper, 1981). World Tourism Organization (WTO, 1997) memberikan definisi tersendiri tentang pariwisata, yaitu sebagai berikut : “Tourism comprises the activities of person travelling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutif year for leisure, business and other purposes”. Dari definisi ini, dimensi tempat (place) dan waktu (time) menjadi batasan penting dalam memahami kegitan pariwisata(tourism). Dimensi tempat berarti kegiatan pariwisata ditujukan pada suatu tempat di luar tempat rutinitasnya,
15
sedangkan dimensi waktu berarti wisatawan tidak tinggal di daerah tujuan wisata (destination place)dalam jangka waktucukup lama. Hal serupadiungkapkan Burkat dan Medlik (1987), yang juga menitikberatkan pada dimensi tempat dan waktu sebagai batasan utama dalam mengkaji pariwisata. Menurut keduanya, Pariwisata didefinisikan sebagai mobilitas orang menuju tempat baru di luar tempat mereka beraktivitas sehari-hari dalam jangka waktu sementara saja. Pariwisata (tourism)setidaknya memiliki dua aspek yakni kelembangaan dan substansial (Kuntowijoyo, 1991 dalam Yoeti, 1997). Secara kelembagaan, pariwisata adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan rekreatifnya. Dalam hal ini, pariwisata dilihat dari sisi manajemennya dalam usaha pengembangan, perencanaan, dan pengelolaannya serta usaha pemasaran atau pomosi kegiatan pariwisata kepada para wisatawan. Sedangkan dari segi substansialnya,
pariwisata
merupakan
bagian
dari
budaya
masyarakat
(culture)yang kompleks dan dapat dikaji dari berbagai sudut pandang baik kaitannya dengan pengalaman manusia, perilaku sosial, sumberdaya, bisnis dan industri serta sebagai fenomena geografis (Smith, 1989). Sebagai fenomena geografis (geographical phenomena), pariwisata akan senantiasa bergantung pada ciri khas kawasan dimana objek wisata itu berada baik terkait ciri fisik kawasanmaupun sosial budayanya. Konsep geografiyang menekankan pada pola (pattern), struktur(structure), distribusi(distribution) sertakeunikan(uniqueness)setiap kawasanmengindikasi bahwa setiap kawasan memiliki fenomena tersendiri yang saling berbeda (Yunus, 2010). Hal inilah mengindikasikan bahwa potensi objek/atraksi wisata dikawasan Kampung Wisata
16
Matras juga berbeda dengan kawasanwisata disekitarnya yang menjadi nilai lebih dalam memasarkan pariwisata pada calon wisatawan. Dewasa ini kegiatan pariwisata semakin berkembang pesat bahkan telah menjadi sebuah industri besar dan kompleks yang akan menjadi sektor unggulan(leading sector)peningkatan derajat pertumbuhan wilayah terutama sebagai penggerak kegiatan ekonomi kawasan setempat. Namun kenyataan bahwa penyebutan pariwasata (toursm) sebagai sebuah industri(industry) masih dalam perdebatan. hal ini cukup beralasanmerujuk pada apa yang diungkapkan Robert Crishtie Mill dan Alastair M. Morison (1984) dalam bukunya berjudul “The Tourism System: An Introduction Text”, menjelaskan bahwa pariwisata sebagai sebuah fenomena yang sulit untuk dijelaskan serta sering terjadi kesalahan ketika menyebutkan pariwisata sebagai sebuah industri. Hal ini karena alasan utama penyebutan pariwisata sebagai industriadalah agar lebih berkesan politis dan ekonomis sehingga akan lebih menarik serta mendapat dukungan dari stakeholders yang terlibat terutama masyarakat. Tiga komponen utama terkait penyebutan pariwisata sebagai industri (tourism industry), yakni komponen transportasi-infrastruktur, akomodasihospitality services, dan travel distribution system (WTO, 1997). Sejalan dengan ulasan di atas, McIntosh (1995) mejelaskan bahwa kegiatan pariwisata muncul akibat adanya pergerakan manusia, barang dan informasi(people, goods and information movement) dari perjalanan menuju destinasi wisata disertai dengan muatan ekonomi, politik dan sosial budaya dari tingkat lokal, regional, nasionalbahkan internasional.
17
Industri pariwisata didukung oleh kelompok perusahaan industri lain yang melayani secara langsung kepentingan wisatawan sehingga tanpa hal ini maka sektor pariwisata akan sulit berkembang karena keterbatasan pengunjung akibat susahnya mengakses objek wisata yang ada karena keterbasan infrastruktur dan suprastruktur pendukung pariwisata. Perusahaan-perusahaan ini menghasilkan output yang secara langsung dimanfaatkan oleh wisatawan sebagai produk industri pariwisata (Yoeti, 1997). Tabel 2.1 : Kelompok industri pariwisata dan produk-produk yang dihasilkan Jenis Perusahaan 1. Travel agent/tour operator
Produk 1. Informasi, advice, paket wisata
2. Penerbangan/angkutan pariwisata
2. Seats/transfer ke hotel atau airport
3. Akomodasi hotel
3. Kamar penginapan dan lainnya
4. Restoran dan sejenisnya
4. Makanan dan minuman
5. Bank/money changer
5. Penukaran valuta asing
6. Shopping center
6. Cenderamata dan oleh-oleh
7. Retail stores
7. Bermacam keperluan perjalanan
Sumber : Oka A Yoeti, 1997
1.6.2. Persepsi 1.6.2.1. Pengertian Persepsi Manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial akan selalu berinteraksi dengan lingkungan sekita dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Dalam proses interaksi tersebut, manusia mampu menerima rangsangan(stimulus) dari berbagai fenomena yang terjadi diluar pribadi (lingkungan sekitar), dan hal inilah yang menjadi input (input)dari lahirnyasebuah persepsi seorang individu.Persepsi itu sendiri lahir melalui proses penginderaan yang kemudian 18
mampu menerima rangsangan(stimulus) dari fenomena yang terjadi sehingga muncul kesadaran dan pengertian tentang kondisi lingkungan internal dan eksternal dari seorang individusebagai perseptor (Davidoff, 1981; Walgito, 2004). Secara etimologis, persepsi berasal dari kata perception (Inggris) atau percipare (Latin) yang berarti menerima atau mengambil.Sarwono (1992) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses memperoleh, menginterpretasi hingga mengorganisir informasi yang diterima oleh panca indera kaitannya dengan perasaan yang berakar dari peta kognitif perseptor yang terstruktur dan menjadi penghubung antara pengalaman masa lalu (history) dengan interpretasi gagasan dan emosi saat ini. Senada dengan pengertian di atas, Ruch (1967) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses dari pengalaman inderawi (sensory) terkait pengalaman masa lalu (history) yang relevan dan saling berkaitan yang diorganisasikan untuk menggambarkan dan memaknai situasi tertentu secara terstruktur. Atkinson danHilgard (1991), persepsi merupakan proses penafsiran dan pengoraganisasian dari pola stimulus dari situasi lingkungan sekitar. Sebagai sebuah proses, persepsi mencakup penerimaan rangsangan (stimulus) sebagai input proses, pengorganisasian dan penerjemahan atau penafsiran rangsangan sebagai output proses, sehingga membentuk suatu sikap atau tafsiran dari situasi lingkungan disekitarnya (Gibson, 1986). Sebagai sebuah proses, terdapat tiga komponen utama pembentuk persepsi, yakni : 1) seleksi/filterisasi (to select) terhadap input-input dari luar dengan intensitas dan jenis yang banyak atau sedikit, 2) interpretasi (to interpret)yakni pengorganisasian dari input-input sehingga memiliki arti bagi
19
seorang perseptor, 3) penerjemahan (to translate) dari input yang terseleksi membentuk suatu tingkah laku sebagai sebuah reaksi, sikap atau respon dari situasi yang ada (Sobur, 2003). Penalaran Stimulus
Persepsi
Pengenalan
Sikap atau Respon
Perasaan Gambar 1.1 : Proses pembentukan sikap oleh persepsi (Sobur, 2003)
Berkaitan dengan definisi persepsi dari para ahli di atas, Thoha (2007) juga memberikan definisi tersendiritentang persepsi, bahwa : “Persepsi hakikatnya merupakan proses kognitif dari seseorang dalam memahami situasi lingkungan disekitarnya melalui penginderaan (penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan serta penciuman) Pemahaman tentang persepsi bukanlah tentang pencatatan kebenaran dari informasi yang ada melainkan tentang penafsiran yang unik dari situasi yang ada” (Thoha, 2007). Sejalan dengan definisi di atas, Krech (1968), persepsi adalah : “Peta kognisi dari individu yang konstruktif mengenai fenomena terntentu namun kurang sempurna sehingga perlu diseleksi sesuai dengan kepentingan utamanya dan dipahami menurut kebiasaannya” (Krech, 1968)
Berikut ini beberapa definisipersepsi menurut para ahli, sebagai berikut : 1. menurut Grice (1964), persepsi diartikan sebagai proses sebab akibat. Persepsi lahir sebagai akibat dari berbagai rangsangan (stimulus)yang diterima individu terkait suatu fenomena tertentu sehingga memunculkan suatu kesan atau opini terhadap fenomena yang diamatinya tersebut.Dalam hal ini, Krech (1968) berpendapat bahwa selain faktor rangsangan (stimulus) yang diterima individu sebagai faktor eksternal, ada faktor
20
internal dari individu itu sendiri yang mempengaruhi persepsinya misalnya pengalaman, perasaan,keinginan,pengetahuan, sikap dan tujuan. 2. menurut
Lindsay dan
penyeleksian,
Norman
pengorganisasian
(1977), dan
persepsi
sebagai
penginterpretasian
dari
proses suatu
fenomena yang koheren dengan dunia nyata. Oleh sebab itu, setiap orang bisa jadi berbeda persepsinya terhadap suatu fenomena yang sama. Berbagai definisi dari para ahli terkait dengan persepsi menunjukkan bahwa tidak ada definisi yang baku secara universal dalam mengartikan persepsi. Hal ini karena persepsi diartikan dari berbagai sudut pandang dan pengalaman masa lampau (experience) serta kualitas dan konsentrasi bidang keilmuan masing-masing para ahli. Namun, dari berbagai definisi tentang persepsi di atas, setidaknya persepsi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. merupakan bentuk sudut pandang seorang individu, 2. sebagai sebuah proses yang dimulai dari penerimaan stimulus (input), pengorganisasian stimulus dan penafsiran stimulus (output) hingga menghasilkan suatu sikap atau tafsiran, 3. terkait pengalaman masa lampau yang konstruktif dan diorganisasikan untuk menafsirkan kondisi saat ini, 4. adanya proses pemaknaan dari fenomena/objek sekitar dari seorang individu,
21
5. antar individu dapat memiliki tipikal output persepsi yang saling berbeda terkait suatu fenomena meskipun input dan prosesnya serupa atau hampir sama.
1.6.2.2. Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Persepsi Salah satu ciri persepsi, bahwa antar individu memungkinkan berbeda secara tipikal terkait sikap/respon dari proses persepsinya dari suatu objek/situasi tertentu. Ada faktor-faktor yang mempengaruhi hal ini dapat terjadi seperti yang digambarkan Rivai (2003), sebagai berikut : Faktor pada proses Persepsi : - Sikap - Motif - Kepentingan - Pengalaman - Pengharapan Faktor dalam situasi : - Waktu - Keadaan - Pengalaman
PERSEPSI
Faktor pada Target : - Hal baru - Gerakan - Bunyi - Ukuran - Latarbelakang - Kedekatan Gambar 1.2 : Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Rivai, 2003) Dari bagan di atas, dapat dipahami beberapa pengertian, yaitu : 1) faktor pada pelaku persepsi (perseptor) yakni terkait sikap, motif, kepentingan (Interest), preferensi/selera, pengalaman dan pengharapan, 2) faktor pada objek/situasi yang
22
dipersepsikan terkait hal-hal baru, gerakan, bunyi, ukuran/bentuk, latarbelakang serta kedekatan, 3) faktor konteks situasi dan kondisi ketika persepsi dihasilkan terkait waktu, tempat dan keadaan lingkungan sekitar.
1.6.3. Partisipasi 1.6.3.1. Pengertian Partisipasi Kata partisipasi berasal dari kata participate, participation (Inggris), participo, participatium (Latin) yang berarti ambil bagian atau pengikutsertaan (Purnawan dan Widayati, 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partisipasi (participation) adalah perihal turut berperan serta, keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan.Davis dalam Sastroputro (1989), partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi dalam proses pencapaian sebuah tujuan bersama dan ikut bertanggungjawab didalamnya terkait proses dan hasil yang dicapai (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi) Sejalan dengan pengertian dari Davis, Terry (1986) juga mendefinisikan partisipasi sebagai turut sertanya seseorang secara mental dan emosional pada proses pembuatan keputusan melalui sumbangan tertentu, terutama terkait persoalan keterlibatan pribadi dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam suatu kegiatan. Dalam prosesnya, partisipasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan seorang individu dalam tahapan kegiatan seperti pertemuan dan aktif didalamnya, pelaksanaan, pengawasan, serta evaluasi kegiatan merupakan partisipasi secara langsung. Sedangkan partisipasi tidak langsung berupa mematuhi aturan yang ditetapkan, motivatif, serta mendukung
23
secara moral transparansi kegiatan (Sinha dan Suar, 2006). Dari beberapa pengertian di atas, maka pada dasarnya partisipasi terkait erat dengan keterlibatan secara mental, emosional dan fisikal seseorang dalam memberikan respon terhadap pelaksanaan suatu kegiatan, serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggungjawab atas keterlibatannya.
1.6.4. Desa Wisata dan Pengembangannya 1.6.4.1 Pengertian Desa Wisata Sektor pariwisata mengalami perkembangan yang sangat pesat akhir-akhir ini sehingga muncul kekhawatiran terkait dengan dampak negatif yang akan timbul dari aktivitas pariwisata sehingga diperlukan suatu pola pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan mampu berdampak positif bagi masyarakat serta lingkungan sekitar. Berbagai terminologi muncul terkait dengan problema ini seperti sustainable tourism development, village tourism, ecotourism sebagai pendekatan dalam pengelolaan pariwisata untuk menjamin keberlanjutan pariwisata dikawasan bukan perkotaan. Salah satu pendekatan alternatif yang menarik untuk dikaji dalam pengelolaan pariwisata di kawasan bukan perkotaan adalah konsep desa wisata dengan tujuan utama untuk menjamin keberlanjutan pembangunan perdesaan. Prinsip-prinsip pengelolaan dalam konsep ini antara lain, yakni: a) memanfaatkan sarana dan prasarana setempat, b) menguntungkan masyarakat setempat, c) berskala kecil, d) melibatkan partisipasi masyarakat setempat, serta e) konsentrasi pada pengembangan sumberdaya dan produk pedesaan (Sastrayuda, 2010).
24
Nuryanti (1993), dalam“Tourism: Concept, Perspective and Challenges :2-3”, desa wisata adalah integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata kaitannya dengan struktur kehidupan masyarakat setempat dalam hal tata cara dan tradisi yang berlaku. Akomodasi terkait dengan tempat tinggal masyarakat beserta unit-unit pendukungnya, sedangkan atraksi terkait setting fisikal(physical settings) kawasan wisata berserta corak kehidupan masyarakat terkait interaksi dan integrasi dengan wisatawan yang berkunjung. Edward Inskeep (1991), dalam “Tourism planning An Integrated and Sustainable Development Approach” memberikan definisi tentang desa wisata sebagai berikut : “Village tourism, where small groups of tourist stay or near traditional, often remote villages and learn aboutvillage life and the local environment” (Inskeep, 1991)
Dari definisi di atas, dijabarkan bahwa desa wisata merupakan kawasan desa yang memiliki objek/atraksi wisata yang unik dan letaknya terpencil dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal didalamnya atau disekitarnya disertai dengan proses belajar tentang kehidupan masyarakat tradisional setempat. Ikaputra (1985), desa wisata merupakan lingkungan permukiman beserta fasilitas pendukungnya dan wisatawan dapat menikmati, mengenal serta menghayati keunikan dari objek/atraksiwisata yang ada diperdesaan tersebut. Dalam kegiatannya, terjadi interaksi sosial, hunian wisatawan serta berbagai fenomena sosial masyarakat sehingga terwujud lingkungan yang harmonis, rekreatif dan integratif serta hubungan yang positif dengan lingkungansekitar.
25
Akan tetapi, dalam prakteknyaterdapat perbedaan antaradesa wisata dengan wisata perdesaan. Desa wisata merujuk pada bentuk kawasan permukiman diperdesaan yang hadir secara sengaja atau tidak, dan telah menjadi kawasan tujuan wisata dengan objek/atraksi wisatanya dan memungkinkan wisatawan menginap didalamnya. Sedangkan wisata perdesaan merujuk pada kawasan perdesaan dengan objek/atraksi wisatanya, wisatawan berkunjung namun tidak menginap didalamnya melainkan menginap dikawasan sekitar/didekatnya seperti dihotel atau dikota karena fasilitaas pendukung pariwisata yang terbatas. Perbedaan keduanya, terletak pada aktivitas “menginap didesa atau tidak” ketika wisatawan berkunjung (Ahimsa-Putra, 2000).
1.6.4.2 Pengembangan Desa Wisata Banyak pendekatan yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangan pariwisata daerah salah satunya pembangunan pariwisata berbasis desa wisata. Melalaui pendekatan ini, keberadaan objek/atraksi wisata yang terdapat dikawasan perdesaan terkelola dengan baik serta berdampak positif dalam meningkatkan intensitas kunjungan wisatawan serta berdampak pada pemerataan pembangunan hingga tingkat desa dan mampu meningkatkan kualitas pendapatan ekonomi masyarakat setempat. Prinsip dasar dalam pengembangan desa wisata antara lain terkait dengan : a) ketersediaan dan pelayanan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil baik infrastruktur maupun suprastruktur pendukung, b) fasilitas pendukung wisata yang ada dikelola secara langsung oleh masyarakat setempat, c) didasarkan pada sifat budaya tradisional dan sifat objek/atraksi wisata didesa
26
sebagai daya tarik dan tujuanutama wisatawanmelakukan kunjungan wisata (www.wikipedia.org, 2006). Dalam skala nasional, pemerintah melalui kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif (Kemenparekraf) akhir-akhir ini semakin serius mengembangkan pendekatan desa wisata ini. Indikasinya bahwa pada tahun 2011 tercatat sekitar 569 desa telah berstatus sebagai desa wisata. Bahkan jumlah tersebut semakin bertambah pada tahun 2012 yaknisekitar 978 desa wisata dan pada tahun 2013 terus meningkat menjadi 1.300 desa wisata yang tersebar di 33 Propinsi di Indonesia dan ditargetkansekitar 2.000 desa wisata pada tahun 2014. Salah satu program unggulan untuk mencapai target di atas yang dicanangkan oleh Kemenparekraf yaitupemberian bantuan finansial kepada setiap desa wisata yang disalurkan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) bidang pariwisata yang telah dilakukan sejak tahun 2007. Pada tahun 2013, telah dianggarkan dana sekitar 160 miliar untuk mendukung program pembangunan desa wisata yang tersebar di 33 Propinsi di Indonesiadan tercatat sekitar 1.245 desa wisata pada tahun 2013 telah mendapatkan bantuan dana pembangunan tersebut (sumber: http://www.antarasumsel.com/berita/270918). Pemberian bantuan finansial kepada desa melalui program PNPM-Mandiri ini, diharapkan mampu menjadikan desa sebagai kekuatan dahsyat tonggak perekonomian nasional khususnya dari bidang kepariwisataan. Secara lebih khusus, tujuan utama dari program ini adalah mampu menggerakkan perekonomian masyarakat desa menjadi lebih variatif dan berdaya guna dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa itu sendiri. Fokus utamanya yaitu
27
pada kegiatan pemberdayaan masyarakat desa (empowerment of rural society)dalam menanggulangi kemiskinan dan pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja barusehingga masyarakat memiliki kemampuan (ability) untuk mengaksesaset-aset
penghidupan
yang
tersedia
sehingga
lebih
tangguh
(resilliance) terhadap berbagai ancama kerentanan (sumber: http://simpadupnpm.bappenas.go.id) PriasukmanadanMulyadin (2001), menjelaskan bahwa pengembangan desa wisata seharusnya dilaksanakan oleh perangkat desa itu sendiri meliputi kepala dan aparat desa serta masyarakat desa pada umumnya yang diperbantukan oleh badan pengawas desa sebagai manajer di bawah pembinaan dinas pariwisata daerah setempat. Menurut keduanya, tahapan-tahapan dalam pelaksanaan pembangunan desa wisata, antara lain : 1) Perencanaan, meliputi : 1. Survei(survey) lapangan, 2. Penyusunan rencana tapak, 3. Penyusunan anggaran dan sumber anggaran, serta 4. Perencanaan sumber daya manusia. 2) Pelaksanaan Pembangunan, meliputi : 1. Pembangunan prasarana, serta 2. Pelaksanaan pembangunan. 3) Pengelolaan,meliputi : 1. Recruiting sumber daya manusia, 2. Pengorganisasian, serta
28
3. Promosi. 4) Monitoring dan Evaluasi (Monev), meliputi : 1. Monitoring, penelitian dan pengembangan, serta 2. Pelaporan. Ada beberapa langkah yang perlu dilaksanaka dalam pengembangan desa wisata (PriasukmanadanMulyadin, 2001), antara lain : 1) pemberdayaan masyarakat Tahapan ini dapat dilaksanakan melalui pendidikan, pelatihan skill serta keikutsertaan dalam seminar, diskusi dan sejenisnya serta pelatihanpelatihan dibidang yang berkaitan dengan pariwisata. 2) kemitraan atau kerjasama Yakni kemitraan yang saling menguntungkan antar stakeholders yang terlibat dalam upaya pengembangan desa wisata. Bidang kerjasama yang dapat dilakukan antara lain: akomodasi wisata, perjalanan, promosi, pelatihan, perhotelan, retail dan sebagainya. 3) kegiatan pemerintahan di desa Kegiatan seperti rapat-rapat dinas, pameran pariwisata, serta kegiatan terkait dengan adat dan kebudayaan serta keyakinan masyarakat setempat yang diupayakan terselenggara dikawasan desa wisata. 4) promosi Upaya mempromosikan keberadaan desa wisata sangat penting agar wisatawan dapat mengetahui potensi dan keberadaan objek/atraksi wisata yang dipromosikan. Promosi melalui media cetak/elektronik,
29
mengundang wartawan media jika ada kegiatan di desa wisata sangat penting untuk diupayakan. 5) festival atau pertandingan Adanya kegiatan festival atau pertandingan yang diselenggarakan didesa wisata bertujuan untuk menarik minat kunjungan wisatawan ke desa wisata tersebut misalnya festival kesenian, pertandingan olah raga dan festival lainnya. 6) pembinaan organisasi kemasyarakatan Ikatan kekeluargaan yang masih kuat didesa, sehingga muncul berbagai organisasi kemasyarakatan seperti koperasi keluarga perlu diberdayakan sebagai modal berharga dalam memajukan kelembagaan di desa wisata. 7) kerjasama dengan akademisi (universitas) Berbagai kegiatan akademis seperti survei, kuliah lapangan, KKN dan riset pengembangan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak akademisi atau universitas sangat membantu, kaitannya untuk menjaring isu-isu strategis sebagai data input produk perencanaan dan pengembangan bagi Kampung Wisata Matras yang lebih baik.
2.5 KERANGKA PEMIKIRAN Keragaman objek/atraksi wisata utamanya wisata bahari, pantai dan berbagai tradisi budaya, kuliner dan sejarah khas daerah di Pulau Bangka, menjadikannya sebagai destinasi wisata yang mulai dilirik wisatawan domestik
30
bahkan mancanegara akhir-akhir ini. Kawasan Kampung Wisata Matras, lokasi penelitian, yang terletak di Kelurahan Sinar Baru adalah salah satu kawasan wisata yang menyajikan berbagai potensi objek/atraksi wisata cukup potensial. Bahkan, dari data Disbudpar setempat, kawasan wisata ini menjadi destinasi utama wisatawan dari 13 kawasan wisata sejenis di Pulau Bangka. Potensi objek/atraksi wisata yang ada, didukung oleh tradisi budaya masyarakat yang unik, beragam dan welcome menjadi daya tarik (pull factors) kunjungan wisatawan. Dari data survei pada tahun 2010 melalui media facebook menunjukkan bahwa 96% responden menyatakan suka terhadap panorama objek wisata di Pulau Bangka dan sebagian besarnya merujuk pada keberadaan objek/atraksi wisata di Kampung Wisata Matras khususnya Pantai Matras dan Parai Tenggiri (Sumber : BUKJAM Babel, 2010). Hal ini berarti masyarakat sudah cukup mengenal dan tertarik akan keberadaan objek/atraksi wisata di Kampung Wisata Matras. Melalui promosi dan pengelolaan yang baik, indikasi ini menjadi modal penting pengembangan sektor pariwisata setempat. Harapannya, selain dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat, juga mampu meningkatkan derajat pertumbuhan wilayah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Status Kampung Wisata Matras sebagai kawasan wisata telah resmi sejak 1985 silam, ditandai dengan terbitnya perda tapak kawasan (perda no. 01/1985). Akan tetapi sejauh ini belum berdampak signifikan utamanya bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Selain itu, partisipasi masyarakat setempat selaku host dan pemilik sah atmosfir kawasan dalam program-program pengembangan juga dirasa belum optimal. Alasan utamanya karena pola pikir (mind set) dan background
31
masyarakat setempat bukan pariwisata sehingga diperlukan suatu pendekatan alternatif.untuk mengatasi hal ini. Langkah konkritnnya, pemerintah menetapkan kawasan ini sebagai Kampung Wisata pada tahun 2010 silam. Ini bertujuan agar masyarakat dapat menjadi pelaku dan inisiator pengembangan, sehingga tingkat partisipasinya lebih meningkat. Akan tetapi, selama 4 (empat) tahun sejak penetapan tersebut, belum dirasakan perubahan yang signifikan terkait perubahan pola pikir (mind set), kesadaran dan partisipasi masyarakatnya. Oleh sebab itu, salah satu tujuan penelitian ini adalah mengkaji faktor penghambat dan merumuskan strategi mengatasi hal tersebut. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan tentang kajian partisipasi masyarakat, misalnya dalam penelitian oleh Damarjati Wirawan (Skripsi), Sukesti Budiarti, Endang Pujiastuti dan Dwi Retnowati Narsuka (Tesis) (Tabel 1.1), menunjukkan bahwa faktor karakteristik sosial ekonomi, pengetahuan dan persepsi masyarakat berhubungan dan atau berpengaruh bagi tingkat partisipasi mereka dalam suatu kegiatan pengembangan. Oleh sebab itu, dalam kajian kali ini peneliti mengambil variabel karakteristik sosial ekonomi mencakup pengetahuan (x1) dan persepsi masyarakat terhadap hal-hal yang mendukung kepariwisataan (x2), yang keduanya disinyalir berhubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengembangan Kampung Wisata Matras (y1).
32
Pengembangan Kampung Wisata Matras Pelaksana Kebijakan didaerah MasyarakatKampung Matras dan Sekitarnya Karakteristik Sosial ekonomi (X1) -
Persepsi (X2) 1) Faktor Internal - Produk Perencanaan; - Objek/Atraksi Wisata; - Fasilitas Pariwisata; - Kelembagaan; - Kemanfaatan.
Umur; Jenis kelamin; Pendidikan; Pekerjaan; Pendapatan; Jumlah Tanggungan; Pengetahuan
2) Faktor Eksternal - Status Penetapan; - Kemitraan; - Peluang dan Daya Saing - Anggaran Dana; Deskriptif Kualitatif/Kuantitatif
Deskriptif Kualitatif/Kuantitatif
Tingkat Partisipasi (Y) 1) Perencanaan 2) Pelaksanaan Pembangunan 3) Pengelolaan 4) Monitoring dan Evaluasi
Deskriptif dan Korelasi Spearman
Impliksai Kebijakan Pengelolaan Kampung Wisata Matras
Keterangan : = Proses = Metode Analisis
Gambar 1.3 : Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
34
Deskriptif dan Korelasi Spearman
Gambar 1.4 : Peta tapak kawasan Pantai Matras dan Parai Tenggiri tahun 1985 36
1.7. BATASAN OPERASIONAL 1) Persepsi berasal dari kata perception (Inggris) atau percipare (Latin) yang berarti menerima atau mengambil. Walgito (2004), persepsi itu lahir melalui proses penginderaan dan penerimaan rangsangan (stimulus) dari fenomena yang terjadi sehingga muncul kesadaran dan pengertian tentang kondisi lingkungan internal dan eksternal dari seorang individu sebagai perseptor. Grice (1964), persepsi merupakan proses sebab akibat. Persepsi lahir akibat dari berbagai rangsangan (stimulus) yang diterima perseptor dari fenomena tertentu sehingga memunculkan kesan atau opini terhadap fenomena yang diamatinya tersebut. Dalam penelitian ini, persepsi masyarakat diartikan sebagai kesadaran, opini atau kesan masyarakat terhadap hal-hal yang mendukung keberadaan Kampung Wisata Matras, seperti : persepsi terhadap produk perencanaan, objek/atraksi wisata, fasilitas dan kelembagaan pariwisata, kemanfaatan (internal), status penetapan, kemitraan dengan stakeholders, peluang dan daya saing serta anggaran dana (eksternal) 2) Partisipasi berasal dari kata participate, participation (Inggris), participo, participatium (Latin) yang berarti ambil bagian atau ikutserta (Purnawan dan Widayati, 2005) Davis (dalam Surastopo, 1989), partisipasi adalah suatu bentuk keterlibatan mental dan emosi dalam proses pencapaian sebuah tujuan bersama dan ikut bertanggungjawab didalamnya terkait proses dan hasil yang dicapai. Sinha dan Suar (2006), Partisipasi dapat berupa partisipasi langsung dan tidak langsung. Dalam penelitian ini,
37
partisipasi masyarakat dinilai berdasarkan keterlibatan atau keikutsertaan mereka baik secara langsung atau tidak langsung dalam kegiatan-kegiatan di setiap tahapan pengembangan Kampung Wisata Matras yang meliputi : tahapan perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta monitoring dan evaluasi. 3) Masyarakat berasal dari Bahasa Arab syaraka yang berarti (ikutserta atau berpartisipasi) Disebut juga society (Inggris) yang berasal dari kata socius (Latin) yang berarti (kawan) Sumadjan (dalam Soekanto, 2006), masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan yang memiliki kesamaan wilayah, identitas, kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. Koentjaraningrat (2009), masyarakat adalah sekumpulan individu yang saling bergaul dan berinteraksi menurut suatu sistem adat tertentu yang bersifat kontinu. Dalam penelitian ini, istilah masyarakat diartikan sebagai masyarakat lokal yakni individu-individu yang tinggal atau hidup bersama disekitar kawasan Kampung Wisata Matras di Kelurahan Sinar Baru, khususnya dikampung-kampung yang dijadikan sampel penelitian (Matras, Bukit Kuala, Hakok dan Bideng Ake) dan saling berinteraksi menurut sistem adat setempat dalam waktu yang cukup lama, baik sebagai pendatang atau asli (pribumi) 4) Pengembangan (Development) adalah proses atau tahapan pertumbuhan kearah yang lebih maju. Pertumbuhan (growth) merupakan peningkatan sesuatu dalam hal jumlah, ukuran adan arti pentingnya (McLeod, 1989)
38
Dalam The Dictionary of Psychology (1972), pengembangan merupakan tahapan-tahapan perubahan yang progresif yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan organisme lainnya, tanpa membedakan aspekaspek yang terdapat dalam diri organisme-organisme tersebut. Dalam penelitian ini, pengembangan diartikan sebagai usaha terencana yang dijabarkan dalam bentuk program atau kegiatan, yang bertujuan untuk mengelola, memajukan dan menjamin keberlanjutan Kampung Wisata Matras menjadi lebih progresif dan optimal. 5) Desa/Kampung Wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993) Inskeep (1991), desa wisata adalah kawasan desa yang memiliki objek/atraksi wisata yang unik dan letaknya terpencil dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal didalamnya atau disekitarnya disertai dengan proses belajar tentang kehidupan masyarakat tradisional setempat. Ikaputra (1985), desa wisata adalah lingkungan permukiman beserta fasilitas pendukungnya dan wisatawan dapat menikmati, mengenal serta menghayati keunikan dari objek/atraksi wisata diperdesaan tersebut. Dalam penelitian ini, penggunaan istilah kampung wisata sebagai istilah lain dari desa wisata, sebagai sebuah ciri khas daerah yang merujuk pada keberadaan Kampung Wisata Matras di Kelurahan Sinar Baru.
39