BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Mekanisme utama untuk mempertahankan ikatan sosial tersebut adalah bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan untuk membangun serta memelihara hubungan sosial dengan sesamanya. Dengan bahasa pula, manusia dapat mengekspresikan segala yang ada dalam pikiran mereka seperti ide, gagasan, dan lain-lain. Oleh karena itu, bahasa menjadi alat komunikasi utama yang berperan sangat penting bagi kehidupan manusia. Di dalam komunikasi, seorang penutur mengungkapkan tuturan dengan maksud untuk menginformasikan sesuatu kepada lawan tutur, dan mengharap lawan tuturnya memahami maksud yang ingin disampaikan oleh si penutur. Namun, ketika seseorang bertutur, ada kalanya maksud tuturannya tidak selalu seperti apa yang dikatakannya. Hal ini dikarenakan maksud tersebut tergantung pada konteks di mana ujaran tersebut diucapkan. Makna atau maksud tuturan yang terikat konteks penggunaannya dikaji dalam studi atau ilmu pragmatik. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yule (1996:3) bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Leech (1993:8) juga menjelaskan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations).
1
2
Pragmatik memiliki peranan penting dalam studi bahasa. Yule (1996:4) menyatakan bahwa the advantages of studying language via pragmatics is that one can talk about people‟s intended meanings, their assumptions, their purposes or goals, and the kinds of actions. Pendapat Yule (1996) tersebut mengungkapkan bahwa pragmatik memungkinkan kita untuk memahami makna sebenarnya, asumsi, tujuan dan maksud serta ragam kegiatan yang dilakukan seorang penutur dan lawan tuturnya ketika berbicara. Salah satu hal sentral dari kajian pragmatik adalah kajian mengenai tindak tutur. Tindak tutur merupakan teori yang lahir dari pemikiran seorang filsuf Inggris yaitu John L. Austin pada tahun 1955 di Universitas Harvard. Austin (1962:98) menyatakan bahwa pada dasarnya ketika seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu, misalnya pada waktu seseorang menggunakan kata kerja promise „berjanji‟, apologize „meminta maaf‟, dan name „menamakan‟ dalam tuturan I promise I will come on time, I apologize for coming late, dan I name this ship Elizabeth, maka yang bersangkutan tidak hanya mengucapkan sesuatu tetapi juga melakukan tindakan berjanji, meminta maaf dan menamakan (Nadar, 2006:11). Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa esensi dari teori tindak tutur ini terletak pada tindakan yang mengikuti satu tuturan tertentu atau dengan kata lain tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Austin (1962) membedakan tindak tutur menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusi (an act of saying something), tindak ilokusi (an act of doing something), dan tindak perlokusi (an act of affecting something). Dari ketiga macam tindak tutur tersebut, tindak ilokusi dikatakan sebagai tindak terpenting dan menjadi
3
bagian sentral dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Berangkat dari pemikiran Austin, Searle (1979:21) membagi tindak ilokusi berdasarkan fungsinya menjadi lima macam, yaitu representatif (asertif), direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Representatif (asertif) adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Direktif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran. Ekspresif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan sikap psikologis penutur. Komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam ujaran. Terakhir yaitu deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Dalam penelitian ini difokuskan pada salah satu tindak tutur, yaitu tindak tutur direktif. Beberapa pakar memberikan pendapat mengenai definisi tindak tutur direktif, seperti Searle (1979) via Leech (1993:64) menjelaskan bahwa tindak tutur direktif adalah tindak ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur atau lawan tutur. Yule (1996:93) juga berpendapat bahwa tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwasanya tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur supaya melakukan sesuatu seperti yang diinginkan/diperintahkan oleh si penutur, misalnya memerintah, melarang, mengundang, dan lain-lain.
4
Ada beberapa alasan yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tindak tutur direktif. Pertama, berdasarkan wujud formal sintaktiknya, tindak tutur direktif dapat dituturkan dengan berbagai bentuk kalimat, yakni kalimat berita (deklaratif), kalimat perintah (imperatif), dan kalimat tanya (interogatif). Hal ini berdasarkan pada pendapat Parker (1986:17) dan Wijana (1996:30) yang mengatakan bahwa pada dasarnya, secara formal, kalimat berdasarkan modusnya terbagi menjadi tiga yaitu; (1) kalimat berita (deklaratif) yang secara konvensional digunakan untuk memberitakan atau menginformasikan sesuatu, (2) kalimat perintah (imperatif) yang digunakan untuk menyatakan perintah; dan (3) kalimat tanya (interogatif) digunakan untuk menanyakan sesuatu. Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa pada dasarnya tindak tutur direktif memiliki modus kalimat perintah (imperatif). Akan tetapi, secara komunikatif, tindak tutur direktif juga dapat dituturkan dengan menggunakan modus kalimat berita atau kalimat tanya. Apabila kalimat difungsikan sesuai dengan modus kalimatnya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung. Sedangkan kalimat yang tidak sesuai dengan modus kalimatnya akan membentuk tindak tutur tidak langsung. Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini! (1) It seems to me that the religious conflict in Indonesia is more serious than many thought. Indonesia has many religions. Not only Sunni or Shia Muslims. There are also Catholics, Protestants, Hindus, Buddhists and maybe there are many others? But if the religious affairs minister is favoring only one, in this case the minister‟s own Sunni sect, that is a serious problem. The government must find a substitute who can handle all religions without discrimination. „Menurut saya konflik agama yang terjadi di Indonesia lebih serius dari permasalahan yang lain. Indonesia memiliki banyak agama. Tidak hanya muslim Sunni dan Syi‟ah saja, tetapi ada juga Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan mungkin ada banyak lagi yang lain. Tetapi jika menteri agama hanya mengasihi satu saja, dalam hal ini adalah sekte menteri itu
5
sendiri yakni Sunni, hal tersebut merupakan masalah yang serius. Pemerintah harus menemukan pengganti yang dapat menangani semua agama tanpa diskriminasi.‟ Konteks: penutur menyuruh pemerintah untuk mencari pengganti Menteri Agama Suryadharma Ali yang dapat menangani semua agama tanpa diskriminasi karena dianggap tidak dapat mengatasi masalah keagamaan khususnya permasalahan antara Muslim Syi‟ah dengan Muslim Sunni. Menurut penutur, menteri agama hanya memihak atau mendukung sekte atau alirannya sendiri, yaitu aliran Sunni. (The Jakarta Post, Reader‟s Forum, 11 September 2012) (2) After the local government officers failed to guarantee these people freedom and safety, now the Home Minister suddenly quoted to have said the government would guarantee their safety. Sir, which government do you mean, please? Could somebody control the situation from behind his chair in Jakarta? „Setelah pegawai pemerintah lokal gagal menjamin kebebasan dan keselamatan muslim Syi‟ah, sekarang menteri dalam negeri tiba-tiba mengatakan pemerintah akan menjamin keselamatan mereka. Pak, pemerintah yang mana yang anda maksud? Dapatkah seseorang mengendalikan situasi ini dari belakang kursi mereka di Jakarta?‟ Konteks: penutur bertanya kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi apakah seseorang (yang dimaksudkan adalah pemerintah) dapat mengendalikan situasi di Sampang dari belakang kursi mereka di Jakarta. Tuturan tersebut disampaikan untuk mengomentari pernyataan menteri dalam negeri bahwa pemerintah tidak akan merelokasi pengikut Syi‟ah di Sampang, Jawa Timur, tapi malah akan menjamin keselamatan mereka dan membantu membangun kembali rumah mereka apabila mereka tetap ingin tinggal di sana. (The Jakarta Post, Reader‟s Forum, 4 September 2012) (3) Killing is killing! The killers have to be punished severely, not jailed for a few months only but for years. Not only should the police be responsible for this but also we the people. Stop this brutality! Let us live as decent people in a decent community and in harmony. „Membunuh adalah membunuh! Para pembunuh harus dihukum berat, bukan hany dipenjara selama beberapa bulan saja, tetapi selama bertahun-tahun. Tidak hanya polisi yang harus bertanggung jawab untuk ini, tetapi juga kita. Hentikan kebrutalan ini! Marilah kita hidup sebagai orang baik di komunitas yang layak dan harmonis.‟
6
Konteks: penutur menyuruh penyerang komunitas Syi‟ah untuk menghentikan aksi kejam atau brutal mereka terhadap anggota komunitas Syi‟ah di Sampang – Madura, Jawa Timur, yang telah mengakibatkan dua pengikut Syi‟ah meninggal dalam kejadian tersebut. (The Jakarta Post, Reader‟s Forum, 1 September 2012) Pada contoh di atas, tuturan The government must find a substitute who can handle all religions without discrimination pada contoh (1) merupakan contoh tindak tutur direktif yang diujarkan dengan menggunakan modus kalimat deklaratif sehingga dikategorikan sebagai tindak tutur direktif tidak langsung. Pada tuturan tersebut, penutur memerintah/menyuruh pemerintah untuk mencari pengganti Menteri Agama Suryadharma Ali yang dapat menangani semua agama tanpa diskriminasi karena dianggap tidak dapat mengatasi masalah keagamaan khususnya permasalahan antara Muslim Syi‟ah dengan Muslim Sunni. Senada dengan contoh tuturan (1), tuturan Could somebody control the situation from behind his chair in Jakarta pada contoh (2) merupakan contoh tuturan direktif tidak langsung yang menggunakan modus kalimat interogatif. Pada tuturan tersebut, penutur meminta seseorang di Jakarta (yang dimaksudkan disini adalah pemerintah) untuk mengendalikan situasi yang terjadi di Sampang, Jawa Timur, berkaitan dengan adanya serangan terhadap anggota minoritas Syi‟ah di daerah tersebut. Berbeda dengan contoh (1) dan (2), tuturan Stop this brutality! pada contoh (3) merupakan contoh tindak tutur direktif yang menggunakan modus kalimat perintah (imperatif). Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwasanya tindak tutur direktif pada dasarnya memiliki struktur kalimat imperatif, maka contoh (3) di atas digolongkan sebagai tindak tutur direktif langsung. Dalam
7
tuturan tersebut, penutur memerintah atau menyuruh penyerang komunitas Syi‟ah untuk menghentikan aksi kejam mereka terhadap anggota komunitas Syi‟ah di Sampang – Madura, Jawa Timur. Alasan kedua, selain memerintah atau menyuruh, terdapat berbagai tindakan yang dapat dilakukan melalui tindak tutur direktif, seperti meminta, mengajak, menyarankan, melarang, dan sebagainya. Hal ini tidak terlepas dari maksud atau makna dari tuturan yang diujarkan, seperti yang terdapat dalam contoh berikut ini: (4) The Shiites need to be relocated far from Sunni Muslim communities. I suggest they be transmigrated to outlying, uninhabited islands where they can practice their Shia religion in peace. I suggest that Qadiyani/Ahmadi religious followers also be transmigrated to similar islands so that they do not cause problems in mainstream society. The government needs to take bold steps to preserve the Islamic life of Muslims and to take action against anyone preaching Shia or Ahmadiyah religions. „Para anggota Syiah perlu dipindahkan jauh dari komunitas Muslim Sunni. Saya sarankan mereka ditransmigrasi ke daerah terpencil, pulau tak berpenghuni di mana mereka dapat menjalankan ajran mereka dengan damai. Saya juga menyarankan agar pengikut agama Qadiyani/Ahmadiyah juga ditransmigrasi ke pulau-pulau yang sama sehingga mereka tidak menimbulkan masalah di masyarakat. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tegas untuk melindungi kehidupan umat Muslim dan mengambil tindakan melawan siapapun yang mengajarkan agama Syiah atau Ahmadiyah.‟ Konteks: penutur menyarankan kepada pemerintah untuk mengambil langkah tegas untuk melindungi kehidupan umat Muslim dan mengambil tindakan melawan siapapun yang mengajarkan agama Syiah atau Ahmadiyah. Hal ini terkait dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi antar aliran agama di Indonesia seperti aliran Sunni dan Syi‟ah. (The Jakarta Post, Reader‟s Forum, 12 September 2012) (5) He should start by walking around Jakarta saying “hi”, giving the best smile and talking with the people he meets. e.g., feel the traffic jams, etc. Get involved in Car Free Day. Prove that he is doing something, not
8
promising and doing nothing. Be yourself as usual, do not show that you are “someone” whose bodyguard is at every corner. „Jokowi seharusnya mulai dengan berjalan mengelilingi Jakarta dengan mengatakan “hai”, memberikan senyum terbaik dan berbicara dengan orang yang beliau temui, misalnya, merasakan kemacetan lalu lintas, terlibat dalam hari bebas mobil, dan lain sebagainya. Tunjukkan bahwa beliau melakukan sesuatu, bukan berjanji dan tidak melakukan apapun. Jadilah diri anda sendiri, jangan tunjukkan bahwa anda adalah "seseorang" yang memiliki pengawal di setiap sudut anda berada.‟ Konteks: penutur melarang Jokowi supaya tidak menunjukkan diri bahwa Jokowi adalah orang yang memiliki pengawal di setiap sudut. Tuturan tersebut disampaikan penutur untuk mengomentari pengumuman resmi Joko "Jokowi” Widodo sebagai pemenang pemilihan gubernur Jakarta dan apa yang harus menjadi prioritas utama saat ia menyiapkan untuk mengambil alih kota terbesar di negara Indonesia. (The Jakarta Post, Reader‟s Forum, 4 Oktober 2012) Tuturan yang dicetak tebal pada contoh (4) dan (5) merupakan tuturan direktif yang memiliki maksud berbeda. Tuturan The government needs to take bold steps to preserve the Islamic life of Muslims and to take action against anyone preaching Shia or Ahmadiyah religions pada contoh (4) di atas merupakan tuturan direktif tidak langsung yang bermaksud menyarankan. Dalam tuturan tersebut penutur memerintah/menyuruh agar lawan tuturnya (pemerintah) melakukan seperti apa yang disarankan oleh si penutur. Penutur memberikan saran kepada pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam melindungi kehidupan umat Muslim dan mengambil tindakan melawan siapapun yang mengajarkan agama Syiah atau Ahmadiyah. Sedangkan tuturan do not show that you are “someone” whose bodyguard is at every corner pada contoh (5) merupakan tindak tutur direktif yang memiliki maksud melarang. Tuturan tersebut disampaikan oleh penutur dengan maksud untuk melarang lawan tuturnya
9
melakukan sesuatu seperti yang telah disebutkan oleh penutur. Dalam tuturan tersebut, penutur melarang Jokowi agar tidak menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang memiliki pengawal di setiap sudut dia berada. Penutur menginginkan Jokowi bersikap seperti biasanya, tanpa pengawalan ketat dari pengawalnya atau pihak kepolisian. Selanjutnya, alasan ketiga peneliti memilih tindak tutur direktif adalah dalam tindak tutur direktif, dimana penutur memerintah atau menyuruh agar lawan tuturnya melakukan sesuatu, dihadapkan pada pilihan atau strategi tertentu sebelum membuat tuturan tersebut. Brown dan Levinson (1987:42) mengatakan bahwa setiap penutur sebelum membuat tuturan harus membuat keputusan apakah tuturannya akan melukai perasaan lawan tuturnya atau tidak. Hal ini berkaitan dengan prinsip sopan santun yang ada dalam masyarakat karena sangat penting untuk menjaga keharmonisan di antara masyarakat. Leech (1993:161) menjelaskan bahwa sopan santun (kesopanan) memiliki peran yang sangat penting yaitu untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan. Sejalan dengan hal tersebut, Kridalaksana (2011:119) menyatakan bahwa kesopanan adalah hal yang memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain. Oleh karena itu, kesopanan dianggap sebagai sebuah strategi yang digunakan oleh penutur untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, dalam mengekspresikan tindak tutur direktif juga sangat perlu memperhatikan kesopanan karena ketika penutur menyuruh atau memerintah lawan tuturnya untuk melakukan sesuatu, penutur tersebut juga perlu memperhatikan muka atau citra
10
lawan
tuturnya.
Berikut
ini
merupakan
contoh
penggunaan
strategi
kesantunan/kesopanan dalam tindak tutur direktif: (6) Brothers and sisters, we have to be united to keep ourselves strong. Now we learn that religion, not properly managed, could shamefully divide us unnecessarily! „Saudara dan saudariku, kita harus bersatu untuk menjaga kekuatan kita. Sekarang kita belajar bahwa agama yang tidak diatur dengan baik dapat secara memalukan memecah belah kita!‟ Konteks: penutur mengajak masyarakat untuk bersatu menjaga persatuan supaya tidak terpecah belah berkaitan dengan adanya konflik agama yang terjadi di Sampang, Madura, dimana terjadi penyerangan terhadap anggota komunitas Syi‟ah dan mengakibatkan dua pengikut Syi‟ah meninggal dalam kejadian itu. (The Jakarta Post, Reader‟s Forum, 1 September 2012) Tuturan Brothers and sisters, we have to be united to keep ourselves strong, pada contoh (6) di atas merupakan tindak tutur direktif tidak langsung yang memiliki maksud mengajak. Dalam tuturan tersebut, terdapat strategi kesopanan yang digunakan oleh penuturnya dengan tujuan untuk memperlunak daya imperatif tuturan. Pertama yaitu dengan memakai penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok yaitu dengan memakai brothers and sisters dan yang kedua yaitu berusaha melibatkan lawan tutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertentu dengan ditandai penggunaan kata we „kita‟. Dalam tuturan tersebut, penutur menyuruh masyarakat untuk bersatu menjaga persatuan supaya tidak terpecah belah berkaitan dengan adanya konflik agama yang terjadi di Sampang, Madura, dimana terjadi penyerangan terhadap anggota komunitas Syi‟ah dan mengakibatkan dua pengikut Syi‟ah meninggal dalam kejadian itu.
11
Persoalan-persoalan di atas menarik perhatian penulis untuk meneliti tindak tutur direktif yang ada dalam surat kabar The Jakarta Post. The Jakarta Post merupakan surat kabar yang terbit setiap hari dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain masyarakat Indonesia, masyarakat internasional atau warga asing dapat mengetahui berbagai berita dan peristiwa yang terjadi melalui surat kabar ini. Sebagai sebuah media massa, The Jakarta Post memiliki beragam fungsi, diantaranya adalah sebagai penyampai informasi atau berita aktual yang ada serta sebagai media bagi masyarakat untuk menyampaikan pikiran atau gagasannya. Berkenaan dengan fungsi tersebut, The Jakarta Post menyediakan rubrik yang dikhususkan bagi pembaca yang ingin menyampaikan ide, pendapat, saran, atau tanggapannya. Salah satu rubrik tersebut adalah Reader‟s Forum. Dalam rubrik tersebut, pembaca diminta memberikan komentar atau tanggapan mengenai suatu peristiwa atau isu yang telah dipilih oleh redaksi The Jakarta Post. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti tindak tutur direktif yang ada dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post karena dari rubrik tersebut terlihat penggunaan tindak tutur direktif masyarakat dalam memberikan komentar terhadap suatu persoalan atau peristiwa yang sedang terjadi.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada bagian pendahuluan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa sajakah jenis tindak tutur direktif yang terdapat dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post?
12
2. Bagaimana maksud tindak tutur direktif yang ada dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post? 3. Bagaimana strategi kesopanan yang digunakan dalam tuturan direktif yang ada dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan di atas, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Menguraikan jenis tindak tutur direktif yang terdapat dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post. 2. Mendeskripsikan maksud tindak tutur direktif yang ada dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post. 3. Mendeskripsikan strategi kesopanan yang digunakan dalam tuturan direktif yang ada dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian mengenai tindak tutur dalam rubrik Reader‟s Forum yang terdapat dalam surat kabar The Jakarta Post ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis.
1.4.1 Manfaat teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu linguistik kajian pragmatik khususnya mengenai kajian
13
tindak tutur direktif. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti selanjutnya sebagai referensi atau acuan dalam melakukan penelitiannya.
1.4.2 Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai kaidah tindak tutur direktif dan strategi kesopanan yang digunakan dalam tuturan direktif. Selain itu, pemahaman kesopanan berbahasa ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam menyampaikan atau menulis sebuah perintah, ajakan, nasehat, harapan, ataupun larangan dengan baik dan sopan.
1.5 Batasan dan Ruang Lingkup Masalah Penelitian ini akan dibatasi pada jenis dan maksud tindak tutur direktif, serta strategi kesopanan tuturan direktif yang ada dalam rubrik Reader‟s Forum di surat kabar The Jakarta Post. Dalam pemilihan data, data diambil dari surat kabar The Jakarta Post, yakni dalam rubrik Reader‟s Forum. Pengumpulan data dibatasi pada bulan September dan Oktober 2012.
1.6 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik dalam penelitian ini telah banyak dilakukan, di antaranya adalah Gunarwan (1992) dengan judul penelitiannya “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia diantara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta”. Hasil temuannya menunjukkan bahwa ada kesejajaran di antara ketaklangsungan tindak ujaran
14
direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja, kesejajaran itu tidak selamanya berlaku. Artinya, semakin tidak langsung bentuk ujarannya tidak selalu berarti semakin santun penggunaannya. Selain itu, dari keempat kelompok etnik yang diteliti, yaitu etnik Jawa, Sunda, Minang dan Batak, dapat diinferensikan bahwa perbedaan persepsi kesantunan direktif di antara kelompok etnik tersebut kecil saja. Perbedaan persepsi yang kecil itu dianggap sebagai mengisyaratkan adanya kecenderungan “penyatuan” norma-norma kebudayaan Jawa, Sunda, Minang dan Batak di daerah Jakarta. Selain itu, Ayup Purnawan (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Tuturan Direktif dalam Al-Quran (Kajian Pragmatik terhadap Ayat-Ayat Hukum)” membahas modus tuturan direktif yang digunakan, maksud tutur, konteks tutur, dan fungsi pemakaian tindak tutur direktif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tuturan direktif ayat-ayat hukum menggunakan modus tuturan direktif langsung dan modus tuturan direktif tidak langsung. Penggunaan tuturan direktif langsung meliputi (1) modus imperatif, (2) modus imperatif bersyarat, dan (3) modus imperatif dengan peringatan. Sedangkan penggunaan direktif tidak langsung terdiri atas (1) tuturan deklaratif tak berpenanda, (2) tuturan pernyataan keharusan, (3) tuturan pernyataan kebolehan, serta (4) tuturan himbauan. Dari aspek fungsi pemakaiannya, tuturan direktif ayat-ayat hukum terdiri dari (1) fungsi memerintah, (2) fungsi melarang, (3) fungsi mewajibkan, (4) fungsi mengharamkan, (5) fungsi membolehkan, dan terakhir (6) fungsi menunjukkan cara.
15
Selanjutnya, „Aini (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur Direktif Bahasa Inggris dalam Transkrip Dialog Film Nanny McPhee (Kajian Pragmatik)” meneliti jenis tindak tutur direktif, makna tindak tutur direktif tersebut, dan faktor-faktor munculnya tindak tutur direktif tersebut dalam Transkrip Dialog Film Nanny McPhee. Hasil penelitiannya menunjukkan tiga hal yang sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian yaitu; pertama, tindak tutur direktif yang digunakan dalam berkomunikasi memiliki wujud tindak tutur langsung dan tidak langsung. Tindak tutur langsung menggunakan modus kalimat imperatif, sedangkan tidak langsung menggunakan modus kalimat deklaratif dan interogatif. Sedangkan berdasarkan keliteralan dan kelangsungannya ada tiga jenis yaitu tindak tutur literal langsung, literal tidak langsung, dan tidak literal tidak langsung. Kedua, bahwa makna yang terkandung dalam tindak tutur direktif pada dasarnya meminta seseorang melakukan sesuatu namun berdasarkan bentuk, verba dan
konteks
ada
beberapa
makna
turunan
lainnya
yaitu
melarang,
meminta/permintaan, menyarankan/menganjurkan, mengajak, mempersilahkan, membiarkan, menyindir, mempercayakan, meminta maaf, minta izin, dan memperingatkan. Ketiga, faktor dominan yang mempengaruhi munculnya tindak tutur direktif film Nanny McPhee adalah (1) latar belakang peserta tutur yang meliputi usia, latar belakang sosial ekonomi/status sosial, tingkat keakraban, watak, (2) warna emosi, (3) situasi tutur, (4) maksud dan tujuan, serta (5) norma. Sumarsih (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Tuturan Direktif remaja dalam Media: Studi Kasus pada Surat Pembaca Majalah Hai dan Kawanku” meneliti penggunaan bahasa remaja dalam hal memerintah. Pembahasan
16
penelitian tersebut meliputi modus tuturan yang digunakan, jenis tuturan, strategi kesantunan yang digunakan untuk mengekspresikan tuturan, dan fungsi kesantunan dalam tuturan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tuturan direktif remaja dapat diwujudkan ke dalam tiga modus tuturan, yaitu (1) modus imperatif, (2) modus interogatif, dan (3) modus deklaratif. Berdasarkan fungsi pemakaiannya ditemukan delapan jenis tuturan direktif remaja dalam media, yaitu (1) tuturan direktif suruhan, (2) tuturan direktif permohonan, (3) tuturan direktif permintaan, (4) tuturan direktif larangan, (5) tuturan direktif penyaranan, (6) tuturan direktif pengharusan, (7) tuturan direktif pengharapan, dan (8) tuturan direktif pembiaran. Strategi kesantunan yang digunakan untuk mengungkapkan ekspresi tuturan direktif remaja dalam berkomunikasi dilakukan dengan menerapkan dua strategi, yaitu strategi positif dan strategi negatif. Selain itu, terdapat empat fungsi kesantunan dalam tuturan direktif remaja, yaitu (1) fungsi pelunak, (2) penanda keakraban, (3) penanda penghormatan, dan (4) pengharapan. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa penelitian mengenai kajian tindak tutur direktif telah banyak dilakukan. Namun, dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian yang berbeda dengan penelitian lain yakni meneliti tindak tutur direktif dengan menggunakan bahasa Inggris yang terdapat dalam rubrik Reader‟s Forum di surat kabar The Jakarta Post. Meskipun sebelumnya telah dilakukan penelitian mengenai tindak tutur direktif bahasa Inggris, seperti dalam film berbahasa Inggris yang notabene menggunakan ragam bahasa informal, dalam penelitian ini
17
berbeda karena bahasa yang digunakan dalam surat kabar The Jakarta Post merupakan ragam bahasa formal.
1.7 Landasan Teori Ada berbagai teori yang digunakan untuk menjawab permasalahanpermasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah pragmatik, aspek situasi tutur, tindak tutur, jenis tindak tutur, tindak tutur direktif, dan strategi kesopanan berbahasa.
1.7.1 Pragmatik Istilah pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf bernama Charles Morris (1938) yang memasukkan pragmatik sebagai salah satu bagian dari semiotika atau ilmu tanda (Levinson, 1983:1). Semiotika diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu (1) sintaksis, (2) semantik, dan (3) pragmatik. Sintaksis merupakan relasi formal tanda dengan tanda yang lain, semantik adalah studi hubungan antara tanda dengan segala sesuatu yang diacu oleh tanda itu, dan pragmatik adalah studi hubungan antara tanda itu dengan penafsir atau penggunanya. Pengguna atau penafsir tanda itu adalah manusia, baik yang memproduksi tanda maupun yang memahami/menangkap tanda. Dalam memproduksi atau menangkap tanda, pengguna selalu melakukan penafsiranpenafsiran berdasarkan konteks, latar, dan hubungan antar pengguna dengan tanda itu.
18
Dalam perkembangannya, banyak ahli pragmatik yang menyatakan bahwa pragmatik dan semantik mempunyai hubungan yang sangat erat sehingga sulit untuk membuat pemisahan yang tegas antar keduanya. Wijana (1996:2) menyatakan bahwa pragmatik dan semantik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual. Semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Makna yang ditelaah dalam semantik merupakan makna yang bebas konteks, sedangkan makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat konteks. Untuk dapat memahami lingkup kerja pragmatik, Leech (1993:8) memberikan sekat jelas antara semantik dan pragmatik, yakni bahwa semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan
yang melibatkan dua segi
„dyadic‟ seperti pada “apa artinya X?”, sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi „triadic‟, seperti pada “Apa maksudmu dengan X?”. Dua pertanyaan tersebut memberi gambaran jelas bahwa semantik menelaah hubungan bentuk dan makna, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan bentuk, makna, dan konteks. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur, dan lawan tuturnya. Berikut beberapa definisi pragmatik yang dikemukakan oleh para pakar. Wijana (1996:1) mendefinisikan pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan
19
itu digunakan di dalam komunikasi. Selain itu, Mey (1993:42) mengatakan bahwa pragmatics is the study of conditions of human language uses as these are determined by the context of society „pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan
bahasa
manusia
sebagaimana
ditentukan
oleh
konteks
masyarakatnya‟. Parker (1986:11) menyatakan bahwa pragmatik adalah the study of how language is used for communication „kajian tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi‟. Parker menegaskan bahwa pragmatik tidak menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa melainkan secara eksternal. Menurutnya, studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Oleh karena itu, dalam kajian pragmatik konteks menjadi hal yang penting dalam memaknai suatu ujaran. Konteks adalah segala hal yang melatarbelakangi pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Leech (1983:13) mendefinisikan konteks sebagai background knowledge assumed to be shared by s (speaker) and h (hearer) and which contributes to h‟s interpretation of what s means by a given utterance „latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu‟. Pentingnya konteks dalam pragmatik ditekankan oleh Wijana (1996:2) yang menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks, dan oleh Searle, Kiefer, dan Bierwich (Nadar, 2009:4) yang menegaskan bahwa
20
pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasikan ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks.
1.7.2 Aspek Situasi Tutur Telah diuraikan sebelumnya bahwa pragmatik merupakan studi tentang makna yang terikat konteks. Finegan, dkk (1992:176) menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang linguistik yang mengkaji penggunaan dan makna kalimat dalam hubungannya dengan situasi tuturan. Pendapat ini sejalan dengan Leech (1983) melalui Wijana (1996:9) yang mengungkapkan bahwa pragmatics studies meaning in relation to speech situation „pragmatik mengakaji makna dalam hubungannya dengan situasi tutur‟. Oleh karena itu, Leech (1993:19) dan Wijana (1996:10) mengungkapkan lima aspek situasi tutur dalam rangka studi pragmatik, yaitu: 1) Penutur dan lawan tutur. Konsep penutur dan lawan tutur juga mencakup penulis dan pembaca dalam media tulisan. Lawan tutur atau petutur merupakan orang yang menjadi sasaran tuturan dari penutur. Lawan tutur harus dibedakan dari penerima tutur yang bisa saja merupakan orang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, namun bukan orang yang disapa. Aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain sebagainya.
21
2) Konteks tuturan. Konteks ini mencakup semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik disebut koteks (cotext) sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. 3) Tujuan tuturan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini, bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). 4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan lain sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. 5) Tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak verbal.
22
Poedjosoedarmo dalam Nadar (2009:8) mengemukakan dengan jelas komponen tutur dengan menggunakan momoteknik O,O,E MAU BICARA:
O1 adalah orang ke-1, yang dimaksud adalah pribadi penutur karena sedikit banyaknya ujaran memang ditentukan oleh pribadi penutur. Latar belakang penutur menyangkut jenis kelamin, asal daerah, asal golongan masyarakat, umur, profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaan.
O2 adalah orang ke-2. Hal yang perlu diperhatikan adalah anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial orang kedua (O2) dan seberapa akrab hubungan antara keduanya. Keintiman relasi O1 dan O2 menentukan corak bahasa yang dituturkan.
E adalah emosi O1 (warna emosi), yaitu suasana emosi O1 pada waktu yang bersangkutan hendak bertutur.
M adalah maksud dan tujuan percakapan.
A adalah adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar adegan percakapan. Suatu tuturan akan berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi apabila seseorang tertentu kebetulan hadir pada suatu adegan tutur.
U adalah urutan tutur. O1 yang memulai percakapan akan lebih bebas menentukan bentuk tuturannya daripada lawan tuturnya.
B adalah bab yang dibicarakan atau pokok pembicaraan.
I adalah instrumen atau sarana tutur. Sarana tutur akan mempengaruhi bentuk tuturan yang muncul dalam percakapan. Sarana tutur seperti
23
telegram, email, telepon juga mempengaruhi bentuk ujaran. Biasanya bahasa yang digunakan harus ringkas, langsung pada pokok masalahnya.
C adalah citarasa tutur. Kapan akan digunakan ragam bahasa santai, ragam bahasa formal, dan ragam bahasa indah tentu tergantung pada berbagai faktor.
A adalah adegan tutur, yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat, waktu, dan peristiwa tutur. Percakapan yang dilakukan di masjid, gereja, kelenteng atau tempat ibadah lain akan berbeda dengan percakapan yang dilakukan di pasar.
R adalah register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur.
A adalah aturan atau norma kebahasaan lain. Ada sejumlah norma yang harus dipatuhi misalnya kejelasan dalam berbicara.
1.7.3 Tindak Tutur (Speech Act) Tindak tutur merupakan salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Teori tindak tutur (speech act) lahir dari pemikiran seorang filsuf John L. Austin (1962) dengan bukunya How to Do Things with Words. Austin (1962:98) menyatakan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Austin (1962) berpendapat bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui dua ujaran, yaitu ujaran konstatif dan ujaran performatif. Ujaran konstatif mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan di dunia. Dengan
24
demikian, ujaran konstatif dapat dikatakan benar atau salah. Namun ujaran-ujaran performatif tidak mendeskripsikan, melaporkan atau menyatakan benar atau salah, dan pengujaran kalimat merupakan, atau merupakan bagian dari melakukan tindakan atau hanya sebagai tindak untuk mengatakan sesuatu (Austin, 1962:6). Cummings (1999:8) memberikan perbedaan kedua ujaran tersebut dalam contoh berikut, “Dia berjanji akan menggarap pekerjaan rumahnya” merupakan ujaran konstatif karena ujaran tersebut merupakan laporan tentang suatu peristiwa yang telah terjadi. “Saya berjanji akan pulang” merupakan contoh ujaran performatif karena pengujarannya yang sebenarnya merupakan tindakan berjanji. Menurut Austin (1962) ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar terlaksana tuturan-tuturan performatif. Syarat-syarat tersebut yang disebut dengan felicity conditions, adalah: a. The persons and circumstances must be appropriate „Pelaku dan situasi harus sesuai‟; b. The act must be executed completely and correctly by all participants „tindakan harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku‟; c. The participant must have the appropriate intentions „pelaku harus mempunyai maksud yang sesuai‟. (Parker, 1986:13; Wijana, 1996:24; Grundy, 2000:53; Nadar 2009:12), Searle (1979) kemudian mengembangkan hipotesa pemikiran Austin (1962) tentang tuturan performatif bahwa pada hakekatnya semua tuturan mengandung arti tindakan, dan bukan hanya tuturan yang mempunyai kata kerja
25
performatif. Searle (1979) berpendapat bahwa unsur yang paling kecil dalam komunikasi adalah tindak tutur seperti menyatakan, membuat pertanyaan, memberi perintah, menjelaskan, meminta maaf, mengucapkan selamat, dan lainlain. Selanjutnya Austin (1962) mengklasifikasi tindak tutur yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Tindak lokusioner, adalah tindak tutur yang semata-mata menyatakan sesuatu, tindakan mengucapkan kalimat sesuai dengan makna kata atau makna kalimat. Tindakan ini disebut sebagai the act of saying something. Dalam hal ini tidak dipermasalahkan maksud atau tujuan dari tuturan tersebut. Misalnya, seseorang berkata I‟m hungry „saya lapar‟, artinya orang tersebut mengatakan bahwa dia lapar. 2. Tindak ilokusioner, adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan dapat merupakan tindak menyatakan, berjanji, menyuruh, meminta, dan lain-lain. Jadi, tindak ilokusioner berbicara mengenai maksud, fungsi dan daya ujaran yang dimaksud. Contohnya, ketika ada orang berkata I‟m hungry „saya lapar‟ dapat memiliki makna orang tersebut lapar dan meminta makanan. 3. Tindak tutur perlokusioner, yaitu tindakan untuk mempengaruhi lawan tutur. Tindakan ini berupa tanggapan atau efek yang dihasilkan ketika penutur mengucapkan sesuatu. Misalnya ada kalimat I‟m hungry „saya lapar‟, maka tindakan yang muncul adalah lawan tutur mengambilkan makanan.
26
Beranjak dari pemikiran Austin (1962), Searle (1985:37) membagi tindak ilokusioner yang dikatakan sebagai tindak terpenting dan merupakan bagian sentral dalam kajian dan pemahaman tindak tutur menjadi 5 macam seperti yang akan dijelaskan berikut ini: 1. Representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Tuturan ini dapat berupa ungkapan menyatakan, melaporkan, membuat hipotesa, mengabarkan, menunjukkan, menyebutkan, menyimpulkan, mendeskripsikan, dan lainlain. 2. Direktif, yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan apa yang ada dalam ujaran tersebut. Misalnya tuturan yang berisi ungkapan untuk menyuruh, memohon, meminta, menuntut, memaksa, mengundang, memerintah, mengajak, mengingatkan, mengizinkan, dan lain-lain. 3. Ekspresif,
yaitu
tindak
ujaran
yang
dimaksudkan
untuk
mengekspresikan perasaan penutur. Tuturan ini dapat berupa ungkapan terima kasih, kegembiraan, kesukaan, kebencian, kritikan, keluhan, penyesalan, permintaan maaf, dan lain sebagainya. 4. Komisif, yakni tindak ujaran yang mengikat penutur untuk melakukan seperti apa yang diujarkan, misalnya bersumpah, mengancam, berjanji. 5. Deklarasi, yaitu tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru. Dalam tindak tutur ini, penutur
27
mengubah dunia melalui tuturannya, misalnya memutuskan, melarang, mendeklarasikan, dan lain-lain.
1.7.4 Jenis Tindak Tutur Menurut Parker (1986:17), tindak tutur dapat berupa tindak tutur langsung dan tidak langsung, serta tindak tutur literal dan tidak literal. Tindak tutur langsung adalah tuturan yang sesuai dengan modus kalimatnya. Artinya, bila kalimat berita maka difungsikan untuk menyampaikan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh atau memerintah. Parker (1986:17) memberikan contoh tindak tutur langsung, bring me my coat „ambilkan jaket saya‟. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur langsung karena kalimat tersebut sesuai dengan modusnya kalimatnya, yakni kalimat perintah. Sebaliknya, tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya, contohnya adalah, could you bring me my coat? „dapatkah anda mengambilkan jaket saya?‟. Kalimat tersebut merupakan kalimat tanya tetapi berfungsi untuk menyuruh atau memerintah. Oleh karena itu kalimat tersebut termasuk dalam tindak tutur tidak langsung karena modus kalimat tidak sesuai dengan fungsi kalimatnya. Menurut Wijana (1996:30), perintah yang diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya akan terkesan lebih sopan karena orang yang diperintah tidak akan merasa dirinya diperintah. Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Misalnya, seseorang yang mengatakan I feel just awful „saya merasa kenyang‟ setelah makan delapan buah donat, maka dapat
28
dikatakan orang tersebut benar-benar bermaksud mengatakan demikian sehingga tuturannya disebut tindak tutur literal. Berlawanan dengan tindak tutur literal, tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya, contohnya, I just love taking English test „saya senang sekali dengan ujian bahasa Inggris tadi‟, yang diutarakan oleh seorang mahasiswa yang tidak pernah lulus ujian bahasa Inggris dan lemah sekali dalam mata kuliah ini. Tuturan tersebut bukanlah tuturan yang sesuai dengan yang dimaksudkan penuturnya, oleh karena itu tuturan ini termasuk dalam tindak tutur tidak literal. Tindak tutur langsung dan tidak langsung dapat berinteraksi dengan tindak tutur literal dan tidak literal sehingga akan didapatkan tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal (Parker, 1986:19; Wijana, 1996:33; Nadar, 2009:20). Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi katakata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Dan yang terakhir adalah tindak tutur tidak langsung tidak literal
29
(indirect nonliteral speech act), merupakan tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.
1.7.5 Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan agar lawan tutur melakukan tindakan seperti apa yang dimaksud oleh penutur. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Leech (1993:164) bahwa tindak tutur direktif bertujuan untuk menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur/lawan tutur, misalnya memesan, memerintah, menasehati, melarang, dan sebagainya. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Pada saat menggunakan direktif, penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata. Terdapat beberapa tindakan yang dilakukan melalui tindak tutur direktif ini, diantaranya adalah tindakan menyuruh, meminta, melarang, mengajak, menyarankan, memberi dan lain sebagainya. Direktif tidak hanya diartikan sebagai perintah melakukan sesuatu tetapi dapat diartikan sebagai perintah untuk tidak melakukan sesuatu atau dengan kata lain disebut sebagai larangan (Alwi, 1990:237 melalui Sumarsih, 2012:27). Oleh karena itu, tindak tutur direktif secara garis besar dapat dipilah menjadi tindak tutur direktif memerintah dan tindak tutur direktif melarang. Allan (1986:199) mengklasifikasi tindak tutur direktif menjadi empat, yaitu:
30
a. Requestives „permintaan‟, yaitu penutur meminta lawan tutur untuk melakukan sesuatu atau tindakan. b. Questions „pertanyaan‟, yaitu penutur menanyakan lawan tutur mengenai kondisi tertentu. c. Requirements
„pengharusan‟,
yaitu
penutur
mengharuskan
atau
mewajibkan lawan tutur untuk melakukan tindakan/sesuatu. d. Prohibitives
„larangan‟, yaitu penutur melarang lawan tutur dari
melakukan sesuatu/tindakan. Blum Kulka (1987) dalam Gunarwan (1994: 86), menyatakan bahwa fungsi menyuruh dapat diungkapkan dengan menggunakan bentuk ujaran berupa: a. Kalimat bermodus imperatif (seperti yang dikatakan dalam tata bahasa internasional), “pindahkan kotak ini”; b. Performa eksplisit, “Saya meminta saudara memindahkan kotak ini”; c. Performa berpager, “Saya sebenarnya mau minta saudara memindahkan kotak ini”; d. Pernyataan keinginan, “Saya ingin kotak ini dipindahkan”; e. Rumusan saran, “Bagaimana kalau kotak ini dipindahkan?”; f. Persiapan pertanyaan, “Saudara dapat memindahkan kotak ini?”; g. Isyarat kuat, “Dengan kotak ini disini, ruangan ini kelihatan sesak”; h. Isyarat halus. “Ruangan ini kelihatan sesak”.
31
1.7.6 Strategi Kesopanan Berbahasa Kesopanan atau kesantunan dalam tindak tutur dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan lawan tutur. Karena tindak tutur direktif melibatkan orang lain (lawan tutur) maka aspek kesopanan bahasa (speech politeness) merupakan hal yang penting diperhatikan oleh penutur. Kesopanan berhubungan dengan bagaimana meminimalkan efek negatif dan memaksimalkan efek positif pernyataan seseorang terhadap perasaan orang lain. Menurut Lakoff dalam Gunarwan (1994:87), ada tiga kaidah yang perlu dipatuhi agar suatu ujaran terdengar santun oleh pendengar atau lawan bicara, yaitu: 1) Formalitas (formality), yang berarti jangan memaksa atau jangan angkuh; 2) Ketaktegasan (hesitancy), yaitu buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur dapat menentukan pilihan; 3) Persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie), yang berarti bertindak seolah-olah penutur dan lawan tutur sama atau dengan kata lain buatlah ia merasa senang. Dengan demikian, menurut Lakof, sebuah ujaran dikatakan santun jika tidak terdengar memaksa atau angkuh, ujaran itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tuturnya, dan lawan tuturnya menjadi senang. Menurut Brown dan Levinson (1987:61), kesopanan merupakan upaya penyelamatan muka.
Brown dan Levinson (1987:61; Nadar,
2009:32)
mendefinisikan muka (face) sebagai the public self-image that every member wants to claim for himself „citra diri yang bersifat umum yang ingin dimiliki oleh
32
setiap warga masyarakat‟. Ada dua tipe muka yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain. Sedang muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain. Dikatakan oleh Brown dan Levinson bahwa konsep tentang muka ini bersifat universal dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan yang disebut Face Threatening Acts „tindakan yang mengancam muka‟ dan disingkat FTA. Terdapat dua jenis FTA menurut Brown dan Levinson (1987:65), yaitu pengancaman muka positif dan muka negatif. Nadar (2006:33) menjelaskan tindakan-tindakan yang melanggar muka negatif dan muka positif. Tindakan yang melanggar muka negatif meliputi tindakan yang terkandung dalam: 1) Ungkapan mengenai perintah dan permintaan, saran, nasehat, peringatan, ancaman, tantangan. 2) Ungkapan mengenai tawaran atau janji. 3) Ungkapan mengenai pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian, kemarahan. Tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur meliputi: 1) Ungkapan mengenai ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau
yang
mempermalukan,
keluhan,
kemarahan,
dakwaan,
penghinaan. 2) Ungkapan mengenai pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan.
33
3) Ungkapan emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur menjadi takut atau dipermalukan. 4) Ungkapan yang tidak sopan, menyebutkan hal-hal yang bersifat tabu ataupun tidak selayaknya dalam suatu situasi, yaitu penutur menunjukkan bahwa penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur dan juga tidak mau mengindahkan hal-hal yang ditakuti oleh lawan tutur. 5) Ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, atau menyombongkan berita
baik,
yaitu
yang
menunjukkan
hal-hal
yang
kurang
menyenangkan pada lawan tutur dan tidak begitu memperdulikan perasaan lawan tutur. 6) Ungkapan mengenai hal-hal yang membahayakan, memecah belah pendapat, seperti masalah politik, ras, agama, pembebasan wanita. Dalam hal ini penutur menciptakan suasana yang dapat atau mempunyai potensi untuk mengancam muka lawan tutur yaitu penutur membuat suatu atmosfir yang berbahaya terhadap muka lawan tutur. 7) Ungkapan yang tidak kooperatif dari penutur terhadap lawan tutur, yaitu penutur menyela pembicaraan lawan tutur, menyatakan hal-hal yang tidak gayut serta tidak menunjukkan kepedulian pada lawan tutur. 8) Ungkapan-ungkapan
mengenai
sebutan
ataupun
hal-hal
yang
menunjukkan status lawan tutur pada perjumpaan pertama. Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru pada
34
lawan tutur sehingga dapat melukai perasaan atau mempermalukan lawan tutur baik sengaja atau tidak. Berkenaan dengan tindakan pelanggaran muka yang dapat mengancam keharmonisan hubungan penutur dan lawan tutur, maka diperlukan tindakan penyelamatan muka lawan tutur yang ditujukan untuk menghindari tindakantindakan yang melukai perasaan lawan tutur akibat yang tidak menyenangkan terhadap muka lawan tutur baik muka positif maupun muka negatif. Kesopanan yang ditujukan terhadap muka positif lawan tutur disebut kesopanan positif (positive politeness), sedangkan kesopanan yang diarahkan untuk muka negatif lawan tutur disebut kesopanan negatif (negative politeness). Dengan demikian tindakan penyelamatan muka dapat berbentuk kesopanan positif dan kesopanan negatif. Brown dan Levinson (1987:103-210; Nadar, 2009:43) memberikan beberapa strategi yang digunakan untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif maupun muka positif agar ujaran terdengar santun. Strategi-strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka positif antara lain: 1) Strategi 1, „memperhatikan minat, keinginan, kelakuan, barang-barang pada lawan tutur‟. 2) Strategi 2, melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati pada lawan tutur. 3) Strategi 3, meningkatkan rasa tertarik pada lawan tutur untuk terlibat dalam pembicaraan.
35
4) Strategi 4, menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok. 5) Strategi 5, mencari dan mengusahakan persetujuan dengan lawan tutur; contoh penggunaan strategi ini adalah penutur mengulang sebagian tuturan lawan tutur untuk menunjukkan bahwa penutur menyetujui dan mengikuti informasi apa saja yang dituturkan oleh lawan tutur. 6) Strategi 6, menghindari pertentangan dengan lawan tutur. Dalam strategi ini penutur berusaha menghindari ketidaksetujuannya dengan tuturan lawan tutur. 7) Strategi 7, menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur. 8) Strategi 8, membuat lelucon. 9) Strategi 9, membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tutur. 10) Strategi 10, membuat penawaran dan janji. 11) Strategi 11, menunjukkan rasa optimisme. 12) Strategi 12, berusaha melibatkan penutur dan lawan tutur dalam suatu kegiatan tertentu. 13) Strategi 13, memberikan dan meminta alasan. 14) Strategi 14, menawarkan suatu tindakan timbal balik. 15) Strategi 15, memberikan penghargaan kepada lawan tutur (barang, simpati, pengertian, kerja sama).
36
Selain strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka positif lawan tutur, Brown dan Levinson (1987:132; Nadar, 2006:47) juga menguraikan beberapa strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif antara lain: 1) Strategi 1, mengungkapkan secara tidak langsung. 2) Strategi 2, menggunakan bentuk pertanyaan dengan partikel tertentu. 3) Strategi 3, melakukan secara hati-hati dan jangan terlalu optimistik. 4) Strategi 4, mengurangi kekuatan atau daya ancaman terhadap muka lawan tutur. 5) Strategi 5, memberikan penghormatan. 6) Strategi 6, menggunakan permohonan maaf. 7) Strategi 7, tidak menyebutkan penutur dan lawan tutur. 8) Strategi 8, menyatakan tindakan mengancam wajah sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku. 9) Strategi 9, menominalkan pernyataan. 10) Strategi 10, menyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan (hutang) atau tidak kepada lawan tutur.
1.8 Metode Penelitian Metode di dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu (Subroto, 2007:36). Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Menurut Subroto (2007:5), metode kualitatif adalah metode pengkajian atau metode
37
penelitian suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik. Sedangkan, metode deskriptif adalah metode yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada (Sudaryanto, 1986:62). Sudaryanto (1993:5) berpendapat bahwa suatu penelitian dilakukan dengan tiga tahapan metode. Tiga tahapan metode itu adalah metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian analisis data.
1.8.5 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak atau observasi. Metode simak adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1988:2). Teknik yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap atau disebut teknik SBLC karena peneliti hanya berperan sebagai pengamat atau pemerhati penggunaan bahasa yang tidak terlibat dalam dialog atau komunikasi secara langsung. Teknik pemerolehan data berikutnya adalah teknik catat yang merupakan teknik lanjutan. Teknik
catat
dilakukan
dengan
mencatat,
mengkategorisasi
dan
mengklasifikasikan data yang diperoleh (Mahsun, 2005:91). Data dalam penelitian ini berupa tuturan-tuturan direktif para pembaca yang terdapat dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post. Dalam hal ini, penulis mengumpulkan data melalui media online resmi dari The Jakarta Post, yakni dari website www.thejakartapost.com. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September dan Oktober 2012. Hal ini dikarenakan pada bulan-bulan tersebut terdapat banyak peristiwa atau isu-isu nasional maupun internasional,
38
diantaranya adalah mengenai pemilihan pilkada DKI Jakarta, dan juga isu atau peristiwa terkait dengan keagamaan, seperti yang terjadi pada muslim pengikut Syi‟ah di Madura serta muslim Rohingya di Myanmar, dan lain sebagainya.
1.8.2 Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode kontekstual (Subroto, 2008:512). Dalam metode ini, analisis data dilakukan terhadap wujud nyata tuturan yang dilakukan oleh penutur kepada lawan tutur tertentu, di tempat dan waktu tertentu, suasana atau situasi bertutur tertentu.
1.8.3 Metode Penyajian Analisis Data Menurut Sudaryanto (1993:145), penyajian hasil analisis data dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode formal dan metode informal. Di dalam penelitian ini, metode penyajian analisis data yang digunakan adalah metode penyajian informal, yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata.
1.9 Sistematika Penyajian Penulisan penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, yaitu: bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan dan ruang lingkup masalah, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian; bab II menyajikan jenis tindak tutur direktif dalam rubrik Reader‟s Forum di The
39
Jakarta Post; bab III menyajikan aneka maksud tindak tutur direktif dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post; bab IV menyajikan strategi kesopanan yang digunakan dalam tuturan direktif yang ada dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post; dan bab V penutup berisi kesimpulan dan saran dari penulis.