BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai masalah dalam berbagai sektor termasuk krisis minyak dunia yang juga melibatkan Indonesia, dalam kasus ini semua negara termasuk indonesia merasakan dampak kenaikan minyak dunia, indonesia harus mengeluarkan dana yaang lebih besar lagi untuk bisa membeli minyak dari negara penyuplai minyak. Secara garis besar indonesia seharusnya tidak perlu menyuplai minyak dari luar karena sumber daya alam yang di milki indonesia sudah cukup untuk diolah kemudian disalurkan kesektor industri sampai masyarakat kecil seluruh indonesia tetapi dengan tidak dimanfaatkannya sumber daya manusia dengan baik oleh pemerintah justru kita sebagai negara yang mampu memanfaatkan sumber daya alam malah dimanfaatkan oleh investor maupun perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dibidang perminyakan untuk masuk menguasai minyak indonesia, kita sebagai negara yang mampu justru hanya mendapatkan pajak dari investor atau perusahaan asing yang persentasenya jauh lebih dibanding apabila kita mengelola sendiri. Subsidi energi, baik listrik maupun BBM, telah menjadi momok menakutkan bagi pengambil keputusan di Republik Indonesia ini khususnya pemerintah. Pemerintah dipusingkan bukan hanya oleh rumitnya merancang pembangunan dan menentukan prioritas dalam penyusunan RAPBN, tetapi juga dengan besarnya subsidi terutama BBM yang harus ditanggung setiap tahunnya. Karena itulah,
1
2
pemerintah bersama telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap. Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil. Namun subsidi minyak tanah dalam dua tahun terakhir masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN. Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah berencana untuk mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah. Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana
secara
komprehensif.
Tak
heran
berbagai
masalah
dalam
pelaksanaannya muncul seakan tiada henti. Mulai dari ribut-ribut tender kompor
3
gas yang dilakukan oleh Kantor Menteri Koperasi dan UKM, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang mencapai ratusan milyar Rupiah, rendahnya sosialisasi kepada masyarakat yang justru sedang giat-giatnya memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya, ketidaksiapan infrastruktur seperti stasiun pengisian dan depot LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis. Lalu bagaimana langkah ke depan? Tidak semua rencana baik bisa berjalan mulus. Apalagi dalam era demokrasi yang penuh transisi. Berbagai niat dan semangat untuk mengukir sejarah tidak cukup hanya dibekali upaya biasa, tapi juga menuntut perjuangan ekstra dan kerjasama. Karena itu demi kelangsungan program konversi yang bertujuan baik, maka proses perencanaan dan program pelaksanaannya sebaiknya dibenahi dari sekarang sebelum mengalami kegagalan atau menciptakan dampak yang lebih buruk. Untuk mewujudkan kerjasama dan koordinasi yang baik antar instansi sudah sepantasnya dibetuk Tim Terpadu untuk melaksanakan program konversi ini. Mengingat jumlah masyarakat miskin yang terus bertambah, maka sangat diperlukan kecermatan dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran konversi ini. Untuk skala nasional tentu saja tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skala uji coba yang sekarang sedang dilaksanakan di beberapa kecamatan di wilayah DKI Jaya dan Tangerang. Konversi penggunaan minyak tanah memang harus dilaksanakan secara berkesinambungan mengingat masih tingginya permintaan dan ketergantungan nasional terhadap BBM. Program ini harus berkelanjutan dan tidak bisa sporadis
4
mengingat pemerintah masih kesulitan menaikkan produksi minyak ketingkat 1,3 juta barel per hari, sementara penggunaan bahan bakar gas dan batu bara masih terkendala oleh infrastruktur. Penggantian jutaan kompor minyak tanah menjadi kompor gas tentu memerlukan biaya cukup besar. Apalagi jika itu akan diberikan secara cuma-cuma. Untuk jangka panjang strategi pembiayaan mutlak harus dipikirkan. Diusulkan agar biaya konversi pemakaian minyak tanah ini bisa diambilkan dari berbagai retribusi dan pendapatan negara bukan pajak lainnya (PNBP)
yang
jumlahnya
cukup
besar
di
sektor
Migas.
Sebagai penutup tidak kalah pentingnya adalah program sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mensukseskan program ini. Karena itu ukuran tabung gas dan kepastian rancangan kompor hendaklah dibuat sedemikian rupa sehingga memang sesuai dengan kebutuhan mereka. Khusus untuk ukuran tabung gas, kiranya perlu dipikirkan ulang secara seksama, hingga tidak terjadi salah persepsi nantinya bagi sebagian masyarakat miskin yang tentu juga memiliki tingkat pendidikan yang agak terbatas dibandingkan dengan masyarakat luas lainnya. hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindarkan berbagai masalah sosial yang belum diantisipasi pemerintah pada saat ini. Program inilah yang mendasari saya melakukan sebuah penelitian tentang konversi minyak tanah ke LPG khususnya didaerah Gondokusuman Yogyakarta yang masih jauh dari pengawasan pemerintah pusat, apakah sudah bisa berjalan dengan baik.
5
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah yang akan dibicarakan dan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Variabel apa saja yang melekat pada konsumen penggunaan LPG 3 kg.
1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk menguji variabel apa saja yang melekat pada konsumen penggunaan LPG 3 kg.
1.4. Kontribusi Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan bisa memiliki manfaat bagi beberapa pihak yang berkepentingan antara lain : 1. Bagi penulis Penelitian yang ditulis sebagai penerapan pembelajaran yang didapat selama berada di perkuliahan dan dapat menelusuri hasil dari pengukuran konversi minyak tanah ke LPG. 2. Bagi pemerintah Membantu pemerintah agar dapat melihat lebih jauh perkembangan sosialisasi program konversi minyak tanah ke LPG dan memberikan tanggapan positif dari masyarakat ke pada pemerintah atas program yang dijalankan 3. Bagi masyarakat Semua yang diteliti bisa dimanfaatkan dengan membaca secara menyeluruh tantang jalannya program konversi minyak tanah ke LPG, sehingga
6
masyarakat tahu tentang keberadaan program ini dan bisa mengambil langkah apakah layak di laksanakan atau tidak.
1.5. Batasan Penelitian Agar masalah yang diteliti dapat terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian yang diambil, maka ditentukan batasan masalah sebagai berikut: 1. Penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta khususnya daerah Gondokusuman. 2. Responden dalam penelitian ini rumah tangga yang telah mengkonversi minyak tanah ke LPG 3. Objek penelitian adalah konsumen yang mengkonversi minyak tanah ke LPG. 4. Penelitian terbatas pada kategori produk, harga, jalur distribusi, promosi dalam kaitannya pada program konversi minyak tanah ke LPG. a. Produk Produk adalah sekumpulan barang dan jasa yang di dalamnya sudah tercakup warna, harga, prestise, pabrik dan pelayanan dari perusahaan yang mungkin diterima oleh pembeli sebagai sesuatu yang dapat memuaskan keinginannya (Stanton, 1997:225).
Pengukuran faktor produk diteliti melalui variabel sebagai berikut: 1. LPG 3 kg dapat memenuhi standart kebutuhan rumah tangga 2. Keamanan dalam penggunaan LPG dirasakan lebih terjamin 3. Jika menggunakan LPG kebersihan dapur anda lebih terjamin
7
b. Harga Harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk memperoleh beberapa kombinasi pada sebuah produk dan pelayanan yang menyertainya (Stanton, 1997:308). Pengukuran faktor harga diteliti melalui variabel sebagai berikut : 1. Program ini dapat membantu menghemat keuangan rumah tangga 2. Dalam penggunaannya harga LPG lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah c. Distribusi Distribusi menunjukkan berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk menjadikan produknya dapat diperoleh dan tersedia bagi konsumen (Stanton, 1997:310). Pengukuran faktor distribusi diteliti melalui variabel sebagai berikut: 1. Pengisian LPG 3 kg lebih mudah didapatkan. 2. Pemerintah menyediakan isi ulang LPG secara eceran perkilo, tidak harus satu tabung atau 3 kg 3. Isi tabung LPG sesuai dengan kapasitas 4. Pembagian LPG oleh pemerintah tepat sasaran
d. Promosi Promosi adalah salah semua kegiatan yang dimaksudkan untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan suatu produk kepada pasar sasaran, untuk memberikan informasi tentang keistimewaan, kegunaan, dan yang
8
paling penting adalah tentang keberadaannya, untuk mengubah sikap ataupun mendorong orang untuk bertindak, dalam hal ini membeli (Fandy Tjiptono, 1995:200). Pengukuran faktor promosi diteliti melalui variabel sebagai berikut : 1. Sosialisasi konversi LPG yang diterapkan oleh pemerintah berjalan dengan baik. 2.
Sosialisasi dalam bentuk gambar memudahkan anda dalam mengantisipasi jika terjadi kesalahan dalam penggunaan LPG
3. Sasaran konversi dari pemerintah di peruntukkan kepada masyarakat menengah kebawah