BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Indonesia
merupakan
negara
kepulauan
yang
kaya
akan
keanekaragaman budaya, suku dan agama. Hal ini terjadi sejak jaman dahulu kala dimana setiap daerah Indonesia yang luas terbentang dari Sabang sampai Merauke memilki suku yang berbeda-beda di setiap penjuru daerah Indonesia. Dengan suku yang berbeda-beda dan beraneka ragam disetiap daerah, maka setiap suku daerah ini memiliki kebudayaan
dan
kebiasaan
yang
berbeda-beda
pula.
Sehingga
keanekaragaman suku dan budaya ini dituangkan dalam satu kalimat sansekerta yang juga dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang memilki arti satu walau berbeda-beda (agama, ras, suku, dan budaya). Indonesia memiliki lebih dari 350 bahasa daerah berkembang dan ratusan suku bangsa tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Kehidupan majemuk ini ditandai dengan beragamnya etnis termasuk latar belakang sosial dan budayanya. Kenyataan ini menuntut manusia yang hidup Mdidalamnya
(penduduk
Indonesia)
untuk
melakukan
interaksi
antarbudaya. Meskipun berbagai kelompok budaya di Indonesia semakin
sering berinteraksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau tercipta saling pengertian. Hal ini disebabkan karena sebagian di antara anggota kelompok budaya lain mempunyai prasangka terhadap kelompok budaya lain sehingga enggan bergaul maupun berhubungan dengan mereka. Dewasa ini berbagai kesalahpahaman masih sering terjadi ketika kelompok-kelompok budaya yang berbeda bertemu dan berhubungan. Selain prasangka, problem lain adalah masing-masing anggota kelompok budaya menganggap budaya mereka sebagai suatu kemestian, tanpa mempermasalahkannya lagi dan karenanya mereka menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya lain. Maka akan sangat naïf bila mengatakan komunikasi antarbudaya itu mudah dan gampang untuk dilakukan. Perbedaan latar belakang dan kekurangtahuan terhadap budaya lain disebut menjadi dasar permasalahan ini. Pada dasarnya komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter (2000:46) adalah komunikasi antara orang-orang yang memiliki persepsi budaya dan sistem symbol yang cukup berbeda. Seperti yang dikatakan Edward T. Hall dalam Mulyana (2001:hal 17) bahwa “culture is communication” dan kebalikannya “communication is culture”. Budaya telah menjadi bagian penting dalam perilaku komunikasi begitu juga komunikasi yang telah menjadi budaya sehingga komunikasi turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau bahkan mewariskan
budaya. Sehingga menjadi penting rasanya untuk mengetahui asas-asas komunikasi antarbudaya terutama dalam kemajemukan bangsa Indonesia saat ini yang retan terhadap konflik budaya. Konflik yang sering terjadi di Indonesia adalah melibatkan warga Negara Indonesia khususnya etnis Tionghoa1 sebagai korban. Terlepas dari permasalahan tersebut, sesungguhnya di Indonesia sendiri, budaya Tionghoa sudah mempengaruhi kehidupan Nusantara jauh sebelum Republik Indonesia ada. Interaksi yang berlangsung selama ratusan tahun menyebabkan budaya Tionghoa meresap erat m dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Melly G. Tan menyebut beberapa mulai dari sandang sampai pangan bahkan sampai alat pelengkap hari kebudayaan sampai contohnya, pakaian Madura, batik-batik Utara Jawa, teknologi setrika, sisingan di Jawa Barat, pis bolong (mata uang tiongkok kuno yang memiliki lubang ditengah) dalam ritual sembahyang agama Hindu di Bali, teknologi membuat berbagai makanan seperti mie, bakso, dan tahu, cara membajak sawah dengan sapi, petasan, bedug, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, melihat pengaruh budaya Tionghoa dan kontribusinya dalam budaya lokal nusantara, sungguh etnis Tionghoa tidak bisa disebut
Dalam tulisan ini digunakan istilah “etnis Tionghoa” dan bukan “etnis Cina”, Leo Suryadinata dalam bukunya yang berjudul “Etnis Tionghoa dan Pembangun Bangsa” (1999: ix-x) menyebutkan alasannya, pertama, ialah karena istilah “Cina” digunakan pemerintah Orde Baru untuk menghina kelompok tersebut karena sentiment Cina sebagai negara komunis. Kedua, orang Tionghoa sendiri menganggap istilah “Tionghoa” lebih sopan dibandingkan “Cina”. 1
bangsa “asing” dinegeri ini. Hal ini dikarenakan oleh pemenggalan budaya dan pembatasan politik yang terjadi selama 32 tahun. Secara tidak langsung keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia telah ada selama ratusan tahun yang lalu dimulai dari etnis Tionghoa yang berasal dari RRC (Republik Rakyat China) atau yang pada saat itu dikenal dengan China menjadi pedagang pada zaman kerajaan di Indonesia. Lama kelamaan banyak etnis Tionghoa menetap dan tinggal di Indonesia bersama para penduduk asli Indonesia dan berbaur bersama penduduk Indonesia. Oleh
karena
itu,
tertanggal
14
Maret
2014
yang
lalu,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun telah mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 yang berisikan tentang dasar pengunaan istilah China atau Tjina untuk etnis Tionghoa dan mengubah istilah China dengan sebutan Tionghoa. Pencabutan surat edaran itu berdasarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 yang diresmikan dan diteken langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 Maret 2014. Hal ini dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena beliau menilai, pandangan
dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas atau ras tertentu, pada dasarnya melanggar nilai, prinsip perlindungan hak asasi manusia. Maka dari itu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menghapus diskriminasi akan ras Tionghoa dengan mengubah nama
panggilan semula dari China atau Tjina menjadi Tionghoa, hal ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menghormati
ras
Tionghoa
sama
seperti
beliau
menghormati ras asli Indonesia karena secara tidak langsung percampuran kebudayaan Tionghoa yang kental dengan kebudayaan Indonesia sejak pada jaman dahulu kala membuat ras Tionghoa sedikit demi sedikit menjadi suatu bagian dari kesatuan budaya Indonesia yang kaya. Keragaman suku dan budaya yang ada di Indonesia membuat pernikahan atas suku dan etnis yang berbeda menjadi tak terelakan. Sehingga fenomena akan pernikahan campur yang di Indonesia menjadi suatu hal yang biasa. Bahkan menimbulkan pertanyaan tentang pemaknaan identitas kultural bagi pelaku dan keturunan pernikahan budaya campur. Namun hal ini, berbeda dengan etnis Tionghoa yang sebagian besar menganggap pernikahan campur antar etnis (menikah dengan etnis diluar etnis Tionghoa) adalah hal yang harus dihindari. Tidak banyak memang etnis Tionghoa yang masih memegang teguh pandangan ini bahwa etnis Tionghoa harus menikah dengan etnis Tionghoa juga, namun tidak sedikit juga yang masih memegang teguh pandangan tersebut. Dilandasi oleh banyak hal, banyak keturunan etnis Tionghoa masih menjaga keturunan mereka dengan menikah dengan etnis Tionghoa. Namun ada juga sebagian dari keturunan etnis Tionghoa yang menjalankan hubungan campur etnis (etnis Tionghoa dengan Etnis lain).
Hal ini bisa saja terjadi dilandasi dengan berbagai alasan dimulai dari banyaknya warga etnis Tionghoa yang bermukim di Indonesia dan hampir seluruh wilayah provinsi di Indonesia memiliki warga dengan etnis Tionghoa. Hal ini bisa saja menjadi pendorong fenomena hubungan campur etnis Tionghoa dengan etnis lain di Indonesia, hal ini telah berlangsung relatif lama dan telah menjadi hal yang biasa terjadi. Namun tidak sedikit pasangan etnis campur ini (entis Tionghoa dengan etnis lain) tidak berjalan mulus sampai jejang pernikahan dan cenderung “bubar” atau berpisah pada saat hubungan tersebut diketahui oleh keluarga etnis Tionghoa tersebut. Memperbincangkan fenomena hubungan dengan etnis yang berbeda, dalam hal ini dengan budaya yang beragam seperti di Indonesia, sesungguhnya mengajak kita memahami akan sebuah realitas yang sangat khas dan membutuhkan penghayatan sendiri secara otentik. Adapun kekhasan dari penelitian ini yaitu kecenderungan persepsi negatif dari masing-masing pandangan mengenai etnis diluar etnis Tionghoa disebabkan oleh stereotype yang ada pada masyarakat etnis Tionghoa yang cenderung memandang bahwa etnis diluar etnis Tionghoa cenderung tidak ramah dan terkesan ‘galak' karena seperti yang terjadi sebelumnya etnis Tionghoa dihadapkan oleh trauma masa lalu contohnya seperti kerusuhan tahun 1998 pada bulan Mei, yang mana pada kejadian ini banyak warga etnis Tionghoa menjadi korban dimulai dari penjarahan
toko dan rumah etnis Tionghoa sampai pada pemerkosaan dan pembunuhan etnis Tionghoa hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal inilah yang membuat luka dan trauma mendalam yang cukup membekas pada etnis Tionghoa terhadap etnis lain di Indonesia, sehingga warga etnis Tionghoa cenderung menutup diri dari etnis lain. Begitu juga dengan etnis lain di luar dari etnis Tionghoa yang cenderung menganggap etnis Tionghoa merupakan etnis yang tidak ramah dan cenderung sering menutup diri serta identitas dari etnis lain. Hal inilah yang menjadi titik gelap dan penghalang terciptanya hubungan baik antar budaya etnis Tionghoa dengan etnis lain. Sebenarnya hal ini tentu saja tidak harus berlaurut-larut apabila pada setiap individu baik dalam individu etnis Tionghoa maupun non Tionghoa mempunyai keinginan untuk mengesampingkan perbedaan yang ada dalam diri mereka dan cenderung mengedepankan persamaan yang mereka miliki. Namun, pada sisi lain setiap individu memiliki titik atau sisi gelap yang dapat menjadi sebuah penentuan pribadi dan perilaku seseorang tanpa pandangan etnis atau budaya.
Menurut Samovar
(2009:169) setiap orang memiliki sisi gelap pada identitas diri mereka. Secara fundamental identitas adalah tentang persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan inilah yang memainkan peran penting dalam hubungan sosial khususnya dalam interaksi lintas budaya. Para psikolog melakukan penelitian dibidang interaksi interpersonal, telah membuat prinsip penting yaitu semakin mirip latar belakang individu yang
berkomunikasi, semakin besar kemungkinan mereka untuk menyukai satu sama lain.pemahaman kita terhadap pihak lain secara buruk dapat mempengaruhi presepsi dan sikap terhadap orang-orang baru dan berbeda. Hal ini dapat menyebabkan stereotip, prasangka, rasisme, dan etnosentrisme. Peneliti melihat bahwa kemungkinan bukan sekedar cinta yang menjadi landasan yang fundamental dalam sebuah hubungan bahkan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan-pasangan maupun suami istri yang menikah dengan etnis yang berbeda khususnya etnis Tionghoa dengan etnis lain. Namun juga memperpertimbangkan secara menyeluruh dan melibatkan significant other yang terkait keputusan untuk tetap melanjutkan atau membatalkan hubungan ataupun pernikahan menjadi makna bersama yang tidak dirundung penyesalan kelak dikemudian hari. Interaksi antar budaya dalam konteks komunikasi sering kali menghadapi masalah atau hambatan-hambatan dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma masyarakat yang terdapat di dalamnya. Hal ini serupa seperti yang dilihat Anugrah (2008:31), perbedaan masyarakat yang berinteraksi dengan budaya berbeda dapat berupa logat, tata cara, perilaku nonverbal, atau simbol-simbol lain yang digunakan. Setiap komunikasi yang dilakukan oleh siapapun mempunyai tujuan. Paling tidak komunikasi yang dilakukan mengarah kepada komunikasi efektif melalui pemaknaan yang sama atas pesan yang
dipertukarkan di antara peserta komunikasi. Menurut Nugraha (2008:96), pemaknaan
pesan
akan
semakin
sulit
pada
daerah
komunikasi
antarbudaya karena disebabkan beberapa hal, yaitu : 1. Perbedaan budaya di antara para peserta komunikasi antarbudaya jelas hambatan yang terbesar. Sebab dengan berbeda budaya tersebut akan menentukan cara berkomunikasi yang berbeda serta simbol (bahasa) yang mungkin berbeda pikiran. 2. Komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang berbeda budaya akan muncul sikap etnosentrisme, yaitu memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu, dan hal lain-lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya. 3. Kemudian kelanjutan dari sikap etnosentris ini memunculkan stereotip, yaitu sikap generalisasi atas kelompok orang, objek atau peristiwa yang secara luas dianut suatu budaya. Seperti pemaparan di atas budaya memberikan identitas kepada sekelompok orang, di antaranya dapat diidentifikasi dari komunikasi dan bahasa. Sistem komunikasi, verbal dan nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Karakteristik budaya yang berbeda yang dibawa saat keduanya berinteraksi juga dapat menimbulkan konflik. Penyebab perbedaan cara berkomunikasi adalah kerena adanya latar belakang budaya yang berbeda, begitu pula dengan interaksi dalam
sebuah hubungan maupun pernikahan khususnya dalam hubungan dan pernikahan yang terjadi antar etnis tidak menutup kemungkinan untuk menghadapi berbagai permasalahan. Namun, dibalik perbedan etnis yang terjadi dalam sebuah perpaduan dua kebuyadaan dalam sebuah hubungan maupun ikatan pernikahan antar etnis terdapat hal yang sangat menarik terjadi pada pasangan-pasangan yang menjalin hubungan ataupun menikah dengan etnis yang berbeda dari hasil observasi lapangan atau lebih disebut sebagai observasi pra penelitian diantaranya yaitu pasangan yang masih menjalin hubungan atau telah menikah dengan etnis Tionghoa relatif mempelajari beberapa kebudayaan dan kebiasaan etnis Tionghoa, hingga pada penggunaan atribut dari etnis Tionghoa yang tidak mereka sadari telah mereka pergunakan seperti cheongsam2 maupun motif-motif kebudayaan etnis Tionghoa yang digunakan pada pakaian. Dari fenomena tersebut pasangan yang berasal di luar etnis Tionghoa merupakan pelaku dari sebuah komunikasi antarpribadi dan pelaku komunikasi antarbudaya dalam sebuah hubungan maupun pernikahan dimana di dalamnya terdapat proses komunikasi yang selaras yang dapat menciptakan dampak yang positif pada sebuah hubungan khususnya pada hubungan pasangan dengan etnis yang berbeda. Pada hal keselaran komunikasi Dalam tulisan ini “Cheongsam” artinya “Gaun Panjang”dalam dialek Kanton (salah satu bahasa daerah di Tiongkok). Motif yang dilukiskan pada Cheongsam tidak sembarangan, memiliki filosofi dan makna yang mendalam pada umumnya. Tourismnews.co.id, http://tourismnews.co.id/category/fashion/makna-motif-motif-cheongsam diakses pada 13 Mei pukul 13.05 WIB 2
pada hubungan berbeda etnis dapat dapat diraih melalui komunikasi yang baik, menurut Littlejohn dan Foss (2009:31), komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga mengubah mekanisme. Identitas seseorang dibentuk saat berinteraksi sosial dengan orang lain. Orang tersebut mendapatkan pandangan serta reaksi orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya, memperlihatkan rasa identitas dengan cara orang lain mengekspresikan diri dan merespons orang lain. Dengan demikian penelitian ini ingin memaparkan pengalaman kehidupan hubungan campur antar ras khususnya antar ras Tionghoa dengan ras non Tionghoa.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat di
identifikasikan terdapat beberapa pokok permasalah dalam penelitian ini yang peneliti ingin kaji lebih dalam, yaitu :
Bagaimana manajemen konflik pada pasangan berbeda etnis dalam interaksi beda budaya khususnya pada pasangan etnis Tionghoa dengan non Tionghoa dalam komunikasi sisi gelap dari identitas?
1.3
Pembatasan Masalah Untuk menghindari permasalahan yang terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah : a. Penelitian ini menganalisis komunikasi yang diterapkan atau dijalankan oleh pasangan hubungan antar etnis Tionghoa dan non Tionghoa sehingga pasangan tersebut dapat membaur dengan baik antara satu dengan lainnya serta pemaknaan pasangan tersebut dari komunikasi yang telah diterapkan b. Penelitian menganalisis pengaruh sisi gelap identitas yang berupa pandangan etnosentrisme, prasangka, rasisme serta stereotype yang ada pada kehidupan bermasyarakat sehari-hari terhadap hubungan antar etnis c. Penelitian menganalisis manajemen konflik pada pasangan yang disebabkan oleh sisi gelap identitas berdasarkan manajemen konflik DeVito d. Objek penelitian adalah pasangan beda etnis (Tionghoa dengan non Tionghoa) e. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2014
1.4
Tujuan Penelitian Peneliti dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui
manajemen konflik pada pasangan antar etnis sebelum maupun setelah melakukan pernikahan campur.
Adapun dalam tujuan penelitian ini
peneliti secara umum untuk menjawab rumusan masalah yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen konflik berdasarkan manajemen konflik DeVito pada pasangan berbeda etnis dalam komunikasi lintas budaya khususnya pada pasangan etnis Tionghoa dengan non Tionghoa dalam menghindari sisi gelap pada identitas.
1.5
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat membawa banyak nilai guna bagi
para pembaca. Selain itu dengan dillakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut :
1.5.2 Kegunaan Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif yang dapat memperkaya khasanah penelitian komunikasi dan sumber bacaan, khususnya dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan
ilmu komunikasi khususnya konteks komunikasi antarpribadi serta komunikasi antarbudaya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.penelitian tentang komunikasi antarpribadi dan antarbudaya serta penelitian ini diharapkan dapat memperluas cakrawala dan wawasan peneliti tentang hubungan berbeda etnis.
1.5.2 Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi pasangan yang menjalankan hubungan berbeda etnis khususnya etnis Tionghoa dan non Tionghoa sehingga dapat tercipta komunikasi yang baik hubungan yang kompeten.