BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang, khususnya dalam bidang Industri.
Perkembangan
yang pesat
ini
secara otomatis
mempengaruhi
perekonomian masyarakatnya. Seiring dengan perkembangan industri, produsen sebagai peluku usaha akan bersaing dalam memasarkan produknya demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sesuai dengan prinsip ekonomi. Setiap usaha tanpa adanya suatu persaingan akan terlihat monotone, tidak akan ada suatu perkembangan. Dalam hal ini persaingan bisnis bertujuan untuk meningkatkan
kreatifitas
produsen
dan
terus
berinovasi
terhadap
hasil
produksinya agar bisa bersaing dipasaran dengan produsen lainnya, tentu dengan cara bersaing secara sehat. Tetapi, dengan ketatnya persaingan tidak dipungkiri akan terjadi pergeseran perilaku pengusaha kepersaingan yang tidak sehat. Semakin meningkatnya perindustrian di Indonesia sehingga banyak pula pelanggaran yang muncul didalamnya. Salah satunya adalah pelanggaran hak kekayaan intelektual pada produk Merek berbeda namun Desainnya sama. Contohnya, pabrikan industri otomotif Merek “TOYOTA” dan “DAIHATSU” memiliki kesamaan Desain pada beberapa generasi produknya secara keseluruhan, diantaranya, “AVANZA” memiliki kesamaan dengan “XENIA”, “RUSH” memiliki kesamaan dengan “TERIOS” dan “AGYA” memiliki kesamaan dengan
2
“AYLA”. Dalam bidang perindustrian, kekayaan intelektual yang digunakan menyangkut desain produk yang akan diproduksi. Perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan pejabat yang berweweng bagi karya-karya intelektual serta menggalangkan peningkatan karya kreatif dengan menyelenggarakan dan menjalankan sistem hukum yang berlaku.1 Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disebut dengan HKI) adalah hak kebendaan, hak atas suatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio, yaitu hasil kerja ratio yang menalar dan hasil kerja itu benda imateriil.2 Berkaitan dengan perlindungan hukum pada kenyataannya, diantara Merek dan Desain Industri memiliki dasar pengaturan yang berbeda. Merek diatur dalam Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (selanjutnya disebut Undang-Undang Merek) dan Desain Industri diatur dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri ( selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Desain Industri). Di dalam Undang-Undang Desain Industri mencakup pengaturan mengenai perlindungan terhadap rancangan atau Desain penampilan luar dari suatu produk, prosedur pendaftaran, pengalihan hak dan lisensi, pembatalan pendaftaran desain industry, dan penyelesaian sengketa, serta ketentuan lainnya. Kemudian dalam Undang – Undang Merek mencakup ketentuan umum dalam Merek, lingkup Merek, prosedur pendaftaran, pengalihan hak dan lisensi, Merek Kolektif, penghapusan dan pembatalan, penyelesaian sengketa, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Namun didalam masing – 1
2
A Zen Umar Purba,22 Mei 2000, Penegakan Hukum di Bidang HKI, Kompas
H.OK. Saidin, 2013, Aspek Hukum Hak Kekayaan Internasional (Intellectual Property Right), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 9
3
masing pengaturan antara Merek dan Desain Industri tidak ditemukan pengaturan mengenai perjnjian-perjanjian yang terjadi pada Produk Merek berbeda memiliki Desain yang sama. HKI merupakan hak untuk menikmati hasil kreatifitas intelektual manusia secara ekonomis. Karya-karya yang mencul atau tercipta berdasarkan kemampuan intelektual yang dimiliki oleh manusia dapat berupa karya-karya dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya-karya tersebut dihasilkan dengan adanya kemampuan intelektual manuasia melalui tenaga, waktu, pikiran, daya cipta, rasa dan karsanya. Karya-karya intelektual tersebut juga dilahirkan menjadi lebih bernilai, apalagi dengan adanya manfaat ekonomi yang melekat sehingga akan dapat menumbuhkan konsep kekayaan terhadap karya-karya intelektual.3 Dalam Undang-ndang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri menyebutkan tidak semua desain industri yang dihasilkan oleh pendisain dapat dilindungi secara hukum sebagai hak atas disain industri. Negara memberikan perlindungan hanya kepada Desain Industri yang baru saja. Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal pendaftaran desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah adan sebelumnya. Penentuan kriteria kebaruan dalam prakteknya sering tidak dipahami oleh para pendisain, karena tidak dipahami tanpa disadari kebaruan tersebut menjadi hilanng karena adanya publikasi yang dilakukan oleh pendisainm itu sendiri.4
3
Sudaryet et. Al. 2010, Hak Kekayaan Intelektual, Cetakan 1, Oase Media, Bandung, h.15 OK Saidin, 2007, Apek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Cetakan Revisi 6, Raja Grafindo Pesada, Jakarta, h.468 4
4
Ketentuan mengenai hal tersebut diatas, tidak secara jelas memuat ketentuan Kolaborasi pada produk mereknya berbeda namun memiliki desain yang sama. Dalam HKI hal ini merupakanan pengaturan baru untuk menghadapi persaingan industri secara global dan mencegah pelanggaran-pelanggaran hukum oleh Negara lain. Pengaturan-pengaturan tentang HKI secara Internasional diadakan konvensi-konvensi yang mengatur tentang HKI diantaranya : Paris Konvension,
Berne
Konvension,
WIPO
(
World
Intellectual
Property
Organization), TRIPs (The Agreement on Trade Releted Aspek of Intellectual Property Right) dan WTO (World Trade Organization). Untuk menciptakan tertib hukum secara internasiolan, Indonesia bergabung dalam salah satu anggota WTO (World Trade Organization) yang tercantum dalam perjanjian TRIPs (The Agreement on Trade Releted Aspek of Intellectual Property Right) dan telah meratifikasi aturan-aturan mengenai HKI khususnya mengenai desain produk industry. Ratifikasi tersebut dituangkandalam bentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Dalam pelaksanaan undang-undang tersebut dibutuhkan suatu peraturan yang khusus dengan demikian terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Keberadaan Desain Industri tidak terlepas dari adanya Merek (khususnya Merek Dagang) yang juga merupakan salah satu bidang dari HKI. Merek juga sangat penting dalam dunia perindustrian terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Karena denagan adanya Merek, produk barang dan atau jasa dapat dibedakan berdasarkan kualitas dan keaslian sebuah produk. Berdasarkan
5
pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memilliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa. Setiap industri yang memiliki Merek Dagang pasti memiliki Desain Industri dalam memproduksi produknya. Contohnya Industri dalam bidang Otomotif
yang
memiliki
Merek
Dagang
“TOYOTA”,
“DAIHATSU”,
“MITSUBISHI”, “HONDA”, “YAMAHA” dan sebagainya merupakan sebuah Merek Dagang yang bergerak dibidang Industri Otomotif. Setiap pabrikan tersebut memiliki sebuah Desain dalam membuat sebuah kendaraan yang akan diproduksi. Tentu saja Desain tersebut sebagai daya pembeda dengan Desain pabrikan lainnya. Namaun dalam perkembangannya belakangan ini muncul beberapa jenis kendaraan yang memiliki kemiripan dari Desainnya padahal produk tersebut dari Merek yang berbeda. Contohnya: Desain Toyota Avanza dengan desain Daihatsu Zenia memiliki kesamaan pada pokoknya, padahal Avanza dan Zenia lahir dari Merek yang berbeda. Berdasarkan uraian dan contoh kejadian terebut diatas, dengan demikian penulis tertarik untuk membuat suatu penelitian yang selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk skripi denan judul : “PENGATURAN PENGUNAAN DESAIN YANG SAMA PADA PRODUK MOBIL YANG MEREKNYA BERBEDA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI”.
6
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain : 1. Apakah Desain Industri dapat diaplikasikan pada produk yang sama dengan Merek yang berbeda jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri ? 2. Bagaimana akibat hukum penggunaan Desain yang sama terhadap produk yang memiliki Merek berbeda?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup dalam masalah ini menyangkut pembahasan yang berkaitan dengan pengaturan terhadap suatu Desain Industri dapat diaplikasikan pada produk yang sama dengan Merek yang berbeda jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Dan membahas akibat hukum penggunaan Desain yang sama terhadap produk yang memiliki Merek berbeda.
1.4 Orisinalitas Penelitian Penelitian yang berjudul “PENGATURAN PENGUNAAN DESAIN YANG SAMA PADA PRODUK MOBIL YANG MEREKNYA BERBEDA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI”, demgan rumusan masalah Apakah Desain Industri dapat diaplikasikan pada produk yang sama dengan Merek yang berbeda jika ditinjau
7
dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri? dan Bagaimna akibat hukum penggunaan Desain yang sama terhadap produk yang memiliki Merek berbeda?. Penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal (asli) karena belum ada penelitian yang secara khusus menulis karya ilmiah sebagai judul yang digunakan tersebut diatas, hal ini dapat ditinjau dengan sejumlah karya ilmiah yang secara substansial yang telah ditelusuri melalui internet sebagai berikut :
No. 1
Judul
Penulis
Perlindungan Hak Desain Linda Industri
Berdasarkan Laelawati,
Undang-Undang
Nomor Fakultas Hukum
31 Tahun 2000 Tentang Universitas Desain
Industri
Oleh Langlangbuana,
Direktorat Jenderal Hak Bandung, Tahun Kekayaan Intelektual
2012.
Rumusan Masalah 1. Apakah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri telah melindungi para pemilik hak desain industri ? 2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Dirjen HKI dalam menyelesaikan sengketa hak desain industri ?
8
2
Perlindungan Disain
Hukum Raditya
Industri
Banyumas
1. Bagaimana perlindungan
Batik Permana,
hukum
Fakultas Hukum Universitas
disain
industri
batik Banyumas? 2. Bagaimana
prinsip
Diponogoro,
pembaruan/novelty
Semarang,
desain
Tahun 2002
Banyumas?
industri
batik
3. Hambatan-hambatan apa yang
dihadapi
para
pengusaha
batik
Banyumas
untuk
melindungi
desain
industrinya? 3
Perlindungan Atas
Karya
Hukum Ida
Bagus
Disain Komang Wiwaha
1. Bagaimana
Sistem
Perlindungan
Hukum
Industri Kreatif Ditinjau Kusuma
Terhadap Karya Desain
Dari
Industri Kreatif Menurut
Persyaratan Brahmanda,
Kebaruan
Menurut Fakultas Hukum
Undang-Undang Nomor Universitas 31 Tahun 2000
Udayana,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 ? 2. Bagaimana
Denpasar, Tahun
Untuk
2013.
Persyaratan Terkait
Kriteria Menentukan Kebaruan Dengan
9
Perlindungan
Karya
Desain Industri Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 ?
1.5 Tujuan Penelitian Untuk memberi arah yang jelas pada penelitian ini, diperlukan adanya sebuah tujuan. Adapun tujuan tersebut antara lain : 1.5.1 Tujuan Umum 1. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahun hukum dalam hal keperdataan khususnya HKI dalam bidang Disain Industri. 2. Untuk melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya dibidang penelitian.
1.5.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui suatu Desain Industri dapat diaplikasikan atau tidak pada produk yang sama dengan Merek yang berbeda jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. 2. Untuk mengetahui akibat hukum penggunaan antara Merek yang berbeda tetapi memiliki Desain yang sama dalam produksinya.
10
1.6 Manfaat Penelitian Dalam penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat secara teoritis dan bersifat secara praktis. 1.6.1 Manfaat Teoritis 1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, secara khususnya dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual mengenai Desain Industri serta dapat dijadikan dasar untuk penelitianpenelitian selanjutnya sehingga dapat menambah pengetahuan untuk kedepannya. 2. Selain itu penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap konsep-konsep perlindungan hak Desain Industri
terhadap
pemilik hak. 1.6.2 1.
Manfaat Praktis Untuk dapat digunkan sebagai bahan pertimbangan-pertimbangan atau bahan masukan bagi pihak yang terkait dengan Desain Industri.
2.
Untuk dapat digunkan sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat khususnya para pengusaha yang bergerak dalam bidang perindustrian dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Disain Indutri.
1.7 Landasan Teoritis Dalam setiap penelitian ilmiah harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis untuk mendapatkan jawaban kekosongan hukum yang dihadapi dalam rumusan masalah. Untuk mengetahui produk Merek berbeda memiliki Desain
11
yang sama merupakan suatu pelanggaran jika ditinjau dari Undang-Undang Desain Industri serta mengetahui terjadinya produk Merek yang berbeda namun memiliki Desain yang sama, dengan menggunakan teori pengertian antara lain : Hak Kekayaan Intelektual adalah hak kebendaan, hak atas suatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio, yaitu hasil kerja ratio yang menalar dan hasil kerja itu benda imateriil.5 Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreatifitas intelektual.6 Kemudian Teori Perlindungan Hukum : Disain Industri mendapat perlindungan hukum dan Hak Disain Industri, jika Desain Industri tersebut didaftarkan okeh pendisain atau pemegang hak pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intlektual. Dalam proses pendaftran Desain Industri, pendaftran disertai dengan proses pemeriksaan dari Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Dalam pengajuan permohonan pendafaran untuk mendapat perlindungan hukum dianut asas kebaruan dan pengajuan pendaftaran pertama. Berpegangan pada landasan teori perlindungan hukum, Menurut Satijipto Raharjo perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.7
5
Ibid
6
Hadi Setia Tunggal, 2012, Hukum Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI), Harvarindo, Jakarta,
7
Satijipto Raharjo,2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53
h.1
12
Dalam konsep ilmu hukum, HKI dianggap ada, dan mendapat perlindungan hukum jika ada ide dan kemampuan intelektual manusia tersebut telah diwujudkan dan didekripsikan dalam suatu bentuk karya hasil yang dapat dilihat, didengar, dibaca maupun digunakan secara praktis dalam
bentuk
penemuan teknologi, ilmu pengetahuan, karya cipta seni dan sastra, serta karyakarya desain. Teori selanjutnya adalah teori kepastian hukum yang merupakan tujuan hukum bisa diwujukan apabila didukung oleh peraturan yang ada dan keahlian professional yang dimiliki aparat pemerintah sebagai pembentuk peraturan. Kepastian hukum tersebut tertuang dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang yang berangkutan dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Dalam proses pendaftran Desain Industri, pendaftran disertai dengan proses pemeriksaan dari Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual.
Dalam
pengajuan
permohonan
pendafaran
untuk
mendapat
perlindungan hukum dianut asas kebaruan dan pengajuan pendaftaran pertama. Asas kebaruan tertuang dalam ketentuan pasal 2 angka (1) Undang-Undang Desain Industri yang menyebutkan, “Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru”. Disain Industri tersebut harus baru dan belum terdaftar di Dirjen HKI dalam artian Desain Industri tersebut dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan permohonan pendaftar, desain industri tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada.8 Jika semua sudah diterima dan lolos dari pemeriksaan, maka terbitlah Hak Desain Industri berupa Sertifikat yang berarti 8
Sudaryat et. Al. 2010, Hak Kekayaan Intelektual, Cetakan 1, Oase Media, Bandung, h.15
13
pendesain telah mendapatkan perlindungan hukum atas hak ekslusifnya dalam bidang Desain Industri. Dalam Undang-Undang Merek ditentukan bahwa Merek adalah
tanda
yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek diatur dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Perlindungan Hak Merek diberikan melalui proses pendaftaran yang menganut sistem konstitutif (firs to file). Pendaftaran merek diajukan kepada Direktorat Jendral HKI. Tidak semua Merek yang diajukan dapat diterima dan mendapat perlindungan hukum. Pendaftaran Merek akan ditolak berdasarkan alasan Penolakan Absolute dan Penolakan Relatif. Jika memnuhi persyaratan dan lolos dalam pemeriksaan administratif maupun substantif, maka terbitlah sertifikat Hak Merek sebagai tanda bukti atas pemegang Hak Merek terdaftar. Dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini: a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; b. tidak memiliki daya pembeda; c. telah menjadi milik umum; atau d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
14
Mengenai pengertian Kolaborasi dapat dijelaskan bahwa Kolaborasi adalah usaha untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan melalui pembagian tugas/pekerjaan, tidak sebagai pengkotakan kerja akan tetapi sebagai satu kesatuan kerja, yang semuanya terarah pada pencapaian tujuan. Dalam kolaborasi yang akan dibahas dalam penelitian ini terkait kedalam sebuah perjanjian yang sah yang sesuai disebutkan dalam Pasal 1320 BW yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu, dan 4. Suatu sebab yang halal. Ada beberapa teori yang digunakan dalam penyelesainan persoalan dalam penelitian ini antara lain : Uitings Theorie (teori saat melahirkan kemauan), Verzend Theorie (teori saat mengirim surat penerimaan), Ontvangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan), Vernemings Theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan).9 Mengenai pengertian Kolaborasi untuk pengaturannya belum ditemukan baik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri maupun dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Hanya dijelaskan mengenai Perjanjian Lisensi menyangkut Desain yang sama terhadap Merek yang berbeda. Sehingga terjadi sebuah kekaburan norma dalam pengaturan mengenai Kolaborasi dan Perjanjian Lisensi tersebut.
9
h. 206
H. Riduan Syahrani, 2006, Seluk- Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
15
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan penelitian Normatif. Yang dimaksud dengan penelitian normatif adalah dalam penelitian mendekati permasalahan dari segi hukum yakni berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang diikuti dengan melibatkan bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, dan hubungannya. Dalam bukunya, Abdulkadir Muhamad berpendapat bahwa penelitian hukium normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu Undang-Undang, serta bahasa hukum yang digunakan tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.10Selain itu bahan hukum primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang dapat dipergunakan dalam melengkapi dan sebagai data penunjang dalam penelitian ini. 1.8.2 Jenis Pendekatan Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum antara lain pendekatan Perundang-undangan (the statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan dengan kasus yang ditangani, pendekatan konseptual
10
h. 101
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
16
(conceptual approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan beranjak dari perundang-undangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, Pendekatan Sejarah (historical Approach) adalah pendekatan yang dilakukan dalam kerangka untuk memahami filosofi aturan hukum dari waktu ke waktu, serta memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut. Cara pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi, pendekatan perbandingan (comparative
approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan UndangUndang satu negara dengan Undang-Undang suatu negara atau lebih mengenai hal yang sama, dan pendekatan kasus (the case approach) adalah pendekatan yang dilakukan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (in chart). Dari jenis pendekatan hukum yang telah dipaparkan, dalam penelitia ini jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Perundang-Undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan Perundang-Undangan dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang ditangani11. Kemudian mengumpulkan data dengan melihat fakta-fakta yang ada di lapanagan. Latar belakang penggunaan pendekatan Perundang-Undangan (statue approach) karena penulisan ini membahas dan menelaah mengenai pengaturan pengaplikasian Desain Industri pada produk yang sama dengan Merek yang berbda yang 11
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cetakan 7, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93
17
bersumber kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Kemudian permasalahan ditelaah kembali dengan pendekatan konseptual yang dilakukan dengan beranjak dari perundang-undangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer dan sekunder. Bahan primer adalah baham hukum yang bersumber dari perwujudan asas dan kaidah hukum untuk menganalisa permasalahan berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang besumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari bahan yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Bahan hukum tersebut terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.12 1. Bahan Hukum Primer Terdiri dari bahan hukum primer yang bersumber dari PerundangUndangan yaitu :
12
a.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
b.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali, h.69.
18
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Desain Industri Tahun 2000.
2. Bahan Hukum Sekunder a. Buku-buku Hukum b. Jurnal-jurnal Hukum c. Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa. d. Kamus / ensiklopidia hukum, dan e. internet dengan menyebutkan nama situnya, serta bahan-bahan yang menunjang kelengkapan bahan-bahan primer dan
sekunder
yang
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik studi dokumen, teknik obsevasi dan pengamatan yang mencakup bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang terkait dengan rumusan masalah dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal, hukum serta karya ilmiah atau pandangan ahli hukum tentang pengaturan penggunaan Desain yang sama terhadap produk yang memiliki Merek berbeda ditinjau dari Undang-Undang Desain Industri.
1.8.5 Tehnik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian ini bahan hukum primer dan sekunder yang sudah terkumpul dianalisa secara kualitatif berdasarkan permasalahan yang diangkat kemudian diolah dengan tehnik deskripsi yaitu menyajikan aspek-aspek dengan menjelaskan dan menggambarkannya dengan jelas dan dianalisa kebenarannya. Selain Teknik Deskripsi, dalam penelitian hukum normatif juga terdapat Teknik Evaluasi dan Teknik Argumentasi. Teknik Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Sedangkan Teknik Argumentasi merupakan teknik yang tidak bisa dipisahkan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasanalasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukan kedalaman penalaran hukum.