BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf telah diberlakukan di Indonesia. Harta tanah wakaf mempunyai potensi yang amat besar dan amat penting guna pemenuhan terhadap berbagai kebutuhan kepentingan masyarakat, seperti untuk kepentingan keagamaan, kepentingan sosial dan ekonomi, oleh karenanya masalah perwakafan tanah milik perlu diatur dan dikelola dengan secermat mungkin. Sebagai salah satu wujud nyata upaya pengaturan pengelolaan tanah wakaf itu adalah dengan telah disusun dan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Harta tanah wakaf yang terdapat di Kota Denpasar sebanyak 123 lokasi, yang tersebar di 4 wilayah Kecamatan, yaitu di Kecamatan Denpasar Barat sebanyak 51 lokasi, di Kecamatan Denpasar-Selatan sebanyak 42 lokasi, di Kecamatan Denpasar-Utara sebanyak 18 lokasi, di Kecamatan Denpasar-Timur sebanyak 12 lokasi. Meskipun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf itu telah diberlakukan selama 10 tahun namun
ternyata di dalam implementasinya terhadap
pengelolaan harta tanah wakaf secara produktifitas ekonomi belum terlaksana secara optimal, sehingga layak untuk diteliti apakah yang menjadi kendalanya. Wakaf bertujuan untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Fungsi wakaf adalah untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf guna kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, maka harta benda wakaf khususnya yang berupa tanah milik harus dikelola secara efektif
dan efisien untuk menunjang tersedianya sarana tempat ibadah, tempat pendidikan, rumah sakit dan kepentingan sosial lainnya serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ataupun untuk kepentingan umum lainnya. Namun dalam realitanya harapan untuk mewujudkan suatu tujuan dan fungsi wakaf guna peningkatan kesejahteran ekonomi masyarakat itu belum dapat terrealisir sepenuhnya. Banyak harta benda tanah wakaf di dalam masyarakat yang mempunyai potensi dan manfaat ekonomi sangat besar untuk dapat dikelola dan dikembangkan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun belum sepenuhnya dikelola secara produktifitas ekonomi, yang hasilnya sesungguhnya dapat dipergunakan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sangat disayangkan bahwa dalam realitnya usaha-usaha pengelolaan harta tanah wakaf yang kearah peningkatan kesejahteraan umum itu belum sepenuhnya dapat terwujud seperti yang diharapakan, pada hal potensi dan manfaat ekonomi dalam harta tanah wakaf itu sangat besar. Hal ini merupakan suatu persoalan dan tantangan dalam lembaga wakaf, khususnya bagi pengelola harta benda tanah wakaf agar segera dapat mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf sesuai dengan amanat undang-undang. Harta tanah wakaf yang mempunyai potensi dan manfaat ekonomi begitu besar yang dapat dipergunakan sebagai modal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat itu jangan sampai disia-siakan begitu saja. Potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf itu harus benar-benar dapat terrealisir pengelolaannya secara produktivitas ekonomi sesuai dengan tujuan dan fungsinya yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Secara praktis ketersediaan tanah itu memang merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi seluruh warga masyarakat Indonesia untuk menunjang kehidupannya,
terutama bagi warga masyarakat petani yang semata-mata hanya mengandalkan tanah sebagai sarana modal pokok untuk usaha produktifitas ekonomi guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Tanah adalah sebagai tempat untuk bertani, untuk berkebun ataupun berladang, tanah itulah sebagai tempat bergantungnya kehidupan mereka. Tanah juga merupakan sarana utama untuk dibangun dalam berbagai macam sarana kebuthan kehidupan seperti sebagai tempat tinggal, tempat pendidikan, perkantoran dan rumah sakit serta untuk kepentingan sarana umum yang lainnya. Bagi rakyat Indonesia yang sebagian besar bekerja sebagai petani tanah adalah sebagai faktor penunjang yang paling mendasar dalam pekerjaannya maka tanah merupakan modal utama bagi sebagian besar masyarakat Indonenesia.1 Kehidupan manusia sangat bergantung pada ketersediaan tanah. Di Indonesia perwakafan tanah milik telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Perwakafan tanah milik merupakan salah satu bentuk obyek wakaf di Indonesia. Wakaf sebagai suatu lembaga Islam telah menjadi salah satu penunjang bagi perkembangan kehidupan agama dan sosial masyarakat Islam di Indonesia. Kalangan masyarakat Islam di Indonesia memiliki kebiasaan untuk berwakaf tanah milik itu sudah cukup lama, sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia. Walaupun keberdaan harta benda tanah wakaf sudah cukup lama namun dalam pemberdayaan terhadap tanah wakaf itu pengeloaannya belum dilakukan pelaksanaan secara optimal, sehingga hasil dari pengelolaannya itu belum sepenuhnya 1
H Muchsin, 2007, Isbath Wakaf Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Tanah Wakaf, Varia Peradilan No,264, Nopember 2007, Jakarta, h. 27
dapat diwujudkan guna menunjang untuk memenuhi berbagai kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang secara menyeluruh. Keberadaan tanah wakaf memerlukan adanya suatu perhatian yang serius di dalam pengelolaannya dan perlu segera dilakukan penanganan yang secara professional agar hasilnya dapat lebih optimal. Perkembangan Islam di Indonesia secara historis tidak dapat terpisahkan dengan perwakafan, dan perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat terlepas dari kebiasaan keikhlasan masyarakat untuk ikut berwakaf, sehingga potensi wakaf dapat dipakai sebagai penunjang pada dakwah Islamiah.2
Setiap bangunan yang difungsikan untuk
kepentingan keagamaan dan sosial, baik yang berupa tempat ibadah, tempat pendidikan, pusat-pusat penyiaran Islam, asrama dan lain sebagainya selama ini sebagian besar berdiri diatas tanah wakaf. Selain dari itu terhadap harta tanah wakaf yang mempunyai potensi ekonomi perlu dilakukan pengelolaan dengan secara professional yang hasilnya akan dapat
memberikan kontribusi yang begitu besar guna menunjang terwujudnya
kesejahteraan umum, baik untuk pemenuhan kebutuhan dibidang keagamaan, kebutuhan sosial maupun untuk pruduktivitas ekonomi, khususnya guna kepentingan peningkatan kesejahteraan ekonomi umat Islam di Indonesia. Harta tanah wakaf yang dikelola secara produktifitas ekonomi masih sangat sedikit, karena memang masih ada sebagian kecil dari warga muslim yang berwawasan sempit, yang masih memiliki suatu pandangan terhadap penggunaan harta tanah wakaf itu hanya diutamakan guna pemenuhan kebutuhan sarana tempat peribadatan saja. Pada hal peluang pemanfaatan harta tanah wakaf tersebut disamping dapat dipergunakan sebagai tempat ibadah murni ( seperti untuk masjid, untuk mushola), dan dapat dipergunakan untuk 2
Abdul Ghafur Anshori, 2005, Hukum Dan Praktek Perwkafan Di Indonesia, Pilar Media, Jogyakarta, h. 2.
kepentingan sosial (seperti untuk sarana tempat pendidikan, untuk rumah sakit, untuk asrama dan sebagainya),
harta tanah wakaf dapat dikelola juga secara produktifitas
ekonomi. Tanah wakaf sebenarnya mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikelola secara optimal di dalam bidang produktivitas ekonomi, yang hasilnya dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan umat yang lebih luas. Keberadaan lembaga wakaf sebenarnya merupakan suatu lembaga yang memiliki peranan sangat penting dalam perkembangan masyarakat Islam baik dalam bidang keagamaan maupun pendidikan, ekonomi dan sosial.3 Perwakafan tanah milik dapat merupakan fundamen yang amat kokoh yaitu sebagai suatu modal usaha yang permanen untuk diberdayakan dalam usaha dibidang produktifitas ekonomi, yang hasilnya dapat dipergunakan untuk mendukung dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial, sedangkan modal yang berupa harta tanah wakafnya sendiri masih tetap utuh. Keberadaan harta tanah wakaf sebagai aset dapat dimanfaatkan guna kepentingan kemanusiaan didalam jangka waktu yang cukup panjang bahkan untuk selamanya, selama harta tanah wakaf itu masih dapat dimanfaatkan. Dilihat dari segi religious, substansi dalam praktek pelaksanaan perwakafan mempunyai fungsi sebagai ritual dalam arti sebagai suatu bentuk implemantasi dari keimanan seseorang yaitu sebagai amal shaleh yang dipercaya pahalanya akan mengalir secara terus menerus dapat dipakai sebagai bekal kehidupan diakhirat nanti. Pelaksanaan perwakafan juga mempunyai fungsi sosial yaitu bahwa tanah wakaf itu dalam pengelolaan pemanfaatannya sebagai bentuk solidaritas sosial
yang dijadikan sebagai instrument
pendukung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersifat abadi. Maka 3
Juhaya S Praja & Mukhlisin Muzairie, 2009, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, Pustaka Dinamika, Jogyakarta, h. 11
wakaf sifatnya sebagai amal jariah, selama benda yang diwakafkan itu dimanfaatkan oleh orang banyak dan selama itu pula pahalanya akan mengalir terus kepadanya.4 Pelaksanaan wakaf substansinya sebagai bentuk amal jariah adalah merupakan suatu bentuk perbuatan yang amat mulya, yang pahalanya dipercaya akan mengalir secara terus menerus selamanya, sepanjang tanah wakaf tersebut masih digunakan orang. Amal jariah itu semata-mata sebagai perbuatan kebaikan yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat pada umumnya, maka wakaf itu merupakan suatu potensi yang dapat untuk peningkatan kehidupan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan pengelolaan terhadap harta tanah wakap memerlukan suatu perhatian yang sungguh-sungguh guna untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf yang sepenuhnya,
harta tanah wakaf harus diberdayakan secara optimal dengan sungguh-
sungguh. Pemberdayaan terhadap harta tanah wakaf hasilnya secara tidak langsung juga akan mengarah
kepada pengembangan pemanfaatannya maupun pengembangan
modalnya, sehingga keberadaan harta tanah wakaf akan tetap utuh bahkan dari hasil usaha produktifitasnya akan dapat memperbesar harta wakaf itu sendiri. Terhadap harta tanah wakaf yang dalam realitanya telah diberdayakan secara langsung keberadaan harta tanah wakaf itu akan selalu terkontrol/ terawasi,
sehingga tanah wakaf akan tetap terjaga
keutuhannya dengan baik, serta keberadaan harta tanah wakaf juga akan selalu terkontrol dengan baik. Keberadaan harta tanah wakaf harus tetap dijaga kelestariannya keutuhannya selama tanah wakaf tersebut masih dapat memberikan manfaat, dapat dikelola dan
4
Tahir Azhari, 1992, Wakaf dan Sumber Daya Ekonomi, Al Hikmah, Jakarta, h. 11
diberdayakan. Tanah wakaf sebaiknya tidak dialihkan atau dijual agar dapat tetap dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan lahan bagi masyarakat. Bagi masyarakat merasakan ketersediaan lahan pada saat ini dirasakan sudah semakin berat dan semakin sulit untuk dapat memperolehnya apalagi pada masa yang akan datang tentu akan tidak akan mudah. Sejalan dengan kondisi laju pertambahan penduduk dalam masyarakat yang semakin besar akan berpengaruh juga kepada pemenuhan kebutuhan lahan untuk kepentingan pemukiman masyarakat yang tidak dapat dihindarkan lagi, maka lahan tanah wakaf tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, agar dapat terjaga kelangsungan pemanfaatannya, keutuhannya untuk selama-lamanya sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Pengamalan nilai-nilai luhur ajaran Islam yang tercermin dalam makna wakaf itu merupakan bagian dari ibadah.5 Cerminan kebiasaan masyarakat gemar berwakaf harus tetap dijaga selamanya. Semangat gemar pelaksanaan wakaf yang didalamnya terkandung suatu nilai begitu amat mulia itu wajib dipertahankan. Harta tanah wakaf harus dijaga kelestariannya, keamanannya, keutuhannya dan harus dikelola, dikembangkan secara optimal guna memenuhi kebutuhan umat. Keberadaan harta tanah wakaf tidak dapat terlepas dari kesadaran dan keikhlasan setiap orang yang ingin berwakaf atau yang sering disebut Wakif. Pengertian Wakif dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
5
Sholeh So’an, 2004, Moral Penegak Hukum di Indonesia Dalam Pandangan Islam, Agung Ilmu, Bandung, h. 7.
Harta benda tanah milik yang oleh wakif telah diikrarkan untuk diwakafkan berarti status kepemilikannya telah lepas menjadi harta wakaf, untuk selanjudnya harta tanah wakaf diserahkan kepada Nazhir untuk dikelola sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Nazhir merupakan salah satu unsur wakaf yang harus ada dalam praktek pelaksanaan wakaf. Tentang penulisan istilah Nazhir ada beberapa macam versi, yang di dalam Kompilasi Hukum Islam ditulis dengan istilah Nadzir, bahkan dalam tulisan yang lain ada dipergunakan dengan penulisan Nazir, karena ada beberapa versi tentang penulisan Nazhir maka dalam penulisan tesis ini agar tidak menimbulkan kerancuan penulisan istilah Nazhir untuk selanjudnya dipergunakan istilah Nazhir sesuai dengan yang tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pengertian Nazhir dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nazhir memiliki tugas dan kewenangan untuk mengelola, mengembangkan juga menjaga keutuhan dan kelestarian harta benda wakaf yang telah diterima dari Wakif. Nazhir memiliki peran kewenangan yang sangat penting terhadap harta benda wakaf yang telah diterimanya. Meskipun Nazhir memiliki tugas dan kewenangan untuk mengelola harta benda tanah wakaf, namun yang menjadi masalah adalah bahwa tugas kewenangan untuk mengelola harta tanah wakaf tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat yaitu pada prinsipnya untuk membantu
mewujudkan kesejahteraan umum. Nazhir seharusnya memiliki kewajiban penuh untuk mengurus dan bertanggungjawab atas kekayaan harta benda wakaf serta hasilnya.6 Nazhir memilki kedudukan yang pokok dan sangat penting dalam pengelolaan harta benda wakaf yang telah diterimanya. Nazhir dibebani tugas
untuk mengelola
termasuk untuk menjaga kelestariannya keutuhannya dan untuk mengembangkanya atau meberdayakannya serta memanfaatkannya guna meningkatkan kehidupan kesejahteraan umat. Nazhir wakaf berwenang melakukan hal-hal yang mendatangkan kebaikan dalam pengelolaan harta wakaf dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi tujuan wakaf dengan memperhatikan syarat-syarat yang mungkin telah ditentukan oleh wakif.7 Dimana wakif dalam ikrar wakafnya menyatakan dengan jelas tentang peruntukan dari wakaf yang telah dilaksanakan. Peran Nazhir dalam hal ini sangat sentral untuk mengelola tanah wakaf yang telah diterimanya. Berhasil atau tidaknya untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf itu sangat tergantung kepada peranan Nazhir yang bersangkutan yang telah dipercaya sepenuhnya oleh wakif. Seorang Nazhir didalam pengelolaan tanah wakaf agar dapat berjalan dengan baik maka diperlukan adanya suatu syarat kwalifikasi tertentu bagi seorang Nazhir, seperti yang berupa penguawasaan pengetahuan yang cukup sesuai dengan bidang tugasnya, kemampuan yang dapat diandalkan dan keterampilan yang memadai. Hal tersebut sangat diperlukan guna menunjang tugas yang diembannya. Oleh karenanya dalam rangka untuk mempersiapkan sumberdaya manusia sebagai Nazhir yang memadai, maka sebaiknya di 6 7
Bahder Johan Nasution & Sri Warjiyati, 2007, Hukum Perdata Islam, Mandar Maju, Bandung, h. 71. Ahmad Azhar Basyir, 1987, Hukum Islam Tentang Wakaf Ijarah Syirkah, Alm’arif, Bandung, h. 20.
dalam perekrutan terhadap Nazhir itu harus dilakukan secara selektif dengan memperhatikan pada aspek keahlian, ketrampilan dan kemampuan professional yang diperlukan. Persyaratan kwalitatif inilah sebagai modal dasar bagi Nazhir yang selama ini belum sepenuhnya terpenuhi oleh Nazhir, sehingga dapat menjadi kendala untuk dapat mengelola harta tanah wakaf itu secara efektif dan efisien. Nazhir diberikan suatu tanggungjawab langsung atas pengelolaan kemanfaatan terhadap harta tanah wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf yang telah diamanatkan kepadanya, oleh karena itu sebagai Nazhir harus memenunuhi kwalifikasi landasan sifat moral sesuai dengan fikih yang antara lain adalah harus beragama Islam dan harus memiliki sifat amanah, jujur, adil.
Guna menjaga kelestarian dan keamanan
terhadap harta tanah wakaf maka Nazhir memiliki peran juga dalam menjamin untuk menjaga kepastian hukum terhadap tanah wakaf. Status setiap tanah wakaf harus jelas tentang kepastian hukum mengenai kepemilikannya dan perlindungan hukumnya. Nazhir berkewajiban untuk mengusahakan kelengkapan sertifikat dari tanah wakaf yang dikelolanya sebagai alat bukti kepemilikan yang sah terhadap tanah wakaf. Jika dilihat secara nasional harta tanah wakaf diseluruh wilayah Indonesia jumlahnya cukup banyak, pada tahun 2006 sudah mencapai 403.845 lokasi yang luasnya mencapai 1.566.672.406 meterpersegi.8 Dari seluruh tanah wakaf tersebut sebanyak 25% belum bersertifikat, sehingga masih sangat rawan terhadap terjadinya gangguan keamanan kelestarian terhadap harta tanah wakaf. Khusus untuk tanah wakaf yang ada di Kecamatan
8
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, 2006, Pedoman Pengelolaa dan Pengembangan Wakaf, Departemen Agama RI, Jakarta, h. 82.
Denpasar Barat Kota Denpasar saja berjumlah 51 lokasi yang luasnya kurarng lebih 16.669,89 m2.9 Tanah wakaf yang jumlahnya cukup banyak itu ternyata belum seluruhnya dikelola secara optimal, belum diperoleh suatu perhatian yang sungguh-sungguh untuk dikelola, dikembangkan, diberdayakan, diawasi serta dijaga keutuhannya.. Sedangkan khusus tanah wakaf yang ada di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar kurang lebih berjumlah 51 lokasi dan sebagian besar dipergunakan untuk tempat ibadah serta ada sebagian kecil yang belum bersertifikat, yang semuanya sudah dilengkapi dengan Akta Ikrar Wakaf (AIW). Terhadap tanah wakaf yang samapai sekarang belum bersertifikat tentu sangat tidak dikehendaki dan dapat menimbulkan kekawatiran terhadap keutuhan serta keamanannya. Ketiadaan sertifikat ini dapat mengancam keselamatan terhadap eksistensi tanah wakaf yang terkait. Untuk mengantisipasinya maka peran aktif sebagai seorang Nazhir itu sangat diperlukan agar tanah wakaf itu tetap terjaga dan dikelola sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Persoalan dan tantangan terhadap harta tanah wakaf yang tidak dilengkapi dengan sertifikat adalah akan sangat rawan bagi timbulnya persengketaan, bahkan dapat menyebabkan hilangnya aset kekayaan harta benda wakaf, yang sangat diperlukan untuk memenuhi kepentingan sarana tempat ibadah keagamaan maupun kepentingan sosial yang lainnya. Pensertifikatan terhadap tanah wakaf merupakan suatu keharusan. Dalam pertumbuhan penduduk dan perkembangan kehidupan masyarakat saat ini yang begitu
9
Gun Supardi, Kepala KUA Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar, wawancara tanggal 1 Agustus 20011.
pesat dengan disertai adanya dorongan terhadap pemenuhan kebutuhan lahan untuk pemukiman yang begitu sulit untuk dipenuhi, maka tanah wakaf dapat dijadikan obyek jual beli tanah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Tanah wakaf sangat memerlukan suatu perhatian yang sungguh-sungguh agar tanah wakaf jangan sampai beralih penguwasaannya kepada pihak ketiga secara melanggar hukum dan jangan sampai harta tanah wakaf itu terbemgkalai atau tidak terurus, terlantar. Guna menjamin keamanan dan kepastian hukum terhadap tanah wakaf maka seorang Nadzir dituntut untuk bekerja secara giat dan professional untuk mengusahakan agar tanah wakaf yang menjadi tanggungjawabnya dapat dilengkapi dengan sertifikat kepemilikannya serta dikelola pemanfaantannya secara efektif dan efisien. Pensertifikatan tanah wakaf secara tehnis memang memerlukan keteguhan kegigihan usaha dari seorang Nadzir yang bersangkutan, karena untuk pensertifikatan tanah wakaf diperlukan pengorbanan tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit. Untuk kepentingan tersebut maka diperlukan juga peran dari pihak lain yang terkait yaitu dalam hal ini khususnya adalah peran serta dari pihak lain yang terkait yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah agar memudahkan dalam pengurusannya. Tanah wakaf dalam proses pelaksanaan kepengurusan sertifikatnya
kadang-
kadang masih dihadapkan suatu kendala persyaratan dokumen administrasi, khususnya terhadap tanah wakaf yang tidak dilengkapi dengan Akta Ikrar Wakaf (AIW), Terutama terhadap tanah wakaf yang telah ada sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik (PP Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Wakaf Tanah Milik). Dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Wakaf Tanah Milik
tersebut ditentukan bahwa setiap tanah wakaf itu harus disertifikatkan. Pensertifikatan terhadap tanah wakaf ini diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum tanah wakaf. Guna keperluan dalam suatu proses pensertifikatan tanah wakaf maka harus dilengkapi dengan Akta Ikrar Wakaf (AIW) sebagai sarat untuk dapat diproses secara administrasi di kantor Badan Pertanahan Nasional. Atas dasar keberadaan harta tanah wakaf yang telah diatur dengan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, di dalamnya diamanatkan bahwa harta tanah wakaf yang memiliki potensi manfaat ekonomi harus dikelola secara efektif dan efisien, maka penulis bermaksud untuk mengkaji melalui suatu kegiatan penelitian ilmiah yang berjudul “EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DALAM PENGELOLAAN HARTA TANAH WAKAF OLEH NAZHIR DI KECAMATAN DENPASAR-BARAT KOTA DENPASAR” dengan mengangkat suatu permasalahan sebagai berikut. 1.2
Rumusan Masalah Dari uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas tercermin masih adanya harta tanah wakaf yang belum dikelola secara optimal dan baru sebagian kecil harta tanah wakaf yang telah dikelola secara produktivitas ekonomi, sehingga harta tanah wakaf tersebut belum mendatangkan suatu hasil guna yang optimal secara ekonomis untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka dapatlah dirumuskan suatu masalah sebagai berikut: 1. Apakah pelaksanaan pengelolaan harta tanah wakaf oleh Nazhir berdasarkan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar itu telah efektif ?
2. Apakah harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar telah dikelola secara optimal ? 1.3
Ruang Lingkup Masalah. Penelitian terhadap wakaf ini hanya ditekankan terhadap permasalahan yang terkait dengan wakaf tanah milik di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar, terutama tentang pengelolaan terhadap wakaf tanah milik secara produktif yang dilakukan oleh Nazhir, meliputi
fungsi perencanaan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan
pelestarian, pengawasan tanah wakaf guna membantu meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat, dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengelolaan harta tanah wakaf. 1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dalam pengelolaan terhadap harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar- Barat Kota Denpasar. 2. Untuk
mengetahui tentang penggunaan pemanfaatan terhadap tanah wakaf di
Kecamatan Denpasar- Barat Kota Denpasar
1.4.2 Tujuan Khusus Secara khusus tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang pengelolaan terhadap harta tanah wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang dilaksanakan oleh Nazhir di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar. 2. Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pengelolaan harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar. 1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Secara Teoritis Secara teoritis manfaat dari hasil penelitian ini adalah, 1. Diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan pemikiran kepada Nazhir dalam rangka untuk menyusun suatu rancangan pedoman tentang pengelolaan harta tanah wakaf
yang sesuai dengan landasan pertimbangan pembentukan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 2. Dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada Nazhir dalam rencana pengelolaan terhadap harta tanah wakaf sehingga dapat memberikan suatu kontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat.
1.5.2 Manfaat Secara Praktis Secara praktis manfaat dari penelitian ini adalah; 1. Dapat memberikan kejelasan kepada masyarakat tentang wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar.
pengelolaan harta tanah
2. Dapat memberikan kejelasan kepada masyarakat tentang pemanfaatan terhadap harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar. 1.6
Orisinalitas Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis judul Penelitian tentang “Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Dalam Pengelolaan Harta Tanah Wakaf Oleh Nazhir di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar” itu belum pernah ditemukan sebelumnya. Bagi penulis permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini merupakan hal yang baru. Adapun hasil penelitian ataupun tesis yang pernah ditemukan adalah, 1. Resmiyati, 2004, Pelaksanaan Perwakafan Tanah Milik di Kabupaten Ambarawa Berdasarkan PP No.28 Tahun 1977, Tesis UNDIP, Semarang10. Tesis tersebut merumuskan permasalahan sebagai berikut: (1). Bagaimanakah pelaksanaan perwakfan tanah milik di Kabupaten Ambarawa, apakah sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik ? (2). Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perwakafan tanah milik di Kecamatan Ambarawa? Jawaban dari permasalahan tersebut adalah bahwa pelaksanaan perwakafan tanah milik di Kecamatan Ambarawa sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, dimana setiap tanah wakaf harus dilakukan pendaftaran. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perwakafan tanah milik di Kecamatan Ambarawa adalah (a). Peraturan Pemerintah
10
Resmiyati, 2004, Pelakasnaan Perwakafan Tanah Milik di Kabupaten Ambarawa Berdasarkan PP No 28Tahun 1977 , (Tesis) Program Studi Magister(S2) Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, h. 5.
Nomor 28 Tahun 1977 belum banyak diketahui didalam kehidupan masyarakat khususnya masyarakat di Kabupaten Ambarawa. (b). Terbatasnya dana untuk pensertifikatan tanah wakaf. (c). surat bukti kepemilikan kurang lengkap. 2. Erfin Febriansyah, 2008, Peranan Persyarikatan Muhammadiyah Sebagai Nadzir Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Dalam Pengelolaan Tanah Wakaf Di Jogyakarta, Tesis UNDIP, Semarang11. Tesis ini merumuskan permasalahan sebagai berikut; (1). Bagaimanakah peranan Persyarikatan Muhamadiyah sebagai Nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf di Kota Yogyakarta ?
(2). Apakah kendala yang dihadapi oleh persyarikatan Muhamadiyah
sebagai Nazhir dan bagaimana solusinya ? Dari permasalahan tersebut diperoleh jawaban sebagai berikut;
peranan
Persyarikatan Muhamadiyah sebagai Nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf adalah, (a). melakukan koordinasi dan konsolidasi, yaitu sebagai koordinasi pelaksana wakaf yang terjadi pada tiap tingkatan Pimpinan Cabang
dan Ranting Muhamadiyah, serta
memperkuat kinerja organisasi secara struktural dan personal di masing-masing tingkat pimpinan baik secara internal maupun secara ekstenal. (b). Mengoptimalisasikan pelaksanaan perwakafan
yaitu penghimpunan tanah wakaf, pendaftaran dan
pengoptimalisasi tanah wakaf untuk dapat dipergunakan dalam kegiatan dibidang keagamaan dan sosial. (c). Melakukan bimbingan dan pengawasan dalam pelaksanaan wakaf yang terjadi pada tiap tingkatan Pimpinan Muhamadiyah yang dibawahnya. (2). Kendala –kendala dalam perwakafan di Kota Yogyakarta yaitu, masih terdapat tanah wakaf yang belum bersertifikat sehingga hal ini akan menyulitkan dalam pendaftarannya 11
Erfin Febriansyah, 2008, Peran Persyarikatan Muhammadiyah sebagai Nazhir Menurut UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf dalam Pengelolaan Tanah Wakaf diYogyakarta,(Tesis) Prgram Studi Magister (S2) Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, h. 9.
dan mengakibatkan adanya berbagai
permasalahan yang kemungkinan timbul
dikemudian hari. Apabila terjadi sengketa, maka penyelesaiannya dilakukan dengan cara musyawarah, apabila masih juga tidak berhasil, maka satu-satunya jalan adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga(mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Agama. 3. Abdullah Gofar 2013, Peranan Nazhir Dalam Pendayagunaan Tanah Wakaf , studi kasus di Kotamadya Palembang, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta12. Tesis tersebut merumuskan permasalahan tentang; (1). Hambatan atau kendala dalam proses pendaftaran dan pemanfaatan tanah wakaf?
(2). Proses dan tatacara
pengangkatan atau penunjukan Nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf? (3). Peran dan tanggung jawab Nazhir dalam pendayagunaan tanah wakaf? (4). Sistem dan program kerja Nazhir dalam pemanfaatan tanah wakaf. Simpulan jawaban dari permasalahan tersebut; (1). Bahwa proses pendaftaran tanah wakaf, walaupun pada kenyataannya saat sekarang telah mencapai 70% sebagian besar dilakukan melalui program yang datangnya dari pihak Pemerintah, sedangkan peran aktif yang diharapkan dari pihak Nazhir tanah wakaf belum begitu Nampak, sebab Nazhir masih berstatus sebagai bagian pelengkap dari lembaga perwakafan, belum sebagai
12
Abdullah Gofar 2013, Peranan Nazhir Dalam Pendayagunan Tanah Wakaf, Studi Kasus di Kotamadya Palembang, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana(S2) Universitas Indonesia, Jakarta. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/73763b9f0b696acda23228d6e1b7ec4f4932f49a.pdf diakses tanggal 27 September 2013
manajer yang bertanggungjawab. Di lain pihak pemanfaatan tanah wakaf sebagian besar adalah di bidang peribadatan dan sosial, belum dijadikan peluang oleh Nazhir untuk medatangkan hasil secara ekonomis, dengan memanfaatkan bagian-bagian tertentu tanah wakaf sebagai unit usaha. (2). Pengangkatan Nazhir tanah wakaf secara administratif telah dilandasi pada perturan perundang-undangan, namun dari segi kemampuan kerja sebagian besar Nazhir belum dibekali panduan kerja yang jelas dalam mendatangkan nilai tambah bagi kepentingan umat Islam. (3). Sebagian besar di masyarakat adanya suatu anggapan pekerjaan Nazhir tanah wakaf lebih banyak pada aspek ibadat unsur keikhlasan dan kerelaan sangat diperlukan oleh setiap orang yang bertindak sebagai Nazhir, sehingga pekerjaan Nazhir masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan bukan sebagai pekerjaan pokok. Akibatnya pengelolaan tanah wakaf belum berpedoman dan dijalankan prinsip-prinsip manajemen suatu organisasi dan pendayagunaan belum menyentuh aspek-aspek ekonomis produktif. (4). Sistem kerja Nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf dikerjakan berdasarkan kebiasaan belaka, belum adanya panduan maupun arahan dari instansi yang berwenang, yakni Departemen Agama dalam meningkatkan kemampuan kerja Nazhir tanah wakaf. Jika dibandingkan dengan ketiga tesis tersebut dapat diketahui bahwa judul ataupun permasalahan penelitian yang dilakukan penulis adalah murni sebagai buah karya sendiri. 1.7
Landasan Teori dan Kerangka Berfikir
1.7.1 Landasan Teoritis Penelitian ini menggunakan teori, konsep dan pandangan para sarjana sebagai alat untuk analisa untuk membahas permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, guna
memperoleh hasil kajian yang mendalam. Teori merupakan bangunan berfikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (sesuai kenyataan) juga simbolis.13 Teori yang digunakan untuk membahas permasalahan penelitian ini meliputi; 1. Teori sistem hukum dari Lawrence M Friedman. 2. Teori efektivitas hukum dari Soerjono Soekanto. 3. Teori keberlakuan hukum dari Bruggink. 1. Teori sistem hukum Teori sistem hukum dari Lawrence M Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System, A Social Science Perspective, 1975 dinyatakan bahwa A legal system in actual operation is a complex organism in wich structur, substance and culture interact14 yang berarti bahwa sistem hukum dalam operasional pelaksanaannya adalah sebagai suatu kesatuan yang mencakup struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum. Teori sistem hukum menegaskan bahwa agar suatu hukum itu dapat berperan secara optimal maka diperlukan kesatuan ketiga unsur dari sistem hukum yaitu struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum.15 a. Legal Structure (Struktur Hukum) Structure to be sure, is one basic and obvious element of the legal system(struktur adalah suatu dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum).
13
Otje Salman Anton F Susanto, 2008, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 7. 14 Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social science perspective, Rusell Sage Foundation, New York, h. 16. 15 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum ( Legal Theory) dan teori Peradilan (Judicialprudence) termaasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, h. 225.
Struktur hukum mencakup keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, yang termasuk didalamnya lembaga kepolisian dengan polisinya, lembaga kejaksaan dengan jaksanya, lembaga pengadilan dengan hakimnya. Jadi struktur hukum itu mencakup keseluruhan lembaga hukum dan penegak hukum. b. Legal Substance (Substansi Hukum) The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave (substansi terdiri dari aturan substantive dan aturan tentang bagaimana lembaga harus bersikap). Substansi merupakan kandungan keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum dan norma hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk petugas pengadilan. c. Legal Cultur (Budaya Hukum) Legal culture refers, then, to those parts of general culture, costums, opinion, wais of doing, that bend social forces toward or away from the law and in particularways (budaya hukum merupakan bagian dari budaya pada umumnya, berupa adat istiadat, pandangan, ide-ide cara berfikir dan tingkah laku, kesemuanya itu dapat membentuk kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dan cara-cara tertentu). Termasuk dalam budaya hukum ini adalah sikap, prilaku manusia, kebiasaan-kebiasaan dapat membentuk kekuatan sosial untuk mentaati hukum atau sebaliknya melanggar hukum. 2. Teori efektivitas hukum Teori efektivitas hukum dari Soerjono Soekanto menyatakan bahwa hukum itu secara efektif dapat ditegakkan ditentukan oleh lima faktor.16
16
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan hukum, Rajawali Press, Jakarta. h. 8.
kelima faktor yang mempengaruhi efektivitas berlakunya hukum itu adalah, a. Faktor hukumnya sendiri. b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yaitu cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. 3. Teori keberlakuan hukum dari Bruggink. Dalam teori hukum keberlakuan hukum itu menurut Brugink dibagi menjadi tiga, yaitu keberlakuan empiris, keberlakuan normatif, keberlakuan evaluatif 17. a. Keberlakuan faktual atau empiris. Kaidah hukum itu berlaku secara faktual atau empiris apabila warga masyarakat mematuhi atau mentaati terhadap aturan yang berlaku terhadap dirinya. Apabila warga masyarakat yang dipandang secara umum berprilaku dengan mengacu pada keseluruhan kaidah hukum itu berarti hukum itu berlaku secara empiris, dimana aturan hukum menjadi pengarah terhadap perilaku warga masyarakat. Disamping itu bahwa aturan atau kaidah hukum itu juga ditegakan oleh penguwasa sebagai penegak hukum dengan demikian suatu aturan hukum itu juga akan berlaku secara efektif. b. Keberlakuan normatif atau formal.
17
Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa B.Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 148.
Dalam keberlakuan normatif atau formal ini kaidah hukum yang bersifat khusus tidak boleh bertentangan dengan kaidah hukum yang umum. Suatu sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hierarkhi dimana kaidah hukum yang khusus bertumpu pada kaidah hukum umum, kaidah hukum yang lebih rendak diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi, sehingga aturan hukum yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi kedudukannya, disamping itu substansi aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan substasi yang ada dalam aturan yang lebih tinggi. c. Keberlakuan evaluatif. Hukum itu berlaku sacara evaluatif apabila aturan hukum itu didalamnya mengandung suatu nilai yang penting bagi masyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat, sehingga aturan hukum itu wajib untuk dilaksanakan, serta aturan hukum itu harus ditaati dan dipatuhi. Keberlakuan aturan hukum secara evaluatif bahwa aturan atau kaidah hukum itu mempunyai sifat yang mewajibkan.
1.7.2 Landasan Konsep 1. Konsep Pengertian Efektivitas Efektivitas dalam arti menunjukan tarap pencapaian suatu tujuan,18 sesuai dengan aturan yang telah ditentukan sejalan dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Dalam penulisan ini efektivitasnya hanya diukur dengan kriteria berikut ini. Pengelolaan harta tanah wakaf dikatakan efektif apabila: 18
Pringgodigdo, 1973, Ensiklopedi Umum, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, h 361.
a. Peruntukan pemanfaatan harta tanah wakaf itu tidak menyimpang dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dalam ketentuan ini dinyatakan bahwa wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: (1). sarana dan kegiatan ibadah, (2). sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, (3). bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa, (4). kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan atau, (5). kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. b. Secara substantif harta tanah wakaf yang mempunyai potensi ekonomis dapat di kelola secara produktifitas ekonomi yang mendatangkan keuntungan dan kemanfaatan bagi umat. 2. Konsep Pengertian Pengelolaan Pengertian pengelolaan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang pada garis besarnya pengelolaan itu adalah upaya sistematis dan terpadu yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Sedangkan pada Pasal 1 angka (2) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pengelolaan itu pada intinya merupakan upaya terpadu yang meliputi kebijaksanaan
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengawasan dan pengendalian.19 Dalam penelitian ini yang dimaksudkan pengelolaan adalah pengelolaan harta tanah wakaf yang mencakup serangkaian upaya pemberdayaan terhadap harta tanah wakaf yang meliputi kegiatan perencanaan dalam pendayagunaan, pemanfaatan, pengembangan, 19
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Bandung, h 53.
pemeliharaan atau pelestarian, pengawasan dan penegakan hukum (jaminan kepastian hukum). 3. Konsep Pengertian wakaf. Pengertian wakaf dalam hal ini adalah wakaf tanah milik. Wakaf tanah diperlukan adanya konsep yang jelas, yaitu khusus merupakan serangkaian arti/makna yang terkait dengan wakaf tanah milik.20 Pengertian wakaf berdsarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
adalah merupakan perbuatan hukum wakif
(sebagai subyek yang berwakaf ) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. Konsep ini untuk mempertegas tentang makna yang terkait dengan istilah wakaf.21 1.7.3 Pandangan para sarjana 1. Pandangan tentang wakaf. Menurut Rachmadi Usman
wakaf tanah milik merupakan salah satu cara
peralihan dan perolehan hak atas tanah disamping cara lain.22
20
Roni Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologin Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 26. Soerjono Soekanto & Sri Mamuji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6. 22 Rachmadi Usman, 2009, Hukum Perwakafan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 5. 21
Wakaf tanah milik dalam prosesnya merupakan suatu perbuatan hukum yang menyangkut tentang peralihan atau perpindahan hak, pada sisi lain proses wakaf juga menyangkut dimensi agama, adat , sosial dan ekonomi. Menurut Rachmat Djatnika, wakaf bukan sekedar
masalah keagamaan atau
masalah kehidupan seseorang atau masalah adat belaka, melainkan juga merupakan masalah kemasyarakatan dan individu secara keseluruhan yang mempunyai dimensi polymorhpe secara interdisipliner dan multidisipliner.23 2. Pandangan tentang efektivitas hukum Pelaksanaan kegiatan pengelolaan harta wakaf tanah milik yang menyangkut pemanfaatan, pengembangan, pemberdayaan, pelestarian, pendaftaran adalah merupakan bagian dari emplementasi penegakan hukum tentang wakaf. Efektivitas hukum menunjukan tarap pencapaian suatu tujuan hukum.24 Menurut Siswanto Sunarso penegakan hukum merupakan bagian dari pada legal system tidak dapat dipisahkan dengan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.25 Dalam penegakan hukum ketiga unsur pada sistem hukum merupakan satu kesatuan untuk mencapai tujuan hukum. Efektivitas suatu peraturan hukum dalam tehnis penegakannya memerlukan perhatian dari lembaga dan prosedur pelaksanaan yang diperlukan dalam emplementasi
23
Ibid, h. 9. Pringgodigdo 1973, loc cit.. 25 Siswanto Sunarso, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Cipta Aditya Bakti, Bandung, h. 110. 24
penegakannya. Dimana dalam realitanya yang menjadi penentu bagi bekerjanya hukum adalah manusianya itu sendiri.26 Hukum itu diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia, oleh karenanya suatu hukum itu dapat bekerja secara efektif apabila disertai adanya penegak hukum sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan hukum tersebut dan orang atau masyarakat yang melakukan perbuatan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus mendapat perhatian yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.27 Penegakan hukum dikatakan efektif ketika prilaku bergerak kearah yang dikehendaki oleh norma hukum itu. Menurut Soerjono Soekanto efektivitas suatu aturan hukum sangat tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya.28 Kepincangan pada salah satu unsur, mungkin akan mangakibatkan pengaruhnya terhadap seluruh sistem hukum, karena dalam penegakan hukum masing-masing unsur sistem hukum tidak dapat mencapai tujuannya sendiri-sendiri secara terlepas dari masingmasing unsur sistem hukum.
26 27
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 70. Sudikno Mertokusumo & A Pitlo, 2005, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum Adat,Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
1. 28
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta,Bandung h. 62.
Achmad Ali berpadangan bahwa efektif atau tidaknya hukum, tidak hanya tergantung pada unsur substansi hukumnya belaka, tetapi juga ditentukan oleh dua unsur sistem hukum yang lainnya yaitu unsur struktur hukum dan unsur kultur hukum.29 Menurut Abdul Manan bahwa hukum yang efektif dan efisien adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada warga.30 Hukum yang dapat berlaku secara efektif adalah mencerminkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut Von Savigny hukum itu timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa (volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Sebagaimana diungkapkan low is an expression of common consciousness or spirit of people.31(hukum adalah sebuah pengekspresian kesadaran atau jiwa bangsa). Hukum tidak dibuat tetapi hukum itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sehingga hukum itu ditemukan dalam masyarakat. Pokok-pokok pendapat Von Savigny yang disimpulkan oleh Muhammad Siddiq Tgk. Armia yaitu, hukum itu ditemukan dalam masyarakat tidak dibuat yang bersumber dari kesadaran atau jiwa rakyat.32 Maksud dari pendapat tersebut adalah. 29
Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 20. Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kecana, Jakarta, h. 18. 31 Dardji Darmodihardjo, 2008, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, h. 124. 32 Muhmmad Siddiq Tgk. Armia, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 5 . 30
1. Hukum itu tidak dibuat atau diciptakan (hasil penggunaan rasio) tetapi ditemukan. 2. Masyarakat dunia terbagi dalam banyak masyarakat sebagai bangsa, yang masingmasing mempunyai volksgeist sendiri, yaitu adat istiadat sendiri. 3. Yang menjadi sumber hukum satu-satunya dari hukum ialah kesadaran hukum rakyat atau bangsa. Kesadaran hukum masyarakat adalah nilai yang hidup dalam masyarakat, yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penghayatan , kepatuhan atau ketaatan kepada hukum. Abdurrahman mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefekifan berlakunya undang-undang atau peraturan.33 Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan berlakunya undang-undang meliputi, 1. Faktor peraturan hukumnya sendiri, baik yang menyangkut sistem peraturannya dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang bersangkutan dan substansi atau isi dari peraturan tersebut. 2. Faktor pelaksanaan dan penegakan hukum yang diserahi tugas untuk melaksanakan peraturan tersebut. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mencakup berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut. 4. Faktor masyarakat dan budaya setempat banyak mempengaruhi pelaksanaan undangundang atau peraturan yang bersangkutan. 33
Abdurrahman, 1988, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Akademika Presindo, Jakarta,
h. 3.
1.7.4 Kerangka Berfikir Kerangka berfikir dari penelitian ini dapat di lukiskan dalam bentuk skema sebagai berikut.
SUBSTANSI HK (UU 41 , PP 42, PP 28 , KHI)
STRUKTUR HUKUM; ( PPAIW. PA, BWI, BPN )
ATURAN TEHNIS PENGELOLAAN TANAH WAKAF
BUDAYA HK (KEBIASAAN, KETAATAN MASYARAKAT)
PROFESIONALISME NAZHIR
EFEKTIVITAS; Pengelolaan Perencanaan, Pemanfaatan, Pengembangan, Pelestarian pengawasan, penegakan hk wakaf
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Keterangan kerangka berpikir Efektivitas suatu aturan hukum tidak dapat dilepaskan dari hubungan keserasian antara unsur-unsur atau bagian-bagian yang tercakup dalam sistem hukum itu sendiri, yaitu hubungan antara substansi hukum struktur hukum dan budaya hukum. Substansi hukum dibidang perwakafan tercermin didalamnya mencakup substansi hukum yaitu Undang-Undang No 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 tentang Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.
Struktur hukum yang dibidang perwakafan yaitu adanya Lembaga Peradilan Agama (PA), lembaga Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Badan Wakaf Indonesia (BWI), Departemen Agama, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan sebagainya. Budaya hukum dalam hal wakaf yaitu budaya hukum masyarakat yang gemar untuk berwakaf, kebiasaan masyarakat untuk berwakaf, sehingga praktek perwakafan itu sudah menjadi bagian dari budaya atau adat istiadat masyarakat . Wakif sebagai pewakaf dalam melaksanakan kehendak berwakafnya harus berdasarkan ketentuan hukum wakaf. Harta benda wakaf dalam hal ini adalah tanah milik, harus merupakan tanah hak milik sah yang terbebas dari segala pembebanan, sengketa, masih dalam proses pengadilan dan lain-lain, berdasarkan undang-undang atau peraturan yang berlaku. Nazhir adalah sebagai subyek yang diberi tugas dan kewenangan untuk mengelola, merencanakan, memanfaatkan, mengembangkan, menjaga atau melestarikan, mengawasi dan menegakkan hukum harta benda wakaf. Nazhir dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus berlandaskan undang-undang atau peraturan yang terkait. Untuk mewujudkan efektivitas maka aturan tehnis pengelolaan harta tanah wakaf harus ada dan disusun berdasarkan undang-undang maupun aturan tentang wakaf, yang dapat menjadi pedoman bagi Nazhir dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Syarat profesionalisme Nazhir harus ada untuk mewujudkan efektivitas dalam pengelolaan harta tanah wakaf, ketrampilan
seorang Nazhir harus memiliki pengetahuan dan
yang memadai untuk mendukung tugasnya dan harus ada proses
perencanaan yang jelas, maka untuk menentukan pemilihan Nazhir harus dilakukan secara selektif, berdasarkan kemampuan profesionalitas yang memadai, pengetahuan yang tinggi, ketrampilan yang tinggi. Personil pengelola atau Nazhir harus didukung dan diawasi oleh lingkungan masyarakat, perhatian masyarakat terhadap harta tanah wakaf harus ditingkatkan, budaya kepedulian masyarakat terhadap harta tanah wakaf harus ditingkatkan. Adanya landasan undang-undang atau peraturan yang jelas dengan ditunjang oleh Nazhir sebagai pelaksana yang professional ini dapat mendukung terhadap efektifitas pengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, pengawasan dan pelestarian
harta tanah
wakaf secara efektif. Efektivitas pengelolaan terhadap harta tanah wakaf dapat ikut menunjang terciptanya kesejahteraan masyarakat. 1.8.
Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris mengkaji pada berlakunya hukum didalam masyarakat.
Penelitian hukum empiris merupakan penelitian tentang fakta-fakta sosial masyarakat atau fakta-fakta berlakunya hukum dimasyarakat.34 Penelitian hukum empiris berusaha untuk mengungkapkan tentang berlakunya hukum dalam masyarakat. Berlakunya hukum berkaitan dengan prilaku masyarakat terhadap hukum, masyarakat akan menunjukan reaksinya dalam sikap. Penelitian hukum empiris menjelaskan tentang prilaku terhadap hukum yang berkembang dimasyarakat.35 Bahwa terhadap hukum masyarakat dapat bersikap menerima sehingga ia akan mentaatinya atau sebaliknya menolaknya. Penelitian hukum empiris lebih menitik beratkan pada aspek penerapan hukum dalam masyarakat (law as what it is insociety).36 Penelitian hukum empiris mengkaji penerapan terhadap hukum. Ilmu hukum sebagai ilmu terapan menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam penerapan hukum.37 Penelian hukum empiris mencari bentuk-bentuk realitas sikap prilaku masyarakat terhadap hukum yang berlaku .
1.8.2 Sifat Penelitian
34
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju , Bandung , h. 135. Abdulkadir Muhammad,2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 157. 36 Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UNUD, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Universitas Udayana, Denpasar, h. 34. 37 Peter Mahmud Marzuki,2009, Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 22. 35
Penelitian hukum empiris ini bersifat diskriptif analistik yaitu merupakan penelitian hukum empiris yang bertujuan untuk menggambarkan sikap-sikap kegiatan seorang Nazhir wakaf dalam melakukan pengelolaan terhadap harta wakaf tanah milik. 1.8.3 Data dan Sumber Data 1.
Jenis data Data dalam penelitian hukum empiris ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah merupakan data yang diperoleh langsung dari responden dan
informan di lapangan penelitian. Data penelitian dapat diperoleh dari pihak-pihak yang berwenang pada kantor Kementrian Agama kota Denpasar bagian pendataan tanah wakaf, pihak yang berwenang pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Denpasar Barat, Nazhir wakaf , Wakif tanah wakaf dan warga masyarakat disekitar keberadaan tanah wakaf, dan kalangan akademisi yang kompeten. Data sekunder adalah merupakan data yang diperoleh dari literature melalui penelitian kepustakaan. Data penelitian ini dapat diperoleh dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahu 1977 Tentang Perwkafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, serta beberapa peraturan pelaksana yang terkait. 2.
Sumber Data
Data primer penelitian bersumber dari pejabat yang membidangi tentang wakaf di Kantor Kementrian Agama Kota Denpasar sebagai responden, pejabat yang membidangi wakaf di Kantor Urusan Agama Denpasar Barat
serta responden dan
informan lainnya dilapangan penlitian. Semua data yang diperoleh dari respoden dan informan sebagai data primer. Data sekunder merupakan data yang bersumber dari bahan literatur hukum meliputi undang-undang yang terkait dengan wakaf dan perturan-peraturan pemerintah terkait dengan wakaf sebagai bahan hukum primer, buku-buku literature dan majalah sebagai bahan hukum sekunder dan ensiklopedi umum sebagai bahan hukum tersier. Semua data yang diperoleh dari literatur bahan hukum sebagai data sekunder. Berbeda dengan penelitian non doctrinal yang lebih mengutamakan sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. Non doctrinal research is characterized by a lesser emphasis on the primary and secondary source of law.38 Data sekunder bersumber dari bahan hukum atau buku lainnya yang terkait dengan wakaf, yang secara garis besarnya meliputi; a. Bahan hukum primer mencakup perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf, serta beberapa perturan lainnya yang terkait.
38
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co. Reverwod, NSW, h. 18.
b. Bahan hukum sekunder meliputi buku literatur, majalah dan hasil penelitian yang terkait dengan wakaf. c. Bahan hukum tersier ensiklopedi umum. 3.
Tehnis Pengumpulan Data Tehnis pengumpulan data yang dipergunakan adalah;
Tenis dengan cara mencatat dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden dan informan. Tehnis dengan cara mencatat dari hasil penelusuran studi dokumen melalui kepustakaan. Tehnis wawancara langsung dengan responden dan informan digunakan
untuk
mengumpulkan data primer. Tehnis studi dokumen digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. 4. Tehnis penentuan sampel Tehnis penentuan sampel ditentukan menggunakan langkah-lankah sebagai berikut. Tehnis penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tehnik non probability sampling yaitu tidak semua subyek populasi sebagai individu mendapat kemungkinan kesempatan yang
sama untuk dijadikan
sampel.39 Penentuan sampelnya menggunakan model purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan contoh/sampel dengan cara langsung berdasarkan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini penentuan sampelnya hanya terbatas 39
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 74.
pada pihak-pihak yang terkait dengan harta wakaf tanah milik yang ada diwilayah Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar. Adapun pihak yang terkait dengan wakaf tanah milik di wilayah Kecamatan Denpasar Barat adalah Wakif atau pihak yang berwakaf jika masih ada, Nadzir atau pihak yang diberikan tugas untuk mengelola mengawasi tanah wakaf. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kantor Urusan Agama, bagian pendataan tanah wakaf Departemen Agama Kotamadya Denpasar, dan pihak warga masyarakat diitempat sekitar keberadaan tanah wakaf. 5. Tehnis penentuan responden dan informan Responden ditentukan dengan cara memilih beberapa pihak yang berkaitan langsung terhadap pengelolaan harta tanah wakaf. Informan ditentukan dengan cara memilih pihak-pihak yang tugasnya terkait dengan pelaksanaan perwakafan, pendataan perwakafan dan pengawasan perwakafan, serta pihak-pihak yang dipandang mengetahui tentang perwakafan.. 6. Tehnis pengolahan dan analisa data a. Tehnis pengolahan data Tehnis pengolahan data dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut. 1. Mengedit data, yaitu semua data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dipilah-pilahkan berdasarkan kwalifikasinya sebagai data pendukung terhadap proses penelitian. 2. Koding data yaitu dengan cara memberikan tanda pada masing-masing data berdasarkan sumber dan kwalifikasi data. b. Tehnis analisis data
Setelah dilakukan pengolahan data maka tahap langkah selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan tehnik analisa secara kwalitatif. Dalam proses analisa data ini semua data primer maupun sekunder mempunyai kedudukan yang sama untuk dipergunakan sebagai bahan dasar pokok analisis, yang selanjudnya data tersebut dipakai untuk menelaah terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Menginterpretasikan data dengan cara mencari makna yang tercermin didalam masing-masing data. 2. Mengkwalifikasikan data dengan cara mengelompokan
data- data kedalam
kwalifikasinya. 3. Melakukan analisis dilakukan analisa secara kwalitatif terhadap data yang diperolehnya.. 4. Penyajian data dengan cara melakukan pemaknaan terhadap seluruh data yang diperoleh dengan menggunakan analisa secara kwalitatif dan disajikan dalam bentuk suatu uraian secara diskriptif analistis.