BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Perjanjian-perjanjian tersebut kemudian menjadi tatanan perdagangan internasional, yang mempunyai tujuan akhir yaitu liberalisasi
perdagangan
internasional.
Berangkat
dari
kondisi
dan
perkembangan ekonomi yang berbeda pada negara-negara yang ambil bagian dalam perjanjian-perjanjian internasional tersebut, maka sebenarnya tidak semua negara siap untuk menghadapi era perdagangan bebas yang disepakati GATT/WTO, terutama negara-negara berkembang atau yang biasa disebut sebagai negara dunia ketiga. Perkembangan ekonomi yang semakin mengarah kepada pasar bebas tidak dapat dihindari lagi dengan menyatunya ekonomi semua bangsa. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pola perdagangan bebas ini telah menimbulkan ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Hal ini merupakan salah satu penyebab dari adanya persaingan antara pelaku ekonomi dalam dunia perdagangan internasional yang semakin ketat, bahkan persaingan ini tampak semakin mendorong untuk
1
terjadinya persaingan curang, salah satu diantaranya adalah Dumping1, merupakan persaingan dalam bentuk harga berupa diskriminasi harga atau menjual di bawah harga normal. Sebagian besar negara maju melakukan proteksi terhadap praktik Dumping ini, dengan memberlakukan ketentuan perangkat hukum antidumping, guna melindungi industri domestiknya dari desktruksi pasar, karena adanya praktek penjualan barang impor di bawah harga dari yang semestinya. Ketatnya ketentuan hukum antidumping di negara tujuan ekspor ternyata menimbulkan berbagai masalah, secara politis ekonomi, hal ini membatasi akses negara berkembang untuk ikut berperan dalam perdagangan internasional, Hikmahanto Juwana mengatakan: “Kepentingan ekonomi negara maju lebih dominan dan mewarnai hukum internasional, perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan masalah ekonomi lebih mengakomodasi prinsip-prinsip yang di anut oleh negara maju. Bahkan para pelaku usaha negara maju banyak yang mendapat perlindungan dari perjanjian internasional yang dinegosiasikan antara negara maju dan negara berkembang”.2 Indonesia sebagai negara berkembang tidak terlepas dari kecenderungan ekonomi ini, dimana negara-negara pesaing Indoneia baik negara maju maupun negara berkembang disuatu sisi semakin gencar melancarkan tuduhan praktek dumping kepada Indonesia, guna melindungi industri dalam negerinya dan
1
2
Praktek dumping oleh negara pengekspor dengan menentukan harga dibawah atau lebih rendah dari nilai nominalnya atau unit cost yang sebenarnya atau dapat juga di katakan menjual dengan harga lebih murah di negara pengimpor daripada negara produsennya sendiri, lihat Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, 2002, hal 132. Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2001, hal 4.
2
disisi lain berkemungkinan juga akan melakukan praktek dumping terhadap Indonesia. Dengan adanya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the WTO merupakan awal masuknya Indonesia pada era perdagangan bebas, perdagangan bebas ini ditandai dengan arus keluar masuk barang komoditi ekspor dari maupun ke Indonesia. Praktek dumping yang sering dianggap sebagai cara yang wajar dalam dunia bisnis, pada kenyataannya sering merugikan bagi industri barang sejenis di negara importir. Menurut ketentuan GATT Article VI, dinyatakan bahwa tindakan perlawanan diperbolehkan untuk diambil oleh negara pengimpor sebagai cara untuk mengadakan pemulihan (remedies atau kerugian/injury) yang diderita oleh industri barang sejenis di dalam negeri akibat praktik dumping oleh negara pengekspor. Tindakan perlawanan yang dimaksud adalah pengenaan Bea Masuk Antidumping (BMAD). Sebagai perwujudan dari komitmen Indonesia dalam keanggotaan WTO, ketentuan BMAD diatur oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang termuat dalam bab IV bagian pertama, Pasal 18 sampai dengan Pasal 20. Bab IV tersebut berjudul “Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan“, ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi pembuatan peraturan
pelaksanaan
tentang
Anti
Dumping
di
Indonesia.
Untuk
pelaksanaannya dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan, dalam ketentuan ini diatur mengenai penyelidikan atas adanya dugaan barang dumping, yang dilakukan 3
oleh Komite Antidumping Indonesia (KADI). Penyelidikan yang dilakukan oleh KADI dilakukan setelah adanya laporan / petisi dari kalangan industri barang sejenis di dalam negeri yang menderita kerugian atas adanya praktik dumping, penyelidikan bertujuan menemukan praktik dumping dengan injury, setelah terbukti adanya Dumping maka diperhitungkan BMAD yang akan dikenakan berdasarkan margin dumping maupun margin injury serta jangka waktu pengenaannya. Penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan mengacu pada Agreement on Implementation of Article VI GATT, namun demikian perlu diakui masih ada hal-hal yang belum diatur ataupun telah diatur tetapi tidak detail dalam PP No 34 Tahun 1996, sehingga menimbulkan perbedaan interprestasi dalam pelaksanaannya. Telah diutarakan penyelidikan yang dilakukan oleh KADI setelah adanya kerugian /injury yang dirasakan oleh yang melapor ke Komite Anti Dumping Indonesia, dapat dilihat disini bahwa kerugian adalah aspek terpenting, karena penyelidikan dilakukan untuk membuktikan adanya kausalitas dengan dumping itu sendiri. Kerugian bersifat relatif, bagi industri tertentu adanya praktik dumping dapat merugikan industrinya, namun mungkin tidak bagi industri lainnya, lalu apa saja usaha yang dapat dilakukan oleh kalangan industri atau pengusaha terhadap adanya praktik dumping khususnya terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Menurut Agreement on Implementation of Article VI GATT dan PP No. 34 Tahun 1996 dijelaskan defenisi serta cara 4
menentukan kerugian (injury) menjadi dasar dalam pengenaan BMAD, setelah diberlakukan BMAD harus dicegah adanya injury lainnya. Pengenaan BMAD ini bertujuan untuk melindungi kepentingan produsen barang sejenis di dalam negeri serta mencegah adanya persaingan tidak sehat (unfair competition) dan terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Dalam penelitian ini penulis akan mengangkat wacana mengenai adanya Praktik dumping tepung terigu, kebutuhan tepung terigu di indonesia sangat tinggi, hal tersebut dikarenakan tepung terigu merupakan alternatif pengganti dari makanan pokok dan tepung terigu dapat menghasilkan produk turunan bervariatif di bawahnya. Semenjak tahun 2008 industri tepung terigu dalam negeri mengalami kerugian yang disebabkan oleh impor terigu dengan harga dumping, persaingan bisnis terigu di indonesia semakin memanas, hal ini di sebabkan Impor terigu dari manca negara semakin meningkat dan mempengaruhi pilihan konsumen serta pembentukan harga pasar. Industri tepung terigu dalam negeri indonesia menyadari bahwa dalam dunia perdagangan global ini, industri dalam negeri harus mampu berkompetisi dengan impor, namun demikian, berkompetisi dengan impor tersebut harus di lakukan dengan adil dan perlu ada upaya perlindungan industri dalam negeri dari serbuan barang dumping dengan menerapkan bea masuk anti dumping tepung terigu, sebagai kompensasi atas dilakukannya impor dengan harga dumping. Sampai saat ini penerapan BMAD tersebut masih menjadi suatu pembahasan yang terus berkelanjutan dan belum dapat di terapkan dalam usaha
5
melakukan upaya perlindungan industri dalam negeri, khususnya Industri tepung terigu. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Hal – hal apakah yang menjadi permasalahan dalam penerapan aturan Anti Dumping di Indonesia? 2. Bagaimana menentukan adanya kerugian (Injury) sebagai dasar Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping dalam rangka memperkuat industri tepung terigu di Indonesia? 3. Bagaimana memposisikan Bea Masuk Anti dumping sebagai unsur penting kebijakan anti dumping di indonesia? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui masalah dalam penerapan aturan Anti Dumping di Indonesia. 2. Mengetahui faktor apa saja yang harus dilihat untuk menentukan adanya kerugian sebagai dasar pengenaan Bea Masuk Anti Dumping dalam rangka national interest. 3. Mengusahakan untuk dapat diterapkannya Bea Masuk Anti Dumping sebagai suatu kebijakan yang dapat melindungi Industri tepung terigu dalam negeri. 6
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis diketahui telah ada beberapa penulisan yang mengangkat mengenai aspek kerugian sebagai alasan pengenaan Bea Masuk Anti-dumping tepung terigu. Namun setelah di telaah permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini menurut penulis belum memiliki kesamaan dengan permasalahanpermasalahan penelitian mengenai praktik dumping yang telah ada sebelumnya, dimana dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah suatu wacana terhadap pengenaan BMAD terhadap produk dumping tepung terigu yang hingga saat ini peneganaannya belum dapat di terapkan walaupun sudah terbukti adanya kerugian. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Secara Teoritis Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan hukum dumping dan antidumping dalam kerangka teoritis pada khususnya dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya. Serta sebagai bahan kepustakaan bagi penelitian yang berhubungan dengan analisa pengenaan bea masuk antidumping terhadap masuknya produk impor tepung terigu kedalam negara pengimpor dalam hal ini negara indonesia
7
2. Secara Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya kepada pihak yang terlibat dalam dunia usaha, baik pengurus industri kecil menengah, pengusaha industri besar, investor, birokrasi pemerintah dan pihak-pihak lain yang apabila di hadapkan dengan barang dumping yang merugikan industri dalam negeri dan dapat membela atau mengupayakan kepentingan industri dalam negeri.
8