BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota di segala bidang tidak hanya memberikan nuansa positif bagi kehidupan masyarakat. Perkembangan kota melahirkan persaingan hidup sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan. Kota yang padat penduduk dan banyaknya keluarga yang bermasalah telah membuat makin banyaknya anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat dan hidup merdeka. Banyak kasus yang menunjukkan meningkatnya penganiayaan terhadap anak-anak, mulai tekanan batin, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual, baik oleh keluarga sendiri, teman, maupun orang lain. Kemiskinan perkotaan yang melanda kota-kota besar di Indonesia disebabkan oleh gejolak ekonomi yang semakin menyengsarakan masyarakat telah menimbulkan masalah-masalah baru yang cukup kompleks. Kemiskinan kerap kali menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai. Mulai dari kesadaran masyarakat hingga kemampuan pemerintah dalam menganalisis masalah dan merencanakan program yang menjanjikan. Faktanya program itu hanya bersifat aturan yang tertulis diatas kertas sedangkan keluh kesah warga keras terdengar di telinga. Fenomena keberadaan anak jalanan yanghingga kini masih menuai masalah tanpa ada solusi yang tepat untuk mengatasinya merupakan salah satu akibat dari kemiskinan. Keberadaananak yang hidup di jalan saat ini mudah kita
1
temui di sudut-sudut kota besar terutama Kota Medan. Mata kita sudah tidak asing lagi melihat anak-anak yang mengerumuni mobil-mobil dipersimpangan lampu merah. Mereka mendatangi warung-warung pinggir jalan menawarkan jasa atau sekedar meminta sumbangan. Aktivitasnya dimulai dengan bermain musik, menjual koran, menyemir sepatu hingga meminta sumbangan dengan kotak amal. Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 2013 tentang Koordinasi Penanggulangan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah dalam hal ini telah banyak mengeluarkan kebijakan tentang bagaimana menangani keberadaan anak jalanan. Koordinasi penanggulangan anak jalanan dalam Undang- Undang ini, dilaksanakan melalui satu tim yang bersifat konsultatif dan koordinatif. Tim yang dimaksud dalam keputusan Presiden ini yaitu mempunyai tugas dalam membantu Menteri Sosial dalam menetapkan kebijakan pemerintah di bidang penanggulangan anak jalanan, gelandangan dan pengemis (Gepeng). Tim tersebut bekerja
dalam
perumusan
dan
perincian
kebijaksanaan
pelaksanaan
penanggulangan anak jalanan. Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat menegaskan bahwa tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang kemudian di turunkan dalam undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa ”fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada kenyataannya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak terlantar
2
dipelihara oleh negara. Penanganan masalah masyarakat miskin yang bergantung pada penghasilan di jalanan merupakan masalah yang harus dihadapi oleh semua pihak, bukan hanya orang tua atau keluarga saja, tetapi juga setiap orang yang berada dekat anak tersebut harus dapat membantu pertumbuhan anak dengan baik. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convension on the Right of the Child (konvensi tentang hak-hak anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, rekreasi dan budaya dan perlindungan khusus. Konvensi hak-hak anak merupakan komitmen dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak agar dapat tumbuh secara wajar. Kemudian, pemerintah juga menerbitkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, sehingga konsekuensinya Pemerintah berkewajiban semaksimal mungkin berupaya memenuhi hak-hak anak Indonesia namun, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya, belum sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan tersebut. Orang tua memang merupakan pihak utama untuk memberikan hak-hak tersebut, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung, maka peran pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial berkewajiban memberikan hakhak yang seharusnya diperoleh anak.
3
Berdasarkan data dari NGO (Non Goverment Organization) diketahui bahwa Kota Jakarta merupakan wilayah terbanyak ditemukan nya anak terlantar yaitu anak jalanan, gelandangan dan pengemis padahal pemerintah daerah telah mencanangkan berbagi kebijakan baik melalui aturan, program dan berbagai kegiatan untuk mengentaskan problema anak jalanan. Hal ini sungguh tidak wajar dipandang, mengingat Kota Jakarta adalah ibukota dari Negara Indonesia yang harus dijaga ketertibannya. Salah satu wujud nyata adalah Pemerintah Daerah Kota Jakarta dalam keputusannya telah menetapkan suatu kebijakan mengenai pembinaan khusus sebagai penerobosan untuk menyikapi keberadaan anak jalanan. Peraturan Daerah No 8 Tahun 2013 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) sudah disahkan oleh walikota Jakarta. Pada kenyataannya yang terjadi hingga saat ini diketahui, masih banyak saja ditemukan anak jalanan dan terlantar di kota Jakarta. Terdapat program dan kegiatan yang dicantumkan dalam kebijakan pada undang-undang perda Kota Jakarta. Program tersebut diantaranya yaitu: (1) program pemberdayaan terhadap anak jalanan yaitu proses penguatan keluarga yang dilakuan secara terencana dan terarah sesuai dengan keterampilan yang dimiliki tiap individu yang dibina; (2) program pembinaan yaitu terdapat bebarapa indikator di dalamnya yakni pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan, serta rehabilitasi sosial; (3) program bimbingan yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan melalui kegiatan monitoring evaluasi dari program pemberdayaan sebelumnya. Tujuan diadakannya berbagai program tersebut adalah untuk memudahkan para pihak yang berwenang dalam melaksanakan tugasnya guna meminimalisasi
4
jumlah anak jalanan yang sudah sanga membanjiri kota kota besar ini. Pada kenyataannya hal itu hanya legalisasi pelepasan tanggung jawab pemerintah, padahal anak-anak jalanan dan kaum miskin perkotaan adalah tanggung jawab negara. Saat ini masih banyak masyarakat miskin yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah, hingga saat ini banyak kita temukan di jalanan dan tempattempat tertentu Kota Jakarta. Hal tersebut membuktikan bahwa keberhasilan dari program dan kegiatan yang telah disusun ternyata belum mencapai target yang diinginkan. Berbeda dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kota ini memang telah menunjukkan keistimewaannya. Penurunan populasi anak jalanan berhasil dilakukan pada tahun 2014. Di tengah arus besar yang berlangsung di hampir seluruh wilayah Indonesia yang selama ini menempatkan anak jalanan sebagai pelaku kriminal (termasuk perkembangan beberapa tahun terakhir juga mengkriminalisasi para pemberi uang kepada anak jalanan) dan karenanya jalan yang banyak ditempuh menggunakan pendekatan represif, telah diubah dengan pendekatan hak anak. Perubahan ini tercermin nyata dengan disahkannya Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 6 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang hidup di jalan pada tanggal 20 Januari 2014. Aturan berikutnya terkait dengan implementasi atas perda tersebut yang tertuang pada Peraturan Gubernur No. 31 tahun 2013, tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang hidup di Jalan (https://.wordpress.com/2013/03/15yogyakarta/penanganannanak-jalanan-berbasis-hak-anak/ diakses pada tanggal 24 Februari 2015, pukul 02.51WIB).
5
Tujuan yang terkandung dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta adalah untuk perlindungan anak yang hidup di jalanan, terdapat pada pasal 3 yaitu; (1) mengentaskan anak dari kehidupan di jalan; (2) menjamin pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; dan (3) memberikan perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Program yang dilakukan, terdapat pada pasal 6 yaitu: (1) program pencegahan; (2) program penjangkauan (3)
program
pemenuhan
hak;
dan
(4)
program
re-integrasi
sosial.
Berdasarkan program yang telah dicanangkan pada perda Yogyakarta, pada program penjangkauan anak jalanan, Tim Perlindungan Anak (TPA) yang anggotanya mewakili berbagai unsur seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian, Satuan polisi Pamong Praja, dan juga unsur dari masyarakat sipil ikut turun serta mengambil bagian. Program yang dilakukan dalam penjangkauan mengedepankan pendekatan yang manusiawi, dengan mengenal, bermain bersama, menjalin persahabatan dan menanamkan kepercayaan anak. TPA melakukan wawancara untuk mengungkapkan masalah yang tengah dihadapi anak kepada anak, orangtua atau orang terdekat. Pada kegiatan-kegiatannya, TPA juga bisa melibatkan anak yang sudah mendapatkan pembinaan. Diketahui hasil yang didapat bahwa dengan adanya program pemerintah daerah Kota Yogyakarta yang efektif maka keberadaan populasi anak jalanan telah berkurang pada tahun 2014. Kota Palembang juga merupakan salah satu kota besar di Sumatera Selatan yang masih dibanjiri populasi anak jalanan di daerah-daerah keramaian. Sama halnya dengan kota lainnya, tidak ada pemerintah yang tidak peduli dengan situasi
6
daerahnya. Pemerintah Kota Palembang juga telah mengeluarkan kebijakan berupa aturan mengenai pembinaan anak jalanan. Peraturan Daerah Kota Palembang terdapat pada Undang-Undang No 9 tahun 2013 tentang Pembinaan dan Pengentasan Anak Jalanan. Dalam undang-undang tersebut terdapat berbagi program yang mengatur anak jalanan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah
melaui
Dinas
Kesejahteraan
dan
Sosial
Kota
Palembang
menyebutkan: (1) kegiatan preventif yaitu kegiatan yang dilakukan di tempattempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik daripada mengobati; (2) kegiatan dukungan; (3) kegiatan rehabilitatif yaitu kegiatan yang dilakukan dengan penjangkauan seperti pemulangan anak jalanan dan pemberian keterampilan. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan guna pengentasan anak jalanan di Kota Palembang namun sepertinya kebijakan tersebut hanya sebatas program yang tertuang dalam suatu peraturan. Aparatur pemerintah dan pihak yang berwenang belum efektif melaksanakan tugasnya dan diketahui masih banyak
menggelandang
anak
jalanan
di
sudut-sudut
Kota Palembang.
Disimpulkan bahwa keberhasilan kebijakan yang dilakukan masih belum dapat direalisasikan sehingga masih membutuhkan pelaksanaan yang benar-benar efektif
dari
pemerintah
daerah
Kota
Palembang(https://wordpress.com/2013/03/15plembang/penanganann-anakjalanan berbasis-hak-anak/diakses pada tanggal 24 Februari 2015, pukul 04:33 WIB).
7
Kota
Medan
merupakan
wilayah
metropolitan
terbesar
di
luar
Pulau Jawa dan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan mengatakan bahwa laju pertumbuhan, penduduk Kota Medan mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Berdasarkan data BPS diketahui pada tahun 2014, jumlah penduduk Kota Medan diperkirakan meningkat menjadi 2.136.105 jiwa. Ada peningkatan jumlah penduduk Kota Medan dari 2.109.156 jiwa pada tahun 2013 menjadi 2.136.105 jiwa pada tahun 2014 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,91%. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tingkat kelahiran, kematian dan arus urbanisasi. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Medan merupakan
salah
satu
kota
dengan
jumlah
penduduk
yang
besar.
Jumlah penduduk kota Medan yang semakin meningkat, berjalan seiring dengan pertumbuhan jumlah anak. Bertambahnya anak disebabkan oleh tingginya angka kelahiran yang terjadi. Seseorang dikatakan anak adalah yang berumur 0-18 tahun dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara mencatat jumlah anak di Kota Medan tahun 2014 mencapai 956.442 jiwa sedangkan pada tahun 2013 tercatat, terdapat 894.334 jiwa pada tahun 2012 sejumlah 865.442 jiwa. Data tersebut membuktikan adanya angka kenaikan jumlah anak di Kota Medan setiap tahunnya. Fenomena merebaknya anak jalanan merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak memiliki masa depan yang jelas, dimana keberadaan mereka seringkali menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Perhatian terhadap nasib anak
8
jalanan tampaknya belum begitu besar karena mereka adalah saudara kita, mereka juga adalah amanah Tuhan yang harus dilindungi dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah. Anak
yang
menghabiskan
sebagian
besar
waktunya di
jalanan
menganggap bahwa mereka lebih baik bekerja dan mencari uang untuk jajan dari pada pergi ke sekolah karena malas berfikir. Mereka bisa mendapatkan kurang lebih Rp.20.000 sampai Rp.100.000 per hari dari bekerja di jalanan. Mereka merasa betah berada di jalanan. Anak-anak jalanan menjadi malas jika diajak ke habitat
normal
umumnya
seperti
anak
seusia
mereka
pada
(http://megapolitan.kompas.com/read/Penghasilan-anak-
anak.//jalanankota-medan sumut,diakses pada tanggal 22/Februari/2015, pukul 16:54 WIB). Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, pada tahun 2014 lalu terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di Jakarta. Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan tahun 2014 terlihat bahwa, jumlah anak jalanan yang berada di Kota Medan menduduki jumlah yang tertinggi yaitu, mencapai 1.526 jiwa (50.26%) dari seluruh anak jalanan yang berada di Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena Kota Medan merupakan ibu kota propinsi yang memiliki daya tarik yang lebih besar jika dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Alasan lain
9
menunjukkan bahwa Kota Medan memiliki perkembangan kota yang lebih cepat jika dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain yang berada di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan banyaknya jumlah anak di kota Medan, menurut data yang diperoleh dari Yayasan Pusaka Indonesia, menaksir jumlah anak jalanan di Sumatera Utara mencapai 4.500 anak dan 1.500 anak diantaranya berada di Kota Medan. Perserikatan Perlindungan Anak (PPAI) Sumatera Utara menghimpun angka yang lebih banyak, yaitu 5000 anak jalanan berada di Seluruh Sumatera Utara dan 1.800 dari jumlah tersebut tiggal di Kota Medan. Menurut KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) ada sekitar 1.150 anak jalanan di seluruh Sumatera Utara pada tahun 2014. Aktivitas anak-anak jalanan di Kota Medan beraneka ragam, diantaranya sebagai pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, tukang semir sepatu, dan lain sebagainya. Mereka terutama beroperasi di tempat-tempat keramaian atau umumnya seperti di perempatan jalan, pusat-pusat pasar, stasiun/terminal bus, pusat perbelanjaan serta rumah makan yang mengijinkan mereka masuk untuk beroprasi seperti menyemir sepatu dan mengamen. Anak-anak yang hidup di jalanan atau yang melakukan kegiatan di jalanan sangat rentan dengan perlakuan kekerasan dan eksploitasi. Sudah menjadi hukum di jalanan, siapa yang kuat merekalah yang menang. Masa anak-anak yang mestinya dihiasi dengan keceriaan dan kemanjaan, terpaksa harus berhadapan dengan dunia yang keras dan kejam yaitu dunia jalanan. Tidak jarang kita temukan, anak jalanan seringkali menjadi objek kekerasan, Anak-anak jalanan ditantang oleh resiko yang mau tidak mau harus
10
dihadapi saat berada di jalanan. Resiko-resiko yang dapat diidentifikasi adalah menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiayaan, eksploitasi seksual, penangkapan dan perampasan modal kerja), kelangsungan hidup terancam, kurang gizi (miniman keras, penyalah gunaan obat, tindakan kriminal dan seks bebas), ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIV/AIDS) serta keterkucilan dan stigmatisasi sosial (Huraerah, 2006:79). Kahadiran anak-anak di jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan yang memuat mereka bisa bertahan hidup dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun, disisi lain mereka bermasalah, karena tindakannya seringkali merugikan orang lain. Mereka acapkali melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengganggu ketertiban di jalanan misalnya: memaksa pengemudi kendaraan bermotor untuk memberi sejumlah uang (walaupun tidak seberapa) dan melakukan tindakan kriminal lainnya. Anak-anak yang hidup di jalan sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup dalam asuhan orang tuanya. Anak-anak dijalan hidup secara bebas. Mereka bebas melakukan apa saja yang mungkin belum patut dilakukan anak-anak seumuran mereka. Umumnya terlihat berpakaian lusuh, kumal, dandanan jauh dari kesan rapi hingga tato menghiasi tubuh mereka. Rokok, minuman keras, dan mabuk-mabukan sepertinya sudah umum dilakukan anak-anak seusia mereka yang seharusnya mengenyam pendidikan di sekolah. Anak-anak di jalan sebagian besar putus sekolah karena ketiadaan biaya. Akibatnya mereka seakan tidak terdidik. Keadaan-keadaan inilah yang menyebabkan sebagian besar kelompok
11
masyarakat mengasingkan mereka. Masyarakat tidak menganggap mereka bagian dari warga masyarakat. Akibatnya terjadi penolakan di setiap kehadiran mereka. Terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Utara No.6 Tahun 2003 tentang Gelandangan dan Pengemis merupakan bentuk konkrit kepedulian pemerintah terhadap penanggulangan anak jalanan. Namun pada kenyataannya hal itu hanya legalisasi pelepasan tanggung jawab pemerintah, padahal anak-anak jalanan dan kaum miskin perkotaan adalah tanggung jawab negara. Pelayanan yang diberikan terhadap anak jalanan masih tidak terarah. Instrumen hukum dan kebijakan tersebut belum terimplementasi dengan baik, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya belum sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan, orang tua memang merupakan pihak utama untuk memberikan hakhak kepada anaknya, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung maka peran Pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial berkewajiban memberikan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak. Melihat berbagai kondisi yang dialami oleh anak jalanan, maka Pemerintah Daerah Kota Medan melalui Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan mengadakan Program Pembinaan Anak Jalanan, dimana dengan program yang realistis akan tercipta kebijakan utama untuk mengentaskan masalah anak jalanan. Disamping itu, kelanjutan dari program pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas Sosial adalah implementasi yang nyata dan yang paling diharapkan oleh anak jalanan misalnya, dengan terciptanya lapangan pekerjaan, bila memang pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan usia anak dan tidak terlalu membahayakan keselamatan jiwanya serta masih mendapatkan kesempatan untuk
12
sekolah dan bermain maka tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak akan terdidik melalui pekerjaan itu untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab. Terlepas dari pembinaan yang diberikan kepada anak jalanan, hal terpenting yang juga harus diperhatikan oleh Dinas Sosial adalah pembinaan terhadap keluarga anak jalanan tersebut. Jika karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung menjadi faktor anak turun ke jalanan untuk bekerja membantu orang tuanya, maka pembinaan terhadap keluarga yang harus dilakukan oleh Dinas Sosial adalah dengan pemberdayaan ekonomi keluarga yang menciptakan kemandirian , sehingga dengan berbagai program pembinaan yang diberikan, baik kepada si anak maupun kepada keluarganya diharapkan mereka tidak kembali lagi ke jalanan dan akhirnya hal tersebut dapat meminimalisir keberadaan anak jalanan di Kota Medan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang, penulis sangat tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut tentang masalah ini dalam bentuk skripsi dengan judul : “Implementasi Program Pembinaan AnakJalanan di Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan”. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana implementasi program pembinaan anak jalanan di Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1
Tujuan Penelitian
13
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi program pembinaan anak jalanan oleh Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan. 1.3.2
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap keilmuan yang dikembangkan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial dan dapat bermanfaat dalam pembuatan keputusan dan kebijakan dalam upaya menyikapi masalah sosial.
2. Secara teoritis, dapat mempertajam kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah, menambah pengetahuan dan mengasah kemampuan berpikir penulis dalam menyikapidan menganalisis masalah-masalah sosial.
3. Secara praktis, dapat digunakan sebagai bahan masukan, pertimbangan dan sebagai bahan evaluasi khususnya bagi Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan dan bagi pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum guna meningkatkan pelaksanaan program yang diberikan kepada anak jalanan.
1.4 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
14
Bab ini berisikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional. BAB III
: METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB IV
: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umum lokasi penelitian serta data-data yang mendukung karya ilmiah.
BAB V
: ANALISIS DATA Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya.
BAB VI
: PENUTUP Berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan dengan penelitian yang dilakukan.
15