BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat. Permasalahan yang dihadapi penderita bukan hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat penyakit kusta dapat menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan budaya. Masalah penyakit kusta ini diperberat dengan kompleksnya epidemiologi dan kurangnya pengetahuan atau kepercayaan yang keliru pada keluarga, masyarakat dan petugas kesehatan mengenai penyakit kusta, sehingga banyak penderita kusta baru mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan cacat. Penyakit kusta atau lepra atau dikenal pula dengan sebutan Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit yang menyerang saraf perifer serta dapat pula menyerang kulit dan jaringan lain seperti mata, mukosa saluran pernafasan bagian atas, otot, tulang, dan testis (Bryceson dan Pfaltzgraff, 1990). Hingga saat ini penyakit kusta masih ditemukan tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian terbanyak ditemukan di Asia Tenggara (WHO, 2015). Sejak diperkenalkannya pengobatan multi drug therapy (MDT) oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1981, telah terjadi penurunan jumlah kasus maupun angka prevalensi penyakit kusta secara global, namun hingga saat ini masih ditemukan lebih dari 200.000 kasus baru penyakit kusta yang tercatat di seluruh dunia setiap tahunnya
1
(Polycarpou dkk., 2013; Lee dkk., 2012). Indonesia sendiri masih menempati peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak dan peringkat pertama jumlah kasus kusta tipe multibasilar terbanyak (WHO, 2015). Jumlah kasus baru terbanyak di Indonesia berasal dari Jawa Timur, sementara dibandingkan provinsi lain, Bali termasuk memiliki jumlah kasus kusta yang cukup rendah yaitu pada tahun 2014 tercatat sejumlah 89 kasus dengan angka prevalensi sebesar 0,21 per 10.000 penduduk, namun data ini belum mencerminkan jumlah kasus yang sesungguhnya karena penyakit kusta di Indonesia merupakan fenomena gunung es sehingga kemungkinan banyak kasus yang tidak tercatat (Yudianto dkk., 2015). Penegakan diagnosis penyakit kusta didasarkan atas penemuan tanda kardinal (utama) yaitu adanya lesi kulit disertai anestesi atau mati rasa, penebalan saraf tepi yang dapat disertai gangguan fungsi saraf dan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit. Diagnosis kusta dapat ditegakkan jika terdapat 1 dari 3 tanda kardinal kusta (Eichelmann dkk., 2013; Kumar dan Dogra, 2010). Dari pemeriksaan hapusan sayatan kulit akan didapatkan nilai indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM). Nilai IB selain berperan dalam penentuan klasifikasi, juga berperan untuk menilai respon pengobatan serta penentuan relaps (Bhat dan Prakash, 2012; Kumar dan Dogra, 2009; Desikan dkk., 2005). Indeks bakteri umumnya mengalami penurunan setelah terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut meskipun MDT telah dihentikan, sedangkan IM umumnya akan mengalami penurunan menjadi nol setelah 4-6 bulan terapi MDT (Mahajan, 2013).
Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang berbeda-beda pada setiap individu. Berdasarkan pengelompokan Ridley dan Jopling penyakit kusta dibagi menjadi 5 tipe berdasarkan klinis, histopatologis dan imunologis yaitu kusta tipe tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL) dan tipe lepromatosa (LL), sedangkan WHO membagi kusta menjadi kusta tipe pausibasilar (PB) serta kusta tipe multibasilar (MB) (Mishra dan Kumar, 2010; Bhushan dkk., 2008). Variasi atau perbedaan manifestasi klinis penyakit kusta pada masing-masing individu disebabkan oleh variasi respon imunitas seluler atau cell mediated immunity (CMI). Penderita yang memiliki imunitas seluler yang cukup tinggi akan menderita kusta yang cenderung ke arah kutub tuberkuloid yang ditandai dengan hilangnya sensasi dan pembesaran saraf yang lebih jelas namun jumlah lesi sedikit dan kuman umumnya tidak terdeteksi, sedangkan semakin rendah imunitas seluler maka tipe yang akan diderita semakin ke arah kutub lepromatosa dengan jumlah lesi dan kuman yang lebih banyak, serta keterlibatan saraf dan disabilitas yang lebih berat pada tahap lanjut (Lee dkk., 2012; Polycarpou dkk., 2013). Manifestasi klinis penyakit kusta juga dapat dipengaruhi oleh inflamasi pada jaringan yang dimediasi oleh respon imun. Produk seperti tumor necrosis factor-α (TNFα), nitric oxide (NO) dan adanya reactive oxygen species (ROS), berperan penting pada respon imunitas terhadap infeksi namun di sisi lain juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Vasques dkk., 2014). Reactive oxygen species diproduksi oleh organisme sebagai hasil dari metabolisme selular normal. Pada konsentrasi rendah atau sedang ROS berfungsi dalam proses fisiologis,
namun pada konsentrasi yang tinggi ROS dapat mengakibatkan efek samping pada komponen selular seperti lipid, protein dan asam nukleat. Tubuh manusia sendiri dilengkapi oleh sistem antioksidan yang terdiri dari antioksidan enzimatik dan non-enzimatik yang berperan mengimbangi efek ROS atau oksidan serta mencegah kerusakan akibat ROS. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan ROS dikenal dengan sebutan stres oksidatif (Birben dkk., 2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011). Berdasarkan penelitian dikatakan stres oksidatif memiliki peranan penting pada penyakit kusta. Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta masih belum diketahui secara pasti, diduga disebabkan karena infeksi oleh M.leprae dan respon imunitas pada penyakit kusta (Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011). Sistem pertahanan utama pada infeksi oleh M. leprae adalah sistem imunitas yang diperantarai oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Makrofag akan mengenali M. leprae melalui Toll like receptor (TLR) yang akan menginduksi pelapasan sitokin seperti TNF-α, interferon (IFN) γ, interleukin (IL)-1, IL-6 dan IL-12 yang akan menginduksi inflamasi, mengaktivasi respon imunitas adaptif dan aktivasi enzim fagosit oksidase yang selanjutnya akan menginduksi pelepasan radikal bebas atau ROS. Radikal bebas atau ROS ini selain berperan pada pertahanan tubuh terhadap infeksi juga dapat menimbulkan kerusakan lipid, protein dan asam nukleat pada sel pejamu. Kerusakan yang berat akan menimbulkan kematian sel (Trimbake dkk., 2013; Abbas dkk., 2015). Pada kusta tipe lepromatosa sumber utama ROS juga diduga berasal dari subpopulasi sel fagosit lain seperti neutrofil dan makrofag yang terstimulasi secara imunologis.
Pada penyakit kusta ditemukan pula penurunan enzim antioksidan terutama superoksid dismutase (SOD) yang diduga disebabkan karena hambatan gen SOD oleh komponen M. leprae dan penggunaan biometal dari sel pejamu untuk pertahanan hidup M. leprae, sehingga mempengaruhi metaloenzim seperti SOD (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade, 2000). Adanya stres oksidatif pada kusta dikatakan dapat mempengaruhi episode inflamasi, menyebabkan kerusakan jaringan pada penderita kusta (Vijayaraghavan dan Pneerselvam, 2011). Reactive oxygen species dan radikal bebas bersifat tidak stabil dan sulit diukur secara langsung, namun ROS dapat menimbulkan kerusakan pada lipid (peroksidasi lipid) terutama mengenai polyunsaturated fatty acid (PUFA) membran lipid. Polyunsaturated fatty acid kemudian didegradasi menjadi malondialdehyde (MDA). Malondialdehyde pada plasma atau serum dapat digunakan sebagai penanda kerusakan seluler akibat radikal bebas (Ayala dkk., 2014; Garad dkk., 2014). Berdasarkan penelitian, adanya MDA juga dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju kearah fenotip Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan Griffiths, 2013). Penelitian mengenai stres oksidatif sudah dilakukan pada berbagai penyakit kulit termasuk penyakit kusta. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan peningkatan ROS dan penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk (2011) menunjukkan penurunan secara signifikan enzim antioksidan seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan glutation-s-transferase pada penderita kusta
dibanding kontrol yang sehat. Penelitian mengenai peroksidasi lipid sebagai penanda adanya stres oksidatif pada penyakit kusta masih memberikan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Emerson dkk. (2007) menemukan peningkatan kadar MDA pada penderita kusta dibandingkan dengan kontrol yang sehat, peningkatan bersifat gradual dimana peningkatan MDA ditemukan paling besar pada kusta tipe lepromatosa. Hasil yang serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Trimbake dkk. (2013) yaitu terdapat peningkatan kadar MDA secara signifikan pada penderita penyakit kusta, terutama pada penderita kusta tipe MB dibandingkan PB. Penelitian oleh Prasad dkk. (2007) yang membandingkan stres oksidatif dengan IB menemukan adanya hubungan yang positif antara peningkatan kadar MDA dan peningkatan IB pada penderita kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Meneses dkk. (2014) yang meneliti kadar MDA pada urin juga menemukan hubungan yang positif kadar MDA urin dengan peningkatan IB pada penderita kusta. Penelitian oleh Prabhakar dkk. (2013) yang meneliti mengenai stres oksidatif pada penderita kusta yang telah mendapatkan pengobatan menemukan peningkatan kadar MDA secara signifikan dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta meskipun telah mendapatkan terapi MDT. Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Schalcher dkk. (2013), dimana tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kadar MDA penderita kusta dibanding kontrol. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. (2014) yang meneliti adanya stres oksidatif selama terapi MDT juga tidak menemukan perbedaan yang
signifikan pada kadar MDA penderita kusta baik yang telah diobati dengan yang belum diobati dengan kontrol. Berdasarkan permasalahan tersebut, didapatkan peranan penting MDA sebagai biomarker stres oksidatif dan hubungannya dengan IB pada penyakit kusta. Beberapa penelitian masih didapatkan hasil yang kontroversi mengenai hubungan antara kadar MDA dengan IB pada kusta sehingga peneliti ingin meneliti lebih lanjut korelasi antara kadar MDA dengan IB pada penderita kusta yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat perbedaan kadar MDA plasma antara penderita kusta tipe PB dengan kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar? 2. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MDA plasma dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Untuk membuktikan adanya hubungan antara MDA dengan penyakit kusta di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2
Tujuan khusus 1. Untuk membuktikan adanya perbedaan kadar MDA plasma antara penderita kusta tipe PB dengan kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Untuk membuktikan adanya korelasi positif antara kadar MDA plasma dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat teoritis Memberi sumbangan ilmu pengetahuan mengenai peranan MDA sebagai penanda stres oksidatif pada patogenesis penyakit kusta serta hubungan antara MDA dengan indeks bakteri pada penderita kusta.
1.4.2
Manfaat praktis
1.4.2.1 Manfaat untuk klinisi Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk penelitian selanjutnya mengenai MDA sebagai faktor risiko progresivitas penyakit kusta. 1.4.2.2 Manfaat untuk penderita Dengan mengetahui korelasi kadar MDA plasma dengan indeks bakteri pada penyakit kusta, maka kadar MDA plasma dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan tambahan dalam menilai kondisi stres oksidatif pada penderita penyakit kusta.