BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan endemisme ( tingkat endemik) yang tinggi. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di indonesia, walaupun luas indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1.539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia, hidup di Indonesia. Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa endemik atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik Indonesia ada 259 jenis, kemudian burung 384 jenis dan ampibi 173 jenis. 1 Namun dewasa ini banyak ditemui kerusakan habitat beberapa jenis satwa liar yang dilindungi. Hal tersebut tidak lain merupakan perbuatan sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab, sehingga upaya pencegahan perlu segera dilakukan untuk melindungi satwa liar yang mungkin jumlahnya semakin sedikit di alam liar untuk menghindari kepunahan satwa-satwa tersebut. Meskipun kaya, indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Saat ini menurut IUCN jumlah jenis satwa liar yang terancam punah adalah 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, 32 jenis ampibi. Jumlah total spesies satwa indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered ada 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis. Satwa-satwa tersebut 1
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, “Beo Nias”, Edisi II , April- Juni 2015, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
benar-benar
akan
punah
dari
alam
jika
tidak
ada
tindakan
untuk
menyelamatkannya. 2 Sampai saat ini fakta menunjukkan bahwa lebih dari 80% satwa yang diperdagangkan di berbagai daerah di Indonesia berasal dari penangkapan dari alam. Kondisi ini dapat memicu fenomena “empty forest syndrome” sebuah hutan tanpa isi karena satwanya telah habis diburu. Upaya pemanfaatan satwa untuk kepentingan manusia tentunya harus diikuti dengan upaya penyelamatan dan perlindungan satwa dihabitat alami dan di luar habitat sehingga pemanfaatan terhadap jenis satwa tersebut dapat berkelanjutan. Jenis satwa yang populasinya dalam keadaan kritis harus sepenuhnya mendapat perlindungan supaya tidak punah di alam. Sebaliknya, satwa yang populasinya masih melimpah juga harus diupayakan pengaturan pemanfaatannya sehingga populasinya tidak menuju kepunahan. 3 Selama tahun 2015 yang lalu, kita disuguhi berita-berita yang cukup mencengangkan tentang satwa liar dilindungi di Indonesia.
Satwa yang
seharusnya dilindungi karena populasinya makin sedikit justru terancam karena perburuan dan perdagangan. Dari mulai jenis burung, primata, serangga, hingga satwa kharismatik seperti harimau dan gajah. Perdagangan dan perburuan terjadi dari wilayah barat, tengah, hingga timur Indonesia, mulai dari harimau dan produk turunannya, gading gajah, serta berburuan terhadap banteng. Pada 12 Februari 2015, Polisi Sumatera Selatan, BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) serta WCU (Wild Crime Unit) menangkap
2
Ibid Agus Haryanta, Dwi Nugroho, dan Novi Hardianto, Pendataan dan Pengenalan Satwa Liar di Pasar Burung yang Sering Diperdagangkan , Jakarta : Wild Conservation SocietyIndonesia Program, 2013 , hal.1. 3
Universitas Sumatera Utara
pedagang yang telah menjual lebih dari 100 bagian harimau selama lebih dari 10 tahun terakhir ini ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan penampung di Jakarta. Pada 22 Januari 2015, pihak Karantina dan Inspeksi Ikan Timika dan Denpasar menangkap penyelundupan 6500 anakan kura-kura moncong babi, sekitar 1226 diamankan pada koper menuju penerbangan ke Denpasar dan sisanya sebanyak 5284 ditangkap di Denpasar. Sementara itu, pada November 2014 telah ditangkap 103 kg bagian manta dari Pengambengan Bali dan di Bandara Internasional Surabaya diamankan 226 kg bagian manta atau sama dengan 80 ekor manta ray dewasa. 4 Kepunahan merupakan salah satu ancaman besar untuk Indonesia. Kepunahan ini sendiri juga dimulai dari kegiatan manusia yang melakukan perburuan satwa liar dari alam secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman ataupun kebudayaan, maka perburuan satwa liar kini juga dilakukan sebagai hobi maupun kesenangan yang bersifat exklusif (memelihara satwa liar yang dilindungi, sebagai simbol status) dan untuk diperdagangkan dalam bentuk produk dari satwa liar yang dilindungi misalnya gading gajah. Perilaku manusia ini yang dapat mengancam kepunahan dari satwa langka yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan populasinya dihabitat asalnya. Kepunahan satwa langka ini dapat dicegah dengan ditetapkan perlindungan hukum terhadap satwa langka yang dilindungi. Pencegahan ini bertujuan agar satwa-satwa langka yang hampir punah tidak hanya 4
Themmy Doaly, Peradagangan Satwa Ilegal Masih Marak, diakses dari http://www.mongabay.co.id/tag/perdagangan-satwa-ilegal/ pada tanggal 26 Juni 2016 pukul 09.00
Universitas Sumatera Utara
menjadi cerita bagi anak cucu kita nantinya karena keserakahan manusia dalam mengambil keuntungan dari yang diperolehnya. Kepunahan satwa langka ini bisa dicegah apabila kita semua menjaga kelestanan alam, yang mana didalam terdapat populasi satwa serta ekosistem yang berada didalamnya, serta mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alam atau perbuatan manusia sendiri. Satwa langka yang mengalami kepunahan sebaiknya tidak boleh dimiliki, ditangkap, diburu serta diperjualbelikan, hal ini untuk menjaga kelestanan satwa tersebut dari kepunahan yang disebabkan oleh manusia atau alam disekitarnya. Maraknya Perdagangan satwa liar yang dilindungi ini bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi juga telah mejadi perhatian dunia internasional yang dapat dilihat dari ditandatanganinya convenction on iternational trade in endarenged species flora and fauna ( CITES ), yaitu sebuah kesepakatan internasional dalam hal perdagangan kehidupan liar ( satwa dan tumbuhan ) pada tahun 1973, sehingga pada tahun 1978 Indonesia telah meratifikasi CITES denga dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Daftar Namanama Jenis Satwa dan Tumbuhan liar yang dikategorikan langka. Mengenai perdagangan satwa liar yang dilindungi itu diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Jo Peraturan Pemerntah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Penegakan Hukum Pidana terhadap pelaku perdagangan satwa liar yang dilindungi untuk melindungi satwa liar dari perdagangan menjadi hal sangat penting, karena hal tersebut menjadi penentu kelangsungan hidup satwa-satwa liar
Universitas Sumatera Utara
yang dilindungi unuk tetap lestari sebagai bagian dari kesatuan ekosistem. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sunber Daya Alam dan Ekosistemnya telah secara tegas diterangkan mengenai sanksi pidana bagi para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi. Pada pasal 21 ayat 2 huruf (a) jo pasal 40 ayat 2 diancam pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-. 5 Namun melihat kenyataan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi belum memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana tersebut. Bahkan sanksi yang diterima para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi tidak lagi relevan untuk saat ini. Sebagai contoh untuk kasus dengan nomor perkara
1731/Pid.Sus/PN.Mdn dengan barang bukti 5 ton trenggiling
beku. Semakin maraknya kasus Perdagangan Satwa liar yang dilindungi baik hidup maupun sudah mati (bagian-bagian tubuhnya) sudah terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia yang kemudian melatarbelakangi penulisan skripsi. Kejahatan terhadap satwa khususnya tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Pada perkembangannya dewasa ini, tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri melainkan merupakan kejahatan terorganisasi (organized crime), lintas negara (transnational crime) yang berbasis elektronik
5
UU. No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Universitas Sumatera Utara
(cyber crime). 6 Tidak adanya efek jera bagi para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi
sepertinya mengisyaratkan lemahnya
hukum terkait dengan perdagangan satwa liar. Selain itu juga keuntungan yang diperoleh para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi lebih besar daripada jumlah denda yang harus dibayarkannya ke negara, sehingga hal tersebut tentulah tidak akan memberikan efek jera. Seperti yang terjadi pada kasus penyelundupan pada tahun 2015 di Belawan sebanyak 5 ton daging trenggiling, 100 kg sisik trenggiling, dan 96 ekor trenggiling yang ditaksir merugikan negara mencapai Rp. 18,4 Mliar. 7 Sementara ancaman hukuman yang ada didalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya hanya memberikan pidana denda maksimal Rp. 100 juta rupiah. Hal tersebut sangat tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh oleh para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi tersebut. Skripsi ini berusaha untuk membahas dan menguraikan segi-segi penegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi dikaji secara teoritis berdasarkan peraturan perundang-undangan terutama UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya termasuk juga penerapannya dalam praktik di pengadilan terhadap kasus perdagangan satwa yang dilindungi termasuk diperdagangkan.
6
Raynaldo Sembiring dan Wenni Adzkia, Memberantas Kejahatan Atas Satwa Liar : Refleksi Atas Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. Vol. 02 Issue 02, (2015), hal.58. 7 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Op. Cit. hal.3.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa rumusan masalah dalam penulisan skripsi adalah : 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana perdagangan terhadap satwa liar yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya ? 2. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi dalam kasus register nomor 1731/Pid.Sus/2015/PN.Medan dan Nomor 124/Pid.Sus/2016/PN.Mdn ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan identifikasi rumusan masalah tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi adalah : 1. Mengetahui pengaturan tindak pidana perdaganga satwa liar yang dilindungi didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya 2. Mengatahui efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi pada kasus dengan nomor register
1731/Pid.Sus/PN.Mdn
dan
nomor
register
perkara
124/Pid.Sus/PN.Mdn. Manfaat yang diharapkan dengan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Manfaat Teoritis Penulisan Skripsi ini secara teoritis diharapkan bermanfaat untuk memberikan masukan untuk perkembangan kemajuan hukum pidana pada khususnya menambah wawasan dan ilmu penegtahuan terkait dengan tindak pidana terhadap satwa liar yang dilindungi. 2. Manfaat Praktis a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, para praktisi hukum, dan pemerintah dalam melakukan penelitian terhadap tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi. b. Dapat menjadi masukan bagi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, aparat penegak hukum, dan masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam upaya perlindungan terhadap satwa liar yang dilindungi dari tindak pidana perdagangan satwa liar melalui penegakan hukum pidana c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah tentang pentingnya menjaga satwa liar yang hampir punah dari perilaku tindak pidana perdagangan demi keseimbangan ekosistem. D. Keaslian Penulisan Sepanjang penelusuran yang telah dilakukan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Universitas Sumatera Utara
Alam dan Ekosistemnya telah penulisan terkait perdagangan satwa liar yang dilindungi sebelumnya. Untuk mengetahui posisi penulis dalam melakukan penelitian ini , maka dilakukan review dari penelitian terdahulu yang ada kaitaannya dengan perdagangangan satwa liar yang dilindungi yang dilindungi. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian yang juga ditulis dalam bentuk skripsi oleh Margaretha Siahaan yang berjudul “Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Satwa yang dilindungi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn)”. Kesimpulannya adalah bahwa permasalahan yang utama yang menjadi pembahasan dalam skripsi tersebut adalah pertanggung jawaban pidana olehpelaku perdagangan satwa yang dilindungi. Persamaan antara penelitian penulis dengan skripsi terdahulu terletak pada bahasan mengenai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perbedaannya penelitian yang ditulis oleh Margaretha Siaahaan hanya membahas pertanggung jawaban pidana pelaku perdagangan satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Taun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan skripsi penulis membahas penegakan hukum pidana terhadap pelaku perdagangan satwa liar yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Taun 1990 tenttang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan putusanputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap di Pengadilan Negeri Medan.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana dan Pemidanaan 1.1 Pengertian Tindak Pidana Pengertian unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam rumusan undang-undang (rumusan pasal). Pengertian tindak pidana lebih luas daripada pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang, yang dalam bahasa Belanda disebutelement van de wettelijke delictsome schrijving. 8 Berbagai rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum, jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur/elemen. Para ahli ada yang mengemukakan unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula yang merinci unsur-unsur tindak pidana yang diambil berdasarkan rumusan undang-undang. Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat di dalam diri si pelaku, sedangkan unsur objektif adalah unsur yang terdapat di dalam unsur perbuatan si pelaku. Pada umumnya setiap tindak pidana menurut Barda Namawi 9 adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan tidak patut dilakukan atau selalu bertentangan dengan hukum. 1.2Pengertian Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam mengemukakan apa yang yang merupakan unsur-unsur tindak pidana, umumnya dikemukakan terlebih dahulu pembedaan dasar antara unsur (bagian) perbuatan dan unsur (bagian) kesalahan (pertanggungjawaban pidana). 8
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana,
Medan : USU Press, 2013,
hal.103. 9
Ibid., hal.87-89.
Universitas Sumatera Utara
Unsur (bagian) perbuatan ini sering juga disebut unsur (bagian) objektif sedangkan unsur (bagian) kesalahan serimh juga disebut unsur subjektif. 10 D. Hazenwinkiel Suringa 11 dalam Sudarto mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang diambil dari rumusan undang-undang, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam setiap delik terdapat unsur tindak/perbuatan seseorang ; 2. Untuk beberapa delik, undang-undang menyebutkan apa yang dinamakan akibat konstitutif dan ini terdapa dalam delik materiil; 3. Banyak delik memuat unsur-unsur yang bersifat phsychich misalnya : dengan tujuan dolus atau culpa; 4. Pelbagai delik mengkehendaki adanya keadaan objektif, misalnya delik penghasutan (Pasal 160 KUHP); 5. Beberapa delik memuat apa yang disebut dengan syarat tambahan untuk dapat dipidana ( bijkomende voor waarde van straffbaarheid ) yang maksudnya adalah : a. Terjadi sesudah terjadinya perbuatan yang diuraikan dalam undangundang, bisa juga disertai dengan akibat konstitutifnya; b. Justru memberikan sifat dapat dipidana, misal pasal 182 KUHP; 6. Sifat melawan hukum 12
Menururt
Jan Remmelink unsur-unsur tindak pidana yang dapat
ditemukan di dalam rumusan tindak pidana, adalah sebagai berikut : a. Perilaku 10
Frans Maramis, Hukum Pidan Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : Rajwali Press, 2013, hal.65-66. 11 Mohammad Ekaputra. Op. Cit., hal.106-107. 12
Ibid., hal. 107-110.
Universitas Sumatera Utara
Dalam setiap delik terdapat unsur-unsur perilaku manusia, baik itu berbuat atau tidak berbuat dalam arti melalaikan suatu hal. Apa yang berada di luar lingkup itu tidak menjadi perhatian hukum pidana. Singkatnya, hukum pidana kita terfokus pada tindakan (dadstrafrecht). b. Subjek Manusia adalah subjek tindak pidana. Dalam arti tertentu, kita juga dapat menyebut subjek sebagai salah satu unsur tindak pidana. Hal ini juga berarti bahwa hukum pidana hanya berlaku bagi subjek hukum manusia yang berbentuk badan hukum maupun tidak, dan yayaysan tau bentuk perkumpulan lain yang mengelola kekayaan yang dipisahkan umtuk tujuan-tujuan lain. c. Akibat konstitutif Sejumlah delik ditujukan pada perbuatan yang mengakibatkan suatu sebab atau yang dinamakan akibat konstitutif. Setiap tindakan apapun mengakibatkan dan memunculkan suatu akibat. Hanya dalam bentuk delik materiil unsur akibat disebutkan secara eksplisit di dalam undang-undang; hanya dalam jenis delik materiil saja akibat merupakan bagian dari rumusan delik. d. Sifat psikis Banyak rumusan delik mencakup unsur-unsur yang sifatnya psikis, misalnya
‘dengan
maksud’
(oomerk),
‘kesengajaan’
(opzet),
‘kelalaian/culpa ‘(onachtzaamheid). Dalam bentu kejahatan, penyebutan unsur-unsur ini mutlak ada.
Universitas Sumatera Utara
e. Situasi dan kondisi objektif tertentu Banyak delik-delik pidana isinya mensyaratkan adanya situasi dan kondisi objektif tertentu . f. Syarat tambahan sifat dapat dipidana Sejumah delik lain mengandung syarat-syarat tambahan sifat dapat dipidana. Maksudnya adalah suatu keadaan yang timbul (segera) setelah perilaku atau tindakan yang dirumuskan dalam delik terjadi, termasuk akibat konstitutifnya, dan keadaan itulah yang pertama-tama menetapkan sifat dapat dipidananya perilaku tersebut. 13 Menurut Moeljatno 14 unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah : 1. Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan); 2. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4. Unsur melawan hukum yang objektif; 5. Unsur melawan hukum yang subjektif. 1.3 Pengertian Pemidanaan Pidana pada hakikatnya adalah suatu kerugian berupa penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara terhadap individu yang melakukan pelanggaran terhadap hukum. Kendatipun demikian, pemidanaan juga adalah suatu pendidikan moral terhadap pelaku yang telah melakukan kejahatan dengan maksud agar tidak
13
Mohammad Ekaputra, Op. Cit., hal. 106-109 Ibid., hal.110.
14
Universitas Sumatera Utara
mengulangi perbuatannya. 15 Menurut Sudarto pemidanaan itu kerap kali sinonim dengan kata penghukuman. Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Penghukuman dalam perkara pidana, sinonim denagn pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh Hakim. Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Sudarto 16 menyatakan bahwa pemberian pidana itu mempunyai dua arti, yaitu : 1. Dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang, ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto) ; 2. Dalam arti konkrit, ialah yang meyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu (pemberian pidana ini concreto). Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum. Jerome Hall dalam M. Sholehuddin 17 membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan, yaitu sebagai berikut : a. Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup ; b. Ia memaksa dengan kekerasan ; c. Pemidanaan mengisyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekpresikan di dalam putusan ; 15
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal.451. 16 Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, Medan : USU PRESS, 2011, hal.7-8. 17 Ibid., hal.9.
Universitas Sumatera Utara
d. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika ; e. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan denga perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya. 2. Pengertian Penegakan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana 2.1 Pengertian Penegakan Hukum Penegakan hukum dalam bahasa Inggris law enforcement, dan bahasa Belanda disebut rechtshandhaving 18 adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dalam kenyataan, proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum. 19 Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai
tahap
akhir,
untuk
menciptakan,
memelihara,
dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 18 19
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta : Djambatan, 2007, hal.94. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum , Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hal.24.
Universitas Sumatera Utara
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandaganpandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandanganpandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu , misalnya ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan. 20 Dalam pemahaman istilah Indonesia maka penegakan hukum berkaitan dengan sanksi pidana, karena masyarakat hanya menyebut pada aparat penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Padahal tidaklah demikian halnya, sebab apabila
suatu
hukum
(undang-undang)
dapat
ditegakkan,
maka
perlu
memperhatikan suatu syarat bahwa hukum (undang-undang) akan dapat ditegakkan. 21 Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi juga merupakan bagian dari penegakan hukum lingkungan
22
dimana hukum pidana di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 berada pada garis terdepan sebagai premium remedium. Penegakan hukum dilaksanakan oleh para penegak hukum. Penegak hukum adalah orang atau badan yang melakukan suatu kegiatan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu
20
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2007, hal.1-2. 21 Sodikin, op. Cit., hal.1. 22 Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup, Bekasi : Gramata Publishing, 2014, hal.47.
Universitas Sumatera Utara
usaha yang dapat diartikan sebagai
23
petugas yang berhubungan dengan masalah
peradilan. Sedangkan peradilan itu sendiri adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materill, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. 24
Menurut
Mardjono,
elemen-elemen
dalam
sistem
pengendalian
Kejahatan terdiri atas lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Terkait penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan satwa liar yang dilindungi, peneliti mengidentifikasi elemen-elemen tersebut : a. Lembaga-lembaga kepolisian terkait dengan kejahatan atas satwa liar meliputi penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) ; b. Kejaksaan sesuai dengan kewenangannya melakukan penuntutan terhadap pelaku yang melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi dan melakukan eksekusi terhadap terpidana ; c. Pengadilan melalui hakim memberikan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi ;
23
Jurnal R. Tri Prayudi, Penegakan Hukum, Rehabilitasi dan Pelepasliaran Satwa Dilindungi Hasil Sitaan Negara Ujung Tombak Upaya Penstabilan Ekosistem Kawasan Konservasi, Program Pascasarjana PSL Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, 2014. 24 Raynaldo Sembiring dan Wenni Adzkia, Memberantas Kejahatan Atas Satwa Liar : Refleksi Atas Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. Vol. 02 Issue 02, (2015), hal.57-58.
Universitas Sumatera Utara
d. Lembaga pemasyarakatan sesuai tujuan pemidanaan melakuka rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi. 2.2 Pengertian Sistem Peradilan Pidana Pada dasarnya, aspek pemidanaan merupakan puncak dari sistem peradilan pidana yaitu dengan dijatuhkan putusan hakim. Sistem peradilan sering diartikan secara sempit sebagai sistem pengadilan yang menyelenggrakan keadilan atas nama negara atau suatu mekanisme unruk menyelesaikan perkara atau sengketa. Pengertian tersebut menurut Barda Nawawi Arief merupakan pengertian yang sempit, karena hanya melihat dari segi aspek struktural dan hanya melihat dari segi aspek kekuasaan mengadili/menyelesaikan perkara. Perlu terlebih dahulu dijelaskan mengenai makna sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo, sistem adalah sebagai jenis satuan yang mempunyai tatanan tertentu. 25 Tatanan tertentu ini menunjukkan kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Beliau juga memaknai sistem sebagai suatu rencana, metode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu. Menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi maslah kejahatan, menanggulangi disini berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Menurut Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan, yaitu antara lain ;
25
Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia , Malang : Setara Press, 2015,
hal.15-16.
Universitas Sumatera Utara
1. Pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata; 2. Pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanismen kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi; 3. Pendekatan sosial yang memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, merupakan bagian
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial
sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih jauh ketiga pendekatan tersebut saling mempengaruhi dalam menetukan tolak ukur keberhasilan dalam menanggulangi
Universitas Sumatera Utara
kejahatan. Sedangkan menurut Remington dan Ohlin bahwa yang dimakksud dengan Criminal Justice System adalah : 26 “Sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem dan merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.” Dari berbagai pengertian-pengertian terkait dengan istilah Sistem Peradilan Pidana, maka pada dasarnya sudah dapat diketahui tujuan dari Sistem Peradilan Pidana. Salah satu ahli hukum yang cukup secara jelas dan gamblang menjelaskan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah Mardjono Reksodiputro. Beliau menjelaskan bahwa tujuan dari pembentukan Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu upaya suatu upaya untuk penanggulangan dan pengendalian kejahatan yang terjadi di masyarakat. Mardjono Reksodiputro menjelaskan lebih rinci terkait dengan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana sebagai berikut ; 27 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, menganut sistem Campuran yang meletakan kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan mengatur 26
Ibid., hal.18-19. Ibid., hal.31.
27
Universitas Sumatera Utara
hubungan antar subsistem peradilan. Hal demikian juga dapat dilihat dari penyelenggaraan peradilan pidana secara normatif dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Tahap Penyelidikan. 2. Tahap Penyidikan. 3. Tahap Penuntutan. 4. Tahap Pemeriksaan disidang peradilan 5. Tahap upaya Hukum. 6. Pelaksanaan Putusan Pengadilan. 3. Pengertian Satwa Liar yang dilindungi Secara sederhana untuk mengetahui pengertian dari satwa liar yang dilindungi terlebih dahulu penulis menjelaskan pengertian dari satwa liar, karena tidak semua satwa liar dikategorikan sebagai satwa yang dilindungi. Dalam pemakaian bahasa keseharian satwa liar dapat diartikan sebagai fauna atau binatang yang bergerak dan berkembang biak di alam liar yang memliki peranan penting bagi kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya pengertian satwa tercantum didalam Pasal 1 butir 5 yaitu “satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani,baik yang hidup di darat maupun di air”. Pada pasal 1 butir 7 disebutkan juga bahwa “satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan/atau di air dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Pasal 1 butir 7 ini juga menjelaskan pembatasan
Universitas Sumatera Utara
pengertian tentang satwa liar tersebut yaitu “ikan dan ternak tidak termasuk dalam pengertian satwa liar tetapi termasuk dalam pengertian satwa”. 28 Satwa liar dikategorikan sebagai satwa yang dilindungi karena memilki unsur-unsur seperti berikut : 29 a. Satwa liar tersebut merupakan satwa endemik, b. Satwa liar tersebut jumlahnya semakin sedikit di alam, c. Satwa liar tersebut merupakan satwa khas suatu daerah yang hanya dapat ditemukan di daerah tersebut,seperti harimau sumatera. d. Satwa liar tersebut memiliki keunikan yang khas dari satwa yang lainnya. Perlindungan terhadap satwa yang dilindungi telah tercantum secara jelas pada Pasal 21 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yaitu ; “Pasal 21 (2) Setiap orang dilarang untuk : d. memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh, atau bagianbagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang terbuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat ke Indonesia ke tempat lain baik didalam maupun diluar Indonesia.” Larangan pada pasal 21 ayat (2) huruf d secara tegas telah menjelaskan bahwa memperdagangkan bagian-bagian satwa liar yang dilindungi juga tidak diperbolehkan. Namun pada kenyataannya, bagian-bagian tubuh dari satwa-satwa liar yang dilindungi tersebut seperti gading gajah, kulit harimau, dan kulit trenggiling masih menjadi objek perdagangan yang juga begitu banyak di beredar di pasar ilegal. 28
UU. Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 29 Agus Haryanta, Dwi Nugroho, dan Novi Harianto, Op. Cit.,hal.2.
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normative) yaitu penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literartur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi atau disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menginventarisir dan mengelompokkan hukum positif yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi. Penulis juga melakukan penelitian terhadap putusan pengadilan negeri khususnya di Pengadilan Negeri Medan yang bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi. Pendekatan yang digunakan penulis pertama-tama adalah mengumpulkan literatur ataupun refrensi dan sumber-sumber hukum terkait perlindungan satwa liar yang dilindungi, kemudian
penulis mencoba melakukan analisis
penerapannya pada penindakan nyata kasus perdagangan satwa liar yang dilndungi oleh para pelaku tindak pidana tersebut yang merupakan pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini. 2. Data dan Sumber Data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari ; a. Bahan hukum primer, yaitu sutu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu berupa KUHP dan
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku perdagangan satwa liar yang dilindungi antara lain kasus di Pengadilan Negeri Medan (Putusan Nomor 1731/Pid.Sus/2015/PN.Mdn dan Nomor 124/Pid.Sus/2016/PN.Mdn), buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan permasalahn dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Keseluruhan data pada skripsi ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research) yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti : peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah-majalah, pendapat sarjana, dan bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi. Refrensi-refrensi dan sumber-sumber hukum tersebut dipilih kemudian diinventarisir yang nantinya akan digunakan dalam melakukan analisis secara yuridis pada praktik penerapannya.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Data yang diperoleh penulis melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan kemudian diorganisasikan dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisa data dalam skripsi ini adalah dengan cara kualitatif yaitu menganalisis melalui data sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini. G. Sistematika Penulisan Secara garis besar gambaran keseluruhan dari penulisan skripsi ini akan penulis jabarkan dengan cara menguraikan sistematika penulisan yang terdiri atas 4 (empat) bab, yaitu : Bab I Pendahuluan merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar Yang Dilindungi. Bab ini terdiri dari pembahasan faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan satwa liar yang dilindungi, perbuatan yang termasuk perbuatan tindak pidana terhadap satwa liar yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi merupakan salah satu tindak pidana terhadap satwa liar yang dilindungi menurut undang-undang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Bab III Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang dilindungi (Studi Putusan di Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Register 1731/Pid.Sus/2015/PN.Mdn dan Nomor Register 124/Pid.Sus/2016/PN.Mdn). Bab ini terdiri dari pembahasan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana dan memberikan penjelasan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pergangan satwa liar yang dilindungi dengan melakukan analisis terhadap kasus perdagangan satwa liar yang dilindungi yang telah memperoleh putusan di Pengadilan Negeri Medan berdasarkan teoriteori hukum pidana. Bab IV Kesimpulan dan Saran, merupakan bagian akhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penulisan dan kaitannya dengan masalah yang diidentifikasi.
Universitas Sumatera Utara