BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Neoliberalisme merupakan sebuah paham yang menghendaki penghapusan
batasan untuk mempermudah perdagangan. Batasan yang harus dihapus tersebut diantaranya adalah penghapusan hambatan tarif, aturan (Regulasi), standarisasi, hingga penghapusan pada batasan untuk arus modal dan investasi. Neoliberalisme pada akhirnya mempromosikan mekanisme perdagangan global dan investasi yang bertujuan untuk mencapai kebebasan dalam mengelola sumber daya guna mencapai kesejahteraan serta pembangunan yang adil dan berimbang disemua negara.1 Namun dalam kenyataannya model ini justru berujung pada eksploitasi yang mengedapankan keuntungan semata. Hal ini termasuk di dalamnya adalah dalam hal pengelolaan sumberdaya air yang dilakukan melalui agenda privatisasi dan komersialisai sumberdaya air. Upaya privatisasi dan komersialisasi air telah terjadi diberbagai negara, oleh berbagai perusahaan multinasional. Beberapa contoh diantaranya adalah di Argentina, Colombia, Bolivia, Maxico, Banglades, Nepal, Pakistan, Filiphina, Thailand, Pantai Gading, Srilanka, Madagaskar, Maroko, Nigeria, Sinegal, Tunesia, Hongaria, Ghana. Diberbagai negara tersebut privatisasi sumberdaya air
1
A Primer on Neo-Liberalism diakses dalam http://www.globalissues.org/article/39/a-primer-onneoliberalism#Neoliberalismis 02/09/2014 20:16.
1
mendorong peningkatan biaya akses atas air mencapai 300% atau senilai dengan 25% dari total pendapatan kelompok miskin di negara tersebut.2 Fenomena privatisasi air yang berujung pada meningkatnya kesulitan pada kelompok ekonomi lemah akibat ketidak mampuan mengakses air, karena harganya yang cukup tinggi. Hal ini pada akhirnya memicu kelompok-kelompok organisasi yang perduli terhadap kesejahteraan bagi seluruh elemen masyarakat guna memperjuangkan kesejahteraan masyarakat tersebut, salah satunya adalah FoEI. FoEI melihat air sebagai hak mendasar yang sangat penting bagi kehidupan manusia beberapa yang menjadi fokus permasalahan disektor air yang diangkat oleh FoEI diantaranya disebutkan dalam breifing yang bertajuk Water : Our Global Impact yang menyebutkan mengenai krisis air yang terjadi dan mendunia saat ini harus menjadi perhatian khusus.3 Selain itu dalam breifing yang lain dalam tajuk pembahasan Stealing Our Water : Implications of GATS for Global Water Resourses dalam pembahasan ini juga FoEI menitik beratkan adanya agenda internasional yang menggunakan neoliberalisme sebagai prasarana komersialisasi sumberdaya air.4 Lainnya adalah dalam laporan tahunan FoEI yang berjudul Economic Drivers of Water Financialization di laporan ini FoEI
2
Anonymous, 2003, Fact Down to Earth tentang lembaga-lembaga keungan internasional. No.28 maret 2003. Dilihat dalam Bunasor Sanim, 2011. 3 Breifing FoEI, Water Our Global Impact diakses dalam http://www.foe.co.uk/sites/default/files/downloads/water_global_impact.pdf diakses 20/08/14 13:45 4 Breifing FoEI, Stealing Our Water : Implications of GATS for Global Water Resourses diakses dalam http://www.foe.co.uk/sites/default/files/downloads/gats_stealing_water.pdf diakses 20/08/14 13:55
2
menunjukkan privatisasi dan komersialisasi air pada akhirnya mendunia dan terajadi di banyak negara maju dan negara berkembang.5 Pernyataan PBB pada tahun 2002, terkait krisis sumberdaya air yang diprediksi akan menjadi semakin buruk pada tahun 2025, menjadi pertanda tentang fenomena krisis air yang terjadi saat ini. Dalam laporan tersebut diperkirakan terdapat 3,4 juta jiwa meninggal pertahunnya akibat mengkonsumsi air yang tidak layak, serta akibat kelangkaan air.6 Terlebih lagi Middleton7 memperkirakan akan terjadi peningkatan penduduk dari 5,3 milyar jiwa menjadi 8,5 milyar jiwa pada 2025 mendatang. Middleton juga menjelaskan bahwa dari 1,4 ribu juta kilometer kubik air dibumi hanya 0,003% saja yang benar-benar bisa dikonsumsi secara normal sementara sisanya 97% adalah air di samudera dan lautan dengan kadar garam tinggi sisanya adalah air yang tersimpan didalam lapisan kutup dan terletak sangat dalam pada lapisan tanah. Air yang dimanfaatkan sebesar 0,003% itu adalah air yang dikonsumsi oleh umat manusia selama ini jumlahnya terus berkurang akibat penggunaanya yang tidak seimbang dengan pemberdayaannya. Kerusakan ekosistem merupakan penyebab utama dari kelangkaan ini, kerusakan hutan, pengeboran perut bumi untuk pertambangan dan lain sebagainya yang merupakan dampak langsung kemajuan teknologi serta perkembangan peradapan manusia.8 Kelangkaan ini lah 5
Laporan tahunan FoEI, Economic Drivers of Water Financialization diakses dalam http://www.foei.org/wp-content/uploads/2013/12/Economic-drivers-of-water-financialization.pdf diakses 20/08/14 14:00 6 Joseph Alcamo, Thomas Henrichs, Thomas Rosch, 2000, World Water in 2025 diakses melalui http://www.env-edu.gr/Documents/World%20Water%20in%202025.pdf 5/19/2014 pkl 03:04 7 Ricard Middleton, Air Bersih, data merupakan dokumen yang diperoleh penulis dari Kedai Baca WALHI Jatim. Untuk mengakses data dapat langsung mengunjungi kantor WALHI Jatim di Jl. Kutisari Indah Barat IX, No. 15 8 Ibid
3
yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh pihak swasta untuk menjadikan air sebagai komoditas perdagangan. Sifatnya terus semakin langka dan merupakan kebutuhan utama yang dicari konsumen memberikan peluang yang besar bagi keuntungan pengelolaan sumberdaya air. Di Indonesia privatisasi air masuk melalui berbagai bentuk pinjaman dana yang diberikan ke Indonesia oleh berbagai lembaga moneter Internasional seperti IMF, World Bank, ADB, serta lembaga Internasional
seperti WTO dan
UNESCO. Dorongan utama sebagai pemicu penerapan privatisasi sektor air di Indonesia dilakukan melalui tekanan untuk menerapkan aturan terkait pembukaan pengelolaan salah satunya adalah pada sektor air. Situasi tersebut pada akhirnya melahirkan kebijakan UU No. 07 Tahun 2004 tentang sumberdaya air. Meskipun UU ini menyatakan bahwa penguasaan ada ditangan negara dan pengelolaan air harus mempertimbangkan fungsi sosial dan lingkungan. UU ini tetap memberikan ruang yang sangat terbuka bagi komersialisasi dan komodifikasi air. Indikasi tersebut terlihat jelas melalui pemberian kesempatan yang luas untuk penyertaan swasta dalam pengusahaan air melalui hak guna usaha. Perubahan mendasar terlihat jelas dimana peran swasta bukan hanya pada pengusahaan dan pengelolaan air minum, melainkan termasuk kebebasan pengelolaan seluruh bidang perairan mulai dari penyediaan air bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk sektor pertanian.9 Di Indonesia FoEI adalah salah satu INGO yang mengupayakan penolakan terhadap isu privatisasi air ini. Akan tetapi FoEI mengupayakan penolakan ini 9
Bunasor Sanim, 2011, Sumber Daya Air dan Kesejahteraan Publik (suatu kajian teoritis dan kajian public), IPB Press: Bogor. Hlm 75.
4
melalui kemitraan lokal dengan WALHI. Upaya penolakan melalui kemitraan lokal ini lah yang akan menjadi fokus penelitian ini. Hal ini penting untuk memunculkan kesadaran terkait permasalahan yang terjadi perihal kelangkaan air yang dapat menjadi permasalahan di Indonesia di masa mendatang. Selain itu hal ini penting untuk menunjukkan ancaman dan bahaya privatisasi sektor air serta adanya gerakan perlawanan atas privatisasi. FoEI merupakan organisasi lingkungan non pemerintah yang bergerak pada level internasional. FoEI adalah jaringan lingkungan akar rumput terbesar di dunia, menyatukan 5000 kelompok aktivis lokal disetiap dunia. Dengan lebih dari 2 juta anggota dan pendukung seluruh dunia, FoEI menentang model neoliberalism
dalam
bentuk
globalisasi
ekonomi
dan
korporasi
serta
mempromosikan solusi yang akan membantu menciptakan lingkungan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial masyarakat.10 Di Indonesia FoEI menjalin kemitraan lokal dengan WALHI, kemitraan ini dibangun melalui perjuangan pergerakan yang sama untuk menentang model terkini dari globalisasi ekonomi dan korporasi. Keduanya juga menyelaraskan tujuan guna mencapai penciptaan lingkungan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Dalam melaksanakan agenda perjuangan mereka.11 FoEI memiliki garis kordinasi yang sangat terdesentralisasi, artinya FoEI memberikan keleluasan ruang bagi setiap mitra lokal diberbagai negara termasuk WALHI di Indonesia. Namun bentuk kemitraan ini tetap mengusung isu dan landasan perjuangan yang sama sebagai bagian dari 10
FoEI Members Group diakses melalui http://www.foei.org/member-groups/ diakses 16/07/2014 00:01 lihat pula Keith Suter, 2002, Friend of the Earth International diakses melalui http://www.fni.no/ybiced/02_06_suter.pdf 15/07/2014 23:24. 11 FoEI Indonesia WALHI diakses melalui http://www.foei.org/news/foei-indonesia-walhi/ diakses 20/08/14 14:05
5
angenda besar bersama, meskipun dalam pengupayaan dan pergerakan yang dilakukan oleh berbagai aktivis pada level lokal diberikan kewenangan sendiri tanpa harus berkoordinasi secara langsung dengan FoEI
yang berpusat di
Belanda.12 Dalam mengupayakan privatisasi air di Indonesia, FoEI berkemitraan dengan WALHI melalui penyelarasan isu dan landasan dalam melawan pergerakan
tersebut.
Diantaranya
melihat
privatisasi
sebagai
bentuk
neoliberalisme yang harus di lawan, serta melihat air sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus diperjuangkan dari kepemilikan privat untuk mencapai lingkungan yang berkeadilan sosial serta berkelanjutan. Sehingga dalam penelitian ini peneliti mengangkat permasalahan penolakan privatisasi air di Indonesia yang dilakukan oleh FoEI melalui kemitraannya dengan WALHI dalam judul Peran FoEI (Friend of The Earth Internasional) dalam Upaya Penolakan Privatisasi dan Komersialisasi Sumberdaya Air di Indonesia Melalui Kemitraan Global (Study Kasus Kemitraan FoEI dengan WALHI). 1.2
Rumusan Masalah Bagaimana upaya penolakan yang dilakukan FoEI (Friend of the Earth
International) terhadap privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia melalui kemitraan global dengan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)? 1.3
Tujuan Penelitian
12
FOEI Transparancy diakses melalui http://www.foei.org/about-foei/transparency/ 16/07/2014 00:26.
6
Tujuan dari penelitian ini untuk menjelaskan wujud penolakan FoEI (sebagai global civil society) terhadap privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia melalui kemitraan global dengan WALHI. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Akademis
1.
Memenuhi standar tugas akhir untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar S1 jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
2.
Peneliti dapat mengaplikasikan teori dan konsep yang berhubungan dengan Global Civil Society.
3. 1.4.2
Pengembangan studi Global Civil Society. Manfaat Praktis
1.
Mengetahui fenomena privatisasi sumberdaya air di Indonesia
2.
Mengetahui upaya dan pergerakan FoEI sebagai Global Civil Society dalam melakukan upaya penolakan privatisasi air di Indonesia melalui kemitraan global dengan WALHI di Indonesia.
3.
Meningkatkan kesadaran terkait segi positif dan negatif dari upaya privatisasi sumber daya air.
1.5
Tinjauan Pustaka
1.5.1
Studi Terdahulu Penelitian mengenai FoEI sebagai global civil society masih minim
dilakukan. FoEI berperan aktif dalam kancah internasional melalui kerjasama dengan organisasi lokal yang memiliki konsentrasi isu yang sama dan organisasi
7
internasional lain seperti Green Peace, BIC, CIRA, MSN dalam menangani permasalahan mengenai lingkungan hidup. Namun penelitian yang mengenai peran FoEI dalam menangani permasalahan lingkungan di Indonesia melalui kemitraan dengan WALHI belum banyak diteliti oleh kaum akademisi maupun oleh lembaga-lembaga lain. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini diantaranya sebagai berikut: Penelitian pertama yang sejenis dengan penelitian ini dilakukan oleh Sinta Yuningtias dalam karyanya yang berjudul “Peran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Global Civil Society dalam Konservasi Pulau Terluar di Indonesia”.13 Sinta Yuningtias menggunakan konsep global civil society dalam penelitiannya. Dia menjelaskan peran aktif WALHI dalam usaha penyelamatan pulau terluar Indonesia. Persamaan dengan peneliti yang dilakukan adalah penggunaan konsep yang sama yakni Global Civil Society dalam menjalaskan fenomena. Perbedaannya terletak pada pengambilan studi kasus yang berbeda. Peneliti mendiskripsikan peranan FoEI dalam kemitraanya dengan WALHI terkait persoalan privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia. Penelitian sejenis yang kedua adalah milik Andri Irfani dalam skripsinya yang berjudul “Peran WALHI dalam Upaya Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging terhadap Hutan Indonesia”.14 Dalam penelitian ini menggunakan suatu
13
Sinta Yuningtias S.ip dalam skripsi yang berjudul: peran wahana lingkungan hidup Indonesia WALHI sebagai global civil society dalm konservasi pulau terluar di Indonesia. Universitas Muhammadiyah Malang, jurusan Hubungan Internasional angkatan 2006. 14 Andri Irfani dalam skripsi yang berjudul:Peran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia WALHI dalam pencetusan Kebijakan Moratorium Logging terhadap Hutan Indonesia. Universitas Sumatra Utara Medan, Jurusan Departemen Ilmu Politik.
8
kebijakan yang disebut dengan istilah moratorium logging atau jeda tebang terhadap hutan yang ada di Indonesia. Definisi konsep moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI yaitu untuk berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI berupaya untuk menjaga kelestarian hutan di Indonesia agar tidak di eksploitasi atau ditebang secara besar-besaran. Hal ini di upayakan oleh WALHI untuk mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan di Indonesia. Persamaan dengan peneliti yang dilakukan adalah pembahasan mengenai peranan WALHI dalam menjaga kelestarian alam. Dan berupaya mempengaruhi kebijakan pemerintah sebagai gerakan civil society. Perbedaannya terletak pada gerakan civil society yang dilakukan hanya dalam lingkup domestik yang tidak mengadakan kerjasama dengan organisasi atau lembaga internasional. Penelitian yang serupa terkait upaya penolakan privatisasi air adalah tulisan dari Afsar Jafri15, yang dipublikasikan dalam Essay Colections by Reclaiming Public Water Network dalam edisi Water Democracy: Reclaiming Public Water in Asia dalam judul Countering Water Privatisation in Mumbai: Evolving a Public-Public model. Dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa upaya privatisasi air telah terjadi di Mumbai India, dimana pemerintah telah melakukan kesepakatan dengan World Bank untuk memberikan ruang bagi pengelolaan air oleh swasta melalui castalia’s report, dalam hal ini adalah perusahaan multinasional. Perumusan dan pemutusan kebijakan tersebut dilakukan tanpa
15
Afsar Jafri is a research associate with Focus on the Global South-India, one of the constituent groups of the Mumbai Paani network. He is based in Mumbai and can be reached at a . jafri@focusweb . org. Diakses melalui http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/waterdocs/waterdemocracyasia.pdf 04/12/2013 19:29.
9
menyertakan masyarakat baik dalam pendapat maupun persetujuan, sebelumnya disampaikan janji terkait pelaksanaan castalia’s report pihak penguasa berjanji akan meminta persetujuan dan pendapat masyarakat. Sebagai upaya menghindari privatisasi mutlak oleh swasta yang hanya mementingkan keuntungan, masyarakat mengupayakan melalui a public-public management, dimana dalam model tersebut, pengelolaan dan pemanfaatan air harus disertai dengan menejemen dalam struktur maupun oprasional yang disetujui dan diketahui oleh masyarakat luas. Masyarakat harus diberi keleluasaan untuk mengawasi dan mengontrol bersama pemerintah dan pihak perusahaan. Sehingga pengelolaan dan distribusi air menjadi lebih transparan, lebih efisien dan lebih tepat sasaran. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada kasus privatisasi air dimana mengundang respon dari masyarakat dalam bentuk civil society. Berbeda dengan penelitian ini, upaya penolakan yang dilakukan terjadi hanya pada ranah domestik melalui pergerakan dan skema domestik saja. Upaya penolakan privatisasi air selanjutnya adalah tulisan dari V. Suresh16, yang dipublikasikan dalam Essay Colections by Reclaiming Public Water Network dalam edisi Water Democracy: Reclaiming Public Water in Asia dalam judul Solution for the Water Crisis-Democratisation, not Privatisation! Promising Stories from Tamil Nadu, India. Dr. Suresh menjelaskan kemampuan 16
Dr. V. Suresh is an advocate, appointed by Supreme Court of India as Advisor for Tamil Nadu to the Supreme Court Commissioner on Food Security and a facilitator of change management & institutional transformation at ODEC (P) Ltd, Chennai, India. He is also connected to the Centre for Law, Policy and Human Rights Studies, Chennai. He is also President of People's Union for Civil Liberties-Tamil nadu & Puducherry state units. Office: Hussaina Manzil, 3rd Floor, 255 (Old No. 123), Angappa Naicken Street, Chennai 600 001. Phone: Office: +91 44 2535 2459; Home: +91 44 2449 3494; Mobile: 094 442-31497 E-mail:
[email protected] Diakses dari http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/waterdocs/waterdemocracyasia.pdf04/12/2013 19:29.
10
masyarakat mengelola sumberdaya air secara swadaya (mandiri) dalam bentuk yang disebutnya sebagai “Democratisation of Water Management” dimana masyarakat, secara bergotong royong dan dengan semangat kebersamaan, melakukan pengembangan inisiatif secara bersama-sama untuk mengelola dan mengembangkan perangkat pengairan yang telah disediakan pemerintah melalui TWAD (Tamil Nadu Water Supplies and Drainage Board) sebagai upaya menopang kebutuhan dan kepentingan bersama. Namun keputusan pemeritah secara sepihak untuk menempatkan ahli dalam hal ini pemilik modal dan perusahaan multinasional (privatisasi), telah mengubah sistem dan pengaturan serta pengelolaan pengairan secara sepihak. Kepentingan perusahaan yang mengedepankan profit dan pengembangan investasi berdampak kepada ketidak terdistribusikannya air secara merata dan tepat sasaran, swadaya masyarakat (demokratisasi sumberdaya air) yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat akan air, akhirnya rusak dan tergantikan oleh ketidak terakomodiran kebutuhan masyarakat akibat privatisasi air. Memiliki pokok pembahasan serupa terkait privatisasi air, penelitian ini akan sangat berharga untuk dapat memberikan penggambaran terkait privatisasi air sebagai persoalan yang akan membahayakan kepentingan masyarakat akan akses terhadap air melalui privatisasi air. Berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti yang menitik beratkan pada peran dan upaya penolakan oleh global civil society. Selanjutnya adalah tulisan yang sangat informatif yang berjudul Problems of Water Privatization and Responses in Korea
oleh
Korean Government
11
Employees’ Union (KGEU)17 Joint Action against Water Privatization yang dipublikasikan dalam Essay Colections by Reclaiming Public Water Network dalam edisi Water Democracy: Reclaiming Public Water in Asia. Dijelaskan bahwa di Korea, distribusi air sepenuhnya telah diatur oleh pemerintah melalui KWater. Namun terdapat beberapa masalah utama dalam pendistribusian tersebut, Pertama terjadi polarisasi distribusi air bersih, hanya beberapa golongan saja yang mendapat air bersih. Kedua, terjadi distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap air PAM karena rentan terkontaminasi penyakit dan bakteri. Ketiga ketidak seragaman harga air. Keempat ketiadaan pengelolaan oleh tenaga ahli dan tenaga kerja
profesional.
Persoalan
tersebut
mendorong
pemerintahan
Korea
mengedepankan privatisasi air oleh perusahan melalui perusahaan transnasional Veolia. Hal tersebut mengundang respon menentang dari KGEU dan Civil Society di Korea. Gelombang penolakan dilakukan melalui penolakan secara comisioning oleh KGEU dalam ranah pemerintahan lokal, mereka juga berkoalisi dengan civil society untuk menuntut transparansi proses pengambilan kebijakan terkait penentuan harga air, kesetabilan perusahaan serta finansial pengelola air yang diberi wewenang. Kedua dilakukan oleh akademisi, dimana para akademisi dan peneliti terus menyuarakan penyampaian melalui media masa hasil penelitian
17
Korean Government Employees' Union (KGEU) is a national union of central and local government workers, accommodating more than 40,000 members. It was established in 2002 and was only legalized in November 2007 after long years of struggle for labour rights. It is also fighting against corruption, privatization of basic public services including water, pension liberalization, for reform of public offices among others. Joint Action against Water Privatization (JAWP) is a coalition in South Korea, formed in September 2006 to fight against water privatization. As of November 2007, it accommodates 29 organizations, ranging from trade unions to environment NGOs. JAWP mainly implements policy analysis, formulates alternatives and strategies, and has continuously organized conferences and campaigns on water privatization. Diakses dalamhttp://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/waterdocs/waterdemocracyasia.pdf04/12/2013 19:29
12
terkait bahaya privatisasi air untuk masa depan distribusi air di Korea, selain itu mereka juga terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak dasarnya atas air, sehingga tidak pantas air untuk dikomersialkan. Hingga pada upaya koalisi dan akomodasi bersama masyarakat pada tingkat lokal terkecil. Sejalan dengan peneltian yang akan dilakukan, penelitian peneliti ini akan menjelaskan upaya serupa yang dilakukan FoEI sebagai Global Civil Society dalam mengupayakan penolakan privatisasi air di Indonesia melalui kemitraan lokal dengan WALHI. Perbedaannya di Korea ini hanya terbatas pada upaya domestik. Sementara Dale T. McKinley18 dalam The Struggle Against Water Privatisation In South Africa, menjelaskan mengenai upaya perlawanan atas situasi privatisasi air yang terjadi di Afrika Selatan. Privatisasi sumberdaya air yang terjadi semenjak 1994 di Afrika Selatan, berimbas kepada ketidak merataan distribusi air kepada masyarakat yang miskin dan termarjinalkan. Situasi tersebut mengundang berbagai upaya untuk menghentikan praktik privatisasi air sebagai bagian dari kebijakan makro ekonomi di Afrika Selatan untuk pembangunan Afrika Selatan. Upaya tersebut terbagi kedalam tiga keompok, Pertama perjuangan komunitas, yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan membentuk komunitas Anti-Privatisation Forum (APF) tahun 2000 dan
Coalition
AgainstWater Privatisation (CAWP) tahun 2003. Kedua upaya penerapan alternatif pengelolaan sumberdaya air (Planting The Seeds Of An Alternative),
18
Dale T. McKinley is the media-information officer for the Anti-Privatisation Forum and acting chairperson of the Coalition Against Water Privatisation diakses dalam http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/books/watersafrica.pdf diakses pada 6/02/2014 pkl 11:26
13
yaitu upaya pengalihan pengelolaan air oleh masyarakat dengan pembiayaan dan pendanaan secara swadaya. Ketiga solidaritas internasional (International Solidarity) yaitu melalui kegiatan pertukaran informaasi serta konsultasi terkait pergerakan dan pernyataan bersama menolak privatisasi air di Afrika Selatan, hingga menulis dalam atrikel politik dengan berbagai kelompok pemerjuang hak rakyat atas air dari berbagai negara Cochabamba, Bolivia or Accra, Ghana or Atlanta, Georgia or Buenos Aires, Argentina.or Manila in the Philippines, or Johannesburg. Sementara peneliti dalam penelitian ini, Octanama Valentine, 2014, Peran FoEI Sebagai Global Civil Society Dalam Upaya Penolakan Privatisasi Dan Komersialisasi Sumberdaya Air Di Indonesia Melalui Kemitraan Global (Studi Kasus Kemitraan FoEI dengan WALHI), akan memfokuskan untuk menjelaskan dan menggambarkan upaya FoEI sebagai Global Civil Society dalam membendung privatisasi sumberdaya air di Indonesia melalui kemitraan dengan WALHI. Ini berarti penjelasan upaya WALHI yang disebutkan nantinya merupakan pergerakan yang berorientasi internasional yang dilakukan FoEI, yang bersifat lintas batas negara. Baik berupa pertukaran informasi, pengkajian melalui pertemuan global, hingga penggalangan dukungan yang bersifat lintas batas negara. Sehingga posisi WALHI sebagai mitra FoEI dilihat sebagai gerakan yang mewakili pergerakan FoEI di Indonesia.
Nomor/Nama 1) Peran Wahana
Tabel 1.1 Tabel Posisi Penelitian Jenis Perbedaan Penelitian/Konsep Deskriptif Perbedaannya terletak pada
14
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Global Civil Society dalam Konservasi Pulau Terluar di Indonesia” Oleh Sinta Yuningtias 2) Andri Irfani dalam skripsinya yang berjudul “Peran WALHI dalam Upaya Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging terhadap Hutan Indonesia” 3) Afsar Jafri dalam judul Countering Water Privatisation in Mumbai: Evolving a Public-Public model
Konsep Global Civil Society
pengambilan studi kasus yang berbeda. Sama-sama mengunakan konsep global civil society dalam menjelaskan fenomena.
Deskriptif Konsep Civil Society
Perbedaannya terletak pada gerakan civil society yang dilakukan hanya dalam lingkup domestik yang tidak mengadakan kerjasama dengan organisasi atau lembaga internasional
Deskriptif Public-public management
4) V. Suresh dalam judul Solution for the Water Crisis – Democratisation, not Privatisation! Promising Stories from Tamil Nadu, India. 5) Korean Government Employees’ Union (KGEU) Joint Action against Water Privatization berjudul Problems of Water Privatization and Responses in Korea 6) Dale T. McKinley, The Struggle Against Water Privatisation In South Africa 7) Octanama Valentine, 2013, Peran FOEI dalam Upaya Penolakan Privatisasi
Deskriptif Democratisation of Water Management
upaya penolakan yang dilakukan terjadi hanya pada ranah domestik melalui pergerakan dan skema domestik saja. Sama-sama menjelaskan upaya WALHI terkait isu lingkungan di Indonesia Berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti yang menitik beratkan pada peran dan upaya penolakan oleh global civil society. Sama-sama menilik persoalan privatisasi sumber daya air.
Deskriptif Civil society
Perbedaannya di Koera ini hanya terbatas pada upaya domestik. Sama-sama membahas upaya penolakan privatisasi air oleh gerakan civil society.
Deskriptif Global Civil Society
Perbedaannya terdapat pada penelitian ini meneliti tentang perjuangan melawan privatisasi di Afrika Selatan. Upaya penolakan FoEI terhadap privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di dunia adalah melalui strategi kemitraan global
Ekspalanatif Global Civil Society
15
dan Komersialisasi Sumberdaya Air Di Indonesia melalui Kemitraan Global (Studi Kasus Kemitraan FOEI dengan WALHI)
1.5.2
dengan menggandeng (bekerjasama) LSM-LSM lokal yang memiliki concern isu yang sama, salah satunya di Indonesia. FoEI menggandeng WALHI sebagai mitra strategis dalam Upaya penolakan FoEI terhadap privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di dunia.
Teori dan Konsep
1.5.2.1 Global Civil Society (GCS) Global civil society mulai dikemukakan dari tahun 1990an. Global civil society lahir sebagai dampak dari globalisasi. Globalisasi memunculkan gerakan baru pasca perang yang berorientasi untuk memunculkan peranan baru dalam sistem pemerintahan negara bangsa yang sebelumnya. Menurut John Keane terdapat dua cara dalam memahami global civil society pertama sebagai institusi utama aktor dalam kerangka kejadian, kedua menjelaskan kompleksitas dinamika mereka berdasarkan diskrip theoritis untuk mendapati
kesimpulan mengenai
gambaran asli mereka. Global civil society menurut John Keane menjelaskan gambaran dalam perilaku global civil society untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka angkat seperti kebebasan dan keadilan. Perhatian utama melalui analisa taktik yang dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Hal ini dianggap sebagai hal mutlak yang akan dilakukan global civil society sebagai tujuan untuk dapat disebut sebagai global civil society. Terkait perhatian institusi, gerakan, kesempatan dan manajemen yang dilakukan oleh power group atau movement untuk mempertimbangkan daya tawar politik dan persentasi dukungan dan lawan
16
diantara mereka diluar group itu sendiri. Sebagai idealism normative yaitu usaha untuk menjelaskan dan menunjukkan bahwa global civil society merupakan hal yang baik dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusian dan kebersamaan.19 Hal tersebut juga dijelaskan oleh Bob Reinalda, bahwa dalam era globalisasi sebuah kelompok aktivis non pemerintahan (national Ngo’s) pada ranah teori hubungan internasional sangat erat kaitannya dengan INGO’s (International Non Governmental Organisation’s). Situasi tersebut merupakan dampak yang tidak dapat dihindarkan sebagaimana fenomena globalisasi yang tidak dapat dihindari, pada era globalisasi sekarang ini menyebabkan aktor tersebut tidak dapat memperjuangkan berbagai kepentingannya tanpa melakukan hubungan dengan aktor lain yang serupa dengan mereka di luar negara mereka. Maka dengan demikian sebuah kelompok yang merupakan aktor lokal secara seketika menjadi aktor yang bersifat transnasional atau lintas batas negara, dengan melakukan hubungan dengan aktor organisasi non negara yang serupa (similar) di negara lain.20 Menurut Martin Grifft Global Civil Society merujuk dua terma, pada kata civil society yang berarti wilayah publik dimana masyarakat dan kelompok dapat menyertakan diri secara langsung dalam aktivitas politik sacara mandiri (independent) di luar pengaruh negara. Kemudian kata Global yang merujuk pada entitas fenomena globalisasi, dimana terjadi proses pemudaran batas-batas material antar negara akibat kemajuan teknologi, informasi dan trasportasi, sehingga hubungan antar individu menjadi semakin dekat dan saling terkait satu 19
John Keane,2003, Global Civil Society, Cambrige:London p.14. Dilihat dalam The Emerging Roles of NGOs in International Relations diakses melalui http://nccur.lib.nccu.edu.tw/bitstream/140.119/33686/8/53003108.pdf 5/02/2014 15:59 20
17
sama lain, seolah dunia menjadi semakin sempit. Sehingga global civil society merujuk pada entitas masyarakat global (karena keterikatan hubungan melalui kemajuan teknologi, informasi dan transportasi) yang berdiri secara mandiri untuk menyertakan diri dalam mekanisme politik guna memperjuangkan nilai-nilai tertentu (nilai bersama yang diperjuangkan, seperti masalah lingkungan, HAM dll.) dengan tanpa tekanan dan intimidasi atau pengaruh dari negara.21 Terdapat setidaknya lima kriteria umum yang terdapat dalam global civil society. Pertama, mereka membentuk (form) komunitas (political comunity) dan mempertahankan rasa solidaritas diantara anggotanya. Kedua, mayoritas merupakan organisasi yang mengglobal, yang memiliki ruang aktivitas lintas negara, mereka tidak terpaku (regard) pada batasan wilayah sebagai batasan (impediment) demi tujuan efektifitas atas aksi politik mereka. Ketiga, mereka tidak terpaku (regard) pada patokan bahwa negara sebagai aktor yang memiliki kedaulatan mutlak (legitimate authority) di dalam arena internasional. Keempat, mereka memiliki konsentrasi isu politik terkait permasalahan yang melintas batas teritorial negara (transcend territorial boundaries) seperti masalah lingkungan dan HAM yang merupakan permasalahan masyarakat global, sebagai dampak globalisasi.
Kelima,
mereka
secara
umum
mempromosikan
etika
kosmopolitanisme (cosmopolitran ethic) yang mereka upayakan untuk diterima dan diterapkan oleh semua negara (menghendaki masyarakat terhubung menyeluruh dalam wadah masyarakat global).22
21
Griffiths, Martin, Terry O’ Callaghan & Steven C. Roach, 2008, International Relations: Key Concept Scond Editions, Routletge: USA & Canada, p. 125-126. 22 Ibid.
18
FoEI dikerangkai dengan menggunakan global civil society untuk mendapati gerakan yang dilakukan oleh organisasi ini dalam kemitraanya dengan WALHI. Dengan keanggotaan yang mengglobal, FoEI telah mendapatkan dirinya sebagai bagian dari Global Civil Society. Kemitraan yang dilakukan oleh FoEI dengan WALHI merupakan bentuk sikap FoEI yang tidak melihat negara sebagai aktor tunggal yang berdaulat mutlak. Permasalahan HAM dan Lingkungan yang menjadi konsern dari FoEI menunjukan kriteria selanjutnya untuk dapat menggolongkan FoEI kedalam Global Civil Society. Keanggotaannya yang terbuka serta tidak mengikat, menunjukan posisi FoEI yang memiliki pandangan kosmopolitanism dalam berbagai perjuangannya. 1.5.2.2 Konsep Privatisasi Sumberdaya Air Privatisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti swastanisasi, upaya untuk menjadikan milik perseorangan, upaya menjadikan milik negara menjadi milik atau dikelola swasta.23 Privatisasi pada sektor air berarti upaya menjadikan sumberdaya air menjadi dikelola dan dikuasai dalam pengelolaan dari pengelolaan dan penguasaan negara, kepada pengelolaan dan penguasaan swasta. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, air sebagai salah satu kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kepentingan bersama. Privatisasi berdasarkan sasaran dan tujuannya jelas telah bertentangan dengan nilai dasar pedoman negara Indonesia tersebut. Pengololaan oleh swasta akan memiliki banyak kepentingan dari pengelola itu sendiri.
23
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke tiga cetakan ke empat, 2007, Balai Pustaka: Jakarta
19
Privatisasi berarti pengelolaan air oleh swasta, swasta yang berarti pengelolaan air untuk komoditas pasar, dan pasar berati pendistribusian air sebagai upaya meraup keuntungan. Keuntungan semacam ini akan menempatkan masyarakat yang sejatinya merupakan pemilik hak mutlak atas air sebagaian di eksploitasi oleh para pengusaha (pasar) demi meraup untung. Masyarakat akan mendapati biaya yang lebih tinggi untuk mencapai akses air yang lebih layak. Dalam tulisan ini, privatisasi dipahami sebagai upaya pengalihan pengelolaan air dari negara kepada swasta, dimana air akan didistribusikan berdasarkan pemahaman full cost recovery yang nantinya akan berujung pada pembebanan seluruh biaya pengelolaan air kepada harga distribusi air hingga ke tanggan konsumen.
Maka dari itu, model
pengelolaan tersebut
akan
membebankan sepenuhnya biaya pengelolaan air kepada masyarakat. Sejatinya, hal tersebut menjadi kurang relevan, mengingat air sebagai kebutuhan dan hak dasar yang sepantasnya dapat diakses dengan bebas oleh warga negara (masyarakat). 1.6
Metodologi Penelitian
1.6.1
Metode Pengumpulan Data dan Teknik Analisa Data Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode dokumentasi,
yaitu dengan melakukan studi litelatur, mecari data yang terkait dengan penelitian yang dilakukan peneliti melalui data yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, website dan lain sebagainya yang diterbitkan oleh berbagai lembaga atau instansi yang berkaitan dengan topik yang dikaji peneliti.
20
Data yang peneliti dapatkan sendiri merupakan data yang peneliti ambil dari perpustakaan pusat Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Lab HI UMM, koran, majalah, buku, dan website serta sumber lain yang terkait dengan kajian peneliti. Analisa data sendiri peneliti lakukan dalam tiga tahap yaitu: 1.
Pemeriksaan, yaitu dilakukan untuk melihat apakah data-data yang diperlukan sudah lengkap dan benar atau salah, bila ternyata ada kesalahan atau bahkan kekurangan maka peneliti akan berusaha membenarkan dan melengkapi data yang kurang
2.
Pengolahan, yaitu dilakukan dengan cara memilah-milah sesuai dengan kategorinya masing-masing.
3.
Analisa dan interpretasi, yaitu data yang telah dipilah-pilah selanjutnya di interpretasikan oleh peneliti. Analisa penelitian ini bersifat deduktif, karena penelitian ini akan diawali
dengan gambaran umum tentang situasi hubungan fenomena privatisasi sumberdaya air di Indonesia dengan upaya yang dilakukang oleh FoEI dalam mengupayakan penolakan privatisasi sumberdaya air di indonesia melalui kemitraan dengan organisasi lokal WALHI, kemudian di akhir pembahasan peneliti baru mengemukakan inti dari pembahasan berupa bentuk upaya penolakan privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia oleh FoEI melalui kemitraan dengan WALHI. 1.6.2
Metode Penelitian
21
Dalam penelitian ini, digunakan metode eksplanatif. Dalam penelitian ekplanatif dimaksudkan guna menjelaskan fenomena berdasarkan hubungan sebab akibat. Dimana terdapat penyebab berupa fenomena privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia yang mengakibatkan upaya penolakan oleh FoEI melalui kemitraan dengan WALHI.24 1.6.3
Level Analisa Peneliti menggunakan model penelitian Induksionis, yaitu model
penelitian dimana unit analisa memiliki posisi struktur yang lebih rendah dari unit eksplanasi.25 Adapun yang menjadi bentuk model tersebut dalam penelitian yang peneliti akan lakukan adalah penelitian dengan unit analisa Organisasi (upaya FoEI sebagai global civil society dalam upaya menolak privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia melalui kemitraan dengan organisasi lokal) yang dijelaskan melalui unit eksplanasi berupa negara (privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia). Terdapat dua variabel analisa yaitu unit analisa (variabel dependen) unit ekplanasi (variabel independen). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah upaya FoEI dalam menolak privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia melalui kemitraan dengan organisasi lokal yang dijelaskan melalui variable independen dalam bentuk privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia. 1.6.4
Batasan Penelitian
1.6.4.1 Batasan Materi
24
Moehttar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, LP3ES: Yogyakarta. p. 38 25 Ibid.
22
Batasan materi dalam tulisan ini dibatasi pada pembahasan FoEI yang dilihat sebagai global civil society terkait upayanya guna menolak privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia melalui kemitraanya dengan organisasi lokal (WALHI) di Indonesia. Terbatas pada perilaku FoEI sebagai global civil society dalam aksinya menolak permasalahan privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia, upaya-upaya yang dilakukan FoEI yang ditunjukkan dalam penelitian ini merupakan bentuk perilaku FoEI sebagai global civil society melalui kemitraannya dengan WALHI dalam upaya penolakan privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di Indonesia. 1.6.4.2 Batasan Waktu Untuk membatasi bahasan penelitian agar tetap fokus maka peneliti telah menentukan ruang lingkup penelitian, yakni pada tahun 2004-2009, karena pada tahun 2004 ini pemerintah telah mengesahkan UU baru tentang sumberdaya air. Dalam undang-undang menjelaskan tentang peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air oleh badan usaha dan individu. Dengan dikeluarkanya UU tersebut hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia. Maka perlu ditinjau kembali tentang UU tersebut agar tidak merugikan masyarakat. 1.7
Hipotesa Upaya penolakan FoEI terhadap privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air
di dunia adalah melalui strategi kemitraan global dengan menggandeng (bekerjasama) LSM-LSM lokal yang memiliki concern isu yang sama, salah satunya di Indonesia. Isu privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air oleh
23
perusahaan-perusahaan MNC dan korporasi lainnya maupun individu di Indonesia disikapi oleh FoEI dengan menggandeng WALHI sebagai mitra strategis. WALHI sendiri adalah LSM lingkungan di Indonesia yang juga anggota FoEI yang bertugas untuk mengkampanyekan maupun mengadvokasikan isu privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air di tingkat lokal Indonesia. Dengan strategi kemitraan global dengan menjadikan WALHI sebagai bagian dari anggota yang bertugas melakukan perlawanan terhadap isu-isu privatisasi air di tingkat lokal diharapkan dapat mengurangi kerusakan lingkungan dan eksploitasi industriindustri prusahaan air minum dan mengusahakan hak kelola air bersih kepada masyarakat. 1.8
Struktur Penulisan
BAB I: Dalam BAB ini diuraikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Kerangka Teori, Metodelogi, Hipotesa, dan Sistematika Penulisan. BAB II :
Dampak Isu Privatisasi dan Komersialisasi Air Terhadap Lingkungan
dan Hak Akses Serta Pengelolaan Masyarakat
Atas Air Bersih 2.1 Privatisai Air Sebagai Fenomena Neoliberalisme (EPI) 2.2 Privatisasi Air di Indonesia 2.3 Dampak Privatisasi Air di Indonesia Terhadap Lingkungan dan Hak Asasi serta Pengelolaan Masyarakat Atas Air Bersih.
24
BAB III : FoEI dan WALHI (Profil dan Gerakan) 3.1 FoEI (Friend of The Earth Internasional) 3.2 WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) 3.3 Hubungan FoEI dengan WALHI BAB IV : Penolakan FoEI Terhadap Privatisasi dan Komersialisasi Air di Indonesia Melalui Kemitraan Global dengan WALHI 4.1 Strategi Kemitraan Global FoEI dengan WALHI 4.1.1 FoEI Sebagai Global Civil Society 4.2 Upaya Penolakan FoEI Terhadap Isu Privatisasi dan Komersialisasi Air di Indonesia 4.2.1 Advokasi 4.2.2 Kampanye 4.2.3 Gelar Aksi BAB V :
Kesimpulan Daftar Pustaka
25