BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penutur yang mengujarkan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial dilaporkan oleh objek penghinaan ke pihak kepolisian dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena tuturannya diduga mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik yang merendahkan harga diri objek penghinaan. Dalam pandangan objek penghinaan, tuturan yang disampaikan oleh penutur mengandung pelecehan dan fitnah terhadap dirinya sehingga membuat objek penghinaan menjadi malu dan mengkhawatirkan nama baiknya akan rusak di mata masyarakat akibat tuturan tersebut. Melihat persebarannya, tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang diujarkan oleh penutur di media sosial dapat dibaca oleh pengguna media sosial lainnya sehingga memperbesar kemungkinan diketahui oleh lebih banyak orang. Oleh karena interaksi di media sosial yang berjejaring dan tanpa batas, objek penghinaan merasa khawatir bila tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut tersebar secara luas sehingga akan merusak harga dirinya sebagai manusia dan nama baiknya sebagai anggota masyarakat. Pemahaman objek penghinaan tentang sebuah tuturan yang ia duga menghina dan mencemarkan nama baiknya bisa jadi bias dengan makna yang sebenarnya dimaksud oleh penutur. Tuturan yang diujarkan secara tertulis hanya
1
2
mewakili unsur-unsur verbal, tetapi tidak didukung oleh faktor-faktor non-verbal, seperti bahasa tubuh, fitur-fitur prosodi, seperti intonasi, kecepatan, penekanan, dan volume suara, serta situasi dan suasana di tempat para partisipan berinteraksi dalam tuturan lisan (Pridham, 2001:2; Kartomihardjo, 1992:5). Dalam tuturan tertulis, penutur dan lawan tutur tidak dapat bersemuka saat melakukan kegiatan berkomunikasi, melainkan dilakukan secara terpisah di tempat yang berbeda; penutur menulis tuturan di suatu tempat dan lawan tutur membaca tuturan tersebut di tempat dan waktu yang berbeda. Kondisi tersebut berbeda dengan penutur dan lawan tutur yang dapat bersemuka secara langsung saat mengujarkan tuturan secara lisan. Dalam memahami maksud tuturan, lawan tutur yang bersemuka dengan penutur dapat lebih menyeluruh dalam memahami maksud penutur karena memiliki kesempatan untuk mengamati mimik wajah dan gerak tubuh penutur. Mimik wajah dan gerak tubuh menunjukkan ekspresi penutur yang juga dapat digunakan untuk memahami maksud penutur, apakah saat mengujarkan sebuah tuturan, penutur dalam keadaan marah, bahagia, atau biasa saja. Adapun lawan tutur dalam tuturan tertulis hanya terbantu oleh bentuk fisik tuturan, situasi tuturan, dan keterkaitan antara tuturan dengan informasi yang tersedia sebelumnya. Pada kenyataannya, unsur penghinaan memiliki subjektivitas yang tinggi bila hanya dilihat dari perlokusinya atau efek yang ada pada diri objek penghinaan. Sebuah tuturan yang dianggap sebagai penghinaan oleh seseorang belum tentu merupakan penghinaan menurut orang lain. Seperti yang dikatakan Projodikoro (1967), setiap orang memiliki rasa kehormatan yang berbeda antara
3
yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak begitu mudah bagi aparat hukum untuk menentukan kapan terjadi suatu penghinaan. Yang merupakan sekadar pembatasan konkret dari penuntutan adalah bahwa tindak pidana penghinaan ini hanya dapat dituntut atas pengaduan orang yang dihina. Menurut Lamintang dan Samosir (1985:191), perasaan terhina pada diri objek penghinaan atas sebuah tuturan tidak perlu dibuktikan di pengadilan karena kehormatan seseorang terlihat rendah di mata orang lain tergantung pada sifat pribadi objek penghinaan. Untuk menjamin objektivitas aparat hukum, konsep yang sama tentang batasan “penghinaan” bagi setiap orang harus tersedia. Bassar (1986:147) memberikan jalan keluar dengan berpendapat bahwa cara mengeluarkan tuturan yang dipengaruhi oleh maksud penutur dan pemilihan kata-kata tertentu memiliki peranan yang penting dalam penafsiran tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Maksud penutur dalam konteks penghinaan dan pencemaran nama baik adalah untuk menyakiti hati orang lain atau setidak-tidaknya penutur mengetahui bahwa dengan cara mengkritik hati orang akan tertusuk. Oleh karena itu, dalam perkara penghinaan, para sarjana Barat memberi gagasan dengan mensyaratkan “adanya tujuan untuk menghina”. Sementara itu, kata-kata yang digunakan oleh penutur penghinaan dan pencemaran nama baik, menurut Lamintang dan Samosir (1985:191), haruslah terdapat tekanan yang merendahkan kehormatan seseorang di mata orang lain. Sejalan dengan penafsiran Projodikoro (1967) dan Bassar (1986:147) tentang perlunya objektivitas tentang definisi “penghinaan” dalam perundangan, Tiersma (1987:303) dari sudut pandang linguistik berpendapat bahwa penafsiran
4
terhadap tuturan penghinaan tidak hanya melibatkan perlokusi atau efek yang dirasakan oleh objek penghinaan karena tuturan itu. Penafsiran tersebut juga harus melibatkan ilokusi tuturan, yaitu maksud penutur dalam mengungkapkan tuturan tersebut. Dengan kata lain, penghinaan tidak dapat diklaim hanya secara sepihak oleh perasaan malu yang dirasakan oleh mitra tutur, melainkan juga membutuhkan analisis dari sudut pandang linguistik untuk mendapatkan keterangan yang menjadi masukan dalam proses peradilan sesuai dengan permintaan yang terdapat dalam perundangan.
(1) Sbg bupati yang slalu dikenang (Syafruddin Nur), tdk spt bupati skarang (Syamsuddin A Hamid). Bupati terbodoh di Indonesia Konteks: Seorang warga Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, mengomentari kiriman seseorang berupa foto mantan bupati Pangkep, Almarhum Syafrudin Nur, di Facebook.
Contoh (1) merupakan tuturan yang diujarkan oleh Budiman, seorang warga Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Karena menulis tuturan tersebut di akun Facebook, Budiman dilaporkan oleh Bupati Pangkep Syamsudin A. Hamid ke kepolisian dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik. Dalam tuturan tersebut, penutur menyebut objek penghinaan dengan sebutan Bupati terbodoh di Indonesia. Bagi Bupati Pangkep Syamsudin A. Hamid, tuturan Budiman pada contoh (1) merupakan penghinaan dan pencemaran nama baik bagi dirinya. Namun, ada kemungkinan sebutan tersebut bagi orang lain bukan merupakan penghinaan dan pencemaran nama baik. Oleh karena itu, analisis
5
terhadap tuturan yang diduga mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap objek penghinaan perlu dilakukan. Tuturan dalam kajian pragmatik tidak berdiri sendiri, melainkan selalu disertai oleh situasi tutur. Situasi tuturan yang dimaksud adalah: (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal (Leech, 1983:13-15). Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur merupakan penyebab mengapa sebuah tuturan diujarkan oleh penutur. Pendapat ini memiliki impikasi bahwa untuk mengungkap dan menafsirkan sebuah tuturan, perlu dikaji bagaimana lima komponen dalam situasi tutur melatarbelakangi kemunculan sebuah tuturan karena sebuah tuturan tidak lain merupakan akibat dari situasi tutur tertentu. Sebagai contoh, konteks tuturan merupakan salah satu komponen situasi tutur yang sangat penting untuk membantu memberi penjelasan di pengadilan. Penjelasan yang diberikan mengenai konteks tuturan membantu aparat hukum untuk membedakan antara fakta dan opini yang terkandung dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Sebuah tuturan dapat diukur presisi dan verifikasinya bila disertai dengan konteks, baik berupa koteks maupun konteks sosial (Ott, 1990:794). Dengan demikian, seperti halnya tuturan-tuturan yang lain, tuturan yang diduga mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik juga disertai oleh kelima situasi tutur di atas sehingga dalam analisisnya tidak terlepas dari situasi tutur tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman terhadap bentuk tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang dikehendaki dalam undang-undang, perlu dilakukan
6
analisis dari kajian linguistik. Hal tersebut juga didasari kenyataan bahwa barang bukti dalam kasus penghinaan dan pencemaran nama baik adalah bahasa. Kajian bahasa dilakukan untuk mendapatkan penjelasan yang gamblang dan tuntas tentang barang bukti sebuah kasus mengingat sebuah tuturan tampak begitu kompleks. Analisis terhadap sebuah tuturan yang diduga mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dilakukan secara menyeluruh dengan tujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk dan variasi ekspresi dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik, serta faktor-faktor yang menyebabkan kemunculan sebuah tuturan. Peranan bentuk-bentuk dan variasi ekspresi sangatlah penting bagi pengungkapan makna tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Penafsiran akan adanya unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam sebuah tuturan dilihat dari keberadaan unsur-unsur tersebut pada pilihan kata yang terdapat dalam tuturan. Sementara itu, analisis tuturan berdasarkan daya pragmatis tuturan menghasilkan pemerian variasi ekspresi dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dilihat dari penafsiran terhadap tuturan yang muncul pada diri lawan tutur. Dari analisis ini ditemukan seberapa layak dan bermakna sebuah tuturan untuk diujarkan dalam interaksi yang berlangsung antara penutur dan lawan tutur berdasarkan pematuhan penutur terhadap prinsip kerja sama. Selain bentuk-bentuk dan variasi ekspresi, keberadaan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial sangat penting untuk diteliti. Faktor-faktor ini berhasil menjelaskan tentang komponen
7
tutur yang menyertai tuturan sehingga menghasilkan efek menghina dan mencemarkan nama baik orang lain. Peneliti memilih topik ini sebagai bahan penelitian dikarenakan belum adanya batasan dan pemerian yang jelas mengenai wujud tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia dari sudut pandang linguistik. Tuturan dalam tindak pidana penghinaan merupakan tuturan yang khas, baik dilihat dari bentuk-bentuk dan variasi ekspresi maupun dari faktor-faktor yang menyebabkan kemunculannya. Tiga hal tersebut secara bersamaan mendukung penciptaan sebuah tuturan yang menghina dan mencemarkan nama baik orang lain. Di sisi lain, media sosial kini menjadi salah satu sarana komunikasi yang semakin memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai fungsi, seperti untuk bersosialisasi, mendapatkan berita, berdiskusi, sampai berdagang. Penggunaan media sosial bertumbuh dan berkembang seiring dengan merambahnya jaringan internet ke berbagai wilayah. Semakin pentingnya penggunaan media sosial bagi kehidupan sehari-hari juga berpeluang terhadap semakin banyaknya jumlah tuturan yang dihasilkan oleh pengguna melalui media ini. Menurut catatan sebuah organisasi nirlaba yang fokus mengamati kebebasan berekspresi di internet bernama SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), kasus yang terdata sepanjang tahun 2014 sebanyak 28 atau kasus ke-73 sejak UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) diberlakukan pada tahun 2008. Kasus terbanyak terjadi di tahun 2014, melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang hanya mencatatkan 19 kasus (anonim, 2015).
8
Dalam penelitian ini, tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dianalisis dengan teori-teori dalam kajian linguistik sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan peradilan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik yang terjadi di Indonesia. Sebagai hasil penelitian ini akan dipaparkan bentuk-bentuk tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik, variasi ekspresi dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik, dan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik.
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial? 2. Bagaimanakah variasi ekspresi tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial.
9
2. Mendeskripsikan variasi ekspresi tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial. 3. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian tentang tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial ini diharapkan memberi manfaat, baik secara teoritis dan maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman tentang tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial, baik dari segi bentu-bentuk dan variasi ekspresi dalam tuturan, maupun dari segi faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan masalah yang berkaitan dengan peradilan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik yang terjadi di Indonesia. Hasil penelitian ini berupa bentuk-bentuk dan variasi ekspresi dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik diharapkan dapat digunakan untuk membantu para ahli bahasa saat memberi kesaksian di pengadilan. Adapun
10
hasil penelitian berupa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik diharapkan dapat menerangjelaskan tentang apa saja komponen tutur yang berperan dalam penciptaan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial.
1.5 Ruang Lingkup Masalah Penelitian ini berfokus untuk mengkaji bentuk-bentuk tuturan, variasi ekspresi dalam tuturan, dan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial. Yang dimaksud dengan “penutur” dalam penelitian ini adalah seseorang yang mengujarkan tuturan di media sosial sehingga dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan tuduhan melakukan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik, sedangkan yang dimaksud dengan “objek penghinaan” adalah seseorang yang menjadi sasaran penghinaan dan pencemaran nama baik dalam tuturan. Tidak semua tuturan yang mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dimasukkan sebagai data dalam penelitian ini. Untuk menjamin keseragaman data dalam analisis, tuturan yang diikutsertakan dalam data penelitian ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, data penelitian ini berasal dari tuturan-tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang penuturnya dilaporkan melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Beberapa kasus tersebut sedang berada dalam proses penyidikan, sedang diproses di pengadilan, telah divonis bersalah, maupun telah
11
divonis bebas dalam persidangan. Tuturan-tuturan yang penuturnya dilaporkan melanggar pasal-pasal yang lain tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, baik dalam kasus pidana maupun perdata, tidak diikutsertakan. Kedua, data penelitian ini merupakan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang diujarkan oleh penutur di media sosial, seperti surat elektronik, Facebook, Twitter, Path, dan Blackberry Messenger (BBM). Ketiga, data penelitian ini merupakan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang diujarkan secara tertulis. Adapun tuturan dalam bentuk suara, gambar, foto, atau video tidak dimasukkan dalam data. Keempat, data penelitian ini merupakan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang diujarkan dalam bahasa Indonesia. Tuturan yang diujarkan dalam bahasa daerah ataupun bahasa asing tidak diikutsertakan sebagai data.
1.6 Tinjauan Pustaka Melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap seseorang melalui tuturan merupakan bagian dari kekerasan verbal yang dilakukan oleh penutur kepada objek penghinaan. Penghinaan yang menjadi fokus dalam penelitian ini dilakukan oleh penutur di media sosial sebagai menjadi sarana interaksi antara penutur dan objek penghinaan meskipun keduanya tidak bersemuka. Tuturan yang diujarkan memiliki konsekuensi hukum karena penutur diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur tentang
12
tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial. Untuk melakukan penelitian tentang tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial, kiranya perlu dilakukan tinjauan atas penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki topik yang relevan dengan penelitian ini. Masing-masing penelitian tersebut diuraikan sebagai berikut. Pengungkapan tentang bagaimana dan mengapa perlokusi penghinaan terjadi dilakukan oleh Najmuddin (2012) dengan mengambil data berupa percakapan dalam drama berbahasa Inggris berjudul Death of Salesman. Najmuddin menemukan bahwa aspek-aspek situasi tutur menurut Leech memiliki keterkaitan dalam mempengaruhi penafsiran pendengar atas ujaran penutur sehingga ujaran tersebut ditafsirkan sebagai tindakan yang menghinanya. Selain itu, penafsiran pendengar terhadap tuturan juga ditentukan oleh faktor internal yang berkenaan dengan pengaruh psikologis yang ada dalam diri pendengar ketika menafsirkan ujaran yang didengarnya. Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Najmuddin (2012), peneliti menyepakati bahwa ada atau tidaknya unsur penghinaan dalam sebuah tuturan dipengaruhi oleh tuturan itu sendiri dan situasi tutur yang melatarbelakanginya, yaitu penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, serta tujuan tuturan. Analisis pengungkapan bukti verbal tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap surat elektronik Prita Mulyasari dilakukan oleh Aryanto (2010) dengan meninjau ilokusi tuturan penghinaan. Dalam analisis tersebut, Aryanto menemukan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan (Brown dan Levinson, 1996) dan menemukan maksud penutur dengan menggunakan teori
13
fungsi tindak tutur bahasa (Searle, 1976). Penelitian yang dilakukan oleh Aryanto (2010) tersebut menekankan kepada kebermaknaan interaksi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur, tetapi belum menyentuh bentuk, makna, dan fungsi pada masing-masing satuan lingual yang terdapat dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Sebagai hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa penutur sering menggunakan ungkapan yang mengancam muka lembaga atau orang yang dikritik dengan melakukan tindak tutur secara apa adanya dan tanpa basa-basi (baldly, without redress). Walaupun begitu, penutur juga menggunakan strategi kesantunan untuk memitigasi keterancaman RS Omni Internasional dengan menulis inisial nama tenaga kesehatan yang dimaksud untuk mengaburkan identitas. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa penutur hanya ingin menulis pengalaman yang ia alami dan ingin menunjukkan ekspresi kekecewaan terhadap RS Omni Internasional. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan tindak tutur representatif dan tindak tutur ekspresif yang dominan ditemukan dalam data. Gambaran tentang kebermaknaan informasi dalam tuturan di media sosial bagi penutur dan lawan tutur dilihat dari pematuhan prinsip kerja sama (Grice, 1975). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2012) terhadap percakapan di media sosial Twitter, ditemukan bahwa pelanggaran terhadap prinsip kerja sama lebih banyak terjadi daripada pematuhan. Permatasari (2012) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa Twitter berfungsi sebagai sarana untuk berinteraksi di dunia maya sehingga penggunaan kata-kata makian, huruf kapital, dan bentuk sapaan berkonotasi negatif yang digunakan oleh para pengguna Twitter berfungsi untuk menunjukkan tingkat keakraban di antara penggunanya.
14
Penelitian yang dilakukan oleh Günthner (2011) terhadap remaja imigran di Jerman yang berasal dari Turki, Yogoslavia, Iran, Irak, Libanon, dan Maroko juga menyatakan demikian. Hasil penelitian itu menjelaskan bahwa tuturan penghinaan yang diucapkan dalam situasi informal dalam lingkungan remaja imigran tersebut bertujuan untuk membentuk rasa memiliki satu dengan yang lain sekaligus berbagi identitas. Penelitian Permatasari (2012) dan Günthner (2011) di atas menunjukkan bahwa keberadaan partisipan, konteks tuturan, dan maksud penutur sangat berperan penting dalam interpretasi sebuah tuturan. Sangat penting untuk mengetahui bagaimana tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik disampaikan, diterima, dan diinterpretasi dalam konteks komunikasi sosial. Lee (2012) meneliti hubungan antara ke-eksplisitan sebuah tuturan penghinaan terhadap persepsi objek penghinaan dengan menggunakan sistem kode CCSARP (Cross-cultural Study of Speech Act Realization Project) dari Blum-Kulka et al. (1989) yang sebelumnya digunakan untuk menganalisis tindak tutur meminta. Tuturan pencemaran nama baik disajikan berdasarkan tingkat kelangsungannya (degrees of directness), yaitu: 1) langsung yang mengandung fakta, meliputi pernyataan yang tegas (emphatic assertion) dan pernyataan sederhana (plain assertion); 2) tak langsung bersifat konvensional yang mengandung opini, meliputi pernyataan disertai pemagaran (hedged statement), bahasa laporan (reported speech), dan bahasa figuratif (figurative speech); 3) tak langsung tak konvensional, meliputi isyarat yang kuat dan sindiran yang tersamar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tuturan dalam bentuk bahasa figuratif dirasakan oleh penutur mengandung tingkat penghinaan dan
15
pencemaran nama baik yang paling tinggi. Temuan Lee (2012) dalam penelitinnya memberi masukan kepada penelitian ini bahwa penggunaan bahasa figuratif sangat berpengaruh terhadap munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Penggunaan bahasa figuratif, seperti metafora, terdengar lebih sarkastik dan sinis daripada tuturan dalam bentuk pernyataan yang tegas atau pernyataan sederhana. Sebaliknya, tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang berupa sindiran memiliki tingkat ke-eksplisitan yang paling rendah di antara bentuk-bentuk lainnya. Tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang berupa sindiran memiliki makna non-literal yang muatan penghinaannya hanya dapat dimengerti oleh kalangan tertentu, yaitu penutur dan objek penghinaan. Durant (1996) melakukan penelitian tentang interpretasi sindiran dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik secara tertulis atau libel yang terjadi di Inggris. Menurut Durant (1996), tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang berupa sindiran membutuhkan the ordinary reader test, yaitu interpretasi yang dilakukan oleh objek penghinaan yang memiliki pengetahuan tentang latar belakang mengapa penutur menggunakan sindiran dan pola-pola yang umum tentang penggunaan sindiran. The ordinary reader test dilakukan karena tuturan penghinaan yang berupa sindiran tidak hanya membutuhkan interpretasi berdasarkan makna frasa di dalam konteks karena sindiran memiliki makna nonliteral sehingga bisa juga diungkapkan dengan yang sopan, cerdik, dan menggunakan eufimisme. Untuk membantu interpretasi tuturan penghinaan yang berupa sindiran, Durant (1996) juga menyebarkan kuesioner kepada sejumlah
16
orang dengan pertanyaan tentang pola terjadinya kata atau frasa yang digunakan dalam sindiran, meliput sinonim, komentar tentang perbaikan, konsep dari bahasa yang kognat, skala semantis, atau makna kontrastif. Penelitian yang dilakukan oleh Durant (1996) menawarkan alternatif berupa metode analisis yang berbeda dalam menghadapi tuturan penghinaan yang diungkapkan dengan cara yang berbeda, yaitu menyindir. Amplayo dan Ipong (tanpa tahun) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mendeteksi tuturan penghinaan di media sosial ditinjau dari kajian Natural Language Processing (NLP). Salah satu dasar pendeteksian dalam penelitian tersebut menggunakan Lexical and Syntactic Features (LSF) yang menyeleksi kata atau frasa yang tidak senonoh yang menggunakan makna peyoratif, kasar, dan makna cabul dan susunan sintaktik yang menyerang, seperti: 1) celaan yang digunakan secara general untuk menertawakan, 2) bereferen pada disabilitas seseorang, 3) bahasa yang jorok yang menyerang seksualitas seseorang, 4) cercaan yang menjadikan budaya dan etnisitas sebagai target, 5) menyerang homoseksual, 6) menyinggung ras, 7) menyinggung agama atau ideologi seseorang, 8) ekspresi yang mempermalukan seseorang, terutama bereferen pada perkara seks, 9) ekspresi yang memiliki makna yang menyerang, 10) bahasa provokatif yang membakar amarah dan kekerasan, 11) bahasa tabu yang terlarang dalam masyarakat, dan 12) bahasa yang kasar dan kurang sopan. Aplikasi sebagai temuan penelitian Amplayo dan Ipong (tanpa tahun) dapat mendeteksi tuturan penghinaan di media sosial dengan cepat dibandingkan dengan cara manual. Namun, kriteria tentang penghinaan yang dimaksud dalam penelitian tersebut
17
hanya terbatas kepada penggunaan bahasa yang bermakna peyoratif sehingga tidak mencakup tuturan penghinaan berupa kata atau frasa yang bermakna denotatif dan kalimat yang panjang dan kompleks. Hasil temuan Ibáñez (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Identifying Sarcasm in Twitter: A Closer Look justru berbeda dengan Amplayo dan Ipong (tanpa tahun). Sebagai kesimpulan penelitiannya, Ibáñez (2011) meyatakan bahwa identifikasi gaya bahasa sarkasme merupakan tugas yang sulit dilakukan, baik oleh machine learning methods maupun oleh manusia. Hal tersebut disebabkan minimnya
faktor
pragmatis
berupa
emoticon
(gambar
wajah
yang
mengekspresikan emosi penutur di media sosial) yang disediakan secara kasat mata di media sosial, sedangkan faktor-faktor pragmatis yang lain yang berhubungan dengan pemakaian bahasa di dalam konteks tidak dapat dideteksi dengan
machine
learning
methods.
Temuan
penelitian
Ibáñez
(2011)
menunjukkan bahwa keterlibatan faktor-faktor pragmatis yang menyertai tuturan amat penting artinya bagi analisis pemakaian bahasa dalam konteks. Dari pemaparan tentang penelitian-penelitian di atas, belum ada penelitian yang mengkaji tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia di media sosial. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini berfokus kepada tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang ditulis di media sosial yang penuturnya dilaporkan oleh objek penghinaan ke pihak kepolisian karena diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Perbedaan selanjutnya adalah terletak dalam bahasa yang digunakan. Penelitian ini dikhususkan pada tuturan
18
penghinaan dan pencemaran nama baik yang diujarkan dalam bahasa Indonesia. Analisis yang dilakukan di dalam penelitian ini menyangkut bentuk-bentuk dan variasi ekspresi dalam tuturan, serta faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial.
1.7 Landasan Teori Dalam menjelaskan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial, peneliti harus memahami teori-teori yang relevan dengan penelitian. Teori-teori yang dijadikan rujukan dalam menghasilkan temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.7.1 Tuturan Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik sebagai Bentuk Kekerasan Verbal Kata menghina bermakna 1) ‘merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting’; dan 2) ‘memburukkan nama baik orang; menyakiti hati (spt memaki-maki, menistakan)’ (KBBI, 2008:524). Neu (2008:3) mendefinisikan penghinaan sebagai tuturan atau tingkah laku yang dilakukan dengan maksud melukai rasa hormat terhadap diri. Penghinaan tidak menimbulkan luka fisik, melainkan lebih berakibat kepada mental dan moral seseorang. Menghina merupakan salah satu tindakan tutur yang berwujud kekerasan verbal, yaitu kekerasan yang menggunakan simbol verbal (bahasa) dan merupakan bagian dari kekerasan simbolik (symbolic violence) (Baryadi, 2012:64). Kekerasan verbal didefinisikan oleh Simpen (2011:9) sebagai tindakan berbahasa
19
yang menyebabkan tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain, kekhawatiran orang lain, ketakutan orang lain, atau terancamnya orang lain. Seseorang yang mengucapkan kata-kata yang menghina orang lain tidak sekadar menyampaikan simbol-simbol verbal yang memiliki muatan penghinaan, melainkan ia juga telah melakukan tindakan penghinaan. Seperti yang dikatakan Austin (1962), bahwa pada dasarnya saat seseorang mengatakan sesuatu, ia juga melakukan sesuatu. Tindakan penghinaan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan verbal, yaitu tindakan yang diwujudkan dalam kata-kata. Dengan demikian, tindak tutur menghina merupakan bentuk tindakan, sedangkan tuturan penghinaan merupakan produk tindak verbal. Pendapat ini sejalan dengan komponen tindak tutur (Leech, 1983:14). Kekerasan verbal juga diwujudkan dalam tindakan tutur yang lain, seperti memaki, membentak, mengancam, menghujat, mengejek, melecehkan, menjelek-jelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasi, mengintimidasi, menakutnakuti, memaksa, menghasut, dan membuat orang lain malu. Berdasarkan jenis muatan penghinaan, tuturan penghinaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fitnah (defamation) dan tuturan kebencian (hate speech) (Wolfson, 1997:63-64; Clare, 2012:6). Hate speech juga disebut dengan racist speech atau racial slurs (tuturan penghinaan terhadap ras). Bila dianalisis dengan teori tindak tutur (speech acts) Austin (1962), tuturan fitnah dan tuturan kebencian memiliki kesamaan perlokusi, yaitu mengakibatkan rasa terhina, rendah diri, dan gangguan psikologis yang dialami oleh objek penghinaan. Akan tetapi, fitnah dan tuturan kebencian memiliki perbedaan perihal lokusi dan ilokusinya.
20
Lokusi fitnah adalah tuturan yang berisi tentang fakta yang keliru yang ditujukan kepada seseorang secara spesifik; sedangkan lokusi tuturan kebencian adalah tuturan yang berisi tentang fakta yang benar yang ditujukan untuk sekelompok ras tertentu, seperti kata-kata tabu dan bahasa yang menyerang. Sementara itu, ilokusi fitnah adalah membahayakan reputasi seseorang, sedangkan ilokusi tuturan kebencian adalah mengintimidasi dan memosisikan seseorang dalam posisi inferior atau kehilangan kekuatan (loss of power). Hedger (2012) berupaya untuk membedakan tuturan penghinaan terhadap ras dengan tuturan yang bersifat netral. Analisis tersebut didasarkan pada kerangka semantic content Kaplan (2005) yang membagi tuturan menjadi dua, yaitu descriptive semantic content dan expressive semantic content. Menurut Hedger (2012:76), tuturan yang bersifat netral merupakan perwujudan dari descriptive semantic content, yaitu tuturan yang berisi tentang deskripsi terhadp diri seseorang dengan cara tertentu yang muatannya dapat benar atau salah. Di pihak lain, expressive semantic content berisi tuturan yang disampaikan dengan tujuan
untuk
mempertunjukkan
ketidaksukaan
penghinaan, tetapi di dalam tuturan tersebut
penutur
terhadap
objek penghinaan
objek tidak
dideskripsikan secara keseluruhan. Distingsi yang diciptakan oleh Hedger (2012) ini mengelompokkan tuturan penghinaan terhadap ras ke dalam tuturan ekspresif. Padahal, maksud penutur dan muatan tuturan yang terdapat di dalam tuturan penghinaan terhadap ras berbeda dengan tuturan ekspresif pada umumnya. Oleh karena itu, distingsi yang dibuat oleh Hedger (2012) ini disempurnakan oleh Croom (2013, 2014:227-242) dengan
21
memisahkan antara tuturan penghinaan terhadap ras dari tuturan ekspresif. Dalam analisisnya, Croom memberikan contoh tuturan berikut ini, yakni contoh (2) sebagai tuturan deskriptif, contoh (3) sebagai tuturan ekspresif, dan contoh (4) sebagai tuturan penghinaan terhadap ras.
(2) S is an African American. ‘S adalah seorang Afro-Amerika’. (3) S is a fucker. ‘S adalah seorang sundal’. (4) S is a nigger. ‘S adalah seorang negro’.
Tuturan deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi fitur-fitur objek, individu, dan kelompok berdasarkan ras dalam istilah yang netral dan tidak terkontaminasi oleh pandangan subjektif. Istilah African American ‘AfroAmerika’ pada contoh (2) merupakan istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang merupakan hasil perkawinan campur antara ras Afrika dan Amerika. Sementara itu, contoh (3) yang merupakan tuturan ekspresif digunakan untuk mengekspresikan perasaan, perspektif, dan emosi penutur berupa kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap S, tetapi tanpa mendeskripsikan fiturfitur yang ada pada S. Contoh (4) merupakan tuturan penghinaan terhadap ras yang di dalamnya penutur mengidentifikasi fitur-fitur sesuatu, seseorang, atau sebuah kelompok. Dari penjelasan Croom tersebut, dapat disimpulkan bahwa tuturan deskriptif merupakan tuturan yang netral sehingga tidak mencerminkan unsur-unsur emosi penutur. Sebaliknya, tuturan ekspresif dan tuturan penghinaan
22
terhadap ras melibatkan subjektivitas penutur yang bila berupa emosi negatif dapat mengandung muatan penghinaan terhadap orang lain. Neu
(2008:4)
menyatakan
bahwa
penghinaan
digunakan
untuk
menunjukkan superioritas dan dominasi. Pendapat ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Baryadi (2012) bahwa kekerasan verbal digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menunjukkan dominasi terhadap kelompok minoritas dengan melakukan hegemoni. Sebaliknya, kekerasan verbal yang dilakukan oleh kelompok minoritas terhadap kelompok minoritas merupakan wujud perlawanan kelompok minoritas terhadap dominasi yang dimiliki oleh kelompok mayoritas. Kekerasan verbal sebagai perlawanan kelompok minoritas tersebut dilakukan dengan tidak terang-terangan, seperti menyindir. Lebih lanjut Clare (2012:6) menekankan bahwa tuturan kebencian merupakan salah satu bentuk penghinaan yang diucapkan oleh kelompok superior untuk semua anggota dalam sebuah kelompok inferior. Dengan tuturan kebencian, kelompok superior berusaha menegaskan pandangannya terhadap kelompok inferior sebagai fakta objektif. Conley (2010:3) menyatakan pandangannya secara lebih luas, yakni bahwa dalam tuturan penghinaan, hubungan antara penutur dan objek penghinaan dapat berupa hubungan horizontal dan hubungan vertikal. Hubungan horizontal terjadi bila penutur dan objek penghinaan memiliki derajat yang sama, sedangkan hubungan vertikal terjadi bila penghinaan dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelompok superior kepada inferior, atau sebaliknya.
23
1.7.2 Makna dalam Pilihan Kata Sesuai dengan ilokusi penutur dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik, yakni merendahkan objek penghinaan, bentuk-bentuk bahasa yang dipilih oleh penutur dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik digunakan untuk menunjukkan memuncaknya emosi penutur (Shuy, 2010:37). Oleh karena itu, satuan kebahasaan yang dipilih menunjukkan adanya arti tambahan berupa perasaan atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Dengan kata lain, bentuk-bentuk bahasa yang dipilih mengandung makna konotatif sebagai akibat dari hubungan sosial atau hubungan interpersonal yang mempertalikan penutur dengan objek penghinaan (Keraf, 2007:27-28; 129). Bila dikaitkan dengan hubungan langsung tidaknya makna dengan referen yang diacu, lebih lanjut Keraf (2007:27) menjelaskan bahwa penggunaan gaya bahasa yang telah menyimpang dari makna dasarnya mengalami penyimpangan secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, baik berupa ejaan, pembentukan kata, konstruksi satuan kebahasaan, atau aplikasi sebuah istilah. Dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik, penggunaan gaya bahasa tidak lain bertujuan untuk mencapai fungsi-fungsi tertentu yang selaras dengan maksud penutur, yaitu untuk merendahkan objek penghinaan. Analisis tuturan penghinaan sebagai barang bukti kebahasaan dalam kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di Amerika Serikat dilakukan dengan memperhatikan gaya bahasa dalam tuturan penghinaan, seperti penggunaan bahasa yang jahat, antara lain berupa sarkasme, bentuk-bentuk peyoratif, melebihlebihkan, dan pertanyaan retoris (Shuy, 2010:31). Sebagai bentuk penyimpangan
24
aplikasi sebuah istilah, gaya bahasa yang digunakan dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik berupa bentuk peyoratif, sarkasme, dan bentuk yang berlebih-lebihan. Bentuk peyoratif memiliki konotasi makna yang negatif yang digunakan oleh penutur dalam mendeskripsikan konsep yang spesifik sehingga mengandung nilai-nilai emosional yang dapat mewakili ketidaksukaan penutur kepada objek penghinaan. Sementara itu, sarkasme bereferen kepada ejekan yang tajam yang ditujukan untuk objek penghinaan. Adapun bentuk berlebih-lebihan mengisyaratkan penekanan terhadap tingkat keabnormalan sebagai petunjuk adanya muatan emosi yang tinggi di dalam tuturan. Penggunaan kalimat retoris merupakan penyimpangan modus kalimat dari fungsi komunikatifnya dan digunakan untuk meyakinkan lawan tutur terhadap tuturan penutur tanpa mengundang respon dari lawan tutur berupa jawaban. Sementara itu, penyimpangan bahasa berupa penggunaan ejaan ditemui dalam penggunaan kutipan atau tanda baca yang mengiringi sarkasme menunjukkan tingginya emosi penutur.
1.7.3 Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik dalam Undang-undang Dalam perundangan di Inggris dan Amerika Serikat, penghinaan disebut dengan defamation. Penghinaan yang dilakukan secara tertulis, seperti dalam buku, surat kabar, majalah, pesan elektronik, surat, atau memo disebut sebagai libel, sedangkan penghinaan yang dilakukan secara lisan, seperti dalam pidato, khotbah, atau presentasi publik lainnya, disebut sebagai slander (Shuy, 2010: 1213). Sementara itu, di Indonesia istilah “penghinaan” digunakan untuk keduanya,
25
baik untuk tuturan yang dihasilkan secara tertulis maupun secara lisan, karena istilah mengenai konsep tersebut belum tersedia. Di Indonesia, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bunyi perundangan tersebut adalah sebagai berikut. ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” (Pasal 45 ayat (1) UU ITE)
Unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam tuduhan melakukan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial berdasarkan bunyi perundangan di atas adalah sebagai berikut: 1) unsur kesengajaan dan tanpa hak, 2) unsur mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik, dan 3) unsur muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dari ketiga unsur tersebut, unsur yang dapat dianalisis dengan kajian linguistik adalah unsur muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang ada dalam tuturan. Analisis mengenai unsur ada atau tidaknya
26
unsur muatan penghinaan dan pencemaran nama baik di dalam tuturan dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui definisi “penghinaan” yang dikehendaki oleh perundangan. Namun, di dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, istilah “penghinaan” tidak dijelaskan secara rinci. Pasal tersebut hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam UU ITE yang merupakan perundangan yang baru dibuat karena ada unsur tambahan di bidang elektronik atau cyber yang memiliki karakteristik yang sangat khusus. Seperti yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Bab XVI tentang Penghinaan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Definisi “penghinaan dan pencemaran nama baik” yang dimaksud dalam Pasal 27 UU ITE terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut. “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. (Pasal 310 ayat (1) KUHP)
Seperti yang dikemukakan oleh Lamintang dan Samosir (1985:187), yang diatur dalam Pasal 310 KUHP ayat (1) adalah perbuatan menista dengan lisan atau tertulis. Definisi “penghinaan” menurut Pasal 310 ayat (1) KUHP harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) dilakukan dengan kesengajaan, 2)
27
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, dan 3) supaya diketahui umum. Unsur yang kedua, yaitu “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal” merupakan salah satu definisi penghinaan yang dapat dianalisis dengan kajian linguistik. Definisi “penghinaan” yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP menimbulkan banyak penafsiran di kalangan ahli hukum. Di dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 1269/PID.B/2009/PN.TNG tentang terdakwa Prita Mulyasari dijelaskan mengenai definisi “kehormatan” yang ada dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, yaitu jati diri seseorang sebagai manusia, sedangkan “nama baik” didefinisikan sebagai jati diri seseorang dalam sosial. Perbedaan antara “kehormatan” dan “nama baik” terletak pada sasaran dan efek yang ditimbulkan pada diri objek penghinaan. Bila seseorang dihina dengan tuturan yang merendahkan dirinya sebagai manusia, maka tuturan tersebut dikatakan menyerang kehormatan seseorang. Namun, apabila seseorang dihina dengan tuturan yang membahayakan reputasinya di dalam pergaulan, maka tuturan tersebut menyerang nama baik seseorang. Penjelasan di atas diperjelas oleh pendapat Soesilo (1991:66) yang menyatakan bahwa yang dimaksud “kehormatan” dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam arti seksual. Di luar pendapat yang dipaparkan sebelumnya, berdasarkan pendapat Noyon-Langenmeiyer, Adjie (1956:22) via Lamitang dan Samosir (1985) mengatakan bahwa arti dan isi baru mengenai kata-kata “kehormatan dan nama baik” di dalam pasal-pasal penghinaan
28
di dalam KUHP menjadi tugas hakim karena definisi tentang “kehormatan dan nama baik” berbeda pada setiap zaman, lingkungan, dan keadaan. Sebuah tuturan disimpulkan bersifat menghina atau tidak adalah kesimpulan juridis (Lamintang dan Samosir, 1985:189).
1.7.4 Media Sosial Definisi yang diberikan oleh Kaplan dan Haenlein (2009:60-61) tentang media sosial mempersyaratkan bertemunya dua konsep, yaitu Web 2.0 and User Generated Content (UGC). Web 2.0 adalah istilah yang pertama kali digunakan pada tahun 2004 untuk menggambarkan cara baru di dalam pembangun piranti lunak dan pengguna internet memulai untuk menggunakan the World Wide Web (www). Penggunaan the World Wide Web (www) merupakan platform untuk konten dan aplikasi yang tidak lagi diciptakan dan dipublikasikan oleh perorangan, melainkan juga secara berkesinambungan dimodifikasi oleh seluruh pengguna internet untuk ikut ambil bagian dan berkolaborasi. Adapun User Generated Content (UGC) adalah berbagai bentuk konten yang diciptakan oleh pengguna internet dalam sistem online. Media sosial memungkinkan penggunanya untuk ikut menciptakan konten dan menyebarkannya kepada sesama pengguna yang lain di seluruh dunia (Ruzic, 2009:256;290). Unsur demokratis yang terdapat di dalam media sosial tersebut menggeser paradigma lama berupa komunikasi searah dan monolog, yakni dari satu penyebar ke banyak penerima, menjadi komunikasi dialog, yakni dari banyak penyebar ke banyak penerima. Dengan media sosial, sekelompok orang dengan
29
minat yang sama dapat terhubung antara satu dengan yang lain untuk belajar, bekerja, berorganisasi, dan bersosialisasi. Kaplan dan Haenlein (2009:62-64) membedakan media sosial berdasarkan partisipasi para penggunanya. Kolaborasi antarpengguna di media sosial diwujudkan dengan diizinkannya pengguna untuk mengkreasikan konten dengan kebersamaan dan simultansi, yakni menambah, mengurangi, atau menghapus konten, seperti dalam laman Wikipedia. Lewat media sosial blog, pengguna dapat menciptakan konten yang merepresentasikan minat dan keahliannya, sekaligus juga membuka kesempatan bagi pengguna yang lain untuk berinteraksi melalui komentar yang ditambahkan. Jenis media sosial yang lain, yaitu jejaring sosial, memungkinkan untuk menghubungkan antarpengguna dengan membuat informasi pribadi, seperti foto, video, audio, dan blog, mengundang teman dan kolega untuk mengakses profil tersebut, dan berkirim surat elektronik dan pesan instan. Komunitas konten yang memungkinkan penggunanya berbagi konten, seperti BookCrossing untuk berbagi buku, Flickr untuk berbagi foto, YouTube untuk berbagi video, dan Slideshare untuk berbagi presentasi power point. Ada pula media sosial yang mereplikasi penggunanya ke dalam bentuk tiga dimensi seolaholah benar-benar hidup seperti dalam dunia nyata, seperti game online dan virtual social world. Tersedianya kesempatan yang luas bagi pengguna media sosial untuk menjadi pencipta sekaligus penyebar konten menyebabkan mereka merasa memenuhi kualifikasi untuk menjadi pakar dalam berbagai topik (Elkin, 2000:10). Hal ini mengakibatkan tersebarnya sejumlah informasi yang tidak terverifikasi
30
kebenarannya. Kebanyakan sumber tersebut menawarkan sumber anonim dan alamat yang tak dikenal yang menyembunyikan identitas yang sesungguhnya. Hal tersebut berbeda dengan informasi dari media konvensional yang berasal dari satu sumber dan melalui proses penyeleksian. Oleh karena itu, kontrol dalam media sosial dimiliki oleh masing-masing pengguna untuk menyeleksi konten apa saja yang sebaiknya ia sebarkan di media sosial. Pengguna yang menyebarkan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik sedang kehilangan kontrol atas dirinya sehingga tidak dapat menyeleksi konten sebelum menulis konten di media sosial. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh suasana konflik yang dialami oleh penutur sehingga ia memilih kata-kata tertentu yang mencerminkan keadaan kejiwaannya saat itu untuk mewujudkan maksudnya. Secara umum, kasus penghinaan dan pencemaran nama baik yang sampai diproses di pengadilan diawali oleh adanya faktor-faktor tertentu (Sunarso, 2009:183). Pertama, penggunaan bahasa hukum yang tidak relevan. Dalam menuliskan tuturannya di media sosial, penutur menggunakan pilihan kata yang tidak tepat dan tidak rasional, tetapi dilandasi oleh sikap emosional yang tidak terkendalikan. Kedua, adanya komunikasi yang tidak berimbang antara dua pihak, yaitu penutur dan objek penghinaan, untuk menyelesaikan masalah. Ketiga, tidak adanya saluran bagi penutur dan objek penghinaan untuk menemukan komunikasi hukum.
1.7.5 Analisis Heuristik Interpretasi tuturan dengan menggunakan analisis heuristik merupakan salah satu bentuk pemecahan masalah dalam kajian pragmatik yang dikemukakan
31
oleh Leech (1983:40). Analisis heuristik digunakan untuk menginterpretasi tuturan dari segi lawan tutur. Di dalam strategi ini, daya pragmatis tuturan diidentifikasi dengan membentuk hipotesis dan mencocokkan hipotesis tersebut dengan fakta yang tersedia. Upaya pencocokan hipotesis dengan fakta yang tersedia menggunakan prinsip kerja sama menurut Grice, yaitu meliputi maksim kualitas, maksim kuantitas, dan maksim hubungan. Jika tes gagal, hipotesis dibentuk kembali dan keseluruhan proses terus diulang sampai hipotesis cocok dengan fakta yang ada. Analisis heuristik digambarkan dalam bagan 1 di bawah ini.
1. Problem
2. hipotesis
3. cek
4. Interpretasi
Tes berhasil
Tes gagal
Gambar 1. Bagan Analisis Heuristik
Sesuai dengan tujuan pemecahan masalah, interpretasi tuturan dapat disimpulkan dengan mencocokkan antara hipotesis dengan fakta yang ada. Tahaptahap analisis dijelaskan di bawah ini dengan (n) merupakan penutur, (t) merupakan lawan tutur, dan (T) merupakan tuturan.
(a) n berkata kepada t (bahwa T) (b) n bermaksud [t agar mengetahui (bahwa T)]
32
(c) n yakin (bahwa T)
(maksim kualitas)
(d) n yakin [bahwa t belum mengetahui (bahwa T)] (maksim kuantitas) (e) n yakin {bahwa perlu [t mengetahui (bahwa T)]} (maksim hubungan) Hasil analisis terhadap hipotesis dalam strategi heuristik adalah sebagai berikut: 1) apabila prosedur dalam (a)-(e) sesuai, maka hipotesis benar; 2) apabila (c) tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka penutur berbohong sehingga melanggar maksim kualitas; 3) apabila (d) tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka penutur memberi informasi yang tidak bernilai kepada lawan tutur sehingga melanggar maksim kuantitas; dan 4) apabila (e) tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka penutur menuturkan sesuatu yang tidak relevan dengan situasi sehingga melanggar maksim hubungan. Ketidaksesuaian tuturan dengan fakta yang ada menunjukkan adanya implikatur tuturan atau maksud lain penutur yang terkandung dalam tuturan (Leech, 1983:42). Dalam penelitian ini, tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dianalisis dengan strategi heuristik untuk menemukan implikatur yang menandakan adanya tuturan atau maksud lain penutur dalam menuturkan sebuah tuturan. Pelanggaran terhadap maksim-maksim dalam prinsip kerja sama dijadikan penentu dalam pemerian wujud tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik berdasarkan daya pragmatisnya. Penerapan strategi heuristik dalam analisis tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dijelaskan sebagai berikut. Pertama, tuturan yang sesuai dengan prosedur dalam (a)-(e) menunjukkan bahwa tuturan tidak mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik. Ketiadaan unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam tuturan berkaitan
33
dengan tidak ditemukannya implikatur atau maksud lain penutur saat mengujarkan sebuah tuturan. Hal tersebut dikarenakan penutur menggunakan tindak tutur langsung dalam tuturan, yakni modus tuturan yang digunakan sesuai dengan fungsi komunikatifnya. Dalam tindak tutur langsung, kalimat deklaratif digunakan untuk memberi informasi kepada lawan tutur, kalimat interogatif digunakan untuk bertanya kepada lawan tutur, kalimat imperatif digunakan untuk memerintah
lawan
tutur,
dan
kalimat
eksklamatif
digunakan
untuk
mengungkapkan kekaguman atau keheranan kepada lawan tutur. Kedua, apabila (c) tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka tuturan yang diujarkan mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik berwujud tuduhan. Dalam hasil temuan ini, penutur mengatakan hal yang tidak sebenarnya sehingga melanggar maksim kualitas. Maksim kualitas mensyaratkan penutur untuk memberikan kontribusi yang benar sehingga penutur dilarang untuk memberi kontribusi yang salah dan memiliki bukti yang tidak cukup (Yule, 1996:37). Menurut KBBI (2008:1552-1553), menuduh adalah menunjuk dan mengatakan bahwa seseorang berbuat kurang baik atau melanggar hukum. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada dalam sebuah tuduhan adalah: 1) yang dituduhkan berupa perbuatan kurang baik atau melanggar hukum, 2) kebenaran atau ketidakbenaran tuduhan bersifat mutlak dan tidak relatif, dan 3) kebenaran atau ketidakbenaran tuduhan harus disertai dengan bukti yang cukup. Ketiga, apabila (d) tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka tuturan yang diujarkan oleh penutur mengandung unsur penghinaan dan pencemaran
34
nama baik berwujud ejekan. Penutur melanggar maksim kuantitas karena memberi informasi yang tidak bernilai kepada lawan tutur. Ketidakbernilaian informasi dilihat dari telah diketahuinya informasi yang terkandung di dalam tuturan oleh lawan tutur. Maksim kuantitas mensyaratkan penutur untuk memberi kontribusi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh lawan tutur dan melarang penutur untuk memberi kontribusi lebih dari yang dibutuhkan oleh lawan tutur (Yule, 1996:37). Dengan demikian, tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik disebut ejekan karena tuturan tersebut berisi tentang kenyataan yang telah diketahui bersama, baik oleh penutur maupun lawan tutur. Keempat, apabila (e) tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka tuturan yang diujarkan mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik berwujud celaan. Hal tersebut dikarenakan tuturan yang disampaikan oleh penutur tidak relevan dengan situasi sehingga penutur melanggar maksim hubungan. Celaan adalah perkataan yang keji dan kotor yang diucapkan karena marah, jengkel, dan kecewa (KBBI, 2008:1558). Perkataan yang keji dan kotor bereferen pada sesuatu di luar topik tuturan yang sedang diperbincangkan sehingga menunjukkan ketidaksesuaian.
1.7.6 Teori SPEAKING Dalam tulisannya yang berjudul Models of Interaction of Language and Social Life, Hymes (1974) via Wijana dan Rohmadi (2006) menyatakan adanya delapan komponen yang dianggap berpengaruh terhadap pemilihan kode dalam bertutur atau component of speech. Delapan komponen tutur tersebut, yaitu setting
35
and scene, participants, ends, act of sequence, keys, instruments, norms, dan genre. diakronimkan menjadi SPEAKING. Penjelasan komponen tutur tersebut adalah sebagai berikut. 1. Setting and scene (S) mengacu pada latar waktu dan tempat terjadinya peristiwa tutur, sedangkan scene mengacu pada situasi psikologis yang abstrak atau situasi budaya pada saat itu. 2. Participants (P) adalah peserta tutur yang mencakup penutur dan lawan tutur dalam sebuah ujaran. Latar belakang dan hubungan antara penutur dan lawan tutur mempengaruhi tuturan yang berlangsung antara keduanya. 3. Ends (E) adalah tujuan (goal) atau maksud (purpose) pembicaraan. 4. Act of sequence (A) yaitu urutan peristiwa saat penutur sedang melakukan pembicaraan. 5. Key (K) merujuk pada nada, ekspresi, atau cara bagaimana pesan disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur. 6. Instrument (I) yaitu alat yang digunakan untuk menyampaikan tuturan. 7. Norms (N) yaitu norma mengacu pada perilaku kesopanan yang ada pada suatu tuturan. 8. Genre (G) yaitu jenis atau tipe ujaran dalam situasi tutur. Perbedaan genre akan mempengaruhi ungkapan penuturnya.
1.8 Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena
36
yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga menghasilkan catatan berupa pemerian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993:62). Penelitian ini memerikan data bahasa berdasarkan jenisnya, bukan berdasarkan jumlah. Metode penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan metode simak, yakni cara yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa. Adapun teknik yang digunakan adalah teknik sadap, yaitu dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Mahsun, 2006:90-91; Kesuma, 2007:43). Dalam hal ini penyadapan dilakukan terhadap penggunaan bahasa secara tertulis. Data yang dikumpulkan oleh peneliti berasal dari internet, baik berupa artikel dalam blog, kutipan status media sosial, ataupun surat elektronik yang dipublikasikan. Data penelitian ini berasal dari tuturan-tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang penuturnya dilaporkan melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Data-data tersebut terdiri dari objek penelitian dan konteksnya, sebagaimana pendapat Sudaryanto (1993:14). Objek penelitian ini berupa kata, kalimat, dan wacana, sedangkan konteks tuturan berisi tentang latar belakang penutur dalam mengujarkan tuturan yang diduga sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik. Selanjutnya, tiap-tiap kasus dari keseluruhan data yang telah terkumpul dicatat oleh peneliti ke dalam kartu data sehingga siap sebagai
37
sebuah transkrip yang siap dideskripsikan. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengidentifikasi tuturan-tuturan yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik dalam setiap kasus. Identifikasi tersebut didasarkan pada munculnya kata-kata atau kalimat dalam tuturan yang melecehkan objek penghinaan yang berpotensi menyulut konflik antara penutur dan objek penghinaan. Selain itu, peneliti juga mencari informasi dari dokumen yang dipercaya, seperti putusan Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan Negeri, yang memuat bagian tuturan tertentu yang diadukan oleh objek penghinaan. Sebagai contoh, data yang berasal dari kasus penghinaan yang melibatkan seorang blogger bernama Benny Handoko dituangkan ke dalam kartu data sebagai berikut.
Kasus 1 Penutur : Benny Handoko Pekerjaan : blogger, kontraktor Mitra tutur : Mohamad Misbakhun Pekerjaan : 1. mantan pegawai pajak 2. mantan anggota DPR RI dari Fraksi PKS (2009-2014) 3. pernah dipenjara satu tahun karena terlibat letter of credit (LC) Bank Century pada tahun 2010, kemudian divonis bebas oleh MA pada 5 Juli 2012. Tuturan : 1. Misbakhun: perampok Bank Century, pembuat akun anonim penyebar fitnah, penyokong PKS, mantan pegawai Pajak di era paling korup. 2. Kok bikin lawakan ga bisa lebih lucu lagi… Misbakhun kan termasuk yang ikut “ngerampok” Bank Century… Aya aya wae… Waktu : 12 Agustus 2012 Tempat : via akun Twitter (@benhan) Konteks : Benny Handoko dalam akun Twitternya (@benhan) berdebat dengan pengguna Twitter lainnya, yaitu @TrioMacan2000 dan @ovili, tentang siapa sebenarnya dalang kasus Bank Century. Perundangan :Pasal 27 ayat 3 jo 45 ayat 1 UU ITE Vonis :Dituntut 6 tahun penjara (sedang dalam proses persidangan)
Gambar 2. Contoh Kartu Data
38
1.8.2 Metode Analisis Data Setelah semua data dirangkum dalam kartu data, tiap-tiap data dianalisis bentuk-bentuk dan variasi ekspresinya, serta faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Tahap-tahap analisis tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik adalah sebagai berikut. Pertama, analisis bentuk-bentuk tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik bertujuan untuk mengklasifikasi tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik berdasarkan jenis kalimatnya, serta menganalisis makna dan gaya bahasa yang menyebabkan terciptanya unsur penghinaan dan pencemaran nama baik. Analisis untuk menentukan jenis kalimat dilakukan dengan metode padan referensial. Selanjutnya, peneliti menggunakan metode agih yang alat penentunya berdasarkan bahasa tersebut dengan teknik bagi unsur langsung untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993:15-16). Peneliti menentukan satuan lingual yang mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dengan metode padan pragmatis, yaitu dengan menggunakan alat penentu berupa lawan tutur untuk menemukan kaidah. Jenis makna dan gaya bahasa yang mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik ditentukan dengan metode padan referensial. Analisis bentuk-bentuk tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dapat dilihat pada contoh (5) di bawah ini. (5) Kok bikin lawakan ga bisa lebih lucu lagi… Misbakhun kan termasuk yang ikut “ngerampok” Bank Century Konteks: Benny Handoko dalam akun Twitternya (@benhan) berdebat dengan pengguna Twitter lainnya, yaitu @TrioMacan2000 dan @ovili, tentang siapa sebenarnya dalang kasus Bank Century.
39
Dalam contoh (5), kalimat yang melecehkan objek penghinaan adalah Misbakhun kan termasuk yang ikut “ngerampok” Bank Century. Untuk menentukan bentuk tuturan, peneliti menggunakan metode padan referensial. Selanjutnya, peneliti menggunakan teknik bagi unsur langsung sehingga kalimat tersebut terbagi menjadi delapan unsur, yaitu Misbakhun, kan, termasuk, yang, ikut, “ngerampok”, Bank, dan Century. Berdasarkan analisis dengan metode padan pragmatis kepada delapan unsur tersebut, ditemukan unsur yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, yaitu kata “ngerampok”. Selanjutnya, kelas kata unsur “ngerampok” diidentifikasi makna dan gaya bahasanya berdasarkan referen bahasa atau biasa disebut dengan metode padan referensial. Kedua, analisis variasi ekspresi tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik bertujuan untuk menemukan pemerian tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang ditinjau dari segi lawan tutur. Data dianalisis dengan strategi heuristik (Leech, 1983) sebagai bagian dari pemecahan masalah dalam pragmatik yang menggunakan prinsip kerja sama sebagai komponennya. Hasil analisis daya pragmatis tuturan dengan strategi heuristik adalah sebagai berikut: 1) tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang berwujud tuduhan dapat dianalisis dengan maksim kualitas, 2) tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang berwujud ejekan melanggar maksim kuantitas, dan 3) tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang berwujud celaan melanggar maksim hubungan. Ketiga, analisis terhadap faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dilakukan untuk mendeskripsikan
40
bagaimana komponen tutur menyebabkan kemunculan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial. Teori Hymes (1974) tentang komponen tutur SPEAKING digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Delapan komponen tutur itu adalah setting and scene, participants, ends, act sequences, key, instrumentalities, norms, dan genres. Hasil ketiga tahap analisis sesuai dengan langkah-langkah yang diuraikan di atas dituangkan ke dalam tabel 1 di bawah ini.
41
Tabel 1. Hasil Analisis Tuturan Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik dalam Bahasa Indonesia di Media Sosial Contoh (5): Misbakhun kan termasuk yang ikut “ngerampok” Bank Century Konteks : Benny Handoko dalam akun Twitternya (@benhan) berdebat dengan pengguna Twitter lainnya, yaitu @TrioMacan2000 dan @ovili, tentang siapa sebenarnya dalang kasus Bank Century. Analisis Temuan Keterangan Bentuk tuturan Kalimat Unsur penghinaan: deklaratif “ngerampok” Konotasi negatif Mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik karena memiliki nilai rasa negatif dan bertentangan dengan fakta yang ada. Variasi ekspresi Tuduhan Berupa tindakan yang dapat diuji benar dan tidaknya, serta dapat dibuktikan Faktor-faktor yang Participant a. Penutur dan objek menyebabkan penghinaan tidak saling kemunculan mengenal b. Penutur : sebagai perlawanan kepada pejabat yang korup c. Objek penghinaan : merasa terancam posisinya karena tuturan penutur Ends Mengkritik Key Tingginya emosi penutur karena sedang berdebat dengan orang lain Instrumentalities Twitter yang tidak memungkinkan penutur dan lawan tutur bersemuka Norms Tuduhan penutur menyerang integritas objek penghinaan sebagai anggota dewan.
42
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data disajikan dengan metode informal. Dalam metode informal, hasil analisis data disajikan dengan uraian berupa kalimat-kalimat biasa.
1.9 Sistematika Penyajian Penulisan hasil penelitian ini dirancang dan disusun secara sistematis untuk kesempurnaan pencapaian tujuannya. Penelitian ini dirancang ke dalam lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup masalah, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Adapun Bab II berisi tentang deskripsi bentuk-bentuk tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia. Bentuk-bentuk tersebut dianalisis berdasarkan jenis kalimat yang digunakan oleh penutur dan gaya bahasa yang digunakan dalam satuan bahasa yang menyebabkan munculnya unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam tuturan. Bab III berisi tentang deskripsi variasi ekspresi tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Hasil analisis yang disajikan dalam bab ini berupa pemerian variasi ekspresi dalam tuturan yang dianalisis dalam kerangka pragmatik. Sementara itu, bab IV berisi tentang faktorfaktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Pada bab IV tersebut, faktor-faktor yang dideskripsikan tersebut dipilah berdasarkan komponen tutur. Bab terakhir, yaitu bab V merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran penelitian ini.