BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Jumlah TKI di luar negeri mencapai 6.5 juta jiwa yang tersebar di 142 negara
(Nurhayat, 2013). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja internasional khususnya pekerja kasar dan pembantu rumah tangga (PRT) atau pekerja domestik terbesar khususnya di kawasan Asia Tenggara. Fenomena migrasi pekerja Indonesia ke luar negeri, sesungguhnya bukan lagi menjadi persoalan luar biasa. Sejarah mencatat bahwa migrasi penduduk antarnegara di kawasan Asia dan khususnya Asia Tenggara telah berlangsung berabad-abad. Dari tahun ke tahun, arus migrasi tenaga kerja ke luar negeri semakin meningkat termasuk tenaga kerja asal Indonesia sendiri (Haris, 2005). Ada dua faktor yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan pengiriman TKI ke luar negeri. Pertama, makin kompleksnya masalah kependudukan yang terjadi di dalam negeri dengan berbagai implikasi sosial ekonomi, seperti masalah kemiskinan akibat tidak tersedianya lapangan kerja dengan upah yang layak. Kedua, terbukanya kesempatan kerja yang cukup luas dan dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang cukup besar di negara-negara yang relatif kaya, seperti negara-negara Timur Tengah yang kaya akan minyak, dan negara-negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan lainnya. Kesempatan-kesempatan kerja tersebut selain dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang besar, juga
1
menawarkan tingkat penghasilan dan fasilitas yang lebih menarik dibandingkan dengan kesempatan kerja di dalam negeri. Bekerja di luar negeri dapat meningkatkan penghasilan bila dibandingkan dengan teman sejawatnya yang bekerja di tanah air (Nasution, 1999). Kesempatan dan tingkat penghasilan yang lebih baik itulah yang pada dasarnya mendorong pesatnya arus migrasi internasional. Peningkatan arus migrasi oleh TKI disertai pula dengan semakin meningkatnya
permasalahan-permasalahan yang dihadapi TKI. Oleh BNP2TKI,
permasalahan-permasalahan TKI itu terbagi dalam tiga kelompok, yaitu pra penempatan, masa penempatan, dan purna penempatan. TKI yang mengalami permasalahan pada saat pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan oleh BNP2TKI disebut TKI bermasalah. Permasalahan yang dialami oleh para TKI cukup beragam. PHK sepihak, majikan bermasalah, sakit akibat kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, pekerjaan tidak sesuai PK, dokumen tidak lengkap, sakit bawaan, majikan meninggal, lari dari majikan, TKI ingin dipulangkan, TKI gagal berangkat, TKI dalam tahanan, TKI meninggal, kecelakaan kerja, TKI hamil, membawa anak, tidak mampu bekerja, dan komunikasi tidak lancar merupakan masalah teratas yang diadukan pada BNP2TKI sejak tahun 2010 hingga 2013 (BNP2TKI, 2013). BNP2TKI agaknya hanya mengurusi permasalahan yang dihadapi oleh TKI itu sendiri. Padahal kepergian calon TKI yang sudah berkeluarga untuk menjadi TKI juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi keluarganya.
2
Tabel 1.1 Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Status Perkawinan Periode 2011 S.D 2013
Sumber: Pusat Penelitian, Pengembangan dan Informasi (PUSLITFO) BNP2TKI 2013
Data dari BNP2TKI dari tahun 2010 s.d 2013 di atas menunjukkan bahwa prosentase kepergian untuk menjadi TKI dilakukan oleh mereka yang berstatus menikah dengan di atas 60% pada tahun 2010 s.d. 2013. Hal ini sejalan dengan status perkawinan TKI asal Desa Karangrowo. Sebagian besar penduduk asal Desa Karangrowo yang menjadi TKI kebanyakan adalah mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Dari seluruh jumlah warga Desa Karangrowo yang menjadi TKI yakni 154 yang berstatus menikah berjumlah 112 orang atau 72.73% dan sisanya 42 orang atau 27.27% berstatus lajang atau belum menikah. (Data Monografi Desa Karangrowo 2013). Dilihat dari fakta di atas, kecenderungan untuk menjadi TKI terjadi setelah seseorang berkeluarga. Tuntutan ekonomi yang semakin meningkat dan sedikitnya lapangan pekerjaan dengan upah yang layak selalu menjadi alasan klasik yang
3
menjadikan seseorang tergiur untuk berangkat menjadi TKI yang notabene memang dapat menghasilkan uang yang jauh lebih layak daripada di negeri sendiri. Sebagai suatu aktivitas yang tujuan utamanya memperbaiki dan meningkatkan ekonomi keluarga, pengambilan keputusan menjadi TKI juga menimbulkan sejumlah persoalan bagi keluarga yang ditinggalkan. Melalui kajian Bina Keluarga TKI Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2013, pemerintah mulai menyadari bahwa TKI yang bekerja di luar negeri yang meninggalkan keluarganya, rentan terhadap berbagai persoalan khususnya lagi persoalan dalam perlindungan terhadap anak. Dalam hal ini, pihak anaklah paling besar menerima resikonya yang kemudian tidak hanya menjadi tanggungan keluarga melainkan juga negara. Ternyata anak yang ditinggalkan oleh orang tua yang bekerja ke luar negeri sangat berpengaruh terhadap perkembangan anaknya, mereka diasuh dalam waktu yang relatif lama oleh orang tua yang tidak lengkap (bapak atau ibu) atau bahkan diasuh oleh anggota keluarga yang lain seperti kakek, nenek dan anggota keluarga yang lain. Kondisi tersebut merupakan pola asuh yang menyimpang dari kebiasaan pola asuh yang selama ini dilakukan oleh keluarga. (Panduan Umum Bina keluarga TKI Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2010). Hal itulah yang membuat penelitian mengenai pengasuhan anak dalam keluarga TKI ini dirasa penting dan menarik untuk diteliti. Selama ini perhatian pemerintah (pusat dan daerah) maupun media lebih tertuju pada TKI dan persoalan
4
yang mereka alami. Sementara persoalan yang tidak kalah pentingnya yakni pada keluarga yang ditinggalkan di daerah asal khususnya anak seakan kurang bahkan luput dari perhatian. Banyak ahli mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah bagian terpenting dan mendasar untuk menyiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik. Pengasuhan anak merujuk pada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua sebagai pengasuh dengan anak sebagai individu yang diasuh. Interaksi tersebut mencakup beberapa hal seperti, mencukupi kebutuhan anak, mendorong keberhasilan, melindungi, maupun mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat (Wahyuning, 2003). Faktor utama yang mempengaruhi pengasuhan pada anak adalah keutuhan keluarga. Adapun yang dimaksudkan dengan keutuhan keluarga ialah keutuhan dalam struktur keluarga, bahwa dalam keluarga itu adanya ayah di samping adanya ibu dan anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu atau kedua-duanya maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi. Selain keutuhan dalam struktur keluarga dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar dan harmonis (Dagun, 2002). Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengasuhan anak di dalam keluarga yang ideal adalah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibu bekerja sama saling bahu-membahu untuk memberikan asuhan dan pendidikan kepada anaknya. Mereka menyaksikan dan memantau perkembangan anak-anaknya secara optimal.
5
Namun, kondisi tersebut tidak dapat dipertahankan atau diwujudkan dalam setiap keluarga. Hal ini terkait dengan kebutuhan keluarga yang sifatnya berbeda-beda (variatif). Seperti halnya yang terjadi pada keluarga TKI di Desa Karangrowo. Mayoritas penghidupan warga pedesaan berpangkal pada sektor pertanian, tak terkecuali dengan warga Desa Karangrowo. Hal ini tidak terlepas dari kondisi geografis Desa Karangrowo itu sendiri. Dari seluruh luas Desa Karangrowo 669,84 ha, lebih dari setengahnya merupakan lahan pertanian. Akan tetapi, area persawahan yang luas itu tidak dimiliki secara merata. Petani dengan lahan pertanian yang tergolong luas (1,0-5,0 ha), hanya terdiri dari 327 orang. Sementara selebihnya adalah mereka yang memiliki lahan persawahan tidak lebih dari 0,1-1,0 ha atau dapat dikatakan berlahan sempit 1.275 warga. Bagi petani berlahan sempit penghasilan yang diperoleh dari sawah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sementara untuk memenuhi kebutuhan lain seperti biaya kesehatan, mereka harus mencari penghasilan di luar pertanian atau bahkan berhutang. Kondisi yang jauh tidak menguntungkan lagi adalah mereka yang tidak memiliki lahan pertanian dan harus bekerja di lahan orang lain sebagai buruh tani. Upah yang mereka terima hanya berkisar empat puluh ribu rupiah per hari. Jelasnya pendapatan yang diterima itu tidak mampu menutupi kebutuhan hidup keluarga yang makin lama makin kompleks.
6
Sempitnya penguasaan lahan dan upah yang rendah sebagai buruh tani mengkondisikan mayoritas warga Desa Karangrowo berada dalam kemiskinan. Memaksa mereka untuk mencari berbagai alternatif agar keluar dari kondisi yang tidak menguntungkan itu, salah satunya dengan bekerja menjadi TKI ke luar negeri, terutama mereka yang telah berkeluarga dan memiliki anak. Meskipun dengan konsekuensi harus meninggalkan anggota keluarga di rumah, termasuk tanggung jawab dalam mengasuh anak. Anak-anak di Desa Karangrowo yang ditinggalkan oleh salah satu atau kedua orang tuanya bekerja menjadi TKI ke luar negeri umumnya berada pada rentang usia 6-12 tahun. Hal ini dilakukan oleh orang tua mereka yang bekerja menjadi TKI di luar negeri, atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, anak pada usia tersebut dianggap tidak terlalu bergantung pada orang tuanya sendiri terutama pihak ibu, seperti bayi yang masih tergantung pada air susu ibunya. Kedua, anak sudah memasuki masa sekolah. Tentunya makin lama makin besar biaya yang dibutuhkan. Santrock (2007), menjelaskan bahwa usia 6-12 tahun merupakan periode kritis bagi anak. Dikatakan demikian, karena pada usia ini interaksi anak dengan keluarga mengalami penurunan. Sebagai gantinya anak-anak mulai berinteraksi dengan lebih banyak orang di luar keluarga, terutama dengan teman-teman sebayanya. Interaksi anak dengan lebih banyak orang tersebut bisa memajukan atau bahkan memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan anak. Sebagai periode kritis bagi anak itulah, sudah seharusnya anak diberikan pengasuhan yang tepat dan
7
optimal dari kedua orang tua (ayah-ibu). Andayani dan Koentjoro (2004) menyebut bahwa pengasuhan itu sebagai coparenting, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul bersama antara ayah dan ibu. Sudah menjadi kewajiban kedua orang tua (ayah-ibu) untuk memenuhinya yang adalah hak bagi seorang anak untuk mendapatkannya. Kenyataannya hak pengasuhan dari kedua orang tua (ayah-ibu) tidak didapatkan oleh anak-anak TKI di Desa Karangrowo, seiring kepergian salah satu atau kedua orang tua mereka untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri. 1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kondisi sosial ekonomi dari keluarga TKI di Desa Karangrowo? Kemudian yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini yakni bagaimanakah pola pengasuhan anak pada keluarga TKI yang ada di Desa Karangrowo? 1.3
Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi keluarga TKI Desa Karangrowo. 2. Mendeskripsikan pola pengasuhan anak pada keluarga TKI di Desa Karangrowo.
8
1.4
Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian mengenai pengasuhan anak pada keluarga TKI ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada khalayak pada umumnya dan pihak-pihak yang terkait pada khususnya seperti keluarga dari TKI sendiri kemudian pemerintah pusat, daerah, dan desa setempat agar lebih perhatian dan peduli terhadap persoalan yang dialami oleh anak-anak TKI dan ikut andil dalam memberikan solusi untuk meminimalisir persoalan yang dialami keluarga TKI khususnya persoalan pengasuhan anak-anak TKI. 1.5
Penegasan Istilah
1.5.1
Pengasuhan Nabuasa (2011) menjelaskan bahwa pengasuhan berarti menjaga, merawat
dan mendidik anak. Pengasuhan anak adalah perilaku yang dilakukan oleh pengasuh dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan kasih sayang dan tanggung jawab orang tua. Seorang ibu merawat dan menjaga janinnya dengan berbagai usaha agar nantinya anak dilahirkan dengan selamat dan sehat. Setelah lahir, seorang anak pun akan tetap dalam perawatan dan penjagaan. Pengasuhan anak pada tahap awal lebih ditekankan pada pengasuhan fisik. Anak diberi asupan gizi yang baik agar anak tumbuh sehat. Seiring dengan bertambahnya usia anak, pengasuhan tidak hanya pada urusan fisik (merawat dan menjaga), melainkan juga pengasuhan dalam hal mendidik anak untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kelompok sosialnya. Soekirman (2000) menjelaskan bahwa pengasuhan adalah asuhan yang
9
diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, menberi kasih sayang, dan sebagainya. Dari penjelasan di atas, pengasuhan yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan afeksi, dan pengasuhan sosial. Pengasuhan fisik yang difokuskan dalam penelitian ini meliputi pemenuhan kebutuhan makan, kebersihan diri, dan kesehatan anak. Pengasuhan afeksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian kasih sayang pada anak. Pengasuhan sosial merupakan cara yang dilakukan pengasuh dalam membimbing dan mendidik anak agar berperilaku sesuai dengan lingkungan sosialnya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, seperti dalam menjalankan ibadah. 1.5.2
Anak Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Di dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 pasal 1 ayat 1 yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Rumini dan Sundari (2004) mengemukakan masa anak-anak dibagi menjadi 2 periode yaitu periode pertama pada rentang usia 2 sampai 5 tahun, periode kedua pada rentang usia 6 sampai 12 tahun
10
dan seterusnya hingga mencapai 18 tahun disebut sebagai masa remaja. Masa anakanak adalah masa yang menyenangkan. Menyenangkan karena pada masa ini banyak waktu untuk bermain bagi anak, menyulitkan karena sangat membutuhkan peran dan perhatian dari orang tua untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Berdasarkan pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa, anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 6-12 tahun yaitu anak pada batasan masa usia sekolah dasar. 1.5.3
Tenaga Kerja Indonesia Tenaga kerja adalah setiap manusia yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun kebutuhan masyarakat dalam bentuk pikiran maupun tenaga (UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Dalam penelitian ini, tenaga kerja Indonesia yang dimaksud adalah tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan asal Desa Karangrowo yang bekerja menjadi TKI ke luar negeri dengan status sudah menikah dan memiliki anak. Kemudian bekerja ke luar negeri, dengan meninggalkan keluarganya (pasangan juga atau anak) di desa dan tanggung jawabnya dalam mengasuh anak.
11
1.6
Tinjauan Pustaka Penelitian atau literatur yang memfokuskan kajiannya mengenai persoalan
anak-anak dalam keluarga TKI sudah cukup banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, termasuk mengenai pengasuhan anak pada Keluarga TKI itu sendiri. Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, setidaknya ditemukan beberapa kajian yang relevan dengan pengasuhan anak usia 6-12 tahun pada keluarga TKI ini, diantaranya kajian yang pernah dilakukan oleh Riyanti (2013) yang meneliti tentang pengasuhan anak pada keluarga TKW di Desa Legokjawa, Ciamis, Jawa Barat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyanti ini hanya membahas sebatas pada pengasuhan sosialnya saja. Kemudian juga tidak membatasi apa yang dimaksud dengan anak, sehingga penelitian ini mencakup anak usia rentang hingga 15 tahun yang merupakan golongan remaja, bukan anak lagi. Hasil penelitiannya sendiri menunjukkan bahwa pengasuhan anak pada keluarga TKW di Desa Legokjawa secara umum sudah dikatakan cukup baik, sedikit saja yang kurang layak. Sedangkan penelitian lain yang juga membahas mengenai anak TKI yaitu oleh Astutik (2009), mengenai kenakalan anak yang ditinggal orangtuanya bekerja menjadi TKI studi kasus di Kecamatan Pasean Kabupaten Pamekasan Madura. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang ditinggal bekerja oleh orangtuanya menjadi TKI ke luar negeri cenderung berperilaku nakal. Bentuk perilaku nakal yang ditunjukkan oleh anak TKI adalah; bolos sekolah, merokok, minum-minuman keras, judi, dan kebut-kebutan.
12
Penelitian lain yang juga membahas mengenai anak TKI adalah dinamika pendidikan agama Islam anak TKI di Desa Baron, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik oleh Niswatin (2011). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya orang tua yang meninggalkan anaknya bekerja ke luar negeri sebagai TKI, sementara pendidikan agama Islam khususnya akhlak dari orang tua sehari-hari justru kurang mendapat perhatian. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan study kasus. Berdasarkan analisis hasil dalam penelitian menunjukkan bahwa anak yang ditinggal orang tuanya bekerja sebagai TKI mengalami perubahan pendidikan khususnya pendidikan agama Islam. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya sehingga berpengaruh terhadap perilaku keagamaannya seperti masalah sholat, mengaji yang mengalami penurunan. Berdasarkan penelusuran pustaka di atas maka penelitian mengenai persoalan pada anak-anak TKI memang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti termasuk pengasuhan anak TKI, akan tetapi pengasuhan anak TKI yang difokuskan pada usia 6-12 tahun belum ada yang meneliti. Dari penelusuran pustaka di atas, anak TKI yang pernah diteliti umumnya usia remaja dan umumnya terbatas pada satu lingkup saja. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh Riyanti (2013) yang disebutkan di atas yang hanya membahas sebatas pengasuhan anak dari segi sosial. Berbeda dengan yang dipaparkan dalam penelitian ini yang membahas pengasuhan anak mulai dari segi fisik, afeksi, sampai sosial.
13
1.7
Kerangka Konseptual
1.7.1
Keluarga Keluarga didefinisikan dalam berbagai cara. Pendefinisian keluarga berbeda
beda tergantung kepada orientasi teoritis “pembuat definisi” yaitu dengan menggunakan penjelasan yang penulis cari untuk menghubungkan keluarga (Friedman, 1998). Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Keluarga berkaitan dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Dari suatu keluarga dilahirkan individu dengan berbgai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Keluarga merupakan gejala universal yang terdapat di seluruh dunia. Sebagai gejala yang universal, keluarga mempunyai 4 karakteristik yang memberi kejelasan tentang konsep keluarga1. 1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Yang mengikat suami dan istri adalah perkawinan, yang mempersatukan orang tua dan anak-anak adalah hubungan darah (umumnya) dan kadang-karang adopsi. 2. Para anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mereka membentuk suatu rumah tangga (household), satu rumah tangga itu dapat terdiri dari suami istri tanpa anak-anak, atau dapat dengan satu anak atau lebih.
1
http://suci_k.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/14974/individu-keluarga-dan-masyarakat(3).pdf diakses pada 6 agustus 2015
14
3. Keluarga itu merupakan satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling bersosialisasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak lakilaki dan anak perempuan. 4. Keluarga itu mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas. Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga pedagosis (Shochib, 2010). Burgess dkk (dalam Friedman, 1998) membuat definisi yang berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi yang biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah tangga dan anggota keluarga saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan,
15
saudara-saudari. Seluruh anggota keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang di ambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri. Secara struktural, Durkheim (dalam Polak, 2004) membagi keluarga dalam dua kelompok, yaitu menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family). Pengertian keluarga inti tidak selalu identik dengan jumlah anggota keluarga yang sedikit sedangkan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga yang banyak. Pengertian ini tidak berdasar jumlah lahiriah jumlah, melainkan berdasar kedekatan atau keeratan hubungan yang terjadi di dalam keluarga itu. Secara ringkas keluarga inti dapat didefinisikan sebagai sebuah keluarga atau kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang belum menikah. Sedangkan keluarga besar adalah satuan keluarga yang lebih meliputi lebih dari satu generasi atau satu lingkungan keluarga yang lebih luas daripada hanya sekedar ayah, ibu dan anak-anaknya. Dengan adanya satu perkawinan baru, maka anak yang kawin itu memisahkan diri dari orang tuanya dan dari keluarga intinya. Namun demikian mereka masih dapat digolongkan dalam sebuah keluarga besar. Selain itu, perbedaan keluarga inti dan keluarga besar juga didasarkan pada kesamaan dapur untuk menghidupi keluarga, bukan pada kesamaan dalam suatu tempat tinggal. Dalam bentuknya yang paling dasar sebuah keluarga terdiri atas seorang lakilaki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang belum menikah, biasanya tinggal dalam satu rumah, dalam antropologi disebut keluarga
16
inti.Sedangkan keluarga besar terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya, ditambah dengan kakek, nenek, bibi, pama, kemenakan, dan saudara-saudara lainnya. yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti. Keluarga inti dapat juga disebut keluarga somah, yaitu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya. Dalam formulasi keluarga Jawa, somah atau keluarga inti ini mempunyai peranan penting, seperti yang dikemukakan oleh Geertz (1985) dalam bukunya Keluarga Jawa menyatakan bahwa somah merupakan unit pertalian kekelurgaan terkecil yang penting. Somah terjalin dengan rapat dengan somah-somah lainnya. Somah memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga terutama di desa. Setiap kelompok somah tampil dihadapan anggota kelompok somah lainnya sebagai suatu unit sosial. Somah memiliki beberapa tugas yaitu, melaksanakan tugas ritual, melaksanakan tugas ekonomi, sosialisasi pada anak, dan mengurus para anggota keluarga yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Menurut orang Jawa, setiap anggota keluarga merupakan suatu pribadi yang tunggal. Orang tua, anak, suami dan istri merupakan orang-orang terpenting didunia karena mereka dapat memberikan kesejahteraan emosional, memberikan titik keseimbangan dalam orientasi sosial dan dapat memberi bimbingan moral. Sedangkan sanak kandang terorganisir ke dalam suatu kelompok bersama dan berfungsi sebagai sumber-sumber bantuan dalam kesusahan serta sumber persaudaraan dalam kebahagiaan. Adapun hak dan kewajiban sanak kandang atau keluarga sesaudara yaitu memberikan bantuan dalam perhelatan misalnya dalam pernikahan, khitanan dan kelahiran, sumbangan
17
dalam bentuk bahan makanan, uang dan tenaga. Sedangkan kewajibannya yaitu memperhatikan setiap anggota keluarga dekat yang miskin. Menurut Soekanto (2009) keluarga inti mempunyai peranan sebagai; (1) pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota. Ketentraman dan keamanan diperoleh dalam wadah tersebut; (2) merupakan unit sosial ekonomis yang secara materiil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya;(3) menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup; (4) merupakan wadah bagi manusia mengalami proses sosialisasi awal. Uraian di atas telah jelas mengungkapkan bahwa keluarga inti memiliki peranan penting sebagai unit sosial yang memiliki konsekuensi bagi pemenuhan berbagai kebutuhan fisik, psikis, dan sosial anggota keluarga di dalamnya. Ayah dan ibu bersama-sama saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan bersama dan anakanaknya. 1.7.2
Fungsi keluarga Keluarga adalah satuan terkecil masyarakat yang anggota-anggotanya terlibat
secara batiniyah dan hukum karena tali pertalian darah/ pertalian perkawinan. Ikatan tersebut memberikan kedudukan tertentu kepada masing-masing anggota keluarga, hak, dan kewajiban, tanggung jawab bersama, serta saling mengharapkan. Sebagai suatu sistem sosial pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi yang sangat strategis bagi anggota keluarga; suami-ayah; istri-ibu; dan anak. Masing-masing anggota
18
keluarga subsitem menjadikan keluarga menjalankan fungsinya agar keseluruhan fungsi keluarga dapat berjalan dengan normal. Dengan lain perkataan, anggota keluarga fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Apabila terdapat salah satu anggota keluarga tidak mampu menjalankan fungsi seperti yang harus diembannya, maka keluarga tersebut mengalami disfungsi (Coser dalam To Ihromi, 2004). Sebagaimana halnya dengan institusi lain, keluarga juga menjalankan fungsi. Dalam sebuah keluarga utuh yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, semua fungsi keluarga dapat berjalan dengan baik apabila komponen dalam keluarga dapat menjalankan sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Kebahagiaan dan ketentraman yang tercipta serta hubungan yang sehat antara orangtua dan anak sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Dalam sebuah keluarga yang utuh pula akan mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan ketentraman yang tercipta melalui banyaknya waktu berkumpul guna mencurahkan kasih sayang dan perhatian sekaligus menanamkan nilai norma yang ada dalam masyarakat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Secara sosiologis keluarga merupakan hubungan lahir dan batin antar struktur keluarga yaitu istri-suami, ibu-bapak, dan anak. Masing masing anggotanya tersebut memiliki peran berlainan sesuai dengan fungsinya dan saling memiliki pengharapan satu sama lain. Dengan demikian, di dalam keluarga terdapat hubungan fungsional di antara anggotanya dalam rangka untuk menciptakan pengharapan tersebut. Jika di dalam suatu keluarga kehilangan salah satu unsurnya, maka sudah dipastikan
19
keluarga tersebut akan mengalami kepincangan dan keluarga ideal yang dicita-citakan pun sulit bahkan tidak terpenuhi (Su‟adah, 2003). Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok, yakni fungsi yang sulit diubah dan digantikan oleh lembaga lain. Sedangkan fungsi-fungsi lembaga lain atau fungsi sosial relatif mudah berubah. Para ahli sosiologi mengidentifikasi berbagai fungsi keluarga. Fungsi keluarga pada mulanya dikemukakan oleh Durkheim (dalam Polak, 2004) yang menyatakan bahwa menganalisis fungsi keluarga dengan mendasarkan pada hak alamiah yang ditafsirkan dan dipunyai keluarga serta pertimbangan akan manfaatnya. Secara pokok, fungsi keluarga meliputi tiga hal yang merupakan ciri hakiki, yaitu: 1) Fungsi biologis yaitu keluarga merupakan tempat dilahirkannya anak-anak dan ini merupakan fungsi dasar kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat. fungsi ini merupakan fungsi pertama keluarga terhadap anak-anaknya. 2) Fungsi afeksi yaitu keluarga merupakan wadah untuk menjalin kasih sayang di antara para anggotanya. Fungsi ini muncul sebagai akibat hubungan kasih sayang antara suami istri yang dilanjutkan dengan kasih sayang orang tua pada anakanaknya. Fungsi ini sangat penting dalam membentuk pribadi anak yang sedang mengalami proses sosialisasi awal.
20
3) Fungsi sosialisasi yaitu keluarga merupakan tempat pertama membentuk kepribadian anak. Melalui sosialisasi dalam keluarga, anak akan mempelajari pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Selain fungsi-fungsi pokok, terdapat fungsi-fungsi sosial. Aswarna (2006) menjelaskan fungsi-fungsi sosial itu meliputi fungsi ekonomi, pendidikan, keagamaan, rekreasi, perlindungan. 1) Fungsi produksi atau terkadang disebut juga fungsi ekonomi yaitu keluarga merupakan unit sosial yang bekerja sama untuk menghasilkan barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan hidup. Pada masyarakat agraris tradisional, keluarga merupakan kesatuan produksi yang setiap anggotanya keluarga ikut serta dalam proses produksi. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada masyarakat industri modern dimana keluarga merupakan kesatuan konsumsi karena hampir semua produksi barang konsumsi diambil alih oleh pabrik-pabrik. 2) Fungsi pendidikan yaitu keluarga sebagai tempat orang tua membekali ilmu pengetahuan pada anak-anaknya. Fungsi pendidikan pada masa modern berkurang seiring dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan di luar keluarga, 3) Fungsi agama yaitu keluarga merupakan pusat pendidikan upacara ritual dan ibadah agama bagi para anggotanya di samping peranan yang dilakukan oleh institusi agama. Proses sekularisasi dalam masyarakat dan merosotnya pengaruh institusi agama menimbulkan kemunduran fungsi keagamaan keluarga.
21
4) Fungsi rekreasi yaitu keluarga merupakan tempat mendapatkan kebahagiaan bagi anggota-anggotanya. Fungsi ini pada masa modern berkurang. Rekreasi dalam kelompok sebaya menjadi makin penting bagi anak-anak. Perubahan tersebut menimbulkan dua macam akibat, yaitu jenis-jenis rekreasi yang dialami oleh anggota-angota keluarga menjadi lebih bervariasi, dan anggota-anggota keluarga lebih cenderung mencari kebahagiaan di luar keluarga. 5) Fungsi perlindungan yaitu keluarga berfungsi memberikan perlindungan, baik fisik maupun sosial, kepada para anggotanya. Sekarang banyak fungsi perlindungan dan perawatan ini telah diambil alih oleh lembaga-lembaga di luar keluarga. Seperti tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh dan mental, anak yatim piatu, anak-anak nakal, orang-orang lanjut usia, perusahaan asuransi dan sebagainya. 1.7.3
Anak Usia secara jelas mendefinisikan karateristik yang memisahkan anak-anak
dari orang dewasa, Namun, pendefinisian anak dari segi usia dapat membawa permasalahan besar. Hal ini dikarenakan penggunaan definisi yang berbeda oleh berbagai bangsa, budaya, institusi, dan berbagai disiplin ilmu. Disamping itu pengertian anak jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.
22
Lembaga internasional Department Child and Adolescent Health And Development mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di bawah 20 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau KHA menerapkan defenisi anak sebagai berikut. "Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal". Sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Wadong (2000) mengemukakan berbagai pengertian anak menurut sistem, kepentingan, agama, hukum, sosial dan lain sebagainya sesuai fungsi, makna dan tujuanya sebagai berikut: 1
Pengertian anak dari aspek agama, yaitu anak adalah titipan Tuhan kepada kedua orang tua, masyarakat, Bangsa dan Negara sebagai pewaris dari ajaran agama yang kelak akan memakmurkan dunia. Anak tersebut diakui, diyakini dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima orang tua, masyarakat, Bangsa dan Negara.
23
2
Pengertian anak dari aspek sosiologis, yaitu anak adalah mahkluk sosial ciptaan Tuhan yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya karena berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa karena kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisiknya dalam perubahan yang berada dibawah kelompok orang dewasa.
3
Pengertian anak dari aspek ekonomi, yaitu anak adalah seseorang yang berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan dan perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembanganya dengan wajar.
4
Pengertian anak dari aspek politik, yaitu anak sebagai tempat "issue bargaining". Politik yang kondusif, kebijaksanaan politik muncul dengan menonjolkan suarasuara yang mengaspirasikan status anak dan cita-cita memperbaiki anak-anak dari berbagai kepentingan partai politik. Ditinjau dari segi perkembangan dan pertumbuhannya anak merupakan
individu yang berada dalam satu rentang perubahan, dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (6-12 tahun) hingga remaja (12-18 tahun). Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat, berbeda antara anak
24
yang satu dengan yang lainnya. Adakalanya anak dengan perkembangan yang cepat dan juga adakalanya perkembangan yang lambat. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya latar belakang anak (Hidayat, 2005). Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks yang terjadi di setiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa, dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia. Oleh karena itu, anak penting untuk diprioritaskan (Rumini dan Sundari, 2004). 1.7.4
Hak-Hak Anak Hak-hak anak telah banyak diatur dan dijabarkan oleh berbagai pihak yang
menyebabkan perbedaan satu sama lain sesuai dengan intitusi maupun disiplin ilmu masing masing. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, mengatur hak-hak anak sebagai berikut: 1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuh khusus untuk tumbuh mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya. 2. Hak
atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya; 3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan, maupun sesudah dilahirkan;
25
4. Hak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Menurut Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa hak-hak anak meliputi : 1. Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar; 2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Hak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai tingkat kecerdasaan dan usianya, dalam bimbingan orang tua; 4. Hak untuk mengetahui orang tua, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri; 5. Hak pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial; 6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Khusus bagi anak cacat dapat memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan yang unggul mendapatkan pendidikan khusus; 7. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya; 8. Hak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi sesuai minat dan tingkat kecerdasannya;
26
9. Hak anak cacat untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; 10. Hak untuk dilindungi dan diperlakukan dari diskriminasi, ekspolitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiyaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya. 11. Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri; 12. Hak perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan; 13. Hak memperoleh perlindungan dari sasasran penganiyaan atau penjartuhan pidana yang tidak manusiawi; 14. Hak memperoleh kekebasan sesuai hukum; 15. Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dipisahkan dari orang dewasa bagi anak yang dirampas kemerdekaannya; 16. Hak mendapatkan bantuan hukum; 17. Hak membela diri dari memperoleh keadilan didepan pengadilan. 18. Hak untuk dirahasikan bagi anak korban kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum; 19. Hak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.
27
Konvensi Hak Anak (KHA)2 memuat 10 asas pokok hak-hak anak, meliputi : 1. Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam Deklarasi ini. Bahwa setiap anak tanpa kecuali harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, kebangsaan atau tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun keluarganya; 2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus, dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk memgembangkan diri sercara fisik, kejiwaan, moral, spiritual dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai kebebasan dan harkatnya. 3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan; 4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat; 5. Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus; 6. Agar supaya kerpibadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia dibesarkan dibawah
2
Dikutip dari http://www.unicef.org/magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_version.pdf diakses pada tanggal 6 Agustus 2015
28
asuhan dan tangungjawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus diusahakan agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang. Sehat jasmani dan rohani; 7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-kurangnya pada ditingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, atau yang memungkinkannya atas dasar kesempatan yang sama guna mengembangkan kemampuan, pendapat pribadinya dan perasaan tanggungjawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Anak juga mempunyai kekebasan untuk bermain dan berrekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanan hak ini. 8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan; 9. Anak harus dilindungi dari sebagai bentuk kealpaan, kekerasaan, penghisapan. Ia tidak boleh dijadikan subjek perdagangan, artinya anak tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikannya, maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa atau akhlaknya; 10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
29
Konvensi Hak Anak (KHA) atau kata lainnya adalah traktat atau Pakta sendiri adalah suatu perjanjian yang mengikat secara yuridis dan juga politik. Konvensi Hak Anak (KHA) kata aslinya adalah Convension On The Right of The Child (CRC) yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang fokusnya pada penanganan hak anak. Serta merupakan instrument yang dibuat secara universal dengan tidak membedakan hak anak diseluruh dunia. Konvensi Hak Anak (KHA) mempunyai dua tujuan pokok. Pertama, menetapkan standar universal hak-hak anak. Kedua, melindungi
anak-anak
dari
segala
bentuk
eksploitasi,
penganiayaan,
dan
penyalahgunaan Kesepuluh asas di atas merupakan suatu ketentuan yang bersifat mengikat, terperinci dan tertuang dalam pasal-pasal konvensi. Asas-asas pokok pelindungan anak ini merupakan pencerminan dari suatu pendekatan yang sifatnya holistic, artinya hak-hak anak tidak dilihat secara sempit, tetapi harus dilihat secara luas, sesuai ruang lingkup perlindungan hak asasi manusia, seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. 1.7.5
Pengasuhan anak Pendefinisian pengasuhan anak yang pernah dilakukan agaknya berbeda-beda.
Perbedaan ini didasarkan pada sudut pandang disiplin yang berbeda. Pengasuhan anak menurut ilmu-ilmu kesehatan merujuk pada istilah child rearing „membesarkan anak‟. Sebagai contoh Range dkk (1997) menjelaskan bahwa pengasuhan merupakan
30
serangkaian perilaku sederhana yang berkisar pada praktik pemberian makan pada anak, tanggapan dalam menyediakan perawatan kesehatan yang adekuat, memajukan lingkungan yang sehat dan aman bagi anak, sampai pada interaksi psikososial dan dukungan emosional. Tidak mengherankan jika pada disiplin ilmu-ilmu kesehatan menganggap pengasuhan dimulai sejak anak masih berada dikandungan dengan harapan anak yang dilahirkan kelak dalam keadaan yang sehat. Adapun disiplin ilmu-ilmu sosiohumaniora pengasuhan lebih merujuk pada apa yang disebut dengan parenting „pengasuhan‟. Banyak ahli mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah bagian terpenting dan mendasar. Anak perlu diasuh, dan dibimbing karena mengalami proses pertumbuhan, dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan itu merupakan suatu proses, agar pertumbuhan dan perkembangan berjalan sebaik-baiknya, anak perlu diasuh dan dibimbing oleh orang dewasa, terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga bersama orangtua. Nabuasa (2011) menjelaskan bahwa pengasuhan berarti menjaga, merawat dan mendidik anak. Pengasuhan anak adalah perilaku yang dilakukan oleh pengasuh dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan kasih sayang dan tanggung jawab orang tua. Seorang ibu merawat dan menjaga janinnya dengan berbagai usaha agar nantinya anak dilahirkan dengan selamat dan sehat. Setelah lahir, seorang anak pun akan tetap dalam perawatan dan penjagaan. Pengasuhan anak pada tahap awal lebih ditekankan pada pengasuhan fisik. Anak diberi asupan gizi yang baik agar anak tumbuh sehat. Seiring dengan bertambahnya usia anak, pengasuhan
31
tidak hanya pada urusan fisik (merawat dan menjaga), melainkan juga pengasuhan dalam hal mendidik anak untuk bersikap dan bereperilaku sesuai dengan kelompok sosialnya. Pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orangtua sebagai pengasuh dengan anak sebagai individu yang diasuh. Interaksi tersebut mencakup beberapa hal seperti; mencukupi kebutuhan anak, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat (Wahyuning, 2003). Soekirman (2000) menjelaskan bahwa
pengasuhan adalah
asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, menberi kasih sayang, dan sebagainya. Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung perkembangan anak. Hurlock (1996) menjelaskan bahwa pengasuhan merupakan interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan afeksi (seperti kasih sayang), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.
32
Engel (1994), menjelaskan bahwa pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses aksi dan interaksi yang terus menerus antara pengasuh dengan anak yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik Secara fisik, psikologis maupun sosial. 1.7.6
Pola Pengasuhan Anak Pengasuhan anak dalam berbagai keluarga dapat dibedakan berdasar cara
mengasuhnya yang kemudian disebut dengan pola pengasuhan. Pengertian pola asuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah merupakan suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak kecil (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Menurut Baumrind (1987), ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu :
33
a. Responsiveness Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh hangat, memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Pada orangtua yang tidak responsif terhadap anak–anaknya, orangtua bersikap menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya sampai dengan masalah kenakalan. b. Demandingness Dimensi ini mengandung tuntutan orang tua pada anak. Orangtua memberikan tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual dan emosional dengan cara yang kaku. Orangtua juga terlihat berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak, Pola asuh orang tua dalam keluarga secara umum dikategorikan menjadi tiga besar. Braumind (1987), mengidentifikasi tiga pola yang berbeda secara kualitatif pada otoritas orangtua yaitu. 1. Authoritarian (Otoriter) Authoritarian merupakan pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya.
34
Authoritarian mengandung demandingness yang tinggi dan unresponsive, yang dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orang tuanya. Adapun orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang mendidik menurut apa yang dianggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat menimbulkan ketegangan atau ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan kericuhan di dalam rumah (Baumrind dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh ini mempunyai ciri; 1) kaku, 2) tegas, 3) sering menghukum, 4) kurang hangat, dan 5) orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan yang orangtua inginkan serta cenderung mengekang keinginan anak Pola asuh otoriter mengakibatkan; anak mempunyai sikap serba tunduk; anak tidak mempunyai inisiatif karena takut berbuat kesalahan; anak menjadi penurut dan anak tidak mempunyai kepercayaan diri. Tidak jarang sering terjadi konflik orangtuaanak yang menyebabkan munculnya jarak pemisah diantara keduanya.
35
2. Permissive (Permisif) Pola asuh permisive atau disebut juga dengan pola asuh serba boleh. Dalam pola asuh ini orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginan-keinginan anak. Orangtua kurang peduli dan tidak pernah memberi aturan yang jelas dan pengarahan pada anak. Segala keinginan anak keputusannya diserahkan sepenuhnya pada anak. Orangtua tidak memberikan pertimbangan atau pengarahan bahkan tidak mau tahu atau masa bodoh tentang masalah anak. Anak kurang tahu apakah tindakan yang dikerjakan benar atau salah. Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 2007) membagi pola asuh ini menjadi dua: neglectful parenting (mengabaikan) dan indulgent parenting (menuruti). Pola asuh yang neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola asuh indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau terlalu membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya. Permissive mengandung undemanding dan unresponsive (Baumrind, 1987). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada kebutuhan dan
36
keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock (1996) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan; 1) adanya kontrol yang kurang, 2) orangtua bersikap longgar atau bebas, dan 3) bimbingan terhadap anak kurang bahkan tidak ada. Pola asuh permisif ini dapat menyebabkan anak berperilaku menentang, tidak patuh, kurang percaya diri, kurang kontrol diri, agresif, dan tidak mempunyai tujuan. 3. Authoritative (Demokratis) Pola asuh ini mendorong anak sebagai individu yang selalu berkembang namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol mereka. Adanya saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan. Authoritative mengandung demandingness dan responsiveness dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang tua yang disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh authoritative dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan
37
orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada. Pengasuhan pada anak dengan cara ini akan memberikan dampak positif pada kompetensi sosial anak yang meliputi perilaku prososial, inisiatif sosial dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk. 1.7.7
Pentingnya Orang Tua (Ayah-Ibu) dalam Pengasuhan Anak Pengasuhan anak di dalam keluarga yang ideal adalah dilakukan oleh kedua
orang tuanya. Ayah dan ibu bekerja sama saling bahu-membahu untuk memberikan asuhan dan pendidikan kepada anaknya. Mereka menyaksikan dan memantau perkembangan anak-anaknya secara optimal. Baik ayah maupun ibu memiliki peran dalam pengasuhan anak meskipun bentuk peran itu memiliki perbedaan. Keutuhan keluarga menjadi faktor utama yang mempengaruhi pengasuhan. Dimaksud dengan keutuhan keluarga ialah, pertama keutuhan dalam struktur keluarga yaitu bahwa dalam keluarga itu adanya ayah disamping adanya ibu dan anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu atau kedua-duanya maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi. Selain keutuhan dalam struktur keluarga dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar dan harmonis (Dagun, 2002). Akhmad (1999) menjelaskan dalam proses perkembangan anak, ayah dan ibu sama-sama mempunyai peran. Andayani dan Koentjoro (2004) menyebut bahwa
38
pengasuhan itu sebagai coparenting, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul bersama antara ayah dan ibu. Pada coparenting, kerjasama yang terjadi diharapkan dapat membantu anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal termasuk pencapaian kompetensi sosialnya. Ayah tidak mungkin menjalankan perannya sendiri sehingga diperlukan dukungan ibu dalam pengasuhan, ibu juga demikian (Basir, 2004). Seorang ibu tidak hanya berperan mengasuh anak saja, melainkan juga harus berperan dalam semua urusan rumah tangga, bahkan peran sosial yang tidak bisa dilaksanakan oleh seorang ayah dengan optimal untuk mencari nafkah dan atau tugas-tugas dalam wilayah publik. Ibu memiliki keterbatasan pribadi, waktu dan perhatian untuk menjalankan semua perannya. Oleh karena itu Andayani dan Koentjoro (2004) menegaskan bahwa untuk memenuhi pelayanan perkembangan anak, ibu perlu dukungan ayah. Kualitas pengasuhan ibu-anak dipengaruhi oleh peran ayah. Senada dengan itu kebersamaan dalam mengasuh anak antara ayah dan ibu dikemukakan oleh Davis dkk (dalam Basir, 2004) bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh masing-masing karateristik ayah, ibu dan anak serta interaksi ayah ibu, ibu-anak, dan ayah-anak. Penelitian tentang pengasuhan bersama atau coparenting, juga dikemukakan oleh Santrock (2007) yang kesimpulannya adalah solidaritas orang tua, kerjasama dan kehangatan, menunjukkan ikatan jelas dengan perilaku prososial dan kompetensi anak.
39
Keterlibatan ayah secara langsung dalam pengasuhan anak merupakan hal yang penting, sebab gaya laki-laki atau ayah akan memberikan kesempatan pada anak untuk berkembangnya kecerdasan sosial dan emosi anak. Keterlibatan ayah akan memberi manfaat yang positif bagi anak dalam mengembangkan pengendalian diri, kemampuan menunda pemuasan keinginan dan kemampuan penyesuaian sosial anak, baik laki-laki maupu perempuan. Dagun (2002) menjelaskan bahwa anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayah, perkembangannya akan menjadi pincang, memiliki kemampuan akademis yang cenderung menurun, aktivitas sosialnya terhambat, dan interaksi sosialnya terhambat, bahkan bagi anak laki-laki, ciri maskulinitasnya bisa menjadi kabur. Dikarenakan bahwa peran ayah efektif dalam: (1) menciptakan relasi yang sehat, (2) menyediakan kebutuhan fisik dan keamanan (3) menerima adanya perubahan, (4) menggali hal-hal yang menyenangkan dan (5) membantu anak untuk mengembangkan kemampuannya. Peran ibu dalam pengasuhan sangatlah penting. Ibu merupakan significant person yaitu orang atau figur yang berarti bagi seorang anak dalam keluarga, sebab dunia ibu adalah khas menampilkan diri sebagai dunia yang memelihara. Ketika ayah mencari nafkah, ibulah yang medampingi anak-anak dalam memenuhi kebutuhan dan membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan penuh cinta (Kartono, 1989). Andayani dan Koentjoro (2004) menjelaskan bahwa ibu merupakan faktor yang sangat penting sebagai pengasuh utama. Ibu secara kodrati memiliki instink
40
keibuan untuk mengurus anak-anaknya, bahkan perempuan yang belum pernah melahirkan pun, dapat dengan lebih cepat dalam menguasai pengasuhan anak. Hal tersebut terjadi karena adanya tuntutan sosial yang kuat terhadap perempuan untuk berperan sebagai ibu. Gunarsa (1995) menjelaskan bahwa secara umum seorang ibu dalam pengasuhan anak memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis anak, merawat, mengurus anak dengan sabar, kasih sayang, konsisten, mendidik, mengatur, mendisiplinkan, dan mengendalikan anak. Selain orang tua, Sukamtiningsih (2001) menjelaskan bahwa dalam pengasuhan anak sering terjadi campur tangan kakek dan nenek. Hal ini lebih sering diakibatkan oleh faktor ekonomi. Gunarsa (2004), bahwa antara kakek-nenek dan orangtua memiliki perbedaan dalam hal pengasuhan diantaranya adalah cara mendidik anak. Orangtua memberikan didikan secara kognitif, menegaskan dalam aturan-aturan keseharian disertai hukuman. Berbeda halnya dengan kakek-nenek yang mendidik anak dengan lebih menekankan pada ajakan-ajakan keseharian yang kemudian membuat aturan terasa longgar bagi anak dan menjadikan mereka bertindak sesuka hatinya. 1.8
Metode Penelitian
1.8.1
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
studi kasus. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2007), metode penelitian
41
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis maupun lisan dari individu-individu atau perilaku yang diamatinya. Denzin dan Lincoln (1994) menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif ialah mendekati permasalahan dalam setting naturalnya, dan berupaya memahami atau menginterprestasikan fenomena yang diteliti sesuai dengan pemaknaan yang diberikan obyek itu sendiri. Kemudian menganalisanya dalam bentuk kata-kata guna memperoleh suatu kesimpulan. Dalam penelitian ini pendekatan kualitatif digunakan untuk mengkaji kondisi umum Desa Karangrowo, kondisi sosial ekonomi keluarga TKI Desa Karangrowo, dan pola pengasuhan anak pada keluarga TKI di Desa Karangrowo. 1.8.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus karena desa ini merupakan salah satu wilayah kantong TKI Kudus. Menurut Nor Hadi, Kaur Kesra desa Karangrowo, jumlah TKI yang tercatat pada tahun 2013 adalah 154 orang terdiri dari 89 orang perempuan dan 65 orang laki-laki dengan status legal. Dari keseluruhan jumlah TKI yang legal di Desa Karangrowo tersebut sebagian besar berstatus telah menikah dan memiliki anak yakni 112 orang. Setelah dilaksanakan observasi awal dan berbagai pertimbangan kesulitan di lapangan maka ditetapkanlah penelitian di Desa Karangrowo. Pertimbangan utama memilih lokasi ini adalah karakteristik kelayakan objek yang sangat memungkinkan untuk menciptakan informasi yang menunjang tercapainya tujuan penelitian. 42
1.8.3
Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah keluarga TKI. Terdiri dari pihak orang tua
pengasuh dari anak yang ditinggalkan bekerja oleh salah satu atau kedua orang tuanya bekerja menjadi TKI. Kemudian juga pada anak yang ditinggalkan bekerja ke luar negeri itu sendiri. Alasannya karena kedua pihak tersebut terlibat langsung dalam proses pengasuhan anak dalam keluarga TKI. Pihak pengasuh sebagai yang menjalankan pengasuhan dan anak sebagai pihak yang mendapatkan pengasuhan. Anak TKI yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah mereka yang berada pada rentang usia antara 6-12 tahun. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak di Desa Karangrowo yang ditinggalkan oleh salah satu atau kedua orang tuanya bekerja menjadi TKI adalah pada rentang usia tersebut. Dalam penelitian ini dipilihlah 8 keluarga TKI, terdiri dari; 3 keluarga TKI yang anaknya diasuh oleh pihak orang tua tunggal-ayah; 3 keluarga TKI yang anaknya diasuh oleh pihak orang tua tunggal-ibu; dan 2 keluarga TKI yang anaknya diasuh oleh pihak orang tua pengganti (kakek-nenek). Alasan mengambil 8 keluarga TKI, karena dirasa sudah mampu menjawab persoalan mengenai pola pengasuhan anak dalam penelitian ini. Melihat latar belakang yang tidak jauh berbeda antara keluarga TKI satu dengan lainnya. Keterbatasan waktu dan biaya yang dimiliki oleh peneliti juga menjadi alasannya. Adapun rincian dari 8 keluarga TKI yanag menjadi subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
43
Tabel 1.2 Daftar Subyek Penelitian Orang No Tua Pengasuh 1 Imron 2
Sutomo
3
Sarwi
4
Suyati
5
Witani Siti Isrofah
Hubungan Terhadap Usia Pekerjaan Anak Ayah 31 Serabutan Sopir Angkot Ayah 37 Barang Ayah 32 Petani Ibu Rumah Ibu 30 Tangga Ibu 33 Petani Ibu Rumah Ibu 29 Tangga
7
ReboMasirah
KakekNenek
6558
Petani-Ibu Rumah Tangga
8
MasiranNgasirah
KakekNenek
6256
Petani-Ibu Rumah Tangga
6
Anak Pendidikan Yang Diasuh SD Lusi
Kelamin Usia P
8
Pihak Yang Negara Menjadi TKI Tujuan Istri/Ibu Istri/Ibu
Arab Saudi
Istri/Ibu Suami/Ayah
Arab Saudi
Suami/Ayah Suami/Ayah
Kuwait
SLTP
Arya
L
12
SD
Asna
P
9
SD
Ismi
P
9
SD
Linda
P
11
SLTP
Zuffan
L
8
L
10
Suami/AyahArab Saudi Istri/Ibu
P
7
Suami/AyahMalaysia Istri/Ibu
Tidak Tamat SDFaisal Tidak Tamat SD Tidak Tamat SDLina Tidak Tamat SD
Malaysia
Arab Saudi
Malaysia
Sumber: data lapangan diolah 2013
44
Sebagai tambahan dan alat kontrol (pendukung kebenaran data) digunakan juga informan pendukung. Terdiri dari tokoh masyarakat setempat yakni Bapak Nor Hadi selaku Kaur Kesra dan Bapak Rumadi selaku Kepala Desa Karangrowo. Kemudian juga ada tetangga dan kerabat dari keluarga TKI yang menjadi informan dalam penelitian ini. 1.8.4
Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah keluarga. Keluarga yang dimaksud
adalah keluarga TKI, keluarga yang tidak utuh dan tinggal terpisah satu sama lain karena salah satu atau lebih anggota keluarganya bekerja menjadi TKI ke luar negeri dalam jangka waktu lama (minimal dua tahun sesuai dengan masa kontrak kerja). 1.8.5
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam rangka memenuhi tujuan penelitian dilakukan
dengan cara pengamatan, wawancara secara mendalam (indept interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) dan pengumpulan data sekunder. Pelaksanaanya berlangsung selama 3 bulan, antara bulan Juni sampai bulan September 2014. a. Wawancara Wawancara adalah percakapan tertentu dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertayaan itu (Moleong, 2007). Maksud mengadakan wawancara adalah untuk menkonstruksi
45
mengenai orang, kejadian, kegiatan, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain. Wawancara dilakukan kepada subyek penelitian yang terdiri dari pihak orang tua pengasuh dari anak yang ditinggalkan bekerja oleh salah satu atau kedua orang tuanya bekerja menjadi TKI. Kemudian pada anak yang ditinggalkan bekerja ke luar negeri itu sendiri. Sebagai tambahan dan alat kontrol (pendukung kebenaran data) dilakukan juga wawancara kepada informan pendukung. Terdiri dari tokoh masyarakat setempat yakni Bapak Nor Hadi selaku Kaur Kesra dan Bapak Rumadi selaku Kepala Desa Karangrowo. Kemudian juga ada tetangga dan kerabat dari keluarga TKI dalam penelitian ini. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai kondisi Desa Karangrowo, kondisi sosial ekonomi keluarga TKI dan pola pengasuhan anak dari keluarga TKI yang ada di Desa Karangrowo. Selama melakukan wawancara peneliti mencatat hal-hal yang penting dan merekam pembicaraan. Waktu yang digunakan untuk melakukan wawancara adalah ketika informan benar-benar dalam kondisi luang atau sebelumnya mengadakan janjian terlebih dahulu. Sementara untuk lamanya waktu yang dibutuhkan setiap kali melakukan wawancara antar informan satu dengan lainnya berbeda-beda, berkisar satu sampai satu setengah jam dan banyaknya wawancara yang dilakukan adalah dua hingga tiga kali wawancara kalau ada data yang perlu dilakukan cross check.
46
Kesulitan yang dialami oleh peneliti selama melakukan wawancara adalah pertama, dalam hal bahasa yang digunakan ketika melakukan wawancara dengan informan. Peneliti harus menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan oleh informan, baik bahasa Indonesia maupun Jawa. Peneliti terkadang kurang memahami bahasa Jawa yang digunakan oleh informan. Kedua, ketika hendak mewawancarai informan, maka peneliti harus menunggu waktu yang tepat. Misalnya saat informan yang akan diwawancarai masih bekerja di sawah, peneliti harus dengan sabar menunggu pekerjaannya sampai selesai baru melakukan wawancara.
b. Observasi Disamping wawancara, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ialah melalui observasi. Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian berupa peristiwa, perilaku dan kegiatan informan, tempat atau lokasi penelitian (Nawawi, 2005). Observasi langsung bertujuan agar data yang diperoleh dapat digunakan dan dipertanggung jawabkan kebenarannya. Dalam penelitian ini peneliti langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan observasi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keyakinan tentang keabsahan data dan mencari sebuah kebenaran yang terjadi di lapangan. Untuk memperoleh data mengenai pola pengasuhan anak pada keluarga TKI, peneliti melakukan pengamatan langsung ke rumah yang bersangkutan (keluarga TKI yang menjadi informan dalam penelitian ini). Guna mengetahui secara langsung mengenai praktek pengasuhan anak
47
yang sehari-harinya berjalan dalam keluarga TKI. Kemudian mendokumentasikannya dalam wujud gambar berupa foto dan mencatat hal-hal penting yang berhubungan dengan fokus penelitian. Selain itu, untuk memperoleh gambaran mengenai Desa Karangrowo, peneliti juga mengamati kondisi fisik maupun aktivitas sosial ekonomi warganya. c. Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini berupa data tambahan yang berisi informasi untuk mendukung dan melengkapi hasil penelitian, berupa: dokumen atau arsip dari lembaga pemerintahan Desa Karangrowo berupa data monografi desa tahun 2013 yang berisi data kewilayahan, kependudukan yang meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, dan sarana prasarana. Kemudian ada juga fotofoto terkait dengan fokus penelitian yang peneliti hasilkan saat melakukan penelitian di lapangan. 1.8.6
Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan
kegiatan pengumpulan data lainnya, yakni pada saat wawancara mendalam (indepth interview), observasi, serta analisis dokumen. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik kualitatif interaktif. Menurut Miles dkk (1992) teknik analisis data perlu dilaksanakan secara interaktif, berkesinambungan dan berlangsung terus menerus hingga data dapat dikatakan jenuh dan tuntas. Dengan demikian, proses tersebut akan
48
berlangsung secara berkesinambungan, sehingga diperoleh data yang merupakan sasaran penelitian. Dalam model analisa interaktif tersebut terdapat tiga jenis kegiatan analisis yang saling susul menyusul dan dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan tersebut meliputi hal-hal berikut : a. Reduksi Data Dalam melakukan analisis data, langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti ialah reduksi data. Reduksi data merupakan bagian dari teknik analisis data yang dilakukan dengan memilih hal pokok untuk menjawab masalah penelitian agar tetap fokus sehingga ditemukan pola dari penelitian yang dilakukan. Dalam melakukan reduksi data, peneliti melakukan proses pengorganisasian data, pengelompokkan data berdasarkan pola jawaban yang diperoleh selama melakukan penelitian. Baik melalui pengumpulan data dengan wawancara, pengamatan (observasi) maupun analisis dokumen. Proses pengelompokan dan pengorganisasian data dilakukan dengan mengkode, mengkategorikan data yang penting dan yang tidak penting secara detail. Hal ini dilakukan karena data yang nantinya diperoleh dari lapangan jumlahnya sangat banyak, kompleks dan belum memiliki pola yang tetap. Melalui proses reduksi data, peneliti mendapatkan ringkasan serta gambaran secara jelas mengenai data-data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian. b. Penyajian Data Penyajian data terwujud dalam sekumpulan informasi yang tersusun dengan baik melalui ringkasan atau rangkuman berdasarkan data yang telah diseleksi atau direduksi. Informasi atau data ini disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu 49
tulisan yang rapi dan tersusun dengan baik. Dengan demikian dalam ringkasan atau rangkuman itu didalamnya termuat rumusan hubungan antara unsur dalam unit kajian penelitian sehingga dapat memungkinkan untuk memudahkan menarik kesimpulan. Dari hasil wawancara, observasi dan studi dokumentasi di lapangan, data yang peneliti peroleh masih luas dan banyak. Kemudian peneliti menyajikan data dalam bentuk deskriptif naratif yang berisi tentang uraian seluruh masalah yang dikaji sesuai dengan fokus penelitian Selain itu data juga dapat disajikan dalam bentuk gambar dan tabel. c. Penarikan Kesimpulan Yaitu suatu kegiatan konfigurasi yang utuh mengenai kesimpulankesimpulan yang diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalisisan selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan lapangan atau peninjauan kembali serta tukar pikiran diantara teman sejawat untuk mengembangkan kesepakatan intersubyektif atau juga upaya–upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya, yang merupakan validitasnya (Miles dkk,1992). Penarikan kesimpulan dilaksanakan untuk mencari kejelasan dan pemahaman terhadap gejala-gejala yang terjadi di lapangan terkait dengan fokus penelitian. Langkah-langkah analisis setelah pengumpulan data selesai, maka peneliti mulai melakukan penyajian dengan melalui reduksi data terlebih dahulu. Setelah itu
50
mengambil kesimpulan awal, apabila dianggap kurang mantap oleh peneliti karena ada kekurangan atau ada persoalan baru, maka akan melakukan reduksi atau melihat hasil reduksi lagi dan melihat hasil penyajian data. Setelah selesai dilanjutkan dengan mengambil data baru, begitu seterusnya hingga penelitian selesai dengan menarik kesimpulan akhir.
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data Kesimpulankesimpulan penafsiran / verifikasi
Bagan Model analisis interaktif menurut Miles dkk (1992)
51