BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Seorang sastrawan hidup dalam ruang dan waktu tertentu dan terlibat dengan beraneka permasalahan. Misalnya masalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi. “Pengalaman dan pengamatan sastrawan terhadap lingkungan sosialnya tersebut kemudian menginspirasi lahirnya sebuah karya sastra. Sehingga, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.” (Jabrohim, 2001:167) Sebuah karya sastra dikatakan baik, apabila karya sastra tersebut mencerminkan zaman serta situasi yang berlaku dalam masyarakatnya, setelah melalui proses kreatif pengarang terhadap suatu realitas kehidupan sosial. Karya sastra yang baik juga memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenarankebenaran hakiki yang selalu ada. Hal ini sejalan dengan pernyataan Welek dan Warren (dalam Damono, 1979:3) tentang tiga unsur yang saling terkait dalam sosiologi pada sebuah karya sastra, yakni: sosiologi pengarang, karya sastra, dan permasalahan pembaca serta dampak sosial karya sastra tersebut. Karya sastra sering dipilih menjadi wadah menampilkan realitas-reaitas karena realitas-realitas yang ada dalam kehidupan bermasyarakat sering sekali tidak mendapat apresiasi karena kepentingan tertentu. Hal ini terjadi karena situasi politik di Indonesia. Sehingga karya sastra mengambil alih peranan untuk mengangkat fakta-fakta. Seperti ditulis Seno Gumira Ajidarma, (Ajidarma,
Universitas Sumatera Utara
2005:1) ”Fakta-fakta bisa diberangus, tetapi kebenaran yang dikandung sastra akan terus hidup.” Membaca cerita-cerita Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya disebut SGA) dalam kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati (selanjutnya disebut ITPM) membawa ingatan pembaca pada berbagai kejadian yang telah menjadi memori bersama sebelum reformasi. Walaupun sebagai pembaca kita tidak dapat segera memperoleh pemaparan fakta atas peristiwa yang kita kenal. Realitas-realitas yang ada tersebut dibangun bukan sekadar sebagai representasi kenyataan atau faktualitas cerita. Kenyataan-kenyataan tersebut ditafsirkan kembali dengan imajinasi-imajinasi. Karya sastra tidak terlepas dari kreasi imajinatif pengarang, maka karya sastra sebagai dokumen realitas, mesti dimaknai sebagai realitas yang mengalami proses pengendapan di dalam pemikiran pengarang. “Dalam hal ini, pengalaman pengarang yang telah mengalami proses pengamatan, perenungan, penghayatan , dan penilaian kemudian dibaluri dengan kekuatan imajinasi. Hasilnya adalah refleksi realitas imajinatif.” (Mahayana, 2005:359-360) Imajinasi yang ada di dalam karya sastra berbeda dengan imajinasi dalam kehidupan sehari-hari, yang hanya dianggap sebagai imajinasi semata-mata. Imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang juga diimajinasikan kembali oleh seseorang, dalam hal ini adalah seorang kreator, yakni pengarang. Menurut Nyoman Kutha Ratna, dalam bukunya Sastra dan Cultural Studies (2005), sebuah karya sastra tidaklah secara keseluruhan merupakan imajinasi. Meskipun hakikat karya seni adalah rekaan, tetapi karya seni, dalam hal ini karya sastra, dikonstruksi atas dasar kenyataan. Di dalam sebuah karya sastra
Universitas Sumatera Utara
terkandung unsur-unsur tertentu yang memang merupakan fakta objektif. Pada umumnya fakta-fakta tersebut merupakan nama-nama orang, nama-nama tempat (toponim), peristiwa bersejarah, monumen, dan sebagainya. “Apabila sebuah karya sastra terbangun atas imajinasi saja, karya tersebut pada gilirannya tidak akan dapat dianalisis, tidak dapat dipahami secara benar, sebab tidak memiliki relevansi sosial. Karena itu hakikat karya sastra adalah imajinasi dan kreativitas.” (Ratna, 2005:315) Mekipun imajinasi tersebut didasarkan atas kenyataan, imajinasi tersebut tidaklah sama dengan kenyataan yang dilukiskan. Imajinasi pada gilirannya mengatasi objek-objek, sebagai kualitas transendental. Sifat-sifat transendental ini diperoleh karena imajinasi memiliki kemampuan untuk menampilkan kembali, memplotkan berbagai bentuk yang diperoleh dari berbagai sumber. Apakah itu dari pengalaman praktis sehari-hari, pengalaman teknologis dengan membaca buku dan media massa, dan kemampuan mengadakan kontemplasi. Inilah yang menjadikan ITPM menarik untuk dianalisis. Membaca ITPM membawa ingatan pembacanya pada berbagai peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Fakta-fakta yang disajikan dalam ingatan tersebut, tidaklah sama persis dengan kenyataan-kenyataan sejarah. Inilah daya tariknya. Bagaimana realitas dan imajinasi dibangun, bagaimana kenyataan didisain melepaskan diri dari kungkungan faktualitas peristiwa, dan bagaimana mengkomunikasikan keduanya pada satu proses antar hubungan yang bermakna. Pembahasan terhadap karya-karya SGA telah banyak dilakukan oleh para sastrawan, peneliti, maupun peminat dan pemerhati sastra, terutama karyanya Jazz, Parfum, dan Insiden dan Saksi Mata. Sedangkan penelitian terhadap ITPM
Universitas Sumatera Utara
belum banyak dilakukan. Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada penelitian yang mendalam terhadap kumpulan cerpen ITPM. Penelitian sepintas pada salah satu cerpen di dalam ITPM, Kematian Paman Gober, pernah dilakukan oleh Kris Budiman. Oleh karena itu, penulis merasa sangat perlu untuk mengkaji kumpulan cerpen ITPM.
1.1.2 Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang diteliti adalah: 1. Realitas apa saja yang ada di dalam kumpulan cerpen ITPM? 2. Bagaimana peran imajinasi membangun realitas yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM?
1.2 Batasan Masalah Sebuah karya sastra akan sulit diteliti tanpa adanya batasan masalah. Pokok bahasan
akan
menjadi
terlalu
luas,
dikhawatirkan
penelitian
akan
menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai. Suatu penelitian akan mudah dianalisis dengan membatasi masalah pada ruang lingkup penelitian yang akan dibahas. Karena masalah-masalah di atas sangat luas ruang lingkupnya, oleh sebab itu penulis membatasinya sebagai berikut: 1.
Realitas sosial yang digambarkan di dalam ITPM dan bagaimana imajinasi kreator (pengarang) membentuk realitas sosial yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM.
2.
Realitas
politik yang digambarkan di dalam ITPM, menyangkut
peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi di Indonesia yang
Universitas Sumatera Utara
diangkat sebagai realitas di dalam ITPM dan bagaimana imajinasi kreator (pengarang) membentuk realitas yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan dan mengetahui gambaran realitas sosial dan politik yang ada dalam kumpulan cerpen ITPM. 2. Untuk mengetahui bagaimana peran imajinasi pengarang
membangun
realitas yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM.
1.3.2
Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian dikatakan berhasil apabila bermanfaat bagi peneliti, ilmu pengetahuan, dan masyarakat. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat: 1. Menambah wawasan pembaca dan peneliti tentang realitas dan imajinasi yang ada dalam kumpulan cerpen ITPM. 2. Memperkaya referensi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sastra tentang realitas dan imajinasi dalam kumpulan cerpen ITPM. 3. Menjadi sumber masukan bagi peneliti berikutnya tentang realitas dan imajinasi dalam karya sastra. 4. Memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai perbedaan antara realitas sosial dengan realitas yang ada dalam karya sastra.
Universitas Sumatera Utara
5. Menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat pembaca tentang bagaimana imajinasi seorang pengarang bekerja, mengadaptasikan realitas sosial menjadi realitas yang baru dalam sebuah karya sastra.
1.4 Metode dan Teknik Penelitian 1.4.1
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari kumpulan cerita pendek (cerpen), yaitu: Judul
: Iblis Tidak Pernah Mati Kumpulan cerpen ini tersusun atas 15 buah cerpen yang terbagi ke dalam empat subjudul, yaitu “Sebelum” (terdiri dari lima cerita), “Ketika” (terdiri dari dua cerita), “Sesudah” (terdiri dari tujuh cerita), dan “Selamanya” (terdiri dari 1 cerita).
Karya
: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit
: Galang Press, Yogyakarta
Tebal Buku
: 264 Halaman
Cetakan
: III, tahun 2004
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui metode membaca heuristik dan hermeneutik. Membaca karya sastra sebagaimana yang dikemukakan oleh Riffaterre (Jabrohim, 2001:12), “dimulai dengan langkahlangkah heuristik, yaitu pembacaan dengan jalan meniti tataran gramatikalnya dari segi mimetisnya dan dilanjutkan dengan pembacaan retroaktif, yaitu bolak-balik
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana
yang terjadi pada
metode hermeneutik untuk menangkap
maknanya.” Dikatakan
dalam
Luxemburg
(1992:63)
bahwa
beberapa
ahli
hermeneutika seperti Emil Staiger (1995), mendukung pendapat mengenai penafsiran. “Seorang juru tafsir ‘yang mempunyai perasaan halus mengenai bahan yang bersangkutan’ dapat mengungkapkan arti sebuah teks seluruhnya karena ia menghayati materinya.” Hermeneutika yang pada awalnya digunakan untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra. “Karena selain menggunakan bahasa sebagai mediumnya, sastra merupakan kebenaran imajinasi. Sedangkan agama adalah kebenaran keyakinan. Keyakinan dan imajinasi tersebut, keduanya tidak dapat dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan.” (Ratna, 2004:46) Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat pada kartu data. Datadata yang diperoleh dari pembacaan heuristik dan hermeneutik tentang situasisituasi dan kejadian-kejadian yang menyangkut masalah realitas dan imajinasi kemudian dicatat pada kartu data.
1.4.2
Metode dan Teknik Pengkajian Data Analisis data tidak dilakukan per cerpen, tetapi per butir masalah yang
telah dirumuskan sebelumnya. Jadi, analisis data dikerjakan secara utuh dan menyeluruh. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah berikut: a. Peneliti membaca data yang telah dikumpulkan untuk memahaminya secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
b. Peneliti akan mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan seluruh data berdasarkan butir masalah, tidak melihat bagian per bagian. c. Peneliti kembali menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar data, sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh tentang makna karya tersebut.
Teknik pengkajiannya dengan menggunakan kode-kode pada kartu data untuk mempermudah pengklasifikasian data. Data yang telah terkumpul kemudian diinterpretasikan sehingga terjalin antarstruktur yang saling berkaitan. Hasil yang diperoleh berupa uraian penjelasan karena penelitian ini bersifat deskriptif.
Analisis deskriptif adalah data-data yang telah diperoleh akan
dianalisis, kemudian hasil analisis tersebut akan dideskripsikan. Untuk mempermudah
deskripsi,
penulis
mencantumkan
asal
data
pada
penganalisisan data. Berikut ini contoh pendeskripsian data tentang realitas apa yang dibangun dalam cerpen ITPM: Data
: Maka hari-hari pun berlalu tanpa pergantian pimpinan. Demokrasi berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada satu pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan. Para pelajar seperti Kwak, Kwik, dan Kwak menjadi
bingung
bila
membandingkannya
dengan
sejarah
kepemimpinan kota-kota lain. Kota Bebek seolah-olah memiliki pemimpin abadi. Generasi muda yang lahir setelah Paman Gober
Universitas Sumatera Utara
berkuasa bahkan sudah tak mengerti lagi. Apakah pemimpin itu memang bisa diganti. Mereka pikir keabadian Paman Gober sudah semestinya. (dalam cerpen Kematian Paman Gober, Hlm. 10) Analisis : Ini adalah realitas politik di dalam kumpulan cerpen ITPM, realitas imajinasi pengarang, bahwa di sebuah negeri yang disebut-sebut sebagai Kota Bebek dalam cerita ini, terdapat seorang pemimpin yang kedudukannya seolah-olah abadi dan tidak tergantikan. Pemimpin tersebut sudah memimpin kota tersebut dari generasi ke generasi. Kedudukannya tidak tergantikan, walaupun demokrasi seolah-olah berjalan. Realitas sesungguhnya : Realitas politik di dalam kumpulan cerpen ITPM ini diangkat dari sebuah realitas politik di Indonesia. Tentang pemerintahan Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun. Hanya ada satu orang pemimpin yang seolaholah tidak tergantikan. Walaupun demokrasi seolah-olah berjalan karena ada pemilihan umum.
1. 5 Landasan Teori Dalam sebuah penelitian perlu ada landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan. Objek karya sastra adalah realitas kehidupan. Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, karya sastra mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud memahami peristiwa sejarah tersebut
Universitas Sumatera Utara
menurut kemampuan pengarang. Karya sastra juga dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaaan, ataupun tanggapannya terhadap peristiwa sejarah. Seperti disebutkan di atas bahwa objek karya sastra adalah realitas sosial dan realitas yang terdapat dalam kumpulan cerpen ITPM adalah sebuah realitas sosial yang dibaluri dengan imajinasi pengarang, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosiologi sastra. “Sastra adalah lembaga sosial yang menampilkan gambaran kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi di dalam batin seseorang.” (Damono, 1979:1) Selain berfungsi sebagai penyampaian ide, pengalaman, dan sistem berfikir, sastra juga berfungsi sebagai wadah sastrawan untuk menyampaikan aspirasi tentang kehidupan manusia. Menurut Nyoman Kutha Ratna, ada beberapa alasan mengapa sastra memiliki kaitan yang erat dengan masyarakat dan dengan begitu sastra harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat.
“Alasan-alasan tersebut adalah: 1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. 3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. 4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat,dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
Universitas Sumatera Utara
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.” (Ratna 2004:332-333) Menurut Damono (1979:3-4) bahwa pendekatan sosiologis ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, namun semua pendekatan ini menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Sosiologi dan sastra memiliki kesamaan permasalahan, yakni sama-sama berurusan dengan manusia. Namun demikian, tidak berarti kedua bidang tersebut dapat disamakan begitu saja. Seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan sastrawan dengan imajinasinya mampu mengungkapkan keberadaan manusia dalam sebuah kenyataan. Seorang sosiolog hanya mampu mengungkapkan kenyataan dengan apa adanya. Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin ilmu yang berbeda, sosiologi dan sastra secara harfiah harus didukung oleh dua teori yang berbeda, yaitu teori-teori sosiologi dan teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra, di dalam penelitian sosiologi sastra itu sendiri, karya sastra merupakan objek yang paling dominan, sedangkan ilmu-ilmu lain hanyalah sebagai ilmu bantu. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratna (2004:338-339) yang menyatakan bahwa “masalah yang perlu dipertimbangkan adalah dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai secara maksimal.” Dalam sosiologi sastra yang mendominasi jelas adalah teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer (pelengkap).
Universitas Sumatera Utara
Ratna (2004:338) juga mengatakan bahwa “karya sastra sesuai dengan hakikatnya, yaitu kreatifitas dan imajinasi, mampu menghadirkan dunia lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari.” Inilah aspek sosial karya sastra, di mana karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra, pembaca bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain. Bakhtin (dalam Ratna, 2004:338) menyebutkan ciri-ciri manusia itu sebagai karnaval, manusia berganti rupa melalui topeng. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu gambaran bahwa kedua ilmu tersebut mempunyai satu objek penelitian yang sama yakni manusia. Swingewood (dalam Damono, 1979:14) juga mengatakan bahwa dalam melakukan analisis sosiologis terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan sastra adalah cerminan masyarakat. Karena pernyataan ini seringkali melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu, misalnya imajinasi. Imajinasi ini telah mengendapkan realitas yang ditangkap pengarang ke dalamnya, sehingga realitas yang baru tersebut tidaklah mutlak murni realitas masyarakat sesungguhnya. Penulis memilih teori sosiologi sastra, karena dengan menggunakan teori ini akan diketahui dengan jelas penggambaran suatu masyarakat, realitas di dalam karya sastra. Selain itu, dengan sosiologi sastra, karya sastra dapat dikaji dengan memfokuskan perhatian kepada segi-segi sosial kemasyarakatan, realitas masyarakat dalam karya sastra. Pendekatan terhadap karya sastra yang
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan tersebut oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda penegertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiokultural terhadap karya sastra. Untuk menganalisis realitas dan imajinasi dalam kumpulan cerpen ITPM ini diperlukan juga pemahaman tentang tanda. Pengarang banyak menggunakan tanda-tanda –sebagai rangkaian imajinasi pengarang- untuk melukiskan realitas sosial dan politik masyarakat dalam kumpulan cerpen ITPM. Untuk menemukan makna di balik tanda-tanda tersebut, penelitian ini juga akan menggunakan teori semiotik, yakni semiotik sosial. “Semiotik adalah ilmu tanda. Istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda ada di mana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya.” (Sudjiman, 1996: vii) Semiotik sebagai ilmu tentang tanda, menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu sebagai tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. “Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat)
yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus)
wacana
mempunyai makna. “ (Preminger, dalam Jabrohim, 2001: 71) Voloshinov (dalam Hodge: 1999:10) mengatakan bahwa bentuk tanda ditentukan oleh organisasi sosial serta partisipan yang terlibat dan juga oleh kondisi interaksi mereka. Voloshinov menciptakan suatu hubungan yang sangat
Universitas Sumatera Utara
dekat antara semiotik dan studi ideologi. Bahwa segala sesuatu secara ideologis memiliki nilai semiotik. Dengan menggunakan semiotik sosial, pesan yang hendak disampaikan pengarang tentang realitas dan imajinasi di dalam kumpulan cerpen ITPM dapat dianalisis. Pesan tersebut adalah sesuatu yang dihubungkan dengan dunia yang diacu, dan maknanya diturunkan fungsi mimetik yang terbentuk yang disebut mimetic plane. (Hodge, 1999:3)
Universitas Sumatera Utara